• Tidak ada hasil yang ditemukan

II. TINJAUAN PUSTAKA

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "II. TINJAUAN PUSTAKA"

Copied!
13
0
0

Teks penuh

(1)

II. TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Daerah Aliran Sungai (DAS) dan Parameter Sistem DAS

Daerah aliran sungai (DAS) merupakan daerah yang dibatasi oleh topografi secara alami, sehingga semua air hujan yang jatuh di atasnya akan mengalir menuju ke suatu lokasi pembuangan (outlet). Menurut Dixon dan Easter (1986) dan Brooks et al. (1991) DAS merupakan suatu daerah (area) yang dibatasi secara topografi oleh punggung bukit dan air hujan yang jatuh di atasnya akan dialirkan melalui suatu sistem jaringan sungai sampai menuju titik pengukuran (outlet). Sebagai suatu sistem neraca air tertutup, DAS mempunyai fungsi untuk menampung masukan dari curah hujan dan mengalirkan keluaran sebagai debit aliran (Black, 1996). Menurut Chow (1964), siklus air merupakan suatu rangkaian proses peristiwa yang terjadi pada air dari saat air hujan jatuh ke permukaan bumi, dialirkan menjadi aliran permukaan ke badan-badan sungai hingga menguap ke udara, dan kemudian jatuh kembali ke permukaan bumi (Gambar 3). Selanjutnya sebagian air hujan yang jatuh akan menguap melalui evaporasi sebelum jatuh di permukaan bumi, dan sebagian lainnya akan menjadi aliran permukaan (runoff) setelah diintersepsi oleh tanaman dan terinfiltrasi ke dalam tanah, serta mengalami perkolasi dan mengalir ke badan sungai/laut sebagai aliran bawah tanah (base flow).

Siklus air dan distribusi air hujan yang sampai dipermukaan bumi menurut Robinson dan Sivapalan (1996) merupakan proses perubahan air hujan menjadi aliran permukaan dan dikelompokkan menjadi dua bagian, yaitu : 1) fungsi produksi DAS yaitu perubahan dari curah hujan bruto menjadi curah hujan netto (curah hujan sisa), dan 2) fungsi transfer DAS yaitu perubahan dari curah hujan netto menjadi aliran permukaan langsung. Curah hujan bruto didefinisikan sebagai total jumlah air hujan yang jatuh ke permukaan bumi sebelum terjadinya

(2)

intersepsi dan infiltrasi. Untuk curah hujan netto (curah hujan sisa) didefinisikan sebagai jumlah air hujan yang mengalir melalui jaringan hidrologi, setelah terjadinya proses intersepsi tanaman dan infiltrasi tanah jenuh. Hasil penelitian Heryani (2001) dan Sarjiman (2004) menyatakan bahwa pengujian model H2U (Hydrogramme Hydrograph Universale) dalam memprediksi debit aliran di sub-DAS Bunder, sub-DAS Oyo, Kretek, Yogyakarta memiliki tingkat akurasi yang tinggi bila memasukkan parameter intersepsi tanaman dan infiltrasi tanah.

Intersepsi Infiltrasi langsung Aliran permukaan Aliran Bawah Permukaan Perkolasi Cadangan bawah tanah Aliran Dasar Aliran Sungai Evaporasi/ Evapotranspirasi Hujan Langsung ke permukaan tanah Simpanan permukaan tanah Infiltrasi tertunda Simpanan bawah permukaan tanah Jatuh langsung

Gambar 3. Siklus hidrologi (Chow, 1964)

Intersepsi merupakan proses ketika air hujan jatuh pada permukaan vegetasi, tertahan beberapa saat untuk kemudian diuapkan kembali ke atmosfer

(3)

atau diserap oleh vegetasi yang bersangkutan dan atau jika melebihi kapasitas simpan vegetasi air hujan tersebut akan mengalir ke permukaan tanah (Asdak, 1995). Harahap (1998) menyatakan bahwa intersepsi merupakan selisih antara curah hujan yang sampai di puncak tajuk dengan curah hujan yang sampai di permukaan tanah, baik yang melalui tajuk maupun aliran batang.

Ada dua faktor yang berpengaruh terhadap kapasitas intersepsi, yaitu : 1) faktor vegetasi yang meliputi : total luas permukaan tanaman, sifat dan adsorpsi permukaan daun, dan kerapatan susunan daun, dan 2) faktor iklim yang meliputi : intensitas hujan, lamanya hujan, dan kecepatan angin. Menurut Asdak (1995), besarnya air hujan yang tertampung di permukaan tajuk, batang dan cabang vegetasi dinamakan kapasitas intersepsi dan sangat ditentukan oleh bentuk, kerapatan, dan tekstur dari vegetasi. Hasil penelitian Nuriman (1999) menunjukkan bahwa besarnya intersepsi tanaman berhubungan erat dengan tinggi curah hujan dan indek luas daun, dimana semakin tinggi nilai indeks luas daun maka akan semakin tinggi intersepsi tanaman. Dalam analisis fungsi produksi DAS yaitu perubahan dari hujan bruto menjadi hujan efektif, perhitungan kapasitas intersepsi tanaman didasarkan pada persamaan yang dikembangkan oleh Aston (1979:dalam De Roo et al., 1999). Hasil penelitian Heryani (2001) dan Sarjiman (2004) menunjukkan penggunaan persamaan intersepsi yang dikembangkan oleh Aston (1979:dalam De Roo et al., 1999) dalam analisis debit aliran permukaan di sub-DAS Bunder, DAS Oyo, Kretek, Yogyakarta memiliki tingkat akurasi yang tinggi (F>70%).

Infiltrasi merupakan proses masuknya air ke dalam tanah, umumnya (tetapi tidak mesti) melalui permukaan tanah dan terjadi secara vertikal, serta merupakan salah satu bagian yang sangat penting dari siklus air dalam menyerap, menampung, dan mendistribusikan air hujan yang jatuh diatasnya. Secara umum besarnya kapasitas infiltrasi tanah mempunyai peranan yang

(4)

sangat besar dalam menurunkan besarnya debit aliran permukaan tanah dibandingkan parameter lainnya, seperti intersepsi tanaman. Menurut Arsyad (2000) laju infiltrasi merupakan banyaknya air per satuan waktu yang masuk ke dalam tanah melalui permukaan tanah, sedangkan laju maksimum air dapat masuk ke dalam tanah pada suatu saat disebut kapasitas infiltrasi.

Ada beberapa faktor yang dapat mempengaruhi besarnya laju infiltrasi tanah, yaitu : karakteristik tanah (struktur, tekstur, kadar air tanah awal, ukuran pori, kedalaman lapisan kedap, surface sealing dan soil crusting) dan pengelolaan lahan (pola tanam, pemilihan jenis tanaman, pengmbalian bahan organik, dan pengolahan tanah) (Thierfelder, et al., 2002; Herawatiningsih, 2001; Mamedov, et al., 2000). Hasil penelitian Zhang dan Miller (1996) menyatakan bahwa meningkatnya stabilitas agregat tanah dengan pemberian Poliakrilamid (PAM) dan gipsum (CaSO4) pada tanah Ultisol lempung berpasir dapat

meningkatkan besarnya kapasitas infiltrasi sebesar 50 % dibandingkan dengan kontrol.

Hasil penelitian Mamedov dan Levy (2001) juga menyatakan bahwa tanah yang banyak didominasi oleh liat yang tinggi atau bertekstur liat mempunyai kapasitas infiltrasi yang lebih rendah (3,38 mm/jam) dibandingkan pada tanah bertekstur pasir berlempung (4,88 mm/jam) pada intensitas hujan yang tinggi (64 mm/jam), sedangkan pada intensitas hujan yang rendah (2 mm/jam) pada tanah bertekstur liat memiliki kapasitas infiltrasi yang lebih besar dibandingkan dengan tanah bertekstur pasir berlempung yakni masing-masing sebesar 18,75 mm/jam dan 5,38 mm/jam. Selain itu, faktor terbentuknya surface sealing (terbentuknya lapisan tipis yang kedap di permukaan tanah) dan soil crusting (pemadatan tanah) menyebabkan terjadinya penurunan kapasitas infiltrasi dan peningkatan volume aliran permukaan (Thierfelder, et al., 2002; Mamedov, et al., 2000; Zhang dan Miller, 1996). Menurut Zhang dan Miller

(5)

(1996) dan Le Bissonais (1996) terbentuknya surface sealing dan soil crusting disebabkan oleh dua prosses yang saling komplementer, yaitu : 1) dispersi kimia dan pergerakan partikel liat yang menyebabkan tertutupnya pori-pori tanah, serta terbentuknya lapisan kedap di bawah permukaan tanah, dan 2) disintegrasi fisik agregat tanah dan terjadinya pemadatan tanah yang disebabkan oleh energi kinetik hujan.

Faktor pengelolaan lahan, seperti : pengolahan tanah, pengembalian bahan organik kedalam tanah, pemilihan jenis tanaman, dan pola tanam juga sangat berpengaruh terhadap kapasitas infiltrasi tanah. Hasil penelitian Thierfelder et al. (2002) menyatakan bahwa pengelolaan lahan pada tanah Inceptisol (Oxic Dystropept) dengan rata-rata intensitas hujan sekitar 330 mm/jam pada perlakuan penanaman ubi kayu yang dirotasi dengan Brachiaria decumbens selama 3 tahun (tahun 1999 – 2001) memiliki kapasitas infiltrasi yang paling tinggi dibandingkan dengan perlakuan penanaman ubi kayu dengan pengolahan tanah minimum (minimum tillage), ubi kayu + Chamaecrista rotundifolia, ubi kayu secara monokultur, ubi kayu + kotoran ayam 4 ton/ha, ubi kayu ditanam secara intensif, ubi kayu + kotoran ayam 8 ton/ha, dan tanah dalam kondisi bera. Hal tersebut juga didukung hasil penelitian Yusuf (1991) di daerah berlereng (kemiringan 9 – 10%) yang mana pemberian bahan organik kotoran ayam 10 ton/ha dapat meningkatkan kapasitas infiltrasi tanah sekitar 4,06 % (1.030,40 mm/menit) dibandingkan kontrol/tanpa pemberian bahan organik (988,60 mm/menit) dan dapat menurunkan besarnya volume aliran permukaan (runoff) sebesar 18,71 % (181,60 liter) dibandingkan kontrol (223,40 liter). Selain itu, hasil penelitian Napitupulu (1998) dan Rukaiyyah (2001) juga menunjukkan bahwa pada tanah Entisol (Regosol Coklat Kekelabuan) yang bervegetasi (lahan pertanian yang diberakan dan ditumbuhi rumput-rumputan) dengan kondisi kadar air tanah awal sekitar 44% dan porositas total sekitar 58% mempunyai kapasitas

(6)

infiltrasi yang lebih tinggi dibandingkan dengan pada tanah Mollisol (Rendzina) yang bervegetasi dengan kondisi kadar air tanah awal sekitar 36% dan porositas total sekitar 63% (Gambar 4). Demikian juga dengan kapasitas infiltrasi tanah Entisol tidak bervegatasi (lahan pertanian yang diberakan dan tidak ditumbuhi rumput-rumputan) dengan kondisi kadar air tanah awal sekitar 45% dan porositas total sekitar 55% yang lebih besar dibandingkan dengan pada tanah Mollisol tidak bervegetasi dengan kondisi kadar air tanah awal sekitar 30% dan porositas total sekitar 51% (Gambar 4). .

0,00 1,00 2,00 3,00 4,00 5,00 6,00 7,00 8,00 9,00 0 100 200 300 400 Waktu (Menit) L a ju In fil tra s i ( m m /m e nit ) Regosol_Vegetasi Regosol_NonVegetasi Rendzina_Vegetasi Rendzina_Nonvegetasi

Gambar 4. Perbedaan laju infiltrasi pada jenis tanah dan penggunaan lahan yang berbeda (Napitupulu, 1998; Rukaiyyah, 2001)

Menurut Hakim et al. (1986) besarnya laju infiltrasi tidak hanya meningkatkan besarnya jumlah air yang tersimpan dalam tanah untuk pertumbuhan tanaman, tetapi juga dapat mengurangi besarnya bahaya banjir yang diakibatkan oleh besarnya aliran permukaan. Hasil penelitian Yanrilla (2001) juga menunjukkan bahwa jenis tutupan/penggunaan lahan sangat berpengaruh terhadap besarnya laju infiltrasi tanah, yang mana jenis tutupan lahan hutan alam memiliki laju infiltrasi yang lebih besar dibandingkan jenis tutupan lahan hutan Pinus, ladang

(7)

(jagung), dan lahan terbuka (Gambar 5). Hal ini juga didukung hasil penelitian Arianti (1999) yang menunjukkan bahwa jenis tutupan lahan hutan alam mempunyai laju infiltrasi yang lebih tinggi dibandingkan pada jenis tutupan lahan tegalan (pertanaman jagung)

0 1 2 3 4 5 6 0 10 20 30 40 50 60 70 Waktu (menit) L a ju I n filt ra si ( c m/menit ) Lahan Terbuka Ladang (jagung) Hutan Pinus Hutan Alam

Gambar 5. Perbedaan laju infiltrasi pada berbagai jenis tutupan/penggunaan lahan (Yanrilla, 2001)

Selanjutnya analisis fungsi produksi DAS yaitu perubahan dari hujan bruto menjadi hujan efektif, yang mana untuk perhitungan kapasitas infiltrasi tanah didasarkan pada persamaan Horton (1940:dalam Bedient dan Huber, 1992). Persamaan infiltrasi menurut model Horton tersebut telah banyak digunakan dalam analisis simulasi debit aliran permukaan (pemodelan hidrologi), seperti : HYSIM (Manley, 2006), MARINE (Estupina-Borrell et al., 2006), dan SWMM (Huber and Dickinson, 1988:dalam Rossman, 2004). Hal ini dikarenakan penggunaan persamaan infiltrasi menurut model Horton dalam pendugaan banjir (debit puncak aliran permukaan dan waktu respon) memiliki hasil yang lebih baik dan lebih konsisten untuk beberapa kejadian banjir dibandingkan dengan penggunaan persamaan infiltrasi menurut model Philip (1957: dalam Bedient dan

(8)

Huber, 1992) dan SCS (1972: dalam Chahinian et al., 2004) dalam pendugaan banjir (Chahinian et al., 2004). Selain itu, hasil penelitian Chahinian et al. (2004) menunjukkan penggunaan persamaan infiltrasi menurut model Horton dalam pendugaan banjir tidak lebih baik dibandingkan dengan penggunaan persamaan infiltrasi menurut model Morel-Seytoux (1978: dalam Chahinian et al., 2004) dalam pendugaan banjir. Persamaan infiltrasi tanah model Morel-Seytoux tersebut merupakan modifikasi dari model Green dan Ampt (1911: dalam Chahinian et al., 2004). Hal ini didukung dari hasil penelitian Heryani (2001) dan Sarjiman (2004) menunjukkan penggunaan persamaan infiltrasi tanah menurut model Horton (1940:dalam Bedient dan Huber, 1992) dalam analisis debit aliran permukaan di sub-DAS Bunder, DAS Oyo, Kretek, Yogyakarta memiliki tingkat akurasi yang tinggi.

2.2. Banjir dan Kekeringan

Pemanfaatan sumberdaya alam yang semakin meningkat tanpa memperhitungkan klas kemampuannya, telah menimbulkan berbagai permasalahan lingkungan. Salah satu permasalahan lingkungan yang sampai saat ini belum dapat teratasi adalah degradasi/kerusakan lahan di daerah aliran sungai (DAS). Degradasi lahan merupakan proses berkurangnya atau hilangnya kegunaan suatu lahan dalam usaha meningkatkan kesejahteraan manusia. Degradasi lahan menurut Lal (1994) disebabkan oleh kemerosotan sifat fisik (erosi dan pemadatan tanah) dan sifat kimia tanah (penurunan tingkat kesuburan, keracunan dan pemasaman tanah). Faktor-faktor yang mempengaruhi degradasi lahan menurut Oldeman (1994) adalah 1) pembukaan lahan dan penebangan kayu secara berlebihan (deforestration), 2) penggunaan lahan untuk kawasan peternakan/penggembalaan secara berlebihan (over grazing), dan 3) aktivitas pertanian dalam penggunaan pupuk kimia dan pestisida

(9)

secara berlebihan. Barrow (1991) juga menyatakan bahwa degradasi lahan disebabkan oleh beberapa faktor, yaitu : 1) bahaya alami, 2) meningkatnya jumlah penduduk menyebabkan meningkatnya kebutuhan dan intensitas penggunaan lahan, 3) kemiskinan, 4) masalah kepemilikan lahan, 5) kestabilan politik dan kesalahan administratif, 6) aspek sosial dan ekonomi, 7) penerapan teknologi yang tidak tepat, dan 8) pertambangan. Degradasi lahan tersebut berdampak terhadap kerusakan DAS dan kerusakan tersebut semakin lama semakin meningkat setiap tahunnya. Indikatornya adalah pada tahun 1984 terdapat 22 DAS dalam keadaan kritis dengan luas sekitar 9,69 juta hektar dan kemudian meningkat pada tahun 1994 menjadi 39 DAS kritis dengan luas sekitar 12,52 juta hektar, dan tahun 2000 meningkat lagi menjadi 42 DAS kritis dengan luas sekitar 23,71 juta hektar (DITJEN RRL, 2001).

DAS sebagai suatu sistem neraca air tertutup yang mempunyai fungsi untuk menampung masukan (curah hujan) dan mengalirkan keluaran (debit), maka setiap terjadinya suatu perubahan terhadap masukan (curah hujan) dan sistem (penggunaan lahan dan jenis tanah) akan menyebabkan perubahan pada keluaran (unit hidrograf). Berkaitan dengan degradasi lahan dalam suatu sistem DAS, maka dampak langsung yang dapat dilihat adalah banjir dan kekeringan, sedimentasi, tanah longsor, dan penurunan kualitas air.

Banjir dan kekeringan merupakan suatu fenomena alam dimana sistem DAS tidak dapat menyerap, menyimpan dan mendistribusikan secara optimal terjadinya perubahan masukan (curah hujan), sehingga menyebabkan terjadinya peningkatan debit puncak dan memperpendek waktu menuju debit puncak (banjir), dan dampak lanjutannya adalah tambahan cadangan air tanah (recharging) pada musim hujan menjadi sangat terbatas, sehingga suplai produksi air dimusim kemarau menjadi rendah (kekeringan). Banjir merupakan suatu peristiwa manakala debit sungai melebihi kapasitas tampungan sungai.

(10)

Genangan adalah peristiwa manakala suatu daerah dipenuhi air karena tidak ada drainase yang mengatuskan air keluar dari daerah tersebut. Kekeringan merupakan suatu peristiwa manakala jumlah curah hujan dibawah kondisi normal sehingga terjadi penurunan produksi air untuk keperluan tanaman dan domestik.

Irianto (2003) mengemukakan tentang sistem peringatan dini tentang banjir dan pada prinsipnya sistem tersebut dapat menginformasikan lebih awal tentang besaran (magnitude) banjir (debit puncak dan waktu menuju debit puncak) yang mungkin terjadi dan waktu evakuasi korban memadai sehingga resiko yang dapat ditimbulkan dapat diminimalkan. Sistem peringatan dini tentang banjir di Indonesia sangat penting, karena 1) intensitas dan keragaman hujan menurut ruang dan waktu sangat tinggi sehingga banjir bisa terjadi secara tiba-tiba atau yang dikenal sebagai banjir bandang (flash flood) dan 2) hujan besar umumnya terjadi pada sore sampai malam hari sebagai akibat proses orografis sehingga terjadinya banjir umumnya terjadi malam hari (Irianto, 2003).

Ada dua faktor yang menyebabkan terjadinya kekeringan, yaitu : 1) perubahan iklim, yaitu kekeringan sebagai dampak dari perubahan iklim, dimana kondisi musim kemarau (dry season) berhubungan dengan penurunan curah hujan di bawah normal, 2) kerusakan DAS, yaitu kekeringan sebagai dampak dari menurunnya produksi air pada musim kemarau akibat DAS tidak mampu menyerap, menyimpan dan mendistribusikan air, sehingga kedua faktor tersebut berdampak lanjutan terhadap ketersediaan air untuk tanaman. Menurut Pasandaran dan Hermanto (1997:dalam Shofiyati et al., 2002) bahwa kekeringan yang melanda sebagian wilayah Indonesia terjadi secara periodik. Berdasarkan data curah hujan periode tahun 1975 – 1999, kejadian kekeringan yang melanda sebagian Indonesia terjadi setiap 5 tahun (tahun 1975-1987), dan pada periode tahun 1987-1999 kejadian kekeringan terjadi setia 3-4 tahun (Pramudia, 2002). Penanggulangan dampak kekeringan dapat dilakukan melalui dua pendekatan,

(11)

yaitu : 1) memperbaiki dan mengelola DAS dalam rangka meningkatkan fungsi DAS dalam menyerap dan menyimpan kelebihan air di musim hujan dan mendistribusikannya di musim kemarau, dan 2) memilih komoditas yang sesuai dengan tingkat ketersediaan air.

Untuk meningkatkan tingkat keakuratan dan kecepatan dalam pendugaan kekeringan, maka banyak ahli yang menduga dan memantau wilayah rawan kekeringan dengan menggunakan teknologi citra satelit. Thiruvengadachari et al. (1991:dalam Shofiyati et al., 2002) memantau kekeringan di India menggunakan citra NOAA AVHRR dua mingguan. Selain itu, hasil penelitian Liu dan Kogan (1996), Bayarjarga, et al. (2000), dan Shofiyati et al. (2002), penggunaan teknologi citra NOAA AVHRR dapat digunakan untuk memantau kekeringan di Brazil, Gobi dan Gurun Steepe (Mongolia), dan DAS Brantas, Jawa Timur (Indonesia). Selain itu, Anderson et al. (2007) menunjukkan bahwa kesehatan vegetasi yang digambarkan oleh indeks vegetasi dan temperatur permukaan lahan dari hasil analisis citra Landsat 7 dapat digunakan untuk memprediksi dan memetakan kekeringan.

2.3. Perkembangan Teknik Komputasi Unit Hidrograf

Ada dua besaran (magnitude) penting yang harus dikomputasi secara akurat dalam analisis unit hidrograf, yaitu : debit puncak dan waktu menuju debit puncak. Debit puncak berkaitan erat dengan tingkat bahaya/resiko banjir yang terjadi, dan waktu menuju debit puncak sangat menentukan lamanya waktu untuk evakuasi korban. Berdasarkan ilustrasi tentang analisis banjir dan besaran pencirinya, maka kemampuan analisis sistem hidrologi dalam pemodelan debit puncak dan waktu menuju debit puncak menentukan akurasi dan presisi dalam penanggulangan banjir. Kedua besaran tersebut secara faktual merupakan respon hidrologis wadah (sistem) DAS untuk setiap perubahan masukan.

(12)

Berbagai upaya telah dilakukan untuk menghasilkan metode dan teknik analisis yang representative, transferable dan operational dalam komputasi debit puncak dan waktu menuju debit puncak. Perkembangan terakhir menunjukkan bahwa ada dua aliran yang berkembang sangat pesat dalam pemodelan unit hidrograf (debit puncak dan waktu menuju debit puncak), yaitu : 1) model deterministik (deterministic model) yang dirancang berdasarkan kaidah dan hukum-hukum fisika yang sifatnya permanen dan transferable, dan 2) model stokastik (stochastic model) yang ditetapkan berdasarkan hubungan input dan output secara local. Model stokastik ini berkembang mulai dari model memori jangka pendek (short memory models), seperti : proses autoregresi (autoregressive processes), ARMA (autoregressive moving average), dan ARIMA (autoregressive integrated moving average) dan model memori jangka panjang (long memory models), seperti : proses discrete fractional Gaussian noise (dfGn), fast fractional Gaussian noise (ffGn), filtered fractional noise, dan broken-line (Haan, et al., 1982). Untuk model deterministik berkembang dari model yang sederhana, seperti model Nash (1957), model CREAMS (1972), TOPMODEL (Beven dan Kirkby, 1979), AGNPS (Young et al., 1990), IHACRES (Jakeman et al., 1990), model ANSWERS (Beasley, 1991), HEC HMS (USACE, 2000), SWAT (Neitsch et al., 2000), HYSIM (Manley, 2006), MARINE (Estupina-Borrell et al., 2006), dan SWMM (Huber and Dickinson, 1988:dalam Rossman, 2004), dan model fraktal yang dikembangkan oleh Mandelbrot (1977:dalam Liu, 1992).

Untuk pemodelan hujan-limpasan dengan analisis fraktal jaringan hidrologi, maka ada satu hal yang sangat menarik tentang hubungan antara respon hidrologi DAS (fraction) dengan karakteristik fraktal. Hasil penelitian Irianto et al. (2001) menunjukkan bahwa respon hidrologi DAS merupakan fungsi kerapatan peluang (pdf) dari DAS berorder satu (fungsi fraktalnya). Kelebihan penggunaan analisis fraktal jaringan hidrologi untuk pendugaan banjir (debit

(13)

puncak dan waktu menuju debit puncak) secara sistematis mampu menggambarkan transfer air hujan menjadi aliran permukaan melalui jaringan hidrologi sampai menuju outlet (Irianto, 2003). Hasil penelitian Irianto (2003) menunjukkan bahwa analisis fraktal jaringan hidrologi dapat digunakan dengan baik atau memiliki tingkat akurasi yang tinggi dalam mensimulasi debit puncak dan waktu menuju debit puncak di DAS Kripik.

Gambar

Gambar 3.  Siklus hidrologi (Chow, 1964)
Gambar 4.  Perbedaan laju infiltrasi pada jenis tanah dan penggunaan lahan  yang berbeda (Napitupulu, 1998; Rukaiyyah, 2001)
Gambar 5.  Perbedaan laju infiltrasi pada berbagai jenis tutupan/penggunaan  lahan (Yanrilla, 2001)

Referensi

Dokumen terkait

Populasi dalam penelitian ini adalah seluruh pasien yang melakukan terapi di klinik Thibbun Nabawi Darus Syifa di Rumah Sakit Islam Sultan Agung sejak Februari-Juni

Hasil menunjukkan bahwa mahasiswa tingkat akhir dalam penelitian ini, belum melewati tahapan perkembangan karir yang seharusnya, sehingga terjadi kecenderungan bahwa

Analisa proses merupakan analisa yang dilakukan terhadap proses dalam sistem informasi penunjang keputusan seleksi penerima beasiswa berprestasi. Adapun proses-proses

Kedudukan barang jaminan yang telah dipasang Hak Tanggungan yang disita oleh negara tidak menghilangkan sifat droit de suit dari barang jaminan tersebut sesuai

Usaha pembesaran ikan nila, bawal, dan udang galah di Desa Sendangtirto layak untuk diusahakan dilihat dari segi produktivitas tenaga kerja, produktivitas modal,

T.Tambusai (2) V-A 10m dari permukaan Jalan Tinggi Tiang Reklame = 120 N.00º30.856’ E.101º26.842’ Halte Kantor Walikota Videotron Rekomendasi Tim Reklame Ukuran sesuai

Polen Oncosperma tigillarium adalah jenis palmae yang paling sering dan paling banyak ditemui dalam endapan Delta Mahakam, sehingga penting untuk dikaji lebih lanjut

Tidak ada definisi yang jelas dari parameter hemodinamik, akan tetapi syok kardiogenik biasanya ditandai dengan penurunan tekanan darah (sistolik kurang dari 90 mmHg, atau