• Tidak ada hasil yang ditemukan

Referat ACS CHF Amri

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "Referat ACS CHF Amri"

Copied!
46
0
0

Teks penuh

(1)

REFERAT

SINDROMA KORONER AKUT DAN GAGAL JANTUNG

AMRI AGENG WINAHYU 030.12.015

Pembimbing: dr. Bambang Purcahyo, Sp.JP.

KEPANITRAAN KLINIK ILMU PENYAKIT DALAM

RUMAH SAKIT UMUM DAERAH KOTA BEKASI

FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS TRISAKTI

(2)

LEMBAR PENGESAHAN

Case dan Referat dengan judul :

“Sindroma Koroner Akut dan Gagal Jantung”

Disusun dan diajukan untuk memenuhi salah satu syarat menyelesaikan Kepanitraan Klinik Ilmu Penyakit Dalam RSUD Bekasi periode 23 Januari 2017 – 1 April 2017

Disusun Oleh Amri Ageng Winahyu

030.12.015

Bekasi, 15 Maret 2017 Mengetahui

Pembimbing

(3)

KATA PENGANTAR

Segala puji syukur penulis panjatkan kepada Allah SWT karena atas berkat dan rahmat-Nya penulis dapat menyelesaikan tugas makalah Presentasi Kasus dan Referat dengan topik “Sindroma Koroner akut dan Gagal Jantung”. Makalah ini disusun untuk memenuhi salah satu tugas dalam kepaniteraan klinik di stase Ilmu Penyakit Dalam Rumah Sakit Umum Daerah Kota Bekasi.

Dalam kesempatan kali ini, penulis mengucapkan terima kasih kepada berbagai pihak yang telah membantu dalam penyusunan dan penyelesaian makalah ini, terutama kepada dr. Bambang, Sp.JP selaku pembimbing dalam presentasi kasus dan referat ini, para dokter dan staf Ilmu Penyakit Dalam Rumah Sakit Umum Daerah Kota Bekasi, serta rekan-rekan kepaniteraan klinik Ilmu Penyakit Dalam Rumah Sakit Umum Daerah Kota Bekasi.

Penulis menyadari bahwa laporan kasus ini masih jauh dari sempurna dan tidak luput dari kesalahan. Oleh karena itu, penulis sangat berharap adanya masukan, kritik maupun saran yang membangun. Akhir kata penulis ucapkan terimakasih yang sebesar – besarnya, semoga tugas ini dapat memberikan tambahan informasi bagi kita semua.

Bekasi, 15 Maret 2017

(4)

DAFTAR ISI

LEMBAR PENGESAHAN……… 2

KATA PENGANTAR………... 3

DAFTAR ISI………. 4

BAB I PENDAHULAN………...……….………. 5

BAB II LAPORAN KASUS ………..………... ………. 6

BAB III TINJAUAN PUSTAKA……...……….………. 19

3.1 Definisi CHF ……….. 19 3.2 Klasifikasi………..……… 20 3.3 Epidemiologi ……….……… 21 3.4 Etiologi………... 21 3.5 Patofisiologi………. 22 3.6 Gejala klinik………..….. 24 3.7 Diagnosis………...……….. 26

3.8 Diagnosis banding dan 3.9 Tatalaksana………. 28

3.10 Komplikasi dan 3.11 Prognosis……… 30

BAB III KESIMPULAN……….. 31

DAFTAR PUSTAKA………..……….. 32

BAB I PENDAHULUAN

Penyakit kardiovaskular terdiri dari penyakit jantung koroner, gagal jantung, aritmia ventrikular dan kematian jantung mendadak, penyakit jantung rematik, aneurisma arteri abdominal, penyakit arteri perifer, dan penyakit jantung bawaan. Dari antara semua penyakit kardiovaskular, PJK merupakan manifestasi dominan. WHO memperkirakan PJK adalah penyebab utama dari kematian di dunia. Penyakit jantung koroner adalah istilah umum untuk penumpukan plak di arteri jantung yang bisa menyebabkan serangan jantung. Sindrom Koroner Akut (SKA) merupakan keadaan terjadinya perubahan patologis dalam dinding arteri koroner, sehingga menyebabkan iskemik miokardium dan menimbulkan Unstable Angina Pectoris (UAP)

(5)

serta Infark Miokard Akut (IMA) seperti Non ST Elevation Myocardial Infarct (NSTEMI) dan ST Elevation Myocardial Infarct (STEMI).1

Hasil Riset Kesehatan Dasar (RISKESDAS) tahun 2013 menunjukkan prevalensi penderita PJK sebesar 0,5% dari seluruh pasien penyakit tidak menular. Daerah tertinggi berdasarkan terdiagnosis dokter adalah Sulawesi Tengah (0,8%) diikuti Sulawesi Utara, DKI Jakarta, Aceh masing-masing (0,7%). Sedangkan Menurut American Heart Association pada tahun 2000 sekitar 4,7 juta jiwa penduduk Amerika Serikat (AS) menderita gagal jantung dan setiap tahunnya diperkirakan terdapat kasus baru sebanyak 550.000 jiwa. Di Amerika Serikat, penderita gagal jantung lebih sering diderita oleh pria daripada wanita dengan prevalensi 5,64 dan 3,27 per 1000 penduduk. Pada usia diatas 40 tahun, risiko menderita gagal jantung adalah 1 dari 5 penduduk. Pada studi yang dilakukan Framingham insiden gagal jantung adalah 10 dari 1000 penduduk ketika usia diatas 65 tahun.6 Di Indonesia, prevalensi gagal jantung berdasarkan

pernah didiagnosis dokter di Indonesia sebesar 0,13 %, dan berdasarkan diagnosis dokter atau gejala sebesar 0,3 %.2,3

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Anatomi Jantung

Jantung terletak di rongga toraks di antara paru – paru yang dinamakan mediastinum. Jantung memiliki panjang kira-kira 12 cm, lebar 9 cm, dan tebal 6 cm, dengan massa rata – rata 250 g pada wanita dewasa dan 300 g pada pria dewasa. Membran yang membungkus dan melindungi jantung disebut perikardium. Perikardium menahan posisi jantung agar tetap berada di dalam mediastinum, namum tetap memberikan cukup kebebasan untuk kontraksi jantung yang cepat dan kuat.

(6)

Perikardium terdiri dari dua bagian, yaitu perikardium fibrosa dan perikardium serosa. Perikardium fibrosa terdiri dari jaringan ikat yang kuat, padat, dan tidak elastis. Sedangkan perikardium serosa lebih tipis dan lebih lembut dan membentuk dua lapisan mengelilingi jantung. Lapisan parietal dari perikardium serosa bergabung dengan perikardium fibrosa. Lapisan viseral dari perikardium serosa, disebut juga epikardium, melekat kuat pada permukaan jantung. Di antara perikardium parietal dan viseral terdapat cairan serosa yang diproduksi oleh sel perikardial. Cairan perikardial ini berfungsi untuk mengurangi gesekan antara lapisan – lapisan perikardium serosa saar jantung berdenyut. Rongga yang berisi cairan perikardial disebut sebagai kavitas perikardial.4

Dinding jantung terdiri dari tiga lapisan, yaitu epikardium (lapisan paling luar), miokardium (lapisan bagian tengah), dan endokardium (lapisan paling dalam). Seperti yang telah disebutkan di atas, lapisan epikardium merupakan lapisan viseral perikardium serosa yang disusun oleh mesotelium dan jaringan ikat lunak, sehingga tekstur permukaan luar jantung terlihat lunak dan licin. Miokardium merupakan jaringan otot jantung yang menyusun hampir 95% dinding jantung. Miokardium bertanggung jawab untuk pemompaan jantung. Meskipun menyerupai otot rangka, otot jantung ini bekerja involunter seperti otot polos dan seratnya tersusun melingkari jantung. Lapisan terdalam dinding jantung, endokardium, merupakan lapisan tipis endotelium yang menutupi lapisan tipis jaringan ikat dan membungkus katup jantung.

Jantung mempunyai empat ruang yaitu atrium kanan, atrium kiri, ventrikel kanan, dan ventrikel kiri. Atrium adalah ruangan sebelah atas jantung dan berdinding tipis, sedangkan ventrikel adalah ruangan sebelah bawah jantung. dan mempunyai dinding lebih tebal karena harus memompa darah ke seluruh tubuh. Atrium kanan berfungsi sebagai penampung darah rendah oksigen dari seluruh tubuh. Atrium kiri berfungsi menerima darah yang kaya oksigen dari paru-paru dan mengalirkan darah tersebut ke paru-paru. Ventrikel kanan berfungsi menerima darah dari atrium kanan dan memompakannya ke paru-paru.ventrikel kiri berfungsi untuk memompakan darah yang kaya oksigen keseluruh tubuh.5

Diantara atrium kanan dan ventrikel kanan ada katup yang memisahkan keduanya yaitu katup trikuspid, sedangkan pada atrium kiri dan ventrikel kiri juga mempunyai katup yang disebut dengan katup mitral/ bikuspid. Kedua katup ini berfungsi sebagai pembatas yang dapat terbuka dan tertutup pada saat darah masuk dari atrium ke ventrikel. Bila katup trikuspid terbuka maka darah akan mengalir dari atrium kanan menuju ventrikel kanan. Katup trikuspid berfungsi

(7)

mencegah kembalinya aliran darah menuju atrium kanan dengan cara menutup pada saat kontraksi ventrikel. Sesuai dengan namanya, katup trikuspid terdiri dari 3 daun katup. Setelah katup trikuspid tertutup, darah akan mengalir dari dalam ventrikel kanan melalui trunkus pulmonalis. Trunkus pulmonalis bercabang menjadi arteri pulmonalis kanan dan kiri yang akan berhubungan dengan jaringan paru kanan dan kiri. Pada pangkal trunkus pulmonalis terdapat katup pulmonalis yang terdiri dari 3 daun katup yang terbuka bila ventrikel kanan berkontraksi dan menutup bila ventrikel kanan relaksasi, sehingga memungkinkan darah mengalir dari ventrikel kanan menuju arteri pulmonalis. Katup bikuspid atau katup mitral mengatur aliran darah dari atrium kiri menuju ventrikel kiri.. Seperti katup trikuspid, katup bikuspid menutup pada saat kontraksi ventrikel. Katup bikuspid terdiri dari dua daun katup. Katup aorta terdiri dari 3 daun katup yang terdapat pada pangkal aorta. Katup ini akan membuka pada saat ventrikel kiri berkontraksi sehingga darah akan mengalir keseluruh tubuh. Sebaliknya katup akan menutup pada saat ventrikel kiri relaksasi, sehingga mencegah darah masuk kembali kedalam ventrikel kiri.6

Gambar 1. Anatomi jantung

Pembuluh darah jantung terdiri dari arteri koroner dan vena kardial, dimana menyuplai sebagian besar darah ke dan dari miokardium. Endokardium dan jaringan subendokardial

(8)

mendapat oksigen dan nutrisi dengan cara difusi atau mikrovaskuler dari ruang di jantung. Pembuluh darah jantung normalnya tertanam dalam jaringan lemak dan melalui permukaan jantung di dalam epikardium. Adakalanya, bagian dari pembuluh darah ini menjadi tertanam dalam miokardium. Pembuluh darah di jantung mendapat pengaruh inervasi dari sistem saraf simpatis dan parasimpatis. Suplai darah jantung berasal dari arteri koroner yang merupakan cabang pertama aorta yang menyuplai darah ke miokardium dan epikardium baik atrium maupun ventrikel, yang memiliki 2 cabang, yaitu arteri koroner kanan dan kiri yang cabang utamanya

(9)
(10)
(11)

Gambar 2. Arteri koronaria

Dinding pembuluh darah terdiri dari tiga lapisan, yaitu: lapisan terdalam yang disebut sebagai tunika intima; yang ditengah disebut sebagai tunika media dan yang terluar disebut sebagai tunika adventisia. Tunika intima terdiri dari selapis sel endotel yang bersentuhan langsung dengan darah yang mengalir dalam lumen, dan selapis jaringan elastin yang berpori-pori yang disebut membran basalis. Tunika media terdiri dari sel-sel otot polos, jaringan elastin, proteoglikan, glikoprotein dan jaringan kolagen. Tunika adventisia yang merupakan lapisan terluar bertindak sebagai pelindung dan terdiri dari banyak jaringan ikat, saraf otonom, pembuluh darah limfe dan vasa vasorum. 6

(12)

2.2 Sindroma Koroner Akut 2.2.1 Definisi

Sindrom koroner akut adalah salah satu manifestasi klinis penyakit jantung koroner yang utama dan sering mengakibatkan kematian. Sindrom koroner akut terjadi karena terjadinya pengurangan oksigen akut atau subakut dari miokardium. Hal ini terjadi karena robekan plak aterosklerotik dan berkaitan dengan adanya proses inflammasi, trombosis, vasokonstriksi dan embolisasi.7

2.2.2 Klasifikasi

Sindroma koroner akut merupakan bagian dari penyakit jantung kronis yang simptomatik, sindroma koroner akut dapat dibagi menjadi tiga 8 :

1. Infark miokard dengan elevasi segmen ST (STEMI : ST Segment Elevation Myocardial Infacrtion). Diagnosis STEMI ditegakkan jika terdapat keluhan angina pektoris akut disertai elevasi segmen ST yang persisten di dua sadapan yang bersebelahan. Pada STEMI, dibutuhkan terapi revaskularisasi segera, tanpa menunggu hasil pemeriksaan marka jantung. Terapi revaskularisasi dapat berupa mekanik / PCI (Percutaneous Coronary Intervention) atau dengan agen fibrinolitik.

2. Infark miokard degan non elevasi segmen ST (NSTEMI : Non ST Segment Elevation Myocardial Infaction). Diagnosis NTEMI ditegakkan jika terdapat keluhan angina pektoris akut tanpa elevasi ST segmen ( depresi ST segmen, inversi gelombang T, gelombang T yang datar, gelombang T pseudo-normalization ataupun gelombang T tanpa perubahan) yang persisten dikedua sadapan yang bersebelahan dengan marka jantung yang meningkat

3. Angina pektoris tidak stabil (UAP : Unstable Angina Pectoris). Hal yang membedakan NSTEMI dengan UAP terletak hanya pada marka jantung, apabila marka jantung normal makan disebut sebagai angina pektoris tidak stabil

(13)

2.2.3 Faktor Resiko9

Secara garis besar, faktor risiko sindroma koroner akut dapat dibagi dua. Pertama adalah faktor risiko yang dapat diperbaiki (reversible) atau bisa diubah (modifiable) dan faktor-faktor yang tidak dapat diperbaiki.

1. Usia

Kerentanan terhadap aterosklerosis koroner meningkat seiring bertambahnya usia. Namun demikian jarang timbul penyakit serius sebelum umur 40 tahun, sedangkan mulai usia 40-60 tahun insiden miokard infark meningkat 5 kali lipat.

2. Jenis kelamin laki-laki

Laki-laki usia 35-44 tahun memiliki kecenderungan 5-6 kali dibanding perempuan untuk terkena penyakit jantung koroner. Morbiditas lebih besar pada laki- laki 10 tahun lebih awal daripda wanita. Estrogen bersifat protektif pada wanita tetapi pada masa menopause insidensi meningkat dengan cepat sebanding dengan laki-laki. Esterogen pada wanita yang mempengaruhi kadar lipid, dengan menurunkan kadar LDL-C, meningkatkan HDL-C serta trigliserida.

3. Riwayat penyakit penyakit jantung koroner pada keluarga Faktor yang dapat diubah, antara lain (7) ;

1. Hiperlipidemia (Hiperlipidemia dengan batas atas LDL-C 130-159 mg/dl dan tinggi apabila mencapai >160 mg/dl.dan kadar HDL-C rendah (<40 mg/dl)

Peningkatan kadar lemak berhubungan dengan proses aterosklerosis. Faktor resiko dari faktor lipid darah apabila total kolesterol plasma lebih dari 200 mg/dL, trigliserida lebih dari 150 mg/dL. Resiko aterogenik yaitu kadar tinggi kolesterol LDL yang dapat teroksidasi dan menimbulkan deposisi di sirkulasi pembuluh darah. Sedangkan kadar kolesterol HDL yang rendah dapat meningkatkan resiko karena faktor protektif dari HDL yang rendah seiring dengan kadarnya yang kurang.

2. Hipertensi (Hipertensi dengan hasil >140/90 mmHg atau pada obat antihipertensi)

Peningkatan tekanan darah menjadi resiko independen dalam penyakit jantung coroner. Framingham menyatakan bahwa terdapat peningkatan resiko dua kali lipat pada orang

(14)

dengan tekanan darah lebih dari 160/95 mmHg dibandingkan dengan orang yang normotensi.

3. Merokok

Resiko merokok berkaitan dengan jumlah rokok yang dihisap perhari, bukan pada lama merokok. Merokok lebih dari satu pak rokok sehari meningkatan resiko dua kali lipat terhadap penyakit aterosklerosis koroner daripada mereka yang tidak merokok. Kandungan zat racun pada merokok antara lain nikotin, dan karbon monoksida. Rokok menyebabkan penurunan kadar oksigen ke jantung, peningkatan tekanan darah dan denyut nadi, penurunan kadar HDL dan kerusakan endotel pembuluh darah.

4. Diabetes mellitus

Diabetes mellitus menginduksi hiperkolesterolesmia memungkinan timbulnya aterosklerosis dan berkaitan dengan proliferasi sel otot polos pembuluh darah arteri koroner, sintesis kolesterol, trigliserida, fosfolipid, peningkatan kadaar LDL-C dan kadar HDL-C yang rendah. Pada penderita Diabetes melitus mengalami kerusakan pada pembuluh darah. Timbul penebalan pada membran basalis dari kapiler dan pembulh darah arteri koronaria sehingga terjadi penyempitan aliran darah ke jantung.

5. Obesitas

Makanan dengan kalori yang tinggi kalori, lemak total, lemak jenuh, gula dan garan berperan dalam terjadinya hyperlipidemia dan obesitas yang secara langsung meningkatkan kerja jantung dan kebutuhan oksigen. Hal ini diperberat dengan gaya hidup pasif (sedentary lifestyle) yang berperan dalam resistensi insulin, peningkatan resiko gagal jantung setara dengan hiperlipidemia. Seseorang yang dengan sedentary lifestyle memiliki resiko 30-50% lebih besar untuk mengalami hipertensi.

6. Hiperhomosisteinemia

Kadar homosistein atau asam amino alamiah tubuh yang tinggi (>15 mmol/L) berkaitan dengan disfungsi endotel dan gangguan fungsi trombosit serta vasodilator dinding pembuluh darah. Defisiensi asam folat dan vitamin B6,B12 berperan dalam

hiperhomosisteinemia. 7. Kurang aktifitas fisik

Seseorrang kurang aktifitas menyebabkan aliran darah di pembuluh darah kolateral dan arteri koronaria berkurang.

(15)

2.2.4 Patofisiologi10

Hampir semua kasus infark miokardium disebabkan oleh aterosklerosis arteri koroner. Untuk memahaminya secara komprehensif diperlukan pengetahuan tentang patofisiologi iskemia miokardium. Iskemia miokardium terjadi bila kebutuhan oksigen lebih besar daripada suplai oksigen ke miokardium. Oklusi akut karena adanya trombus pada arteri koroner menyebabkan berkurangnya suplai oksigen ke miokardium. Contoh lain, pada pasien dengan plak intrakoroner yang bersifat stabil, peningkatan frekuensi denyut jantung dapat menyebabkan terjadinya iskemi karena meningkatkan kebutuhan oksigen miokardium, tanpa diimbangi kemampuan untuk meningkatkan suplai oksigen ke miokardium.

Jika terjadi penyempitan arteri koroner, iskemia miokardium merupakan peristiwa yang awal terjadi. Daerah subendokardial merupakan daerah pertama yang terkena, karena berada paling jauh dari aliran darah. Jika iskemia makin parah, akan terjadi kerusakan sel miokardium. Infark miokardium adalah nekrosis atau kematian sel miokardium. Infark miokardium dapat terjadi nontransmural (terjadi pada sebagian lapisan) atau transmural (terjadi pada semua lapisan). Faktor-faktor yang berperan dalam progresi SKA :

a. Pembentukan Plak Aterosklerotik

Pada saat ini, proses terjadinya plak aterosklerotik dipahami bukan proses sederhana karena penumpukan kolesterol, tetapi telah diketahui bahwa disfungsi endotel dan proses inflamasi juga berperan penting. Proses pembentukan plak dimulai dengan adanya disfungsi endotel karena faktor-faktor tertentu. Pada tingkat seluler, plak terbentuk karena adanya sinyal-sinyal yang menyebabkan sel darah, seperti monosit, melekat ke lumen pembuluh darah.

1. Inisiasi proses aterosklerosis: peran endotel

Aterosklerosis merupakan proses pembentukan plak di tunika intima arteri besar dan arteri sedang. Proses ini berlangsung terus selama hidup sampai akhirnya bermanifestasi sebagai SKA. Proses aterosklerosis ini terjadi melalui 4 tahap, yaitu kerusakan endotel, migrasi kolesterol LDL (low-density lipoprotein) ke dalam tunika intima, respons infl amatorik, dan pembentukan kapsul fibrosis. Beberapa faktor risiko koroner turut berperan proses aterosklerosis, antara lain hipertensi, hiperkolesterolemia, diabetes, dan merokok. Adanya infeksi dan stres oksidatif juga menyebabkan kerusakan endotel. Faktor- faktor risiko ini dapat menyebabkan kerusakan endotel dan selanjutnya menyebabkan disfungsi endotel. Disfungsi endotel memegang

(16)

peranan penting dalam terjadinya proses aterosklerosis. Jejas endotel mengaktifkan proses inflamasi, migrasi dan proliferasi sel, kerusakan jaringan lalu terjadi perbaikan, dan akhirnya menyebabkan pertumbuhan plak.

Endotel yang mengalami disfungsi ditandai hal-hal sebagai berikut: berkurangnya bioavailabilitas nitrit oksida dan produksi endothelin-1 yang berlebihan, yang mengganggu fungsi hemostasis vaskuler; peningkatan ekspresi molekul adhesif (misalnya P-selektin, molekul adhesif antarsel, dan molekul adhesif sel pembuluh darah, seperti Vascular Cell Adhesion Molecules-1 [VCAM-1]); Peningkatan trombogenisitas darah melalui sekresi beberapa substansi aktiflokal.

Gambar 4. Fase awal disfungsi endotel 2. Perkembangan proses aterosklerosis: peran proses inflamasi

Jika endotel rusak, sel-sel inflamatorik, terutama monosit, bermigrasi menuju ke lapisan subendotel dengan cara berikatan dengan molekul adhesif endotel. Jika sudah berada pada lapisan subendotel, sel-sel ini mengalami differensiasi menjadi makrofag. Makrofag akan mencerna LDL teroksidasi yang juga berpenetrasi ke dinding arteri, berubah menjadi sel foam dan selanjutnya membentuk fatty streaks. Makrofag yang teraktivasi ini melepaskan zat-zat kemoatraktan dan sitokin (misalnya monocyte chemoattractant protein-1, tumor necrosis factor α, IL-1, IL-6, CD40, dan c-reactive protein) yang makin mengaktifkan proses ini dengan merekrut lebih banyak makrofag, sel T, dan sel otot polos pembuluh darah (yang mensintesis komponen matriks ekstraseluler) pada tempat terjadinya plak. Sel otot polos pembuluh darah

(17)

bermigrasi dari tunika media menuju tunika intima, lalu mensintesis kolagen, membentuk kapsul fibrosis yang menstabilisasi plak dengan cara membungkus inti lipid dari aliran pembuluh darah. Makrofag juga menghasilkan matriks metaloproteinase (MMPs), enzim yang mencerna matriks ekstraseluler dan menyebabkan terjadinya disrupsi plak.

Komponen primer pembentukan plak aterosklerosis yaitu: karena disfungsi endotel, peningkatan adhesivitas endotel, peningkatan permeabilitas endotel (memudahkan migrasi LDL dan monosit ke tunika intima pembuluh darah), migrasi dan proliferasi sel otot polos dan makrofag, pelepasan enzim hidrolitik, sitokin, dan faktor pertumbuhan, nekrosis fokal dinding pembuluh darah, perbaikan jaringan dengan fibrosis.

263

Gambar 5. Pembentukan fatty streaks TINJAUAN PUSTAKA

3. Stabilitas plak dan kecenderungan mengalami ruptur

Stabilitas plak aterosklerosis bervariasi. Perbandingan antara sel otot polos dan makrofag memegang peranan penting dalam stabilitas plak dan kecenderungan untuk mengalami ruptur. LDL yang termodifikasi meningkatkan respons inflamasi oleh makrofag. Respons inflamasi ini memberikan umpan balik, menyebabkan lebih banyak migrasi LDL menuju tunika intima, yang selanjutnya mengalami modifikasi lagi, dan seterusnya. Makrofag yang terstimulasi akan memproduksi matriks metaloproteinase yang mendegradasi kolagen. Di sisi lain, sel otot pembuluh darah pada tunika intima, yang membentuk kapsul fibrosis, merupakan subjek apoptosis. Jika kapsul fibrosis menipis, ruptur plak mudah terjadi, menyebabkan paparan aliran darah terhadap zat-zat trombogenik pada plak. Hal ini menyebabkan terbentuknya bekuan. Proses proinflamatorik ini menyebabkan pembentukan plak dan instabilitas. Sebaliknya ada proses antiinflamatorik yang membatasi pertumbuhan plak dan mendukung stabilitas plak.

(18)

Sitokin seperti IL-4 dan TGF-β bekerja mengurangi proses inflamasi yang terjadi pada plak. Hal ini terjadi secara seimbang seperti pada proses penyembuhan luka. Keseimbangan ini bisa bergeser ke salah satu arah. Jika bergeser ke arah pertumbuhan plak, maka plak semakin besar menutupi lumen pembuluh darah dan menjadi rentan mengalami ruptur.

4. Disrupsi plak, trombosis, dan SKA

Kebanyakan plak aterosklerotik akan berkembang perlahan-lahan seiring berjalannya waktu. Kebanyakan akan tetap stabil. Gejala muncul bila stenosis lumen mencapai 70-80%. Mayoritas kasus SKA terjadi karena ruptur plak aterosklerotik. Plak yang ruptur ini kebanyakan hanya menyumbat kurang dari 50% diameter lumen.

Mengapa ada plak yang ruptur dan ada plak yang tetap stabil belum diketahui secara pasti. Beberapa penelitian menunjukkan bahwa inti lipid yang besar, kapsul fibrosa yang tipis, dan infl amasi dalam plak merupakan predisposisi untuk terjadinya ruptur. Setelah terjadi ruptur plak maupun erosi endotel,matriks subendotelial akan terpapar darah yang ada di sirkulasi. Hal ini menyebabkan adhesi trombosit yang diikuti aktivasi dan agregasi trombosit, selanjutnya terbentuk trombus. Trombosit berperan dalam proses hemostasis primer. Selain trombosit, pembentukan trombus juga melibatkan sistem koagulasi plasma. Sistem koagulasi plasma merupakan jalur hemostasis sekunder. Kaskade koagulasi ini diaktifkan bersamaan dengan sistem hemostasis primer yang dimediasi trombosit. Proses hemostasis primer maupun sekunder.

Ada 2 macam trombus yang dapat terbentuk2:

- Trombus putih: merupakan bekuan yang kaya trombosit dan menyebabkan oklusi sebagian. - Trombus merah: merupakan bekuan yang kaya fibrin. Terbentuk karena aktivasi kaskade koagulasi dan penurunan perfusi pada arteri. Bekuan ini bersuperimposisi dengan trombus putih, menyebabkan terjadinya oklusi total.

Gambaran Klinis Iskemia

Gejala muncul apabila terjadi ketidakseimbangan antara suplai oksigen dan kebutuhan oksigen jantung. Angina stabil ditandai dengan adanya plak ateroskerosis dengan stenosis permanen. Gejala klinis muncul apabila kebutuhan oksigen melebihi suplai oksigen ke jantung (latihan, stres). Jika terjadi dalam jangka waktu lama, biasanya didapatkan aliran darah kolateral yang signifikan. Angina tak-stabil terjadi karena menurunnya perfusi ke jantung (disrupsi plak menyebabkan terbentuknya trombus dan penurunan perfusi) atau peningkatan kebutuhan oksigen (oxygen mismatch). Trombus biasanya bersifat labil dengan oklusi tidak menetap. Pada angina

(19)

tak stabil, miokardium mengalami stres tetapi bisa membaik kembali. NSTEMI terjadi bila perfusi miokardium mengalami disrupsi karena oklusi trombus persisten atau vasospasme. Adanya trombolisis spontan, berhentinya vasokonstriksi, atau adanya sirkulasi kolateral membatasi kerusakan miokardium yang terjadi. Sedangkan STEMI terjadi bila disrupsi plak dan trombosis menyebabkan oklusi total sehingga terjadi iskemia transmural dan nekrosis.

Gambar 6. Plak ruptur 2.2.5 Gejala Klinis

Gejala klinis pada SKA biasanya diliputi oleh 5 gejala, antara lain

Chest discomfort (retrosternal, tightness,heaviness, pressure), disebabkan adanya peningkatan asam laktat, serotonin dan adenosine mengaktivasi reseptor nyeri perifer di C7-T4

 Takikardia, akibat Abnormalitas ion transport pada miosit menyebabkan aritmia, akumulasi metabolit lokal dan miokard iskemia yg memicu respon saraf simpatis

 Dyspnea, karena gangguan relaksasi ventrikel kiri, peningkatan tekanan diastolik ventrikel kiri sebabkan aliran balik arteri pulmonalis yang menyebabkan kongesti paru  Diaphoresis, disebebkan oleh peningkatan respon tonus simpatis, akibat serangan akut

iskemia

(20)

Sementara manifestasi klinis antara angina pektoris tidak stabil, NSTEMI dan STEMI dapat dibedakan berdasarkan tabel11 :

Angina Pektoris Tidak Stabil

NSTEMI STEMI

Keluhan Klinis:

-Angina saat istirahat, durasi lebih dari sama dengan 20 menit, atau -Angina pertama kali hingga aktivitas fisik menjadi sangat terbatas, atau -Angina progresif: pasien dengan angina stabil, terjadi perburukan, frekuensi lebih sering, durasi lebih lama, muncul dengan aktivitas ringan -Angina pada SKA sering disertai dnegan keringat dingin (respon simpatis),mual dan muntah (stimulasi vagal), serta rasa lemas. Pada populasi lansia (>75 tahun), perempuan, dan diabetes kadang keluhan tidak jelas.

Presentasi klinis menyerupai SKA pada umumnya. Namun kadang pasien datang dengan gejala atipikal: nyeri dada pada lengan atau bahu, sesak nafas akut, sinkop atau aritmia Pasien dengan STEMI biasanya telah memiliki riwayat angina atau PJK, usia lanjut, dan kebanyakan laki - laki

Pemeriksaan fisik :

Seringkali normal. Pada beberapa kasus dapat ditemui tanda – tanda kongesti dan instabilitas hemodinamik

-Sebagian besar pasien gelisah dan cemas, ekstremitas pucat disertai keringat dingin, kombinasi nyeri dada substernal > 30 menit dan banyak keringat dicurigai kuat adanya STEMI

-Sekitar ¼ pasien infark anterior mempunyai manifestasi hiperaktivitas saraf simpatis (takikardidan/atau hipotensi) dan hampir setengah pasien infark inferior menunjkkan parasimpatis (bradikardi dan/atau hipotensi) -S4 dan S3 gallop, penurunan intensitas S1 dan

(21)

split paradoksikal S2, murmur midsistolik atau late sistolik apikal yang bersifat sementara karena disfungsi katup mitral dan pericardial friction rub.

-Klasifikasi Killip dapat digunakan untuk mengevaluasi hemodinamik dan prognosis pasien SKA

Pemeriksaan EKG (dalam 10 menit pertama):

-Gambaran ST depresi, horizontal maupun down sloping, yang lebih dari sama dengan 0,05mV pada dua atau lebih sadapan sesuai regio dinding ventrikelnya, dan/atau inversi gelombang T lebih dari sama dengan 0,1 mV dengan gelombang R prominen atau rasio R/S <1

-Pada keadaan teretntu EKG 12 sadapan dapat normal, terutama pada iskemia posterior (V7-V9) atau ventrikel kanan (sadapan V3R-V4R) yang terisolasi

-Dianjurkan pemeriksaan EKG serial setiap 6 jam untuk mendeteksi kondisi iskemia yang dinamis

- Elevasi segmen ST lebih dari sama dengan 0,1mV yang dihitung mulai dari titik J, paad dua atau lebih sdapan sesuai regio dinding ventrikelnya. Namun khusus pada sadapan V2-V3, batasan elevasi menjadi lebih dari sama dnegan 0,2 mV pada laki – laki usia lebih dari sama dengan 40 tahun, lebih dari sama dengan 0,25 mV pada laki – laki berusia < 40 tahun, atau lebih dari sama dengan 0,15 mV pada perempuan

EKG pada STEMI merupakan EKG yang berevolusi. Sebagian besar pasien dnegan presentasi awal elevasi segmen ST mengalami evolusi menjadi gelombang Q pada EKG.

Pemeriksaan Biomarka Jantung :

Tidak ada peningkatan troponin T dan/atau CKMB Peningkata n troponin T dan /atau CKMB (4-6 jam setelah

Peningkatan troponin T (untuk diagnosis akut) dan/atau CKMB (untuk diagnosis dan melihat luas infark)

(22)

onset)

Tabel 2. Perbedaan Karakteristik Klinis Sindrom Koroner Akut

2.2.6 Diagnosis

Diagnosis ditegakkan melalui anamnesis, pemeriksaan fisik, pemeriksaan penunjang (EKG) dan marka jantung.

1. Anamnesis  Angina tipikal

Gambaran angina tipikal adalah rasa tertekan/berat daerah retrosternal yang menjalar ke lengan kiri, leher, area interskapularis, bahu atau epigastrium, berlangsung intermitten atau persisten (>20 menit). Sering disertai dengan diaphoresis, mual/muntah, nyeri abdominal, sesak napas dan sinkop.

 Angina Atipikal

Gambaran angina atipikal adalah nyeri dipenjalaran angina tipikal, gangguan pencernaan (indigestion), sesak napas yang tidak dapat dijelaskan,lemah mendadak. Keluhan ini sering ditemui pada golongan muda (25-40 tahun) dan tua (>75 tahun), wanita, penderita diabetes, gagal ginjal kronik, atau demensia. Keluhan ini patut dicurigai menjadi angina equivalen apabila ditemukan setelah dipicu oleh aktivitas.

Keluhan di perkuat apabila ditemukan karakteristik seperti ;  Pria

 Diketahui memiliki penyakit aterosklerosis non coroner (penyakir arterial perifer)  Memiliki riwayat pernah mengalami infark miokard, coronary bypass ataupun PCI

(Percutaneous Coronary Intervention)

 Memiliki faktor resiko ; hipertensi, merokok, dyslipidemia, diabetes mellitus, riwayat penyakit jantung coroner dikeluarga, atau klasifikasi resiko menurut NCEP

(23)

Gambar 7. Kriteria NCEP

Nyeri bukan khas iskemia berupa nyeri pleuritik (tajam saat inspirasi atau respirasi), nyeri abdomen tengah atau bawah, nyeri dada yang dapat ditunjuk dengan 1 jari, nyeri dada akibat pergerakan tubu, nyeri dada dengan durasi beberapa detik, nyeri dada yang menjalar ke ekstremitas bawah.

2. EKG

Gambaran infark miokard menjadi kuat jika ditemukan gambaran EKG ; 1. Concordant, spesifisitas tinggi dan sensitivitas rendah :

 Gambaran LBBB baru + elevasi segmen ST ≥ 1 mm pada sadapan dengan QRS kompleks positif

 Gambaran depresi segmen ST ≥ 1 mm di V1-V3 2. Discordant, spesifisitas dan sensitivitas rendah :

(24)

Gambar 8. Kriteria Sgarbossa

3. Jika tidak didapatkan elevasi segmen ST, maka kemungkinan dapat berupa NSTEMI / Angina pektoris tidak stabil, spesifisitas tinggi :

 Depresi segmen ST ≥ 0,05 mm di sadapan V1-V3 dan ≥ 0,1mV di sadapan lainnya.

 Elevasi segmen ST yang persisten (<20 menit)  Inversi gelombang T yang simetris ≥ 0,2 mV

(25)

Sementara lokasi iskemia atau infark dapat di lihat berdasarkan sadapan EKG

Gambar 9. Lokasi Iskemia atau infark 4. Pemeriksaan marka jantung

Pemeriksaan marka jantung yang digunakan dalam diagnosis SKA adalah Creatinine-Kinase MB (CK-MB) dan Troponin I/T. CK-MB dapat meningkat pada kerusakan sel otot skeletal, menyebabkan spesifisitas lebih rendah dengan waktu paruh yang singkat (48 jam). Sementara Troponin I/T merupakan marka terhadap nekrosis sel miosit jantung. Peningkatan marka jantung hanya menunjukkan adanya nekrosis miosit, tidak dapat membedakan etiologi (koroner atau nonkoroner). Pada disfungsi ginjal tropoin I memiliki spesifisitas yang lebih tinggi dbandingkan dengan troponin T.

Troponin I/T 

Penyebab Tanda

Non- Kardiak Sepsis, luka bakar, gagal napas, penyakit neurologic akut, emboli paru,

hipertensi pulmone, kemoterapi, insufisiensi ginjal

Kardiak Takiaritmia, trauma kardiak, gagal jantung,

Tabel 3. Marka Jantung (Troponin I)

Pada nekrosis miokard, pemeriksaan CK-MB atau troponin I/T memiliki kadar yang normal 4-6 jam setelah awitan SKA. Dapat diulang 8-12 jam setelah awitan angina,

(26)

jika awitan tidak dapat jelas ditentukan maka pemeriksaan diulang 4-6 jam setelah awitan SKA.10

Definitif sindrom koroner akut jika ;  Angina tipikal

 EKG dengan gambaran elevasi yang diagnostic untuk STEMI, depresi ST atau inversi gelombang T yang diagnostic

 Peningkatan marka jantung

2.2.7 Tatalaksana8

TINDAKAN UMUM DAN LANGKAH AWAL

Berdasarkan langkah diagnostik, dokter perlu segera menetapkan diagnosis kerja yang akan menjadi dasar strategi penanganan selanjutnya. Yang dimaksud dengan terapi awal adalah terapi yang diberikan pada pasien dengan diagnosis kerja Kemungkinan SKA atau SKA atas dasar keluhan angina di ruang gawat darurat, sebelum ada hasil pemeriksaan EKG dan/atau marka jantung. Terapi awal yang dimaksud adalah Morfin, Oksigen, Nitrat, Aspirin (disingkat MONA), yang tidak harus diberikan semua atau bersamaan.

1. Tirah baring

2. Suplemen oksigen harus diberikan segera bagi mereka dengan saturasi O2 arteri <95% atau yang mengalami distres respirasi.

3. Suplemen oksigen dapat diberikan pada semua pasien SKA dalam 6 jam pertama, tanpa mempertimbangkan saturasi O2 arteri.

4. Aspirin 160-320 mg diberikan segera pada semua pasien yang tidak diketahui intoleransinya terhadap aspirin. Aspirin tidak bersalut lebih terpilih mengingat absorpsi sublingual (di bawah lidah) yang lebih cepat.

(27)

a. Dosis awal ticagrelor yang dianjurkan adalah 180 mg dilanjutkan dengan dosis pemeliharaan 2 x 90 mg/hari kecuali pada pasien STEMI yang direncanakan untuk reperfusi menggunakan agen fibrinolitik atau

b. Dosis awal clopidogrel adalah 300 mg dilanjutkan dengan dosis pemeliharaan 75 mg/hari (pada pasien yang direncanakan untuk terapi reperfusi menggunakan agen fibrinolitik, penghambat reseptor ADP yang dianjurkan adalah clopidogrel).

6. Nitrogliserin (NTG) spray/tablet sublingual bagi pasien dengan nyeri dada yang masih berlangsung saat tiba di ruang gawat darurat. Jika nyeri dada tidak hilang dengan satu kali pemberian, dapat diulang setiap lima menit sampai maksimal tiga kali. Nitrogliserin intravena diberikan pada pasien yang tidak responsif dengan terapi tiga dosis NTG sublingual). dalam keadaan tidak tersedia NTG, isosorbid dinitrat (ISDN) dapat dipakai sebagai pengganti

7. Morfin sulfat 1-5 mg intravena, dapat diulang setiap 10-30 menit, bagi pasien yang tidak responsif dengan terapi tiga dosis NTG sublingual.

(28)

Gambar 10. Algoritma Penatalaksanaan SKA STEMI

1. TERAPI REPERFUSI

Terapi reperfusi segera, baik dengan IKP atau farmakologis, diindikasikan untuk semua pasien dengan gejala yang timbul dalam 12 jam dengan elevasi segmen ST yang menetap atau Left Bundle Branch Block (LBBB) yang (terduga) baru. Terapi reperfusi (sebisa mungkin berupa IKP primer) diindikasikan apabila terdapat bukti klinis maupun EKG adanya iskemia yang sedang berlangsung,

(29)

bahkan bila gejala telah ada lebih dari 12 jam yang lalu atau jika nyeri dan perubahan EKG tampak tersendat. Dalam menentukan terapi reperfusi, tahap pertama adalah menentukan ada tidaknya rumah sakit sekitar yang memiliki fasilitas IKP. Bila tidak ada, langsung pilih terapi fibrinolitik. Bila ada, pastikan waktu tempuh dari tempat kejadian (baik rumah sakit atau klinik) ke rumah sakit tersebut apakah kurang atau lebih dari (2 jam).

2. Intervensi koroner perkutan primer

IKP primer adalah terapi reperfusi yang lebih disarankan dibandingkan dengan fibrinolisis apabila dilakukan oleh tim yang berpengalaman dalam 120 menit dari waktu kontak medis pertama. IKP primer diindikasikan untuk pasien dengan gagal jantung akut yang berat atau syok

kardiogenik, kecuali bila diperkirakan bahwa pemberian IKP akan tertunda lama dan bila pasien datang dengan awitan gejala yang telah lama. Stenting lebih disarankan dibandingkan angioplasti balon untuk IKP primer. Tidak disarankan untuk melakukan IKP secara rutin pada arteri yang telah tersumbat total lebih dari 24 jam setelah awitan gejala pada pasien stabil tanpa gejala iskemia, baik yang telah maupun belum diberikan fibrinolisis. Bila pasien tidak memiliki kontraindikasi terhadap terapi antiplatelet dual (dual antiplatelet therapy-DAPT) dan kemungkinan dapat patuh terhadap

pengobatan, drug-eluting stents (DES) lebih disarankan daripada bare metal stents (BMS). 3. Terapi fibrinolitik

Fibrinolisis merupakan strategi reperfusi yang penting, terutama pada tempat-tempat yang tidak dapat melakukan IKP pada pasien STEMI dalam waktu yang disarankan. Terapi fibrinolitik direkomendasikan diberikan dalam 12 jam sejak awitan gejala pada pasien-pasien tanpa indikasi kontra apabila IKP primer tidak bisa dilakukan oleh tim yang berpengalaman dalam 120 menit sejak kontak medis pertama. Pada pasien-pasien yang datang segera (<2 jam sejak awitan gejala) dengan infark yang besar dan risiko perdarahan rendah, fibrinolisis perlu dipertimbangkan bila waktu antara kontak medis pertama dengan inflasi balon lebih dari 90 menit.

Streptokinase (1,5jt U/100mL D5% / NaCl 0,9% 30 – 60 menit. )

Alteplase (tPA) (15 mg IV bolus; 0,75mg/KgBB 30 menit, 0,6mg/KgBB 60menit)

2.2.8 Komplikasi a. Gagal Jantung

(30)

Dalam fase akut dan subakut setelah STEMI, seringkali terjadi disfungsi miokardium. Bila revaskularisasi dilakukan segera dengan IKP atau trombolisis, perbaikan fungsi ventrikel dapat segera terjadi, namun apabila terjadi jejas transmural dan/atau obstruksi mikrovaskular, terutama pada dinding anterior, dapat terjadi komplikasi akut berupa kegagalan pompa dengan remodeling

patologis disertai tanda dan gejala klinis kegagalan jantung, yang dapat berakhir dengan gagal jantung kronik. Gagal jantung juga dapat terjadi sebagai konsekuensi dari aritmia yang berkelanjutan atau sebagai komplikasi mekanis. Diagnosis gagal jantung secara klinis pada fase akut dan subakut STEMI didasari oleh gejala-gejala khas seperti dispnea, tanda seperti sinus takikardi, suara jantung ketiga atau ronkhi pulmonal, dan bukti-bukti objektif disfungsi kardiak seperti dilatasi ventrikel kiri dan berkurangnya fraksi ejeksi.

Peningkatan marka jantung seperti BNP dan N-terminal pro-BNP menandakan peningkatan stress dinding miokardium. Selain itu, nilai marka jantung tersebut dipengaruhi beberapa keadaan seperti hipertrofi ventrikel kiri, takikardia, iskemia, disfungsi ginjal, usia lanjut, obesitas dan pengobatan yang sedang dijalani. Sejauh ini belum ada nilai rujukan definitif pada pasien-pasien dengan tanda dan gejala gagal jantung setelah infark akut, dan nilai yang didapatkan perlu diinterpretasikan berdasarkan keadaan klinis pasien. Disfungsi ventrikel kiri merupakan satu-satunya prediktor terkuat untuk mortalitas setelah terjadinya STEMI. Mekanisme terjadinya disfungsi ventrikel kiri dalam fase akut mencakup hilangnya dan remodeling miokardium akibat infark, disfungsi iskemik (stunning), aritmia atrial dan ventrikular serta disfungsi katup (baik yang sudah ada atau baru). Komorbiditas seperti infeksi, penyakit paru, gangguan ginjal, diabetes atau anemia seringkali menambah gejala

yang terlihat secara klinis. b. Hipotensi

Hipotensi ditandai oleh tekanan darah sistolik yang menetap di bawah 90 mmHg. Keadaan ini dapat terjadi akibat gagal jantung, namun dapat juga disebabkan oleh hipovolemia, gangguan irama atau komplikasi mekanis. Bila berlanjut, hipotensi dapat menyebabkan gangguan ginjal, acute tubular necrosis dan berkurangnya urine output.

(31)

Kongesti paru ditandai dispnea dengan ronki basah paru di segmen basal, berkurangnya saturasi oksigen arterial, kongesti paru pada Roentgen dada dan perbaikan klinis terhadap diuretik dan/atau terapi vasodilator.

d. Syok kardiogenik

Syok kardiogenik terjadi dalam 6-10% kasus STEMI dan merupakan penyebab kematian utama, dengan laju mortalitas di rumah sakit mendekati 50%. Meskipun syok seringkali terjadi di fase awal setelah awitan infark miokard akut, ia biasanya tidak didiagnosis saat pasien pertama tiba di rumah sakit. Penelitian menunjukkan bahwa 50% syok kardiogenik terjadi dalam 6 jam dan 75% syok terjadi dalam 24 jam. Tanda dan gejala klinis syok kardiogenik yang dapat ditemukan beragam dan menentukan berat idaknya syok serta berkaitan dengan luaran jangka pendek. Pasien biasanya datang dengan hipotensi, bukti output kardiak yang rendah (takikardia saat istirahat, perubahan status mental, oliguria, ekstremitas dingin) dan kongesti paru. Kriteria hemodinamik syok kardiogenik adalah indeks jantung <2,2, L/menit/m2 dan peningkatan wedge pressure >18 mmHg. Selain itu, diuresis biasanya <20 mL/jam. Pasien juga dianggap menderita syok apabila agen inotropik intravena dan/atau IABP dibutuhkan untuk mempertahankan tekanan darah sistolik >90 mmHg. Syok kardiogenik biasanya dikaitkan dengan kerusakan ventrikel kiri luas, namun juga dapat terjadi pada infark ventrikel kanan. Baik mortalitas jangka pendek maupun jangka panjang tampaknya berkaitan dengan disfungsi sistolik ventrikel kiri awal dan beratnya regurgitasi mitral.

Adanya disfungsi ventrikel kanan pada ekokardiografi awal juga merupakan prediktor penting prognosis yang buruk, terutama dalam kasus disfungsi gabungan ventrikel kiri dan kanan. Indeks volume sekuncup awal dan followup serta follow-up stroke work index merupakan prediktor hemodinamik paling kuat untuk mortalitas 30 hari pada pasien dengan syok kardiogenik dan lebih berguna daripada variabel hemodinamik lainnya. Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa penilaian dan tatalaksana syok kardiogenik tidak mementingkan pengukuran invasif tekanan pengisian ventrikel kiri dan curah jantung melalui kateter pulmonar namun fraksi ejeksi ventrikel kiri dan komplikasi mekanis yang terkait perlu dinilai segera dengan ekokardiografi

(32)

2.3 Congestive heart failure 2.3.1 Definisi

Gagal jantung (heart failure) merupakan suatu sindroma klinis (sekumpulan tanda dan gejala), yang ditandai oleh sesak nafas dan fatik (saat istirahat atau aktivitas) yang disebabkan oleh kelainan struktur dan fungsi jantung.12

Gagal jantung kongestif adalah keadaan patologis berupa kelainan fungsi jantung, sehingga jantung tidak mampu memompa darah untuk memenuhi kebutuhan metabolisme jaringan atau kemampuannya hanya ada kalau disertai peninggian volume diastolik secara abnormal. Dan adanya tanda-tanda retensi cairan seperti kongesti paru atau bengkak pada ekstremitas serat ditemukannya bukti objektif kelainan struktur dan fungsi jantung. Penamaan gagal jantung kongestif yang sering digunakan kalau terjadi gagal jantung sisi kiri dan sisi kanan.13

2.3.2 Klasifikasi

Berdasarkan presentasinya, gagal jantung dibagi menjadi gagal jantung akut, gagal jantung kronis (menahun), dan acute on chronic heart failure.

1. Gagal jantung akut: timbulnya sesak nafas secara cepat (< 24 jam) akibat kelainan fungsi jantung, gangguan fungsi sistolik atau diastolic atau irama jantung atau kelebihan beban awal (preload), beban akhir (afterload) atau kontraktilitas. Keadaan ini mengancam jiwa jika bila tidak ditangani secara cepat.

2. Gagal jantung kronis (menahun): Sindroma klinis kompleks akibat kelainan struktural atau fungsional yang mengganggu kemampuan pompa jantung atau mengganggu pengisian jantung.3

Berdasarkan Fraksi Ejeksi, gagal jantung dibagi menjadi :

- Heart failure with reduced ejection fraction (HFrEF) merupakan adanya tanda dan

gejala gagal jantung disertai penurunan nilai fraksi ejeksi ventrikel kiri.

- Heart failure with preserved ejection fraction (HFpEF) merupakan adanya tanda dan

gejala gagal jantung, namun nilai fraksi ejeksi normal atau menurun sedikit, serta tidak ada dilatasi ventrikel kiri. Kondisi ini berhubungan dengan kelainan struktural, seperti hipertrofi ventrikel kiri atau atrium kiri dan atau disfungsi sistolik.14

(33)

2.3.3 Etiologi14

Etiologi dari gagal jantung dapat dibagi berdasarkan fraksi ejeksi: Heart failure with reduced ejection fraction (HFrEF)

Penyakit arteri koroner Non-Iskemik kardiomiopati dilatasi Infark miokard Penyakit familial/genetik

Iskemia miokard Penyakit infiltrative

Overload tekanan kronis Kerusakan akibat toksin atau obat Hipertensi Penyakit metabolik

Penyakit paru obstruktif Viral

Overload volume kronis Penyakit Chagas

Penyakit katup regurgitasi Kelainan ritme dan frekuensi jantung Shunt intrakardiak (kiri ke kanan) Bradiaritmia kronis

Shunt ekstrakardiak Takiaritmia kronis Heart failure with preserved ejection fraction (HFpEF)

Hipertrofi patologis Kardiomiopati restriktif

Primer (kardiomiopati hipertrofi) Penyakit infltratif (amioloidosis, sarkoidosis)

Sekunder (hipertensi) Storage disease (hemokromatosis)

Penuaan (aging) Kelainan endomiokardial

Fibrosis jantung

Penyakit Jantung Pulmonal Kor pulmonal

Penyakit kardiovaskular pulmonal Kondisi High-Output

Kelainan metabolik Kebutuhan aliran darah yang berlebihan Tirotoksikosis Shunt arteriovena sistemik

Kelainan nutrisi (beriberi) Anemia kronis

(34)

Gagal Jantung merupakan hasil akhir dari berbagai macam penyakit kardiovaskular. Penyebabnya sepert yang telah disebutkan di atas dapat dibagi menjadi 3 kelompok :

a. Gangguan kontraktilitas jantung = Systolic Dysfunction b. Peningkatan Afterload

c. Gangguan dalam pengisian ventrikel = Diastolic Dysfuntion

Heart Failure with Reduced Ejection Fraction

Keadaan dimana terjadinya Systolic Dysfunction dapat dikarenakan kegagalan kontraktilitas miokardium atau pressure overload (peningkatan afterload). Kegagalan kontraktilitas jantung menyebabkan ventrikel tidak bisa memompa darah secara maksimal dan menyebabkan penurunan Stroke Volume dan peningkatan ESV karena masih ada darah yang tersisa di ventrikel. Selama fase diastole, darah yang semakin banyak tersisa di ventrikel kiri akan menyebabkan peningkatan volume darah juga di atrium kiri dan Vena Pulmonalis. Peningkatan Tekanan Vena Pulmonalis menyebabkan transudasi cairan di jaringan interstisial paru dan menyebabkan gejala kongesti paru.

Heart Failure with Preserved Ejection Fraction

Pasien dengan Preserved Ejection Fraction sebagian besar menunjukkan adanya abnormalitas dari fungsi diastole / pengisian ventrikel baik dikarenakan gangguang reaksasi ventrikel atau kekauan dari dinding ventrikel. Iskemik Miokard Akut adalah hal yang paling sering menyebabkan kejadian ini. Kegagalan fungsi diastole menyebabkan stroke volume menurun dan menyebabkan kongesti rerograd ke paru bahkan sampai sirkulasi sistemik.15

Mekanisme Kompensasi Jantung 1. Mekanisme Frank-Starling

Penurunan Stroke Volume yang diakibatkan kegagalan ventrikel memmpoa darah mengakibatkan meningkatnya sisa darah di ventrikel, hal ini menyebabkan peningkatan volume diastole di Ventrikel. Serat-serat otot jantung akan meregang sebagai kompensasinya menampung volume darah yang lebih banyak dari normal dengan tujuan untuk menolong meningkatkan Stroke Volume.

(35)

Namun keadaan ini jika dibiarkan terus menerus akan menyebabkan ventrikel semakin gagal berkontraksi.

2. Perubahan Neurohormonal

Perubahan neurohormaonal terjadi akibat respon dari penurunan Cardiac Output. 3 sistem yang berperan penting adalah (1) Sistem saraf adrenergic, (2) Sistem Renin-Angiotensis-Aldosteron dan (3) Sekresi Anti-Diuretic Hormone. Ketiga system tersebut teraktivasi sebagai kompensasi untuk mempertahankan perfusi darah dan pksigen ke organ vital tubuh.

Sistem saraf adrenergik teraktivasi akibat adanya perubahan tekanan pada baroreseptor du Sinus Karotis dan Arkus Aorta. Reseptor tersebut mendeteksi adanya penurunan tekanan darah, kemudian sinyal akan di transmisikan melalui Nervus Kranialis IX dan X ke pusat kardiovaskular di Medulla Oblongata . hasilnya, system simpatis akan bekerja dengan jalan : (1) meningkatkan denyut nadi, (2) meningkat kontraktilitas dan (3) vasokonstriksi sistemik. Peningkatan denyut nadi dan kontraktilitas jantung bertujuan untuk meningkatkan Cardiac Output, sedangkan vasokonstriksi bertujuan untuk meningkatkan tekanan darah untuk mempertahankan perfusi jaringan. Peningkatan tahanan perifer menyebabkan peningkatan afterload ventrikel kiri sehingga Stroke Volume juga menurun.

Sistem Renin-Angiotensis-Aldosteron teraktivasi karena terjadi penurunan perfusi di sel juxtaglomerular ginjal. Rennin adalah enzim yang dikeluarkan ginjal untuk mengubah Angiotensinogen yang ada di sirkulasi darah menjadi Angitensinogen I dan akan dirubah lagi menjadi Angiotensin II oleh Angiotensin Converting Enzyme (ACE). ANgiotensin II menyebabkan vasokonstriksi dan meningkatkan tahanan perifer untuk mempertahakan tekanan darah sistemik. Sedangkan hormone Aldosteron menyebabkan retensi Sodium yang berperan untuk retensi cairan intravascular. Peningkatan volume intravskular menyebabkan terjadinya peningkatan Preload ventrikel kiri.

(36)

Hormon Anti Diuretik dikeluarkan oleh kelenjar pituitary posterior akibat stimulasi dari sekresi Angiotensin II. Hormone ADH bekera meningkatkan volume intravascular denagn cara mereabsorbsi cairan di tubulus distal nefron. 3. Hipertorfi Ventrikel dan Remodelling

Remodelling dan hipertrofi ventrikel merupakan proses kompensasi yang penting. Peningkatan Wall Stress di ventrikel kiri disebabkan karena adanya dilatasi dai Ventrikel Kiri. Dilatasi ventrikel kiri yang disebabkan karena volume overload menyebabkan sintesis sarkomer baru yang bersifat serial dan menyebabkan hipertrofi ventrikel yang bersifat eksentrik. Sedangkan dilatasi ventrikel kiri yang diakibatkan karena peningkatan afterload menyebabkan sisntesis sarkomer baru yang bersifat parallel dan menyebabkan hipertorfi ventrikel yang bersifat kosentris

2.3.5 Gejala Klinis

Gagal Jantung Kiri

Gejala

Sesak nafas Peningkatan tekanan onkotik pada kapiler pulmonal yang mengakibatkan ekstravasasi cairan ke intertisial paru. Keadaan tersebut memhambat pertukaran gas dan meningkatkan resistensi udara. Ortopnoe Ketika posisi supine terjadi redistribusi cairan

ekstravasasi ke perifer akibat dari ventrikel tidak mampu beradaptasi dengan peningkatan volume darah dengan cepat. Keadaan ini memperparah tekanan dari kapiler pulmonal dan memperberat edema di interstisial paru.

Paroksismal nocturnal dipsnoe

Batuk dengan sputum

frothy-blood

Akibat kongesti pulmonal, Ruptur pada vena bronkial menyebabkan hemomptisis

Gangguan memori Manifestasi akibat penurunan perfusi di otak

Pengurangan jumlah urin Pengurangan perfusi di ginjal, yang dapat mengakibatkan acute kidney injury (AKI) atau chronic kidney diasease (CKD)

(37)

Nokturia Pada posisi supine, terjadi peningkatan aliran darah menuju ginjal, menyebabkan diuresis

Tanda

Cardiac Asma Ronki dan wheezing yang disebabkan oleh obstruksi karena edema pulmonal

Regurgitasi mitral Muncul ketika ventrikel dilatasi dan menarik katup mitral sehingga fungsi mitral tidak sempurna

Pulsus alternans Muncul pada disfungsi ventrikel

Gagal Jantung Kanan

Gejala

Edema perifer, edema sakral, asites atau edema anasarka

Peningkatan tekanan hidrostatis

Hepatosplenomegali Sirkulasi hepar dan lien tidak adekuat karena aliran balik vena

Anoreksia/ penurunan berat badan

Kongesti pada interstisial dan hepar menurunkan nafsu makan, menurunkan absorpsi lemak, protein-wasting enteropati, peningkatan metabolisme akibat peningkatkan konsumsi oksigen jantung dan energi yang hilang karena dipsnoe

Tanda

Peningkatan JVP Peningkatan aliran darah vena dan aliran balik tidak adekuat

Tanda Kussmaul Peningkatan tekanan pada atrium

Regurgitas trikuspid Muncul ketika ventrikel dilatasi dan menarik katup trikuspid sehingga fungsi katup trikuspid tidak sempurna

Gagal Jantung Kiri atau Kanan

Nyeri dada Primer iskemi miokard atau coronary artery disease (CAD) atau sekunder akibat peningkatan tekanan saat pengisian ventrikel, kegagalan cardiac output atau hipoksemia

Palpitasi Sinus takiardi: kompensasi akibat dari gagal jantung

Atrial/ventricular takikaritmia: dilatasi dari ruangan jantung

(38)

Lemah/ mudah lelah Hipoksemia yang kronis akibat gangguan perfusi jaringan yang mengakibatkan penurnan kekuatan otot dan gangguan metabolisme

Tanda

S3 gallop Pengisian abnormal akibat dilatasi ventrikel

S4 gallop Kekuatan kontraksi atrium yang berlebihan sebagai kompensasi melawan tekanan ventrikel

Kardiomegali Secara kronik jantung memompa lebih kuat dan terjadi dilatasi dari otot jantung

2.3.6 Faktor resiko

Terdapat beberapa faktor risiko terjadinya gagal jantung, yaitu kebiasan merokok, kurangnya aktivitas fisik, pola diet, kelebihan berat badan atau obesitas, penyakit infeksi, konsumsi alkohol, hyperlipidemia, diabetes mellitus, hipertensi, usia dan jenis kelamin.

2.3.7 Diagnosis

Tabel. Kriteria Framingham Kriteria Mayor Kriteria Minor Peningkatan TVJ Edem tungkai bilateral Orthopnoea atau PND Batuk malam hari

Gallop S3 Sesak saat aktivitas

Edema Paru Hepatomegaly

Cardiomegaly Efusi pleura

CVP >1 mmHg Takikardia

Disfungsi Ventrikel echo Penurunan berat badan

>4,5 Kg Ronki basah

(39)

* Terdapat 1 kriteria mayor dan 2 kriteria minor

Terdapat 2 klasifikasi gagal jantung, yaitu menurut ACCF/AHA dan New York Heart Asscociation (NYHA) yang menggambarkan progresifitas dan gejala dari gagal jantung. Klasifikasi menurut ACCF/AHA menggambarkan progresifitas gagal jantung yang secara individual maupun populasi. 16,17

2.2.8 Tatalaksana18

(40)

a) Self-Care

Pasien dengan gagal jantung harus dapat memperhatikan perjalanan pernyakitnya. Pasien harus diedukasi untuk menjaga gaya hidupnya, belajar untuk dapat beraktivitas sendiri dan tidak mengandalkan orang lain untuk beraktivitas. Yang terpenting adalah kesadaran pasien untuk mengkonsumsi obat secara teratur dan juga kontrol rutin berkala.

b). Restriksi Garam

c). Penggunaan CPAP untuk mengurangi gejala malam hari saat tidur

d). Latihan fisik dan Cardiac Rehabilitation dengan cara melatih sedikit demi sedikit tbuh untuk melakukan aktivitas ringan sampai sedang agar membantu menurunkan derajat gagal jantung. Hal ini sudah diteliti dapat meningkatkan prognosis gagal jantung lebih baik.

Tatalaksana pada gagal jantung tergantung dari keadaan klinis. Tatalaksana dibagi menjadi 2, yaitu untuk gagal jantung akut dan gagal jantung kronis eksaserbasi akut, lalu gagal jantung kronis.

Tatalaksana Gagal Jantung Akut

Kebanyakan gagal jantung akut didasari oleh PJK. Oleh sebab itu identifikasi PJK harus dipikirkans sejak awal untuk memilih terapi yang tepat. target terapi awal yaitu memperbaiki gejala-gejala atau keluhan dan menstabilkan hemodinamik.14

Pemberian diuretika intravena direkomendasikan pada gagal jantung akut jika ada gejala kongesti atau volume overload. Dosis awal dianjurkan adalah 20-40 mg intravena. Pasien harus sering diawasi terutama mengenai produksi urin. Pemasangan kateter urin umumnya untuk memonitor produksi urin dan mengetahui respon pengobatan. pemakaian furosemid tidak boleh melebihi 100mg untuk 6 jam pertama dan 240 mg pada 24 jam pertama.

(41)

Vasodilator direkomendasikan pada tahap awal gagal jantung akut apabila tidak ada tanda-tanda hipotensi, tekanan sistolik < 90 mmHg atau penyakit valvuler serius. Vasodilator yang diberikan adalah nitrogliserin dan isosorbit dinitrat (ISDN).

Obat inotropik hanya boleh diberikan pada penderita tekanan sistolik rendah, atau cardiac indeks yang rendah dengan tanda hipoperfusi atau kongesti. Obat yang diberika contohnya dobutamin. dosis awal antara 2-3 µg/kg/menit secara intravena, tanda di bolus. Dosis dapat ditingkatkan sampai 15 µg/kg/menit. Apabila sebelumnya diberikan beta bloker dosis dapat mencapai 20 µg/kg/menit.

2.9.2 Tatalaksana Gagal Jantung Kronis

Tatalaksana pada gagal jantung kronis menurut derajat NYHA.

(42)

Rekomendasi gagal jantung dengan CAD:

(43)

Pasien gagal jantung dengan kategori NYHA kelas IV, ACC/AHA stadium D memiliki mortalitas lebih dari 50%. Pada pasien hipotensi tingkat mortalitas mencapai 80%.

(44)

BAB III KESIMPULAN

Sindrom koroner akut adalah salah satu manifestasi klinis penyakit jantung koroner yang utama dan sering mengakibatkan kematian. Sindrom koroner akut terjadi karena terjadinya pengurangan oksigen akut atau subakut dari miokardium. Hal ini terjadi karena robekan plak aterosklerotik dan berkaitan dengan adanya proses inflammasi, trombosis, vasokonstriksi dan embolisasi. Iskemik miokardium dan menimbulkan Unstable Angina Pectoris (UAP) serta Infark Miokard Akut (IMA) seperti Non ST Elevation Myocardial Infarct (NSTEMI) dan ST Elevation Myocardial Infarct (STEMI). Hasil Riset Kesehatan Dasar (RISKESDAS) tahun 2013 menunjukkan prevalensi penderita PJK sebesar 0,5% dari seluruh pasien penyakit tidak menular. Daerah tertinggi berdasarkan terdiagnosis dokter adalah Sulawesi Tengah (0,8%) diikuti Sulawesi Utara, DKI Jakarta, Aceh masing-masing (0,7%).

Gagal jantung (heart failure) merupakan suatu sindroma klinis (sekumpulan tanda dan gejala), yang ditandai oleh sesak nafas dan fatik (saat istirahat atau aktivitas) yang disebabkan oleh kelainan struktur dan fungsi jantung. Terdapat beberapa faktor risiko terjadinya gagal jantung, yaitu kebiasan merokok, kurangnya aktivitas fisik, pola diet, kelebihan berat badan atau obesitas, penyakit infeksi, konsumsi alkohol, hyperlipidemia, diabetes mellitus, hipertensi, usia dan jenis kelamin. Pasien gagal jantung tingkat mortalitas ditentukan dengan kategori NYHA kelas IV, ACC/AHA stadium D memiliki mortalitas lebih dari 50%. Pada pasien hipotensi tingkat mortalitas mencapai 80%.

(45)

DAFTAR PUSTAKA

1. Tumade Biancha, Edmond L. Jim,dkk. Prevalensi sindrom koroner akut di RSUP Prof. Dr. R. D. Kandou. Jurnal e-Clinic (eCl):2016

2. Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan Kementrian RI. Riset kesehatan dasar, Jakarta: Kemenkes Kesehatan RI, 2013.

3. Yancy CW, Jessup M, Bozkurt B, Butler J, Casey DE, Drazner MH. 2013 ACCF/AHA Guideline for the Management of Heart Failure: A Report of the American College of Cardiology Foundation/ American Heart Association Task Force on Practice Guidelines.2013

4. Tortora, G.J., Derrickson, B., 2012. The Cardiovascular System: The Heart. In: Roesch, B., et al., eds. Principles of Anatomy and Physiology.13hed. USA: John Wiley & Sons, 763

5. Gagal jantung. Acces 9 Maret 2017.

http://repository.usu.ac.id/bitstream/123456789/31637/4/Chapter%20II.pdf

6. Guyton, Baraas F. Fisiologi. Jakarta:EGC;2006

7. Rilantono LI. Penyakit Kardiovaskular 5 Rahasia. Ed 1. Jakarta: Badan Penerbit FKUI. 2012.

8. Pedoman Tatalaksana Sindrom Koroner Akut [Internet]. Jakarta : Perhimpunan Dokter Spesialis Kardiovaskular Indonesia; 2015 [cited 2015 Aug 15]. Available from:

http://www.inaheart.org/upload/file/Pedoman_tatalaksana_Sindrom_Koroner_Akut_2015 .pdf

9. Lewis SL, HEITKEMPER MM, DIRKSEN SR, DKK MEDICAL SURCAL NURSING : Assesment and management of clinical problems vol 2 mosby elsevier

10. Risalina Myrtha. Patofisiologi sindroma koroner akut. CDK-192/ vol. 39 no. 4, th. 2012 11. Tanto C, Liwang F, Hanifati S, Pradipta EA. Kapita Selekta Kedokteran. 2nd ed.

Jakarta: Media Aesculapius; 2014. p 752-755.

12. Panggabean MM. Gagal Jantung. In: Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. 5th edition. Jakarta:

Interna Publishing;2009: 1583-5

13. Mansjoer A. dkk. (Eds). Kapita Selekta Kedokteran. 3rd edition. Volume 1. Jakarta: Media

(46)

14. Liwang F, Wijaya IP. Gagal Jantung.In: Kapita Selekta Kedokteran. 4th edition. Jakarta:

Media Aesculapius. 2014

15. Yelle D, Chaudhry S. Heart Failure.In: Mc Master Pathophysiology Review. Available at:

http://www.pathophys.org/heartfailure/

16. Steinl DC, Kaufmann BA. Ultrasound Imaging for Risk Assessment in Atherosclerosis. Int. J. Mol. Sci [Internet]. 2015 [cited 2015 Aug 8]; 16(5), 9749-9769.

17. Pedoman Tatalaksana gagal Jantung [Internet]. Jakarta : Perhimpunan Dokter Spesialis Kardiovaskular Indonesia; 2015 [cited 2015 Aug 15]. Available from:

Gambar

Gambar 1. Anatomi jantung
Gambar 2. Arteri koronaria
Gambar 4. Fase awal disfungsi endotel 2. Perkembangan proses aterosklerosis: peran proses inflamasi
Gambar 5. Pembentukan fatty streaks TINJAUAN PUSTAKA
+7

Referensi

Dokumen terkait

Kabupaten Ngawi memiliki beberapa obyek wisata diantaranya Musium Trinel, Tawun Poll, Pondok DAM, Kebun Teh Jamus, Monument Soerjo, Air Terjun Pengantin, dan

Hasil: Pemberian intervensi berupa relaksasi genggam jari pada pasien post operasi laparotomi sudah dapat mengatasi masalah nyeri akut, namun penurunan nyeri tidak dapat

1. Alasan para malaikat mempertanyakan kepada Allah SWT tentang penciptaan manusia menurut Qur’an Surat Al-Baqarah ayat 30

‘I don’t think mother or child is going to mind,’ said Myra, disappearing into Mr Hamilton’s pantry to use the telephone.. ‘But what will I say?’ This I directed to the

Ichsan Siregar Medan 23-03-83

Berdasarkan faktor yang mempengaruhi unggah ungguh penggunaan bahasa tersebut, maka seseorang akan berbicara dengan memperhatikan status dirinya dan status orang

Pada Tabel 5.6 dan Gambar 5.12, pada pengujian kuat tekan bebas langsung, terlihat bahwa nilai kuat tekan bebas paling besar terdapat pada kombinasi campuran tanah dengan 2,5% clean

Untuk magnetisasi daTitipe-P maka pactasalah satu lapisan tipis teIjadi pembalikan maIDenmagnetik sehingga akan timbul dinding tetapi kemudian lenyap apabila maIDenmagnetik