• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II GAMBARAN UMUM. dan Kabupaten Aceh Tenggara. Nama suku ini dijadikan salah satu nama

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "BAB II GAMBARAN UMUM. dan Kabupaten Aceh Tenggara. Nama suku ini dijadikan salah satu nama"

Copied!
19
0
0

Teks penuh

(1)

BAB II

GAMBARAN UMUM

2.1. Wilayah Kabupaten Karo

Karo adalah suku asli yang mendiami Dataran Tinggi Karo, Kabupaten Deli Serdang, Kota Binjai, Kabupaten Langkat, Kabupaten Dairi, Kota Medan, dan Kabupaten Aceh Tenggara. Nama suku ini dijadikan salah satu nama kabupaten di salah satu wilayah yang mereka diami (dataran tinggi Karo) yaitu Kabupaten Karo. Suku ini memiliki bahasa sendiri yang disebut Bahasa Karo. Sebagian besar masyarakat suku Karo tidak mau disebut sebagai orang Batak karena mereka merasa berbeda. Suku Karo mempunyai sebutan sendiri untuk orang Batak yaitu Kalak Teba.

Dari beberapa literatur yang penulis dapatkan tentang karo asal kata Karo berasal dari kata Haru. Kata Haru ini berasal dari nama kerajaan Haru yang berdiri sekitar abad 14 sampai abad 15 di daerah Sumatera Bagian Utara. Kemudian pengucapan kata Haru ini berubah menjadi Karo. Inilah diperkirakan awal terbentuknya nama Karo. Pada jaman keemasannya kekuasaan Kerajaan Haru/Karo mulai dari Aceh Besar sampai sungai Siak di Riau. Keberadaan Haru/Karo di Aceh dapat dipastikan dengan beberapa desa di sana yang berasal dari bahasa Karo. Misalnya Kuta Raja atau Banda Aceh sekarang, Kuta Binjei di Aceh Timur, Kuta Karang, Kuta Alam, Kuta Lubok, Kuta Laksamana Mahmud,

(2)

Keberadaan suku Haru-Karo di Aceh ini diakui oleh H. Muhammad Said dalam bukunya "Aceh Sepanjang Abad" (1981). Beliau menekankan bahwa penduduk asli Aceh Besar adalah keturunan mirip Batak. Namun tidak dijelaskan keturunan dari batak mana penduduk asli tersebut. Sementara itu, H. M. Zainuddin dalam bukunya "Tarikh Aceh dan Nusantara" (1961) dikatakan bahwa di lembah Aceh Besar selain kerajaan Islam ada kerajaan Karo. Brahma Putra, dalam bukunya "Karo Sepanjang Zaman" mengatakan bahwa raja terakhir suku Karo di Aceh Besar adalah Manang Ginting Suka.

Gambaran Umum Kabupaten Karo Secara geografis Daerah Kabupaten Karo terletak antara 02 050’ s/d 03 019’ LU dan 97 055’ s/d 98 038’ BT. Daerah Kabupaten Karo terletak di daerah dataran tinggi bukit barisan dengan total luas administrasi 2.127,25 km² atau 212.725 ha. Wilayah Kabupaten Karo berbatasan dengan:

1. Kabupaten Langkat dan Deli Serdang dibagian Utara; 2. Kabupaten Simalungun dibagian Timur;

3. Kabupaten Dairi dibagian Selatan; dan

4. Propinsi Nangro Aceh Darusalam dibagian Barat.

Ibukota Kabupaten Karo adalah Kabanjahe yang terletak sekitar 76 km sebelah selatan kota Medan ibukota Provinsi Sumatera Utara.

(3)

2.1.2. Ditinjau Dari Topografinya

Ditinjau dari kondisi topografinya (hamparan wilayahnya), wilayah kabupaten karo terletak didataran tinggi bukit barisan dengan elevasi terendah + 140 m diatas permukaan laut (Paya lah-lah Mardingding) dan yang tertinggi ialah + 2.451 meter diatas permukaan laut (Gunung Sinabung). Daerah kabupaten karo yang berada di daerah dataran tinggi bukit barisan dengan kondisi topografi yang berbukit dan bergelombang, maka diwilayah ini ditemui banyak lembah-lembah dan alur-alur sungai yang dalam dan lereng-lereng bukit yang curam/terjal.

Sebagaian besar (90%) wilayah Kabupaten Karo berada pada ketinggian/elevasi +140 m s/d 1400 m di atas permukaan air laut. Pada wilayah Kabupaten Karo terdapat dua hulu daerah aliran sungai (DAS) yang besar yakni DAS sungai Wampu dan DAS sungai Lawe Alas. Sungai Wampu bermuara ke Selat Sumatera dan Sungai Renun (Lawe Alas) bermuara ke Lautan Hindia.

2.1.2. Ditinjau Dari Iklimnya

Tipe iklim daerah Kabupaten Karo adalah E2 menurut klasifikasi Oldeman dengan bulan basah lebih tiga bulan dan bulan kering berkisar 2-3 bulan atau A menurut Koppen dengan curah hujan rata-rata di atas 1.000 mm/tahun dan merata sepanjang tahun. Curah hujan tahunan berkisar antara 1.000-4.000mm/tahun, dimana curah hujan terbesar terjadi pada bulan basah yaitu Agustus sampai dengan Januari dan Maret sampai dengan Mei.

(4)

2.1.3. Ditinjau Dari Etnis

Ditinjau dari segi etnis, penduduk Kabupaten Karo mayoritas adalah suku Karo, sedangkan suku lainnya seperti suku Batak Toba/Tapanuli, Jawa, Simalungun, dan suku lainnya hanya sedikit jumlahnya (di bawah 5%).

2.2. Profil Kecamatan Simpang Empat

Kecamatan Simpang Empat adalah salah satu dari 17 kecamatan yang ada di Kabupaten Karo dengan ibukota kecamatan di Desa Ndokum Siroga yang berjarak 7 km dari Kabanjahe sebagai ibukota kabupaten dan 84 km dari Kota Medan yang merupakan Ibukota Provinsi Sumatera Utara. Kecamatan Simpang Empat memiliki luas wilayah mencapai 93,48 km² berada pada ketinggian rata-rata 700-1.420 m diatas permukaan laut dengan temperatur 16ºc-17ºc dengan batas-batas wilayah sebagai berikut :

- Sebelah Timur berbatasan dengan Kecamatan Kabanjahe dan Berastagi

- Sebelah Barat berbatasan dengan Kecamatan Payung

- Sebelah Utara berbatasan dengan Kecamatan Naman Teran dan Kecamatan Merdeka

- Sebelah Selatan berbatasan dengan Kecamatan Kabanjahe

Kecamatan Simpang Empat sebagai salah satu daerah pemerintahan telah ada sejak pra-kemerdekaan yang disebut dengan istilah kerajaan yang dipimpin oleh seorang raja yang disebut Sibayak Lingga yang kekuasaanya meliputi :

(5)

2. Urung Tigapancur yang diperintah oleh Raja Urung Merga Sembiring

Gurukinayan.

3. Urung Siempat Teran yang diperintah oleh Raja Urung Merga

Karo-Karo Sitepu.

Tabel 1 : Statistik Geografi Kecmatan Simpang Empat

Uraian Satuan 2014

Luas Km² 93,48

Letak di atas permukaan laut M 700 – 1.420

Suhu ºc 16 – 17

Sumber : Kecamatan Simpang Empat Dalam Angka 2012

Mengenai nama/sebutan Kecamatan Simpang Empat berdasarkan penuturan orang-orang tua bahwa untuk mengenang masa Kerajaan Sibayak Lingga yang mempunyai wilayah 3 (tiga) urung yaitu:

- Urung Siempat Kuru

- Urung Tigapancur

- Urung Siempat Teran

Maka pembangunan gedung pemerintahan dibangun di atas tanah dekat persimpangan yaitu “ Simpang Empat” yang dulunya lokasi tanah tersebut adalah tempat musyawarah antara raja Urung Sitelu Kuru, Raja Urung Tigapancur dan

raja urung siempat teran di bawah pohon kayu rindang “nderam” sehingga

(6)

pemerintahan kecamatan dekat dengan persimpangan yaitu Simpang Empat maka nama kecamatan disebut “Kecamatan Simpang Empat”.

Pada tahun 2005 Bupati Karo mengeluarkan Perda 04 tahun 2005 tentang pembentukan kecamatan baru, dimana Kecamatan Simpang Empat dimekarkan menjadi 3 kecamatan yaitu Kecamatan Naman Teran (14 desa), Kecamatan Merdeka (9 desa) dan Kecamatan Simpang Empat (kecamatan induk 17 desa). pemekaran tersebut telah resmi sejak 29 desember 2006.

Tabel 2. Luas Desa di Kecamatan Simpang Empat

No. Nama Desa Luas Desa (Km²) Rasio Terhadap Luas Kecamatan (%) 1. Beganding 8,98 9,61 2. Serumbia 3,78 4,04 3. Nang Belawan 3,47 3,71 4. Lingga 16,24 17,37 5. Lingga Julu 7,29 7,80 6. Ndokum Siroga 2.97 3,18 7. Surbakti 9.54 10,20 8. Tiga Pancur 3.50 3,74 9. Berastepu 10.76 11,51 10. Pintu Besi 2,42 2,59 11. Jeraya 2,83 3,03 12. Perteguhen 2,97 3,18 13. Kuta Tengah 3,56 3,81 14. Torong 3,98 4,26 15. Gajah 4,60 4,92 16. Bulan Baru 3,72 3,98 17. Gamber 2,87 3,07

Sumber : Kecamatan Simpang Empat Dalam Angka 2012

Dari 17 desa yang ada di Kecamatan Simpang Empat, Desa Lingga merupakan desa terluas dengan luas 16,24 Km2 atau 17,37 % dari luas

(7)

kecamatan, kemudian diikuti oleh Desa Berastepu dengan luas 10,76 Km² atau 11,51% dan desa Beganding dengan luas 8,98 Km² atau 9,61%.

Sedangkan desa dengan luas terkecil di Kecamatan Simpang Empat adalah Desa Pintu Besi dengan luas 2,42 Km² atau 2,59% kemudian diikuti oleh Desa Jeraya dengan luas 2,83 Km² atau 3,03 dan Desa Gamber dengan luas 2,87 Km² atau 3,07%. Ditinjau dari jarak kantor desa ke ibukota kecamatan, maka Desa Serumbia merupakan yang terjauh yaitu 16,3 Km, sedangkan yang terdekat adalah Desa Pintu Besi yaitu sekitar 0,5 dan Desa Ndokum Siroga yaitu berjarak sekitar 0,5 Km ke ibukota kecamatan.

Pemerintahan Kecamatan Simpang Empat dalam melayani masyarakat dipimpin oleh seorang camat dibantu seorang Sekretaris Kecamatan (Sekcam) dan pejabat eselon IV yang bertugas sebagai Kepala Seksi ataupun Kepala Sub Bagian Keuangan yang dibantu staf masing- masing dan juga dibantu oleh 2 orang tenaga honor yang keseluruhannya berjumlah 22 orang.

Tabel 3. Statistik Pemerintahan Kecamatan Simpang Empat Tahun 2012

Wilayah Administrasi Tahun 2013 Tahun 2014 Desa Camat Sekcam Kepala Desa Sekretaris Desa Lurah 8 1 1 8 8 5 8 1 1 8 8 5 Sumber : Kecamatan Simpang Empat Dalam Angka 2012

(8)

Pemerintahan Desa yang ada di Kecamatan Simpang Empat masing-masing dikepalai oleh seorang Kepala Desa dibantu oleh seorang Sekretaris Desa (Sekdes) dan beberapa orang Kepala Urusan (Kaur).

2.3. Rumah Adat Tradisional Yang Ada Di Tanah Karo

Suku Karo mempunyai bangunan tradisional sebagaimana daerah-daerah lain di Indonesia. Sebuah kesain (kepenghuluan) biasanya memiliki bangunan tradisional yang terdiri dari beberapa buah rumah adat, jambur, geriten dan lesung. Rumah adat tradisional karo adalah suatu rumah yang didiami oleh beberapa keluarga yang telah diatur menurut adat dan kebiasaan suku karo. Kerangka bangunan rumah adat dipasang sedemikian rupa tanpa menggunakan paku tetapi menggunakan kayu yang diikat dengan rotan atau ijuk. Penghuni rumah adat karo ini pada umumnya terdiri dari delapan keluarga, namun ada juga yang sepuluh, dua belas, dan bahkan ada yang mencapai enam belas keluarga. Susunan keluarga di dalam rumah adat mempunyai tempat dan hak yang tertentu menurut adat tertentu pula. Satu bagian dari rumah yang ditempati dalam bahasa karo disebut jabu. Rumah adat tradisioanl karo biasanya disebut rumah siwaluh jabu, karena pada umumnya rumah adat tersebut didiami oleh delapan keluarga. (Sitanggang, 1994: 24-25). Rumah adat tradisional karo juga memiliki bentuk, susunan jabu serta oranamen-ornamen unik yang membuat rumah adat tersebut mempunyai ciri khas tersendiri.

(9)

Desa Dokan

Desa Dokan yang terletak di Kecamatan Merek Kabupaten Karo Sumatera Utara adalah salah satu lokasi yang sudah dijadikan kawasan agrowisata. Di tempat ini wisatawan bisa melihat rumah adat tradisional Karo sambil mencicipi jeruk siam madu segar yang langsung di petik di kebun. Dokan bisa di tempuh sekitar 15 menit dari Kabanjahe. Wisata budaya dan sejarah ini bisa ditemui jika mengunjungi rumah-rumah adat Suku Karo Dokan bisa dikatakan menjadi salah satu desa yang beruntung karena masih memiliki rumah adat tradisional Karo sejumlah 6 rumah tradisional dan tinggal 5 rumah yang masih digunakan, namun sebagian rumah tersebut tidak dirawat.

Di Desa Dokan rumah adat yang tersisa tinggal 6 rumah dan hanya satu yang tidak dipakai lagi. Rumah Adat Karo dikenal dengan sebutan Siwaluh Jabu berasal dari kata waluh yang artinya delapan dan jabu yang artinya rumah. Jadi Siwaluh jabu adalah rumah yang dihuni oleh delapan keluarga. Rumah Adat Karo ini memiliki keunikan tersendiri dan kaya akan seni arsitektur yang tinggi. Bangunan yang dibangun ini memiliki struktur bangunan yang tahan gempa dan proses pembuatannya tidak menggunakan paku untuk menyatukannya. Melihat potensi budaya dan sejarah yang besar ini sayang sekali jika pemerintah daerah mengabaikannya begitu saja.

Jika dikelola lebih baik dan digarap seperti objek wisata budaya yang menjual daya tarik wisata berupa rumah adat tradisional seperti Oma Hada di Tumeri, Nias Utara, Kete' Kesu di Toraja, Desa Lingga, Barus Jahe, Peceren,

(10)

Melas dan desa-desa lainnya di Kabupaten Karo bisa menjadi tujuan wisata yang diminati oleh wisatawan lokal bahkan mancanegara (Saiful Azhar, 2010).

Desa Melas

Desa Melas adalah sebuah desa kecil yang terletak di kecamatan Dolat Rakyat, lebih kurang 4 km dari kota Berastagi. Masyarakat desa Melas umumnya adalah petani yang bercocok tanam tanaman seperti buah-buahan dan sayuran. Masyarakat desa Melas juga masih memegang teguh serta menjalankan adat dan budaya Karo dalam setiap kegiatan kehidupannya sehari-hari, misalnya: upacara adat perkawinan, upacara 7 bulanan bayi dalam kandungan, upacara adat kematian, dan lain-lain.

Umumnya kegiatan-kegiatan adat dan budaya tersebut sebagian besar masih dipakai dan dijalankan oleh masyarakat Desa Melas. Semua potensi alam, budaya dan kehidupan masyarakat Desa Melas merupakan modal utama yang cukup menarik untuk diberdayakan sebagai daya tarik wisata dalam meningkatkan kepariwisataan di Kabupaten Karo.

Desa Melas memiliki tinggalan dua buah bangunan rumah adat. Satu sudah roboh karena gempa akibat letusan gunung Sinabung dan satu lagi masih utuh namun tidak ditempati lagi sejak 30 tahun yang lalu. Rumah adat inilah yang akan direnovasi dengan tetap mempertahankan keasliannya sehingga dapat dihuni kembali. Jumlah penduduk yang hanya kurang lebih 30 kepala keluarga bisa jadi merupakan faktor pendukung dikembangkannya kepariwisataan di Desa Melas. Di samping itu, antusias penduduk untuk merevitalisasi rumah adat yang ada di

(11)

Desa Melas sangat tinggi, terbukti dengan keikutsertaan masyarakat dalam memperbaiki rumah adat dengan cara bergotong royong.

Karena belum mendapat simpati dari pemerintah, karang taruna Desa Melas mulai memperbaiki rumah adat tahap pertama tanggal 14 Januari 2010 dengan membersihkan debu dan kotoran yang ada di dalam rumah adat tersebut dengan dana dari hasil pengumpulan koin yang sudah diterima. Perbaikan tahap kedua dilaksanakan pada tanggal 4, 5 dan 6 Maret 2011 dengan mengganti atap atau ijuk yang ada di rumah adat tersebut.

Desa Lingga

Pada saat sekarang rumah adat yang tersisa di Desa Lingga tinggal 4 rumah lagi yang masih berpenghuni, sedangkan rumah-rumah adat lainnya sudah tidak ditempati lagi. Pada awalnya rumah adat yang ada di Desa Lingga berjumlah 18 rumah, akan tetapi seiring perkembangan waktu rumah-rumah tersebut akhirnya hancur termakan waktu. Bahkan sekarang yang menempati rumah adat tersebut tidak lagi terdiri dari 8 keluarga, karena masing-masing penghuninya sudah banyak yang mendirikan rumah sendiri, sehingga rumah adat tersebut disewakan kepada orang yang mau menempatinya.

Bagi keluarga yang tinggal atau yang mengontrak di rumah adat itu harus membayar kepada bena kayu atau bangsa tanah sebesar Rp 50.000 per tahun, biasanya orang yang masih tinggal di rumah adat ini adalah keluarga yang perekonomiannya lemah atau rendah. Rumah adat Siwaluh Jabu ini dapat bertahan selama 200 tahun lebih. Beberapa faktor yang menyebabkan rumah adat

(12)

1. Karena sudah mendirikan rumah masing-masing.

2. Karena sudah memiliki perekonomian yang cukup.

3. Karena kemajuan teknologi.

4. Karena kayu-kayu yang mau ditebang di hutan sudah berkurang atau tidak ada lagi.

5. Karena sering terjadi perselisihan atau pertengkaran.

Sementara itu ada beberapa rumah adat yang masih dapat ditempati diantaranya ialah:

1. Rumah adat marga Sinulingga/Belang Ayo

2. Rumah adat marga Sinulingga/gerga

3. Rumah adat marga Ginting/Bangun

4. Rumah adat marga Manik/ Manik

2.4. Budaya Karo

Pemangku kebudayaan Karo adalah masyarakat yang tinggal di pegunungan dataran tinggi Karo, Sumatera Utara. Daerah tempat tinggal dinamakan sesuai dengan kebudayaan Karo yaitu Tanah Karo dan kini dikenal dengan Kabupaten Karo. Kebudayaan suku Karo memiliki semboyan Merga

Silima, Tutur Siwaluh, Rakut Sitelu yang diimplementasikan dalam setiap aspek

kehidupan. Merga Silima karena Etnis Karo mengenal 5 (lima) jenis merga/klan besar yakni Ginting, Tarigan, Sembiring, Karo-Karo, dan Perangin angin.

(13)

Tiap klan ini memiliki sub–sub klan yang jumlahnya bervariasi, secara keseluruhan terdapat 84 sub merga Karo sebagai berikut3

1. Merga Karo-karo terdiri dari sub merga Barus, Bukit, Gurusinga, Kaban, Kacaribu, Surbakti, Sinulingga, Sitepu, dan lain-lain (Jumlah 18)

:

2. Merga Tarigan terdiri dari sub merga Bondong, Ganagana, Gerneng, Purba, Sibero, dan lain-lain (Jumlah 13).

3. Merga Ginting terdiri dari sub merga Munthe, Saragih, Suka, Ajartambun, Jadibata, Manik, dan lain-lain (Jumlah 16).

4. Merga Sembiring terdiri dari sub merga Sembiring si banci man

biang (sembiring yang boleh makan anjing): Keloko, Sinulaki, Kembaren,

Sinupayung (Jumlah = 4); Sembiring si mantangken biang (sembiring yang tidak boleh makan Anjing): Brahmana, Depari, Meliala, Pelawi dan lain-lain (Jumlah = 15).

5. Merga Perangin-angin terdiri dari sub merga Bangun, Sukatendel, Kacinambun, Perbesi, Sebayang, Pinem, Sinurat dan lain-lain (Jumlah = 18).

Tutur Siwaluh merupakan konsep kekerabatan Etnis Karo yang

berhubungan dengan penuturan yang terdiri dari 8 (delapan) golongan yakni: (1) Puang Kalimbubu, (2) Kalimbubu), (3) Senina, (4) Sembuyak, (5) Senina Sipemeren, (6) Senina Sipengalon/Sedalanen, (7) anak beru, (8) anak beru menteri.

Rakut Sitelu merupakan konsep Sangkep Nggeluh Etnis Karo, merupakan

(14)

Kalimbubu, dan Anak Beru4

1) Bebere adalah nama keluaga yang diwarisi sesorang dari beru ibunya. Misalnya jika ibunya beru perangin angin, maka ia menjadi bebere Perangin angin.

. Karenanya bagi masyarakat Karo, merga itu sangat penting karena berguna untuk mengekspresikan identitas diri ketika sedang

ertutur (mencari hubungan kekerabatan Merga dan beru (sebutan merga untuk

perempuan). Merga adalah nama yang dipakai di belakang diri.

Dalam tradisi ertutur, untuk menentukan jenjang kekerabatan maka selain menarik garis keturunan marga dari ayah, juga mencari garis keturunan dari merga ibu, yakni:

2) Binuang adalah nama keluarga yang diwarisi sesorang berdasarkan bebere ayahnya atau beru dari ibu ayahnya.

3) Kempu adalah nama keluarga yang diwarisi seseorang berdasarkan bebere ibunya atau beru dari ibu dari ibunya.

4) Kampah adalah nama keluarga yang diwarisi seseorang berdasarkan beru dari ibu kakek pihak ayah.

5) Soler adalah nama keluarga yang diwarisi seseorang berdasarkan beru dari ibu kakek pihak ibu.

Dapat disimpulkan bahwa sebenarnya jika diteliti dari segi ertutur ini maka Etnis Karo sebenarnya tidak menganut system patriarkhi absolute

4

Rakut Sitelu sama dengan konsepsi Dalihan Na Tolu didalam masyarakat Batak Toba. TO Ihromi mendefinisikan sebagai sebuah sistem perbesanan, dimana ada keluarga pemberi wanita (wife

(15)

melainkan juga mengandung unsur parental dimana garis keturunan ditarik dari pihak ayah dan ibu.

Meski pun begitu, jika dilihat dari sisi pembagian hak waris, maka kedudukan perempuan pada masyarakat Karo sangat dimarjinalkan dan tersubordinasi. Penelitian Tesis Mberguh Sembiring menyimpulkan bahwa meskipun asasnya pada susunan masyarakat Karo yang mempertahankan garis keturunan laki laki (patrilineal), anak perempuan hanya dapat memperoleh harta warisan dari orang tuanya dengan cara pemberian yang didasari oleh kasih sayang saja dan pemberian dimaksud tergantung kemampuan orang tua mereka. Hal ini menunjukkan tidak ada persamaan kedudukan antara anak laki laki dan perempuan.

Meskipun putusan Mahkamah Agung dalam kasus tersebut dengan jelas menyatakan bahwa anak perempuan dan anak laki laki dari seorang peninggal warisan bersama sama berhak atas harta warisan dalam arti bagian anak laki laki sama dengan anak perempuan, namun dalam sistem tata hukum, putusan tersebut hanya berlaku pada pihak yang menggugat dan tergugat, tidak bisa melawan sistem adat yang berlaku pada masyarakat Batak Karo5

Dalam mencari nilai-nilai luhur yang dapat mempersatukan manusia yang bersumber dari adat istiadat masyarakat Indonesia, bangsa Indonesia banyak mempunyai pilihan. Banyaknya pilihan ini dikarenakan bangsa Indonesia mempunyai banyak suku bangsa, dan tiap suku bangsa memiliki adatnya masing-masing. Di dalam adat ini banyak terkandung variabel-variabel pendukung adat

(16)

yang juga masing-masing mempunyai nilai. Nilai-nilai ini mendukung kelanggengan adat istiadat.

Salah satu variabel pendukung dan penggerak adat istiadat dalam masyarakat Karo adalah Rakut si telu. Nilai-nilai yang dominan yang terdapat di dalam Rakut si telu ini adalah nilai gotong royong dan kekerabatan. Secara etimologis Rakut si telu berarti "ikatan yang tiga". Rakut = ikatan, si = yang, telu = tiga. Realita ini menunjuk kepada fungsi ikatan yang mengikat tiga nilai dalam kehidupan masyarakat Karo. Namun ada pula yang mengartikannya Daliken si

telu (tungku yang tiga).

Namun ada pula yang mengartikannya sebagai sangkep nggeluh (kelengkapan hidup). Konsep ini tidak hanya dimiliki oleh suku Karo saja, tetapi juga dimiliki oleh suku Batak Toba dengan nama yang berbeda. Dalam Batak Toba dan Mandailing dikenal istilah dalihan na tolu, dalam masyarakat NTT dikenal lika telo (Wirateja, 1985).Unsur daliken si telu atau rakut si telu atau

sangkep nggeluh adalah kalimbubu (Karo) hula-hula (Toba) mora (Mandailing

dan Angkola) todong (Simalungun), sembuyak/senina (Karo) dongan sabutuha (Toba) kahanggi (Mandailing\dan Angkola) Sanina (Simalungun), dan anakberu (Karo) boru (Toba, Mandailing dan Angkola) anak boru (Simalungun). Daliken si

telu ini merupakan alat pemersatu masyarakat Karo, sekaligus dapat mengikat

atau terikat kepada hubungan perkerabatan yang sekaligus pula sebagai dasar gotong royong, dan saling hormat menghormati, maka di dalam segenap aspek kehidupan masyarakat Karo, Rakut si telu ini sangat berperan penting, dia merupakan dasar bagi sistem kekerabatan dan menjadi landasan untuk semua

(17)

kegiatan yang bertalian dengan pelaksanaan adat dan juga interaksi dengan sesama masyarakat Karo.

Hal ini maka setiap individu Karo terikat kepada Rakut si telu. Melalui

Rakut si telu semua masyarakat Karo saling berkerabat, kalau tidak berkerabat

karena hubungan darah, berkerabat karena hubungan klen. Jadi rakut si telu adalah landasan sistem kekerabatan dan menjadi landasan bagi semua kegiatan, khususnya kegiatan yang bertalian dengan pelaksanaan adat istiadat dan interaksi antar sesama masyarakat Karo. Rakut si telu ini didukung oleh tiga aktor yang dikenal dengan kalimbubu, sembuyak/senina, dan anakberu). Atau dengan bahasa lain, rakut si telu adalah suatu jaringan kerja sosial-budaya yang bersifat gotong royong dan kebersamaan yang terdapat pada masyarakat Karo.

Aspek sistem kekerabatan dalam rakut si telu dapat dilihat berdasarkan unsur pendukung rakut si telu itu yaitu kalimbubu, senina/sembuyak dan anakberu. Sebagai sistem kekerabatan, sifatnya terbuka. Kedudukan seseorang, sebagai anakberu, atau kalimbubu, atau senina sembuyak, bergantung kepada situasi dan kondisi.

Sistem kekerabatan seperti bersifat sangat demokratis. Berdasarkan fungsinya, kalimbubu dalam struktur rakut si telu adalah sebagai pemegang keadilan dan kehormatan, ini diumpamakan sebagai badan legislatif, pembuat undang-undang, atau sebagai dewan pertimbangan agung, yang siap memberikan saran kalau diminta. Saran yang diberikannya, walaupun dia dekat dengan salah seorang dari yang meminta saran, sarannya tetap bersifat obyektif konstruktif. Hal ini maka pihak kalimbubu disebut juga Dibata Ni Idah (Tuhan yang Kelihatan).

(18)

Senina atau sembuyak ini diumpamakan sebagai eksekutif, kekuasaan pemerintahan. Mereka bertanggungjawab kepada setiap upacara adat sembuyak sembuyaknya, baik ke dalam maupun keluar, dan bila perlu mengadop si anak yatim piatu dari saudara yang sesubklen. Mekanisme ini sesuai dengan konsep sembuyak, sama dengan seperut, sama dengan saudara kandung. Sesubklen sama dengan saudara kandung. Sedangkan anakberu diumpamakan sebagai badan yudikatif, kekuasaan peradilan. Hal ini maka anakberu disebut pula hakim moral, karena bila terjadi perselisihan dalam keluarga kalimbubunya, anakberu menjadi juru pendamai bagi perselisihan yang ada.

Kemudian dalam kehidupannya masyarakat Karo memiliki pegangan hidup yang disebut “Cikapen SiLima” (Lima Pegangan Hidup). Tentu saja terdapat berbagai variasi dari kampung ke kampung mengenai “Cikapen SiLima” ini di Tanah Karo. Namun, tujuannya tetap sama yaitu memberi pegangan hidup kepada sang anak atau anggota masyarakat. Salah satu variasi terebut adalah Tek

man Dibata (percaya pada Tuhan), Keteken (percaya pada diri sendiri), Kehamaten (sopan santun), Megenggeng (sabar), dan metenget (cermat/hati-hati).

Variasi yang lainnya adalah bujur, nggit nampati, merawa ibas sibujur,

megenggeng ibas nggeluh, ola relem-elem yang artinya jujur, mau menolong,

berani dalam benar, sabar/tabah, jangan mendendam (Bangun, 1994:hal 139). Masyarakat Karo percaya bahwa kelima marga/klan tersebut memiliki karakter yang berbeda-beda berdasarkan marganya. Sitepu (2006) dalam

“Biak-Biak Si Lima Marga” mendeskripsikan perbedaan karakter kelima marga tersebut

(19)

Karo-Karo pada umumnya adalah orang yang pintar dan sarjana pertama, tidak heran jika orang-orang berpendidikan tinggi awalnya berasal dari marga ini.

Kedua, Ginting (Jembua Ginting); Jamin Ginting merupakan salah satu tokoh yang menggambarkan marga ini. Ginting yang terkenal dengan keberaniannya dan jiwa pemimpinnya. Ketiga, Sembiring (Mejeret Sembiring); orang dengan marga Sembiring biasanya agak diplomat, tidak banyak bicara namun memiliki banyak ide yang berguna bagi orang lain. Keempat, Tarigan (Perbual Tarigan); Tarigan terkenal dengan kemampuannya dalam mengolah kata-kata, pandai berbicara dan ahli didalam bidang perekonomian. Kelima, Perangin-angin (Kecek Perangin-angin); marga Perangin-angin terkenal dengan kemampuannya untuk menghibur hati dengan perkataannya.

Demikian juga seperti yang sering dibicarakan dan dipercaya oleh masyarakat Karo yaitu sifat dan tabiat orang Karo disimbolkan dengan kelima jari tangan. Karo-Karo disimbolkan dengan ibu jari dengan sifatnya yang “top”, Ginting disimbolkan dengan jari telunjuk dengan sifatnya sebagai pemimpin, Tarigan yang disimbolkan dengan jari tengah dengan sifatnya yang bijaksana sebagai penengah, Sembiring yang disimbolkan dengan jari manis dengan sifatnya yang “jegir” ( orang yang sangat mementingkan penampilan) tetapi baik sebagai bendahara, dan Perangin-angin yang digambarkan dengan jari kelingking dengan sifatnya yang “metenget” (senang menilik, memperhatikan dengan saksama) (Tarigan, 1994: 124).

Gambar

Tabel 1 : Statistik Geografi Kecmatan Simpang Empat
Tabel 2. Luas Desa di Kecamatan Simpang Empat
Tabel 3. Statistik Pemerintahan Kecamatan Simpang Empat Tahun 2012

Referensi

Dokumen terkait

Dari hasil data pada tabel 3 ini dapat diketahui bahwa ketepatan waktu dalam mengikuti kegiatan program pembinaan dan pendidikan anak tunagrahita ini sudah

Lebih lanjut, muncul konsep gender socialization, dimana perempuan terikat dengan nilai dan norma yang dibangun di masyarakat, dan melalui PKK, keberadaannya muncul sebagai

Tujuan penelitian ini dilakukan adalah untuk menemukan bukti empiris apakah interaksi informasi sistem akuntansi manajemen dan gaya kepemimpinan dengan total

Pada hakekatnya SHU yang dibagi kepada anggota adalah yang bersumber dari anggota sendiri. Sedangkan SHU yang bukan berasal dari hasil transaksi dengan anggota

Populasi dalam penelitian ini adalah Perusahaan Pertambangan yang terdaftar di Bursa Efek Indonesia (BEI) pada periode tahun 2011-2015 dan dari Kementerian Lingkungan Hidup

Desain penelitian pada penelitian ini adalah jenis penelitian metode kuantitatif, penelitian metode kuantitatif dapat diartikan sebagai metode penelitian yang

Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah (1) studi pustaka berkaitan dengan pemeliharaan jalan rel, (2) pengumpulan data dari PT KAI Daerah operasi 2 Bandung, dan

Bambang Setyono, MT 1 Gatot Setyono, ST, MT.. 2 Gatot Setyono,