• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB VI ANALISIS IMPLEMENTASI KEBIJAKAN PEMULIHAN KETERSEDIAAN AIR DI CIKAPUNDUNG HULU

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "BAB VI ANALISIS IMPLEMENTASI KEBIJAKAN PEMULIHAN KETERSEDIAAN AIR DI CIKAPUNDUNG HULU"

Copied!
80
0
0

Teks penuh

(1)

112

ANALISIS IMPLEMENTASI KEBIJAKAN PEMULIHAN

KETERSEDIAAN AIR DI CIKAPUNDUNG HULU

Model yang telah diuji validitasnya dapat dianggap layak untuk dijadikan dasar

dalam melakukan analisis dan pemilihan kebijakan yang akan diintervensikan ke

dalam model sehingga dapat menjadi rekomendasi dalam implementasi kebijakan

di dunia nyata. Dalam analisis kebijakan ini model akan dicoba untuk

disimulasikan dalam jangka panjang (50 tahun) tanpa dilakukan intervensi

kebijakan (skenario dasar). Selanjutnya dari hasil analisis atas perilaku yang

terjadi dalam skenario dasar tersebut akan dicoba dilakukan intervensi berbagai

alternatif kebijakan ke dalam model. Dari berbagai alternatif kebijakan yang

diintervensikan ke dalam model tersebut selanjutnya akan dilakukan analisis lebih

mendalam agar dihasilkan rekomendasi pemilihan kebijakan yang paling tepat

dan layak untuk diterapkan.

Meskipun di dalam penelitian ini ukuran keberhasilan dari penerapan suatu

kebijakan lebih dilihat dari sisi sumber daya air dan kondisi hidrologi, namun

secara umum kondisi tersebut dimaksudkan untuk memberikan manfaat yang

paling besar, baik terhadap masyarakat yang tinggal di DAS Cikapundung Hulu

maupun terhadap masyarakat di Kawasan Cekungan Bandung. Hal ini karena air

merupakan sumber utama yang sangat dibutuhkan dalam kehidupan manusia dan

juga mahluk hidup lainnya. Dalam setiap kegiatan manusia, air selalu mengambil

peran utama, baik itu dalam kegiatan manusia sebagai individu (minum, mandi,

bersuci), maupun masyarakat dalam kehidupan sosial dan ekonomi (air sebagai

pembangkit energi listri, air sebagai bahan baku dalam proses industri, dll.

Keterkaitan dengan kehidupan masyarakat tersebut dapat digambarkan bahwa

dengan semakin baiknya kondisi hidrologi DAS yang ditunjukkan dengan

terjaganya (dan meningkatnya) kawasan tutupan hutan maka kawasan tersebut,

yang sebagian besar merupakan kawasan dengan kondisi kelerengan yang cukup

terjal, akan dapat terhindar dari potensi bencana tanah longsor. Selain itu kondisi

hidrlogi yang baik akan memberikan laju infiltrasi air hujan yang tinggi ke dalam

(2)

113

tanah yang sangat bermanfaat dalam memberikan laju pengisian air tanah dalam

untuk memenuhi kebutuhan masyarakat di Kawasan Cekungan Bandung.

Ketersediaan air permukaan terutama dari sisi kontinyuitas penyediaannya

sepanjang tahun (sepanjang musim) akan mampu memberikan suplai terhadap

berbagai kebutuhan air baku yang antara lain adalah sebagai sumber air minum,

air baku pembangkit listrik (PLTA) maupun irigasi. Sehingga dengan keberadaan

suplai air yang kontinyu maka kelangsungan hidup masyarkat yang layak dan

selalu tumbuh lebih baik (dair sisi skonomi, sosial maupun budaya) dapat selalu

terjaga.

VI.1. Perilaku Model Dengan Skenario Dasar Dalam Jangka

Panjang

Perilaku model jangka panjang pengelolaan DAS Cikapundung Hulu didasarkan

atas asumsi umum bahwa struktur fenomena bersifat tetap dan tidak mengalami

perubahan dari sisi unsur maupun keterkaitannya. Selama jangka waktu simulasi

model tidak terdapat faktor-faktor eksternal dan kebijakan (struktur keputusan)

yang secara signifikan dapat merubah struktur model.

Perilaku pertumbuhan ekonomi Kawasan Cekungan Bandung

Pada awal simulasi pertumbuhan PDRB maupun stok kapital terkesan cukup

lambat bahkan sempat cenderung menurun. Hal ini juga sebagai akibat dari

adanya dampak krisis ekonomi yang terjadi pada tahun 1996 sampai dengan tahun

1999. Dampak krisis sendiri memerlukan waktu pemulihan hingga 5 tahun.

Sementara dalam jangka panjang, baik PDRB maupun kapitalisasi industri serta

jasa dan perdagangan mengalami peningkatan yang cukup tajam. Kondisi

pertumbuhan ekonomi (PDRB dan stok kapital) sebenarnya dipengaruhi oleh efek

ketersediaan air tanah dan juga efek pasokan listrik. Efek ini antara lain

dipengaruhi oleh kinerja fungsi hidrologi di DAS Cikapundung, namun karena

masih ada beberapa DAS lain yang mempengaruhi ketersediaan air di Kawasan

Cekungan Bandung maka seolah-olah efek dari DAS Cikapundung Hulu tersebut

tidak begitu berpengaruh terhadap perekonomian di Kawasan Cekungan Bandung.

(3)

114

yang tentu saja akan semakin mengurangi ketersediaan air di kawasan tersebut

(bahkan penurunan yang dominan atas air tanah adalah akibat eksploitasi yang

berlebihan dari sektor industri). Apabila seluruh kondisi tersebut dapat

diintegrasikan maka pengaruh ketersediaan air terhadap pertumbuhan ekonomi

akan sangat signifikan dan menjadi salah satu penghambat. Pada Gambar VI.1.

dan VI.2. diperlihatkan perilaku jangka panjang (50 tahun) pertumbuhan ekonomi

di Kawasan Cekungan Bandung.

Di dalam penelitian ini, meskipun ditinjau juga pengaruh ketersediaan air

terhadap pertumbuhan ekonomi di Cekungan Bandung, namun yang lebih menjadi

fokus dalam pembahasan adalah penurunan ketersediaan air di DAS Cikapundung

Hulu akibat dari perubahan fungsi lahan yang terjadi.

Gambar VI.1. Perilaku pertumbuhan PDRB Kawasan Cekungan Bandung

dalam jangka panjang

Perilaku Jangka Panjang

Pertumbuhan PDRB

Tahun Milyar Rupiah PDRB_industri 1 PDRB_JP 2 PDRB_Total 3 1,990 2,000 2,010 2,020 2,030 2,040 0 100,000 200,000 300,000 400,000 500,000 600,000 1 2 3 1 2 3 1 2 3 1 2 3 1 2 3 1 2 3

(4)

115

Gambar VI.2. Perilaku pertumbuhan kapitalisasi industri serta jasa dan

Perdagangan Kawasan Cekungan Bandung dalam jangka panjang

Perilaku Perkembangan Jumlah Penduduk

Dalam jangka panjang, jumlah penduduk di Kawasan Cekungan Bandung

cenderung mengalami pertumbuhan positif dari tahun ke tahun. Krisis ekonomi

tahun 1997-2000 tidak memberikan efek yang signifikan terhadap perkembangan

jumlah penduduk, sebagaimana diperlihatkan pada Gambar VI.3. Faktor yang

mempengaruhi pertumbuhan penduduk selain faktor alamiah (kelahiran dan

kematian) adalah inmigrasi dan out migrasi. Kedua unsur tersebut dipengaruhi

oleh daya tarik kawasan yang dalam hal ini adalah pertumbuhan ekonomi yang

memicu kebutuhan akan tenaga kerja, PDRB per kapita yang juga menjadi daya

tarik kesejahteraan serta daya tarik ketersediaan air. Selain itu untuk faktor out

migrasi dipengaruhi juga oleh efek krisis karena adanya pemutusan hubungan

kerja yang menyebabkan tenaga kerja migran kembali ke daerah asalnya. Namun

demikian, perubahan jumlah penduduk yang didorong oleh faktor migrasi tersebut

relatif masih kecil bila dibandingkan dengan pertumbuhan alamiahnya. Dalam

pertumbuhan penduduk alamiah tersebut dipengaruhi pula oleh efek ketersediaan

air yang ikut memberikan efek pada kualitas kesehatan masyarakat.

Perilaku Jangka Panjang Pertumbuhan

Kapitalisasi Industri serta Jasa dan Perdagangan

Tahun Milyar Rupiah Kapital_Industri 1 Kapital_JP 2 1,990 2,000 2,010 2,020 2,030 2,040 0 500,000 1,000,000 1,500,000 2,000,000 1 2 1 2 12 1 2 1 2 1 2

(5)

116

Gambar VI.3. Perilaku pertumbuhan jumlah penduduk di

Kawasan Cekungan Bandung dalam jangka panjang

Perilaku perkembangan jumlah penduduk yang dimunculkan didasarkan atas

asumsi bahwa struktur dan nilai dari variabel-variabel model tidak mengalami

perubahan selama masa analisis (2010-2040). Kebijakan-kebijakan di bidang

kependudukan juga sama sebelum dan sesudah tahun 2010, sehingga di dalam

model kondisi tersebut direpresentasikan dengan nilai parameter yang bersifat

konstan. Pada tahun 2040 diperkirakan akan ada kurang lebih 5,5 juta orang yang

tinggal di Kawasan Cekungan Bandung.

Adapun perilaku pertumbuhan penduduk DAS Cikapundung Hulu yang

merupakan bagian dari Kawasan Cekungan Bandung juga tumbuh mengikuti

pertumbuhan penduduk Kawasan Cekungan Bandung, bahkan cenderung lebih

pesat. Dengan kondisi alamiah serta kebijakan di bidang kependudukan yang

sama, maka dapat dikatakan bahwa pengaruh migrasi penduduk pada wilayah

DAS Cikapundung Hulu tersebut cukup signifikan.

Mengingat harga lahan permukiman di wilayah tersebut yang relatif cukup tinggi

maka dapat dikatakan bahwa para migran yang bertempat tinggal di wilayah

tersebut dari masyarakat berpenghasilan menengah ke atas sehingga meskipun

terjadi kisis mereka tetap bertempat tinggal di wilayah tersebut. Nemun pada saat

krisis memang terlihat pertumbuhan penduduk agak landai, tidak sepesat ketika

di Cekungan Bandung

Tahun Juta Jiwa 1,990 2,000 2,010 2,020 2,030 2,040 0 5 10 15 20 25 30 35 40 45 50 55

(6)

117

tidak terjadi krisis, dan ketika krisis berlalu pertumbuhan penduduk bertambah

sangat pesat seiring dengan pertumbuhan ekonomi Kawasan Cekungan Bandung.

Hal tersebut semakin membuktikan bahwa faktor penduduk migran cukup

berpengaruh pada pertumbuhan penduduk di wilayah tersebut. Pada tahun 2040

diperkirakan akan ada kurang lebih 800 ribu orang tinggal di DAS Cikapundung

Hulu.

Gambar VI.4. Perilaku pertumbuhan jumlah penduduk di

DAS Cikapundung Hulu dalam jangka panjang

Perilaku Pemanfaatan Lahan DAS Cikapundung Hulu

Dalam jangka panjang, peningkatan pemanfaatan lahan akan didominasi untuk

memenuhi kebutuhan lahan permukiman seiring dengan pesatnya pertumbuhan

penduduk. Perilaku jangka panjang penggunaan lahan ini didasarkan atas asumsi

bahwa pola pengembangan lahan permukiman masih menggunakan pola

penyebaran secara horisontal dan belum diterapkan regulasi yang mengatur pola

pengembangan permukiman secara vertikal melalui konsolidasi lahan untuk

mengatasi keterbatasan ketersediaan lahan yang dapat dikonversi menjadi

permukiman.

Dapat terlihat bahwa mulai tahun 1998 peningkatan alih fungsi lahan menjadi

lahan permukiman terlihat meningkat cukup tajam hingga akhir masa simulasi.

Selain itu peningkatan kebutuhan lahan perkebunan juga terlihat meningkat. Di

Perilaku Pertumbuhan Penduduk

DAS Cikapundung Hulu

Tahun Juta Jiwa 1,990 2,000 2,010 2,020 2,030 2,040 0.2 0.3 0.4 0.5 0.6 0.7 0.8

(7)

118

bahwa lahan ladang dan sawah mengalami penurunan yang sangat tajam. Hal ini

karena yang secara langsung mengalami konversi menjadi lahan permukiman

adalah lahan ladang dan sawah.

Dalam kurun waktu 50 tahun dikhawatirkan luas lahan ladang dan sawah akan

menurun lebih dari setengahnya. Sedangkan lahan hutan pun akan mengalami alih

fungsi menjadi lahan perkebunan dan juga menjadi lahan ladang dan sawah,

namun karena adanya kebijakan reboisasi dan pembatasan penebangan hutan yang

saat ini sudah dijalankan maka alih fungsi lahan hutan tersebut tidaklah setajam

alih fungsi lahan ladang dan sawah. Apabila tidak ada upaya pencegahan yang

siginifikan atas alih fungsi lahan hutan maka dikhawatirkan suatu saat lahan hutan

akan habis terkonversi baik menjadi permukiman (dengan terlebih dahulu

terkonversi menjadi lahan ladang dan sawah) maupun lahan perkebunan.

Sedangkan dominiasi pemanfaatan lahan akan beralih menjadi lahan permukiman.

Kondisi tersebut di atas dianggap sebagai kondisi pemanfaatan lahan yang sangat

buruk untuk suatu DAS sebagaimana nanti akan diperlihatkan dalam perilaku

kondisi DAS Cikapundung. Gambar VI.5. berikut akan memperlihatkan perilaku

pemanfaatan lahan di DAS Cikapundung Hulu dalam jangka panjang (50 tahun).

Gambar VI.5. Perilaku pemanfaatan lahan di DAS Cikapundung Hulu

dalam jangka panjang

Perilaku Pemanfaatan Lahan

di DAS Cikapundung Hulu

Tahun Ha Hutan 1 Perkebunan 2 Ladang_dan_Sawah 3 Permukiman 4 1,990 2,000 2,010 2,020 2,030 2,040 0 1,000 2,000 3,000 4,000 5,000 6,000 7,000 8,000 9,000 1 2 3 4 1 2 3 4 1 2 3 4 1 2 3 4 1 2 3 4 1 2

(8)

119

Perilaku Kondisi Hidrologi DAS Cikapundung Hulu dalam Jangka Panjang

Dalam perilaku kondisi hidrologi DAS Cikapundung Hulu terlihat bahwa volume

runoff air hujan terus meningkat dari waktu ke waktu. Hal tersebut menunjukkan

bahwa telah terjadi perubahan komponen hidrologi menuju kondisi yang tidak

diinginkan, dimana air hujan yang seharusnya diresapkan (infiltrasi) ke dalam

tanah sebagai suplai kebutuhan air pada daerah di bawahnya malah menjadi

limpasan air hujan yang menuju ke sungai dan segera dialirkan ke laut. Terlihat

bahwa debit sungai juga semakin meningkat yang mengindikasikan adanya

penambahan aliran runoff ke dalam aliran sungai. Aliran runoff tersebut walaupun

volumenya sangat besar namun cenderung tidak dapat dimanfaatkan karena sifat

alirannya yang sesaat (tidak kontinyu) dan segera menuju ke laut. Bahkan aliran

yang besar tersebut cenderung menimbulkan potensi banjir di sektar daerah

pengalirannya. Dari Gambar VI.6. terlihat pula bahwa aliran infiltrasi terus

menurun seiring berjalannya waktu. Infiltrasi tersebut sebagian akan menjadi

aliran dasar (base flow) yang merupakan pasokan aliran sungai yang bersifat

kontinyu. Penurunan infiltrasi menunjukkan bahwa lahan yang berfungsi sebagai

resapan air telah banyak terkonversi menjadi lahan terbangun (di dalam model ini

adalah lahan permukiman) dan apabila hal tersebut terus dibiarkan maka akan

mengakibatkan permasalahan kekeringan mapun banjir.

Gambar VI.6. Perilaku perubahan aliran runoff, infiltrasi dan debit

Sungai di DAS Cikapundung Hulu dalam jangka panjang

Perilaku Runoff, Infiltrasi dan Debit Sungai

di DAS Cikapundung Hulu

Tahun Meter Kubik RunOff 1 Infiltrasi 2 Debit_S_Cikapundung 3 1,990 2,000 2,010 2,020 2,030 2,040 200,000,000 250,000,000 1 2 3 1 2 3 1 2 3 1 2 3 1 2 3 1 2 3

(9)

120

Cikapundung Hulu yang terus menurun seiring berjalannya waku. Indikasi

ketersediaan air untuk Kawasan Cekungan Bandung dari DAS Cikapundung Hulu

dalam gambar tersebut tidak berdimensi karena diturunkan dari rasio baseflow

yang terjadi dibandingkan dengan baseflow awal (tahun 1990), dan terlihat bahwa

terjadi penurunan yang mengindikasikan bahwa dalam jangka panjang pasokan air

tanah dalam untuk Kawasan Cekungan Bandung akan terus berkurang. Dapat

diasumsikan bahwa perilaku tersebut tidak hanya terjadi di DAS Cikapundung

Hulu namun terjadi juga di DAS-DAS lain yang merupakan daerah tangkapan air

(catchment area) untuk Kawasan Cekungan Bandung, sehingga akumulasi dari

kondisi tersebut akan menimbulkan potensi permasalahan ketersediaan air yang

cukup signifikan.

Gambar VI.7. Perilaku penurunan indikasi ketersediaan air untuk Kawasan

Cekungan Bandung dari DAS Cikapundung Hulu dalam jangka panjang

Perilaku Kecukupan Aliran Debit Sungai Cikapundung Hulu Untuk Berbagai

Kebutuhan (PLTA, PDAM dan Irigasi)

Dalam Gambar VI.8. diperlihatkan perilaku penurunan debit Sungai Cikapundung

pada 3 (tiga) titik pengamatan, yaitu pada section 1 yang merupakan titik sebelum

dilakukan penyadapan air untuk keperluan air baku air minum PDAM pada intake

Perilaku Indikasi Ketersediaan Air

Dari DAS Cikapundung Hulu

Tahun Tanpa Satuan 1,990 2,000 2,010 2,020 2,030 2,040 0.92 0.94 0.96 0.98

(10)

121

Dago Pakar dan penyadapan untuk alokasi kolam Dago (kolam penampungan

harian untuk kebutuhan air baku PDAM intake Dago dan 2 PLTA yaitu PLTA

Bengkok dan PLTA Dago Pojok). Section 2 merupakan titik setelah mendapatkan

limpahan air dari PLTA namun sebelum dilakukan penyadapan air untuk air baku

PDAM intake Gandok. Sedangkan section 3 adalah titik setalah dilakukan

penyadapan untuk PDAM Gandok namun sebelum mendapatkan suplesi dari

Sungai Cikapayang. Pada ketiga titik pengamatan tersebut terlihat adanya

penurunan debit Sungai Cikapundung yang dapat dimanfaatkan dari tahun ke

tahun yang sangat signifikan, sehingga pada akhir masa simulasi (tahun 2040)

diindikasikan debit Sungai Cikapundung yang dapat dimanfaatkan tinggal

setengah dari kapasitas yang ada saat ini.

Gambar VI.8. Perilaku penurunan debit sungai Cikapundung

yang dapat dimanfaatkan

Adapun dalam Gambar VI.9. diperlihatkan bahwa pada titik pengamatan 1

(section 1) sekitar tahun 2020 akan terjadi kekurangan pasokan air untuk berbagai

kebutuhan (terutama untuk PLTA, karena suplai air baku untuk PDAM diambil

sebelum titik pengambilan untuk PLTA). Dengan kebutuhan air diasumsikan tetap

(tidak ada penambahan kapasitas PLTA maupun PDAM dari sumber air baku

Sungai Cikapundeng) dan terjadinya penurunan debit Sungai Cikapundung yang

dapat dimanafaatkan dari tahun ke tahun maka pada tahun 2020 Sungai

Perilaku Penurunan Debit Sungai Cikapundung Yang Dapat Dimanfaatkan

(Pada Tiga Titik Penyadapan)

Tahun Meter Kubik Debit_S_Cikapundung_Section_1_yg_dpt_dimanf 1 Debit_S_Cikapundung_Section_2_yg_dpt_dimanf 2 Debit_S_Cikapundung_Section_3_yg_dpt_dimanf 3 1,990 2,000 2,010 2,020 2,030 2,040 50,000,000 100,000,000 150,000,000 1 2 3 1 2 3 1 2 3 1 2 3 1 2 3 1 2

(11)

122

Simulasi tersebut dilakukan dengan diskretisasi waktu satu tahunan, sehingga

apabila diskretisasi waktu tersebut diperkecil, misalnya bulanan, maka akan

semakin terlihat permasalahan kekurangan pasokan air baku tersebut untuk

berbagai kebutuhan, karena pada saat bulan-bulan kering (tidak turun hujan) maka

debit andalan Sungai Cikapundung hanya berasal dari baseflow yang sudah

barang tentu kapasitasnya tidak akan mencukupi kebutuhan PDAM, PLTA dan

irigasi.

Gambar 5.28. Perilaku Penurunan Indikasi Ketersediaan Air Untuk

Kawasan Cekungan Bandung dari DAS Cikapundung Hulu

Dalam Jangka Panjang

Gambar VI.9. Perilaku tidak tercukupinya kebutuhan air untuk

keperluan air minum, PLTA dan irigasi di Sungai Cikapundung

Pada Gambar VI.10. diperlihatkan indikasi kecukupan air Sungai Cikapundung

untuk kebutuhan PDAM, PLTA dan irigasi. Dalam gambar tersebut terlihat bahwa

kebutuhan pasokan air baku untuk PDAM akan tercukupi karena pengambilan air

tersebut dilakukan sebelum titik pengambilan air untuk PLTA (untuk intake Dago

Pakar dan intake Dago) sedangkan untuk intake Gandok setelah Sungai

Cikapundung tersebut mendapatkan suplesi dari limpahan PLTA. Untuk

kebutuhan PLTA, mulai sektar tahun 2025 akan terjadi kekurangan pasokan air

baku penggerak turbin sebagai akibat dari menurunnya kapasitas debit air Sungai

Cikapundung yang dapat dimanfaatkan. Demikian halnya dengan kebutuhan air

untuk irigasi yang akan mengalami kekurangan. Namun demikian untuk

kebutuhan irigasi perlu dikaji lebih jauh karena seiring berjalannya waktu

erilaku Tidak Tercukupinya Kebutuhan Air di Sungai Cikapundung

(Untuk Keperluan Air Minum, PLTA dan Irigasi)

Tahun Meter Kubik Debit_S_Cikapundung_Section_1_yg_dpt_diman 1 Air_yg_Disalurkan 2 1,990 2,000 2,010 2,020 2,030 2,040 0 50,000,000 100,000,000 150,000,000 200,000,000 250,000,000 300,000,000 1 2 1 2 1 2 1 2 1 2 1

(12)

123

kebutuhan air irigasi juga akan menurun sebagai akibat dari menurunnya fungsi

lahan pertanian di DAS tersebut.

Gambar VI.10. Indikasi kecukupan debit air Sungai Cikapundung

untuk kebutuhan PLTA, PDAM dan irigasi

VI.1. Skenario Kebijakan Pemulihan Ketersediaan Air di DAS

Cikapundung Hulu

Skenario kebijakan pemulihan ketersediaan air ditujukan untuk mengetahui

bagaimana efek yang dimunculkan dengan adanya intervensi suatu kebijakan

terhadap struktur pengelolaan DAS Cikapundung Hulu. Skenario dilakukan

terhadap beberapa alternatif kebijakan yang akan ditempuh di dalam upaya

pemulihan fungsi DAS Cikapundung Hulu guna memulihkan ketersediaan air,

baik air tanah maupun aliran sungai yang dapat dimanfaatkan.

Mengacu pada struktur model eksisting yang telah dikembangkan dalam Bab V,

pengendalian perilaku penurunan koefisien infiltrasi DAS Cikapundung Hulu

yang antara lain menyebabkan penurunan kapasitas air tanah dan air Sungai

Cikapundung dapat dilakukan melalui intervensi kebijakan pada aspek alih fungsi

lahan terutama lahan permukiman dan lahan hutan, aspek teknis peningkatan

kapasitas infiltrasi serta aspek teknis penurunan kapasitas air yang terbuang.

Indikasi Kecukupan Air Untuk Masing-Masing Kebutuhan

di Sungai Cikapundung

Tahun Tan p a Dimensi Indikasi_Kecukupan_Produksi_Listrik 1 Indikasi_Ketersd_Air_Irigasi 2 Indikasi_Kecukupan_Air_PDAM 3 1,990 2,000 2,010 2,020 2,030 2,040 0.0 0.5 1.01 2 3 1 2 3 1 2 3 1 2 3 1 2 3 1 2 3

(13)

124

intervensi kebijakan pengendalian alih fungsi lahan menjadi lahan permukiman

dan pengembalian fungsi lahan hutan dalam jangka panjang akan mempengaruhi

kondisi ketersediaan air tanah terutama dari aspek pengisian (infiltrasi alamiah).

Adapun upaya intervensi kebijakan terkait aspek teknis peningkatan kapasitas

infiltrasi diharapkan akan mampu meningkatkan koefisien infiltrasi pada

lahan-lahan yang secara eksisting sudah terlanjur berubah fungsi menjadi daerah

terbangun (kawasan permukiman). Upaya tersebut lebih berupa rekayasa teknik

dan diharapkan akan cukup efektif dalam mengembalikan kapasitas infiltrasi pada

kawasan-kawasan yang telah berkurang vegetasinya. Upaya intervensi kebijakan

selanjutnya yaitu terkait aspek pengendalian aliran air (sungai) yang secara

langsung dilakukan terhadap badan sungai tersebut sehingga dapat menurunkan

kapasitas air yang seringkali terbuang (pada bulan basah) untuk dapat

dimanfaatkan pada bulan kering (kemarau).

Skenario kebijakan pemulihan ketersediaan air dalam penelitian ini lebih

dititikberatkan pada rekayasa struktur submodel pemanfaatan lahan DAS,

submodel hidrologi dan submodel ketersediaan air, mengingat pendekatan

intervensi yang dilakukan dalam submodel-submodel tersebut akan memberikan

perubahan langsung terhadap perilaku kondisi ketersediaan air, baik air tanah

maupun air Sungai Cikapundung.

1. Kebijakan pertama (pembangunan rusunami)

Dalam rekayasa struktur pemanfaatan lahan DAS, upaya pertama yang dapat

dilakukan adalah dengan membangun sarana permukiman vertikal agar dapat

menampung lebih banyak penduduk dalam lahan yang terbatas. Gagasan

membangun rumah susun sederhana milik (rusunami) yang saat ini sedang

digalakkan oleh pemerintah melalaui kebijakan pembangunaan 1000 tower

merupakan alternatif intervensi kebijakan yang layak dipertimbangkan untuk

diimplementasikan.

Kebijakan tersebut merupakan bentuk intervensi terhadap struktur submodel

pemanfaatan lahan DAS yang selama ini mendapat tekanan yang sangat hebat

untuk memenuhi kebutuhan lahan permukiman. Dengan disediakannya

(14)

unit-125

unit rusunami diharapkan tekanan tersebut akan berkurang dan konversi lahan

menjadi lahan permukiman pun akan berkurang, sehingga laju peningkatan

koefisien runoff akan dapat diredam guna mencegah semakin merosotnya laju

infiltrasi air hujan ke dalam tanah. Dalam disain rusunami yang telah

dilakukan oleh beberapa pengembang, rata-rata pada setiap unit tower

rusunami memiliki 20 sampai dengan 30 lantai yang dapat menampung 1.000

sampai dengan 1.500 unit tempat tinggal. Dengan asumsi 1 unit tempat

tinggal diisi oleh 1 keluarga yang terdiri dari 4 orang maka masing-masing

unit tower rusunami tersebut dapat menampung 4.000 hingga 6.000

penduduk. Kebijakan pembangunan 1 (satu) tower rusunami setiap tahun

diindikasikan akan mampu menahan laju tekanan kebutuhan lahan

permukiman yang cukup signifikan.

2. Kebijakan kedua (pengembalian fungsi lahan hutan)

Dalam rekayasa struktur pemanfaatan lahan DAS, upaya selanjutnya yang

dapat dilakukan adalah dengan meningkatkan laju infiltrasi air hujan ke

dalam tanah melalui kebijakan pengembalian fungsi hutan sebagaimana SK

Gubernur Jawa Barat No. 181.1/SK.1624-Bapp/1982 tentang Pengamanan

Wilayah Inti Bandung Raya Bagian Utara yang sebagian besar merupakan

daerah tangkapan air (cathment area) untuk Kawasan Cekungan Bandung.

Upaya pengembalian fungsi hutan ini di dalam struktur submodel

diintervensikan pada upaya penghentian laju tebangan hutan baik untuk

memenuhi kebutuhan lahan perkebunan maupun lahan ladang dan sawah.

Selain itu upaya reboisasi yang telah ada di dalam struktur model mula-mula

(skenario dasar) tetap dijaga dan dipertahankan. Implementasi penghentian

laju tebangan hutan tersebut dapat diatur sesuai dengan beberapa variasi yang

diantaranya adalah dengan penghentian laju tebangan sepanjang waktu yang

artinya mulai kebijakan ini diimplementasikan tidak boleh ada lagi alih fungsi

lahan hutan ke dalam bentuk apapun, dan dapat juga implementasi kebijakan

tersebut hanya diterapkan selama jangka waktu tertentu (misalnya 20 tahun)

untuk memulihkan kondisi lahan hutan yang selama ini telah terkonversi di

luar aturan yang telah ditetapkan. Pendekatan kebijakan dalam pemanfaatan

lahan ini dikembangkan dengan membangun interaksi antara unsur

(15)

126

hasil penerapan kebijakan dalam pemanfaatan lahan ini akan ditentukan oleh

variabel-variabel endogen dari struktur model.

Implementasi alternatif kebijakan terhadap struktur submodel pemanfaatan

lahan (skenario pertama dan kedua) diperlihatkan pada Gambar VI.11.

berikut:

Gambar VI.11. Intervensi kebijakan pembangunan rusunami dan

pengembalian fungsi hutan. Pada gambar di atas untuk yang

berwarna hitam merupakan skenario dasar, sedangkan yang

berwarna merah merupakan intervensi kebijakan pembangunan

rusunami (skenario pertama) dan yang diberi arsir warna biru

menunjukkan bahwa komponen tersebut tidak aktif untuk jangka

waktu tertentu (skenario kedua).

3. Kebijakan ketiga (pembuatan lubang resapan biopori)

Upaya intervensi kebijakan selanjutnya yang dapat dilakukan adalah

intervensi kebijakan pada struktur submodel hidrologi, yaitu dengan membuat

lubang resapan biopori pada kawasan permukiman. Dengan adanya lubang

resapan biopori tersebut maka dapat dikatakan bahwa secara langsung telah

dilakukan penambahan bidang resapan air, setidaknya sebesar luas

Hutan Sawah dan Ladang Perkebunan Permukiman etate tebangan pertumbuhan penduduk

+

laju tebangan reboisasi

+

pembangunan rusunami

+

+

+

+

+

+

+

+

+

+

+

+

+

(16)

127

kolom/dinding lubang. Sebagai contoh bila lubang dibuat dengan diameter 10

cm dan kedalaman 100 cm maka luas bidang resapan akan bertambah

sebanyak 3.140 cm

2

atau hampir 1/3 m

2

. Dengan kata lain suatu permukaan

tanah berbentuk lingkaran dengan diamater 10 cm, yang semula mempunyai

bidang resapan 78.5 cm

2

setelah dibuat lubang resapan biopori dengan

kedalaman 100 cm, luas bidang resapannya menjadi 3.218 cm

2

. Selain itu

dengan adanya aktivitas fauna tanah pada lubang resapan yang telah diisi

dengan sampah organik maka biopori akan terbentuk dan senantiasa

terpelihara keberadaannya. Bidang resapan tersebut akan selalu terjaga

kemampuannya dalam meresapkan air, dengan demikian kombinasi antara

luas bidang resapan dengan kehadiran biopori secara bersama-sama akan

meningkatkan kemampuan lahan dalam meresapkan air.

Implementasi alternatif kebijakan terhadap struktur submodel hidrologi

(skenario ketiga) diperlihatkan pada Gambar VI.12. berikut:

Gambar VI.12. Intervensi kebijakan pembuatan lubang resapan

biopori (LRB). Pada gambar di atas untuk yang berwarna hitam

merupakan skenario dasar, sedangkan yang berwarna merah

merupakan intervensi kebijakan pembangunan LRB. (skenario

ketiga).

Di dalam kebijakan tersebut direncanakan untuk dibuat lubang resapan

biopori (LRB) pada seluruh lahan terbuka pada kawasan permukiman

(termasuk fasilitas umum) dengan jumlah lubang yang perlu dibuat dapat

dihitung dengan menggunakan persamaan sebagai berikut:

  iInfiltrasi lahan   terbangun 

+

ketersediaan  air tanah  populasi  penduduk  + + +

+

koefisien  runoff  air  permukaan  + + + + + baseflow Pembuatan lubang  resapan biopari  -

(17)

128

Jumlah LRB =

L P A L /

Sehingga dengan intensitas hujan 50 mm/jam (hujan lebat), asumsi luas

bidang kedap adalah 70% dari total luas lahan permukiman dan laju

peresapan adalah sebesar 3 liter/menit (180 liter/jam), maka perlu dibuat

kurang lebih 19 LRB pada setiap 100 meter

2

lahan permukiman. Dengan

kondisi tersebut maka diasumsikan akan mampu menurunkan koefisien runoff

dari 0,7 menjadi 0,5.

Di dalam struktur model, intervensi kebijakan tersebut dilakukan terhadap

komponen frasksi koefisien limpasan (runoff) pada lahan permukiman

(Fr_C_Permukiman) sebagaimana dapat dilihat di dalam Gambar V.9

terdahulu. Implementasi kebijakan tersebut akan merubah variabel koefisien

runoff pada struktur model dari semula sebesar 0,7 menjadi 0,5 (setelah

implementasi kebijakan) yang berarti telah menambah paling tidak 20%

kapasitas infiltrasi lebih banyak.

3. Kebijakan keempat (pembangunan bendung)

Upaya intervensi kebijakan terakhir yang dapat dilakukan adalah intervensi

kebijakan pada struktur submodel ketersediaan air, yaitu dengan membangun

bendung pada badan sungai dengan lokasi sebelum dilakukan penyadapan

oleh PDAM Dago Pakar (daerah Bantar Awi). Dengan adanya bendung

tersebut diharapkan akan dapat menampung kelebihan debit air sungai pada

waktu musim hujan (akibat runoff yang berlebihan), untuk kemudian

mendistribusikannya pada bulan-bulan kering (musim kemarau).

Dalam membangun suatu bendung diperlukan perencanaan yang baik mulai

dari studi kelayakan (feasibility study), analisis mengenai dampak lingkungan

(AMDAL), detail disain hingga akhirnya dilakukan tahap konstruksi bendung

dan tahap pengisian/penggenangan bendung. Namun demikian, tahap yang

paling penting dalam perencanaan bendung tersebut adalah tahap penentuan

volume reservoir bendung. Niken dan Arwin (2008) telah menghitung

volume reservoir bendung tersebut menggunakan metode Ripple dengan debit

bulanan minimum periode ulang 20 tahun dan 10 tahun serta debit rata-rata

(18)

129

dari debit input. Berdasarkan perhitungan tersebut diperlukan volume waduk

kurang lebih sebesar 8,2 juta m

3. .

Gambar VI.13 Lokasi rencana pembangunan waduk rencana di Bantar Awi

(Niken dan Arwin, 2008)

Di dalam struktur model, intervensi kebijakan tersebut dilakukan terhadap

komponen frasksi air terbuang sebagaimana dapat dilihat di dalam Gambar V.12

terdahulu. Implementasi kebijakan tersebut akan merubah variabel fraksi air

terbuang pada struktur model dari semula sebesar 0,25 menjadi hanya sebesar

0,05 (setelah implementasi kebijakan) yang berarti telah mengurangi terbuangnya

potensi debit air sebesar 20% dari total debit sungai atau sebesar 80% dari total air

terbuang mula-mula.

VI.2. Simulasi dan Analisis Implementasi Kebijakan Pemulihan

Ketersediaan Air di DAS Cikapundung Hulu

Berkaitan dengan mekanisme kebijakan pemulihan ketersediaan air di DAS

Cikapundung Hulu, ada beberapa alternatif skema kebijakan yang dapat ditempuh

sebagai berikut :

Skenario 1:

Adopsi kebijakan pembangunan rusunami

Skema kebijakan ini menginternalisasikan parameter pengali kebijakan lahan

permukiman (sebesar 0,5) yang merupakan asumsi tertampungnya 50%

pertambahan penduduk DAS (netgrowth) ke dalam program rusunami. Adopsi

(19)

130

tekanan permintaan lahan permukiman karena telah tertampungnya 50%

pertambahan penduduk tersebut, seperti terlihat dalam Gambar VI.13.

(a) (b)

(c) (d)

(e) (f)

(g) (h)

Pengaruh Kebijakan Pembangunan Rusunami Terhadap Pemanfaatan Lahan

Tahun Ha Hutan 1 Hutan 2 Perkebunan 3 Perkebunan 4 Ladang_dan_Sawah 5 Ladang_dan_Sawah 6 Permukiman 7 Permukiman 8 1,990 2,000 2,010 2,020 2,030 2,040 0 1,000 2,000 3,000 4,000 5,000 6,000 7,000 8,000 9,000 1 2 3 4 5 6 7 8 1 2 3 4 56 7 8 1 2 3 4 5 6 7 8 1 2 3 4 5 6 7 8 1 2 3 4 5 6 7 8 1 3 6

Pengaruh Pembangunan Rusunami Terhadap Perilaku Runoff, Infiltrasi dan Debit Sungai di DAS Cikapundung Hulu

Tahun Met er K ubi k 1 RunOff RunOff 2 Infiltrasi 3 Infiltrasi 4 Debit_S_Cikapundung 5 Debit_S_Cikapundung 6 1,990 2,000 2,010 2,020 2,030 2,040 200,000,000 250,000,000 300,000,000 1 2 3 4 5 6 1 2 3 4 5 6 1 2 3 4 5 6 1 2 3 4 5 6 1 2 3 4 5 6 1 3 5

Pengaruh Pembangunan Rusunami Terhadap Perilaku Indikasi Ketersediaan Air Dari DAS Cikapundung Hulu

Tahun T anpa Satuan 1,990 2,000 2,010 2,020 2,030 2,040 0.92 0.94 0.96 0.98 1 2 1 2 1 2 1 2 1 2 1

Pengaruh Pembangunan Rusunami Terhadap Perilaku Penurunan Debit Sungai Cikapundung Yang Dapat Dimanfaatkan

Tahun M e ter K ubi k 1 Debit_S_Cikapundung_Section_1_yg_dpt_dimanf Debit_S_Cikapundung_Section_1_yg_dpt_dimanf 2 Debit_S_Cikapundung_Section_2_yg_dpt_dimanf 3 Debit_S_Cikapundung_Section_2_yg_dpt_dimanf 4 Debit_S_Cikapundung_Section_3_yg_dpt_dimanf 5 Debit_S_Cikapundung_Section_3_yg_dpt_dimanf 6 1,990 2,0002,0102,0202,030 2,040 50,000,000 100,000,000 150,000,000 1 2 3 4 5 6 12 34 5 6 12 3 4 5 6 12 34 56 1 2 3 4 56 1 2 3 4

Pengaruh Pembangunan Rusunami Terhadap Perilaku Tidak Tercukupinya Kebutuhan Air di Sungai Cikapundung

(Untuk Keperluan Air Minum, PLTA dan Irigasi)

Tahun Meter Kubi k Debit_S_Cikapundung_Section_1_yg_dpt_dimanf 1 Debit_S_Cikapundung_Section_1_yg_dpt_dimanf 2 Air_yg_Disalurkan 3 Air_yg_Disalurkan 4 1,990 2,000 2,010 2,020 2,030 2,040 100,000,000 150,000,000 1 2 3 4 1 2 3 4 1 2 3 4 1 2 3 4 1 2 3 4 1 2

Pengaruh Pembangunan Rusunami Terhadap Indikasi Kecukupan Air Untuk Masing-Masing Kebutuhan

di Sungai Cikapundung Tahun Tanpa D im ensi Indikasi_Kecukupan_Produksi_Listrik 1 Indikasi_Kecukupan_Produksi_Listrik 2 Indikasi_Ketersd_Air_Irigasi 3 Indikasi_Ketersd_Air_Irigasi 4 Indikasi_Kecukupan_Air_PDAM 5 Indikasi_Kecukupan_Air_PDAM 6 1,990 2,000 2,010 2,020 2,030 2,040 0.5 0.6 0.7 0.8 0.9 1.0 1 2 3 4 5 6 1 2 3 4 5 6 1 2 3 4 5 6 1 2 3 4 5 1 3 4 1 2 3

Pengaruh Pembangunan Rusunami Terhadap Perilaku Pertumbuhan PDRB

Tahun M ily ar R upiah PDRB_industri 1 PDRB_industri 2 PDRB_JP 3 PDRB_JP 4 PDRB_Total 5 PDRB_Total 6 1,990 2,000 2,010 2,020 2,030 2,040 0 200,000 400,000 600,000 1 2 3 45 6 1 2 3 45 6 1 2 3 4 5 6 1 2 34 56 12 3 4 5 6 1 3 5 6

Pengaruh Pembangunan Rusunami Terhadap Perilaku Pertumbuhan Kapitalisasi Industri serta Jasa dan Perdagangan

Tahun Mi ly ar R upi ah Kapital_Industri 1 Kapital_Industri 2 Kapital_JP 3 Kapital_JP 4 1,990 2,000 2,010 2,020 2,030 2,040 0 500,000 1,000,000 1,500,000 2,000,000 1 2 3 4 1 2 3 4 1 2 3 4 1 2 34 1 2 3 4 1 3 4

(20)

131

(i) (j)

Keterangan :

1,3,5,7 : Skenario dasar 2,4,6,8 : Skenarion setelah implementasi kebijakan

Gambar V.14. Pengaruh implementasi kebijakan pembangunan rusunami

terhadap perilaku : (a) pemanfaatan lahan DAS Cikapundung

Hulu, (b) runoff, infiltrasi dan debit sungai, (c) indikasi

ketersediaan air, (d) penurunan debit sungai yang dapat

dimanfaatkan, (e) tidak tercukupinya kebutuhan air, (f) indikasi

kecukupan air untuk berbagai kebutuhan, (g) pertumbuhan

PDRB, (h) pertumbuhan kapitalisasi industri, jasa dan

perdagangan, (i) populasi penduduk CekunganBandung, (j)

populasi penduduk DAS Cikapundung Hulu.

Dengan mengimplementasikan kebijakan pembangunan rusunami untuk

mengantisipasi pertumbuhan penduduk di DAS tersebut mempengaruhi berbagai

perilaku variabel-variabel di dalam model, sebagai berikut:

Tabel VI.1. Analisisi simulasi model sebagai efek kebijakan pembangunan rumah

susun sederhana milik (rusunami)

Skenario Kebijakan Dampak

Terhadap Analisis Terhadap Simulasi Model

1. Pembangunan Rusunami (apar-temen sederhana) (Skenario 1) Pemanfaatan lahan (gambar a)

1. Lahan Hutan (garis 1 dan 2)

Lahan hutan mengalami sedikit peningkatan bila dibandingkan dengan skenario dasar. Dapat terlihat dari hasil simulasi pada awalnya keduanya masih berimpit dan baru pada tahun 2018 terjadi sedikit peningkatan lahan hutan sebagai efek diimplementasikannya kebijakan. Namun demikian secara keseluruhan luas lahan hutan akan terus berkurang seiring berjalannya waktu. Hal ini karena tidak adanya hubungan secara langsung antara lahan hutan dan lahan

Pengaruh Pembangunan Rusunami Terhadap Perilaku Pertumbuhan Penduduk DAS Cikapundung Hulu

Tahun Ju ta Jiw a 1,990 2,000 2,010 2,020 2,030 2,040 0.2 0.3 0.4 0.5 0.6 0.7 0.8 1 2 1 2 1 2 1 2 1 2 1

Pengaruh Pembangunan Rusunami Terhadap Perilaku Model Penduduk

Cekungan Bandung Tahun Juta Jiwa 1,990 2,000 2,010 2,020 2,030 2,040 0 6 12 18 24 30 36 42 48 59 1 2 1 2 1 2 1 2 12 1

(21)

132

Terhadap

permukiman. Alih fungsi lahan hutan lebih kepada pemenuhan kebutuhan untuk lahan pertanian (ladang dan sawah) serta lahan perkebunan, sedangkan kebutuhan lahan permukiman dipenuhi dari alih fungsi lahan pertanian (ladang dan sawah). Namun demikian karena tekanan kebutuhan permukiman terhadap lahan ladang dan sawah berkurang maka tekanan alih fungsi lahan hutan untuk menjadi lahan ladang dan sawah pun berkurang.

Di dalam struktur submodel pemanfaatan lahan diperlihatkan bahwa dengan intervensi unsur pembangunan rusunami ke dalam sistem maka pertumbuhan penduduk tidak lagi hanya menekan kebutuhan lahan permukiman secara normal (setiap unit tempat tinggal menempati lahan sendiri), namun sebagian mampu dirubah menjadi tempat tinggal yang menempati lahan secara bersama-sama (vertikal), sehingga pertumbuhan lahan permukiman yang diinginkan mampu diturunkan.

2. Lahan Perkebunan (garis 3 dan 4)

Lahan perkebunan, seperti halnya lahan hutan, mengalami sedikit peningkatan bila dibandingkan dengan skenario dasar. Dapat terlihat dari hasil simulasi pada awalnya keduanya masih berimpit dan baru pada tahun 2020 terjadi sedikit peningkatan lahan perkebunan sebagai efek diimplementasikannya kebijakan. Secara keselu-ruhan luas lahan perkebunan akan terus bertambah seiring berjalannya waktu. Hal ini juga diakibatkan karena tidak adanya keterkaitan langsung antara lahan perkebunan dengan kebutuhan lahan permukiman. Namun demikian karena tekanan alih fungsi lahan ladang dan sawah menjadi lahan permukiman berkurang maka terjadi kelonggaran untuk alih fungsi lahan ladang dan sawah menjadi lahan perkebunan, sehingga lahan perkebunan cenderung meningkat.

3. Lahan Sawah dan Ladang (garis 5 dan 6)

Lahan sawah dan ladang mengalami peningkatan cukup besar bila dibandingkan dengan skenario dasar. Dapat terlihat sejak mulai efektifnya kebijakan atau setelah beroperasinya rusunami (tahun 2013) telah terjadi peningkatan lahan sawah dan ladang sebagai efek dari diimplemen-tasikannya kebijakan. Namun demikian, secara

(22)

133

Skenario Kebijakan Dampak

Terhadap Analisis Terhadap Simulasi Model

keseluruhan luas lahan sawah dan ladang masih akan tetap mengalami penurunan seiring berjalannya waktu. Perilaku tersebut muncul karena adanya keterkaitan langsung antara lahan ladang dan sawah dengan lahan permukiman. Alih fungsi lahan ladang dan sawah sebagian besar akibat tekanan laju permintaan/kebutuhan lahan permukiman. Dengan berkurangnya tekanan tersebut (akibat terpenuhinya sebagian kebutuhan permukiman oleh rusunami) maka meskipun masih tetap terjadi alih fungsi lahan ladang dan sawah namun penurunan luas lahan ladang dan sawah tersebut tidak lagi setajam sebelum diimplementasikannya kebijakan pembangunan rusunami.

Di dalam struktur submodel pemanfaatan lahan diperlihatkan bahwa dengan intervensi unsur pembangunan rusunami ke dalam sistem maka pertumbuhan penduduk tidak lagi hanya menekan kebutuhan lahan permukiman secara normal (setiap unit tempat tinggal menempati lahan sendiri), namun sebagian mampu dirubah menjadi tempat tinggal yang menempati lahan secara bersama-sama (vertikal), sehingga laju konversi lahan ladang dan sawah menjadi lahan permukiman dapat dikurangi dengan signifikan.

4. Lahan Permukiman (garis 7 dan 8)

Pengaruh paling besar atas implementasi kebijakan terjadi pada lahan permukiman, dimana terjadi penurunan kebutuhan lahan permukian yang cukup signifikan bila dibandingkan dengan skenario dasar. Dapat terlihat sejak mulai efektifnya kebijakan atau setelah beroperasinya rusunami (tahun 2013) telah terjadi penurunan lahan permukiman sebagai efek dari diimplemen-tasikannya kebijakan. Namun demikian, secara keseluruhan luas lahan permukiman tersebut masih akan tetap meningkat seiring berjalannya waktu. Pengaruh implementasi kebijakan langsung dirasakan dengan menurunnya penggunaan lahan untuk lahan permukiman (karena sebagian penduduk menempati rusunami yang merupakan hunian vertikal sehingga mampu menampung penduduk dengan kepadatan per luas lahan sangat tinggi).

Di dalam struktur submodel pemanfaatan lahan diperlihatkan bahwa dengan intervensi unsur pembangunan rusunami ke dalam sistem maka

(23)

134

Terhadap

pertumbuhan penduduk tidak lagi hanya menekan kebutuhan lahan permukiman secara normal (setiap unit tempat tinggal menempati lahan sendiri), namun sebagian mampu dirubah menjadi tempat tinggal yang menempati lahan secara bersama-sama (vertikal), sehingga kebutuhan lahan permukiman dapat dikurangi dengan signifikan

Runoff,

infiltrasi dan

debit sungai,

(gambar b)

1. Runoff (garis 1 dan 2)

Terjadi penurunan sedikit pada aliran runoff setelah diimplementasikannya kebijakan. Hal tersebut dapat terlihat dari hasil simulasi bahwa sejak mulai efektifnya kebijakan atau setelah beroperasinya rusunami (tahun 2013) telah terjadi penurunan aliran runoff sebagai efek dari diimplementasikannya kebijakan, sehingga perlahan-lahan aliran runoff mulai stabil (cenderung konstan) dan tidak lagi terus meningkat seperti pada skenario dasar. Perilaku ini terjadi karena alih fungsi lahan menjadi lahan terbangun (permukiman) berkurang, sehingga koefisien runoff DAS meskipun masih meningkat (karena alih fungsi lahan menjadi lahan terbangun masih tetap terjadi) namun sudah banyak berkurang dengan terpenuhinya kebutuhan permukiman oleh rusunami.

Di dalam struktur submodel pemanfaatan lahan diperlihatkan bahwa dengan intervensi unsur pembangunan rusunami ke dalam sistem maka pertumbuhan penduduk tidak lagi hanya menekan kebutuhan lahan permukiman secara normal (setiap unit tempat tinggal menempati lahan sendiri), namun sebagian mampu dirubah menjadi tempat tinggal yang menempati lahan secara bersama-sama (vertikal), sehingga kebutuhan lahan permukiman dapat dikurangi dengan signifikan. Hal tersebut berpengaruh pada struktur model hidrologi, dimana dengan melambatnya kebutuhan lahan terbangun maka laju pertambahan koefisien runoff dapat ditekan.

2. Infiltrasi (garis 3 dan 4)

Terjadi peningkatan sedikit pada aliran infiltrasi setelah diimplementasikannya kebijakan. Hal tersebut dapat terlihat dari hasil simulasi bahwa sejak mulai efektifnya kebijakan atau setelah beroperasinya rusunami (tahun 2013) telah terjadi penurunan aliran infiltrasi sebagai efek dari diimplementasikannya kebijakan, sehingga

(24)

135

Skenario Kebijakan Dampak

Terhadap Analisis Terhadap Simulasi Model

mes-kipun tetap terjadi penurunan aliran infiltrasi namun sudah tidak terlalu tajam seperti pada skenario dasar. Dengan berkurangnya peningkatan laju aliran runoff maka aliran infiltrasi akan meningkat. Aliran infiltrasi tersebut sebagian akan mengalir sebagai baseflow dan sebagian lagi akan menjadi aliran air tanah dalam untuk mengisi cadangan air tanah di Cekungan Bandung.

Di dalam struktur submodel pemanfaatan lahan diperlihatkan bahwa dengan intervensi unsur pembangunan rusunami ke dalam sistem maka pertumbuhan penduduk tidak lagi hanya menekan kebutuhan lahan permukiman secara normal (setiap unit tempat tinggal menempati lahan sendiri), namun sebagian mampu dirubah menjadi tempat tinggal yang menempati lahan secara bersama-sama (vertikal), sehingga kebutuhan lahan permukiman dapat dikurangi dengan signifikan. Hal tersebut berpengaruh pada struktur model hidrologi, dimana dengan melambatnya kebutuhan lahan terbangun maka laju pertambahan koefisien runoff dapat ditekan dan sebaliknya laju infiltrasi pun tidak lagi semakin turun tajam

3. Debit Sungai Cikapundung (garis 5 dan 6)

Seperti halnya aliran runoff, terjadi penurunan sedikit pada debit Sungai Cikapundung setelah diimplementasikannya kebijakan. Hal tersebut dapat terlihat dari hasil simulasi bahwa sejak mulai efektifnya kebijakan atau setelah beroperasinya rusunami (tahun 2013) telah terjadi penurunan debit sungai sebagai efek dari diimplementasikannya kebijakan, sehingga perlahan-lahan debit sungai mulai stabil (cenderung konstan) dan tidak lagi terus meningkat seperti pada skenario dasar. Perilaku penurunan debit aliran sungai ini terjadi karena debit aliran sungai berasal dari 2 sumber yaitu

baseflow dan runoff. Dengan menurunnya aliran runoff (meskipun baseflow juga akan meningkat

dengan meningkatnya aliran infiltrasi) namun karena peenurunan runoff masih lebih besar dari pada peningkatan baseflow) maka secara keseluruhan akumulasi debit sungai selama setahun mengalami penurunan. Apabila ditinjau secara sekilas, penurunan tersebut terkesan berdampak kurang baik bagi ketersediaan air, namun sebenarnya banyak aspek positif yang

(25)

136

Terhadap

terjadi dari perilaku penurunan debit sungai tersebut. Di dalam model ini diskretisasi waktu adalah tahunan (1 tahun) sehingga sensitifitas hasil simulasi masih mampu melihat perubahan perilaku tersebut dalam bulanan. Mengingat di bahwa di dalam 1 tahun terjadi 2 musim yaitu musim hujan dan musim kemarau maka untuk analisis hidrologi akan lebih baik apabila mempertimbangkan kondisi tersebut, dimana pada musim hujan akan terjadi debit ekstrim basah sedangkan di musim kemarau akan terjadi debit ekstrim kering. Kondisi hidrologi yang buruk (kritis) adalah apabila gap antara debit ekstrim basah dan debit ekstrim kering tersebut sangat tinggi yang menandakan bahwa dalam sistem tersebut aliran runoff sangat besar sedangkan baseflow sangat rendah, yang berakibat terjadinya kekurangan air pada musim kemarau dan potensi banjir pada musim hujan. Di dalam implementasi kebijakan ini terlihat bahwa terjadi upaya perbaikan atas kondisi tersebut, dimana aliran runoff diupayakan untuk ditekan agar tidak terus meningkat dan sebaliknya akan ditinghkatkan aliran infiltrasi dan sekaligus baseflow guna memperbaiki kualitas kondisi hidrologi. Implementasi kebi-jakan pembangunan rusunami dinilai cukup baik untuk mendukung upaya tersebut karena akan ikut menekan semakin meningkatnya alih fungsi lahan menjadi lahan terbangun (permukiman) yang dapat berakibat meningkatnya koefisien

runoff.

Di dalam struktur submodel pemanfaatan lahan diperlihatkan bahwa dengan intervensi unsur pembangunan rusunami ke dalam sistem maka pertumbuhan penduduk tidak lagi hanya menekan kebutuhan lahan permukiman secara normal (setiap unit tempat tinggal menempati lahan sendiri), namun sebagian mampu dirubah menjadi tempat tinggal yang menempati lahan secara bersama-sama (vertikal), sehingga kebutuhan lahan permukiman dapat dikurangi dengan signifikan. Hal tersebut berpengaruh pada struktur model hidrologi, dimana dengan melambatnya kebutuhan lahan terbangun maka laju pertambahan koefisien runoff dapat ditekan sehingga debit Sungai Cikapundung pun ikut berkurang.

(26)

137

Skenario Kebijakan Dampak

Terhadap Analisis Terhadap Simulasi Model

Indikasi ketersediaan

air dari DAS Cikapundung

Hulu Gambar (c)

Terjadi sedikit perbaikan atas potensi ketersediaan air dari DAS Cikapundung Hulu untuk mengisi cadangan air tanah di Kawasan Cekungan Bandung. Di dalam simulasi tersebut terlihat bahwa perlahan-lahan terjadi perbaikan atas semakin menurunnya potensi ketersediaan air tersebut. Perbaikan tersebut mulai terlihat pada tahun 2020 dimana penurunan potensi ketersediaan air tersebut tidak serendah penurunan pada skenario dasar. Perilaku tersebut terjadi karena meningkatnya laju aliran infiltrasi yang sebagian akan mengisi cadangan air tanah di Kawasan Cekungan Bandung.

Di dalam struktur submodel pemanfaatan lahan diperlihatkan bahwa dengan intervensi unsur pembangunan rusunami ke dalam sistem maka pertumbuhan penduduk tidak lagi hanya menekan kebutuhan lahan permukiman secara normal (setiap unit tempat tinggal menempati lahan sendiri), namun sebagian mampu dirubah menjadi tempat tinggal yang menempati lahan secara bersama-sama (vertikal), sehingga kebutuhan lahan permukiman dapat dikurangi dengan signifikan. Hal tersebut berpengaruh pada struktur model hidrologi, dimana dengan melambatnya kebutuhan lahan terbangun maka laju pertambahan koefisien runoff dapat ditekan dan sebaliknya laju infiltrasi pun tidak lagi semakin turun tajam sehingga potensi ketersediaan air dari DAS Cikapundung Hulu untuk kebutuhan di Kawasan Cekungan Bandung tidak lagi semakin berkurang dengan tajam. Debit Sungai Cikapundung Yang Dapat Dimanfaatkan Gambar (d)

1. Section 1 (garis 1 dan 2)

Dengan implemantasi kebijakan pembangunan rusunami maka penurunan debit Sungai Cikapundung yang dapat dimanfaatkan mampu dihambat secara signifikan. Hal tersebut dapat terlihat dari hasil simulasi model dimana setelah diimplementasikan kebijakan pembangunan rusunami debit Sungai Cikapundung yang dapat dimanfaatkan pada section 1 yang semula mengalami penurunan sangat tajam (pada skenario dasar) dapat diredam. Perilaku tersebut dimunculkan karena pembangunan rusunami mampu menahan alih fungsi lahan menjadi lahan terbangun (permukiman), sehingga laju pertam-bahan koefisien runoff dapat dihambat dan

(27)

138

Terhadap

sebaliknya laju infiltrasi dapat ditingkatkan. Adanya penurunan laju peningkatan aliran runoff (sifat aliran runoff yang cenderung sesaat, maka semakin tinggi runoff akan menyebakan potensi air terbuang semakin tinggi) dan meningkatnya

baseflow (aliran baseflow cenderung satabil/

mantap sepanjang tahun) akan menurunkan gap antara debit ekstrim kering dan debit ekstrim basah sehingga air yang dapat dimanfaatkan dapat meningkat, seperti yang sudah diuraikan di depan.

2. Section 2 (garis 3 dan 4)

Seperti halnya pada section 1, implemantasi kebijakan pembangunan rusunami akan mampu menghambat laju penurunan debit Sungai Cikapundung yang dapat dimanfaatkan. Hal tersebut dapat terlihat dari hasil simulasi model dimana setelah diimplementasikan kebijakan pembangunan rusunami debit Sungai Cikapun-dung yang dapat dimanfaatkan pada section 2 yang semula mengalami penurunan cukup tajam (pada skenario dasar) dapat diredam. Perilaku tersebut dimunculkan karena laju pertambahan koefisien runoff dapat dihambat dan sebaliknya laju infiltrasi dapat ditingkatkan. Adanya penurunan laju peningkatan aliran runoff (sifat aliran runoff yang cenderung sesaat, maka semakin tinggi runoff akan menyebakan potensi air terbuang semakin tinggi) dan meningkatnya baseflow (aliran baseflow cenderung satabil/ mantap sepanjang tahun) akan menurunkan gap antara debit ekstrim kering dan debit ekstrim basah sehingga air yang dapat dimanfaatkan dapat meningkat, seperti yang sudah diuraikan di depan.

3. Section 3 (garis 5 dan 6)

Demikian pula dengan efek kebijakan tersebut pada pemanfaatan air sungai yang dapat dimanfaatkan pada section 3. Dengan imple-mentasi kebijakan pembangunan rusunami maka penurunan debit Sungai Cikapundung pada section 3 tersebut dapat dihambat. Hal tersebut dapat terlihat dari hasil simulasi model dimana setelah diimplementasikan kebijakan pembangu-nan rusunami maka debit Sungai Cikapundung yang dapat dimanfaatkan pada section 3 yang semula mengalami penurunan sangat tajam (pada skenario dasar) dapat diredam. Perilaku

(28)

139

Skenario Kebijakan Dampak

Terhadap Analisis Terhadap Simulasi Model

tersebut dimunculkan karena pembangunan rusunami mampu menahan alih fungsi lahan menjadi lahan terbangun (permukiman), sehingga laju pertam-bahan koefisien runoff dapat dihambat dan sebaliknya laju infiltrasi dapat ditingkatkan. Adanya penurunan laju peningkatan aliran runoff (sifat aliran runoff yang cenderung sesaat, maka semakin tinggi runoff akan menyebakan potensi air terbuang semakin tinggi) dan meningkatnya baseflow (aliran baseflow cenderung satabil/mantap

sepanjang tahun) akan menurunkan gap antara debit ekstrim kering dan debit ekstrim basah sehingga air yang dapat dimanfaatkan dapat meningkat, seperti yang sudah diuraikan di depan

Di dalam struktur submodel pemanfaatan lahan diperlihatkan bahwa dengan intervensi unsur pembangunan rusunami ke dalam sistem maka pertumbuhan penduduk tidak lagi hanya menekan kebutuhan lahan permukiman secara normal (setiap unit tempat tinggal menempati lahan sendiri), namun sebagian mampu dirubah menjadi tempat tinggal yang menempati lahan secara bersama-sama (vertikal), sehingga kebutuhan lahan permukiman dapat dikurangi dengan signifikan. Hal tersebut berpengaruh pada struktur model hidrologi, dimana dengan melambatnya kebutuhan lahan terbangun maka laju pertambahan koefisien runoff dapat ditekan sehingga di dalam struktur model ketersediaan air dapat dilihat bahwa semakin berkurangnya laju runoff dan meningkatnya infiltrasi maupun

baseflow akan berpengaruh terhadap

meningkatnya debit Sungai Cikapundung yang dapat dimanfaatkan. Kecukupan penyediaan air Sungai Cikapundung di section 1. Gambar (e)

Pada section 1 tersebut terlihat bahwa dalam skenario dasar (garis 1) akan terjadi kekurangan pasokan air sekitar tahun 2022, namun dengan diimplementasikannya kebijakan pembangunan rusunami yang mampu meredam laju penurunan debit air yang dapat dimanfaatkan, maka kondisi kekurangan pasokan air tersebut dapat sedikit ditunda mesikipun tidak signifikan yaitu hingga tahun 2022 (garis 2). Dengan demikian masalah kekurangan pasokan air untuk berbabagai kebutuhan di section 1 masih tetap terjadi (garis 3 dan 4 menunjukka kebutuhan pasokan air di section 1).

(29)

140

Terhadap

Untuk pasokan air untuk kebutuhan di section 2 dan 3 dapat tercukupi karena adanya suplesi dari air yang telah digunakan oleh PLTA (limpahan) yang dapat digunakan kembali sebagai air baku untuk keperlulan lain.

Indikasi kecukupan air untuk masing masing kebutuhan Gambar (f)

1. Indikasi kecukupan produksi listrik (garis 1 dan 2)

Pada skenario dasar kebutuhan air untuk produksi listrik masih dapat terpenuhi sampai dengan tahun 2022, namun setelah itu kecukupan air untuk produksi listrik menurun drastis. Setelah implementasi kebijakan pembangunan rusunami yang mampu menahan laju tekanan alih fungsi lahan menjadi lahan terbangun akan dapat menahan laju penurunan ketersediaan air di Sungai Cikapundung yang dapat dimanfaatkan. Di dalam simulasi terlihat bahwa dengan implementasi kebijakan tersebut maka kekurangan pasokan air untuk produksi listrik baru terjadi pada tahun 2037. Meskipun demikian kebijakan tersebut belum sepenuhnya mampu menanggulangi ancaman kekurangan pasokan air untuk produksi listrik, apalagi kalau pasokan tersebut dilihat dalam diskretisasi waktu yang lebih kecil dari 1 tahun (bulanan atau harian)

2. Indikasi kecukupan kebutuhan irigasi (garis 3 dan 4)

Demikian halnya untuk pemenuhan kebutuhan irigasi, pada skenario dasar kebutuhan air untuk irigasi masih dapat terpenuhi sampai dengan tahun 2022, namun setelah itu kecukupan air untuk irigasi tersebut menurun drastis, bahkan penurunan lebih tajam dibandingkan dengan penurunan kecukupan air untuk produksi listrik. Setelah implementasi kebijakan pembangunan rusunami yang mampu menahan tekanan alih fungsi lahan menjadi lahan terbangun, laju penurunan ketersediaan air di Sungai Cikapundung yang dapat dimanfaat-kan dapat ditekan. Di dalam simulasi terlihat bahwa dengan implementasi kebijakan tersebut maka kekurangan pasokan air untuk kebutuhan irigasi baru terjadi pada tahun 2036. Meskipun demikian kebijakan tersebut belum sepenuhnya mampu menanggulangi ancaman kekurangan pasokan air untuk kebutuhan irigasi.

(30)

141

Skenario Kebijakan Dampak

Terhadap Analisis Terhadap Simulasi Model

3. Indikasi kecukupan kebutuhan air minum (garis 5 dan 6)

Lain halnya dengan pemenuhan kebutuhan air untuk air minum. Untuk pasokan kebutuhan ini baik di dalam skenario dasar maupun skenario setelah implementasi kebijakan masih akan tetap terpenuhi. Hal ini karena kebutuhan air untuk air minum memiliki prioritas yang lebih tinggi dari pada kebutuhan yang lain (PLTA dan irigasi). Dengan demikian dapat dikatakan bahwa implementasi kebijakan ini tidak begitu berpengaruh terhadap kecukupan air yang dibutuhkan untuk air minum.

PDRB Cekungan

Bandung Gambar (g)

1. PDRB Industri (garis 1 dan 2)

Penerapan kebijakan pembangunan rusunami yang berpengaruh pada peningkatan indikasi ketersediaan air untuk Kawasan Cekungan Bandung memiliki efek positif bagi pertum-buhan PDRB industri di kawasan tersebut. Hal ini terlihat dari hasil simulasi yang memperlihatkan adanya perilaku pertumbuhan PDRB industri yang sedikit lebih tinggi bila dibandingkan dengan pertumbuhan pada skenario dasar.

2. PDRB Jasa dan Perdagagan (garis 3 dan 4)

Penerapan kebijakan pembangunan rusunami yang berpengaruh pada peningkatan indikasi ketersediaan air untuk Kawasan Cekungan Bandung memiliki efek positif bagi pertum-buhan PDRB jasa dan perdagangan di kawasan tersebut. Hal ini terlihat dari hasil simulasi yang memperlihatkan adanya pertumbuhan PDRB jasa dan perdagangan yang sedikit lebih tinggi bila dibandingkan dengan pertumbuhan pada skenario dasar.

3. PDRB total (garis 5 dan 6)

Penerapan kebijakan pembangunan rusunami yang berpengaruh pada peningkatan indikasi ketersediaan air untuk Kawasan Cekungan Bandung memiliki efek positif bagi pertum-buhan PDRB total di kawasan tersebut. Hal ini terlihat dari hasil simulasi yang memperlihatkan adanya pertumbuhan PDRB total yang sedikit lebih tinggi bila dibandingkan dengan pertumbuhan pada skenario dasar.

(31)

142

Terhadap

Di dalam struktur submodel pemanfaatan lahan diperlihatkan bahwa dengan intervensi unsur pembangunan rusunami ke dalam sistem maka pertumbuhan penduduk tidak lagi hanya menekan kebutuhan lahan permukiman secara normal (setiap unit tempat tinggal menempati lahan sendiri), namun sebagian mampu dirubah menjadi tempat tinggal yang menempati lahan secara bersama-sama (vertikal), sehingga kebutuhan lahan permukiman dapat dikurangi dengan signifikan. Hal tersebut berpengaruh pada struktur model hidrologi, dimana dengan melambatnya kebutuhan lahan terbangun maka laju pertambahan koefisien runoff dapat ditekan sehingga di dalam struktur model ketersediaan air dapat dilihat bahwa semakin berkurangnya laju runoff dan meningkatnya infiltrasi maupun

baseflow akan berpengaruh terhadap

meningka-tnya ketersediaan air dan meningkameningka-tnya debit Sungai Cikapundung yang dapat dimanfaatkan. Peningkatan ketersediaan air tanah dari DAS Cikapundung Hulu yang akan menyuplai kebutuhan air tanah untuk Kawasan Cekungan Bandung dan juga meningkatnya debit Sungai Cikapundung yang dapat dimanfaatkan (termasuk untuk pembangkit listrik) di dalam struktur model ekonomi merupakan efek positif yang akan mampu mendorong peningkatan pertumbuhan ekonomi (PDRB) di Kawasan Cekungan Bandung. Pertumbuhan Kapitalisasi Industri, Jasa dan Perdagangan di Cekungan Bandung Gambar (h)

1. Kapital Industri (garis 1 dan 2)

Seperti halnya pada pertumbuhan PDRB, penerapan kebijakan pembangunan rusunami yang berpengaruh pada peningkatan indikasi ketersediaan air untuk Kawasan Cekungan Bandung memiliki efek positif bagi pertum-buhan kapital industri di kawasan tersebut. Hal ini terlihat dari hasil simulasi yang memperlihatkan adanya pertumbuhan kapital industri yang sedikit lebih tinggi bila dibandingkan dengan pertumbuhan pada skenario dasar.

2. Kapital Jasa dan Perdagagan (garis 3 dan 4)

Demikian halnya dengan pertumbuhan kapital jasa dan perdagangan, penerapan kebijakan pembangunan rusunami ini juga memiliki efek positif bagi pertumbuhan kapital jasa dan perdagangan di kawasan tersebut. Hal ini terlihat

(32)

143

Skenario Kebijakan Dampak

Terhadap Analisis Terhadap Simulasi Model

dari hasil simulasi yang memperlihatkan adanya pertumbuhan kalpital jasa dan perdagangan yang sedikit lebih tinggi bila dibandingkan dengan pertumbuhan pada skenario dasar.

Di dalam struktur submodel pemanfaatan lahan diperlihatkan bahwa dengan intervensi unsur pembangunan rusunami ke dalam sistem maka pertumbuhan penduduk tidak lagi hanya menekan kebutuhan lahan permukiman secara normal (setiap unit tempat tinggal menempati lahan sendiri), namun sebagian mampu dirubah menjadi tempat tinggal yang menempati lahan secara bersama-sama (vertikal), sehingga kebutuhan lahan permukiman dapat dikurangi dengan signifikan. Hal tersebut berpengaruh pada struktur model hidrologi, dimana dengan melambatnya kebutuhan lahan terbangun maka laju pertambahan koefisien runoff dapat ditekan sehingga di dalam struktur model ketersediaan air dapat dilihat bahwa semakin berkurangnya laju runoff dan meningkatnya infiltrasi maupun

baseflow akan berpengaruh terhadap

meningka-tnya ketersediaan air dan meningkameningka-tnya debit Sungai Cikapundung yang dapat dimanfaatkan. Peningkatan ketersediaan air tanah dari DAS Cikapundung Hulu yang akan menyuplai kebutuhan air tanah untuk Kawasan Cekungan Bandung dan juga meningkatnya debit Sungai Cikapundung yang dapat dimanfaatkan (termasuk untuk pembangkit listrik) di dalam struktur model ekonomi merupakan efek positif yang akan mampu mendorong peningkatan pertumbuhan investasi (pertumbuhan kapital industri dan pertumbuhan kapital jasa dan perdagangan) di Kawasan Cekungan Bandung. Pertumbuhan populasi penduduk Cekungan Bandung Gambar (i)

Dengan adanya sedikit pengaruh positif dari implementasi kebijakan ini pada pertumbuhan kapital industri serta jasa dan perdagangan, maka kebijakan tersebut juga berpengaruh pada pertumbuhan penduduk di Cekungan Bandung. Hal ini karena dalam setiap investasi baik di sektor industri maupun sektor jasa dan perdagangan akan menarik kebutuhan tenaga kerja baru dimana sebagian diantaranya dipenuhi dari tenaga ahli migran (inmigrasi). Selain itu peningkatan indikasi ketersediaan air juga mempunyai efek positif terhadap fraksi kelahiran dan efek negatif terhadap Kematian. Dengan demikian secara keseluruhan terjadi peningkatan

(33)

144

Terhadap

pertumbuhan pendudun di Cekungan Bandung bila dibandingkan dengan pertumbuhan penduduk pada skenario dasar, terutama peningkatan tersebut terlihat mulai tahun 2028. Di dalam struktur submodel pemanfaatan lahan diperlihatkan bahwa dengan intervensi unsur pembangunan rusunami ke dalam sistem maka pertumbuhan penduduk tidak lagi hanya menekan kebutuhan lahan permukiman secara normal (setiap unit tempat tinggal menempati lahan sendiri), namun sebagian mampu dirubah menjadi tempat tinggal yang menempati lahan secara bersama-sama (vertikal), sehingga kebutuhan lahan permukiman dapat dikurangi dengan signifikan. Hal tersebut berpengaruh pada struktur model hidrologi, dimana dengan melambatnya kebutuhan lahan terbangun maka laju pertambahan koefisien runoff dapat ditekan sehingga di dalam struktur model ketersediaan air dapat dilihat bahwa semakin berkurangnya laju runoff dan meningkatnya infiltrasi maupun

baseflow akan berpengaruh terhadap

meningka-tnya ketersediaan air dan meningkameningka-tnya debit Sungai Cikapundung yang dapat dimanfaatkan. Peningkatan ketersediaan air tanah dari DAS Cikapundung Hulu yang akan menyuplai kebutuhan air tanah untuk Kawasan Cekungan Bandung dan juga meningkatnya debit Sungai Cikapundung yang dapat dimanfaatkan (termasuk untuk pembangkit listrik) di dalam struktur model ekonomi merupakan efek positif yang akan mampu mendorong peningkatan pertumbuhan ekonomi (pertumbuhan kapital industri, kapital jasa dan perdagangan serta pertumbuhan PDRB) di Kawasan Cekungan Bandung. Pertumbuhan investasi yang semakin tinggi dengan adanya efek dari implementasi kebijakan tersebut di dalam struktur submodel penduduk akan mampu menarik tenaga kerja yang sebagian diantaranya berasal dari luar kawasan (inmigrasi) yang semakin tinggi pula sehingga pertumbuhan penduduk di kawasan tersebut juga semakin tinggi bila dibandingkan dengan pertumbuhan pada skenario dasar.

Pertumbuhan populasi

penduduk DAS Cikapundunh

Pengaruh implementasi kebijakan terhadap pertumbuhan penduduk di DAS Cikapundung Hulu tidak begitu terlihat. Hal ini karena di dalam model, penduduk di DAS (yang merupakan bagian dari penduduk Cekungan

(34)

145

Skenario Kebijakan Dampak

Terhadap Analisis Terhadap Simulasi Model

Hulu Gambar (j)

Bandung) diturunkan dari rasio pertumbuhan penduduk DAS terhadap penduduk Cekungan Bandung. Dengan demikian, karena efek kebijakan terhadap pertumbuhan penduduk di Cekungan Bandung relatif sangat kecil, maka efek kebijakan tersebut terhadap pertumbuhan penduduk DAS cenderung tidak terlihat, meskipun secara logika seharusnya ada (sangat kecil).

Skenario 2:

Adopsi kebijakan pengembalian fungsi hutan

Skema kebijakan ini menginternalisasikan parameter yang menghentikan fungsi

variabel laju tebangan hutan (baik menjadi lahan ladang dan sawah maupun

menjadi lahan perkebunan) dalam jangka waktu tertentu. Di dalam simulasi ini

berlakunya kebijakan tersebut adalah untuk sepanjang waktu untuk memenuhi

alokasi lahan hutan sebagaimana telah ditetapkan di dalam SK Gubernur tahun

1982 (di dalam model ini pamling tidak alokasi lahan hutan tahun 1990 kembali

terpenuhi). Implementasi kebijakan tersebut dapat terlihat dalam Gambar VI.14

(a) (b)

(c) (d)

Pengaruh Kebijakan Pengembalian Fungsi Hutan Terhadap Pemanfaatan Lahan

Tahun Ha Hutan 1 Hutan 2 Perkebunan 3 Perkebunan 4 Ladang_dan_Sawah 5 Ladang_dan_Sawah 6 Permukiman 7 Permukiman 8 1,990 2,000 2,010 2,020 2,030 2,040 0 1,000 2,000 3,000 4,000 5,000 6,000 7,000 8,000 9,000 12 3 4 5 6 7 8 1 2 3 4 5 6 7 8 1 2 3 4 5 6 7 8 1 2 3 4 5 6 7 8 1 2 3 4 5 6 7 8 1 2 3 5 8

Pengaruh Pembangunan Rusunami Terhadap Perilaku Penurunan Debit Sungai Cikapundung Yang Dapat Dimanfaatkan

Tahun M eter K ubik Debit_S_Cikapundung_Section_1_yg_dpt_dimanf 1 Debit_S_Cikapundung_Section_1_yg_dpt_dimanf 2 Debit_S_Cikapundung_Section_2_yg_dpt_dimanf 3 Debit_S_Cikapundung_Section_2_yg_dpt_dimanf 4 Debit_S_Cikapundung_Section_3_yg_dpt_dimanf 5 Debit_S_Cikapundung_Section_3_yg_dpt_dimanf 6 1,990 2,000 2,010 2,020 2,030 2,040 50,000,000 100,000,000 150,000,000 1 2 3 4 5 6 12 3 4 5 6 1 2 3 4 5 6 1 2 3 4 5 6 1 2 3 4 5 6 1 2 3 4

Pengaruh Kebijakan Pengembalian Fungsi Hutan Terhadap Perilaku Indikasi Ketersediaan Air Dari DAS Cikapundung Hulu

Tahun Tanpa Satuan 1,990 2,000 2,010 2,020 2,030 2,040 0.92 0.94 0.96 0.98 1 2 1 2 1 2 1 2 12 1 2

Pengaruh Kebijakan Pengembalian Fungsi Hutan Terhadap Perilaku Runoff, Infiltrasi dan Debit Sungai di DAS Cikapundung Hulu

Tahun Meter Kubik RunOff 1 RunOff 2 Infiltrasi 3 Infiltrasi 4 Debit_S_Cikapundung 5 Debit_S_Cikapundung 6 1,990 2,000 2,010 2,020 2,030 2,040 200,000,000 250,000,000 300,000,000 1 2 3 4 5 6 1 2 3 4 5 6 1 2 3 4 5 6 1 2 3 4 5 6 1 2 3 4 5 6 1 2 3 4 5

(35)

146

(e) (f)

(g) (h)

(i) (j)

Keterangan :

1,3,5,7 : Skenario dasar 2,4,6,8 : Skenarion setelah implementasi kebijakan

Gambar V.15. Pengaruh implementasi kebijakan pengembalian fungsi lahan

hutan terhadap perilaku : (a) pemanfaatan lahan DAS

Cikapundung Hulu, (b) runoff, infiltrasi dan debit sungai, (c)

indikasi ketersediaan air, (d) penurunan debit sungai yang dapat

dimanfaatkan, (e) tidak tercukupinya kebutuhan air, (f) indikasi

kecukupan air untuk berbagai kebutuhan, (g) pertumbuhan

PDRB, (h) pertumbuhan kapitalisasi industri, jasa dan

(Untuk Keperluan Air Minum, PLTA dan Irigasi)

Tahun M e te r Kubik Debit_S_Cikapundung_Section_1_yg_dpt_dimanf 1 Debit_S_Cikapundung_Section_1_yg_dpt_dimanf 2 Air_yg_Disalurkan 3 Air_yg_Disalurkan 4 1,990 2,000 2,010 2,020 2,030 2,040 100,000,000 150,000,000 1 2 3 4 1 2 3 4 1 2 3 4 1 2 3 4 1 2 3 4 1 2 di Sungai Cikapundung Tahun T anpa Dimensi Indikasi_Kecukupan_Produksi_Listrik 1 Indikasi_Kecukupan_Produksi_Listrik 2 Indikasi_Ketersd_Air_Irigasi 3 Indikasi_Ketersd_Air_Irigasi 4 Indikasi_Kecukupan_Air_PDAM 5 Indikasi_Kecukupan_Air_PDAM 6 1,990 2,000 2,010 2,020 2,030 2,040 0.5 0.6 0.7 0.8 0.9 1.01 2 3 4 5 6 1 2 3 4 5 6 1 2 3 4 5 6 1 2 3 4 5 6 1 2 3 4 5 6 1 2 3

Pengaruh Kebijakan Pengembalian Fungsi Hutan Terhadap Perilaku Model Penduduk

Cekungan Bandung Tahun Juta Jiw a 1,990 2,000 2,010 2,020 2,030 2,040 0 6 12 18 24 30 36 42 48 57 1 2 1 2 1 2 1 2 12 1

Pengaruh Kebijakan Pengembalian Fungsi Hutan Terhadap Perilaku Pertumbuhan Kapitalisasi Industri serta Jasa dan

Perdagangan Tahun M ilyar Rupiah Kapital_Industri 1 Kapital_Industri 2 Kapital_JP 3 Kapital_JP 4 1,990 2,000 2,010 2,020 2,030 2,040 0 500,000 1,000,000 1,500,000 2,000,000 1 2 3 4 1 2 3 4 1 2 3 4 1 2 34 1 2 3 4 1 3

Pengaruh Kebijakan Pengembalian Fungsi Hutan Terhadap Perilaku Pertumbuhan Penduduk DAS Cikapundung Hulu

Tahun Juta Jiwa 1,990 2,000 2,010 2,020 2,030 2,040 0.2 0.3 0.4 0.5 0.6 0.7 0.8 1 2 1 2 1 2 1 2 1 2 1

Pengaruh Kebijakan Pengembalian Fungsi Hutan Terhadap Perilaku Pertumbuhan PDRB

Tahun Milyar Rupiah PDRB_industri 1 PDRB_industri 2 PDRB_JP 3 PDRB_JP 4 PDRB_Total 5 PDRB_Total 6 1,990 2,000 2,010 2,020 2,030 2,040 0 100,000 200,000 300,000 400,000 500,000 600,000 1 2 3 4 561 2 3 45 6 1 23 4 5 6 1 2 3 4 56 1 2 3 4 5 6 1 3 5

Gambar

Gambar VI.1. Perilaku pertumbuhan PDRB Kawasan Cekungan Bandung                 dalam jangka panjang
Gambar VI.4. Perilaku pertumbuhan jumlah penduduk di                DAS Cikapundung Hulu dalam jangka panjang
Gambar VI.5. Perilaku pemanfaatan lahan di DAS Cikapundung Hulu  dalam jangka panjang
Gambar VI.6. Perilaku perubahan aliran runoff, infiltrasi dan debit  Sungai di DAS Cikapundung Hulu dalam jangka panjang
+7

Referensi

Dokumen terkait

Penurunan modulus elastisitas beton akibat temperatur tinggi pada dasarnya dipengaruhi oleh beberapa faktor yang sama pada pengaruh kuat tekan beton akibat temperatur

analisis yang telah dilakukan dilihat dari hasil perbandingan tujuannya didapatkan bahwa hasil perbandingan antara tujuan dibuatnya kampus konservasi oleh UNNES

Subjek A memiliki jiwa bersaing yang sangat baik, pada saat fase baseline ia menunjukkan durasi dan frekuensi munculnya perilaku out-of seta yang cenderung

Bahwa yang dimaksud dengan tinggi benda langit adalah busur pada lingkaran vertikal yang diukur dari titik perpotongan antara lingkaran horizon dengan lingkaran

Pelayanan Pendidikan adalah pelayanan pendidikan dalam bentuk pelatihan keterampilan teknis yang berupa Balai Latihan Kerja yang diselenggarakan oleh Unit Pelaksana

2) Pemberian antibiotika merupakan cara pemberian antibiotika pada ayam broiler. 3) Frekuensi (penggunaan antibiotika) merupakan berapa kali antibiotik itu

Sebaliknya, pertanyaan terbuka memberikan informasi lebih dari pertanyaan tertutup, dan tidak memerlukan model ekonometrik untuk menganalisis, karena rata-rata nilai

Kehidupan adalah cirri membedakan objek yang memiliki isyarat dan proses penompang diri (organism hidup) dengan objek yang tidak memilikinya, baik karena fungsi-fungsi