• Tidak ada hasil yang ditemukan

Timor Lorosae Tidak Perlu Pengadilan Internasional?

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "Timor Lorosae Tidak Perlu Pengadilan Internasional?"

Copied!
16
0
0

Teks penuh

(1)

MAJALAH BULANAN HAK ASASI MANUSIA

Jl. Gov. Serpa Rosa T-091, Farol, Dili - Timor Lorosae. Telp.: +670.390.313323 Fax: +670.390.313324 E-Mail: direito@yayasanhak.minihub.org

Perkumpulan HAK

21

Edisi 21 - Januari 2003

Timor Lorosae

Tidak Perlu

Pengadilan

Internasional?

D A F T A R I S I

DIREITO UTAMA:

Tidak Perlu Pengadilan Internasional? Hal. 1 - 2

Pengadilan Internasional untuk Yugoslavia dan Rwanda Hal. 3

Bagaimana Mendirikan Pengadilan Internasion-al untuk Timor Lorosae Hal. 4 - 5

DIALOG: Korban Membutuhkan Pengadilan Internasional Hal. 6

JUSTIÇA: Hukuman Yang Tidak Adil Hal. 7 PEMBERDAYAAN RAKYAT: Yayasan Raimaran

Hal. 8 - 9

TEROPONG KEBIJAKAN:

Peran Lembaga Keuangan Internasional Hal. 10

Aparat Melanggar HAM Hal. 11 HAK ASASI: Serious Crime Unit Hal. 12 INSTRUMEN HAM:

Konvenan Hak Sipil dan Politik Hal. 13

Hak Anak Menurut Aturan Internasional Hal. 14 GUGAT: Program Alfabetização Hal. 15 SERBA-SERBI Hal. 16

AMI LIAN: Pengadilan Bukan Prioritas Hal. 16

T

imor Lorosae perlu pengadilan internasional untuk kejahatan

1999 atau tidak? Ini pertanyaan penting tidak hanya bagi

para pemimpin pemerintah, termasuk para anggota Parlemen Nasional, tetapi juga bagi rakyat. Terlebih bagi para korban kekerasan dan keluarga mereka.

Sejak awal, kalangan aktivis hak asasi manusia di Timor Lorosae menginginkan pengadilan internasional untuk mengadili para pelaku kekerasan 1999. Ada dua alasan utama. Pertama, badan peradilan Indonesia begitu korup dan rendah kualitasnya. Kedua, para pelaku utama kekerasan tersebut adalah pejabat-pejabat TNI sementara TNI sendiri masih dominan posisinya dalam rezim yang berkuasa di Indonesia. Ketiga, Timor Lorosae tidak memiliki sumberdaya yang cukup untuk mengadili mereka dan para pelaku itu berada di Indonesia. Alasan ini diperkuat oleh jenis kejahatan itu sendiri. Kekerasan-kekerasan yang terjadi di Timor Lorosae 1999 itu menurut hukum internasional tergolong “kejahatan terhadap umat manusia” (crime contra humanidade). Untuk kejahatan ini berlaku yurisdiksi universal. Artinya, jika terjadi kejahatan jenis ini, masyarakat internasional punya tanggungjawab untuk mengadili.

Namun, masyarakat internasional memberikan kepercayaan kepada pemerintah Indonesia untuk mengadili para pelaku kejahatan 1999.

Keluaga korban pembantaian di Liquica Foto: Rogério Soares/Direito

(2)

2 edisi 21 - Januari 2003

DIREITO UTAMA

A

da perbedaan sikap di antara pe mimpin Timor Leste mengenai ke-adilan bagi kejahatan terhadap umat manusia di Timor Leste. Berkali-kali Xanana Gusmão – sejak sebelum men-jadi Presiden Republik – mengatakan bahwa pengadilan internasional bukanlah prioritas bagi Timor Leste. Ia seolah mengkompromikan kebutuh-an keadilkebutuh-an rakyat dengkebutuh-an bkebutuh-antukebutuh-an luar negeri yang diharapkan datang untuk “menolong” Timor Leste memenuhi kebutuhan lain yang menurutnya le-bih mendesak, seperti pelayanan ke-sehatan dan pendidikan.

Sikap lain dikemukakan oleh Perda-na Menteri Marí Alkatiri. Ketika ditanya oleh seorang aktivis Indonesia dalam pertemuan dengan gerakan solidaritas internasional sehari setelah penyerah-an kedaulatpenyerah-an 20 Mei 2002, ia menja-wab, “Saya akan senang sekali kalau kalian menyuarakan ini [pengadilan internasional] di dunia internasional!”

Sikap ini sejalan dengan sikap man-tan Uskup Dili Dom Carlos Filipe Belo. Uskup Belo beberapa kali menyata-kan perlunya pengadilan internasion-al. Terakhir, ketika menolak bersaksi pada Pengadilan Hak Asasi Manusia di Jakarta, ia mengatakan bahwa dirinya hanya mau bersaksi di sidang penga-dilan internasional.

Pemimpin lain yang mengemukakan pendapatnya adalah Wakil Menteri Kehakiman beberapa hari setelah keluarnya vonis pengadilan untuk Eurico Guterres dan Abílio Osório Soares. Menurutnya, Timor Leste akan mengupayakan pembentukan penga-dilan internasional agar rakyat bisa mendapatkan keadilan.

Tetapi Menteri Luar Negeri José Ramos-Horta justru belum pernah se-cara terbuka menyatakan sikapnya. Departemen Luar Negeri sepertinya juga tidak menjadikan pembentukan pengadilan internasional sebagai agenda kerja diplomasinya. Padahal de-partemen ini yang seharusnya memperjuangkan ini, karena keputus-an pembentukkeputus-an pengadilkeputus-an tersebut berada di Dewan Keamanan PBB! 

Sikap Pemimpin

Tampak sekali ada ketidakmauan untuk mendukung pembentukan pengadilan internasional, termasuk dari dalam negeri sendiri.

“Banyak komentar yang mengatakan bahwa pengadilan internasional tidak perlu. Mereka mengutamakan hubungan diplomatik antara kedua negara ini [Timor Leste dan Indonesia, Red.] Presiden Xanana sendiri mengatakan bahwa dia tidak akan berbicara tentang pengadilan internasional,” kata Filomena Reis dari Aliansi Nasional untuk Pengadilan Internasional (ANPI), suatu gabungan organisasi-organisasi Timor Leste yang memperjuangkan pengadilan internasional untuk kejahatan 1999.

Mungkin banyak yang tidak memperhatikan, bukan sekali saja Xanana Gusmăo menolak pengadilan internasional. Pada saat berkampanye untuk Pemilihan Umum Presiden 2001, ia menyatakan bahwa pengadilan untuk kejahatan 1999 bukan prioritas. Hal yang sama dikatakannya ketika berkunjung ke New York. Alasannya, banyak kebutuhan lain yang lebih mendesak bagi rakyat Timor Leste, seperti kesehatan, lapangan kerja, dan pendidikan.

Seolah menentang pendapat Xanana Gusmăo, dalam himbauan pastoral yang dikeluarkan Juni 2002, Uskup Dili saat itu, Dom Carlos Ximenes Belo menyatakan bahwa memang banyak kebutuhan mendesak yang harus dipenuhi. “Tetapi harus diingat bahwa keadilan adalah salah satu kebutuhan dasar yang mendesak … dan bahwa salah satu tujuan perjuangan kemerdekaan Timor Lorosae adalah untuk mendapatkan keadilan,” tegasnya (Amnesti dan Penyelesaian Pelanggaran Berat Hak Asasi Manusia, Himbauan Pastoral Uskup Dioses Dili Dom Carlos Filipe Ximenes Belo, SDB, halaman 6). Tentang pengadilan internasional, sikap Uskup Belo jelas. “Saya hanya bersedia untuk menghadiri serta memberi kesaksian di hadapan suatu pengadilan internasional yang dapat diorganisir oleh Perserikatan Bangsa-Bangsa sendiri dan digelar di Bumi Timor Leste,” tulisnya dalam surat terbuka pada 20 Desember 2002.

Bahwa pengadilan internasional bukan perkara yang mudah itu disadari oleh para aktivis hak asasi manusia. “Negara kita kecil, tetapi dengan berjuang selama 24 tahun lebih, kita berhasil merebut kemerdekaan. Untuk pengadilan internasional pun kita harus berju-ang keras melalui jalan yberju-ang berliku-liku. Bukankah dulu penguasa pendudukan Indonesia mengatakan bahwa kemerdekaan Timor Leste ‘mimpi di siang bolong’? Sekarang mimpi itu sudah menjadi kenya-taan!” kata Filmomena Reis.

Olandina Caeiro Alves, direktur organisasi penegakan hak perempuan dan anak-anak ET-WAVE (East Timor Women Against Violence and for Children Care) menegaskan perlunya organisasi-organisasi non-pemerintah bersatu dan mendekati pemerintah dan para pemimpin. “Untuk meyakinkan mereka bahwa penyelesaian pelanggaran hak asasi manusia di Timor Leste hanya bisa dicapai melalui pengadilan internasional,” katanya kepada Direito.

Selain itu, masih menurut Olandina Caeiro, organisasi-organisasi non-pemerintah harus mulai menyusun strategi dan mencari jalan untuk mendapatkan dukungan dari luar. “Jangan berpikir bahwa kita beberapa organisasi yang ada di sini berteriak, kita akan menang. Kita harus kembali menggalang solidaritas internasional, mencari dukungan dari organisasi-organisasi hak asasi di luar negeri,” katanya. Kata-kata ini seakan mengingatkan pada satu hal yang belakangan agak dilupakan banyak pihak. Yaitu, bahwa perjuangan kemerdekaan Timor Leste bisa tetap menjadi agenda di PBB justru karena dukungan dari organisasi-organisasi solidaritas internasional, bukan dari negara-negara besar yang justru berkepentingan mendukung pemerintah militeris Indonesia. 

(3)

DIREITO UTAMA

Keluarga korban pembantaian St. Cruz 1991. Foto: Rogério Soares

Pengadilan Internasional itu Seperti Apa?

Setelah pengadilan Nurember g yang dibentuk untuk mengadili kejahatan perang pada masa Perang Dunia II, ada dua pengadilan pidana inter nasional, yaitu Pengadilan Pidana Inter nasional untuk bekas Yugoslavia dan Pengadilan Pidana Inter nasional

untuk Rwanda.

P

engadilan Pidana Internasi onal untuk Bekas Yugosla via (PPIBY) dibentuk sete-lah terjadinya konflik serius pada 1991-1995 menyusul perpecah-an Republik Federal Yugoslavia. Komisi Pakar PBB (Komisi Bal-kan) yang dibentuk oleh Dewan Keamanan PBB bekerja selama dua tahun dan menemukan bukti terjadinya genosida, keja-hatan terhadap umat manusia, dan pelanggaran berat hukum humaniter internasional (Kon-vensi Jenewa mengenai perang). Pengadilan Pidana Internasi-onal untuk Rwanda (PPIR) di-bentuk setelah Komisi Pakar PBB (Komisi Rwanda) menyim-pulkan terjadinya pembunuhan sistematis terhadap setengah sampai satu juta orang etnis Tutsi di Rwanda dari 6 April 1994 sam-pai 15 Juli 1994. Komisi ini me-nyimpulkan terjadinya genosida, kejahatan terhadap umat manu-sia, dan pelanggaran hukum hu-maniter internasional.

PPIBY bertempat di Den Haag ( Belanda). Wewenangnya mengadili pelanggaran-pelang-garan yang dilakukan di dalam wilayah bekas Yugoslavia sejak 1991. Sedang PPIR bertempat di Arusha (Tanzania), dengan we-wenang dibatasi pada pelanggar-pelanggaran yang terjadi an-tara 1 Januari 1994 dan 31 De-sember 1994 yang dilakukan dalam wilayah Rwanda dan di wilayah negara-negara tetangga. Dua pengadilan ini terdiri dari tiga organ, yaitu Majelis Hakim, Kantor Panitera, dan Kantor Penuntut Umum. Majelis Hakim terdiri dari tiga Majelis Persidang-an dPersidang-an satu Majelis BPersidang-anding. Majelis Persidangan beranggota-kan tiga orang hakim dan Maje-lis Banding lima orang hakim. Setiap hakim dipilih oleh Maje-lis Umum PBB dan bekerja un-tuk waktu empat tahun.

Kantor Panitera menjalankan

tiga fungsi: membantu Majelis Hakim dalam pekerjaan yudisi-al; mengurus pengadilan; dan menjalankan administrasi. Tu-gasnya termasuk penjadwalan kasus dan ruang sidang, mem-berikan penerjemahan, trans-kripsi, keputusan dan perintah resmi, penelitian dan penyusun-an rpenyusun-ancpenyusun-angpenyusun-an, serta perlindung-an saksi dperlindung-an korbperlindung-an. Karena tu-gasnya banyak, Kantor Panitera menggunakan 70-75% dari

selu-ruh anggaran pengadilan. Kantor Penuntut Umum ber-tugas menyelidiki kejahatan dan menuntut kejahatan. Kantor Penuntut Umum di Den Haag mempunyai 346 staf yang dibagi ke dalam Bagian Penyidikan dan Penuntutan. Bagian Penyidikan dilengkapi oleh Unit Forensik, Tim Analisis Militer, Tim Riset, Unit Intelijen dan Unit Pelayan-an Sensitif. BagiPelayan-an PenuntutPelayan-an terdiri dari Seksi Persidangan yang terdiri dari delapan orang Pembela Hukum Senior, dela-pan orang Pejabat Hukum, de-lapan orang asisten pendukung, delapan orang manager kasus,

dan 16 Pembela.

Sebuah Tim Persidangan terdiri dari satu orang Pembela Hukum Senior, dua orang Pem-bela, seorang Pejabat Hukum, seorang asisten pendukung, dan seorang Manager Kasus.

Kantor Penuntut Umum juga dilengkapi dengan Unit Informa-si dan Bukti yang terdiri dari 60 staf. Tugasnya adalah mempro-ses dan menyimpan bukti, dokumen, dan informasi lainnya.

Anggaran dua pengadilan ini ditetapkan oleh Majelis Umum PBB. Anggaran tahunan PPIBY untuk 2000-2001 besarnya USD 96.443.900. Selain itu, PPIBY me-nerima sumbangan sukarela se-besar USD 32 juta. Stafnya berjumlah 968. Sementara ang-garan tahunan PPIR 2000-2001 adalah USD 86.154.900. Stafnya berjumlah 810. Anggaran tahun-an dua pengadiltahun-an tersebut me-rupakan 10 persen dari seluruh anggaran PBB. Untuk menyele-saikan tugas masing-masing, ke-dua pengadilan tersebut memer-lukan waktu sepuluh tahun lagi dan anggaran USD 2 milyar. 

(4)

4 edisi 21 - Januari 2003

DIREITO UTAMA

LANGKAH MENUJU PENGADILAN

PIDANA INTERNASIONAL

Menuntut pengadilan pelaku kekerasan. Foto: Rogério Soares

P

engadilan internasional un tuk mengadili kejahatan perang, genosida, dan ke-jahatan terhadap umat manusia yang ada hingga saat ini adalah suatu pengadilan ad hoc (se-mentara, tidak tetap) yang diben-tuk undiben-tuk mengadili satu kasus tertentu yang merupakan keja-hatan internasional.

Misalnya Pengadilan Pidana Internasional untuk Bekas Yu-goslavia dibentuk untuk meng-adili kejahatan perang dan ke-jahatan terhadap umat manusia yang terjadi di negara-negara pecahan Yugoslavia sejak 1991. Pengadilan tetap yang ada a-dalah Mahkamah Keadilan In-ternasional (International Court of Justice) yang berkedudukan di Den Haag (Negeri Belanda), yang wewenangnya adalah mengadili sengketa antar nega-ra. Pengadilan ini tidak punya wewenang mengadili kasus pidana seperti kejahatan perang, genosida atau kejahatan terha-dap umat manusia.

Badan yang berwenang membentuk suatu pengadilan pi-dana internasional adalah Dewan Keamanan Perserikatan Bangsa-Bangsa. Berdasarkan Bab VII Piagam PBB, Dewan Keamanan memiliki wewenang eksklusif untuk “menentukan keberadaan setiap ancaman ter-hadap kedamaian, pelanggaran kedamaian atau tindakan agresi, dan harus membuat rekomen-dasi atau memutuskan tindakan-tindakan apa yang harus diam-bil … untuk memelihara atau memulihkan kedamaian dan ke-amanan internasional.”

Jika terjadi tindakan-tindakan seperti disebutkan itu, Dewan Keamanan berwenang melaku-kan berbagai jenis tindamelaku-kan

ter-masuk membentuk pengadilan pidana intenasional. Sebelum membentuk pengadilan interna-sional, Dewan Keamanan lebih dulu membentuk komisi untuk mempelajari apakah telah terja-di tindakan yang merupakan “ancaman terhadap keamanan dan kedamaian internasional, pelanggaran kedamaian interna-sional atau tindakan agresi.”

Setelah komisi bersangkutan menyampaikan laporannya, Dewan Keamanan bisa menge-luarkan resolusi untuk memben-tuk pengadilan pidana interna-sional khusus mengadili kasus bersangkutan. Misalnya, sebe-lum mengeluarkan resolusi pem-bentukan Pengadilan Pidana In-ternasional untuk Rwanda, Dewan Keamanan membentuk Komisi Pakar PBB untuk mem-pelajari bukti-bukti terjadinya ge-nosida dan pelanggaran hukum internasional mengenai perang. Setelah terbentuk suatu pengadilan pidana internasion-al, setiap negara anggota PBB

memiliki kewajiban mematuhi setiap keputusannya. Karena resolusi Dewan Keamanan ber-sifat mengikat bagi semua ang-gota PBB. Biaya pengadilan ter-sebut berasal dari dana sum-bangan wajib PBB. Selain itu, pengadilan tersebut bisa mene-rima sumbangan sukarela dari negara mana saja yang bersedia. Jadi pengadilan pidana inter-nasional adalah pengadilan yang dibentuk oleh PBB berdasarkan resolusi Dewan Keamanan. Agar terbentuk pengadilan seperti itu, pertama harus ada negara yang mengajukan usulan agar masa-lah ini menjadi agenda Dewan Keamanan. Supaya usulan bisa diterima, negara tersebut harus mencari dukungan dari negara-negara anggota Dewan Keaman-an. Harap dicatat bahwa tidak semua negara anggota PBB menjadi anggota Dewan manan. Anggota Dewan Kea-manan berjumlah 15 negara, lima adalah anggota tetap yaitu Amerika Serikat, Inggris, Prancis, Bagi para aktivis gerakan hak asasi manusia di Timor Lorosae maupun di Indonesia, pengadilan pidana inter nasional merupakan satu-satunya pilihan yang masuk akal untuk

mengadili kejahatan terhadap umat manusia di Timor Lorosae. Bagaimana cara untuk membentuk pengadilan ini?

(5)

DIREITO UTAMA

Keluarga korban pembantaian di Gereja Suai. Foto: Fokupers

Republik Rakyat Cina, dan Rus-sia, dan sepuluh anggota tidak tetap yang dipilih oleh Majelis Umum PBB.

Sebenarnya sejak akhir Juni 2002 telah berlaku Statuta Roma, suatu perjanjian internasional tentang pembentukan pengadi-lan pidana internasional tetap, yang disebut Mahkamah Penga-dilan Pidana Internasional. Den-gan adanya pengadilan tetap ini, jika terjadi genosida, kejahatan terhadap umat manusia, dan kejahatan perang, tidak lagi per-lu dibentuk pengadilan pidana internasional ad hoc melalui Dewan Keamanan PBB. Mahka-mah Pengadilan Pidana Interna-sional yang berkedudukan di Den Haag bisa langsung turun tangan mengadili kasus tersebut. Tetapi Statuta Roma hanya berlaku untuk kejahatan yang terjadi setelah terbentuknya Mahkamah Pengadilan Pidana Internasional. Pengadilan ini ti-dak bisa mengadili kejahatan pe-rang dan kejahatan terhadap umat manusia di Timor Leste yang terjadi pada 1975-1999.

Jalan bagi Timor Leste

Jika apa yang harus dilaku-kan agar bisa dibentuk penga-dilan pidana internasional untuk Timor Leste? Pemerintah RDTL, dalam hal ini wakil tetapnya di PBB, harus mengupayakan agar masalah ini menjadi agenda Dewan Keamanan PBB. Upaya seperti inilah yang dulu

dilaku-kan oleh para diplomat perju-angan kemerdekaan Timor Les-te, mulai Delegasi Luar Negeri FRETILIN, kemudian Frente Di-plomatica CNRM sampai CNRT. Karena dulu dunia internasion-al belum mengakui Timor Leste sebagai negara merdeka, maka para diplomat frente diplomati-ca kita berjuang melalui nega-ra-negara lain, seperti Angola, Moçambique, Republik Rakyat Cina, Portugal, dan lain-lain.

Untuk memperkuat usulan tersebut, para diplomat Timor Leste harus mencari dukungan dari negara-negara anggota PBB. Pengalaman perjuangan Timor Leste membuktikan bahwa sikap negara-negara besar tidak ditentukan oleh pertimbangan keadilan dan kebenaran, tetapi oleh kepentingan ekonomi-po-litik masing-masing. Oleh kare-na itu, para diplomat Timor Les-te harus mengerahkan segala kemampuannya untuk meyakin-kan negara-negara besar bahwa pengadilan pidana internasion-al untuk kejahatan yang terjadi di Timor Leste di masa

pendu-dukan Indonesia itu sejalan de-ngan kepentide-ngan mereka. Mes-kipun ini sulit, tetapi bukan ti-dak mungkin. Perjuangan ke-merdekaan kita sendiri membuk-tikan, apa yang sepertinya tidak mungkin hari ini ternyata men-jadi kenyataan beberapa tahun kemudian.

Dukungan juga harus dicari

dari negara-negara kecil. Mere-ka bisa membantu kita dalam mendesak negara-negara besar. Untuk mendukung upaya ter-sebut, banyak hal yang bisa di-lakukan oleh organisasi-organi-sasi non-pemerintah (NGO). Sikap negara-negara besar ha-nya bisa berubah jika di dalam negeri mereka ada desakan yang kuat dari masyarakat. Or-ganisasi-organisasi solidaritas yang dibentuk oleh masyarakat di negara-negara tersebutlah yang melakukan desakan dan tekanan kepada pemerintah masing-masing, sehingga meng-ubah sikap pemerintah mereka menjadi mendukung kemerkaan Timor Leste. Kerjasama de-ngan organisasi-organisasi seperti ini yang telah terjalin sejak dulu perlu dilanjutkan dan bahkan diperkuat sekarang.

Organisasi-organisasi Timor Leste juga perlu melanjutkan kerjasama dengan organisasi-or-ganisasi hak asasi regional dan internasional, seperti Amnesty International. Sebagian dari me-reka memiliki hak untuk berbi-cara di sidang-sidang badan PBB seperti Komisi Hak Asasi Manu-sia. Dengan kerjasama organi-sasi-organisasi ini, organisasi-or-ganisasi Timor Leste bisa menyu-arakan tuntutan pembentukan pengadilan internasional di ba-dan-badan PBB.

Kegiatan seperti itulah yang dulu dilakukan untuk perjuang-an kemerdekaperjuang-an Timor Leste, baik oleh para diplomat FRETI-LIN, CNRM, CNRT, dan organi-sasi-organisasi non-pemerintah Timor Leste. Ini juga yang harus dilakukan untuk memperjuang-kan pengadilan pidana interna-sional bagi kejahatan perang dan kejahatan terhadap umat manusia di masa pendudukan Indonesia.

Yang juga perlu dilakukan oleh adalah mendukung peng-organisasian para korban keja-hatan terhadap umat manusia di Timor Leste dan keluarga mere-ka. Tuntutan akan keadilan akan menjadi sangat kuat kalau para korban sendiri yang me-nyuarakannya. Karena para korban adalah pihak yang se-cara langsung dirugikan. 

(6)

DIALOG

6 edisi 21 - Januari 2003

Flaviano Lemos. Foto: Rogério Soares

Flaviano Lemos: Korban

Mem-butuhkan Pengadilan Internasioal

Flaviano Magno Lemos, dilahirkan di Ermera, 5 Juli 1960, sebagai anak pertama dari delapan bersaudara. Ayahnya, Sebastião Lemos, salah satu komandan Falintil di Fronteira Norte, meninggal saat invasi. Dua saudaranya juga meninggal ketika invasi, dan satu lagi meningal dibunuh milisi anti-kemerdekaan pada 1999. Lulusan quarta classe Colegio Maliana ini melanjutkan sekolah di Sekolah Teknik Dili tapi tidak sampai selesai karena golpe UDT dan invasi Indonesia. Berikut ini wawancara Koordinator Umum Asosiasi Keluarga Korban Orang Hilang dengan Rogério Soares dari Direito.

Bagaiman proses mendirikan AKKOH?

AKKOH didirikan pada 30 Agustus 2000 oleh para keluaga korban pada salah satu pertemuan di Aula CNRT

di Balide, Dili, bertepatan dengan Kongres Nasional CNRT. Karena bertepatan dengan kongres CNRT, kami tidak bisa membuat acara un-tuk memperkenalkan asosiasi ini. Asosiasi ini sudah berjalan selama dua tahun di 13 distrik. Selama dua tahun saya menjadi kordinator di distrik Ermera. Saya menjadi kordi-nator karena anggota keluarga saya ada yang hilang dalam kekerasan setelah Referendum 1999. Saya menghimpun data dan informasi tentang keluarga yang hilang di dis-trik Ermera secara sukarela tanpa bantuan dari siapa pun. Saya menjalin kerjasama dengan bebe-rapa organisasi non-pemerintah nasional yang bekerja di bidang hak asasi manusia. AKKOH berada di bawah naungan Comissão dos Direitos Humanos de Timor Leste (CDHTL, sebuah organisasi non-pe-merintah hak asasi manusia yang berdiri setelah Referendum 1999, Red.). Pada 6 Agustus 2002 kami mengadakan perte-muan seluruh kordinator AKKOH dari 13 distrik. Dalam pertemuan ini saya dipilih se-bagai Kordinator Umum AKKOH berkedudukan di Dili. Karena itu saat ini saya bekerja di Dili dalam mengkoordinasi-kan hubungan keluarga korban dengan pemerintah.

Apa tujuan AKKOH?

Para keluarga korban yang ber-kumpul mendirikan asosiasi ini, menganggap bahwa aso-siasi perlu dibentuk untuk men-cari keadilan bagi para korban kekerasan. Kalau berbicara sen-diri-sendiri akan sulit menda-pat tanggapan. AKKOH beker-ja mencari dan mengumpulkan semua data tentang korban ke-jahatan kemanusiaan yang di-alami rakyat selama dan sete-lah referendum 30 Agustus

1999.

Apa yang dilakukan AKKOH untuk mendapatkan keadilan?

Kami berpendapat bahwa keadilan bagi para korban hanya bisa tercapai dengan terbentuknya sebuah pengadilan internasional untuk mengadili para pelaku keja-hatan terhadap umat manusia yang terjadi di Timor Lorosae. Hanya pengadilan internasional yang bisa memberikan keadilan kepada kami. Oleh karena itu kami meminta ke-pada sesama organisasi non-peme-rintah Timor Lorosae maupun di luar negeri untuk bersama-sama memperjuangkan terbentuknya pengadilan internasional. Kami juga meminta kepada pemerintah Timor Lorosae untuk mencari jalan agar pengadilan internasional bisa didirikan oleh PBB.

Presiden RDTL Xanana Gusmão di New York yang mengatakan bahwa pengadilan internasion-al bukan prioritas bagi rakyat Timor Lorosae. Apa tanggapan Anda?

Karena Presiden berbicara atas nama bangsa dan negara, menurut saya ucapan itu tidak benar. Apakah selama ini pemerintah sudah mem-perhatikan nasib para korban yang mengorbankan nyawa mereka demi bangsa ini? Selama ini luka hati mereka belum diobati. Bahkan tam-bah disakiti lagi oleh politik rekon-siliasi yang didengungkan oleh pe-merintah. Demi rekonsiliasi, milisi yang dulu membunuh dan mem-perkosa orang, saat ini ada yang sudah kembali tetapi dibiarkan be-gitu saja, tidak diadili. Para korban dan keluarga diam menahan rasa sakit hati. Ini semata-mata hanya karena menghargai rekonsiliasi. Para korban memerlukan pengadi-lan internasional supaya bisa men-dapatkan keadilan. Karena itu apa yang dikatakan oleh Presiden Xana-na itu saya tidak setuju. Para pela-ku yang dulu terlibat dalam keja-hatan saat ini ada yang sudah kem-bali. Tetapi mereka dibiarkan begi-tu saja. Kalau begibegi-tu terus maka rasa sakit hati tidak pernah akan ber-akhir. Selama rakyat merasakan sakit hati maka semua proses pembang-unan bangsa ini tidak berjalan den-gan baik. 

Asosiasi Keluarga Korban Orang Hilang menolak pendapat Presiden RDTL Xanana Gusmão tentang tidak perlunya pengadilan inter nasional.

(7)

JUSTIÇA

PENGADILAN AD HOC TERBUKTI TIDAK ADIL

S

ejak awal, kalangan organisasi hak asasi mau pun para korban kekerasan 1999 di Timor Leste meragukan Pengadilan Ad Hoc Hak Asasi Ma-nusia yang dibentuk pemerintah Indonesia bisa mem-berikan keadilan. Pasalnya, pengadilan Indonesia dikenal korup dan tidak kompeten, serta tidak in-dependen terhadap TNI. Putusan hukum terhadap Bupati Covalima Kolonel Herman Sediono dan Ko-mandan Koramil Suai Letnan Satu Sugito membukti-kan ketidakmampuannya. Terdakwa yang semuanya perwira militer itu diputus bebas.

“Kami tidak percaya pengadilan yang saat ini sedang berlangsung di Indonesia. Kami tahu sifat Indonesia selama 24 tahun. Pengadilan di Indone-sia hanya berpihak pada mereka yang berkuasa dan golongan yang kaya. Mereka yang mempunyai uang akan menang dan kita yang tidak punya uang akan kalah walaupun kita benar,” kata Eliza dos Santos, yang salah satu anggota keluarganya mati dalam pembantaian oleh milisi dan TNI di Gereja Liquiça. Pengadilan terhadap para pelaku kekerasan 1999 terkesan sebagai sandiwara. Bupati Covalima dan Komandan Koramil Suai dibebaskan karena penga-dilan menganggap mereka sudah melakukan tin-dakan yang diperlukan untuk menghentikan keke-rasan. Tuduhan yang diberikan dalam surat dakwa-an untuk mereka memdakwa-ang lemah. Mereka hdakwa-anya dituduh tidak melakukan tindakan yang diperlukan untuk menghentikan bentrokan antara dua kelompok (pro-otonomi dan pro-kemerdekaan). Padahal tin-dakan mereka jauh lebih besar daripada itu. Merekalah yang membentuk dan mengarahkan aksi-aksi kelompok bersenjata pro-otonomi yang dike-nal sebagai “milisi.”

Tentu saja ini mengecewakan keluarga korban yang meninggal dalam pembantaian di Gereja Suai. “Yang melakukan pembunuhan dan pembakaran rumah rakyat adalah milisi. Tetapi mereka melaku-kannya karena disuruh dan diberi uang oleh militer Indonesia. Jadi sebenarnya militer Indonesia yang mengadu domba antara kita, mereka yang mencip-takan permusuhan antara kita sesama orang Timor Lorosae,” kata Rosa, seorang ibu dari tiga anak, yang suaminya dibawa pergi oleh anggota milisi dan TNI setelah Referendum 1999 dan tidak kembali sampai sekarang. “Mereka harus bertanggungjawab atas se-mua kejadian kekerasan di Timor Lorosae, tidak hanya tragedi Suai,” katanya.

Karena para pelaku kekerasan adalah militer In-donesia, pengadilan Indonesia tidak akan bisa ber-sikap adil. ”Mengapa yang mengadili orang-orang yang bertanggungjawab atas pembantaian di Gereja Suai dan di tempat-tempat lain di Timor Lorosae adalah pengadilan yang di Jakarta itu?” kata Rosa dengan keheranan. “Pembunuh tidak akan bisa

menghukum dirinya sendiri,” tegasnya. Menurutnya, Karena para pelaku melakukan kekerasan yang berat itu di Timor Lorosae, maka untuk mengadili mereka harus dibentuk pengadilan internasional di Timor Lorosae. “Jika pengadilan internasional dilakukan di Timor Lorosae, menurutnya, korban dan keluar-ga mereka bisa memberi kesaksian,” lanjutnya.

Sementara itu, Domingas dos Santos, salah seo-rang yang pernah memberikan kesaksian pada Pen-gadilan Ad Hoc Hak Asasi Manusia di Jakarta me-nyatakan penyesalannya. “Saya pergi ke Jakarta untuk memberikan kesaksian mengenai kekerasan yang terjadi di Suai. Tetapi setelah kembali, kami mendengar berita di radio bahwa mereka [para ter-dakwa] tidak dikenai hukuman, malah dibebaskan. Saya sendiri tidak tahu apakah Pengadilan Ad Hoc itu memberikan keputusan yang adil sesuai kebe-naran atau hanya untuk melindungi pelaku,” kata-nya kesal.

Menurut Domingas dos Santos, sekarang setelah memberikan kesaksian di Jakarta, sebagai keluarga korban ia merasakan beban pikiran yang semakin bertambah. Sebab anggota-anggota milisi yang ia sebutkan namanya di Pengadilan Ad Hoc, ada yang sudah kembali ke Timor Lorosae. “Kami keluarga korban yang jadi saksi merasa takut dan tidak aman. Sebab mereka yang kami sebutkan namanya di pen-gadilan pada waktu itu, kemungkinan besar akan mencelakakan kami untuk menghilangkan bukti kesaksian dan mereka ini sekarang sudah ada di sini,” katanya dengan nada sedih.

Domingas dos Santos juga heran bahwa di Timor Lorosae sudah ada hukum, tetapi para anggota milisi yang terlibat kekerasan mesih belum diadili. “Me-reka sekarang berkeliaran, bahkan ada yang mem-permainkan kami,” katanya dengan sedih. Ia sangat berharap agar para pemimpin negeri ini segera me-negakkan hukum. “Kalau hukum dan keadilan tidak ditegakkan, di masa depan kekerasan dan pembu-nuhan akan terus berulang di Timor Lorosae. Ini akan terus menyuburkan budaya balas dendam,” katanya. Ia sangat mengkhawatirkan bahwa kalau tidak dilakukan pengadilan, akan ada orang yang mencari cara sendiri-sendiri untuk mendapatkan keadilan menurut pengertian mereka sendiri. “Ini akan menimbulkan masalah baru bagi pemerintah kita,” katanya.

Senada dengan itu, Rosa mengatakan bahwa pe-merintah Timor Lorosae berkewajiban menciptakan keadilan. “Kami akan terus menunggu sampai kapan hukum dan keadilan bisa ditegakkan,” katanya. Jika pemerintah belum menegakkan keadilan seperti sekarang ini, menurutnya, keluarga para korban akan melakukan tuntutan kepada pemerintah. 

(8)

PEMBERDAYAANRAKYAT

8 edisi 21 - Januari 2003

Augusto da Costa, Ketua Yayasan Raimaran. Foto: Rogério Soares/Direito.

UPAYA PETANI MEMAJUKAN DIRI

Membangun negeri yang baru merdeka ini tidak selamanya dibutuhkan sarjana yang bertaburan dengan gelar. Yang dibutuhkan adalah semangat ukun rasik aan dan kemampuan mewujudkannya dalam tindakan sehari-hari sesuai dengan keadaan dan kebutuhan rakyat.

H

al inilah yang dibuktikan oleh sejumlah petani di Maubara, Distrik Liquiça. Wilayah yang kering kekurang-an air ini produk utamkekurang-anya a-dalah jagung, padi, dan kopi. Para petani di sana yang sehari-hari hidup sederhana telah me-lakukan tindakan yang sangat patut dipuji. Sadar bahwa nege-ri yang kecil ini harus mengan-dalkan pertanian sebagai sum-ber kehidupan yang utama, me-reka menerapkan dan mengem-bangkan metode pertanian or-ganik. Yaitu pertanian yang ti-dak menggunakan bahan kimia untuk pupuk maupun pestisida, tetapi menggunakan bahan-ba-han dari alam. Metode pertani-an seperti inilah ypertani-ang sekarpertani-ang

ini banyak dikembangkan di negeri-negeri lain, termasuk ne-geri-negeri maju, karena selain tidak merusak lingkungan juga murah biayanya, serta membu-at petani mandiri tidak tergan-tung pada bahan-bahan dari luar negeri. Karena itu metode per-tanian ini sering juga disebut pertanian berkelanjutan, karena memungkinkan petani terus-menerus bertani dengan hasil yang bisa meningkatkan peng-hidupan mereka.

Organisasi petani bernama Ya-yasan Raimaran ini diketuai oleh

Augusto da Costa, seorang peta-ni yang tidak sempat mepeta-nikmati pendidikan formal. “Kegiatan kelompok kami prioritaskan pada kehidupan petani yang ter-tinggal,” kata Augusto kepada Jaime Soares dari Direito.

Yayasan Raimaran terdiri dari 17 kelompok petani. Dari 17 ke-lompok itu, 14 keke-lompok men-golah sawah (pertanian lahan basah) dan kebun (pertanian lahan kering), sedang tiga ke-lompok memelihara sapi perah. Untuk pertanian lahan basah mereka mengolah tanah di ka-wasan Sungai Loes. Loes ada-lah pusat produksi padi para petani yang tergabung dalam Yayasan Raimaran. Sekarang luas seluruh lahan mereka ada-lah 370 hektar. Jumada-lah hasil gabah pada musim panen tahun lalu adalah 5.550 ton. Jadi setiap hektar sa-wah rata-rata mempro-duksi 15 ton gabah. Suatu jumlah yang besar, apalagi jika kita ingat bahwa para pe-tani ini sama sekali ti-dak menggunakan bahan kimia.

Ini membuktikan bahwa kita tidak per-lu tergantung pada bahan masukan pertanian kimia pro-duksi pabrik-pabrik besar di luar negeri seperti pupuk kimia dan pestisida kimia. Para petani ang-gota kelompok-kelompok yang tergabung dalam Yayasan Rai-maran memberikan bukti bah-wa pertanian organik di Timor Lorosae bisa memberikan pro-duksi yang memuaskan, dan jelas tanpa merusak lingkungan. Kelompok yang memelihara sapi perah dua bertempat di Fatuvou dan satu di Maubara-Lisa. Awalnya masing-msaing kelompok mendapatkan dua ekor sapi, yang merupakan ban-tuan dari Pemerintah Hongkong.

Sekarang sapi yang mereka miliki jumlahnya lebih dari 15 ekor.

Kegiatan pertanian dan pemeliharaan sapi perah dike-lola secara saling mendukung oleh kelompok-kelompok petani ini. Misalnya sapi perah yang dipelihara tidak hanya mengha-silkan susu bagi kelompok pe-ternak, tetapi juga memberikan tahi yang dioleh untuk dijadikan pupuk organik bagi para petani yang menanam sayur-sayuran atau tanaman lainnya. Semen-tara makanan untuk ternak di-peroleh dari tanaman penahan seperti samtuku (alvezia) dan turi yang ditanam oleh para pe-tani yang mengolah kebun.

Para petani anggota kelompok juga patut dipuji karena kesa-daran lingkungan mereka sangat tinggi. Lahan pertanian di kawas-an Maubara, terutama untuk ke-bun, kebanyakan terletak di ta-nah-tanah miring di perbukitan. Dalam mengolah lahan miring di lereng ini mereka membuat petak bertingkat (terasering) un-tuk menjaga agar tidak unsur hara tidak terangkut oleh aliran air. Dengan cara ini, erosi juga bisa dicegah. Cara lain yang mereka lakukan untuk mence-gah erosi adalah dengan mena-nam tamena-naman pelindung seperti lamtoro, waru, dan turi. Tanaman pelindung ini berfungsi ganda, selain pencegah erosi juga sum-ber makanan bagi ternak.

Untuk mencegah erosi, Yaya-san Raimaran tidak hanya me-nerapkan sistem pengolahan ta-nah yang sesuai dengan kondi-si kemiringan tanah dan mene-rapkan terasering, tetapi juga mengadakan penghijauan kem-bali (reboisasi) wilayah atau hutan yang menjadi gundul akibat perbuatan manusia.

Untuk itu Yayasan Raimaran saat ini melakukan pembibitan sebanyak sekitar 50.000 bibit dari berbagai jenis pohon.

(9)

PEMBERDAYAANRAKYAT

Pembibiatan oleh anggota kelompok petani untuk penghijauan kembali. Foto: Yayasan Raimaran

hidupan kita,” kata Augusto. Yayasan yang sukses mengor-ganisir petani di Maubara itu se-cara resmi berdiri di Timor Lo-rosae khususnya Subdistrik Maubara, Distrik Liquisa sejak tanggal 10 Oktober 1998. Inisia-tif mendirikan yayasan itu bera-sal dari Augusto da Costa yang saat itu masih belum bisa mem-baca dan menulis.

Awalnya putra Bikinlau, Mau-bara yang dilahirkan pada 12 A-gustus 1968 itu mendirikan satu kelompok petani yang diberi nama Fo Liman Ba Malu (Mengulurkan Tangan Kepada Sesama) pada 1991 dengan ang-gota 12 orang. Dalam perkem-bangannya, pada 1992 mereka membentuk kelompok kredit kecil (Credit Union, CU) untuk membantu sesama petani di wi-layah itu. Pada saat itu, kelom-pok ini mendapat dukungan dari ETADEP, organisasi non-pe-merintah di Timor Lorosae yang bergiat di bidang peningkatan pendapatan kelompok masyara-kat miskin. Modal awal kelom-pok kredit ini besarnya menca-pai Rp 57.000.000 yang seluruh-nya berasal dari para anggota. Pada tahun yang sama, anggota Fo Liman ba Malu bertambah mencapai 375 orang.

Bertambahnya jumlah anggo-ta dan modal yang berpuanggo-tar membuat datangnya dukungan

dari CIDA, suatu badan bantu-an pembbantu-angunbantu-an dari Cbantu-anada. Pada 1998, kelompok Fo Liman ba Malu diubah menjadi Yaya-san Raimaran. Kegiatannya ber-tambah luas, mencakup perta-nian dan lingkungan hidup. Te-tapi kekerasan yang dilancarkan oleh milisi anti-kemerdekaan dan militer Indonesia untuk mencegah orang memilih kemer-dekaan membuat seluruh pera-latan Yayasan Raimaran habis di-bakar. Anggota-ang gota milisi Besi Merah Putih bahkan sem-pat merampok uang organisasi ini yang jumlahnya cukup be-sar pada saat itu.

Setelah merdeka, walaupun tidak memiliki peralatan dan modal, Augusto tidak kehilang-an inisiatif. Ia kembali mengor-ganisir sesama petani dan men-gaktifkan kembali Yayasan Rai-maran. Untuk memperlancar kegiatan, Yayasan Raimaran be-kerjasama dengan organisasi-or-ganisasi Timor Lorosae seperti CDEP dan Perkumpulan HAK. Mereka juga mendapatkan ban-tuan dari luar negeri seperti dari Oxfam Australia dan JICA (ba-dan bantuan pemerintah Je-pang). Tetapi dalam seluruh ke-giatannya, Yayasan Raimaran te-tap berpegang teguh pada prin-sip percaya pada kekuatan sen-diri. 

naman untuk penghijauan kem-bali itu merupakan tanaman produktif yang bisa meningkat-kan pendapatan petani, seperti nangka, kemiri, jati, trembesi, samtuku (alvezia), jeruk, mang-ga, lamtoro, gamal, kaliandra, dan kayu merah (ainaa).

Agar kegiatan tersebut behasil seperti yang diinginkan, para anggota kelompok melakukan persiapan dengan mengikuti pelatihan mengenai cara pena-naman kembali tanah yang gun-dul. Pelatihan ini diselenggara-kan bekerjasama dengan organ-isasi pertanian berkelanjutan Permaculture Timor Lorosae.

Keberhasilan Yayasan Raima-ran ini tak terlepas dari cara kerja mereka. Supaya kegiatan yang dilaksanakan mengenai sasaran, terlebih dahulu dilakukan iden-tifikasi tentang kesulitan-kesulit-an ykesulitan-kesulit-ang dihadapi oleh petkesulitan-kesulit-ani. “Kami harus melihat kesulitan yang dihadapi petani mulai dari teknik bertani sampai pada pe-masaran hasil,” kata Augusto.

Pendidikan juga unsur kunci dalam kegiatan Yayasan Raima-ran. Selain latihan-latihan men-genai metode pertanian dalam kerangka pertanian berkelanjut-an, kegiatan yang dilakukan adalah alfabetização (pembe-rantasan buta huruf). “Bisa membaca dan menulis itu sangat

(10)

TEROPONGKEBIJAKAN

10 edisi 21 - Januari 2003

Micro Finance: Programnya ADB. Foto: Rogério Soares

Timor Lorosae harus melihat kembali keanggotaan-nya dalam Bank Dunia dan IMF. Jangan sampai menjebak kita dalam ketergantungan ekonomi

mau-pun politik.

Peran Lembaga Keuangan

Internasional Di Timor Lorosae

L

embaga Keuangan Interna sional (LKI) yang terdiri dari Bank Dunia, Dana Mone-ter InMone-ternasionl (IMF) dan Bank Pembangunan Asia (ADB) mem-berikan pinjaman kepada nega-ra-negara yang menjadi anggo-tanya untuk program pemba-ngunan infrastruktur dan pem-berantasan kemiskinan, perba-ikan ekonomi serta moneter.

Belakangan semakin banyak kritik terhadap LKI. Lembaga ini dinilai bukannya membantu memperbaiki perekonomian su-atu negara, malah memperpa-rah dan lebih menguntungkan pihaknya sendiri. Seperti di In-donesia, ketika IMF menganjur-kan swastanisasi perusahan-per-usahaan negara serta pengu-rangan subsidi pemerintah atas pelayanan publik, ekonomi rak-yat bukannya membaik, malah semakin parah. Pengalaman

se-macam ini terjadi di semua ne-gara berkembang yang menjadi anggota IMF dan Bank Dunia.

Untuk mencegah pengala-man tersebut terulang di Timor Leste, dan membuka wawasan masyarakat umumnya tentang LKI, Kelompok Kajian Lembaga Keuangan Internasional (yang dibentuk oleh Kdadalak Sulimu-tuk Institute, La’o HamuSulimu-tuk, Instituto Sahe, dan Yayasan HAK) pada 7 Oktober lalu me-nyelenggarakan seminar untuk mengkaji keanggotaan Timor Leste dalam LKI. Dalam semi-nar itu, Perwakilan Bank Dunia untuk Timor Leste, Elizabeth Huybens, selalu menganjurkan kepada para peserta yang ber-tanya tentang program apa saja yang dilakukan oleh Bank Dunia di Timor Leste, supaya bertanya kepada pemerintah. Bank Dunia, katanya, hanya bisa memberi bantuan dana. Hal itu mengisyaratkan bah-wa yang bertanggungjabah-wab atas program Bank Dunia di Timor Leste adalah peme-rintah.

Dengan panjang lebar Huybens menguraikan ke-baikan program-program Bank Dunia. Ketika pembi-cara lain dalam seminar ini mengungkapkan akibat bu-ruk Bank Dunia, ia seperti tidak mau mendengarkan. Wakil IMF di Timor Leste dalam seminar ini juga ber-sikap sama dengan wakil Bank Dunia.

Bank Pembangunan Asia (Asian Development Bank, A D B ) a d a l a h s e m a c a m Bank Dunia khusus untuk kawasan Asia. Lembaga ini memberikan dua jalur pin-jaman. Pertama, jalur Ordi-n a r y C a p i t a l R e s o u r c e s (Sumberdaya Modal Biasa). Kedua, Asian Development

Fund (ADF, Dana Pembangun-an Asia) yPembangun-ang merupakPembangun-an pin-jaman lunak. Saat ini Timor Leste sudah mendapatkan ADF, karena dikategorikan sebagai ne-gara dengan tingkat penghasil-an terendah.

Terdapat kekhawatiran dari sementara peserta seminar bah-wa ADB dan institusi lainnya ha-nya mengunakan kesempatan itu untuk kepentingan negara-negara besar dan perusahaan-perusahaan transnasional. Ban-tuan yang ditawarkan selintas sepertinya baik, tetapi sebenar-nya adalah perangkap. Misalsebenar-nya seperti yang dikatakan oleh Dr. Tim Anderson dari Aid Watch (Australia). Di Filipina ADB memberikan bantuan untuk pro-gram air minum, yang dalam jangka waktu tertentu perusa-haan air minum harus diswas-takan. Alasannya, swasta akan bisa menyediakan air minum dengan efisien dan harga yang lebih murah. Tetapi setelah pro-gram berjalan, harga air minum tidak terjangkau oleh rakyat miskin di sana.

Tim Anderson, yang selama ini melakukan penelitian terha-dap program-program ADB, juga menyoroti dana yang di-kelola oleh ADB di Timor Leste semasa transisi. Menurutnya, untuk setiap proyek, ADB men-g u s u l ka n p e m b ayara n U S D 600,000 dari Trust Fund untuk empat orang konsultan interna-sional dalam jangka waktu 48 bulan. Ini berarti pembayaran USD 150.000 per tahun. Ini jelas merupakan pemborosan yang tidak seharusnya terjadi.

Padahal, selama ADB mela-kukan kegiatan di Timor Leste, tidak ada perbaikan berarti da-lam kehidupan masyarakat. “Dana bantuan yang diberikan selama masa transisi lebih ba-nyak kembali ke luar negeri, me-lalui konsultan-konsultan yang d i d a ta n g ka n d a r i l u a r o l e h ADB,” kata Anderson.

Karena itu sangat keliru ka-lau pemerintah menaruh harap-an penuh kepada LKI. Pada dasarnya LKI adalah lembaga pencari keuntungan, yang tu-juan utamanya adalah mengum-pulkan keuntungan untuk diri mereka sendiri! 

(11)

TEROPONGKEBIJAKAN

Mencari Cara Penyelesaian Masalah Tanah

Lahan sawah yang harus jelas kepemilikannya. Foto: R. Soares

Pemerintah Portugis dan Indonesia meninggalkan persoalan tanah dan harta benda yang harus segera dicarikan jalan keluar nya.

B

anyaknya persoalan tanah dan perumahan yang seka rang muncul di negeri kita, menjadi beban berat bagi peme-rintah. Persoalan ini sangat sulit di-selesaikan karena merupakan per-soalan yang tertumpuk secara dari zaman kolonialisme Portugis dan pendudukan Indonesia dan diperumit oleh pembumihangus-an 1999.

Untuk mencari solusi, Yayasan HAK bersama Kadalak Sulimutuk Institute (KSI), mengorganisir satu diskusi publik tentang tanah dan harta benda di Knua Buka Hatene, Dili, 5 Oktober lalu. Diskusi ter-sebut melibatkan semua kalangan baik dari masyarakat, pemuda, parlemen dan pemerintah. Tuju-an diskusi adalah melibatkTuju-an ma-syarakat dalam mencari alternatif penyelesaian masalah tanah dan harta benda. Dari diskusi diharap-kan muncul usulan-usulan tentang mekanisme penyelesaian yang tepat untuk dijadikan kebijakan nasional.

Dalam diskusi ini, Direktur Pertanahan dan Harta Benda (Land and Property) Pedro de Sousa menguraikan sejarah persoalan tanah di Timor Lorosae. Menurut-nya, persoalan tanah begitu kom-pleks sehingga diperlukan identi-fikasi yang teliti sebelum bisa ditentukan metode penyelesaian dan dibuat peraturan mengenai-nya. Selain itu, perlu diselengga-rakan dialog yang intensif dengan berbagai pihak.

Hal senada diungkapkan oleh Jose da Costa, Hakim Pengadilan Negeri Dili. Ia mengemukakan bahwa pengadilan mengalami ke-sulitan dalam menyelesaikan ka-sus-kasus sengketa tanah. Ini di-sebabkan belum adanya undang-undang yang mengaturnya. Seka-rang ini, bedasarkan regulasi UN-TAET, masih diberlakukan hukum Indonesia, yaitu Undang-Undang Pokok Agraria. “Undang-undang ini sebenarnya tidak cocok untuk menyelesaikan persoalan

pertanahan kita,” katanya.

Sementara Anggota Parlemen Nasional Manuel Tilman (dari par-tai KOTA) mengungkapkan bah-wa pemerintah sudah mengajukan kepada Parlemen rancangan per-aturan mengenai harta kekayaan yang tidak bergerak. “Peraturan itu akan segera disahkan untuk men-gatur harta dan kekayaan kita. Te-tapi tidak tertutup kemungkinan akan dibuat amandemen apabila ada kekurangan,” katanya.

Dalam diskusi yang sama, Ketua Dewan Solidaritas Mahasiswa Ti-mor Lorosae Natalino de Jesus mengungkapkan perlunya tanah-tanah yang kosong dan bebas su-paya diserahkan kepada pemerin-tah, agar pemerintah bisa menga-turnya untuk kepentingan umum. “Tetapi dalam melakukan ini, pe-merintah harus melibatkan masya-rakat,” ujarnya.

Para peserta diskusi banyak mengungkapkan persoalan tanah. Misalnya, ada tanah yang sudah dijual oleh pemiliknya pada za-man pendudukan Indonesia, oleh pemilik kedua tanah ini dijual lagi kepada orang lain. Sekarang pemilik pertama mengaku bahwa tanah tersebut masih miliknya

ka-rena dulu tanah tersebut hanya dipinjamkan. Ada tanah yang me-miliki dua sertifikat yang berasal dari dua zaman yang berbeda. Sertifikat pertama dari pemerintah Portugis, yang kedua dari peme-rintah Indonesia. Dua sertifikat itu dimiliki oleh orang yang berbeda sehingga sekarang timbul sengke-ta. Persoalan lain adalah adanya orang-orang yang menempati tanah dan bangunan milik orang lain yang terjadi setelah pembu-mihangusan 1999. Di antara me-reka ada yang menguasai lebih dari satu rumah dan disewakan kepada orang lain.

Umumnya para peserta menya-takan perlunya pemerintah melibatkan masyarakat dalam pembahasan rancangan peraturan pertanahan. “Sebaiknya Parlemen Nasional menciptakan satu meka-nisme dengar pendapat, sebelum menetapkan peraturan yang me-nyangkut persoalan publik,” kara Rui Viana dari Yayasan HAK. “Par-lemen dan Pemerintah bisa mem-bentuk satu kelompok kerja di luar Parlemen untuk mendiskusikan pe-nyelesaian masalah bersama rak-yat,” katanya. 

(12)

edisi 21 - Januari 2003 12 Proses penahanan dan

pemen-jaraan adalah salah satu tugas bagi penegakan hukum. Untuk menjalankan tugas ini, secara konstitusional negara memberi-kan kewenangan untuk melaku-kan penahanan terhadap sese-orang yang diduga melakukan tindak pidana dan dapat me-menjarakan jika pengadilan te-lah membuktikan kesate-lahannya, tentu saja dengan tetap meng-hormati hak asasi manusia. Un-tuk menjamin penghormatan pada hak asasi manusia terse-but, pada bulan Juli dan Sep-tember 2002 Yayasan HAK me-lakukan pemantauan proses pe-nahanan yang dilakukan oleh pemerintah Republik Demokrat Timor Leste (RDTL) pada tahan-an di penjara Gleno.

Dari pemantauan tersebut, kami menemukan terjadinya tin-dakan pelanggaran terhadap prosedur penahanan para tahan-an (terstahan-angka pelaku tindak pi-dana). Pelanggaran prosedur berupa penahahan yang mele-bihi batas waktu yang ditentu-kan. Ini merupakan akibat dari proses persidangan yang berlarut-larut.

Di penjara Gleno terdapat 21

Penegak Hukum Melanggar Prosedur Penahanan

orang narapidana dan 51 orang tahanan. Jadi jumlah orang yang dikurung di penjara Gleno ada-lah 72 orang. Dari para tahan-an, 32 orang telah menjalani ta-hanan lebih dari empat bulan, bahkan ada yang telah ditahan selama lebih dari satu tahun tan-pa diajukan ke pengadilan. Ini melanggar peraturan hukum (Regulasi No. 25/2000). Menurut ketentuan ini, polisi bisa mena-han seorang tersangka untuk waktu paling lama 72 jam. Sete-lah kasusnya disampaikan ke-pada pengadilan untuk dilaku-kan sidang pendahulun (hear-ing), penahanan yang bersang-kutan bisa diperpanjang selama satu bulan dan ini bisa diperpan-jang lagi sampai lima kali, jika diperlukan untuk menyelesaikan investigasi kasusnya. Sehingga maksimum seseorang hanya bisa ditahan selama enam bulan. Dalam waktu itu, pokok perka-ranya harus sudah disidangkan oleh pengadilan. Jika tidak, pengacara orang yang ditahan berhak mengajukan pembebas-an bersyarat.

Penahanan yang melebihi ba-tas waktu tersebut dilakukan tan-pa melalui prosedur hukum yang

sah. Juga tidak ada kejelasan sama sekali tentang kapan si-dang pengadilan akan dilaku-kan. Dengan demikian banyak orang berada dalam tahanan tan-pa suatu ketan-pastian hukum.

Pelaku pelanggaran tersebut adalah aparat penegak hukum negara RDTL seperti polisi, jaksa, hakim, dan pengacara publik. Mereka bisa dikatakan telah me-lakukan “kelalaian dan penyim-pangan yang serius” dalam men-jalankan tugas penegakan hu-kum. Karena mereka adalah aparat negara, maka pemerintah bertanggungjawab atas pelang-garan tersebut.

Kondisi para tahanan tersebut bertentangan dengan Konstitusi RDTL yang dalam pasal 1 me-nyebutkan bahwa negara ini di-dasarkan antara lain pada ke-hormatan martabat manusia. Dari sudut hak asasi manusia, telah terjadi pelanggaran hak tahanan atas persidangan yang efektif, untuk diperiksa atau diproses tanpa penundaan yang tidak perlu, serta hak untuk di-anggap tidak bersalah sampai adanya keputusan pengadilan yang tetap. 

Para tahanan di penjara Becora, Dili. Foto: Rogério Soares/Direito.

Aniceto Guró Berteni Neves

(13)

Demostrasi salah satu kelompok politik di Dili. Foto: R. Soares

INSTRUMENHAM

Kovenan Inter nasional Hak Sipil dan Politik yang merupakan turunan Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia yang menjamin hak sipil dan politik telah

diratifikasi oleh pemerintah RDTL.

KONENAN HAK SIPIL DAN POLITIK

D

eklarasi Universal Hak Asasi Manusia (DUHAM) adalah hukum internasi-onal tertinggi yang mengandung nilai-nilai hak asasi universal. Salah satu turunan yang tertua adalah Kovenan Internasional Hak Sipil dan Politik yang dise-pakati dunia internasional pada 1966. Konvenan ini ditetapkan sebagai hukum kebiasaan inter-nasional yang mengatur hubung-an hubung-antara individu dhubung-an negara, dalam hal ini menjamin hak individu dan menetapkan kewa-jiban negara.

Nilai dasar yang dikandung Kovenen ini sebagai berikut.

1. Hak untuk menentukan nasib sendiri, artinya hak untuk hidup dan berkembang sesuai dengan kemampuan sumber daya yang dikuasai, dimiliki dan digunakan sesuai dengan kei-nginan sendiri, tidak tergantung pada orang lain, pemerintah atau donor. Prinsip tercantum dalam pasal 1 Kovenan ini.

2. Persamaan dan non-diskriminasi, ini menekankan pada hakekat manusia sebagai makhluk ciptaan yang berkua-sa. Semua orang yang dilahirkan di muka bumi ini sama kedu-dukan, harkat, dan martabatnya. Untuk itu tidak boleh dilakukan pembedaan antara individu yang satu dengan yang lain. Prinsip ini menentang segala bentuk perbedaan dan diskrimi-nasi berdasarkan ras, warna kulit, kekayaan, agama, umur, asal-usul daerah atau kebangsa-an, jenis kelamin, keyakinan dan pandangan politik. Berda-sarkan prinsip ini, perbudakan dalam bentuk apapun tidak di-perbolehkan. Nilai-nilai ini ter-cantum dalam pasal 3, 4, dan 8. (3) Hak hidup, ini adalah hal yang paling mendasar dalam kehidupan manusia. Berdasar-kan nilai ini, tidak boleh ada pembatasan hidup seseorang oleh siapa pun, dilarang

mem-bunuh dan usaha-usaha lain un-tuk menghilangkan nyawa atau membatasi kehidupan seseo-rang. Termasuk dilarang adalah hukuman mati. Hak hidup ter-cantum dalam pasal 6.

4. Kebebasan, ini juga meru-pakan hak yang paling menda-sar bagi kehidupan manusia. Setiap orang dilahirkan harus hidup dan berkembang secara bebas. Mereka harus memiliki kebebasan dasar untuk berkum-pul dengan orang lain, berorgan-isasi dan menyatakan pendapat. Pasal mengenai hal ini adalah pasal 10, 12, 17, 18, 19, 21, dan 22. Termasuk dalam kebebasan ini adalah hak untuk memben-tuk keluarga dan perlindungan pada lembaga keluarga, serta ke-bebasan untuk menikah. Ini se-suai dengan pasal 23.

5. Keadilan, prinsip ini sangat penting terutama dalam kerang-ka kewajiban untuk menjamin penegakan hak asasi manusia. Semua orang mempunyai hak dan kewajiban yang sama. Ne-gara harus menjamin hak setiap orang atas keadilan, baik kea-dilan dalam arti sosial, politik maupun hukum. Prinsip ini

me-nempatkan hukum dalam kedu-dukan yang tertinggi dalam ne-gara. Prinsip keadilan tercantum dalam pasal 7, 9, 11, 14, dan 15. Di samping prinsip-prinsip ter-sebut, ditegaskan mengenai pen-tingnya penghormatan dan pengakuan pada keberadaan dan hak kelompok-kelompok yang khusus dalam masyarakat seperti anak, etnik/ras, agama, bahasa. Kelompok-kelompok ini memiliki hak untuk dilin-dungi oleh negara karena posi-sinya yang rentan dalam masya-rakat.

Kovenan Hak Sipil dan Poli-tik ini telah diratifikasi oleh Re-publik Demokrat Timor Leste (RDTL) pada Hari Hak Asasi Manusia, 10 Desember 2002. Dengan ratifikasi tersebut, berarti kovenan ini menjadi instrumen hukum nasional yang menjamin hak asasi manusia, khususnya hak sipil dan politik. Harapan kita, pemerintah tidak hanya se-cara resmi meratifikasinya, teta-pi harus menjalankannya dalam tindakan. 

Aniceto Guró Berteni Neves

(Kepala Divisi Pencari Fakta & Dokumentasi Perkumpulan HAK)

(14)

GUGAT

edisi 21 - Januari 2003 14

Anak-anak mengerumuni wartawan. Foto: Atoi Gonçalves

HAK ANAK MENURUT ATURAN

INTERNASIONAL

Hak anak bagi Timor Lorosae adalah sesuatu yang baru diper masalahkan dalam masyarakat. Tetapi secara inter nasional sudah ada ketentuan yang melindungi hak anak.

S

ebelum menguraikan hak anak, perlu dijelaskan siapa yang digolongkan sebagait anak. Dalam pandangan masya-rakat Timor Lorosae, anak ada-lah manusia yang karena belum mandiri sehingga masih tergan-tung pada bantuan dan perto-longan orangtua. Mereka ini bi-asanya digolongkan lagi menja-di anak usia menja-di bawah lima ta-hun (Balita) dan anak umur Se-kolah Dasar (6-12 tahun), dan anak umur Sekolah Menengah (12-18 tahun). Di dalam pasal 1 Konvensi Internasional tentang Hak Anak, yang disebut anak adalah setiap manusia yang berusia di bawah 18 tahun, ke-cuali jika undang-undang dalam negeri yang berlaku menentukan bahwa usia dewasa lebih ren-dah dari ini.

Selanjutnya Konvensi ini nyatakan bahwa anak

me-merlukan perlindungan khusus. Inilah inti dari Konvensi ini. Di-sebutkan bahwa, “anak karena ketidakmatangannya dalam hal jasmani dan mental, memerlu-kan pengamanan dan pemeliha-raan khusus termasuk perlin-dungan hukum yang layak se-belum dan sesudah kelahiran-nya.”

Bagi masyarakat Timor Loro-sae agaknya hak anak merupa-kan sesuatu yang baru diperma-salahkan di dalam masyarakat, terutama setelah adanya pendi-dikan hak asasi yang dilakukan organisasi-organisasi non-peme-rintah baik melalui lokakarya, maupun kampanye informasi melalui media massa. Pendidik-an tentPendidik-ang hak asasi Pendidik-anak da-lam masyarakat Timor Lorosae sesungguhnya adalah sebuah proses yang penting bagi per-kembangan anak khususnya dan perkembangan bangsa pada umumnya.

Perlindungan hak anak demi perkembangan anak itu sendiri adalah sesuatu yang universal. Negara RDTL yang didirikan untuk mensejahterakan rakyat itu, berkewajiban untuk menja-min pengakuan dan peng-hormatan yang efektif da-lam proses nation building (pengembangan bangsa). Konstitusi RDTL pasal 18 menjamin kondisi bagi per-lindungan secara isitimewa kepada anak, baik anak hasil perkawinan sah mau-pun anak di luar perkawin-an. Perlindungan ini bertu-juan menghindarkan anak dari bahaya keterlantaran, diskriminasi, kekerasan, pe-nindasan, eksploitasi seksu-al dan ekonomi.

Menurut Konvensi ini, pemerintah berkewajiban untuk menjamin

perlindung-an bagi perkembperlindung-angperlindung-an perlindung-anak dengan mengambil langkah-langkah hukum yang mengakui aturan internasional dalam kon-stitusi dan undang-undang nasi-onal.

Hak anak yang harus dilin-dungi itu mencakup golongan hak:

1. Sipil politik, antara lain: (a) hak untuk memperoleh dan mempertahankan identitas diri, (b) hak untuk bebas berekspre-si, (c) hak untuk bebas berpikir, beragama dan berhati-nurani, (d) hak untuk bebas berserikat, (e) hak untuk mendapatkan perlindungan dalam kehidupan pribadi, (f) hak untuk memper-oleh informasi secara layak, (g) hak untuk memperoleh perli-ndungan dari penganiayaan dan perenggutan atas kebebasan.

2. Sosial, ekonomi dan buda-ya, mencakup: (a) lingkungan keluarga, yaitu anak-anak harus dapat berkembang dalam ling-kungan keluarganya secara ber-tanggungjawab, (b) pengasuhan alternatif, anak-anak yang tidak mendapat perlindungan dalam keluarga, berhak mendapat ke-luarga baru atau lembaga asuh pengganti agar anak dapat ber-kembang sebagaimana layak-nya, (c) kesehatan, setiap anak berhak untuk mendapatkan pe-layanan kesehatan, (d) kesejah-teraan dasar, yaitu setiap anak memiliki hak untuk mempero-leh kehidupan yang layak seca-ra fisik, mental, spiritual, dan sosial, (e) pendidikan, setiap anak memiliki hak untuk meng-ikuti pendidikan baik formal maupun non-formal termasuk pelatihan dan pendisikan dasar harus diberikan secara cuma-cuma, (f) waktu luang, setiap anak harus diberi kebebasan meluangkan waktu untuk rek-reasi, (g) kegiatan budaya, yak-ni setiap anak harus diberi ke-bebasan untuk menikmati dan mengikuti kegiatan yang meng-arah pada pegembangan kebu-dayaan.

Jaminan perlindungan bagi anak-anak ini penting bagi ke-majuan bangsa Timor Lorosae dan masa depannya. Karena itu pemerintah harus segera meratifikasi Konvensi ini dan menjalankan isinya. 

INSTRUMENHAM

(15)

GUGAT

Para petani sedang belaijar membuat pestisida organik. Foto: R. Soares

MASIH RELEVANKAH PROGRAM

ALFABETIZAÇÃO

?

Pada 1974-1975 gerakan pembebasan nasional Timor Leste telah melancarkan program pembebasan rakyat dengan kegiatan seperti pendidikan, kesehatan, dan kebudayaan. Program yang mendapat dukungan rakyat ini, sekarang berusaha diteruskan oleh Grupo Naroman di Bucoli, Baucau.

S

ejak awalnya, gerakan pem bebasan nasional FRETILIN sudah melancarkan program-program konkret untuk memaju-kan rakyat Timor Leste. Program-program yang dilakukan pada waktu itu (1974-1975) meliputi pengajaran membaca dan menu-lis (alfabetização), pengorganisa-sian koperasi pertanian, kesehat-an popular dengkesehat-an obat tumbuh-tumbuhan, pengembangan kebu-dayaan, dan sebagainya.

Dalam program-program terse-but para pemimpin FRETILIN ti-dak hanya berbicara mengenai pembebasan rakyat, tetapi mene-rapkannya dengan menggabung-kan diri bersama rakyat. Mereka sehari-hari bekerja bersama rak-yat berusaha mengembangkan sis-tem kehidupan yang memungkin-kan rakyat seluruhnya hidup se-jahtera, bebas dari segala bentuk penindasan, penghisapan, kebo-dohan, dan penyakit. Program yang dimulai oleh Sahe di Bucoli dan Nicolau Lobato di Bazar-Tete ini kemudian berusaha dijadikan program nasional.

Silverio da Silva, seorang pen-duduk Bucoli yang pada masa 1974-1975 aktif dalam program tersebut mengatakan bahwa me-reka tidak lama melancarkan pro-gram tersebut karena invasi tentara Indonesia. “Program yang paling utama adalah alfabetização dan pengembangan ekonomi. Pada saat itu ada semangat bahwa hanya dengan ilmu pengetahuan kita bisa bikin sesuatu, dan ini harus didukung oleh ekonomi yang seimbang sehingga semua rakyat aktif,” katanya.

Hal yang sama dikemukakan oleh Francisco Martins alias Teki-Liras di Aileu. “Program kerja itu bukan dibuat setelah merdeka, program kerja sudah disusun se-jak berdirinya FRETILIN,” katanya. Menurutnya, dalam keadaan yang

sangat sulit FRETILIN sudah mem-buka sekolah dengan program al-fabetização, pertanian, dan kese-hatan. “Semua pemuda FRETILIN mengorganisir rakyat di tiap aldeia. Mereka mengajar dan be-kerja bersama rakyat,” kenangnya. Teki-Liras juga heran mengapa sekarang tidak ada program seperti dulu. “Saya tidak tahu, mungkin karena tidak ada anggaran. Tetapi FRETILIN yang sekarang memim-pin pemerintahan ini harus men-ciptakan suatu kondisi agar rakyat kembali melakukan program yang dulu diajarkan dan diperjuangkan FRETILIN,” katanya berharap.

Harapan seperti itu sangat wajar, karena rakyat sangat merasakan manfaat dari kegiatan yang meng-andalkan pada kekuatan sendiri tersebut. Para pemuda yang ber-sekolah mengajarkan pengeta-huannya kepada rakyat. Tetapi mereka sekaligus belajar dari rak-yat pengetahuan yang tidak me-reka miliki seperti tentang kebu-dayaan dan cara pengobatan tra-disional. “Yang mengajar tidak ha-nya yang tahu baca-tulis. Orang

buta huruf yang punya keahlian bertukang kayu (laki-laki), mene-nun tais (perempuan) juga mengajar,” kata Silverio.

Camarada Silverio tidak hanya mengenang pengalaman masa lalunya. Setelah penguasa pendu-dukan keluar, ia bersama rekan-rekan sedesanya membentuk Grupo Naroman, untuk menerus-kan program pembebasan rakyat yang dulu terhenti karena invasi.

Program ini tidak semata-mata memberantas buta huruf, tetapi rakyat saling membagi pengala-man, dan bekerja bersama untuk memajukan kehidupan. Rakyat yang menentukan waktu, kapan har us bekerja dan kapan belajar. “Jadi kegiatan program itu betul-betul milik rakyat, rakyat yang me-rencanakan dan melaksanakan,” kata Silverio. Baginya, alfabetiza-ção masih relevan diterapkan se-karang. Benar, prog ram seperti inilah yang hingga sekarang terus dikembangkan di banyak negara berkembang untuk membebaskan rakyat dari segala bentuk kebo-dohan.  Rogério Soares

(16)

serba-serbi

AMI LIAN

PENERBIT: Perkumpulan HAK | PENGELOLA : José Luís de Oliveira, Rui Viana, Rogério Soares, Jaime Soares, Nug Katjasungkana, Oscar da Silva, F.X. Sumaryono | ALAMAT REDAKSI: Rua Governador C.M. Serpa Rosa T-091, Farol, Dili, Timor Lorosae. Tel.: +670.390.313323 Fax: +670.390.313324 E-mail: direito@yayasanhak.minihub.org

Yayasan HAK Menjadi Perkumpulan HAK

TERBITAN INI DIDUKUNG OLEH:

Kalau Pengadilan Internasional Bukan Prioritas

B

eberapa kali Presiden RDTL Xana na Gusmão mengatakan bahwa pengadilan internasional bukan prioritas bagi Timor Lorosae, karena banyak masalah lain yang menurutnya lebih mendesak. Pendapat ini berbe-da dengan yang umumnya berkem-bang dalam masyarakat.

Martinho Soares (25 tahun), seorang warga Suku Nazare Aldeia Rainain, memandang bahwa pendapat Presi-den tersebut hanya mementingkan mereka yang tidak pernah merasakan kehilangan anggota keluarga. ”Me-mang pendidikan dan kesehatan itu penting bagi masyarakat. Tetapi bila keadilan tidak ada bagi para pelaku ke-jahatan maka saya kira para korban ti-dak akan tinggal diam,“ katanya kepa-da Jaime Soares kepa-dari Direito. ”Seba-gai rakyat biasa yang tidak tahu soal politik, saya ingin supaya didirikan

su-bebas oleh pengadilan tersebut. ”Memang itu adalah pendapat tokoh karismatik, tetapi apakah dengan tidak adanya pengadilan internasional itu bisa menjamin pihak korban untuk melupakan masa lalu?“ kata Joanico Amaral (27 tahun) warga Surik Mas, Dili kepada Jaime Soares dari Direito. Ia sendiri mengaku bahwa sebagai rakyat kecil sulit sekali untuk melupakan para pelaku kekerasan 1999. ”Apalagi yang kehilangan sanak keluarga sampai se-karang belum diketahui di mana kubur-annya. Bagaimana mungkin mereka bisa melupakan masa lalu begitu saja?“ katanya. Menurutnya, orang bisa saja bilang ”mari kita melupakan masa lalu dan menatap ke depan,“ tetapi dalam kehidupan sehari-hari tidak demikian. Oleh karena itu harus didirikan sebuah pengadilan yang bisa menghukum para pelaku kekerasan 1999. 

atu pengadilan yang bisa mengadili para pelaku pelanggaran hak asasi manusia 1999 dengan adil.“ Menu-rutnya pengadilan internasional di-perlukan karena pengadilan yang di Jakarta sama sekali tidak memberi-kan hukuman yang adil bagi para pelaku kekerasan 1999. Ia menilai bahwa hukuman tiga tahun untuk eks-Gubernur Timor Timur Abílio Osório Soares, jelas-jelas menunjuk-kan ketidakadilan pengadilan terse-but. Demikian pula hukuman untuk eks-Wakil Panglima Pasukan Pejuang Integrasi Eurico Guterres. Baginya, pengadilan ini berjalan sangat lamban dalam mengadili para pela-ku. Itu pun hanya untuk orang-orang sipil sedangkan pelaku utama dari militer indonesia tidak ada yang di-adili. Ada beberapa orang lapangan seperti Danramil Suai, tetapi divonis

P

ada 22 November 2002 lalu, Yayasan HAK (Hukum, Hak Asasi & Keadilan) resmi berubah menjadi Perkum-pulan HAK. Perubahan ini me-rupakan bagian dari proses de-mokratisasi yang telah ditetap-kan sejak awal pembentuditetap-kan Yayasan HAK. Dengan perubah-an ini, badperubah-an tertinggi pengam-bilan keputusan di dalam organ-isasi bukan lagi Dewan Penyan-tun dan Badan Pendiri, tetapi Rapat Umum Anggota. Jika dulu dalam Yayasan HAK kekuasa-an berada di tkekuasa-angkekuasa-an sejumlah kecil orang, sekarang kekuasa-an terletak pada seluruh kekuasa- anggo-ta. Misalnya, dulu wewenang un-tuk mengangkat Direktur bera-da pabera-da dua babera-dan tersebut, se-karang wewenang itu ada pada Rapat Umum Anggota.

Pada Rapat Umum Anggota (RUA) pertama disahkan anggo-ta peranggo-tama organisasi ini, yang

berjumlah 120 orang. Anggota-nya tidak terbatas pada orang Timor Lorosae saja, karena or-ganisasi ini tidak menjadikan ke-warganegaraan sebagai salah satu syaratnya. Sejumlah orang dari Indonesia dan Amerika Se-rikat, yang sebelumnya telah bekerjasama dengan Yayasan HAK menjadi anggota perkum-pulan ini. Sejumlah orang terke-muka seperti Ma’hunu, mantan Wakil Menteri Luar Negeri (Ka-binet Transisi II) Fernando Araújo, dan Penasehat Perdana Menteri Urusan Promosi Kesetaraan Ma-ria Domingas Fernandes menja-di anggota perkumpulan ini.

RUA yang dipimpin oleh Pendeta Francisco Vasconcelos dan Florence Martin ini memilih José Luís de Oliveira (Direktur Sementara Yayasan HAK) men-jadi Direktur Eksekutif dan Silverio Pinto Baptista menjadi Wakil Direktur. Mereka berwe-nang membentuk Badan Ekse-kutif (BE) yang bertugas men-jalankan kegiatan sehari-hari

or-ganisasi. Dalam menjalankan tu-gasnya, pengurus didampingi oleh satu Majelis Perwakilan Anggota (MPA), yang memiliki wewenang mengesahkan pro-gram kerja. Setiap bulan MPA mengadakan rapat bersama BE untuk mengetahui perkembang-an kegiatperkembang-an orgperkembang-anisasi.

Dalam RUA ini ditetapkan tu-juh orang anggota MPA, yaitu Pendeta Francisco Vasconcelos, Jacinta Correia (Hakim pada Pengadilan Tinggi), Aniceto Gu-terres Lopes (Ketua Komisi Pe-nerimaan, Kebenaran, dan Re-konsiliasi) John Campbell-Nelson, Abdullah Hadi Sagran (Sekjen Centro de Comunidade Islamica de Timor Leste), Adal-giza Magno (anggota Parlemen), Remezia de Sousa (Jaksa), Pen-deta Arlindo Marçal (sekarang Duta Besar Timor Leste untuk In-donesia), dan Kerry Brogan (mantan aktivis Amnesty Inter-national sekarang bekerja pada Unit Hak Asasi Manusia UNMI-SET). 

Referensi

Dokumen terkait

Untuk pengoperasian alat, pada bagian listrik tegangan tinggi yang digunakan untuk mensuplai beban AC akan lebih baik jika dihubungkan terlebih dahulu dengan

Dengan adanya penelitian proses pembelajaran tari Yuyu Kangkang sebagai program life skill di SMK kesenian Putera Nusantara semoga menambah dokumentasi tentang

Suatu alat bantu yang sangat berguna dalam menganalisa teknik kontrol adalah  penggambaran fungsi alih dalam bentuk grafis dengan memakai diagram blok atau diagram

etiga aktor penting inilah yang harus ditumbuh kembangkan agar terjalin kesetaraan, saling he% and (allanes , sehingga tidak terjadi disharmoni, antara aktor yang satu

Namun, terdapat banyak bukti yang lebih terkait dengan teori politik mengenai hal hal yang menentukan kualitas tata kelola pemerintahan daerah. Hal ini menegaskan bahwa tata

Namun demikian, Saham Gratis yang terdaftar atas nama Penerima Manfaat akan diambil kembali berdasarkan ketentuan di bawah ini dan Penerima Manfaat tidak dapat

Dari analisis secara kualitatif dapat terlihat bahwa dengan peningkatan kadar ekstrak uji, sel-sel yang mengekspresikan COX-2 positif semakin sedikit, menunjukkan bahwa

Corpus luteum menghasilkan progesteron yang dapat menghambat pertumbuhan folikel dominan mencapai ovulasi sehingga akan mengurangi pengaruh negatif dari inhibin dan