• Tidak ada hasil yang ditemukan

SEKILAS TENTANG TEMBANG MACAPAT. Oleh : Drs. KARTIMAN, M. Sn. WIDYAISWARA PPPPTK SENI DAN BUDAYA YOGYAKARTA

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "SEKILAS TENTANG TEMBANG MACAPAT. Oleh : Drs. KARTIMAN, M. Sn. WIDYAISWARA PPPPTK SENI DAN BUDAYA YOGYAKARTA"

Copied!
12
0
0

Teks penuh

(1)

SEKILAS TENTANG TEMBANG MACAPAT

Oleh : Drs. KARTIMAN, M. Sn.

WIDYAISWARA PPPPTK SENI DAN BUDAYA YOGYAKARTA ================================================================

Abstrak

Tembang macapat oleh banyak kalangan menjadi alat untuk mengekspresikan jiwa seni melalui olah vokal “nembang” sebagai media penyadaran berupa saran-saran “pitutur” melalui syair-syair yang berisi tentang makna dan hakekat manusia hidup, seperti yang terdapat pada serat Wulangreh, serat Wedhatama, serat Tripama, serat kalatidha, dan lain sebagainya.

Tembang Jawa dibagi menjadi beberapa bentuk, antara lain:Sekar Ageng, Sekar Tengahan, Sekar Alit (Macapat), Sekar Dolanan, Sekar Gending, Sindhenan, Gerongan dan Bawa.

Terdapat banyak kekeliruan dalam mendefinisikan macapat. Oleh sebagian masyarakat macapat didefinisikan sebagai “macane papat-papat”, yang diinterpretasikan dalam bahasa Indonesia menjadi melagukan macapat itu pemenggalannya harus empat-empat “pedhotane papat-papat”. Pengertian lain yang berhubungan dengan definisi macapat terdapat pada Serat Mardawa Lagu yang menulis bahwa sekar macapat berasal dari macapat lagu, yaitu bacaan keempat “maca pat lagu” yang merupakan bacaan terakhir.

Definisi lain yang berhubungan dengan tembang macapat, mengartikan macapat sebagai membaca dengan tepat. Kata tepat disini mengandung banyak pengertian meliputi tepat pemenggalannya, tepat/konsisten dalam penggunaan nada, tepat artikulasinya, serta tepat penerapan karakter lagunya.

Jumlah tembang dalam macapat ada 11, yaitu Tembang Mijil, Tembang Sinom, Tembang Kinanti, Tembang Dandanggula, Tembang Asmarandana, Tembang Durma, Tembang Pocung, Tembang Maskumambang, Tembang Megatruh, Tembang Gambuh, dan Pangkur.

Keyword : tembang,macapat

▸ Baca selengkapnya: sekar macapat kalebet …

(2)

PENDAHULUAN

Dewasa ini kehidupan bentuk-bentuk seni tradisi mulai mendapatkan perhatian dan tempat di masyarakat. Lambat laun pemerintah mulai menggerakkan kegiatan-kegiatan yang beraroma kesenian tradisi, salah satunya adalah tembang macapat.

Munculnya bahasa daerah sebagai mulok (muatan lokal) di sekolah-sekolah sangat menunjang program pemerintah dalam mengeksistensikan kembali tembang macapat, mengingat selama ini kendala utama dalam melestarikan tembang macapat terletak pada sangat minimnya kemauan dan penguasaan vokabuler bahasa daerah sebagian masyarakat umum maupun masyarakat pendidikan. Sekarang ini sudah jarang dijumpai siswa atau masyarakat yang piawai dalam bahasa daerah, terutama basa alus, basa krama sebagai modal awal dalam belajar tembang macapat. Dengan munculnya bahasa daerah sebagai salah satu mulok di sekolah, eksplisit atau implisit akan berpengaruh terhadap eksistensi tembang macapat.

PERMASALAHAN

Kegiatan macapat “macapatan” sejauh ini masih sering dijumpai, khususnya di desa-desa, meskipun eksistensinya kurang begitu menggembirakan. Sebagaimana yang terjadi pada potret kehidupan seni pertunjukan tradisi lainnya, kegiatan tembang macapat “macapatan” hanya diminati oleh golongan tertentu, khususnya golongan tua atau manula. Sangat sedikit sekali anak muda yang hadir untuk mengapresiasi kegiatan luhur ini.

Banyak hal yang menjadi penyebabnya, antara lain aturan-aturan dalam membawakan tembang macapat, serta bahasa yang digunakan tergolong rumit. Tidak semua orang bisa mencerna arti dan isi bahasa yang digunakan dalam tembang-tembang macapat. Bahkan untuk melafalkan saja, anak-anak

(3)

sekarang mendapatkan banyak kendala.Kendala inilah yang menjadikan tembang macapat hanya akrab bagi golongan tertentu saja, sehingga tembang macapat menjadi bentuk seni yang termarginalkan.

PEMBAHASAN

Tembang macapat oleh banyak kalangan menjadi alat untuk mengekspresikan jiwa seni melalui olah vokal “nembang”. Disamping itu, tembang macapat banyak juga digunakan sebagai media penyadaran berupa saran-saran “pitutur” melalui syair-syair yang berisi tentang makna dan hakekat manusia hidup, seperti yang terdapat pada serat Wulangreh, serat Wedhatama, serat Tripama, serat kalatidha, dan lain sebagainya.

A. TEMBANG

Telah disampaikan di depan, bahwa eksistensi tembang macapat belum begitu menggembirakan. Sebagaimana bentuk seni pertunjukan tradisi lain yang bersifat komunal, dimana ia lahir, hidup, dan berkembang oleh masyarakat, maka perkembangan dan pasang surutnya mengikuti dinamika yang terjadi di masyarakat. Perubahan pola hidup suatu masyarakat sedikit banyak akan menentukan kelangsungan hidupnya. Salah satu ciri utama dari seni pertunjukan tradisi yang bersifat komunal adalah terletak pada proses penyebaran awalnya yang cenderung bersifat oral, dari mulut ke mulut, dan miskin dalam pendokumentasian. Hal ini terjadi pula pada tembang macapat, sehingga untuk mencari referensi terasa sulit. Kalaupun ada masih bersifat pendapat pribadi atau kelompok tertentu yang belum tentu dapat dipahami atau diterima oleh pribadi atau kelompok yang lain. Begitu juga dalam tulisan ini, penulis yakin bahwa tulisan ini belum bisa digunakan sebagai pedoman pokok dalam pembelajaran tembang macapat.

(4)

Sebelum membicarakan tembang macapat, terlebih dahulu akan disampaikan tentang tembang. Beberapa definisi tentang tembang antara lain :

• Dalam bahasa Jawa, tembang dapat diartikan sebagai sekar atau kembang. Jadi orang yang membawakan sebuah tembang disebut nembang atau nyekar.

• Tembang dapat juga disebut tabuh gitik, pupuh, laguning tembung. • Tembang adalah olah suara dengan menggunakan media suara

manusia, sedangkan olah suara dengan menggunakan media gamelan disebut gending.

Tembang Jawa, khususnya untuk daerah Surakarta dan Yogyakarta dibagi menjadi beberapa bentuk, antara lain :

1. Sekar Ageng

Menurut S. Padmosoekotjo dalam bukunya Ngegrengan Kasusastran Djawa menyebutkan Sekar Ageng sering juga disebut sekar kawi. Penyebutan ini berkaitan dengan bahasa yang digunakan yaitu bahasa kawi atau bahasa Jawa Kuno, sehingga sekar ageng ini merupakan salah satu bentuk sastra pada jaman kuno. Dalam sekar ageng aturan atau ketentuan yang digunakan meliputi guru laku dan guru wilangan. Beberapa jenis dalam sekar ageng, yaitu salisir untuk sekar ageng lampah 5 sampai 10; sisiran untuk sekar ageng lampah 11 sampai 20; raketan untuk sekar ageng lampah 21 sampai 30; dan simparan atau denda untuk sekar ageng lampah 30 keatas. Ketentuan pemenggalannya, untuk lampah 7 (3-4); untuk lampah 8 (4-4); untuk lampah 9 (4-5); untuk lampah 10 (5-5 atau 4-6); untuk lampah 11 (5-6); sedangkan diatas lampah 11 pemenggalan tidak mesti

(5)

2. Sekar Tengahan

Sekar tengahan muncul pada jaman Majapahit, bahasa yang digunakan adalah bahasa Jawa Tengahan. Ketentuan atau aturan yang digunakan dalam sekar tengahan sama dengan ketentuan atau aturan yang digunakan pada sekar macapat (S. Padmosoekotjo, t.t: 26)

3. Sekar Alit (Macapat)

Akan dijelaskan dalam bagian tersendiri.

4. Sekar Dolanan

Lagu yang sering dibawakan oleh anak-anak, bisa disajikan menggunakan tari, dan diiringi gamelan. Lagu dolanan antara lain berkarakter gembira, riang, komunikatif.

5. Sekar Gending

Lagu yang dibuat menjadi sebuah gending. Dalam pembuatan dengan mengacu pada lagu pokok dari lagu yang bersangkutan, misalnya sekar sinom parijoto menjadi ketawang sinom parijoto, sekar pangkur menjadi ketawang atau ladrang pangkur, dan lain sebagainya.

6. Sindhenan

Vokal tunggal bersifat metris, awal dan berakhirnya tidak terlalu terikat oleh ketukan gending.

7. Gerongan

Vokal bersama (koor) bersifat ritmis, awal dan berakhirnya terikat oleh ketukan gending.

(6)

8. Bawa

Sajian vokal tunggal untuk mengawali sebuah gending disajikan. Jenis bawa ada 2, yaitu bawa gawan gending dan bawa srambahan.

B. TEMBANG MACAPAT

a) Definisi macapat

Sebagaimana sekar tengahan “tembang tengahan”, tembang macapat muncul pada jaman Majapahit (S. Padmosoekotjo, t.t. : 26). Tembang macapat muncul setelah adanya tembang tengahan. Ketentuan yang digunakan dalam tembang macapat sama dengan ketentuan pada tembang tengahan. Pada awalnya bahasa yang digunakanpun juga Jawa Tengahan.

Sejauh ini persepsi masyarakat banyak yang mendefinisikan macapat sebagai “macane papat-papat”, yang diinterpretasikan dalam bahasa Indonesia menjadi melagukan macapat itu pemenggalannya harus empat-empat “pedhotane papat-papat”. Definisi ini hanya mengambil jarwo dhosok dari macapat, dan belum sepenuhnya dapat digunakan sebagai acuan, mengingat dalam sebuah tembang macapat ada beberapa kalimat yang tidak mungkin pemenggalannya “pedhotan”-nya dengan empat-empat, karena akan mengaburkan atau bahkan menghilangkan arti dari kalimat itu sendiri, contohnya dalam sekar sinom gatra pertama: nu-la-dha la-ku u-ta-ma. Apabila kalimat tersebut dilagukan dengan menggunakan pemenggalan “pedhotan” empat-empat, maka akan menjadi :nla-dha la … ku u-ta-ma, pemenggalan yang demikian dianggap kurang tepat, akan menjadi lebih tepat kalau pemenggalannya: nuladha … laku utama.

Pengertian lain yang berhubungan dengan definisi macapat terdapat pada Serat Mardawa Lagu (Budhy Moehanto,1987 : 9) yang menulis

(7)

bahwa sekar macapat berasal dari macapat lagu, yaitu bacaan keempat “maca pat lagu” yang merupakan bacaan terakhir. Sebelumnya terlebih dahulu terdapat maca sa - lagu dan maca ro - lagu yang termasuk sekar ageng, kemudian maca tri - lagu yang termasuk sekar tengahan, baru terakhir maca pat – lagu. Jadi dalam hal ini macapat artinya bacaan yang keempat.

Definisi lain yang berhubungan dengan tembang macapat, mengartikan macapat sebagai membaca dengan tepat. Kata tepat disini mengandung banyak pengertian meliputi tepat pemenggalannya, tepat/konsisten dalam penggunaan nada, tepat artikulasinya, serta tepat penerapan karakter lagunya. Tepat pemenggalannya, bahwa dalam membawakan tembang macapat cara memenggal kata atau kalimat lagu dalam setiap baris harus memperhatikan arti dari kalimat lagu, tidak boleh sembarangan memenggal kalimat atau kata. Tepat/ konsisten dalam penggunaan nada, bahwa dalam membawakan macapat, baik itu menggunakan atau tidak menggunakan tuntunan gamelan harus dilagukan secara konsisten dengan mengacu pada laras gamelan. Tepat artikulasi, bahwa dalam membawakan macapat harus dengan pengucapan kata, ejaan kata dengan benar. Salah dalam artikulasi akan merubah arti dari kalimat yang dimaksud. Tepat penerapan karakter lagu, bahwa dalam setiap tembang macapat mempunyai karakter sendiri-sendiri, untuk itu dalam membawakannya harus disesuaikan dengan karakter yang sesungguhnya.

b) NAMA-NAMA TEMBANG MACAPAT

Banyak pendapat mengenai jumlah tembang dalam macapat, ada yang mengatakan 11, 8, 15, dan lain sebagainya. Pendapat yang mengatakan bahwa tembang macapat berjumlah 8 didasarkan pada kenyataan bahwa dahulu tembang Girisa, Megatruh, Gambuh,

(8)

Wirangrong, Jurudemung, dan Balabak bukan sebagai tembang Macapat. Sejauh ini pengertian yang berkembang masyarakat, baik itu masyarakat umum maupun masyarakat pendidikan banyak yang menyebutkan bahwa jumlah tembang dalam macapat ada 11, yaitu Tembang Mijil, Tembang Sinom, Tembang Kinanti, Tembang Dandanggula, Tembang Asmarandana, Tembang Durma, Tembang Pocung, Tembang Maskumambang, Tembang Megatruh, Tembang Gambuh, dan Pangkur.

Kesebelas tembang tersebut masing-masing memiliki karakter, serta ketentuan yang dapat membedakan satu dengan lainnya. Ketentuan yang terdapat dalam tembang macapat, meliputi guru gatra, guru wilangan, dan guru lagu. Guru gatra berhubungan dengan jumlah baris dalam setiap tembang, guru wilangan berhubungan dengan jumlah suku kata dalam setiap baris, dan guru lagu berhubungan dengan abjad/huruf hidup dalam setiap akhir masing-masing baris. Dalam pengertian yang lain guru lagu sering disebut guru swara atau dhong-dhing. Berikut nama-nama tembang macapat beserta guru gatra, guru wilangan, guru lagu, dan karakter.

No Nama Tembang Guru Gatra Guru

Wilangan Guru Lagu Karakter

01 Dandanggulo 10 baris 10, 10, 8, 7, 9, 7, 6, 8, 12, 7 i, a, e, u, a, a, u, a, i, a Luwes, ngresepake 02 Kinanti 6 baris 8, 8, 8, 8, 8, 8 u, i, a, i, a, i Seneng, asih, tresno 03 Pocung 4 baris 12, 6, 8, 12 u,a,i, a Kendho

04 Asmarandana 7 baris 8, 8, 8, 8, 7, 8, 8 i, a, e, a, a, u, a Sengsem, sedih, prihatin

(9)

05 Pangkur 7 baris 8, 11, 8, 7, 12, 8, 8 a, i, u, a, u, a, i Sereng, gregeten 06 Durma 7 baris 12, 7, 6, 7, 8, 5, 7 a, i, a, a, i, a, i Galak, nantang, nesu, muntab 07 Mijil 6 baris 10, 6, 10, 10, 6, 6 i, o, e, i, i, u Wedharing rasa 08 Sinom 9 baris 8, 8, 8, 8, 7, 8, 7, 8, 12 a, i, a, i, i, u, a, i, a Sumeh, grapyak 09 Gambuh 5 baris 7, 10, 12, 8, 8 u, u, i, u, o Rumaket, kulina, wani wanuh 10 Maskumambang 4 baris 12, 6, 8, 8 i, a, i, a Sedih, nalangsa, keranta-ranta

11 Megatruh 5 baris 12, 8, 8, 8, 8 u, i, u, i, o Sedih, nglokro

1) Dandanggula

Yog-ya-ni-ra kang pa-ra pra-ju-rit

(baris pertama, 10 guru wilangan, guru lagu i)

La-mun bi-sa sa-mi a-nu-la-da (baris kedua, 10 guru wilangan, guru lagu a)

Duk-ing ngu-ni ca-ri-ta-ne (baris ketiga, 8 guru wilangan, guru lagu e)

An-de-li-ra sang pra-bu (baris keempat, 7 guru wilangan, guru lagu u)

Sa-sra-ba-u ing ma-es-pa-ti (baris kelima, 9 guru wilangan, guru lagu i)

(10)

A-ran pa-tih su-wan-da (baris keenam, 7 guru wilangan, guru lagu a)

Le-la-bu-ha-ni-pun (baris ketujuh, 6 guru wilangan, guru lagu u)

Kang gi-ne-lung tri-pa-ra (baris kedelapan, 7 guru wilangan, guru lagu a) Gu-na ka-ya pu-ru-ne den

an-te-pi

(baris kesembilan, 11 guru wilangan, guru lagu i) Nu-ha-ni trah u-ta-ma (baris kesepuluh, 7 guru

wilangan, guru lagu a)

2) Pangkur

Ming-kar ming-kur ing ang-ka-ra A-ka-ra-na ka-re-nan mar-di si-wi Si-na-wung res-mi-ning ki-dung Si-nu-ba si-nu-kar-ta

Mrih kre-tar-ta pa-kar-ti-ning ngel-mu lu-hung Kang tu-mrap-neng ta-nah ja-wa

A-ga-ma a-ge-ming a-ji

3) Sinom

Nu-la-da la-ku u-ta-ma Tu-mrap-e wong ta-nah ja-wi Wong a-gung ing ngek-si gan-da Pa-nem-bah-an se-no-pa-ti Ka-pa-ti a-mar-su-di

Su-da-ning ha-wa lan nep-su Pi-nep-su ta-pa bra-ta

Ta-na-pi ing si-yang ra-tri

(11)

KESIMPULAN

Tembang macapat adalah alat untuk mengekspresikan jiwa seni melalui olah vokal “nembang”. Di samping itu, tembang macapat banyak juga digunakan sebagai media penyadaran berupa saran-saran “pitutur” melalui syair-syair yang berisi tentang makna dan hakekat manusia hidup, seperti yang terdapat pada serat Wulangreh, serat Wedhatama, serat Tripama, serat kalatidha, dan lain sebagainya.

Tembang Jawa, khususnya untuk daerah Surakarta dan Yogyakarta dibagi menjadi beberapa bentuk, antara lain : Sekar Ageng, Sekar Tengahan, Sekar Alit (Macapat), Sekar Dolanan, Sekar Gending, Sindhenan, Gerongan dan Bawa.

Banyak pendapat yang kurang pas dalam mendefinisikan macapat sebagai “macane papat-papat”, yang diinterpretasikan dalam bahasa Indonesia menjadi melagukan macapat itu pemenggalannya harus empat-empat “pedhotane papat-papat”. Pengertian lain yang berhubungan dengan definisi macapat terdapat pada Serat Mardawa Lagu yang menulis bahwa sekar macapat berasal dari macapat lagu, yaitu bacaan keempat “maca pat lagu” yang merupakan bacaan terakhir.

Definisi lain mengartikan macapat sebagai membaca dengan tepat. Kata tepat disini mengandung banyak pengertian meliputi tepat pemenggalannya, tepat/konsisten dalam penggunaan nada, tepat artikulasinya, serta tepat penerapan karakter lagunya.Jumlah tembang dalam macapat ada 11, yaitu Tembang Mijil, Tembang Sinom, Tembang Kinanti, Tembang Dandanggula, Tembang Asmarandana, Tembang Durma, Tembang Pocung, Tembang Maskumambang, Tembang Megatruh, Tembang Gambuh, dan Pangkur.

(12)

Referensi :

Budhy Moehanto. (1987), Tuntunan Sekar Macapat, CV Mitra Utama, Pemalang.

Dewantara, Ki Hadjar. (1967), Kebudajaan II A, Majelis Luhur Tamansiswa, Yogyakarta.

Kartiman. (1992), “Studi Komparatif Garap Bonang Barung Cengkok Tumenggung Widododipuro Dengan mas Ngabehi Dalimin Poerwopangrawit Dalam Gending Onang-onang kethuk Kalih Kerep Minggah Sekawan Laras Pelog Patet Nem”, Tugas Akhir Untuk Mendapatkan Derajat Sarjana Strata-1 Pada Jurusan Seni Karawitan ISI Yogyakarta, ISI Yogyakarta.

Martopangrawit. (1972), Titilaras Kendangan, Konservatori Karawitan Indonesia, Surakarta.

__________. (1975), “Catatan Pengetahuan Karawitan I”, ASKI, Surakarta. Padmo Soekotjo. (t.t.), Ngengrengan Kasusastran Djawa, Hien Hoo Sing,

Jogjakarta.

Soeroso. (1975), Menuju ke garapan Komposisi karawitan, AMI, Yogyakarta. Suraji. (Volume 3 No. 2 November 2003), “Garap Kendhang Inggah Kethuk 8

Gendhing-gending Klenengan Gaya Surakarta Sajian Irama Wiled”, dalam Keteg: Jurnal Pengetahuan, Pemikiran dan Kajian Tentang Bunyi, Jurusan Seni Karawitan STSI, Surakarta.

================================================================== BIODATA PENULIS

Nama : Drs. Kartiman, M.Sn.

NIP : 196511081996031001

Pangkat/Gol. : Penata Tk. I, III/d

Jabatan : Widyaiswara Muda

Unit Kerja : PPPPTK Seni dan Budaya Yogyakarta

Jalan Kaliurang KM 13,5 Klidon, Sukoharjo, Ngaglik, Sleman, Yogyakarta

Referensi

Dokumen terkait