Tabel 1
Angka Partisipasi Jenjang Pendidikan Tinggi
Negara
11976/1977
; 1978/1979 j 1980/1981 \ 1982/1983 j 1983/1984
' i ——I i 1 Indonesia Filippina '. 24 27 ! 25 : 29 Thailand 5 13 20 i 22 Singapura ' 9 X ; ] | ; ] | M;i Malaysia Korea 14 i IX j 24 ; 26Rendahnya kualitas SDM Indonesia sangat tergantung pada bagaimana proses
pendidikan yang teiah dilakukan. Proses pendidikan yang diiakukan apakah sudah
berjalan sesuai dengan jalur yang teiah ditetapkan atau belum. Seorang peneliti tenaga
kerja AS, Marshal (Anwar, 1997) mengungkapkan bahwa,
tidak mungkin suam
bangsa memiliki tenaga kerja kelas dunia bila seperempat dari pelajarnya gagal
menyelesaikan pendidikan menengahnya.
Antisipasi yang hams dilakukan untuk memperkuat kualitas sumberdaya manusia
atau tenaga kerja Indonesia, paling sedikit ada tiga kemampuan yang harus dimiliki.
Pertama, kompetensi profesi, yaitu kemampuan dalam menguasai ilmu teknologi dan
keterampilan/ keahlian. Kedua, kompetensi sosial yaitu kemampuan penvesuaian din
untuk berperan dalam lingkungan kerja dan masyarakat, sehmgga mampu menjadi
motivator
dan
dinamisator.
Ketiga,
kemampuan
diri
yaitu
kemampuan
mengembangkan keterampilan, keahlian, mcmelihara iisik dan mental rohaniah
bersikap sesuai dengan nilai-nilai agama atau mungkin bcrtentangan dengan nilai
agama seperti menyontek.
Memperhatikan uraian tersebut dapat diambii suatu analisis bahwa seberapa jauh
pcngamalan agama yang dianul oieh scscorang sangal berpengaruh pada sikap apa
yang akan dimunculkannya kedepan, apakah benTioral atau tidak bermoral, apakah
sudah sesuai dengan aturan agama atau belum. Sikap membiarkan dan menganggap
biasa perilaku menyontek tersebut merupakan satu pertanda pada din seseorang,
bahwa motivasi beragama yang dimilikinya masih lemah,masih sekedar untuk
memanfaatkan agama agar mendapat status, bertahan melawan kenyataan atau
memberi sanksi pada suatu cara hidup, yang dikatakan oleh Allport dan Ross (1977)
sebagai orang yang berorientasi keagamaan (religius) yang ekstrinsik. Sebaliknya
orang yang tanggap terhadap perilaku tidak bermoral tersebut dengan memandang
penlaku tersebut bcrtentangan dengan agamanya mempunyai motivasi beragama yarm
sudah baik. Menurut Allport dan Ross (1977) individu yang disebut sebagai orang
yang memiliki orientasi keagamaan intrinsik adalah yang memandang agama
mengatur seluruh hidup seseorang atau individu yang bersangkutan berusaha utnuk
mengmternalisasikan dan mengikuti ajaran agamanya secara penuh.
Dan uraian diatas dapat dirumuskan permasalahan dalam penelitian ini yakni
benarkah terdapat hubungan antara orientasi religius dengan intensi menyontek pada
mahasiswa, seila rneiihat lebih jauh pecan vaciabe! ocieutasi religius yang becsil'ai
21
memahami inateri atau tidak, dan juga dosen tidak ambil pusing dengan perilaku anak
didiknya. Kcnyataan yang sermg dilihat dalam dunia kerja adalah banyaknya lowongan pekerjaan yang mencan sarjana yang mempunyai IP yang baik. Menurut Walker (2000), saiah satu alasan untuk menyontek adalah karena persaingan di pasar
kerja lebih mementingkan nilai (GPA), dimana tenaga kerja yang memiliki IP yang baik di pakai serta akan mcncapai sukses.
— Ada satu keingman untuk memperoleh nilai yang baik yakni berupa pengakuan dari pihak luar yang memperhatikan mereka. Pengakuan tersebut bisa berupa pujian alaupun bisa berupa hadiah barang yang tclah dijanjikan. Menurut Lobel & Levanon (1988) siswa dengan kebutuhan akan pengakuan yang tinggi, lebih sering menyontek bila dibandingkan dengan siswa yang kebutuhan akan pengakuannya rendah. Sementara itu Gibson (Sujana, 1993) menyatakan bahwa menyontek lebih sering dilakukan bila prestasi akademis bukan dipandang sebagai alat bantu bagi siswa untuk dapat membcrikan penghargaan terhadap dinnya sendiri, melainkan sebagai alat untuk memamerkan kemampuan superior yang diarahkan pada usaha untuk mandapatkan posisi yang bergengsi pada kelompok teman sebaya (peer group). ICembali Lobel dan Levanon (1998) menjelaskan bahwa siswa yang di beri janji akan mendapatkan hadiah'
yang dapat diraba berupa barang atau uang (tangible incentives) akan lebih banyak
menyontek dibandingkan dengan siswa yang diberi janji akan mendapatkan pujian, kepuasan dan terhindar dari ejekan yang disebut juga sebagai intangible incentives.
b. Ketakutan pada Kegagalan
Pitt (2001) dalam bukunya Educational Psychology Literature menjelaskan menyontek terjadi karena seseorang merasa ketakutan terhadap kegagalan terutama dialami oleh siswa yang kemampuannya dibawah teman-temannya. Pendapat senada
menyontek mcrupakan suatu hal yang bisa ditcrima dianlara teman-teman mereka
(Spiller dalam Gerdeman, ,999), dan bisa juga karena mereka >ng,n diakui diantara
teman-teman nya. (Harding, 2001).
il. Menyontek karena Kebiasaan
Menurut .eon freud ada yang dikcnal dengan Phu,s„K prinsiPl,, dimana scsuan,
vang menycnangkan itu akan ccnderung diulang, kembali. Seseorang yang berhasil
menyontek dan merasa tujuannya tercapai dengan perbuatan tersebut maka ada
kecenderungan untuk mengulang, lag, perbuatannya. Menurut Abriel (1999) ket.ka
melakukan survci terhadap mahasiswa ilmu pendidikan (IK1P) menemukan bahwa,
mereka yang menjad, calon guru tersebut ditcmukan menyontek dengan alasan sudah
menjadi kebiasaan. Tentunya kebiasaan tersebut kebiasaan yang pernah mereka
lakukan pada pendidikan sebelumnya. Kemungkinan untuk teruiang kembali perbuatan
•crsebu.
bisa dikatakan cukup besar. Pada tahun 1964 Rower (Harding
2001).mCncmukan bahwa 64 persen dan siswa menyontek d. sekolah juga menyontek
di perguruan tinggi dan 67 persen yang tidak menyontek disekolah tidak menyontek d,
perguruan tinggi.e.
Soal Ujian Susan dan Alasan lain.
Soal ujian yang ujian terlalu sukar membuat siswa terpancing untuk menyontek,
apalagi bila waktu yang di sed.akan terbatas, jumlah kredit mata kuliah yang besar,
dan bahan ujian yang terlalu banyak dapat mempengaruhi seseorang untuk menyontek.
Newstead dkk (1996) menemukan bahwa seseorang banyak melakukan penlaku
menyontek karena
terbatasnya waktu yang discdiakan bagi mereka kctika
mengerjakan ujian. Arlina (1999) menambahkan, menyontek terjadi karena susahnya
pcrempuan dengan proporsi 45 persen laki-laki dan 37 persen pcrempuan Anak pcrempuan menyontek terutama karena tidak cukupnya waktu untuk belajar dan tekanan yang berasal dari teman-teman mereka, sementara itu siswa laki-laki menyontek karena alasan tidak cukupnya waktu untuk belajar, memenuhi tuntutan syarat kelulusan dari sckolah, memuaskan harapan orang tua, serta untuk menyenangkan hati instruktur atau dosen (Gindcr dalam Sujana, 1993). Lain halnya dengan Kaiavik (Lobel & Levanon, 1988) menurutnya anak laki laki lebih mengharapkan sukses daiam tugas akademik daripada anak perempuan dan kalaupun menyontek itu disebabkan karena takul pada kegagalan Wanita lebih banyak menyontek karena keinginan untuk membantu temannya (Caiabrese & Cochran, dalam Newstead dkk, 1996). Ivlunculnya perbedaan tersebut kemungkinan disebabkan adanya perlakuan lingkungan dan tuntutan peran berbeda antara laki-laki dan pcrempuan yang tampak dalam masyarakat, sehingga mcmunculkan slereotip sosial sebagai penentu bagaimana laki-laki dan pcrempuan bcrtindak (Rais dalam Dcwi, 2000). Karena itulah laki-laki cenderung menunjukkan identitasnya melalui kenaikan prestasi (Hudgson dan Fisher dalam Dewi, 2000). Adanya perbedaan kecenderungan menyontek antara laki-laki dan pcrempuan scpecii tersebut diatas lerjadi karena iakta mcnunjukkan bahwa pcrempuan memiliki tanggung jawab moral yang lebih besar daripada laki-laki seandainya melakukan perbuatan menyontek (Thomas dalam
Newstead dkk, 1996). ^
b. limur
Tidak cukup hanya dengan perbedaan jcms kclamin yang mampu mempengaruhi
seseorang dalam menyontek, umurpun juga demikian. Beberapa hasil penelitian menemukan bahwa siswa berumur diatas 25 tahun lebih jarang menyontek daripada
menjelaskan bahwa orang yang memdik, mlcligens, t.ngg, akan mampu
menycicsaikan masalah-masalahnya ataupun mcnghadapi masalah-masalah yang akan
dihadap.nya. Seseorang yang mempunyai mteligensi yang baik tentunva mampu
menemukan solus, dan jalan keluar dan masalahnya. Monks dan Fergusson, (1983),
menemukan bahwa orang yang memiliki mteligensi tmgg, menunjukkan kepercayaan
din yang lebih besar, lebih mandin, ambisius, tckun, keccmasan yang rendah, serta
lebih senang meraih sesuatu yang diinginkan dengan memanfaatkan cara-cara yang
mencerminkan adanya kemandinan daripada cara-cara yang mengandalkan pada
ketcrgantungan, konrormitas, atau saluran sosial Menurut penelitian yang dilakukan
oleh Shaffer dkk (Sujana, 1993) Menunjukkan bahwa 21 persen dan kelompok siswa
dengan taraf mteligensi tinggi menyontek, sedangkan dan kelompok siswa dengan
taraf mteligensi sedang dan rendah masing- masing 42 persen dan 82 persen. Hasil
penelitian tersebut membenkan gambaran bahwa inleligensi berpengaruh terhadap
kcinginan seseorang untuk menyontek. Siswa yang memiliki mteligensi tmgg,
tentunva tidak akan mengambil jalan pmtas dengan cara menyontek ketika
menemukan permasalahan ketika ujian, lam halnya dengan siswa yang memiliki
mteligensi sedang atau pun dibawah rata- rata.
i". Motivasi
Menurut Gerugan, (1991) motivasi atau motiv adalah suatu pcngcrtian yang
melmgkupi scmua penggcrak alasan-alasan atau dorongan-dorongan dalam dm
manusia yang menyebabkan la berbuat sesuatu. Seseorang yang mempunyai motivasi
yang tinggi lebih menyukai menyontek daripada motivasi yang rendah. (Malinowski
berjaian dengan baik akhirnya menyontek akan scmakm meningkai mmiaimva Fimgsi
pcraturan yang dijaiankan sesuai dengan kctctapannya mempunyai pcran cukup besar
untuk mengurangi perilaku tidak jujur dalam akademik, dan itu sudah di gunakan
hampir semua lembaga pendidikan. Penelitian yang dilakukan Aoron (Gerdeman, 2000) menemukan bahwa lebih dari 90 °'c siswa dalam sampel nasionai memiiiki kebijakan dan hampir 98 % memiliki proscdur berkaitan dengan tingkah laku menyimpang pada siswa. Hasil survei tersebut dapat suatu cerminan betapa pentingnva peratit ran untuk mengurangi penlaku tidak jujur atau menyimpang dalam akademis, dan ini di dukung oleh penelitian yang dilakukan oleh Me Cabc & Drinan (1999! bahwa 7 dan 14 siswa angkatan 95-96 yang di survey mengakui menyontek dalam ujian pada sekolah yang ada peraturan dan I dari 6 siswa menvontek pada sekolah ianpa peraturan.
Ikltm akademik lechadap pcralucan vang di tccuna/lidak oleh siswa penimg sebagai f'aktor srtuasi {Harding, 200]), Ada bebcrana penelitian pcrcaya bahwa iklim dan peraturan sangat penting untuk mengikis penyontek, dimana penyontek biasanva menganggap rem eh hukuman, staf pengajar membertkan perhauan vang kuratig iechadap ketidakjujuran dalam akademik (Mc Cabe dan Drinan, 1999)
h. Tekanan dari iingkungan
Keputusan untuk menyontek juga dipengaruhi oleh kondisi psikologis vang sedang dialami oleh seseorang. Seseorang yang merasa dirinya tenekan di saai uuan akan iebih besar kecenderungau mereka untuk menyontek, Ada dua kalegoci besar
yang mencntukan munculnya penlaku menyontek yaitu situasi dan watak. stress dan tekanan menempati posisi paling banyak Davis, Grover, Becker dan Me Gregor (Case
berpikir bahwa la tidak memiliki agama dan menganggap cinta dan kepentingannya
adalah sesuatu yang nyata-nyata tidak bersiiat religius, sepcrti kekuasaan,
kemakmuran dan kebahagiaan, sebagai tanda-tanda dari ketertarikanya pada peristiwa
penstiwa praktis dan sesuai dengan kesempatan-kesempatan yang dipunyainya.
Masalahnyabukan pada seseorang menganut agama atau tidak menganut suatu agama,
melamkan agama apakah yang dia praktekan.
Pemikiran tersebut menjelaskan bahwa semua orang membutuhkan agama,
agama apa saja baik itu Islam, Kristen, Budha , Hindu dan masih banyak lagi yang lain
scperti batu, pohon dan patung. Permasalahanya sekarang bukan pada jenis agama
apa yang akan dianut oleh seseorang sebagai implementasi kepercayaan pada tuhan,
akan tetapi permasalahannya adalah apakah seseorang tersebut sudah memprektekkan
agamanya atau belum.Orientasi religius atau keagamaan yang dimiliki seseorang merupakan cerminan
pada din manusia akan keterbatasan kemampuan yang dimilikinya untuk benntcraksi
dengan alam sekitar. Manusia menyadari akan segala macam bentuk keterbatasannya
dalam menghadapi cobaan dan musibah-musibah hidup, untuk itu manusia
membutuhkan agama. Freud ( Distcr, 1992) menambahkan salah satu yang memotivast
seseorang ntuk memeluk suatu agama adalah karena kemgman untuk mengatasi
trustrasi yang disebabkan oleh kesusahan jasmant.
Selain dorongan kebutuhan
tersebut, ada sisi lain yang perlu di perhatikan yakni naluri beragama atau nalun
keagamaan yaitu merupakan suatu dorongan dtdalam diri manuisa untuk mangakui
adanya suatu zat yang adikodrati (supernatuaral) Jalaluddin (1998). Manusia
dimanapun berada dan bagaimanapun mereka hidup, baik secara kelompok atau
43
ietapi hams di lihat dan di ukur secara menyeluruh dan berbagai aspek. Menurut
Allport (Rakhmat, 1994) religiusitas harus diukur dengan Comprehensive Comitment
yang menyeluruh dalam seluruh ajaran agama. Seorang muslim yang sering
melakukan sholat kemesjid belum dapat dikatakan bahwa orang tersebut mempunyai
orientasi keagamaan yang baik. Boleh jadi seseorang sering datang kemesjid karena
ada maksud lain, bukan semata-mata benbadah scperti datang kemesjid untuk
mendapat penghargaan dan orang lam supaya dikatakan orang ahm, dan mungkin
dalam rangka memperoleh banyak kenalan sehingga bisa memasarkan barang
dagangannya dengan mudah.Orientasi keagamaan (orientasi religius) yang dimiliki oleh seseorang dapat
diketahui dengan melihat motivasi dan visi psikologis yang melatarbelakangi
seseorang untuk taat menjalankan ajaran agamanya.
Bisa jadi seseorang taat
menjalankan agamanya karena ada satu motivasi untuk mencart perhatian calon
mertua, agar dipandang sebagai anak yang baik-baik, dan ada yang taat menjalankan
ajaran agamanya karena semata- mata termotivasi untuk mendapatkan keemtaan dan
tuhannya. Menurut Allport dan Ross (1977) orientasi religius pada din seseorang dapat
dibagi menjadi dua kutub, yaitu kutub Intrinsik dan ekstrinsik. Individu yang
termotivasi secara intrinsik akan 'menghidupi agamanya' dan sebaliknya individu
yang termotivasi ekstrinsik maka ta akan 'memanfaatkan agamanya'. Orientasi
keagamaan ekstrinsik cenderung memanfaatkan agama demi kepentingan sendiri.
Isttlah tersebut diambtl alih dari aksiologi untuk menunjukkan suatu kepentingan yang
dilakukan semata-mata demi melayani kepentmgan-kepentingan lam, yang bagi
individu itu bersifat lebih pokok. Individu yang menganut orientasi keagamaan
Kedua, Unselfish Vs Selfish berusaha mentranscndensikan
kcbutuhan-kebutuhan yang terpusat kepada diri sendin vs pemuasan diri scndin, pemanfaatan
protektif untuk kepentingan pnbadi.
Ketiga,
Relevansi
terhadap
keseluruhan
kepribadian
memenuhi
kchidupannya dengan memotivasi dan makna religius vs tcrpilahkan atau tidak
terintegrasikan kedalam kcseluruahn pendangan hidupnya.
Keempat, Kepenuhan penghayatan keyakinan: benman dengan
sungguh-sungguh dan menerima keyakinan agamanya secara penuh tampa syarat vs iman dan
kcpcrcayaan dihayati secara dangkal, keyakinan dan ajaran agama tidak dihayati
secara penuhKehma, Pokok dan instrumental : keyakinan agama sebagai tujuan akhir vs
keyakinan agama sebagai sarana (intrinsik vs eksrinsik secara aksiologis).
Keenam, Assosiasioital. vs komunal, kcterlibatan religius demi penearian nilai
religius yang lebih dalam vs affihasi demi sosiabilitas dan status.
Ketujuh, Keteraturan penjagaan perkembangan iman ; penjagaan iman yang
konsisten dan teratur vs ketidakteraturan penjagaan perkembangan iman atau perhatian
terhadap perkembangan iman yang bersilat pen feral.
Penjelasan ketujuh aspek orientasi keagamaan tersebut, dapat diambil sebuah
kesimpulan bahwa, individu yang memiliki orientasi keagamaan intrinsik akan
memandang agama dengan persepektif yang bersifat personal, unselfish, maknawi,
penuh penghayatan, pokok •a.ssosiasional,
serta mengusahakan imannya secara
konsistcn. Individu yang berorientasi mstrinsik akan menghavati dan merealisasikan
dalam wujud tmgkah laku ajaran-ajaran agama yang dipahaminya secara
49
perbuatan yang tidak bermoral bertentangan dengan ajaran agama tidak akan ada
kcraguan untuk bersikap antipati dan menolak.
Memperhatikan uraian tersebut, peran agama berperan cukup besar terhadap
munculnya penlaku tidak bennoral, karena sinergisitas antara moral dan agama
seolah-olah tidak dapat dipisahkan. Pada penelitian ini akan melihat hubungan antara
orientasi religius yang dimiliki oleh seseorang dengan intensi menyontek. Allport dan
Ross (1977) membagi orientasi religius tersebut menjadi dua bagian, yaitu orientasi
religius yang bersifat intrinsik dan orientasi religius yang bersifat ekstrinsik. Orientasi
keagamaan yang ekstrinsik cenderung memanfaatkan agamanya untuk kepentingan
sendiri, scperti untuk mempcroleh rasa aman, penghiburan, pembenahan din, untuk
memperbaiki status dan agar lebih percaya din. Sementara itu yang bersifat intrinsik
adalah seseorang yang mengikuti ajaran agamanya dengan motivasi untuk menghidupt
agamanya (Nashori, 1998). Mereka memandang segala macam bentuk kebutuhan tidak
mempunyai arti apa-apa bila tidak di mtegrasikan dalam keyakinan beragama, dengan
kata lam nilai-mlai agama terinternalisasi didalam kehidupannya. Ajaran agama
cenderung diamalkan sesuai dengan ketentuan, aturan dan kewajiban-kewajiban yang
telah di tetapkan, sehingga mempunyai akhlak, moral dan kepribadian yang sesuai
dengan ajaran agamanya.
Intensi menyontek merupakan mat yang bersifat subjektif pada din seseorang
teraiasuk sikap dan norma-nomia subjektif yang dimilikinya terhadap penlaku
menyontek. Seseorang yang mempunyai intensi menyontek akan cenderung
memandang menyontek merupakan hal yang biasa dan akan bersikap membiarkan
temannva melakukan perbuatan tersebut, dan teraiasuk dirmya sendiri. Menyontek
merupakan satu perbuatan yang tidak jujur, bohong, menipu yang nilai-mlai
BAB HI
METODE PENELITIAN
A. Identifikasi Variahel Penelitian
Bcrdasarkan dengan hipolcsis yang diajukan sebclumnya, maka penelitian mi
mempunyai tiga vanabel yang terdiri dari :
Vanabel Bebas
:Orientasi Religius
Variabel Tcrgantung
: Intensi Menyontek
Vanabel Sertaan : jcnis Kelamin
B- ftefinisi Onetasional Variahel Penelitian
Orientasi religius adalah kecenderungan yang muncul dan din seseorang dengan
memandang religi (agama) sebagai satu bentuk pcngabd.an, ketaatan yang besar
terhadap tuhannya secara menyeluruh, yang dibuktikan dengan penlaku yang sesuai
dengan ajaran-ajaran agama. Penelitian mi lebih memfokuskan pada orientasi religius
intrinsik sebagai variabel penelitian dengan menjadikan agama Islam sebagai objek
ICIltl.
Intensi menyontek merupakan mat yang bersifat subjektif pada din seseorang
termasuk sikap dan norma-norma subjektif yang dimilikinya terhadap penlaku
menyontek.
Jems kelamin diartikan sebagai suatu kategon tentang laki-laki dan pcrempuan
yang berdasarkan pada organ genital, organ internal dan kromosom. Vanabel
58
42 butir aitem pemyataan yang
terdiri dari 22 attcm favorable dan 20 aitem
unfavorable.
b. Skala Intensi Menyontek
Skala kedua pada penelitian ini menggunakan Skala Intensi menyontek. Alat ini
bcrfungsi untuk melihat seberapa besar intensi menyontek pada din seseorang.
Aspck-aspek yang di ukur dalam intensi menyontek mi berdasarkan pada kntena menyontek
yang terdapat dalam Klibler, 1998 ; Student Academic Dishonesty, 1999 dan UMC
Student Conduct, 1999 yang diambil delapan aspek yang sesuai dengan
kondisi
populasi penelitian. Skala mi terdiri dan 35 butir pemyataan yang harus di jawab oleh
subjek dalam penelitian ini.
3. Uji Preliminir Alat Ukur
Pada skala intensi menyontek sebelum di uji cobakan kepada sejumlah subjek
penelitian, penehti melakukan uji preliminir untuk mengetahui sejauhmana
aitem-aitem yang terdapat dalam skala sudah bisa dimengerti oleh subjek penelitian. Uji
preliminir ini dilakukan sebanyak dua kali. Pertama dilakukan pada tanggal 6 Mei
2002 terhadap tiga orang mahasiswi Fakultas Psikologi angkatan 2000 dan yang kedua
terhadap tiga orang mahasiswa angkatan 2000 yaitu Fakultas Tekmk Manajemen
Industri, Fakultas Teknik Sipil dan Fakultas Teknik lnformatika tanggal 8 Mei 2002.
Jumlah aitem mengalami pengurangan dan perbatkan dari 78 aitem di buang sebanyak
30 aitem, sehingga menjadi 48 aitem yang layak di sajikan untuk uji coba alat ukur.
Pada skala yang kedua untuk variabel orientasi religius tidak dilakukan uji
preliminir terlebih dahulu, niengingat alat sudah dipandang cukup valid yang telah
Uji coba yang telah dilakukan terhadap skala intensi menyontek mcnghasilkan
35 aitem yang layak di gunakan untuk mengambil data sesungguhnya. Skala yang
berjumlah 35 aitem ini memiliki koefisien kerelasi aitem total 0,2505 - 06560 dengan
koefisien alfa sebesar 0,9102.
Pada skala orientasi religius yang semula berjumlah 42 butir aitem, setelah di uji
cobakan kembali di peroleh 25 butir aitem yang layak di gunakan untuk mengambil
data. Koefisien korelasi aitem total yang di peroleh bergerak dari 0,2552 - 0,6487
dengan koefisien alfa 0,8467. Setelah uji coba dan dilanjutkan dengan selcksi aitem,
diperoleh sebaran aitem sebagaimana yang tercantiun dalam tabel 5. Mencermati isi
tabel untuk skala orientasi religius pada aspek unselfish dan assosiasional
masmg-masing nya hanya terdapat dua aitem yang layak untuk digunakan dalam pengambilan
data dan dipandang belum mewakili untuk mengungkap aspek tersebut. Agar kedua
aspek tersebut bisa terungkap dengan lebih baik, peneliti menambahkan satu aitem
pada masing-masmg aspek disaat pengambilan data, sehingga jumlah aitem menjadi
27 butir. Dua aitem tambahan diambii dari aitem pada aspek tersebut yang gugur
disaat uji coba, dan kemudian digunakan lagi setelah dilakukan perbaikan kalimat pada
label 6
Distribusi Pengambilan Data Penelitian
NO FAKULTAS
1 i
PRIA
jVVANITA
JUMLAH1 Ekonomi 9 12 14~' 21 28 2 Hukum 3 T. fndustri 15 15 30 4 Kedokteran 12 11 33 5 Psikologi j ]5 i J5 30 I 6 MlPA i 16 j 12 ! 28 : 7 | 1 F.TSP J 17 | 14 31 | S | F. IAI 1 15 ! 14 ! 29 |
JUMLAH ANGKET TERKUMPUL 219 1
64
Setelah terkumpul sejumlah 219 angket yang berasal dari setiap fakultas di
peroleh deskripsi data penelitian yang dapat dilihat pada tabel 6 deskripsi data
penelitian. Pada data tersebut di sebutkan mengenai fungsi-fungsi statistik secara
mendasar. Setiap variabel pada intensi menyontek dan orientasi religius
secara
iengkap dapat dilihat pada uraian berikut ini.
Tabel 7
Deskripsi Subjek Penelitian
SkorXEmpirik
|
Skor X Hipotetik
X Max X Min Mean SD X Max j X Min I Mean SD
! ORE i 99 73,9635 9,7302 108 54 I 18
pantas. Penelitan di Indonesia pernah dilakukan di Univcrsitas l.ampung tetapi tidak
mcnyebutkan perbedaan laki-laki dan pcrempuan, dan penelitian di Univcrsitas Islam Indonesia ditemukan bahwa intensi menyontek pada mahasiswa laki-laki lebih tinggi dibandingkan dengan mahasiswa perempuan.( Teknokra).
Pada analisis tambahan diperoleh hasil bahwa adanya perbedaan intensi menyontek antara fakultas Fakultas Ilmu Agama Islam dengan Fakultas Teknik Sipil,
Teknologi Industri dan Ekonomi, dan juga tidak terdapat perbedaan intensi menyontek antara Fakultas Ilmu Agama Islam dengan Fakultas Psikologi, Hukum, MlPA dan Kedokteran. Hasil penelitian ini menunjukkan ternyata peran agama sangat penting untuk menurunkan intensi menyontek, terbukti dengan fakultas Ilmu Agama Islam yang banyak mempelajari Islam mempunyai intensi menyontek yang rendah dibandingkan fakultas yang lain. Hal ini di lihat dari rerata mean 21,000. Penelitian
terhadap 6000 mahasiswa dari 31 sekolah dan universitas ditemukan bahwa
mahasiswa teknik dan ekonomi bisnis menduduki rating paling tinggi (Mc Cabc
dalam Niels, 2000). Menuait (Bower dalam Newstead dkk, 1996) Ekonomi bisnis dan
teknik menduduki paling tinggi, kemudian disusul ilmu pendidikan, ilmu sosial, ilmu alatn tingkatan menengah serta ilmu humaniora dan scni mendudukui paling rendah.
Tinggmya angka menyontek pada Fakultas teknik dan Fakultas ekonomi karena
kemungkinan mereka belajar karena tujuannya untuk mendapatkan nilai yang baik, sementara itu untuk Fakultas seni dan humaniora mereka belajar memang tujuannya untuk belajar menambah ilmu pengetahuan bukan pada nilai akhir saja. Pada variabel
orientasi religius, tidak ditemukannya perbedaan berdasarkan pada delapan Fakultas yang terdapat di lingkungan UII, artmya kedelapan fakultas di UII mempunyai tingkat