• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB III KETENTUAN HUKUM YANG BERKAITAN DENGAN SENJATA API. A. Bentuk-bentuk Tindak Pidana dengan Menggunakan Senjata Api

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "BAB III KETENTUAN HUKUM YANG BERKAITAN DENGAN SENJATA API. A. Bentuk-bentuk Tindak Pidana dengan Menggunakan Senjata Api"

Copied!
35
0
0

Teks penuh

(1)

BAB III

KETENTUAN HUKUM YANG BERKAITAN DENGAN SENJATA API

A. Bentuk-bentuk Tindak Pidana dengan Menggunakan Senjata Api Seperti yang sudah diterangkan sebelumnya, mengenai apa yang dimaksud dengan kejahatan adalah suatu perbuatan manusia yang melanggar atau bertentangan dengan apa yang telah ditentukan dalam kaidah hukum atau lebih tegasnya lagi bahwa perbuatan-perbuatan yang telah melanggar aturan-aturan yang sudah ditetapkan dalam kaidah hukum. Setelah diberikan suatu penjelasan mengenai apa yang dimaksud dengan kejahatan, maka disini akan dijelaskan pula mengenai apa itu kekerasan. Didalam kehidupan masyarakat, kejahatan terhadap harta benda banyak sekali terjadi. Bahkan masalah-masalah yang terbesar adalah mengenai jenis-jenis kejahatan terhadap kepentingan seseorang, misalnya saja: Pencurian (Bab XXII KUHP), Pemerasan dan Pengancaman (Bab XXIII KUHP), Penggelapan (Bab XXIV KUHP), Penipuaan (Bab XXV KUHP), Perbuatan Merugikan Penagih Utang atau Orang yang Berhak (Bab XXVI KUHP), Menghancurkan atau Merusakan Barang (Bab XXVII KUHP).

Didalam Buku II Kitab Undang-undang Hukum Pidana bagian khusus mengenai kekerasan dapat diartikan sebagai suatu perbuatan yang mempergunakan tenaga badan dengan kekuasaan fisik si pelaku kejahatan, penggunaan kekerasan itu dapat diwujudkan dengan memukul, menyekap, mengikat, menahan, dengan senjata api dan sebagainya.

Menurut Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1948 tentang Pendaftaran dan Pemberian Idzin Pemakaian Senjata Api, pada Bagian I mengenai aturan umum dalam Pasal (1) dijelaskan:

(2)

“Bahwa senjata api yang dimaksud dalam undang-undang ini adalah senjata api dan bagian-bagiannya, alat penyembur api dan bagian-bagiannya, mesiu dan bagian-bagiannya seperti patoonhulsen, slaghoeajes, dan lain-lainnya, bahan peledak, termasuk juga benda-benda yang mengandung bahan peledak

seperti granat tangan, bom dan lain-lainnya” 60

Jadi dapatlah diartikan bahwa senjata api adalah suatu alat dan bagian-bagiannya yang dapat mengeluarkan atau menyemburkan api.

Badan atau lembaga yang berwenang dalam hal pemberian izin untuk memiliki senjata api ini adalah Kepolisian Negara Republik Indonesia, seperti diatur dalam Pasal 15 ayat (2) Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian Negara Republik Indionesia yang menyatakan: “Kepolisian Negara Republik Indonesia memberikan izin dan melakukan pengawasan senjata api, bahan peledak dan senjata tajam”.

Begitu juga mengenai sanksi yang diberikan kepada seseorang yang melanggar ketentuan tentang senjata api, dimana senjata api yang dimiliki tersebut tidak memiliki surat izin dan digunakan untuk melakukan suatu tindak kejahatan, maka akan diberikan sanksi berdasarkan Pasal (1) Butir Pertama Undang-Undang Darurat Hukuman Istimewa Sementara, yang menyatakan sebagai berikut:

”Barang siapa, tanpa hak memasukkan ke Indonesia, membuat, menerima, mencoba, memperoleh, menyerahkan atau mencoba menyerahkan, mempergunakan atau mengeluarkan dari Indonesia suatu senjata api, amunisi, atau suatu bahan peledak dihukum dengan hukuman mati atau hukuman

penjara setinggi-tingginya dua puluh Tahun” 61

Kepemilikan senjata api senjata api tanpa hak atau illegal dengan alasan apapun termasuk alasan membela diri serta menjaga keamanan diri adalah perbuatan yang

       60

(3)

dikategorikan sebagai kejahatan, karena kepemilikan senjata api harus mendapatkan izin dari Kepolisian. Hal tersebut ditempuh agar kepemilikan senjata api dapat dikontrol untuk memudahkan aparat Kepolisian memantau kepemilikan senjata api mengingat bertambahnya kejahatan dengan menggunakan senjata dari tahun ke tahun.

Seseorang yang melakukan aktivitas kejahatan terutama terhadap korban, si pelaku seringkali menganiaya korban. Tindakan-tindakan yang dilakukan oleh pelaku kejahatan dapat menyebabkan luka-luka, maka perbuatan demikian dapat dikatakan sebagai suatu perbuatan yang dinamakan kekerasan.

Kekerasan yang dimaksud dalam Kitab Undang-undang Hukum Pidana adalah penggunaan kekuatan fisik oleh pelaku, yaitu dengan memukul, mengikat, menyekap, menahan, bahkan menembak korban. Perwujudan dari kekerasan dengan senjata api dapat berupa tindakan-tindakan yang dilakukan oleh pelaku yang dapat menyebabkan korban luka-luka. Penganiayaan dengan senjata api dapat diwujudkan dengan memukul menggunakan gagang atau popor senjata api dan menembak untuk melumpuhkan korban, sedangkan dalam penculikan dengan senjata api dapat diwujudkan dengan menahan, menyekap atau mengikat korban dibawah ancaman senjata api. Pengancaman atau perampokan dengan senjata api dapat diwujudkan dengan menodongkan senjata api atau menembakkan senjata api ke udara. Berbeda dengan yang lainnya, dalam pembunuhan dengan menggunakan senjata api dapat diwujudkan dengan menembakkan senjata api pada korban yang mengakibatkan hilangnya nyawa korban.

Selain penggunaan kekerasan yang berlebihan dan pelanggaran HAM terdapat beberapa tindak pidana lainnya yang ditimbulkan oleh senjata api yaitu:

(4)

1. Penganiayaan

Undang-Undang tidak memberikan ketentuan mengenai apakah yang dimaksud dengan penganiayaan. Menurut yurisprudensi yang dimaksud dengan penganiayaan adalah sengaja menyebabkan perasaan tidak enak (penderitaan), rasa sakit (pijn), atau luka. Didalam KUHP, penganiayaan diatur dalam Pasal 351, 352, 353, 354, dan 355.

Berdasarkan Pasal 351 terdapat 3 (tiga) jenis penganiayaan yaitu:

a. Penganiayaan yang tidak mengakibatkan luka berat atau matinya orang b. Penganiayaan yang mengakibatkan luka berat.

c. Penganiayaan yang mengakibatkan matinya orang. 2. Pencurian

Diatur dalam Pasal 362 KUHP yang menyatakan diantaranya bahwa: “Barang siapa mengambil sesuatu barang, yang sama sekali atau sebagian termasuk kepunyaan orang lain, dengan maksud akan memiliki barang itu dengan melawan hak, dihukum karena pencurian ...”.

3. Pemerasan

Diatur dalam Pasal 368 ayat (1) KUHP, yang dinamakan dengan pemerasan dengan kekerasan. Pasal 368 ayat (1) menyatakan bahwa:

“Barang siapa dengan maksud hendak menguntungkan diri sendiri atau orang lain dengan melawan hak, memaksa orang dengan kekerasan atau ancaman kekerasan, supaya orang itu memberikan barang, yang sama sekali atau sebagiannya termasuk kepunyaan orang itu sendiri, kepunyaan orang lain atau supaya orang lain itu membuat utang atau menghapuskan piutang ... “. 4. Pembunuhan

Diatur dalam Pasal 338 KUHP yang bunyinya sebagai berikut:

(5)

Berdasarkan bunyi Pasal 338 KUHP, maka unsur-unsur pembunuhan

adalah:62

a. Barang siapa

Hal ini Berarti ada orang tertentu yang melakukannya. b. Dengan sengaja

Dalam ilmu hukum pidana, dikenal 3 (tiga) jenis bentuk sengaja (dolus) yakni:

1. Sengaja sebagai maksud,

2. Sengaja dengan keinsyafan pasti,

3. Sengaja dengan keinsyafan kemungkinan/dolus eventualis, c. Menghilangkan nyawa orang lain.

5. Kelalaian yang menyebabkan kematian

Diatur dalam Pasal 359 KUHP, yang menyatakan bahwa:

“Barang siapa karena kesalahannya menyebabkan orang mati, dihukum dengan hukuman penjara selama-lamanya lima tahun”.

Rumusan karena salahnya adalah unsur kelalaian atau culpa yang menurut

ilmu hukum pidana terdiri dari:63

a. Culpa dengan kesadaran, b. Culpa tanpa kesadaran.

B. Jenis-jenis Senjata Api yang Digunakan

69

       62

Leden Marpaung, Tindak Pidana terhadap Nyawa dan Tubuh, (Jakarta:Sinar Grafika, 2002), Hal. 22.

63

(6)

Menurut pendapat Kepala Laboratorium Forensik Kepolisian Sumatera Utara, Drs. CH. Syafrian S. menyatakan bahwa senjata api itu terdiri atas 2 (dua),

yaitu senjata api legal dan senjata api illegal.64

Senjata api legal merupakan senjata api yang dimiliki atau digunakan oleh pemegang atau pemilik senjata tersebut harus memiliki surat izin penggunaan atau kepemilikan terlebih dahulu. Senjata api legal ini juga terdiri dari 2 (dua) bagian, yaitu senjata api organik dan senjata api non-organik. Senjata api organik itu merupakan senjata api yang diberikan izin kepemilikan kepada aparat penegak hukum, seperti TNI, Polisi, Militer, Petugas Lapas, serta petugas-petugas keamanan lainnya, sedangkan senjata api non-organik merupakan senjata api yang diberikan izin kepemilikan kepada masyarakat umum dalam rangka untuk membela diri, seperti para pejabat pemerintahan, pengusaha, anggota dewan, serta anggota Perbakin yang digunakan untuk olahraga menembak. Perbedaan antara senjata api organik dan senjata api non-organik adalah terdapat pada klasifikasi kalibernya serta jenis senjata apinya. Untuk klasifikasi kaliber serta jenis senjata api pada senjata api organik, aparat penegak hukum akan diberikan senjata api genggam, yaitu hanya kaliber 22 dan kaliber 33 yang bisa dikeluarkan izinnya. Sedangkan untuk senjata bahu (laras panjang) hanya dengan kaliber 12 GA dan kaliber 22. Jenis senjata yang diberikan adalah non standar ABRI (TNI dan Polri), dengan jumlah maksimum dua pucuk per orang. Selain itu ada juga senjata api berpeluru karet atau gas. Jenis senjata api itu antara lain adalah Revolver, kaliber 22/25/32, dan Senjata bahu Shortgun kaliber 12mm. Sedangkan untuk klasifikasi kaliber dan jenis senjata api pada senjata api non-organik, seseorang hanya boleh

(7)

memiliki senjata api genggam jenis revolver dengan kaliber 32/25/22, atau senjata api bahu jenis Shotgun kaliber 12 mm dan untuk senjata api klasifikasi adalah jenis yakni Hunter 006 dan Hunter 007. Senjata genggam semi otomatis seharga

Rp. 60-70 juta ini memiliki self loading gas berkaliber 9 mm.65

Sedangkan Senjata api illegal merupakan senjata api yang dimiliki atau digunakan oleh pemegang atau pemilik senjata tanpa adanya surat izin kepemilikan, dimana senjata api tersebut bisa bersumber dari dalam negeri maupun luar negeri. Senjata api dari dalam negeri biasanya disebut dengan senjata api rakitan (home made), karena senjata api tersebut dibuat oleh orang-orang tertentu yang bisa membuat atau mengetahui mengenai teknik-teknik sistem mekanik pembuatan senjata api. Senjata api dari luar negeri merupakan senjata api

selundupan dari luar negeri yang masuk ke Indonesia.66

Di Indonesia senjata api yang sering digunakan oleh para penjahat dalam melakukan kejahatan adalah senjata api genggam (shortgun). Contoh-contoh jenis senjata api yang sering digunakan oleh para pelaku kejahatan dengan senjata api

adalah:67

Jenis Revolver68

       65

http://rixco.multiply.com/journal/item/9/CARA_MEMPEROLEH_IZIN_SENJATA_API _. Gambar ini adalah jepretan laman seperti yang ditampilkan pada tanggal 31 Jan 2010.

66

Hasil wawancara di Kepolisian Sumatera Utara bagian Laboratorium Forensik pada tanggal 12 Februari 2010. 67 www.pindad.com. 68 http://www.pindad.com/prodgul800.php?bahasa=2&varkdnews=JTREVO 71

(8)

R1-V1 Long Barrel Revolver

R1-V2 Short Barrel Revolver 

Spesifikasi R 1-V 1 N S N Hitam Kaliber 1005-45-000-1721 Panjang Keseluruhan 38 Spc Kapasitas 235 mm Berat 6 Rounds Sight 0.970 kg

Akhir Penembakan Tertentu

R 1-V 2 N S N Hitan Kaliber 1005-45-000-1722 Panjang Keseluruhan 38 Spc Panjang Laras 181 mm Kapasitas 2" Berat 6 Rounds Fixed 0.88 kg

(9)

Pistol/Senjata Genggam69 Pistol P1 Spesifikasi Catridge 7.65 x 17 mm, .32 ACP Panjang Laras 102 mm Panjang Keseluruhan 177 mm Pistol P2 Pistol P3 Spesifikasi P 2        69 http://www.pindad.com/prodgul800.php?bahasa=2&varkdnews=JTP301 73

(10)

NSN - Kaliber 9 x 19 mm Parabellum Panjang Laras 100 mm Panjang Keseluruhan 177 mm Kapasitas 15 Rounds Berat 0.8 kg

Sight 3 Dot Fixed

Tipe penembakan Tunggal, Aman

Locking Intercept Notch & Hammer Block

Finishing Hitam/Abu-abu P 3 NSN 1005-45-000-1723 Kaliber 7.65 x 17 mm (1.32 ACP) Panjang Laras 100 mm Panjang Keseluruhan 177 mm Kapasitas 12 Rounds Berat 0.794 kg

Sight 3 Dot fixed

Tipe Penembakan Tunggal, Aman

Locking Intercept Notch & Hammer Block

C. Ketentuan Hukum yang Berkaitan dengan Senjata Api

Di Indonesia ketentuan hukum mengenai senjata api dan bahan peledak diatur dalam Undang-Undang Nomor 8 tahun 1948 tentang Pendaftaran dan Pemberian Idzin Pemakaian Senjata Api, pada bagian I mengenai aturan umum dalam Pasal (1) dijelaskan:

“Bahwa senjata api yang dimaksud dalam undang-undang ini adalah senjata api dengan bagian-bagiannya, alat penyembur api dan bagian-bagiannya, mesiu dan bagian-bagiannya seperti patroonhulsen, slaghoeajes dan lain-lainnya, bahan peledak, termasuk juga benda-benda yang mengandung bahan peledak seperti granat tangan, bom, dan lain-lainnya”

Undang-Undang Darurat Hukuman Istimewa Sementara, dalam Pasal 1 ayat (1) yang menyatakan:

(11)

“Barangsiapa, yang tanpa hak memasukkan ke Indonesia, membuat, menerima, mencoba memperoleh, menyerahkan atau mencoba menyerahkan, menguasai, membawa, mempunyai persediaan padanya atau mempunyai dalam miliknya, menyimpan, mengangkut, menyembunyikan, mempergunakan atau mengeluarkan dari Indonesia sesuatu senjata api, munisi atau sesuatu bahan peledak, dihukum dengan hukuman mati atau hukuman penjara seumur hidup atau hukuman penjara sementara

setinggi-tingginya dua puluh tahun”70

Bagi mereka yang mampu, memang tidak terlalu sulit memperoleh izin kepemilikan senjata api. Namun, sebelum memperoleh izin, mereka harus mengikuti aturan yang telah ditetapkan Kepolisian Republik Indonesia. Untuk kepentingan bela diri misalnya.

Berdasarkan Surat Keputusan Kepala Kepolisian Republik Indonesia, seorang pemohon izin harus memiliki keterampilan menembak minimal III artinya seseorang harus mampu menembak tepat sasaran. Diatasnya lebih mahir lagi adalah tingkat II dan tingkat I. Kemampuan ini harus yang dibuktikan dengan sertifikat yang dikeluarkan oleh Institusi Pelatihan Menembak yang sudah mendapat izin Kepolisian Republik Indonesia. Sertifikat itu pun harus disahkan oleh pejabat Kepolisian Republik Indonesia yang ditunjuk. Tentu saja ia pun harus berkelakuan baik dan belum pernah terlibat dalam suatu kasus tindak pidana yang dibuktikan dengan SKKB. Untuk soal usia, sang pemohon harus sudah dewasa namun tidak melebihi usia 65 tahun.

Dalam Pasal 9 Undang-Undang Nomor 8 tahun 1948 mengenai Pendaftaran dan Pemberian Izin Kepemilikan Senjata Api ini menyatakan:

75

       70

Undang-Undang Darurat Nomor 12 Tahun 1951 Tentang Hukuman Istimewa

(12)

“Bahwa setiap orang yang bukan anggota tentara atau polisi yang memakai dan memiliki senjata api harus harus mempunyai izin pemakaian senjata api menurut contoh yang ditetapkan oleh kepala kepolisian Negara”

Dengan dasar itu, setiap Izin yang keluar untuk Kepemilikan atau pemakaian Senjata Api (IKSA) harus ditanda tangani langsung oleh Kepala Kepolisian Republik Indonesia dan tidak bisa didelegasikan kepada pejabat lain seperti Kepala Kepolisian Daerah. Dalam hal kepengawasan terhadap senjata api tersebut, Kepolisian Republik Indonesia harus mendasarkan sikapnya pada Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian Republik Indonesia dan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 1960 tentang Kewenangan Perizinan menurut undang-undang senjata api. Menurut undang-undang ini ada persyaratan-persyaratan utama yang harus dilalui oleh pejabat baik secara perseorangan maupun swasta untuk bisa memiliki dan menggunakan senjata api. Pemberian izin itu pun hanya dikeluarkan untuk kepentingan yang dianggap layak. Misalnya untuk olahraga, izin hanya diberikan kepada anggota Perbakin yang sudah memenuhi syarat-syarat kesehatan jasmani dan rohani dan memilki kemahiran penembak serta mengetahui secara baik peraturan dan perundang-undangan mengenai penggunaan senjata api.

Untuk pejabat swasta atau bank, mereka yang diperbolehkan memiliki senjata api masing-masing Presiden Direktur, Presiden Komisaris, Komisaris, Diretur Utama, dan Direktur Keuangan. Untuk pejabat pemerintah, masing-masing Menteri, Ketua MPR/DPR, Sekjen, Irjen, Dirjen, dan Sekretaris Kabinet, demikian juga Gubernur, Wakil Gubernur, Sekwilda, Irwilprop, Ketua DPRD-I dan Anggota DPR/MPR.

(13)

Adapun untuk jajaran TNI/Polri mereka yang diperbolehkan memiliki hanyalah perwira tinggi dan perwira menengah dengan pangkat serendah-rendahnya Kolonel namun memiliki tugas khusus. Demikian pula untuk purnawirawan. Yang diperbolehkan hanyalah perwira tinggi dan perwira menengah dengan pangkat terakhir Kolonel yang memiliki jabatan penting di Pemerintahan/Swasta.

Sama halnya dengan senjata api untuk bela diri, senjata api yang digunakan untuk olah raga pun diatur sangat ketat. Jika senjata hilang, Perbakin akan memecat keanggotaannya. Tidak berhenti disitu, hilangnya senjata api tersebut juga diproses secara hukum. Selain itu setiap dua tahun sekali wajib melakukan test perpanjangan, yaitu test psikologi. Tiap anggota Perbakin, bisa memiliki senjata api, namun jumlah yang bisa dimiliki masing-masing anggota dibatasi. Misalnya untuk berburu, setiap orang diperkenankan memiliki 8 sampai 10 pucuk. Untuk berburu ini senjata yang digunakan adalah senjata laras panjang yang biasa disebut senjata bahu. Sedangkan untuk cabang tembak sasaran, anggota atau atlit tembak diperkenankan memiliki atau menyimpan senjata api sesuai nomor yang menjadi spesialisasinya. Meskipun hampir semua anggota Perbakin memiliki senjata api, namun tidak semua anggota membawa pulang senjatanya. Ada tempat khusus untuk menyimpan senjata dan amunisinya di Perbakin. Biasanya anggota yang mengerti resiko menyimpan senjata api di rumah akan menitipkannya pada Perbakin. Sementara itu, untuk bisa membawa

(14)

pulang, anggota Perbakin juga harus mengajukan surat izin menyimpan senjata

api. Surat izin ini diajukan pada pihak Polda71.

Tindak pidana dengan menggunakan senjata api juga diberlakukan ketentuan dalam Kitab Undang-undang Hukum Pidana, ketentuan umum yang mengatur tentang gabungan tindak pidana (samenloop) sebagaimana diatur dalam Pasal 63 ayat (1) Kitab Undang-undang Hukum Pidana yang menyatakan:

“Jika suatu perbuatan masuk dalam lebih dari satu aturan pidana, maka yang dikenakan hanya salah satu aturan pidana, maka yang dikenakan hanya salah satu diantara aturan-aturan itu, jika berbeda-beda, yang dikenakan yang memuat ancaman pidana pokok yang paling berat”

Sedangkan dalam ketentuan ayat (2) dinyatakan:

“Jika suatu perbuatan masuk dalam suatu aturan pidana yang umum, diatur pula dalam aturan pidana yang khusus, maka hanya yang khusus itulah yang diterapkan”

D. Sanksi Pidana terhadap Kejahatan dengan Menggunakan Senjata Api Didalam Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak asasi Manusia tidak ada diatur tentang ketentuan/sanksi pidana terhadap tindakan pelanggaran Hak Asasi Manusia. Begitu juga resolusi 34/168 tentang Prinsip Dasar Penggunaan Kekerasan dan Senjata Api tidak ada diatur tentang ketentuan/sanksi pidana dari penggunaan senjata api yang tidak sesuai dengan prosedur. Didalam resolusi ini hanya diatur bahwa pengguna senjata api yang tidak sesuai dengan prosedur merupakan pelanggaran pidana dan harus diproses di Peradilan Umum.

Setiap tindakan yang dilakukan oleh aparat kepolisian maupun yang dilakukan oleh masyarakat umum, dimana perbuatan-perbuatan yang dilakukan

(15)

tersebut melanggar ketentuan peraturan perundang-undangan yang ada, maka perbuatan-perbuatan tersebut dapat ditindak dan diberikan sanksi berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan.

Berdasarkan ketentuan Pasal 1 butir (1) Undang-Undang Darurat Nomor 12 Tahun 1951 tentang Hukuman Istimewa Sementara, warga sipil atau masyarakat umum yang menyalahgunakan senjata api dapat dikenakan sanksi sebagaimana tertulis dalam undang-undang ini:

“Barang siapa, yang tanpa hak memasukkan ke Indonesia membuat, menerima, mencoba memperoleh, menyerahkan atau mencoba menyerahkan, menguasai, membawa, mempunyai persediaan padanya atau mempunyai dalam miliknya, menyimpan, mengangkut, menyembunyikan, mempergunakan, atau mengeluarkan dari Indonesia sesuatu senjata api, amunisi atau sesuatu bahan peledak, dihukum dengan hukuman mati atau hukuman penjara seumur hidup atau hukuman penjara sementara setinggi-tingginya dua puluh tahun”.

Apabila warga sipil yang telah memiliki izin kepemilikan senjata api ini tetapi lalai mengenai kewajiban-kewajiban yang harus dipenuhinya untuk memiliki senjata api tersebut, maka ia akan dikenakan sanksi sebagaimana yang diatur dalam Undang-Undang Nomor 8 tahun 1948 tentang Pendaftaran, Izin dan Pemberian Idzin Pemakaian Senjata Api, dalam Pasal 14 ayat (1) dan ayat (2) yaitu:

“Barang siapa dengan sengaja :

a. Tidak memenuhi kewajiban yang ditentukan dalam Pasal 2 tentang senjata api yang dimiliki harus didaftarkan dalam waktu selambat-lambatnya 30 hari, atau

b. Sehabis waktu 16 hari terhitung mulai dari hari penutupan pendaftaran memiliki senjata api tidak dengan izin;

(16)

c. Melarang larangan tersebut dalam pasal 3 atau pasal 4 mengenai pemindahan senjata api ke tangan oranglain tanpa adanya izin dari kepolisian, maka akan dihukum penjara selama 4 (empat) tahun atau denda sebanyak-banyaknya lima belas ribu rupiah dan senjata api dirampas.”

Dalam pasal 12 mengenai Pendaftaran, Izin dan Pemberian Izin Pemakaian Senjata Api, Barang siapa tidak memenuhi kewajiban yang ditentukan maka akan dihukum kurungan selama 3 (tiga) bulan atau denda sebanyak sembilan ratus rupiah dan senjata api dirampas. Perbuatan yang termuat dalam ayat (1) dianggap sebagai Kejahatan, dan perbuatan yang termuat dalam ayat (2) dianggap sebagai pelanggaran. Sebagaimana disebutkan sebelumnya bahwa di Indonesia penggunaan senjata api merupakan pelanggaran Hak Asasi Manusia diproses sesuai dengan Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP). Oleh karena itu, sebelum sanksi pidana ditentukan/dijatuhkan, harus terlebih dahulu dilihat, apakah kejahatan yang ditimbulkan oleh penggunaan senjata api tersebut sehingga dapat diketahui sanksi pidananya. Sebagaimana disebutkan sebelumnya bahwa kejahatan dengan menggunakan senjata api antara lain adalah:

1. Penganiayaan

Ancaman pidananya adalah pidana penjara selama-lamanya 2 (dua) tahun 8 (delapan) bulan dan pidana denda sebanyak-banyaknya Rp 4.500 (empat ribu lima ratus rupiah), sebagaimana diatur dalam Pasal 351 ayat (1) KUHP. Akan tetapi apabila penganiayaan tersebut menjadikan/menyebabkan luka berat maka ancaman pidananya adalah pidana penjara selama-lamanya 5 (lima) tahun,

(17)

tersebut mengakibatkan matinya orang, ancaman pidananya adalah pidana penjara selama-lamanya 7 (tujuh) tahun, sebagaimana diatur dalam Pasal 351 ayat (3) KUHP.

2. Pemerasan

Ancaman pidananya adalah pidana penjara selama-lamanya 9 (sembilan) tahun, sebagaimana diatur dalam Pasal 368 ayat (1) KUHP.

3. Pencurian

Ancaman pidananya adalah pidana penjara selama-lamanya 5 (lima) tahun dan pidana denda sebanyak-banyaknya Rp. 900 (sembilan ratus rupiah), sebagaimana diatur dalam Pasal 362 KUHP.

4. Pembunuhan

Ancaman pidananya adalah pidana penjara selama-lamanya 15 (lima belas) tahun, sebagaimana diatur dalam Pasal 338 KUHP.

(18)

BAB IV

KEJAHATAN DENGAN MENGGUNAKAN SENJATA API DI WILAYAH HUKUM KEPOLISIAN SUMATERA UTARA DAN SEKITARNYA

SERTA UPAYA PENANGGULANGANNYA

A. Kendala-kendala yang dihadapi oleh Kepolisian Sumatera Utara dalam menanggulangi Kejahatan dengan Senjata Api

Masalah kriminalitas adalah suatu masalah manusia yang merupakan suatu kenyataan sosial, yang sebab-musabab hakikatnya kerap kali kurang dipahami, karena tidak melihat masalah menurut proporsi yang sebenarnya secara dimensional. Perkembangan peningkatan dan penurunan kualitas maupun kuantitas kriminalitas, baik yang ada di daerah perkotaan maupun pedesaan adalah relative dan interaktif sebab-musababnya. Perkembangan didalam dan diluar manusia tertentu mempengaruhi kecenderungan dan kemampuannya untuk melakukan perilaku yang kriminal. Selanjutnya manusia tersebut mempengaruhi lebih lanjut manusia disekelilingnya serta lingkungannya dalam usaha memenuhi keperluan fisik, mental, dan sosial, baik secara positif maupun negatif. Yang utama adalah mencegah tidak adanya kemungkinan dan kesempatan untuk memenuhi keperluan hidup seseorang secara legal dan wajar. Jalannya antara lain mengusahakan bersama, dengan penuh rasa tanggung jawab terhadap sesama kita

manusia.72

Masalah keterkaitan tugas dan tanggung jawab ini terkait antara polisi dan masyarakat. Kepolisian Republik Indonesia sering sekali mengatakan bahwa “Kepolisian tidak akan berhasil dalam menanggulangi kejahatan tanpa bantuan dan partisipasi masyarakat”, ucapan-ucapan tersebut sepertinya merupakan hanya

(19)

sebuah slogan dalam kehidupan masyarakat yang tidak pernah diikuti ataupun diwujudkan secara konsisten, baik oleh pihak kepolisian sendiri maupun oleh

masyarakat.73 Banyaknya masyarakat yang enggan dan takut untuk melaporkan

atau memberitahukan informasi tentang adanya tindak pidana yang akan atau sedang ataupun telah terjadi suatu tindak pidana dalam suatu daerah dan lebih menghindar sebisa mungkin untuk berurusan dengan pihak yang berwajib atau polisi terhadap tindak pidana yang dilakukan oleh masyarakat umum maupun aparat kepolisian tersebut.

Selain daripada itu, Menurut Kepala Bagian Analisis Reserse Kriminal Kepolisian Sumatera Utara Bapak Kompol. Kasmin Ginting mengatakan bahwa kepolisian juga memiliki kendala dalam menanggulangi kejahatan dengan menggunakan senjata api. Banyaknya gejala-gejala yang muncul dari pola interaksi yang mempengaruhi kepolisian dalam menanggulangi

kejahatan-kejahatan tersebut yaitu :74

1. Kebutuhan anggaran dana kepolisian yang belum sesuai dengan standard kebutuhan patroli. Kurangnya anggaran dana yang dibutuhkan kepolisian dalam melakukan fungsi patroli untuk menanggulangi tindak pidana yang terjadi pada masyarakat membuat terhambatnya penanggulangan tersebut.

2. Terbatasnya jumlah personil kepolisian dalam melaksanakan fungsi patroli kepolisian, hal ini juga merupakan hambatan yang dialami oleh kepolisian dalam menanggulangi kejahatan-kejahatan dengan

83

       73

H. Romli Atmasasmita, Teori dan Kapita Selekta Kriminologi, (Bandung: PT Refika Aditama, 2007), Hal. 118.

74

Hasil wawancara di Kepolisian Sumatera Utara bagian Reserse Kriminal pada tanggal 24 Maret 2010.

(20)

menggunakan ancaman kekerasan maupun senjata api. Secara bergantiannya kepolisian melakukan patroli di pos-pos tertentu didaerah yang rawan akan kejahatan membuat terhambatnya kepolisian dalam mengusut secara tuntas kasus-kasus tindak pidana yang terjadi, bahkan tidak jarang kasus tersebut tidak terselesaikan secara tuntas.

3. Kurangnya perhatian masyarakat terhadap lingkungan sekitarnya. Salah satu perwujudan masyarakat terhadap lingkungan sekitarnya adalah dengan adanya pelaksanaan siskamling (sistem keamanan lingkungan) secara bergantian. Pelaksanaan siskamling ini telah sangat banyak memberikan bantuan positif bagi keberhasilan kepolisian, namun pelaksanaan siskamling ini pun masih terbatas dan hanya terlaksana didaerah-daerah tertentu saja. Biasanya di lingkungan perumahan bahkan di lingkungan perumahan mewah/real estate hampir tidak pernah ada keikutsertaan masyarakat secara langsung, kecuali satpam (satuan pengamanan) yang digaji karena tugas-tugas pengamanan.

4. Kurang aktifnya masyarakat terhadap suatu tindak pidana yang terjadi di lingkungan sekitarnya. Pihak kepolisian merupakan pihak yang paling aktif mengadakan inisiatif dan komunikasi dengan masyarakat terhadap suatu tindak kejahatan, akan tetapi tidak sebaliknya dengan masyarakat. Masih takut dan enggannya masyarakat dalam melaporkan ataupun memberitahukan aparat kepolisian tentang adanya suatu tindak pidana di lingkungan sekitarnya.

(21)

Kondisi demikianlah yang dihadapi oleh kepolisian dalam menanggulangi kejahatan-kejahatan yang terjadi pada suatu daerah, sehingga membuat tidak tuntasnya suatu kasus itu terselesaikan.

Meningkatnya kasus-kasus dengan menggunakan senjata api memang sangat meresahkan masyarakat. Seperti telah dijelaskan pada bab-bab sebelumnya, terjadinya kejahatan-kejahatan dengan menggunakan senjata api sangat signifikan. Untuk itu, agar dapat menanggulangi kejahatan dengan menggunakan senjata api tersebut, diperlukan suatu kebijakan, pengawasan, dan penanganan terhadap penggunaan senjata api yang dilaksanakan lebih ketat dan lebih selektif lagi.

B. Upaya Penanggulangan yang Dilakukan Kepolisian Sumatera Utara dalam Menanggulangi Kejahatan dengan Senjata Api

Sesuai dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 Perubahan Kedua, Ketetapan MPR RI No. VI/MPR/2000 dan Ketetapan MPR RI No. VII/MPR/2000, keamanan dalam negeri dirumuskan sebagai format tujuan Kepolisian Negara Republik Indonesia dan secara konsisten dinyatakan dalam perincian tugas pokok yaitu memelihara keamanan dan ketertiban masyarakat, menegakkan hukum, serta melindungi, mengayomi, dan melayani masyarakat. Namun, dalam penyelenggaraan fungsi kepolisian, Kepolisian Negara Republik Indonesia secara fungsional dibantu oleh kepolisian khusus, penyidik pegawai negeri sipil, dan bentuk-bentuk pengamanan swakarsa melalui

pengembangan asas subsidiaritas dan asas partisipasi.75

85

       75

Penjelasan atas Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 2 Tahun 2002 Tentang

(22)

Asas legalitas sebagai aktualisasi paradigma supremasi hukum, dalam Undang-Undang ini secara tegas dinyatakan dalam perincian kewenangan Kepolisian Negara Republik Indonesia, yaitu melakukan penyelidikan dan penyidikan terhadap semua tindak pidana sesuai dengan hukum acara pidana dan peraturan perundang-undangan lainnya. Tindakan pencegahan dilakukan melalui pengembangan asas preventif dan asas kewajiban umum kepolisian, yaitu memelihara keamanan dan ketertiban masyarakat. Dalam hal ini setiap pejabat Kepolisian Negara Republik Indonesia memiliki kewenangan diskresi, yaitu kewenangan untuk bertindak demi kepentingan umum berdasarkan penilaian

sendiri.76

Dalam Pasal 1 butir (1) Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian Republik Indonesia, Kepolisian adalah segala hal-ihwal yang berkaitan dengan fungsi dan lembaga polisi sesuai dengan peraturan perundang-undangan. Polisi diberikan tugas untuk menyelidiki dan menyidik suatu tindak pidana yang terjadi dalam masyarakat.

Berdasarkan Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana (KUHAP), pada Pasal 1 butir 5 (lima) Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) menjelaskan bahwa:

“Penyelidikan merupakan serangkaian tindakan penyelidik untuk mencari dan menemukan suatu peristiwa yang diduga sebagai tindak pidana guna menentukan dapat atau tidaknya dilakukan penyidikan menurut cara yang diatur dalam undang-undang ini”.

Untuk mengetahui adanya dugaan telah terjadi suatu peristiwa tindak

(23)

1. Laporan (Pasal 1 butir 24 KUHAP) 2. Pengaduan (Pasal 1 butir 25 KUHAP) 3. Tertangkap tangan (Pasal 1 butir 19) 4. Media Massa

Dalam melaksanakan penyelidikan, penyelidik memiliki kewajiban dan kewenangan, antara lain sebagai berikut (Pasal 5 KUHAP):

1. Menerima laporan atau pengaduan dari seseorang tentang adanya tindak pidana,

2. Mencari keterangan dan barang bukti,

3. Menyuruh berhenti seseorang yang dicurigai dan menanyakan serta memeriksa tanda pengenal,

4. Mengadakan tindakan lain menurut hukum yang bertanggungjawab. Semua tindakan yang dilakukan oleh aparat kepolisian dalam menangani semua tindakan-tindakan kriminalitas, harus bersandar pada undang-undang.

Sedangkan Penyidikan pada butir 2 (dua) Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana (KUHAP) menjelaskan bahwa;

“Penyidikan merupakan serangkaian tindakan penyidik dalam hal dan menurut cara yang diatur dalam Undang-Undang ini untuk mencari serta mengumpulkan bukti yang dengan bukti itu membuat terang tentang tindak pidana yang terjadi dan guna menemukan tersangkanya.”

Yang termasuk sebagai Penyidik (Pasal 6 KUHAP) yaitu, 1. Pejabat Polisi Negara Republik Indonesia,

2. Pejabat Pegawai Negeri Sipil tertentu yang diberi wewenang khusus oleh Undang-Undang.

Menurut PP Nomor 27 Tahun 1983, syarat kepangkatan penyidik adalah:

(24)

1. Pejabat polisi Republik Indonesia tertentu yang sekurang-kurangnya berpangkat Pembantu Letnan II Polisi (sekarang AIPDA),

2. Pejabat Pegawai Negri Sipil (PNS) tertentu yang sekurang-kurangnya Pengatur Muda Tingkat I golongan IIB atau yang disamakan dengan itu.

Wewenang Penyidik sebagaimana diatur dalam Pasal 7 KUHAP adalah

sebagai berikut:78

1. Menerima laporan atau pengaduan dari seseorang tentang adanya tindak pidana,

2. Melakukan tindakan pertama pada saat ditempat kejadian,

3. Menyuruh berhenti seorang tersangka dan memeriksa tanda pengenal diri tersangka,

4. Melakukan penangkapan, penahanan, penggeledahan, dan penyitaan, 5. Melakukan pemeriksaan dan penyitaan surat,

6. Mengambil sidik jari dan memotret seseorang,

7. Memanggil seseorang untuk didengar dan diperiksa sebagai tersangka atau sebagai saksi,

8. Mendatangkan seorang ahli yang diperlukan dalam hubungan pemeriksaan perkara,

9. Mengadakan penghentian penyidikan,

10. Mengadakan tindakan lain menurut hukum yang bertanggung jawab. Mengenai tugas-tugas yang disebut diatas, aparat kepolisian wajib menjunjung tinggi hukum yang berlaku.

(25)

Dalam menanggulangi suatu kejahatan, aparat kepolisian harus menekankan strategi yang berbasis masyarakat. Strategi yang berbasis masyarakat

itu mencakup:79

1. Membangun komitmen antara kepolisian dengan warga masyarakat, 2. Yang taat hukum,

3. Menerapkan kebijakan dan rencana aksi tentang hubungan masyarakat, 4. Merekrut anggota dari semua golongan masyarakat,

5. Melatih polisi untuk menangani keanekaragaman kejahatan, 6. Menciptakan program pemberian informasi kepada masyarakat,

7. Mengadakan hubungan secara teratur dengan semua golongan masyarakat,

8. Membangun kontak masyarakat melalui kegiatan penegakan non hukum, 9. Menugaskan anggota secara tetap dalam lingkungan masyarakat,

10. Meningkatkan partisipasi masyarakat dalam kegiatan perpolisian dan program-program keselamatan masyarakat,

11. Menerapkan pendekatan kreatif dalam memecahkan masalah masyarakat yang spesifik, termasuk juga taktik dan cara-cara non tradisional,

12. Mengkoordinasi kebijakan-kebijakan, strategi, dan kegiatan-kegiatan dengan instansi pemrintah lainnya maupun lembaga swadaya masyarakat.

Menurut Kepala Bagian Analisis Reserse Kriminal, Kompol Kasmin Ginting, menyatakan bahwa secara umum tugas daripada Kepolisian terbagi atas 2

(dua) yaitu:80

89

       79

Eko Prasetyo dan Suparman Marzuki, Laporan Evaluasi Proyek Perpolisian

(26)

1. Tugas Preventif 2. Tugas Represif

Seperti yang tertulis dalam Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2002 mengenai Kepolisian Republik Indonesia Pasal 4 yang menyatakan:

“Kepolisian Negara Republik Indonesia bertujuan untuk mewujudkan keamanan dalam negeri yang meliputi terpeliharanya keamanan dan ketertiban masyarakat, tertib dan tegaknya hukum, terselenggaranya perlindungan, pengayoman, dan pelayanan kepada masyarakat, serta terbinanya ketentraman masyarakat dengan menjunjung tinggi hak asasi manusia”.

Berdasarkan tujuan daripada Kepolisian Negara Republik Indonesia tersebut diatas, maka langkah-langkah yang dilakukan kepolisian agar terwujudnya tujuan tersebut adalah dengan dilakukannya tugas-tugas daripada tugas preventif dan represif. Tugas Preventif merupakan suatu tindakan yang dilakukan aparat kepolisian dalam memelihara dan menjamin keamanan umum, serta mencegah timbulnya suatu kejahatan. Tugas preventif ini lebih bersifat menjauhkan masyarakat dari pelanggaran hukum. Tugas ini dilakukan agar tidak bertemunya unsur niat jahat seseorang dan unsur kesempatan sehingga tidak

terjadinya suatu tindak pidana.81 Sedangkan dalam tugas represif itu merupakan

tugas dalam penegakannya, yaitu tugas yang dimulai dari tahap pengumpulan barang bukti, dari tahap penyelidikan hingga tahap penyidikan atau memperkarakan pelaku bila terbukti melakukan kejahatan hingga terjadinya suatu tindak pidana. Tugas represif merupakan suatu tindakan setelah terjadinya tindak pidana atau pemberantasan kejahatan, bagaimana tindakan dari aparat kepolisian

(27)

untuk menindak lanjuti suatu kejahatan agar kejahatan tersebut tidak terulang

kembali.82

Banyaknya kasus-kasus kriminalitas yang terjadi sekarang ini merupakan suatu tugas yang berat bagi aparat kepolisian dalam menanganinya, terutama terhadap kasus-kasus kejahatan dan kekerasan dengan menggunakan senjata api. Bentuk-bentuk tugas daripada preventif itu dapat berupa penyuluhan, bimbingan maupun pembinaan yang dilakukan kepolisian terhadap masyarakat mengenai

suatu tindak pidana.83

Kegiatan-kegiatan yang dilakukan kepolisian untuk mengurangi kejahatan-kejahatan tersebut, dapat dilakukan dengan memberikan pengarahan-pengarahan seperti mengadakan pertemuan-pertemuan antara aparat kepolisian dengan beberapa elemen masyarakat yang ada seperti kecamatan, kelurahan, organisasi para pemuda dan pemudi maupun elemen-elemen lainnya. Dalam pertemuan ini aparat kepolisian dapat memberikan suatu bimbingan, penyuluhan, dan pembinaan terhadap masyarakat tentang suatu tindak pidana, agar masyarakat dapat mengantisipasi segala tindak kejahatan yang ada di lingkungannya, sehingga tercipta suatu keamanan di lingkungan masyarakat tersebut.

Sekarang ini para pelaku kejahatan bisa saja berasal dari lingkungan masyarakat itu sendiri. Tidak adanya hal-hal yang mencurigakan dari si pelaku kejahatan membuat masyarakat di suatu daerah tidak mengetahui akan tindak pidana tersebut. Atau dengan datangnya seseorang ke lingkungan masyarakat yang baru yang juga tanpa indikasi yang mencurigakan. Hal-hal tersebut haruslah diwaspadai karena akan dapat membawa dampak yang tidak baik bagi masyarakat

91        82 Ibid 83 Ibid

(28)

sekitar. Dengan adanya penyuluhan, bimbingan, dan pembinaan dari kepolisian, maka wawasan masyarakat juga akan dapat lebih terbuka terhadap suatu tindakan kejahatan.

Dalam kasus kejahatan dengan kekerasan dengan menggunakan senjata api, aparat kepolisian juga dapat memberikan batasan-batasan kepada masyarakat umum, yang memiliki senjata api tanpa suatu alasan yang dibenarkan dalam undang-undang yang mengaturnya. Dalam Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1948 tentang Pendaftaran, Izin dan Pemberian Izin Pemakaian Senjata api, dijelaskan bahwa warga sipil diperbolehkan untuk memakai senjata api, tetapi haruslah memiliki surat izin atas kepemilikan senjata api tersebut dari aparat kepolisian. Sebetulnya kepemilikan senjata api itu hanya diizinkan untuk keperluan olahraga, bela diri, dan koleksi.

Kepolisian harus mengetahui alasan warga sipil dalam memiliki senjata api tersebut. Mengenai tahap-tahap kepemilikan senjata api tersebut, warga sipil harus mengikuti beberapa test agar dapat mempoleh izin kepemilikan senjata api tersebut, yaitu:

1. Seseorang tersebut haruslah mengajukan surat permohonan kepada Badan Intelegen Keamanan, karena lembaga inilah yang bertugas dan berwenang untuk mengawasi setiap kepemilikan senjata api, dan lembaga ini akan mempelajari surat permohonan tersebut, untuk apa dan apa alasan seseorang memiliki senjata api tersebut, apakah benar senjata api tersebut diperlukan karena tugas dan jabatannya.

(29)

tersebut hingga mahir menggunakan, merawat, dan mengerti mengenai senjata api tersebut.

3. Setelah melewati proses tersebut maka surat izin kepemilikan senjata api akan dikeluarkan oleh Badan Intelegen Keamanan.

Dalam hal ini aparat kepolisian juga berperan aktif dalam memberikan bimbingan-bimbingan pelatihan, penyuluhan, dan pembinaan kepada masyarakat yang sudah mendapatkan izin kepemilikan senjata api, agar tidak digunakan terhadap hal-hal yang bertentangan dengan undang-undang apalagi digunakan untuk tindak kejahatan.

Dalam tugas preventif ini bertujuan untunk mencegah suatu kejahatan dapat terjadi, karena apabila adanya unsur niat dalam diri seseorang dan adanya kesempatan-kesempatan yang membuat si pelaku kejahatan melakukan tindakan kejahatannya tersebut. Niat yang dimaksud dalam hal ini adalah sebagai suatu kehendak atau dorongan dalam diri seseorang untuk melakukan suatu kejahatan, sedangkan kesempatan merupakan suatu keadaan yang dapat menimbulkan niat, kehendak atau dorongan seseorang untuk melakukan kejahatan.

Dan dalam tugas represif ini, aparat kepolisian melakukan penindakan secara langsung dalam menangani setiap kasus-kasus kejahatan menggunakan senjata api melalui langkah-langkah dalam penindakan kejahatan tersebut. Dengan meletakkan anggota-anggota kepolisian di titik-titik yang rawan dengan kejahatan disuatu daerah merupakan salah satu cara menindak lanjuti terjadinya suatu kejahatan. Kepolisian juga menurunkan tim ataupun anggota-anggota

(30)

kepolisiannya untuk bertindak tegas terhadap para pelaku kejahatan yang sudah

tertangkap tangan oleh kepolisian melakukan tindak pidana.84

Dalam menindak lanjuti kasus-kasus dengan menggunakan senjata api bagi mereka yang tidak memiliki izin kepemilikan senjata api ini, kepolisian juga melakukan suatu langkah antisipasi beredarnya senjata api di masyarakat. Penindakan secara langsung oleh aparat kepolisian dilakukan dengan melakukan razia selektif ataupun pemeriksaan ditempat-tempat yang padat penduduknya seperti seperti melakukan razia di jalan raya, di setiap lampu merah, bahkan ditempat-tempat hiburan sekalipun dilakukan pemeriksaan. Untuk tempat-tempat hiburan biasanya pemeriksaan ataupun razia dilakukan oleh petugas keamanan atau satpam yang telah bertugas disana. Hal ini merupakan suatu bentuk langkah yang juga dapat membantu kepolisian dalam menanggulangi kejahatan.

Upaya yang dilakukan kepolisian dalam menanggulangi kejahatan-kejahatan dengan senjata api ini juga dilakukan dengan peningkatan penjagaan dan observasi. Biasanya kegiatan ini dilakukan dengan aparat kepolisian berpakaian preman, dapat dilakukan dengan berpakaian diruas daerah-daerah yang dianggap rawan kejahatan. Upaya yang dilakukan adalah patroli kepolisian yang dilaksanakan secara terarah dengan daerah operasi yang telah ditentukan.

Hal yang terpenting dalam upaya penanggulangan terhadap kejahatan-kejahatan dengan menggunakan senjata api ini adalah sangat dituntut peran daripada masyarakat dalam menanggulangi tindak pidana menggunakan senjata api. Bapak Kompol. Kasmin Ginting juga menegaskan bahwa dengan adanya bantuan daripada masyarakat baik itu berupa laporan ataupun pengaduan kepada

(31)

kepolisian setempat, akan sangat membantu aparat keamanan kita dalam mengurangi kejahatan-kejahatan tersebut. Untuk itu beliau menghimbau agar setiap masyarakat agar mau memberitahukan ataupun melaporkan kepada pihak yang berwenang ataupun aparat kepolisian setempat, apabila melihat ataupun mengetahui seorang atau lebih warga sipil yang memiliki senjata api tanpa izin kepemilikan. Dilihat dari keadaan sekarang ini, masih banyak masyarakat yang takut untuk memberikan laporan ataupun pengaduan terhadap kepemilikan senjata api illegal kepada aparat kepolisian setempat. Tidak hanya takut untuk memberikan laporan atau pengaduan terhadap kepemilikan senjata api illegal tersebut, bahkan para saksi-saksi yang benar-benar melihat kejadian di tempat perkara tersebut pun masih kurang berani untuk memberikan kesaksian yang jelas mengenai kejadian yang terjadi di tempat perkara. Kesulitan inilah yang sering sekali dihadapi oleh aparat kepolisian dalam melakukan usaha penyidikan terhadap kasus-kasus kejahatan dengan senjata api, selain tidak ditemukannya

barang bukti yang untuk dijadikan bahan penyelidikan lebih lanjut.85

Harus dipahami bahwa upaya-upaya yang dilakukan oleh kepolisian ini adalah bertujuan untuk mencapai suatu pencegahan terhadap kejahatan. Segala upaya akan dilakukan oleh kepolisian untuk mencapai tujuan besar itu. Oleh karena itu, mewujudkan keamanan jiwa dan harta serta memelihara keberadaan polisi akan jauh lebih baik daripada melakukan deteksi dan penghukuman atas

kejahatan setelah penjahat-penjahat tersebut berhasil melakukan kejahatannya.86

95

       85

Ibid

86

Robert Baldwin dan Richard Kinsey, Kewenangan Polisi dan Politik, (Jakarta: Cipta Manunggal, 2002), Hal. 10.

(32)

Kesemua bentuk tugas-tugas ini telah diatur oleh Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana dan Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian Republik Indonesia.

(33)

BAB V PENUTUP

A. Kesimpulan

Berdasarkan analisis terhadap permasalahan yang telah diuraikan pada bab-bab sebelumnya, sehingga dapat disimpulkan bahwa:

1. Berbagai faktor seperti kesulitan perekonomian, pengaruh lingkungan sekitar dan kurangnya lapangan industrial ataupun lapangan pekerjaan merupakan beberapa penyebab terjadinya kejahatan dengan menggunakan senjata api yang sangat meresahkan masyarakat. Terhadap ketiga faktor penyebab terjadinya kejahatan, tidak hanya mendasari kejahatan-kejahatan yang dilakukan oleh seseorang atau kelompok masyarakat saja, tetapi ketiga faktor tersebut juga mempengaruhi seluruh lapisan masyarakat, baik warga sipil maupun aparat kepolisian dan TNI. Faktor lain penyebab timbulnya kejahatan dengan menggunakan senjata api adalah perdagangan senjata api illegal. Tidak hanya itu mampunya seseorang dalam merakit atau membuat senjata api rakitan juga dapat meningkatkan angka kejahatan dengan menggunakan senjata api.

97 2. Kebutuhan anggaran dana kepolisian yang belum sesuai dengan standard

kebutuhan patroli, Terbatasnya jumlah personil kepolisian dalam melaksanakan fungsi patroli kepolisian, Kurangnya perhatian masyarakat terhadap lingkungan sekitarnya, Kurang aktifnya masyarakat terhadap suatu tindak pidana yang terjadi di lingkungan sekitarnya merupakan kendala yang dihadapi oleh Kepolisian Sumatera Utara dalam menanggulangi Kejahatan-Kejahatan dengan menggunakan senjata api.

(34)

3. Adapun upaya-upaya yang dilakukan oleh kepolisian dalam menanggulangi faktor-faktor penyebab terjadinya kejahatan dengan senjata api adalah tugas preventif dan tugas represif. Aparat Kepolisian telah mengambil langkah yang tepat sesuai dengan tugas dan wewenangnya sebagaimana telah diatur dalam Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian Republik Indonesia dalam menanggulangi kejahatan dengan senjata api tersebut dengan cara:

a. Melakukan tindakan Preventif yaitu dengan melakukan kegiatan-kegitan sebagai berikut:

1. Tugas yang bersifat penyuluhan, bimbingan, dan pembinaan

2. Tugas yang bertujuan untuk mencegah terjadinya pertemuan antara unsur niat dan unsur kesempatan sehingga tidak terjadi suatu tindak pidana.

b. Melakukan tindakan Represif yaitu suatu tindakan pemberantasan terhadap suatu kejahatan yang dilakukan dengan cara mengumpul semua barang bukti yang ada, dari tahap penyelidikan hingga tahap penyidikan bila terjadi suatu tindak pidana.

B. Saran

Berdasarkan uraian pada bab-bab sebelumnya serta kesimpulan diatas dapat disampaikan bahwa saran-saran sebagai berikut:

1. Melakukan pendataan ulang mengenai semua senjata api yang terdaftar, baik sipil maupun aparat, serta menguji standard psikologis seseorang terhadap kepemilikan senjata api tersebut,

(35)

2. Menindak tegas para pemilik senjata api illegal sesuai dengan peraturan yang berlaku sebagai efek jera sehingga keberadaan peraturan senjata api dapat efektif berlaku,

3. Meniadakan hak kepemilikan senjata api bagi warga sipil dikarenakan pengawasan terhadap kepemilikan senjata api oleh warga sipil membutuhkan lebih banyak perhatian, mengingat akan meningkatnya masyarakat sipil mengajukan surat permohonan izin kepemilikan senjata api dan meningkatnya kejahatan senjata api yang illegal.

4. Melakukan kebijakan-kebijakan ataupun kegiatan-kegiatan yang tetap mengajak masyarakat umum untuk turut serta dalam upaya menanggulangi kejahatan-kejahatan dengan menggunakan ancaman kekerasan maupun senjata api.

Referensi

Dokumen terkait

Tujuan pelatihan ini khususnya adalah untuk (1) Membantu pelaku usaha mikro di Kecamatan Sungai Pinyuh dalam menyusun perencanaan keuangan usaha melalui

Teknik pencatuan yang digunakan catuan microstrip linefeed.Metode yang digunakan dalam perancangan antena antara lain multi substrat 3 layer untuk meningkatkan bandwidth dan

Karena saya memberikan kesempatan besar untuk anda. Penyimpangan pada kalimat di atas ditandai dengan kata ganti orang pertama atashi yang diucapkan oleh penutur pria

Bandwidth sering digunakan sebagai suatu sinonim untuk kecepatan transfer data (transfer rate) yaitu jumlah data yang dapat dibawa dari sebuah titik ke titik lain dalam jangka

Terima kasih karena tidak menuntut untuk menjadi nomor satu dengan nilai yang sempurna namun selalu percaya akan kemampuan yang ada dalam diri saya.. Adik-adik saya,

Tujuan dari penelitian ini adalah mengetahui jumlah, jenis, dan kelimpahan rajungan yang tertangkap dengan alat tangkap bubu lipat di TPI Tanjung Sari,Rembang,

Berdasarkan hasil penelitian yang telah dilaksanakan dalam dua siklus dan pembahasan dapat disimpulkan bahwa penerapan pembelajaran kooperatif dengan strategi Index Card

Pendidikan Agama Islam (S1), bertujuan menghasilkan sarjana yang profesional, responsif, inovatif dan berakhlak mulia dengan profesi utama sebagai guru yang