• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "BAB II TINJAUAN PUSTAKA"

Copied!
26
0
0

Teks penuh

(1)

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Penelitian Terdahulu

Sebagai bahan perbandingan dalam penelitian ini, akan dicantumkan beberapa penelitian terdahulu yang dianggap relevan dengan penelitian yang telah dilakukan oleh peneliti lain, penelitian terdahulu menjadi salah satu acuan peneliti dalam melakukan penelitian sehingga peneliti dapat memperkaya teori yang digunakan dalam menguji penelitian yang dilakukan. Penelitian terdahulu tersebut sebagai berikut :

1. Penelitian Reza Pahlevy, Atwar Bajari dan Agus Setiawan, mahasiswa jurusan Manajemen Komunikasi, Fakultas Ilmu Komunikasi, Universitas Padjajaran, Bandung tahun 2012 dengan judul penelitian “Konstruksi Makna Tato pada Anggota Komunitas Paguyuban Tattoo Bandung”, menuangkan analisis konstruksi makna dan realitas sosial tato pada anggota komunitas Paguyuban Tattoo Bandung ke dalam model konstruksi makna. Peneliti menggunakan fenomenologi Alfred Schutz untuk melakukan analisis terhadap factor-faktor yang melatarbelakangi ketertarikan terhadap tato.

Kesimpulan dari penelitian ini menjelaskan bahwa realitas makna tato menurut pandangan anggota Komunitas Paguyuban Tattoo Bandung, yaitu sebagai identitas, karya seni dan bisnis. Makna tato sebagai identitas

(2)

menunjukkan identitas mereka sebagai pecinta dan penggemar tato. Makna tato sebagai seni meliputi hobi, ekspresi, kreativitas dan gaya hidup. Sedangkan makna tato sebagai bisnis yaitu sebagai sumber penghasilan. Adapun faktor yang melatarbelakangi ketertarikan anggota Komunitas Paguyuban Tattoo Bandung terhadap tato terbentuk dalam dua lingkup, yakni ranah individu dan ranah komunitas. Dalam ranah individu, ketertarikan mereka terhadap tato dilatarbelakangi oleh empat faktor yaitu motivasi internal, motivasi eksternal, keterampilan dan tujuan. Sedangkan dalam ranah komunitas dilatarbelakangi oleh tiga faktor, yaitu orientasi terdahulu, orientasi sekarang dan orientasi masa depan.

2. Penelitian Nalendra Ayu Pratista H.R, mahasiswi jurusan Ilmu Komunikasi, Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, Universitas Pembangunan Nasional, Surabaya tahun 2013 dengan judul penelitian “Makna Komunikasi Simbolik pada Tattoo bagi Wanita Pengguna Tatto di Surabaya (Studi Deskriptif dengan Pendekatan Kualitatif Tentang Interaksi Simbolik dalam Tato bagi Wanita Pengguna Tato di Surabaya)”.Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui bagaimana makna pesan tato pada wanita pengguna tato di Surabaya. Peneliti menggunakan tipe deskriptif dengan pendekatan kualitatif.

Kesimpulan dari hasil penelitian ini menunjukkan bahwa terdapat faktor-faktor internal pengguna tato untuk mentato tubuhnya adalah karena emosi, pengekspresian, kecintaan terhadap seni, mengabadikan momen khusus dalam kehidupannya, mencari perhatian dan sebagai aksesoris. Sedangkan faktor-faktor eksternal pengguna tato mentato tubuhnya adalah diajak teman serta

(3)

karena trend atau mode. Hasil penelitian tentang pemaknaan tato pada wanita pengguna tato menunjukkan bahwa tato yang ada di tubuh pengguna tato tersebut adalah sebagai ungkapan perasaan, ekspresi seni dan keindahan, sebagai identitas, sebagai pelampiasan permasalahan yang sedang dihadapi serta tato sebagai spiritualitas (kepercayaan).

3. Penelitian Erwin Fazrin, mahasiswa jurusan Psikologi, Fakultas Ilmu Pendidikan, Universitas Pendidikan Indonesia, Bandung tahun 2011 dengan judul penelitian “Wanita dan tato (Studi Eksploratif Tentang Pencarian Sensasi pada Wanita Pengguna Tato di Kota Bandung)”. Penelitianini bertujuan untuk melihat motif pencarian sesnsasi dari wanita pengguna tato. Penelitian ini menggunakan tipe eksploratif dengan pendekatan kualitatif. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa seorang wanita menggunakan tato sebagai simbol kebebasan untuk berekspresi dan menunjukkan eksistensinya di lingkungan sosialnya. Selain nilai estetis, bagi wanita tato diasumsikan sebagai suatu simbol kebebasan dirinya atas tuntutan-tuntutan dari nilai dan tatanan sosial dimana dia berada. Dalam melakukan interaksi sosial, wanita pengguna tato tidak merasa terganggu dengan adanya tato pada tubuhnya, karena mereka dengan sengaja meletakkan tatonya pada bagian-bagian tubuh yang tertutup. Hal ini dilakukannya untuk menghindari pandangan negative dari masyarakat. Selain itu, mereka berusaha untuk berperilaku dan bersikap se-“normal” mungkin, hal ini dilakukan untuk menghapus citra negatif yang diberikan masyarakat terhadap pengguna tato, khususnya kaum wanita.

(4)

2.2 Komunikasi Nonverbal

2.2.1 Pengertian Komunikasi Nonverbal

Bahasa non verbal merupakan salah satu bentuk komunikasi yang sering digunakan dalam presentasi, dimana penyampaiannya bukan dengan kata-kata ataupun suara tetapi melalui gerakan-gerakan anggota tubuh yang sering dikenal dengan istilah bahasa isyarat atau body language. Selain itu juga, penggunaan bahasa non verbal dapat melalui kontak mata, penggunaan objek seperti pakaian, potongan rambut, dan penguins simbol-simbol.

Secara sederhana, pesan nonverbal adalah semua isyarat yang bukan kata-kata.Menurut Larry A. Samovar dan Richard E. Porter E. Porter, komunikasi nonverbal mencakup semua rangsangan (kecuali rangsangan verbal) dalam suatu setting komunikasi, yang dihasilkan oleh individu dan penggunaan lingkungan oleh individu, yang mempunyai nilai pesan potensial bagi pengirim atau penerima. Jadi definisi ini mencakup perilaku yang disengaja juga tidak disengaja sebagai bagian dari peristiwa komunikasi secara keseluruhan. Kita mengirim banyak pesan nonverbal tanpa menyadari bahwa pesan-pesan tersebut bermakna bagi orang lain12.

Mark L. Knapp menyatakan bahwa istilah nonverbal biasanya digunakan untuk melukiskan semua peristiwa komunikasi diluar kata-kata terucap dan tertulis. Pada saat yang sama kita harus menyadari bahwa banyak peristiwa dan perilaku nonverbal ini ditafsirkan melalui simbol-simbol verbal. Dalam pengertian

12

(5)

ini, peristiwa dan perilaku nonverbal itu tidak sungguh-sungguh bersifat nonverbal.13

Komunikasi non verbal dapat berupa bahasa tubuh, tanda (sign), tindakan/perbuatan (action) atau objek (object).

a. Bahasa Tubuh. Bahasa tubuh yang berupa raut wajah, gerak kepala, gerak tangan,, gerak-gerik tubuh mengungkapkan berbagai perasaan, isi hati, isi pikiran, kehendak, dan sikap orang.

b. Tanda. Dalam komunikasi nonverbal tanda mengganti kata-kata, misalnya, bendera, rambu-rambu lalu lintas darat, laut, udara; aba-aba dalam olahraga. c. Tindakan/perbuatan. Ini sebenarnya tidak khusus dimaksudkan mengganti

kata-kata, tetapi dapat menghantarkan makna. Misalnya, menggebrak meja dalam pembicaraan, menutup pintu keras-keras pada waktu meninggalkan rumah, menekan gas mobil kuat-kuat. Semua itu mengandung makna tersendiri.

d. Objek. Objek sebagai bentuk komunikasi nonverbal juga tidak mengganti kata, tetapi dapat menyampaikan arti tertentu. Misalnya, pakaian, aksesori dandan, rumah, perabot rumah, harta benda, kendaraan, hadiah14.

2.2.2 Fungsi Komunikasi Nonverbal

Mark L. Knappmenyebut lima fungsi pesan nonverbal yang dihubungkan dengan pesan verbal:15

13

Ibid. 347

14

(6)

1. Repetisi, yaitu mengulang kembali gagasan yang sudah disajikan secara verbal. Misalnya setelah mengatakan penolakan saya, saya menggelengkan kepala.

2. Substitusi, yaitu menggantikan lambang-lambang verbal. Misalnya tanpa sepatah katapun kita berkata, kita menunjukkan persetujuan dengan mengangguk-anggukkan kepala.

3. Kontradiksi, menolak pesan verbal atau memberi makna yang lain terhadap pesan verbal. Misalnya anda ’memuji’ prestasi teman dengan mencibirkan bibir, seraya berkata ”Hebat, kau memang hebat.”

4. Komplemen, yaitu melengkapi dan memperkaya makna pesan nonverbal. Misalnya, air muka anda menunjukkan tingkat penderitaan yang tidak terungkap dengan kata-kata.

5. Aksentuasi, yaitu menegaskan pesan verbal atau

menggarisbawahinya.Misalnya, anda mengungkapkan betapa jengkelnya anda dengan memukul meja.

Pesan-pesan nonverbal sangat penting dalam komunikasi, seperti yang dikatakan oleh Dale G. Leathers yang dikutip Jalaludin Rakhmat. Ia mengatakan alasan pentingnya pesan-pesan nonverbal, antara lain16:

1. Perasaan dan emosi lebih cermat disampaikan melalui pesan nonverbal dibanding dengan pesan verbal.

15

Jalaludin Rakhmat. Psikologi Komunikasi. Bandung: Remaja Rosdakarya. 1994 hal 27

16

(7)

2. Pesan nonverbal memberikan informasi tambahan yang memperjelas maksud dan makna pesan (fungsi merakomunikatif) yang sangat diperlukan untuk mencapai komunikasi yang berkualitas.

3. Pesan nonverbal merupakan cara lebih efesien dibandingkan dengan pesan verbal.

2.3 Komunikasi Artifaktual

Komunikasi artifaktual didefinisikan sebagai komunikasi yang berlangsung melalui pakaian, dan penataan pelbagai artefak, misalnya pakaian, dandanan, barang perhiasan, kancing baju, atau furnitur dirumah anda dan penataannya, ataupun dekorasi ruang anda. Karena fashion, pakaian atau busana menyampaikan pesan-pesan nonverbal, ia termasuk komunikasi nonverbal17. Pesan artifaktual diungkapkan melalui penampilan fisik dan penggunaan objek. Walaupun bentuk tubuh relative menetap, orang sering berperilaku dengan orang lainsesuai dengan persepsinya tentang tubuhnya (body image).18

Mulyana menjelaskan bahwa nilai-nilai agama, kebiasaa, tuntutan lingkungan (tertulis atau tidak tertulis), nilai kenyamanan, dan tujuan pencitraan, semua itu memperngaruhi cara kita berdandan. Pemakainya mengharapkan bahwa kita mempunyai citra terhadapnya sebagaimana yang diinginkannya19.

17

Malcom Barnard. Fashion sebagai Komunikasi. Yogyakarta: Jalasutra. 2011 hal vii

18

Suranto Aw. Komunikasi Sosial Budaya. Yogyakarta: Graha Ilmu. 2010 hal 165

19

Deddy Mulyana. Ilmu Komunikasi sebagai Pengantar. Bandung: Remaja Rosdakarya. 2011 hal 392

(8)

Orang membuat kesimpulan tentang siapa anda sebagian juga lewat apa yang anda kenakan20. Dalam masyarakat modern, semua manusia adalah performer. Setiap orang bisa memainkan dan mengontrol peranan mereka sendiri. Gaya pakaian, pilihan bahasa, musik hingga segala macam aksesoris yang menempel. Pilihan-pilhan kegiatan yang dilakukan adalah bagian dari pertunjukan identitas dan kepribadian diri. Kita bisa melihat tipe-tipe kepribadian yang ada lewat kejadian di sekitar kita21.Dengan berbagai makna dan atribut yang disandang tubuh (tato, jenggot, rambut gondrong, dan lain-lain), akan terjadi respons-respons sosial22.

2.4 Budaya Populer

Budaya pada dasarnya merupakan nilai-nilai yang muncul dari proses interaksi antar-individu. Nilai-nilai ini diakui, baik secara langsung maupun tidak, seiring dengan waktu yang dilalui dalam interaksi tersebut. Bahkan terkadang sebuah nilai tersebut berlangsung di dalam alam bawah sadar individu dan diwariskan pada generasi berikutnya.23

Sedangkan budaya popular merupakan seperangkat ide, perspektif, sikap, gambaran, dan fenomena lain, yang menurut konsensus umum berada dalam lingkaranmainstream(arus utama) dari budaya yang ada. Budaya populer menjadi

20

Ibid

21

Hatib Abdul Kadir Olong. TATO. Yogyakarta: LkiS. 2006 hal 2

22

Ibid. 67

23

Rulli Nasrullah. Komunikasi Antar Budaya: di Era Budaya Siber. Jakarta: Kencana Prenada Media Group. 2012 hal 15

(9)

hadir dimana-mana, dipengaruhi oleh kehadiran media masa. Budaya populer kini telah menjadi bagian dari kehidupan sehari-hari masyarakat di dunia.24

Budaya popular adalah medan pergulatan yang mencakup muncul dan bertahannya hegemoni. Namun ini bukan merupakan bidang dimana sosialisme atau kebudayaan sosialis bisa terekspresikan dalam bentuknya secara utuh.Ini merupakan tempat dimana sosialisme hanya bisa disisipkan, itulah sebabnya “budaya popular” menjadi penting.Dapat kita lihat sekarang ini keterlibatan mahasiswa dalam memandang budaya popular sebagai budaya kapitalis25.

Kebudayaan popular adalah keseluruhan ide, perspektif, perilaku, gaya, gambaran dan fenomena-fenomena lain yang menjadi preferensi sebagai hasil dari consensus informal. Budaya ini cenderung bersifat mudah, umum, dan sangat dipengaruhi oleh media demi mendapat penerimaan dari masyarakat, sehingga dalam waktu singkat juga dapat menarik institusi-institusi yang ada.26

Budaya popular atau budaya pop disebut pula sebagai budaya massa. Budaya massa merupakan budaya yang lahir dan tumbuh subur diantara masyarakat umum. Budaya ini timbul karena adanya hasrat untuk keluar dari kejenuhan dari aktivitas yang dilakukan sehari-harinya dari masyarakat umum tersebut. Budaya massa dibuat sekelompok orang demi menarik simpati banyak orang dan umumnya bermutu rendah. Hal-hal tersebut juga sebagai low culture (budaya rendah) yaitu kebalikan dari high culture (budaya tinggi).27

24

Ibid. 16

25

Idi Subandi Ibrahim. Lifestyle Ecstasy: Kebudayaan Pop dalam Masyarakat Komoditas Indonesia. Yogyakarta: Jalasutra. 2009

26

Eko A. Mainarno, Bambang Widianto, Rizka Halidah. Manusia dalam Kebudayaan dan Masyarakat. Jakarta: Salemba Humanika. 2011 hal 103

27

(10)

Pada perkembangan budaya saat ini, antara high culture dan low culture semakin sulit untuk membedakan keduanya, sebab keduanya saling bersublimasi dan saling bertukaran. Budaya popular sebagai budaya yang dihasilkan secara massal dengan bantuan teknologi industri. Dipasarkan secara professional bagi publik konsumen dengan tujuan untuk mendatangkan profit. Strinati juga menaruh perhatian terhadap definisi kata “popular” sebagai salah satu fenomena tersebut merupakan hal-hal yang kita alami sekarang, yaitu sebuah fenomena budaya yang lahir karena dukungan teknologi baru dan budaya konsumsi yang semakin merajalela.28

Budaya Populer saat ini sudah mejadi gaya hidup bagi masyarakat modern, dimana gaya hidup modern di jaman sekarang ini yang serba canggih dan praktis, menuntut masyarakat untuk tidak ketinggalan dalam segala hal. Banyak orang yang berlomba-lomba atau saling bersaing ingin menjadi yang terbaik dalam hal berpenampilan dan melakukan kebiasaan-kebiasaan yang dianggap modern serta tidak ketinggalan zaman29.Aktifitas merajam tubuh atau mentato tubuh merupakan salah satu contoh gaya hidup modern yang kerap kita jumpai di masyarakat perkotaan.

Setiap orang, disadari atau tidak, memiliki gaya hidup. Hanya dalam kehidupan sehari-hari, biasanya istilah gaya hidup (lifestyle) ditujukan kepada orang atau kelompok yang memiliki gaya hidup yang berbeda dengan gaya hidup orang kebanyakan. Kita sering membayangkan gaya hidup dengan konotasi kehidupan seseorang atau kelompok yang hidupnya tampak mewah, bergelimang

28

Dominic Strinati. Popular Culture: Pengantar Menuju Teori Budaya Populer. Yogyakarta: Bentang Budaya. 2010 hal 2-5

29

(11)

harta kekayaan yang tidak mungkin dapat diraih oleh orang kebanyakan. Dikatakan mereka memiliki gaya hidup yang tinggi, seperti selebriti. Sedangkan bagi orang yang kehidupan sehari-harinya biasa-biasa saja, dianggap tidak memiliki gaya hidup.30

2.5 Tato

2.5.1 Pengertian Tato

Tato yang merupakan bagian dari body painting adalah suatu produk dari kegiatan menggambar pada kulit tubuh dengan menggunakan alat sejenis jarum atau benda dipertajam yang terbuat dari flora. Gambar tersebut dihiasi dengan pigmen berwarna-warni31.

Tato merupakan karya seni yang bermuatan simbol. Pemaknaan terhadap simbol merupakan bagian integral dan interaksi dari berbagai pola pikiran dan tindakan komunikasi yang kemudian dijadikan kesepakatan. Dalam hal ini, subjek mempunyai kepemimpinan dalam memakai simbol yang dikandung oleh objek.32

Dalam bahasa Indonesia, kata tattoo merupakan pengindonesiaan dari kata “tattoo” yang berarti goresan, gambar, atau lambang yang membentuk sebuah desain pada kulit tubuh. Konon kata “tato” berasal dari bahasa Tahiti, yakni “tattau” yang berarti menandai, dalam arti bahwa tubuh ditandai dengan

30

Ibid

31

Hatib Abdul Kadir Olong. TATO. Yogyakarta: LkiS. 2006 hal 83

32

(12)

menggunakan alat berburu yang runcing untuk memasukkan zat pewarna dibawah permukaan kulit33.

Proses penusukan jarum dengan tangan (manual) seperti yang diungkapkan diatas hingga kini masih terdapat di beberapa kebudayaan dunia seperti Samoa, Maori, Mentawai, Burma, hingga Thailand. Dalam bahasa Jawa, tato mempunyai makna nyaris sama meskipun berbeda, yakni dari kata “tatu” yang juga memiliki kesejajaran makna “luka” atau “bekas luka”, yang menjadi sebuah tanda tertentu dengan kulit lainnya baik di tubuhnya sendiri maupun perbedaan tanda dengan tubuh milik orang lain.34

Dalam hal penandaan di dalam tubuh, Victor Tuner membagi dua macam teknik penandaan, yakni: scarification dan cicatrization. Penandaan pertama menunjukkan teknik penandaan pada tubuh dengan cara penggoresan sehingga menimbulkan beberapa luka yang panjang dan lurus dipermukaan kulit tubuh. Sementara, yang kedua menunjukkan penandaan tubuh dengan cara menyobek kulit dan menyumpalkan sesuatu barang kedalam kulit tersebut. Dalam menghasilkan penandaan pada tubuh tersebut, bahan pewarnanya dapat berupa arang, cat, tinta, pasta hingga bubuk. Penggunaan tato berdasar dua hal diatas dapat kita jumpai pada masyarakat kepulauan pasifik, Afrika dan Amerika.35

33 Ibid. 34 Ibid. 85 35 Ibid. 87

(13)

2.5.2 Sejarah Tato di Indonesia

Sekarang tato di Indonesia tumbuh menjadi mode. Tato secara pemaknaan telah mengalami perluasan. Bila semula tato menjadi bagian dari budaya ritual etnik tradisional, sekarang tato mengalami perkembangan yang meluas. Bila tato pada zaman Orde Baru adalah simbol kejahatan atau bagian dari subkultur maka pada masa reformasi tato berkembang menjadi bagian dari budaya pop. Eksistensi tato mengalami dualisme perkembangan di Indonesia.36

Dengan kata lain, di satu pihak lain (pada masyarakat adat) tato tradisional yang berkarakter tribal terancam punah, di pihak lain (pada masyarakat urban) tato menjadi bagian dari kebudayaan pop yang digandrungi dan dianggap bagian dari modernitas gaul. Situasi berkurangnya nilai ritual tato terjadi pada masyarakat Indonesia, dimana tato bukan lagi menjadi pananda kewibawaan, simbolisme kedewasaan, kekayaan, keberanian.37

Tato pada kaum perempuan suku Belu di pulau Timor merupakan simbol kecantikan tersendiri serta sebagai medium daya tarik lawan jenis. Karena pembuatan tato memerlukan biaya prosesi yang tidak kecil, perayaan tersebut merupakan prestise tersendiri bagi yang mampu melakukannya. Kaum perempuan akan merasa malu jika tidak di tato, karena kaum lelaki hanya akan memilih wanita yang memakai tato.38

36 Ibid. hal 194 37 Ibid. hal 195 38 Ibid.

(14)

Kita memang patut prihatin terhadap memudarnya eksistensi tato pada masyarakat adat Indonesia. Sebab, bagaimanapun tato adalah anak kandung kebudayaan Indonesia. Tato, bagi masyarakat Mentawai misalnya, mempunyai berbagai macam makna, tanda, simbol. Derajat seseorang bisa dilihat dari tato di tubuhnya. Rajah juga bisa menentukan kesukuan seseorang, berapa jumlah keluarga, dan prestasi yang ia capai.39

Tato pada suku dayak, dari goresan-goresan di tubuh itu tercermin bentuk yang jantan, kuat, berani, dan erat kaitannya dengan unsure kepercayaan untuk memperoleh keselamatan dan kerukunan dalam keluarga dan masyarakat. Perkawinan dapat terlaksana jika kedua pengantin sudah di tato di seluruh badan. Masyarakat Sumba baik laki-laki maupun perempuan merajah pergelangan kaki mereka dengan warna hitam pekat untuk menandakan bahwa mereka telah mempunyai pasangan tetap (suami/istri).40

Dari hal diatas, jika kita mau mengamati lebih jeli pada masyarakat adal dapat terungkap bahwa lukisan pada tubuh menusia mempunyai beragam makna dan simbol sama seperti yang termaktub pada lukisan gua, gambar batik, hingga ukiran kayu. Dari sanalah kita dapat mengetahui bagaimana struktur masyarakat yang bersangkutan, jati diri, hingga cita-cita mereka.41

Tato kini mengalami pergeseran dan memasuki nilai antroposentis. Sebelumnya tato bernilai religious transcendental dan magis pada masyarakat

39 Ibid. hal 196 40 Ibid. 41 Ibid.

(15)

suku bangsa pedalaman. Pergeseran inilah yang kemudian menjadikan tato sebagai wilayah yang diperebutkan antara moralitas tubuh, estetika tubuh, hingga solidaritas tubuh. Konsekuensi logis yang terjadi adalah tato menjadi budaya pop bahkan budaya massa dengan segala ikon yang disandangnya. Budaya pop kaum muda ini dapat eksis di negara-negara yang telah maju maupun sedang berkembang. Salah satunya adalah Indonesia. Mengguritanya budaya pop ini tentunya tidak lepas dari derasnya berbagai arus informasi, propaganda, liberalism yang menyulap batas-batas negara menjadi sangat kabur. 42

Lingkungan sosial masyarakat kekinian cenderung memberi kelonggaran bagi kalangan bertato, meskipun masih terbatas di beberapa kota besar. Akan tetapi, lama-kelamaan kelonggaran tersebut dapat semakin meluas secara geografis. Hal ini dikarenakan gempuran yang demikian hebat diberbagai aspek melalui iklan di mediaaudio visual yang muncul per sekian detik, sehingga mau tidak mau akan mengubah pandangan respons masyarakat terhadap pelaku tato.

Akibat dari segregasi terhadap pandangan tato yang konservatif dan mapan maka tato kini mengalami reduksionisme diskriminasi. Orang tidak lagi memandang tato secara parsial, tapi perspektif kini bergeser kepada pandangan secara multidimensional yang cukup reflektif dan sadar perubahan. Dengan kata lain, manusia bertato tak diperlakukan secara unqual treatment of equal.43

42

Ibid. 5

43

(16)

2.5.3 Jenis-Jenis Gambar Tato

Seni tato pun ternyata mengenal berbagai macam aliran. menurut Kenken sebagai salah satu tattoo artist dan pemilik Kent Tatto Studiodi Bandung, mengklasifikasikan beberapa jenis gambar tato, yaitu:44

1. Natural, berbagai macam gambar tato berupa pemandangan alam atau bentuk muka.

2. Treebal, merupakan serangkaian gambar yang dibuat menggunakan blok warna. Tato ini banyak dipakai oleh suku Maori.

3. Out School (Outskool), tato yang dibuat berupa gambar-gambar zaman dulu, seperti perahu jangkar atau simbol yang tertusuk pisau.

4. New school (Nuskool), gambarnya cenderung mengarah ke bentuk graffiti dan anime.

5. Biomekanik, berupa gambar aneh yang merupakan imajinasi dari teknologi, seperti robot, mesin, dll.

2.6 Fenomenologi

2.6.1 Pengertian Fenomenologi

Istilah fenomenologi secaraetimologis berasal dari kata kerja fenomena dan logos. Fenomena berasal dari kata kerja Yunani “phainesthai” yang berarti nampak, dan terbentuk dari akar kata fantasi, fantom, dan fosfor yang artinya sinar atau cahaya. Dari kata itu terbentuk kata kerja, tampak, terlihat karena bercahaya.

44

(17)

Dalam bahasa Indonesia berarti cahaya. Secara harfiah fenomena diartikan sebagai gejala atau sesuatu yang menampakkan.45

Studi fenomenologi bertujuan untuk menggali kesadaran terdalam para subjek mengenai pengalaman beserta maknanya. Pengertian fenomena dalam studi fenomenologi adalah pengalaman/peristiwa yang masuk dalam kesadaran subjek. Fenomenologi memiliki peran dan posisi dalam banyak konteks, diantara sebagai sebuah studi filsafat, sikap hidup dan sebuah metode penelitian.46

Fenomenologi berkembang sebagai teori untuk mendekati fenomena-fenomena dalam kemurniannya. Fenomena disini dipahami sebagai segala sesuatu yang dengan suatu cara tertentu tampil dalam kesadaran kita. Baik berupa sesuatu sebagai hasil rekaan maupun berupa sesuatu yang nyata, yang berupa gagasan maupun kenyataan. Yang penting ialah pengembangan suatu metode yang tidak memalsukan fenomena, melainkan dapat mendeskripsikannya seperti penampilannya tanpa prasangka sama sekali.47

Fenomenologi menjadikan pengalaman sebenarnya sebagai data utama dalam memahami realitas.Apa yang diketahui seseorang adalah apa yang di alaminya.48

Fenomenologi di perkenal kan oleh Johann Heinrickh Lambert, tahun 1764. Meskipun demikian Edmund Husserl (1859-1938) lebih dipandang sebagai

45

Sugeng Pujileksono. Metode Penelitian Komunikasi: Kualitatif. Malang: Intrans Publishing. 2015 hal 64

46

Ibid. 65

47

Engkus Kuswarno. Fenomenologi: Metodologi Penelitian Komunikasi. Bandung: Widya Padjajaran. 2009

48

(18)

bapak fenomenologi, karena intensitas kajiannya dalam ranah filsafat. Fenomenologi yang kita kenal melalui Husserl adalah ilmu tentang fenomena.49

Fenomenologi yang dirintis Edmund Husserl bersemboyankan: zuruck zu

den sachen selbst (kembali ke hal-hal itu sendiri). Pemahaman yang berarti bahwa

fenomenologi, sebagaimana dikatakan Husserl merupakan metode umtuk menjelaskan fenomena dalam kemurniannya.

Menurut Husserl, fenomena adalah segala sesuatu yang dengan suatu cara tertentu tampil dalam kesadaran manusia. Baik berupa sesuatu sebagai hasil rekaan maupun berupa sesuatu yang nyata, yang berupa gagasan maupun berupa kenyataan.50 Dengan demikian, mengutip pendapat Creswell fenomenologi berupaya untuk menjelaskan makna pengalaman hidup sejumlah orang tentang suatu konsep atau gejala, termasuk di dalamnya konsep diri atau pandangan hidup mereka sendiri.51

Menurut Schutz, fenomenologi sebagai metode dirumuskan sebagai media untuk memeriksa dan menganalisis kehidupan batiniah individu yang berupa pengalaman mengenai fenomena atau penampakan sebagaimana adanya, yang lazim disebut arus kesadara.52 Tugas fenomenologi menurut Schutz adalah untuk menghubungkan antara pengetahuan ilmiah dengan pengalaman sehari-hari,

49

Farid Hamid. Pendekatan Fenomenologi Suatu ranah Penelitian Kualitatif. Jakarta: MediaKom Jurnal Ilmiah 2011 hal 3

50

Delfgaauw. Filsafat Abad 20. Terj. Soejono Soemargono. Yogyakarta: Tiara Wacana Yogya. 1988 hal 105

51

Creswell. Qualitative Inquiry: Choosing Among Five Traditions. USA: Sage Publications Inc. 1998 hal 51

52

(19)

sedangkan kegiatan dan pengalaman sehari-hari merupakan sumber dan akar dari pengetahuan ilmiah.53

Littlejohn menyebutkan: “phenomenology makes actual lived experience

the basic data of reality”. Jadi dalam fenomenologi, pengalaman hidup yang

sesungguhnya sebagai data dasar dari realita. Sehingga dalam kajian fenomenologi yang penting ialah pengembangan suatu metoda yang tidak memalsukan fenomena, melainkan dapat mendeskripsikannya seperti penampilannya.54 Untuk tujuan itu fenomenolog hendaknya memusatkan perhatiannya kepada fenomena tersebut tanpa disertai prasangka sama sekali. Seorang fenomenolog hendaknya menanggalkan segenap teori, pranggapan serta prasangka, agar dapat memahami fenomena sebagaimana adanya. Memahami fenomena sebagaimana adanya merupakan usaha kembali kepada barangnya sebagaimana penampilannya dalam kesadaran.55

Berbeda dengan pendekatan positivistik yang menganggap realitas itu tunggal, Alfred Schutz dengan fenomenologinya memperkenalkan konsep realitas berganda (multiple reality). Bagi Schutz, realita di dunia ini bukan hanya dalam realitas kehidupan social, tetapi juga termasuk realitas fantasi, realitas mimpi, dan sebagainya. Dalam hal ini Schutz memodifikasi dasar-dasar pengertian William James tentang “bagian alam semesta”. Kita mengalami berbagai jenis realita atau “bagian alam semesta”, dari dunia fisik yang paling penting, dunia ilmu, dunia

53

Farid Hamid. Pendekatan Fenomenologi Suatu ranah Penelitian Kualitatif .Jakarta: MediaKom Jurnal Ilmiah. 2011

54

Littlejohn Stephen W & Karen A.Foss. Teori Komunikasi (Theories of Human Communication). Belmon: Thomson Learning Academic Resource Center. 1996 hal 204

55

Delfgaauw, Bernard. Filsafat Abad 20. Terj. Soejono Soemargono. Yogyakarta: Tiara Wacana Yogya. 1988 hal 105

(20)

keyakinan suatu suku, dunia supernatural, dunia opini individu, sampai pada dunia kegilaan (madness), dan dunia khayalan. Tetapi James tidak membahas implikasi social dari tatanan-tatanan realitas social yang berbeda tersebut, dan inilah yang ingin dikembangkan lagi oleh Schutz.

Menurut Schutz dunia sehari-hari merupakan dunia intersubjektif yang dimiliki bersama orang lain dengan siapa kita berinteraksi. Dalam dunia ini kita selalu membagi-bagi dengan teman-teman kita, dan dengan yang lainnya, yang juga menjalani dan menafsirkannya. Oleh karenanya dunia kita secara keseluruhan tidak akan pernah bersifat pribadi sepenuhnya, bahkan di dalam kesadaran kita, kita akan selalu menemukan bukti adanya kesadaran orang lain. Ini merupakan suatu bukti bahwa situasi biografi kita yang unik ini tidak seluruhnya merupakan produk dari tindakan-tindakan kita sendiri. Sampai disini teori Schutz, sangat mirip dengan interaksionis simbolis dari George Herbert Mead. Tetapi menurut Schutz dunia intersubjektif terdiri dari realitas-realitas yang sangat berganda, dimana realitas sehari-hari yang merupakan common sense atau diambil begitu saja, tampil sebagai realitas yang utama. Schutz memberikan perhatian besar kepada realitas common-sense ini. Realitas seperti inilah yang kita terima, mengenyampingkan setiap keraguan, kecuali realitas itu dipermasalahkan.

Realitas common-sense dan eksistensi sehari-hari itu dapat disebut sebagai

(21)

ada dengan sendirinya, yakni dalam dunia keseharian. Ini merupakan elaborasi Labenswelt yang dikemukakan Husserl.56

Fenomenologi berasumsi bahwa orang-orang secara aktif menginterprestasikan pengalaman-pengalamannya dan mencoba memahami dunia dengan pengalaman pribadinya. Fenomena yang tampak adalah refleksi dari realitas yang tidak dapat berdiri sendiri, karena ia memiliki makna yang memerlukan penafsiran yang lebih lanjut.57

2.6.2 Jenis-Jenis Fenomenologi

1. Classical Phenomenology atau Trancendental Phenomenology

Fenomenologi transendental menekankan pada subjektifitas dan pengungkapkan inti dari pengalaman dengan sebuah metodologi yang sistematis dan disiplin untuk asal mula pengetahuan. Pendekatan Edmund Husserl ini disebut “Phenomenology” karena hanya menggunakan data yang hanya dialami malalui kesadaran terhadap suatu objek. Disebut “transcendental” , karena mengacu pada apa yang bisa diungkapkan melalui refleksi dan ke objektifan yang menghubungkan tindakan-tindajan tersebut.

2. Social Phenomenology

Fenomenologi sosial dikembangkan oleh Alfred Schutz dengan menggabungkan pemikiran fenomenologi transendental Edmund Husserl dengan

56

Farid Hamid. Pendekatan Fenomenologi Suatu ranah Penelitian Kualitatif. Jakarta: MediaKom Jurnal Ilmiah. 2011 hal 5

57

Littlejohn Stephen W& Karen A.Foss. Teori Komunikasi (Theories of Human Communication). Jakarta: Salemba Humanika. 2007

(22)

konsep “verstehen” Max Weber. Melalui fenomenologi sosialnya, Schutz mengembangkan model tindakan manusia (Human of Action) dengan tiga dalil umum yaitu:

a. The postulate of logical consistency (Dalil Konsistensi Logis)

Ini berarti konsistensi logis mengharuskan peneliti untuk tahu veliditas tujuan penelitiannya sehingga dapat dianalisis bagaimana hubungannya dengan kenyataan kehidupan sehari-hari apakah bisa dipertanggung jawabkan ataukah tidak.

b. The postulate of subjective interpretation (Dalil Interpretasi Subyektif)

Menuntut peneliti untuk memahami segala macam segala macam tindakan manusia atau pemikiran manusia dalam bentuk tindakan nyata. Maksudnya peneliti harus memposisikan diri secara subyektif dalam penelitian agar benar-benar memahami manusia yang telah diteliti dalam fenomenologi sosial. c. The postulate of adequacy (Dalil Kecukupan)

Dalil ini mengamanatkan peneliti untuk membentuk kontruksi ilmiah (hasil penelitian) agar teliti bisa memahami tindakan sosial individu. Kepatuhan terhadap dalil ini akan memastikan bahwa kontruksi sosial yang dibentuk konsisten dengan kontruksi yang ada dalam realitas sosial.

3. Hermeneutic Phenomenology

Merupakan sintetis dari beberapa metode hermeneutik dan metode fenomenologi, salah satunya dikembangkan oleh Paul Ricoeur. Sambil mengkritik idealisme Husserl, Ricoeur menunjukkan bahwa hermenutika tidak dapat

(23)

dilepaskan dari fenomenologi. Fenomenologi merupakan asumsi dasar yang tidak menjalankan programnya untuk memahami berbagai fenomena secara utuh dan menyeluruh tanpa penafsiran terhadap pengalaman-pengalaman subyek. Untuk keperluan penafsiran itu dibutuhkan hermeneutika. Secara umum, fenomenologi merupakan kajian tentang bagaimana manusia sebagai subyek memakai obyek-obyek disekitarnya. Menurut Ricoeur, sejauh tentang makna dan pemaknaan yang dilakukan manusia, hermeneutik terlibat disana. Jadi pada dasarnya fenomenologi dan hermeneutik saling melengkapi. Dengan dasar itu Ricoeur mengembangkan metode fenomenologi hermeneutik.58

2.7 Interaksi Simbolik

2.7.1 Pengertian Interaksi Simbolik

Bersama dengan perspektif fenomenologis, pendekatan ini berasumsi bahwa pengalaman manusia ditengahi oleh penafsiran. Objek, orang, situasi, dan peristiwa tidak memiliki pengertian sendiri, sebaliknya pengertian itu diberikan untuk mereka. Pengertian yang diberikan orang pada pengalaman dan proses penafsirannya adalah esensial serta menentukan dan bukan bersifat kebetulan atau bersifat kurang penting terhadap pengalaman itu.59

Untuk memahami perilaku, kita harus memahami definisi dan proses pendefinisiannya. Penafsiran bukanlah tindakan bebas dan bukan pula ditentukan

58

Sugeng Pujileksono. Metode Penelitian Komunikasi: Kualitatif. Malang: Intrans Publishing. 2015 hal 65-66

59

(24)

oleh kekuatan manusia atau bukan. Melalui interaksi seseorang membentuk pengertian.60

Bagian lainnya yang penting dari teori interaksi simbolik ialah konstrak tentang diri. Diri tidak dilihat sebagai yang berada dalam individu seperti aku atau

kebutuhan yang teratur, motivasi, dan normaserta nilai dari dalam. Diri adalah

definisi yang diciptakan orang (melalui interaksi dengan yang lainnya) di tempat ia berada. Dalam mengkonstrak atau mendefinisikan aku, manusia mencoba melihat dirinya sebagai orang lain, melihatnya dengan jalan menafsirkan tindakan dan isyarat yang diarahkan kepada mereka dan dengan jalan menempatkan dirinya dalam peranan orang lain. Dengan singkat, kita melihat diri kita sendiri sebagai bagian dari orang lain melihat kita. Jadi, diri itu juga merupakan konstrak sosial, yaitu hasil persepsi seseorang terhadap dirinya kemudian mengembangkan definisi melalui proses interaksi tersebut. 61

Menurut teoriinteraksi simbolik, kehidupan social pada dasarnya adalah interaksi manusia yang menggunakan simbol-simbol yang merepresentasikan apa yang mereka maksudkan untuk berkomunikasi dengan sesamanya. Dan juga pengaruh yang ditimbulkan dari penafsiran simbol-simbol tersebut terhadap perilaku pihak-pihak yang terlibat dalam interaksi sosial.62

Menurut Littlejohn, interaksi simbolik mengandung inti dasar premis tentang komunikasi dan masyarakat (core of common premises about

60 Ibid. 61 Ibid. 13 62

Artur Asa Berger. Tanda-Tanda dalam Kebudayaan Kontemporer. trans. M. Dwi Mariyanto and Sunarto. Yogyakarta: Tiara Wacana. 2004 hal 14

(25)

communication and society)63. Interaksi simbolik mempelajari sifat interaksi yang

merupakan kegiatan dinamis manusia, sebagai bandingan pendekatan structural yang memfokuskan diri pada individu dan cirri-ciri kepribadiannya, atau bagaimana struktu sosial membentuk perilaku tertentu individu.

Perspektif interaksi simbolik memandang bahwa individu bersifat aktif, reflektif, dan kreatif, menafsirkan, menampilkan perilaku yang rumit dan sulit diramalkan. Paham ini menolak gagasan bahwa individu organisme pasif yang perilakunya ditentukan oleh kekuatan-kekuatan atau stuktur yang ada di luar dirinya. Oleh karena itu individu terus berubah, maka masyarakat pun berubah melalui interaksi. Jadi, interaksilahyang dianggap variable penting yang menentukan perilaku manusia, bukan struktur masyarakat. Struktur itu sendiri tercipta dan berubah karena interaksi manusia, yakni ketika individu-individu berpikir dan bertindak secara stabil terhadap seperangkat objek yang sama.64

2.7.2 Dasar-Dasar Interaksi Simbolik

Barbara Ballis Lal dalam Littlejohn dan Foss meringkas dasar-dasar interaksi simbolik, yaitu65:

1. Manusia membuat keputusan dan bertindak sesuai dengan pemahaman subjektif terhadap situasi ketika mereka menemukan diri mereka.

63

Little John, Stephen W dan Foss, Karen A. Teori Komunikasi. Jakarta: Salemba Humanika. 2011 hal 121

64

Dedy Mulyana. Ilmu Komunikasi suatu Pengantar. Bandung: PT Remaja Rosdakarya. 2000 hal 61

65

Stephen W. Littlejohn & Karen A. Foss. Teori Komunikasi (Theories of Human Communication). Jakarta: Salemba Humanika. 2011 hal 231

(26)

2. Kehidupan sosial terdiri dari proses-proses interaksi daripada susunan, sehingga terus berubah.

3. Manusia memahami pengalaman mereka melalui makna-makna yang ditemukan dalam simbol-simbol dari kelompok utama mereka dan bahasa merupakan bagian penting dalam kehidupan sosial.

4. Dunia terbentuk dari objek-objek sosial yang memiliki nama dan makna yang ditentukan secara sosial.

5. Tindakan manusia didasarkan pada penafsiran mereka, dimana objek dan tindakan yang berhubungan dalam situasi yang dipertimbangkan dan diartikan.

6. Diri seseorang merupakan sebuah objek yang signifikan dan layaknya semua objek sosial, dikenalkan melalui interaksi sosial dengan orang lain.

Referensi

Dokumen terkait

Berdasarkan penelitian yang dilakukan sebelumnya, unsur-unsur pengendalian intern merupakan variabel yang akan digunakan dalam penelitian ini yang mengkombinasikan

Segenap anggota jemaat Klasis Pulau Jawa menyatakan turut berdukacita dan berdoa kiranya Tuhan Yang Maha Pengasih memberikan penghiburan sejati dan kekuatan

Adapun yang membedakan penelitian ini dengan penelitian terdahulu adalah; dalam penelitian ini membahas tentang sejarah kesenian kentrung di Tulungagung, alur

Rumah Sakit Umum Daerah sebagai Unit Pelaksana Teknis Daerah Dinas Kesehatan Kabupaten Bantul perlu dioptimalkan fungsinya dengan menetapkan RSUD sebagai Unit

Sementara berdasarkan hasil penelitian di atas terlihat bahwa hipotesis 2 yang menyatakan bahwa terdapat perbedaan persepsi antara mahasiswa akuntansi kelas pagi

Terkait dengan percepatan pelaksanaan UPSUS swasembada padi, jagung dan kedelai, berdasarkan hasil kunjungan kerja Saya selama enam bulan terakhir ke 26 provinsi dan lebih dari

Macam – macam fungsi peran perawat di unit gawat darurat menurut Aryatmo ( 1993 ) yaitu : a) Mengkaji kebutuhan perawatan penderita, keluarga dan masyarakat,