• Tidak ada hasil yang ditemukan

DEPOK DAN JALUR KERETA API BUITENZORG-BATAVIA ( ) Tri Wahyuning M. Irsyam 1

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "DEPOK DAN JALUR KERETA API BUITENZORG-BATAVIA ( ) Tri Wahyuning M. Irsyam 1"

Copied!
17
0
0

Teks penuh

(1)

65

DEPOK DAN JALUR KERETA API BUITENZORG-BATAVIA (1873 – 1942)

Tri Wahyuning M. Irsyam1

Abstract

This paper describes dynamics of Buitenzorg-Batavia railway development that began operated from 1873. This development provided social economic impact of Depok, the area that was covered Buitenzorg-Batavia railway. The anything relating to traims management was altered by Japanese military government, who changed policies of various departments, included anything relating to traims management.

Keywords: railway, development, social economic, Depok

A. Peran Depok Masa Kolonial

Lokasi Depok berada di selatan Batavia dan berjarak tempuh 7,5 jam perjalanan2. Selama periode kolonial, Depok bukan hanya menjadi penopang perluasan kota dan penduduk Batavia, melainkan juga menjadi pintu gerbang keluar dan masuk ke dan dari Batavia dari sisi selatan. Dapat dikatakan bahwa pada masa tersebut, nilai Depok jauh lebih penting mengingat daerah penopang (feeder area) bagi aktivitas dan keramaian Batavia terletak di pedalaman sebelah selatannya, yaitu daerah Buitenzorg.

1

Staf Pengajar Program Studi Sejarah, Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya, Universitas Indonesia, Jakarta.

2 Harga tanah pada waktu itu ditentukan oleh jaraknya dari Batavia. Tanah yang berjarak 10 jam

perjalanan (35 paal) per morgen dijual seharga ½, ¼, ⅛ atau ¹/10 rijkdsdaalder atau antara f 1; 0,50; 0,25, atau 024 per bahu. Tanah yang letaknya antara 4-8 jam (14 sampai 28 paal) per morgen dijual seharga 1¾, ¾, ¾, ¹/3, ¼, atau ⅛ rijkdsdaalder atau f 3,50; f 1; f 0,66, f 0,50 sampai f 0,25 per bahu dan tanah yang berjarak 1-2 jam perjalanan (3½ sampai 7 paal) dilepaskan dengan harga 3, 2; 1½, 1¾, dan ½ rijksdaalder per morgen atau f 6; f 4,50; f 3,50; f 1 per bahu. 1 morgen = 8.516 m2; 1 bahu = 7.096 m2. Lihat “Geschiedkundig onderzoek naar den oorsprong en den aard van het partikulier landbezit op Java” dalam Tijdschrift voor Nederlandsch Indie, 1849, I, hlm. 245. Lihat juga J. Tromp, “Het Partikulier Landbezit in de Bataviasche ommelanden tot 1857”, dalam Tijdschrift voor Nederlandsch Indie, 1865, I, hlm. 332.

(2)

66 Dibandingkan dengan sisi barat dan timur Batavia, daerah Buitenzorg memegang peranan penting.3

Ada dua faktor yang menyebabkan hubungan Batavia-Buitenzorg lebih dominan dalam sejarah daripada hubungan Batavia-Cirebon maupun Batavia-Banten. Kedua daerah ini merupakan pusat kekuasaan raja-raja pribumi yang merdeka setidaknya sampai pertengahan pertama abad XIX. Hal ini membuat hubungan antara Batavia dan kedua kota tersebut lebih didominasi oleh faktor politik. Pertama, Buitenzorg tumbuh sebagai pusat kekuasaan bayang-bayang Batavia, mengingat pemukiman gubernur jenderal sejak Pemerintahan Baron van Imhoff pada 1745 sudah berada di Buintenzorg. Hal ini mengakibatkan naiknya peran politik Buitenzorg bagi Batavia. Kedua, daerah pedalaman Jawa Barat merupakan daerah yang sangat subur dan menjadi lahan pasokan produk tropis bagi transportasi laut Pelabuhan Batavia dan merupakan fondasi utama bagi kehidupan perekonomian Batavia.4

Dengan melihat arti penting dan intensifikasi hubungan Batavia-Buitenzorg, posisi Depok menjadi sebuah tempat yang sangat penting. Depok bukan hanya berkembang menjadi tempat transit bagi pengangkutan komoditas antara kedua kota tetapi juga dalam bidang-bidang lain yang mempengaruhi hubungan masing-masing kota maupun antara kedua kota tersebut.

Perubahan mulai terjadi ketika Gubernur Jenderal H.W. Daendels berkuasa pada 1808. Ketika Daendels mengambil alih Buitenzorg dan sekitarnya sebagai hak milik pribadi serta menjualnya kembali kepada para pejabat pemerintah dengan hak milik (eigendom), Depok yang terletak di selatan Batavia dijadikan sebagai daerah khusus.5

3

Buitenzorg memiliki arti politik dan ekonomi yang sudah dipertimbangkan oleh VOC sejak masih menjadi bagian dari unit administratif Ommelanden. Hal ini terbukti dari statusnya yang digunakan sebagai tempat tinggal Gubernur Jenderal secara resmi dan menjadi sentra dari lingkungan ekonomi agraris yang dikenal sebagai tanah-tanah partikelir (particuliere landerijen). Lihat J.F.D. Engelhard,”De Bataviaasche Ommelanden en de landbouw” dalam Tijdschrift van Nijverheid en Landbouw van

Nederlandsch Indie (TNLVNI), tahun 1887, vol. XXVII, hlm. 1.

4 E.A. Engelbracht, “Toestand van particuliere landerijen in Ommelanden van Batavia in

vergelijk met dien in de vorige eeuw”, dalam majalah TNLVNI, jilid XXV, tahun 1885, hlm. 581. Tanah-tanah partikelir ini terbentang mulai dari Kota Batavia sampai ke sekitar istana Gubernur Jenderal di Cipanas. Produksi tanah-tanah ini menjadi salah satu komoditi utama yang mendominasi pengangkutan dari Buitenzorg ke Pelabuhan Batavia sepanjang abad XIX.

(3)

67 Daendels memutuskan pada 20 Pebruari 1810 bahwa Depok bersama tanah-tanah lain di sekitar Batavia (Batavia Ommelanden) yang tidak termasuk tanah Buitenzorg, langsung dikelola oleh pemerintah. Untuk itu pemerintah langsung memungut pajak senilai ½% atas pemborong tanah-tanah ini dari nilai tanah tersebut. Tujuan Daendels adalah menggunakan pemasukan ini sebagai biaya pengadaan dan pembangunan infrastruktur jalan dan jembatan di sekitar Batavia.6

Pada masa Pemerintahan Inggris, Raffles tidak menjual Depok kepada para tuan tanah Eropa atau Cina. Sebaliknya Depok menjadi tempat percobaan Raffles untuk menerapkan sistem pajak tanahnya (landrent). Sejak itu Depok terkenal sebagai daerah yang langsung berada di bawah kekuasaan pemerintah kolonial. Statusnya adalah sebagai daerah transit bagi hubungan antara Buitenzorg dan Batavia. Namun demikian, ketika Tanam Paksa diterapkan oleh Gubernur Jenderal J. van den Bosch, Depok menjadi tempat lalu-lintas antara daerah perkebunan yang menghasilkan produk komoditi niaga ke pusat eksportir dan pengangkutannya di Pelabuhan Batavia.

B. Kereta Api di Depok

Pada pertengahan abad XIX, proses modernisasi teknologi terjadi di Negeri Belanda. Salah satunya adalah bidang transportasi, yang mengalami revolusi teknologi dengan penggunaan kereta api untuk pertama kali sebagai alat penghubung antarkota pada 1842. Keberhasilan perusahaan kereta api dalam mengeruk keuntungan dan animo publik yang semakin tinggi terhadap jenis transportasi ini, telah mendorong Pemerintah Belanda berpikir untuk juga menerapkannya ke tanah Koloni Hindia Belanda. Tujuan utamanya adalah untuk mendukung pengangkutan hasil bumi yang diproduksi lewat Tanam Paksa, sekaligus sebagai sarana politis untuk memperkuat kontrol pemerintah di pedalaman Jawa.7

Akan tetapi proses pembukaan jalur kereta api ini tidak mudah dilakukan di tanah koloni. Ada perdebatan antara siapa pelaku pertama, apakah pemerintah atau

6 Ibid., hlm. 140.

7 T.J. Stieltjes, Overzigt van hetgeen de spoorwegen in Java („s Gravenhage: Gebr. J & H.

(4)

68 swasta. Mengingat pada masa itu posisi pemerintah kolonial masih sangat dominan, ada keberatan bila modal swasta mengelola jaringan kereta api. Namun, dengan kemunduran hasil Tanam Paksa sejak awal 1850-an, keuangan Negara tidak mampu menutup tuntutan modal. Sebagai konsekuensinya, modal swasta harus dilibatkan. Melibatkan modal swasta memerlukan landasan hukum yang jelas untuk pengaturan semua kinerjanya. Oleh karena itu, 1866 untuk pertama kalinya Undang-Undang Perkeretaapian di Hindia Belanda dikeluarkan.8

Setelah peraturan dikeluarkan, persoalan baru muncul mengenai jalur mana yang akan dipasang untuk pertama kalinya. Berdasarkan pertimbangan politik, dan kemudian juga ekonomi, Batavia-Buitenzorg dan Semarang-Vorstenlanden menjadi pilihan. Kedua jalur ini dianggap sebagai memiliki arti penting karena menghubungkan lokasi strategis dalam struktur kolonial di Hindia Belanda. Namun demikian, mengingat sampai akhir 1860-an modal negara tidak siap untuk melakukan pembukaan, Pemerintah Belanda harus menerima partisipasi swasta untuk mewujudkan jaringan pada kedua jalur tersebut.9

Fungsi Depok sebagai tempat transit menjadi semakin penting ketika Pemerintah Hindia Belanda memberikan konsesi kepada perusahaan Nederlandsch Indische

Spoorweg Maatschappij untuk membuka jalur kereta api dari Batavia ke Buitenzorg

pada tahun 1868.10 Pemasangan rel dilakukan sejak bulan April 1869 dan selesai pada tanggal 31 Januari 1873. Jalur yang dilewati terbentang mulai dari Weltevreden hingga Buitenzorg dan melewati tengah daerah Depok.

Pembukaan jalur kereta api ini kemudian merubah situasi kehidupan di Depok, mengingat stasiun kecil dibuka di Depok oleh pihak Staatsspoor (SS). Dengan adanya pembukaan jalur kereta api, Depok mulai tumbuh sebagai sebuah kota. Jumlah pemukim yang ada di Depok meningkat dengan kehadiran para pendatang dari Batavia yang

8 Staatsblad van Nederlandsch Indie, tahun 1866 nomor 132. Lihat juga Anoniem,”Staats of

particuliere spoorwegen op Jawa” dalam Tijdschrift voor Nederlandsch Indie, tahun 1875, jilid I, hlm. 128.

9

P. Bordes,”Aanleg van het spoorwegen in Nederlandsch Indie”, dalam Indisch Genootschap, tahun 1872, hlm. 21.

10 ANRI, Gouvernement Besluit 27 Maret 1868 no. 1, bundle Algemeen Secretarie. Keputusan ini

(5)

69 pindah untuk tinggal di Depok.11 Penduduk ini telah ada sejak masa VOC dan sebagian merupakan keturunan dari para bekas budak yang dibebaskan dan dibaptis. Diantara para pendatang itu, terdapat tenaga kerja proyek pembuatan jalan kereta api Batavia-Buitenzorg. Mereka umumnya adalah kuli-kuli dari etnis Sunda, Jawa dan Cina yang kemudian menekuni kehidupan dalam bidang industri kerajinan rumahtangga.12 Akibat dari urbanisasi ini, penduduk Depok menjadi beragam dengan mayoritas adalah warga Betawi, di samping keturunan para pemilik tanah sebelumnya atau para pendatang dari Batavia atas motivasi sendiri.

Sejak 1873, Depok dimasukkan dalam jalur lalu-lintas kereta api negara yang dibuka antara Batavia dan Buitenzorg, ketika perusahaan kereta api Negara (Staatsspoor) mengambil alih asset milik NISM. Dengan pembukaan jalur ini, Depok menjadi tempat transit lalu-lintas cepat. Meskipun ada ketergantungan pada potensi transportasi kereta api negara yang semakin penting, Depok menjadi lokasi strategis sebab sebelum itu Depok telah dikenal sebagai tempat persinggahan para pedagang yang memanfaatkan jalur tersebut. Dengan adanya pembukaan jalan kereta api, Depok memiliki stasiun sendiri. Stasiun yang dibuka di Depok berbeda dengan stasiun-stasiun kecil lain seperti di Lenteng Agung. Stasiun Depok merupakan stasiun klas menengah. Dengan demikian pembukaan stasiun ini membawa dampak luas bagi kehidupan perekonomian di Kota Depok. Sifat-sifat sebagai kota mulai muncul dari Depok yang sebelumnya hanya merupakan tempat persinggahan.

C. Pembangunan Jalur Kereta Api

Kebutuhan terhadap pembangunan transport kereta api muncul dari kaum pemodal swasta sebagai motor perdagangan. Mereka menuntut pemerintah kolonial untuk segera merealisasikan pembangunan jalur kereta api untuk mengatasi masalah

11

ANRI, Algemeen Verslag van Residentie Batavia over het jaar 1874, dalam Bundle Batavia. Setelah selesainya proyek pembangunan jalan kereta api, Pemerintah Karesidenan Batavia memutuskan untuk memindahkan orang-orang keturunan Portugis dari Kampung Tugu untuk tinggal di Depok. Alasannya adalah untuk meramaikan daerah tersebut sebagai penopang kemajuan Kota Batavia. Langkah ini mengingatkan pada hubungan antara Chastelein dan tanahnya di Tugu, serta pola kebijakan yang diambil oleh para petinggi VOC di abad XVII tentang mendatangkan orang-orang luar untuk meramaikan suatu lokasi.

(6)

70 transportasi, terutama pengangkutan tropical product dari lokasi perkebunan ke pelabuhan. Desakan para pemodal swasta tersebut dijawab oleh pemerintah kolonial untuk segera merealisasikan pembangunan jalur kereta api.

Untuk merealisasikan pembangunan rel kereta ini diperlukan perjalanan yang panjang dan penuh perdebatan. Diawali pada 1840, ketika seorang perwira Belanda, Kolonel J.H.R van der Wijk, mengusulkan agar di Pulau Jawa dibangun alat transportasi yang mobile. Usul tersebut muncul karena mereka mengalami kesulitan dalam hal prasarana dan sarana transportasi di Jawa, terutama dalam kaitannya dengan kepentingan pertahanan dan keamanan serta ekonomi. Ia mengusulkan untuk membangun jaringan transportasi cepat dari Surabaya ke Batavia melalui Surakarta, Yogyakarta, dan Bandung.13

Usulan tersebut didukung pleh J. Trom, dengan perubahan jalur yaitu agar rel tersebut juga menghubungkan Surabaya dan Cilacap. Pemerintah Kerajaan Belanda menerima usul Kolonel van der Wijk dengan mengeluarkan Koninklijk Besluit tertanggal 28 Mei 1842, Nomor 270 tentang pembangunan rel kereta api dari Semarang ke Kedu dan dari Yogyakarta ke Surakarta. Namun dalam perkembangan selanjutnya Koninklijke

Besluit tersebut tidak pernah terealisasi karena kondisi keuangan yang tidak mendukung.

J.J. Rochussen, Gubernur Jenderal Hindia Belanda (1845-1851), pada tahun 1848 mengajukan usulan anggaran sebesar 2,5 juta poundsterling untuk dana pemasangan jalan rel kereta api antara Batavia dan Buitenzorg kepada Pemerintah Belanda. A.J. Duymaer van Twist, Gubernur Jenderal Hindia Belanda (1851-1856), penggganti Rochussen, menyatakan sebaiknya Pemerintah Belanda mempertimbangkan kembali untuk mengabulkan permohonan konsesi pihak swasta. Usul tersebut ditanggapi pemerintah dengan dikeluarkannya Surat Keputusan tahun 1853 nomor 4 tentang pemberian kemudahan bagi kalangan pengusaha swasta untuk mendapat konsesi pembukaan jalan rel kereta api di Pulau Jawa. 14

13 H.A.A. Nielou,”Beschouwingen over het militaire transportwezen te velde in Indie”, dalam

Indisch Militaire Tijdschrift, tahun 1882, jilid I, hlm. 578.

(7)

71 Setelah dikeluarkannya Surat Keputusan tersebut, maka banyak pengusaha swasta yang mengajukan konsesi untuk membuka pembuatan jalan rel kereta api di Pulau Jawa. Pengajuan tersebut didasarkan pada hasil perkebunan mereka yang mulai melimpah, namun tidak ada angkutan yang mampu mengangkut hasil perkebunan tersebut. Hingga 1861 tidak ada satupun permohonan konsesi yang dikabulkan.

Persoalan pelik yang dihadapi Pemerintah Belanda adalah perbedaan pendapat antara Pemerintah Belanda dan konsorsium yang terdiri dari W. Poolman, A.Fraser dan E.H. Kol tentang jalur kereta api yang akan dibangun. Pemerintah, atas saran Stieltjes, akan membangun jalur kereta api melalui Ungaran dan Salatiga. Alasannya adalah pusat-pusat kedudukan tentara Belanda yang tersebar di Ungaran, Ambarawa, dan Salatiga dapat terhubungkan.15

Konsorsium dan para pengusaha swasta yang mengajukan konsesi tidak sependapat dengan pemerintah. Mereka berpendapat bahwa pembangunan jalan kereta melalui Ungaran, Bawen, dan Salatiga akan memakan waktu yang lama dan biaya besar. Hal itu disampaikan mengingat jalur tersebut berada di daerah pegunungan.

Pada 1862, permohonan konsesi yang diajukan oleh W. Poolman dan para pengusaha swasta lainnya disetujui oleh pemerintah. Mereka kemudian mendirikan perusahaan kereta api swasta Nederlandsch Indische Spoorweg Maatschappij (NISM) yang dipimpin oleh Ir. P. de Bordes. Berdasarkan Surat Keputusan Gubernur Jenderal Nomor 1, Tanggal 28 Agustus 1862, NISM memperoleh konsesi untuk pembuatan jalan kereta api dari Semarang ke Surakarta dan Yogyakarta. Persetujuan konsesi didasarkan pada kenyataan bahwa Semarang Selatan, Surakarta, dan Yogyakarta merupakan daerah penghasil komoditi ekspor antara lain kayu, tembakau, dan gula yang harus dibawa ke pelabuhan Semarang.

Pada 1864, Poolman dan kawan-kawannya kembali memperoleh konsesi untuk memasang dan mengeksploitasi jalan rel di daerah Jawa Barat, yakni untuk jalur Batavia-Buitenzorg. Konsesi pembangunan jalan rel dan pengoperasian kereta api jalur Batavia-Buitenzorg diperoleh NISM melalui Gouvernement Besluit (Surat Keputusan

15 “Spoorweg op Jawa: behoefte daaraan uit een defensief oogpunt”, dalam Indisch Militaire

(8)

72 Gubernur Jenderal Hindia Belanda tertanggal 27 Maret 1868). Fungsi Depok sebagai tempat transit menjadi semakin penting ketika konsesi itu diberikan kepada perusahaan

Nederlandsch Indische Spoorweg Maatschappij untuk membuka jalur kereta api dari

Batavia ke Buitenzorg. Pelaksanaan pembangunannya baru dapat direalisasikan pada 1868.16 Konsesi ini diberikan karena dua hal yaitu:

1. Jalur Batavia-Buitenzorg, mempunyai nilai ekonomi yang cukup tinggi, karena berkaitan dengan pengangkutan hasil produksi komoditi ekspor seperti kopi, teh, kina, dan beras dari wilayah-wilayah pedalaman di sekitar Buitenzorg dan Priangan.

2. Buitenzorg menjadi tempat kedudukan Gubernur Jenderal dan pusat administrasi pemerintahan.

Dalam hal ini pemeritah juga memberikan bantuan modal berupa pinjaman tanpa bunga. Pinjaman tersebut berhasil dilunasi oleh NISM pada 1891. Untuk pembangunan rel kereta jalur Buitenzorg-Batavia didatangkan kuli-kuli dari Jawa, dan Sunda dengan upah berkisar antara f.0.25-f.0.40.17 per hari. Jika kuli tersebut berasal dari etnis Cina, maka mereka akan mendapat upah antara f. 0.20-f.1,- Sementara mandornya mendapat upah f.0.75.

Meskipun pada awalnya pembangunan jalur kereta api dilakukan oleh pihak swasta, berdasarkan konsesi yang diberikan oleh pemerintah, namun dalam pelaksanaannya pemerintah juga ikut ambil bagian dalam pembangunan tersebut. Hal ini terjadi karena NISM mengalami kesulitan dalam hal pendanaan. Pemerintah kemudian membentuk perusahaan kereta api yang dikenal dengan Staatspoorwegen (SS)

Pembangunan jalur kereta api Batavia-Buitenzorg dimulai pada 1869. Pelaksanaannya dipimpin oleh Ir. J.P. Bordes. Jalur ini mulai dioperasikan 16 September 1871. Disamping pembangunan jalur kereta api Batavia-Buitenzorg, pemerintah juga memberikan izin kepada AA Verkamp untuk membuka dan mengeksploitasi sebuah jalan trem uap di Karesidenan Batavia ke Parung, yang membentang dari Citeureup

16 ANRI, Gouvernement Besluit 27 Maret 1868 no. 1, bundle Algemeen Secretarie. Keputusan ini

disahkan dengan Staatsblad van Nederlandsch Indie over het jaar 1869 nomor 52.

(9)

73 melalui Cibinong, Depok, dan Parung Bingung. Izin tersebut diberikan selama 99 tahun.18

Jalan trem yang dibuka dengan rel tunggal akan diperuntukkan bagi pengangkutan penumpang dan barang. Lebar rel diukur antar ujung rel yang berjumlah 1,067 meter. Jalan trem tersebut harus disambungkan di Parung dan di Citeureup dengan jalan trem uap yang dibangun dari Buitenzorg melalui Parung, Parung Panjang menuju Tangerang, dan dari Buitenzorg menuju Bekasi; dan di Depok dengan jalan kereta api dari Buitenzorg ke Batavia.

D. Managemen Usaha Kereta Api

Kereta api pertama yang dioperasikan menarik 14 rangkaian gerbong setiap harinya. Dalam waktu setengah bulan pertama, kereta api tersebut telah mengangkut 35.740 penumpang. Untuk pengangkutan tersebut, didatangkan 3 lokomotif, 5 kereta penumpang, dan 4 gerbong angkutan, yang semuanya dibuat oleh Perusahaan Kereta Api Asbury di Leeds. Kelima gerbong penumpang itu adalah gerbong campuran, yaitu kelas 1, kelas 2, dan kelas 3.

Sejak dioperasikan pada 16 September 1871 hingga akhir Desember 1871,

Staatspoorwegen memperoleh hasil f. 16.913.37 untuk pengangkutan penumpang,

sementara untuk pengangkutan lain-lain (seperti binatang dan barang-barang) mencapai f. 1.263,55, atau selama 3,5 bulan pendapatan Staatspoorwegen mencapai f. 18.176,92. Berarti pendapatan Staatspoorwegen rata-rata per bulan adalah sekitar f. 5.193,40, padahal pengeluarannya selama kereta dioperasikan mencapai f. 20.304,22. Saldo rugi sebesar f. 2.127,30.19

Ketika jalan kereta api semakin jauh dieksploitasi, perbandingan pendapatan semakin menguntungkan karena biaya biasa dihitung dengan jarak yang semakin jauh. Dengan demikian ada kenaikan tarif yang harus ditanggung oleh para penumpang. Jumlah penumpang dari September sampai Desember 1871 tercatat sebagai berikut. Lihat Tabel 1.

18 Lihat Staatsblad van Nederlandsch Indie tahun 1893, Nomor 191. 19 Koloniaal Verslag, 1872.

(10)

74 Tabel 1

Jumlah Penumpang yang Diangkut Selama September-Desember

1871

Bulan Jumlah Penumpang

September 35.740

Oktober 45.091

November 26.751

Desember 26.751

Jumlah 129.597

Sumber: Koloniaal Verslag, 1872 (diolah).

Dari jumlah 129.597 tersebut, tercatat kurang lebih 4.946 penumpang kelas 1; 24.945 penumpang kelas 2; dan 99.713 penumpang kelas 3. Mereka masing-masing harus membayar tiket untuk setiap kilometer yang ditempuh. Bagi penumpang di kelas 1 dikenakan tarif 6 sen, di kelas 2 penumpang harus membayar 4 sen, dan bagi penumpang kelas 3 dikenakan biaya 2 sen.

Di samping itu, ada juga tiket abonemen yang besarannya dapat dilihat pada tabel berikut. Lihat Tabel 2.

Tabel 2

Tarif Abonemen 1907

Tujuan

Harga Tiket Abonemen

Kelas 1 Kelas 2 Kelas 3

Depok – Buitenzorg 30,- 20,- 7,-

Batavia Utara – Depok 40,- 25,- 10,-

Weltevreden – Depok 35,- 20,- 9,-

(11)

75 Dari tabel tersebut, dapat dilihat biaya abonemen ditetapkan berdasarkan jarak tempuh kereta api. Semakin jauh jarak tempuh, semakin mahal harga karcis

abonemennya.20

Kereta api kelas 4 dan kelas 5 khusus untuk pengangkutan barang atau hewan. Di kelas 4 dan kelas 5, jika jumlah barang kiriman mencapai 4000 kg dengan jarak tempuh antara 1-175 km diberikan potongan ongkos sebesar 5%, dan potongan ongkos sebesar 7½% untuk jarak kirim diatas 175 km.

Kereta barang atau kereta kelas 5 juga mengangkut sayur mayor dan hasil pertanian seperti padi, gabah, beras, dan jagung, juga terdapat ikan asin, ikan kering dan ikan asap. Untuk pengangkutan panen dari pabrik gula yang terletak di Afdeeling Buitenzorg, untuk sementara ditetapkan tarif khusus, dengan persyaratan yang sama seperti yang berlaku bagi pabrik-pabrik di Vorstenlanden.21

Munculnya stratifikasi sosial diantara penumpang kereta api yang ditunjukkan dengan adanya kelas pada gerbong-gerbongnya diawali ketika jalur kereta api dibangun ke daerah yang bukan merupakan daerah perkebunan. Pembukaan jalur Batavia-Buitenzorg dan Semarang-Vorstenlanden, lebih ditujukan untuk melakukan kontrol kekuasaan. Mengingat bahwa tujuan pembukaan jalur tersebut adalah untuk kepentingan politik, maka dimulailah pengangkutan untuk manusia. Muncullah stratifikasi sosial dalam pelayanan kereta api yang tercermin dari harga karcis, fasilitas gerbong, dan lain sebagainya.

Jalur kereta api Batavia-Buitenzorg, terbentang mulai dari Weltevreden hingga Buitenzorg melewati dan singgah di Stasiun Depok. Justus van Maurik, seorang pengusaha cerutu dari Amsterdam, yang melakukan perjalanan wisata keliling Jawa pada abad XIX, menyatakan bahwa ketika ia melakukan perjalanan dengan kereta api ke Buitenzorg, kereta tersebut singgah sebentar di Stasiun Depok.22

20 Berbeda dengan kondisi 2012, tidak ada perbedaan harga karcis berlangganan. Sementara

untuk tiket biasa, harga tiket disesuaikan dengan jarak tempuh. Misalnya Bogor– Depok harga tiket Rp. 6.000,-, tiket Bogor-Jakarta Kota adalah Rp. 7.000,-

21 Koloniaal Verslag ,1887, hoofdstuk L.

22 Lihat Justus van Maurik, Indrukken van een Totok:Indische Typen en Schetsen (Amsterdam:

(12)

76 Selain Stasiun Depok, stasiun-stasiun lain yang dibangun adalah Stasiun Pasar Minggu, Lenteng Agung, dan Pondok Cina. Stasiun-stasiun tersebut kemudian dijadikan pusat perdagangan dan tidak jarang terdapat pasar. Para pedagang kecil menjajakan barang dagangannya yang biasanya berupa berbagai jenis makanan, minuman, mainan anak-anak, barang kerajinan, dan lain-lain. Bahkan pasar-pasar yang tumbuh dan berkembang di sekitar stasiun tidak saja menggunakan lahan yang ada di sekitar stasiun, melainkan juga menggunakan rel kereta api untuk meletakkan barang-barang dagangannya. Mengenai hal ini Eliza R. Scidmore, seorang turis dari Amerika, yang juga melakukan perjalanan ke Jawa pada abad XIX, menceriterakan situasi di Stasiun Depok. Ia terkesan dengan situasi di peron yang dipenuhi buah-buahan.23

Pembukaan jalur kereta api dan sebuah stasiun kecil di depok kemudian merubah situasi kehidupan wilayah ini. Dengan adanya pembukaan jalur kereta api, Depok mulai tumbuh sebagai sebuah kota. Jumlah penduduk di Depok tumbuh pesat pada dekade 1890-an. Dari 500-600 jiwa di tahun 1891, penduduk Depok berkembang pesat menjadi kurang lebih 5.300 orang pada 1914, termasuk diantaranya 250 orang Eropa.

Dalam waktu satu dekade, Depok telah berkembang menjadi suatu kota pemukiman dan transit bagi lalu-lintas utama. Sejak dikeluarkannya Agrarische Wet (UU Agraria) 1870, Jawa dan Madura dibuka bagi penanaman modal swasta. Para pemilik modal yang lebih bertumpu pada sektor agrobisnis ini mengarahkan sasaran investasi mereka pada bidang perkebunan dan pertanian. Tuntutan mereka adalah tanah-tanah yang subur sehingga menghasilkan produk agraria bagi kebutuhan ekspor.24

Para pemilik modal yang memiliki perkantoran di Batavia ini lebih cenderung memilih tempat bermukim mereka ke luar kota. Lokasi yang menjadi prioritas mereka adalah di selatan Batavia mengingat letaknya cukup strategis, yaitu lahan perkebunan mereka di wilayah Afdeeling Buitenzorg (yang memiliki tanah-tanah subur) dan perkantoran mereka di daerah Weltevreden dan Batavia. Depok menawarkan lokasi yang strategis di sini. Tuntutan ini semakin terasa ketika daerah pemukiman elit di Kota

23

R. Eliza Scidmore, Java the Garden of the East (Singapure: Oxford University Press, 1984), hlm. 55.

24 “Java‟s productie voor de Europeesche markt”, dalam De Indische Gids, I, tahun 1879, hlm.

(13)

77 Batavia didominasi oleh para pengusaha swasta yang berbasis industri dan bergerak di luar sektor perkebunan. Sebaliknya pemukiman di luar Depok ke arah Buitenzorg tidak memberikan peluang karena telah didominasi oleh tanah-tanah partikelir (particuliere

landerijen).25

Mengingat bahwa komunitas di Depok dibangun oleh Cornelis Chastelein sebagai komunitas Kristen, tidaklah mengherankan jika jumlah penduduk Kristen tumbuh pesat pada dekade 1880-an.26 Penduduk ini telah ada sejak masa VOC dan sebagian merupakan keturunan dari para bekas budak yang dibebaskan dan dibaptis. Bersamaan dengan pembukaan jalan kereta api tersebut, pada 1869 Jan Albert Schurman dari Nederlandsch Zending Genootschap memperoleh izin untuk membuka sebuah sekolah teologi di Depok. Tujuannya adalah untuk mendidik orang-orang pribumi Kristen di sana dengan pemahaman dan pendalaman agama Kristen.27 Hal inilah yang antara lain memicu pertambahan penduduk di Depok.

Sebelum sekolah teologi dibuka, di Depok sudah ada pendidikan formal yang dikenal dengan Zondakh School (sekolah minggu), yang mengkhususkan pendidikan agama Kristen. Disini terlihat peranan gereja dalam menentukan perkembangan pendidikan di Depok. Di sekolah tersebut, selain pendidikan agama Kristen juga diajarkan budi pekerti. Para pendeta juga menyadari pentingnya pendidikan, mereka kemudian juga mengajarkan berhitung dan membaca kepada anak didiknya. Terhadap anak-anak sekolah tersebut, Pemerintah Belanda mengeluarkan kebijaksanaan berupa

besluit (Surat Keputusan), tertanggal 29 April 1869, nomor 55 tentang pengangkutan

gratis pada hari Paskah untuk kereta api dari sekolah Depok ke Tanjung Priok.

Keadaan ini berlangsung hingga Pemerintah Hindia Belanda menyerah tanpa syarat kepada Jepang, yang kemudian melakukan serangkaian perubahan di segala bidang. Perubahan di bidang perkeretaapian, dilakukan antara lain pada penggunaan

25

L. van der Hoek, “De Particuliere Landerijen in de residentie Batavia”, dalam Koloniaal

Tijdschrift, II, tahun 1922, hlm. 34.

26 Hal ini menarik perhatian mengingat izin bagi aktivitas Kristenisasi Protestan baru dikeluarkan

pada tahun 1886. Dengan demikian di Depok tidak terdapat proses Kristenisasi melainkan pemukiman orang-orang pribumi Kristen dan keturunan Portugis yang diizinkan oleh Pemerintah Belanda untuk dibuka.

27 Karel Steenbrink, Katholics in Indonesia: A Documented History (Leiden: KITLV Press,

(14)

78 kereta api sebagai alat transportasi. Jika sebelumya kereta api digunakan untuk mengangkut penumpang umum, maka pada masa Jepang, penggunaan kereta api lebih diprioritaskan untuk kepentingan militer Jepang dalam memenangkan perang melawan Sekutu. Akibatnya perjalanan kereta api tidak lagi mengikuti jadwal yang ditetapkan. Hal ini tentu saja menimbulkan kekecewaan pada masyarakat sebagai pengguna transportasi kereta api.

E. Dampak Sosial Ekonomi

Dinamika pembangunan jalur kereta api Batavia-Buitenzorg semakin menarik ketika mencermati realitas sosial yang berkembang seiring lajunya penduduk pribumi yang memanfaatkan kereta api sebagai kran mobilitas. Dalam konteks ini, penumpang kereta api yang mayoritas pribumi digambarkan sebagai kelompok yang pasif. Pembagian gerbong penumpang kereta api sesuai stratifikasi sosial masyarakat semakin menyiratkan ketimpangan yang mendalam. Meskipun secara tidak langsung dilakukan penghapusan sistem gerbong kelas 1, kelas 2, dan kelas 3, serta penerapan tarif yang seragam, namun upaya untuk memisahkan penumpang antara kalangan Eropa dan pribumi tetap berlangsung yaitu dengan menyediakan gerbang tertentu yang tidak bisa dimasuki penumpang lain.28

Aspek penting lain yang perlu dikemukakan untuk memahami dampak sosial perkembangan kereta api adalah mobilitas penduduk. Dari beberapa sumber dan referensi yang berkaitan dengan pengangkutan penumpang kereta api, ternyata kriminalitas seringkali menghampiri penduduk pribumi, mulai dari pencurian barang bawaan hingga perlakuan diskriminatif para kondektur Belanda, sebagai representasi penguasa kereta api. Semua itu merupakan Spoor kultuur yang berkembang sebagai bagian dari dinamika masyarakat dalam berkereta api.

Pembangunan kereta api juga telah membawa perubahan yang cukup besar dalam kehidupan perekonomian masyarakat pribumi. Mobilitas penduduk yang semakin tinggi terutama pada jalur-jalur pendek. Pada akhirnya para pelajar, pegawai dan

(15)

79 lain terbiasa menggunakannya sebagai alat transportasi dari dan ke tempat tujuan setiap hari (pulang pergi). Apalagi kemudian dikenal dengan adanya hari-hari pasar yang tertentu waktunya, para pedagang kecil memanfaatkan lahan di sekitar stasiun, untuk menjajakan barang-barang dagangannya yang dibawa dari kota. Untuk itu, pemerintah menyediakan kereta khusus untuk mengangkut para pedagang dari dan ke tempat tujuan.

(16)

80

DAFTAR PUSTAKA

“De aardwerk industrie te Depok”, dalam De Reflector, th.ke-6, 1912.

“Geschiedkundig onderzoek naar den oorsprong en den aard van het partikulier landbezit op Java” dalam Tijdschrift voor Nederlandsch Indie, 1849.

“Java‟s productie voor de Europeesche markt”, dalam De Indische Gids, I, tahun 1879. “Spoorweg op Jawa: behoefte daaraan uit een defensief oogpunt”, dalam Indisch

Militaire Tijdschrift, tahun 1873.

“Staats of particuliere spoorwegen op Jawa” dalam Tijdschrift voor Nederlandsch Indie, jilid I, tahun 1875.

ANRI, Algemeen Verslag van Residentie Batavia over het jaar 1874.

ANRI, Gouvernement Besluit 27 Maret 1868 no. 1, bundle Algemeen Secretarie.

ANRI, Ind.Stbl ., No. H22, 1853.

Aa, A.J. van der, Nederlandsch Oost Indie, derde deel III. Amsterdam: J.F. Schleier 1851.

Bordes, P., ”Aanleg van het spoorwegen in Nederlandsch Indie”, dalam Indisch

Genootschap, tahun 1872.

Engelbracht, E.A., “Toestand van particuliere landerijen in Ommelanden van Batavia in vergelijk met dien in de vorige eeuw”, dalam majalah TNLVNI, jilid XXV, tahun 1885.

Engelhard, J.F.D., ”De Bataviaasche Ommelanden en de landbouw” dalam Tijdschrift

van Nijverheid en Landbouw van Nederlandsch Indie (TNLVNI), vol. XXVII,

tahun 1887.

Faes, J., Geschiedenis van Buitenzorg. Batavia: Albrecht, 1902.

Hoek, L. van der, “De Particuliere Landerijen in de residentie Batavia”, dalam Koloniaal

Tijdschrift, II, tahun 1922. Koloniaal Verslag, 1871.

(17)

81

Koloniaal Verslag, 1886. Koloniaal Verslag, 1887.

Maurik, Justus van, Indrukken van een Totok: Indische Typen en Schetsen. Amsterdam: van Hoeve, 1897.

Nielou, H.A.A.,”Beschouwingen over het militaire transportwezen te velde in Indie”, dalam Indisch Militaire Tijdschrift, jilid I, tahun 1882.

Scidmore, R. Eliza. Java the Garden of the East. Singapure: Oxford University Press, 1984.

Staatsblad van Nederlandsch Indie over het jaar 1869 nomor 52.

Steenbrink, Karel, Katholics in Indonesia: A Documented History. Leiden: KITLV Press, 2003.

Stieltjes, T.J., Overzigt van hetgeen de spoorwegen in Java. „s Gravenhage: Gebr. J & H. Langenhuyzen, 1864.

Tromp, J., “Het Partikulier Landbezit in de Bataviasche ommelanden tot 1857”, dalam

Referensi

Dokumen terkait

Hasil pelaksanaan siklus I dapat dilihat dari analisis hasil tes formatif yang disajikan dalam tabel berikut.. Dari tabel di atas dapat digambarkan bahwa dari pelaksanaan siklus I

Hasil penelitian menunjukkan bahwa suplemen tepung kulit kayu manis dan daun pegagan dalam pakan memberi pengaruh nyata terhadap bobot tubuh, kadar hemoglobin, dan jumlah

Pada bagian II merupakan bagian pokok penelitian ini yang akan dibagi menjadi tiga subbagian, pada subbagian pertama membahas elektron tunggal dalam quantum ring 1D dengan dan

Cara kerja perubah arah putaran sistem hidrolik (Sumber Yanmar Diesel, 1980 ).. Perlengkapan pada sistim hidrolik reduksi/perubahan arah. Dalam operasinya handle maju/mundur, alat

Heru Mahendrata, dr., SpM, dokter spesialis mata di RSUD Budhi Asih yang sudah sangat membantu penulis dalam penelitian ini dengan informasi- informasi dan ilmu mata

Apabila ditinjau dari sudut pandang pengguna jasa akuntansi, akuntansi dapat didefinisikan sebagai suatu disiplin ilmu dan atau aktivitas jasa yang menyediakan

Hasil penelitian dapat disimpulkan bahwa penerapan standar ISO 9001 berpengaruh signifikan terhadap kualitas produk, hal tersebut dapat dilihat dari hasil penelitian yang

Untuk mendukung teori hubungan antara kepemimpinan transformasional terhadap Organizational CitizenshipBehavior (OCB) yang disusun dalam penelitian ini didukung oleh