• Tidak ada hasil yang ditemukan

Kerajaan Banjar atau Kerajaan Islam Banjar adalah sebuah. Dede Hidayatullah. Peran Kerajaan Banjar dalam Penulisan Naskah di Tanah Banjar

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "Kerajaan Banjar atau Kerajaan Islam Banjar adalah sebuah. Dede Hidayatullah. Peran Kerajaan Banjar dalam Penulisan Naskah di Tanah Banjar"

Copied!
18
0
0

Teks penuh

(1)
(2)

163

Peran Kerajaan Banjar dalam Penulisan Naskah

di Tanah Banjar

Abstrak: Di masa lalu karya-karya naskah lama yang dihasilkan dari

Tanah Banjar relatif cukup banyak. Karya-karya itu terutama ditulis oleh ulama-ulama Islam yang cukup terkemuka, seperti Syeikh Ahmad Syamsuddin al-Banjari yang menulis Asal Kejadian Nur Muhammad dan Tuhfah ar-Ragibin fî Bayan Haqiqah Iman al-Mu’minin wa Ma Yufsiduhu min Riddah al-Murtaddin, serta Syekh Muhammad Na s (Datu Na s) yang menulis Al Durr an Na s Bayan Wahdat al-Af ’al wa al-Asma’ wa as-Sifat wa al Zat, Zat al Taqdis. Namun, bagaimana sebenarnya peran Kerajaan Banjar dalam upaya mendukung penulisan naskah-naskah di Kalimantan Selatan? Artikel ini fokus pada upaya untuk menguraikan hal tersebut, yang secara umum bisa dibagi menjadi dua kategori. Pertama, peranan secara tidak langsung, dan kedua, peranan secara langsung.

Kata kunci: Kerajaan Banjar, naskah, sejarah. Sekilas Tentang Kerajaan Banjar

K

erajaan Banjar atau Kerajaan Islam Banjar adalah sebuah kerajaan yang berada di daerah Kalimantan Selatan. Cikal bakal kerajaan Islam Banjar ini menurut Hikajat Bandjar (diterbitkan oleh Ras, 1968 dalam Alfani Daud, 1997: 26--27) bermula dari kedatangan rombongan imigran dari Keling, India (menurut versi lain Keling adalah kerajaan Kalingga di Jawa Timur), yang mencari tanah air baru di kawasan ini. Empu Jatmika, pimpinan rombongan imigran ini, dirajakan di negeri Negaradipa, yang terletak di sekitar Candi Agung di Amuntai (Kabupaten Hulu Sungai Utara sekarang). Ketika maharaja akan meninggal, ia berwasiat kepada anak-anaknya agar tidak mengaku sebagai raja, melainkan berusaha untuk mendapatkan raja dengan balampah (bertapa). Salah seorang anaknya, yaitu Lambung

(3)

164

Mangkurat berhasil menemukan seeorang puteri yang muncul dari buih, yang dinamakan puteri Junjung Buih. Kemudian Puteri Junjung Buih ini kawin dengan Raden Putera (diberi gelar Pangeran Suryanata) anak raja Majapahit dari hasil pertapaan. Pangeran Suryanata dan Puteri Junjung Buih mempunyai dua orang putera, yaitu Raden Suryagangga Wangsa dan Raden Suryawangsa. Wilayah kerjaan Negaradipa pada waktu diperintah oleh Pangeran Suryanata dan Puteri Junjung Buih meliputi Sukadana, Sanggau; Batang Lawai, Karasikan, Kotawaringin, Pasir, Kutai, dan Berau. (Said, 2011: 4-5)

Setelah Pangeran Suryanata dan Puteri Junjung Buih mangkat, kerajaan Negaradipa diperintah oleh Maharaja Surya Gangga Wangsa. Setelah Maharaja Surya Gangga Wangsa dia digantikan oleh cucunya Raden Tjarang Lalean, hasil perkawinan anaknya Puteri Kalarang Sari dengan saudaranya Raden Surya Wangsa.

Raja selanjutnya adalah Maharaja Raden Sari Kaburangan. Dalam masa pemerintahannya kerajaan dipindahkan ke Muara Ulak dan kerajaannya bernama Negaradaha. Pada masa ini Patih Lambung Mangkurat wafat. Patih Lambung Mangkurat menjabat sebagai patih sejak Raja pertama Pangeran Suryanata. Pengganti Patih Lambung Mangkurat adalah Arya Taranggana.

Ketika Maharaja Raden Sari Kaburangan wafat, Raden Sukarama, anaknya kemudian dinobatkan menjadi Maharaja. Ia mempunyai empat orang anak dan seorang puteri, yaitu Raden Paksi, Raden Panjang, Raden Bali, dan Raden Mambang serta puteri Galuh, yang setelah dewasa masing-masing bergelar Pangeran Mangkubumi, Pangeran Temanggung, Pangeran Begalung, dan Pangeran Jayadewa. Puteri Galuh kawin dengan Raden Menteri Jaya dan dikarunia seorang putera bernama Raden Samudera.

Sebelum wafat, Maharaja berwasiat bahwa yang akan menggantikannya sebagai Raja di kerajaan Negaradaha adalah sang cucu, yaitu Raden Samudera. Putera-putera Maharaja lainnya tidak senang. Raden Samudera sebagai kandidat raja dalam wasiat Sukarama terancam keselamatannya, tetapi berkat pertolongan Arya Taranggana, mangkubumi kerajaan, ia berhasil lolos ke hilir sungai Barito, kemudian ia dijemput oleh Patih Masih (Kepala Kampung Banjarmasih) dan dijadikan raja Banjarmasih sebagai upaya melepaskan diri dari Kerajaan Negara Daha, dengan mendirikan bandar perdagangan sendiri dan tidak mau lagi membayar upeti. Kemudian terjadilah peperangan

(4)

165

antara kerjaan baru ini dengan kerajaan Negaradaha yang saat itu

dikuasai oleh Pangeran Tumenggung, raja terakhir Kerajaan Negara Daha (tahta kerajaan Negara Daha dikuasai Pangeran Temanggung setelah membunuh Pangeran Mangkubumi yang menjabat sebagai Raja Kerajaan Negaradaha. Pangeran Samudera, atas saran dari Patih Masih, meminta bantuan kepada kerajaan Islam Demak yang pada waktu itu rajanya adalah Sultan Trenggono. Demak setuju memberi bantuan dengan syarat Pangeran Samudera bersedia memeluk ajaran Islam dan kerajaannya menjadi kerajaan Islam. Syarat tersebut disetujui oleh pangeran Samudera, dikirimlah 1000 pasukan Islam dari Demak beserta seorang penghulu bernama Chatib Dayan. Pangeran Tumenggung akhirnya menyerahkan kerajaan kepada keponakannya Pangeran Samudera, Raja dari Banjarmasin (Zaidan, 2008: 108—111). Dengan berakhirnya peperangan antara Pangeran Samudera dengan pamannya Pangeran Temanggung. sejak itulah titik awal berdirinya kerajaan Banjar dengan raja yang pertama Pangeran Samudera dengan gelar Sultan Suriansyah. Pemerintahan kerajaan Banjar ini berpusat di Kuin. Dan rumah Patih Masih menjadi tempat pemerintahan resmi atau keraton.

Kerajaan Islam Banjar

Sultan Suriansyah merupakan sultan pertama kerajaan Islam Banjar. Dalam pemerintahannya Sultan Suriansyah menjadikan Mangkubumi sebagai jabatan tertinggi dalam pemerintahan yang berwenang mengatur masalah administrasi pemerintahan kerajaan. Mangkubumi dibantu oleh empat orang deputi, yaitu Pangiwa, Panganan, Gumpiran, dan Panumping. Selain itu, Sultan Suriansyah juga mengangkat seorang Menteri Besar yang bertugas sebagai duta besar dan Menteri Bandar sebagai Kepala Bea Cukai. (Abu Daudi, 2003: 15). Setelah hampir 19 tahun memimpin Kerajaan Banjar sebagai sultan yang pertama, Sultan Suriansyah mangkat dan digantikan oleh puteranya yang bernama Rahmatullah.

Sultan Rahmatullah memimpin kerajaan Banjar selama 25 tahun (1545—1570), Sultan ini meneruskan cara pemerintahan yang telah dibentuk dan dijalankan oleh ayahnya Sultan Suriansyah.

Penerusnya adalah Sultan Hidayatullah bin Sultan Rahmatullah. Sultan Hidayatullah amat keras dalam menjalankan pemerintahannya, terutama berhubungan dengan ajaran Islam. Ia menjalankan

(5)

166

pemerintahannya berdasarkan hukum Islam. Sultan Hidayatullah ini memimpin kerajaan Banjar selama 25 tahun (1570—1595M).

Sultan Mustain Billah adalah Sultan selanjutnya yang memerintah kerajaan Islam Banjar. Pemerintahan yang dipegang oleh Sultan Mustain Billah ini berlangsung sangat ketat, terutama dalam penerapan hukum Islam. Sultan Mustain Billah menyempurnakan struktur yang telah dibuat oleh Sultan Suriansyah dengan melibatkan pemuka agama yang mempunyai jabatan dalam pemerintahan kerajaannya. Penyempurnaan struktur pemerintahan yang dilakukan oleh Mustain Billah ini antara lain menambahkan fungsi kerajaan yang bertugas dalam masalah agama dan sosial kemasyarakatan, misalnya Tuan Penghulu, Tuan Khalifah, Khatib, Dipati, para priyayi (bubuhan Pagustian). (Abu Daudi, 2003: 17)

Pada masa ini, pusat pemerintahan berpindah-pindah ke Pemakuan (Sungai Tabuk sekarang), lalu pindah lagi ke Muara Tambangan, berpindah lagi ke Batang Banyu, dan akhirnya pindah ke kayu Tangi Martapura. Sultan Mustain Billah ini juga memimpin kerajaan Banjar selama 25 tahun (1595—1620M).

Pangeran Dipati Tuha [ke-1] atau Sultan Inayatullah bin Mustain Billah adalah Sultan selanjutnya. Pemerintahannya dibantu adiknya sebagai mangkubumi. Pusat pemerintahannya di Martapura. Gelar lain, yaitu Ratu Agung/Ratu Lama. Sultan ini dimakamkan di Kampung Keraton Martapura. Adiknya, Pangeran Dipati Anta Kasuma diangkat menjadi raja muda di wilayah sebelah barat yang disebut Kotawaringin.

Sultan Saidullah (Ratu Anom) bin Sultan Inayatullah memegang pemerintahan menggantikan ayahnya Inayatullah pada tahun 1637— 1642 M. Pemerintahannya banyak dilaksanakan oleh wazir bersama-sama patih penggawa, karena Sultan Saidullah lebih suka beribadah. Adipati Khalid yang merupakan saudara Sultan Saidullah menjabat sebagai Mangkubumi.

Sultan Tahilullah/Amirullah Bagus Kasuma adalah Sultan selanjutanya yang menggantikan ayahnya, Sultan Saidullah Pada masa awal pemerintahannya 1660—1663 M, pelakasana pemerintahannya dilakukan oleh Adipati Khalid, pamannya. Hal ini karena Amirullah Bagus Kasuma belum dewasa. Kemudian pada tahun 1663 M kekuasaan direbut oleh pamannya yang lain, yang bernama Pangeran Surianata atau Pangeran Adipati Anum. Pangeran Surianata ini bergelar Sultan Agung. Dia memindahkan pusat kerajaan ke sungai pangeran di Banjarmasin.

(6)

167

Amirullah Bagus Kasuma melarikan diri ke Alai Birayang, sementara pemerintahan di Martapura di pegang kembali oleh Mangkubumi. Dengan demikian pada saat itu (1663—1666 M) kerajaan Banjar terpecah menjadi dua, yaitu kerajaan Banjar yang pusat kerajaannya di Banjarmasin dibawah Sultan Agung, dan kerajaan Banjar di Martapura yang dipegang oleh Mangkubumi.

Amirullah Bagus Kasuma yang melarikan diri ke Alai Birayang menyusun kekuatan, dan menyerang kerajaan yang dipusatkan di Banjarmasin untuk merebut kekuasaan dari tangan pamannnya Sultan Agung. Penyerangan itu berhasil, Amirullah Bagus Kasuma kembali memerintah kerajaan Banjar dan menyatukan kembali kerajaan Banjar yang terpecah menjadi dua. Dia memerintah Kerajaan Banjar dari tahun !679—1700 M. (Daudi, 2003: 19—20)

Sultan Tahmidullah atau Sultan Hamidullah bin Sultan Tahlilullah ini Memerintah menggantikan ayahnya Sultan Tahlilullah. Dia memerintah selama 34 tahun, dari tahun 1700—1734 M. Syekh Arsyad al-Banjari (selanjutnya ditulis al-Banjari) dilahirkan pada masa pemerintahan Sultan ini. Sultan ini pula yang mengajaknya ke Istana untuk dididik dengan berbagai pengetahuan. (Daudi, 2003: 20)

Pengganti Sultan Tahmidullah adalah Sultan Kuning, tetapi Sultan Kuning wafat dalam tahun itu juga. Pengganti Sultan Kuning seharusnya adalah anaknya yang bernama Pangeran Muhammad Aliuddin. Namun, karena Pangeran Muhammad Aliuddin masih belum dewasa, Pangeran Tamjid bin Sultan Tahlilullah yang memangku jabatan sebagai Mangkubumi diangkat menjadi Sultan muda yang kemudian bergelar Sultan Tamjidullah. Sultan Tamjidullah ini memegang pemeritahan selama 25 tahun (1734—1759 M). kekuasaan Kerjaan Islam Banjar kemudian diserahkan kepada Pangeran Muhammad Aliuddin pada tahun 1759 M. Pangeran Aliuddin hanya memerintah selama 2 tahun. Dia berpesan agar penggantinya nanti adalah anaknya yang bernama Pangeran Abdullah.

Pangeran Abdullah, pada saat Pangeran Muhammad Aliuddin meninggal masih belum dewasa, diangkatlah Pangeran Nata (Dilaga) bin Sultan Tamjidullah sebagai wali Mendiang Sultan Muhammad Aliuddin Aminullah. Pada masa pemerintahannya ini Pangeran Amir, anak dari Sultan Muhammad Aliuddin Aminullah memberontak kepadanya. Namun, pemberontakan Pangeran Amir bisa dipatahkan dengan bantuan dari Kompeni Belanda (VOC). (Said, 2011: 18, lihat juga Abu Daudi, 2003: 22).

(7)

168

Pangeran Nata (Dilaga) memegang pemerintahan sebagai Wali Putera Mendiang Sultan Muhammad Aliuddin Aminullah sejak tahun 1761—1787 M. Dan sejak tahun 1787—1801 M. Pangeran Nata (Dilaga) memerintah sebagai sultan di kerajaan Banjar dengan gelar Sultan Tahmidullah II.

Atas permintaan Sultan inilah Banjari menulis kitab Sabil al-Muhtadin li at-Tafaqquh Amr ad-Din. Sultan ini menjadi murid utama dari al-Banjari sehingga Sultan Tahmidullah II menjadi sultan yang alim dan wara. (Abu Daudi, 2003: 22). Pengganti Sultan Tahmidullah II adalah anaknya yang bergelar Sultan Sulaiman al-Mu`tamidillah. Sultan ini memerintah selama 24 tahun (1801—1825 M) pemerintahannya berpusat di Karang Intan, Martapura.

Sultan Sulaiman al- Mu`tamidillah mangkat digantikan anaknya yang bergelar Sultan Adam al-Watsiq Billah. Sultan Adam dilantik sebagai Sultan menggantikan ayahnya Sultan Sulaiman al- Mu`tamidillah pada tahun 1825. Dan mangkat pada tahun 1857 M. Sultan Adam al-Watsiq Billah memerintah kerajaan Islam Banjar Selama 32 tahun.

Sultan Adam al-Watsiq Billah adalah seorang Sultan taat beribadah dan berhasil menetapkan hukum Islam di kerajaan Banjar yang diwujudkan dalam bentuk undang yang bernama Undang-Undang Sultan Adam. Undang-Undang-undang dibuat oleh tim yang dipimpin langsung oleh Sultan Adam. Diantara anggota tim itu adalah mufti Jamaluddin bin syekh Muhammad Arsyad al-Banjari dan Pangeran Syarif Husen (menantu Sultan Adam). Undang-undang yang terdiri dari 31 pasal perkara ini ditetapkan pada hari Kamis 15 Muharram 1251 H (11 Juni 1835).

Sultan Adam juga menyempurnakan sistem pemerintahnnya dengan menambah beberapa jabatan keagamaan dan sosial seperti Mufti, Qaḍi, Lalawangan,dan Tatuha Kampung. Pada masa Sultan Adam ini pusat pemerintahan yang sebelumnya berada di Karang Intan dikembalikan ke Martapura.

Sultan meimpin kerajaan Banjar selama 32 tahun. Sebelum meninggal Sultan Adam berwasiat agar penggantinya nanti adalah cucunya yang bernama Pangeran Hidayatullah bin Sultan Abdurrahman Muda. Namun, setelah Sultan Adam meninggal, atas prakarsa Belanda Sultan yang diangkat adalah Sultan Tamjidillah II anak Pangeran Abdurrahman dari selir, sedangkan Pangeran Hidayatullah hanya menjabat sebagai Mangkubumi. Muncul keresahan di masyarakat, karena hal ini tidak

(8)

169

sesuai dengan wasiat dan amanat yang diberikan oleh Sultan Adam.

Peristiwa ini menjadi muara pecahnya perang Banjar yang dipimpin oleh Pangeran Hidayatullah dan Pangeran Antasari melawan Belanda. (Said, 2011:22. Lihat Abu Daudi, 2003: 32)

Tanggal 11 Juni 1860, Pemerintah Hindia Belanda mengeluarkan mengumumkan maklumat dihapuskannya kerajaan Banjar dengan keputusan Gubernur Jenderal tanggal 17 Desember 1859. Hal ini menyebabkan Kerajaan Banjar resmi menjadi Gubernment Belanda. (Said, 2011:28)

Pada tanggal 28 Februari 1862 Pangeran Hidayatullah tertangkap dengan tipu muslihat yang dilakukan oleh Belanda, dan kemudian diasingkan ke Cianjur bersama keluarganya.

Upaya Rekontruksi Kerajaan Banjar pernah dilakukan oleh Ir. Gusti Muhammad Noor yang diberi gelar pangeran dari para pagustian untuk meneruskan marwah kerajaan Banjar. (Said, 2011:30). Namun, setelah Ir. Gusti Muhammad Noor meninggal keinginan untuk rekonstruksi kerajaan Banjar ikut memudar, karena tidak adanya sosok yang inspiratif dan tepat dari kalangan pagustian yang bisa dijadikan pangeran.

Akhirnya, melalui Musyawarah Tinggi Adat yang berlangsung di Hotel Arum Banjarmasin tanggal 24 Juli 2010 dilantik Pengurus Lembaga Adat dan Kekerabatan Kesultanan Banjar (LAKKB) serta menganugerahi H. Gusti Khairul Saleh sebagai Pangeran sekaligus Raja Muda Kesultanan Banjar. sejak itulah Raja Muda H. Khairul Saleh yang juga bupati Kabupaten Banjar melaksanakan amanah pelestarian budaya leluhur secara teguh.

Peran Kerajaan Banjar dalam Penulisan Naskah Di Tanah Banjar Sebelum Kerajaan Islam Banjar terbentuk, Islam sudah lama masuk ke daerah ini, sehingga telah terbentuk sebuah masyarakat Islam di sekitar kerajaan. Dengan dasar ini pula dapat diperkirakan bahwa tradisi tulis di kalangan masyarakat telah ada. Tradisi tulis itu dilakukan baik untuk kegiatan keagamaan, misalnya penulisan kitab, maupun untuk keperluan kerajaan, misalnya surat perjanjian, surat-menyurat kerajaan.

Pada abad ke-17 tercatat beberapa kejadian penting dalam tradisi tulis ini. Dalam abad itu seorang ulama Banjar yang bernama Syeikh Ahmad Syamsuddin al-Banjari menulis tentang Asal Kejadian Nur

(9)

170

Muhammad dan menghadiahkannya tulisan itu kepada Ratu Aceh Sulthanah Seri Ratu Tajul Alam Sa atuddin Johan Berdaulat (1641— 1675 M). Kitab itu ditulis pada masa pemerintahan Pangeran Tapasena (Adipati Khalid). Dengan demikian pada abad ke-17 dalam Kerajaan Banjar terdapat kecenderungan tradisi tulis yang baik dan juga menunjukkan pesatnya perkembangan tasawuf sehingga melahirkan seorang ulama besar dalam bidang itu. (wikipedia, 2012:1).1

Peranan Kerajaan Islam Banjar dalam penulisan naskah di Kalimantan Selatan bisa di bagai menjadi dua kategori. Pertama, peranan secara tidak langsung, dan kedua, peranan secara langsung. Peranan secara tidak langsung

Peranan kerajaan Islam Banjar secara tidak langsung dapat dijelaskan sebagai berikut.

1. Proses pendidikan al-Banjari

Berbicara tentang penulisan naskah di tanah Banjar (Kalimatan Selatan) tidak terlepas dari peran al-Banjari, baik sebagai penulis naskah ataupun sebagai pendidik yang melahirkan generasi ulama penulis naskah. Peran Kerajaan terhadap penulisan naskah di Kalimantan Selatan memang tidak hanya di mulai pada masa al-Banjari. Namun, peranan terbesarnya dimulai dari pendidikan al-Banjari yang dilakukan langsung oleh pihak kerajaan.

Al-Banjari diambil oleh sultan Sultan Khamidullah/Tahmidullah (Sultan Kuning) pada saat berumur 7 tahun untuk hidup di istana karena ketinggian intelegensinya. (Abu Daudi, 2003:41—42, Khalidi, 1968: 6) Ketika al-Banjari hidup dalam istana, Sultan pun terus mendidiknya, baik mengenai ilmu-ilmu agama maupun ilmu-ilmu lain yang berguna bagi al-Banjari dalam mengembangkan bakat dan kecerdasannya. Hasilnya terbukti bahwa al-Banjari adalah seorang anak yang mempunyai kecerdasan yang luar biasa dan memiliki daya tangkap yang sangat kuat sehingga segala pelajaran diterimanya dengan sangat mudah. (Abu Daudi, 1996 15—16). Menjelang al-Banjari berumur 30 tahun maka ia diberangkatkan oleh Sultan belajar ke Mekkah. (Ramli Nawawi, 1981:10). Al-Banjari mempelajari berbagai ilmu pengetahuan dengan berguru kepada para ulama yang mengajar di Mesjid al-Haram Mekkah. Lebih kurang 30 tahun dia mempelajari ilmu-ilmu tersebut di kota ini, di antara ilmu pengetahuan yang dipelajarinya adalah selain

(10)

171

ilmu pengetahuan agama dan bahasa Arab juga ilmu pengetahuan

alam, seperti geogra , biologi, matematika, geometri, dan ilmu falak (astronomi). (Basuni, 1971: 8). Setelah belajar di mekkah, selama lebih kurang lima tahun al-Banjari bermukim di Madinah. Di madinah ini beliau belajar dan berguru tasawuf kepada seorang ahli su di kota tersebut bernama Syekh Muhammad bin ‘Abd. al-Karim as-Samman al-Madani (w. 1776 H). (Khalidi, 1968: 50). Beliau juga belajar masalah qh dengan Syaikh al-Islam Syeikh Muhammad bin Sulaiman al-Kurdie. Pada saat belajar inilah al-Banjari menanyakan tentang masalah yang terjadi di kerajaan Banjar, mengenai tindakan Sultan yang memungut pajak, dan hukuman denda bagi pelanggar hukum yang meninggalkan sembahyang jumat, serta berbagai permasalahan lainnya. Syekh Muhammad bin Sulaiman al-Kurdie dengan senang hati memberikan jawaban dan penjelasan secara rinci. Jawaban ini ditulis oleh al-Banjari menjadi sebuah risalah yang berjudul Fatāwā

Sulaiman Kurdie. Risalah ini ditulis dalam bahasa Arab dan belum

pernah diterbitkan. Manuskrip aslinya tulisan al-Banjari masih ada sampai sekarang di tangan salah satu zuriyatnya di Dalam Pagar martapura. Di Madinah ini al-Banjari juga berguru tasawuf kepada seorang ahli su di kota tersebut bernama Syekh Muhammad bin ‘Abd. al-Karim as-Samman al-Madani (w. 1776 H). (Khalidi, 1968: 50, lihat juga Abu Daudi, 2003: 53, 81).

Selain al-Banjari, Syekh Muhammad Na s (Datu Na s) adalah orang yang juga sekolah (disekolahkan) di Mekkah, menurut Abu Daudi, (2003: 487) Syekh Muhammad Na s adalah keturunan Kerajaan Banjar, yaitu anak dari Ratu Kesuma Negara bin Pangeran Kesuma Negara bin Pangeran Dipati bin Sultan Sultan Tahlil. Karya beliau yang terkenal adalah Al Durr an Na s Bayan Wahdat al-Af ’al wa al-Asma’ wa as-Sifat wa al Zat, Zat al Taqdis, artinya Mutiara yang Indah yang Menjelaskan Kesatuan Perbuatan, Nama, Sifat dan Zat yang Suci, atau yang sering disebut Durr an-Nafīs saja.

2. Pendirian Pusat Pendidikan Agama di Kerajaan Banjar

Setelah menjalani pendidikan selama 30 tahun lebih di Haramain (Mekkah dan Madinah), al-Banjari pulang ke tanah Banjar pada bulan Ramadhan 1186 H atau bulan Desember 1772 M (Abu Daudi, 2003: 67). Pada saat itu, pemerintahan dipegang oleh Pangeran Nata Dilaga (Pangeran Nata Alam) bin Sultan Tamjidillah, sebagai wali mendiang

(11)

172

putera Sultan Muhammad Aliuddin Aminullah (1761—1787 M) dan kemudian memerintah Kerajaan Banjar sebagai Raja Banjar dan bergelar Sultan Tahmidullah II bin Sultan Tamjidullah.

Pangeran Nata Dilaga memberikan sebidang tanah perwatasan2. Tanah itu digunakan oleh al-Banjari untuk membangun sebuah perkampungan dan pusat pendidikan agama di Kerajaan Banjar. Kampung itu diberi nama Dalam Pagar. Di sini dibangun rumah-rumah untuk tempat tinggal, ruang pengajian, perpustakaan dan asrama untuk tempat tinggal para murid.

Di tempat inilah Al-Banjari, dengan dibantu oleh sahabat akrabnya yang juga telah menjadi menantunya, Syekh Abdul Wahab Bugis, mendidik para murid untuk dipersiapkan agar menjadi ulama-ulama besar yang kuat dan tangguh mengembangkan Islam. Pendidikan ini terutama sekali ditekankan kepada anak, cucu dan keluarganya sendiri.

Para muridnya berdatangan dari berbagai pelosok. Semakin lama, semakin bertambah banyak, sehingga kesibukan Al-Banjari meningkat luar biasa. Sebagian muridnya, terutama yang berasal dari jauh diasramakan di tempat yang sudah disediakan. Tempat ini dikemudian hari telah melahirkan banyak ulama besar sesudah Al-Banjari. Ulama-ulama inilah belakangan yang banyak mewarnai kehidupan keagamaan di Kalimantan Selatan, di antaranya, Syekh Muhammad As’ad dan Syekh Abu Su’ud, masing-masing sebagai mufti dan qadi pertama kerajaan Banjar. (Humaidi, 2005: 97) Di kalangan wanita, juga muncul seorang ulama, yaitu alimul Fadhilah Fatimah bin Abdul Wahab Bugis, penulis Kitab Parukunan. Kitab ini berisi tentang cara ibadah, rukun sembahyang, puasa, dan lain-lain. Kitab ini sering djuga disebut Parukunan Jamaluddin. Hal ini disebabkan karena alimul Fadhilah Fatimah menyandarkan tulisannya itu kepada pamannya Mufti H. Jamaluddin bin Syekh Muhammad Arsyad al-Banjari. (Abu Daudi, 2003: 74) Kitab ini sampai sekarang banyak beredar, dipergunakan, dan terus dipelajari di Kalimantan Selatan.

Selain mendidik para murid al-Banjari juga menulis kitab dan risalah yang diajarkan di tempat ini. Kitab-kitab itu dari mulai tauhid, qh, dan juga tasawuf. Kitab Tauhid dan tasawuf yang ditulis al-Banjari sebagai berikut.

(12)

173

a. Kitab Ushuluddin

Menurut Abu Daudi (2003: 78), risalah ini ditulis al-Banjari pada tahun 1188 H. (1774 M.), dua tahun sesudah tiba di Martapura. Risalah ini disusun untuk kepentingan dakwah, yaitu untuk memberikan pengetahuan dasar tentang pengenalan dasar terhadap Allah kepada masyarakat, semacam sifat dua puluh. (Abu Daudi, 2003: 24) Risalah yang tertulis dalam bahasa Melayu huruf Arab ini belum pernah diterbitkan dan naskahnya tidak ditemukan. Kemungkinan isinya sudah dimasukan dalam kitab Parukunan Jamaluddin.

b. Kitab Tuhfah ar-Ragibin fî Bayan Haqiqah Iman al-Mu’minin wa Ma Yufsiduhu min Riddah al-Murtaddin

Kitab ini terdiri atas tiga pasal ditambah dengan pendahuluan dan penutup. Ketiga pasal itu. Pertama, tentang hakekat iman. Kedua, tentang apa-apa yang merusak iman. Ketiga, tentang syarat-syarat jatuhnya murtad dan masalah hukumnya. Kitab ini ditulis dalam bahasa Melayu dan sudah beberapa kali dicetak, baik di dalam maupun di luar negeri.

Meskipun kitab ini menjadi pembicaraan segelintir orang tentang keasliannya sebagai karya al-Banjari tetapi menurut Abu Daudi kalau diperhatikan dari beberapa segi tentang kitab tersebut, yang antara lain: Pertama, dari segi kata-kata atau susunan kalimat yang sering al-Banjari gunakan, banyak mempunyai kesamaan-kesamaan terhadap karya-karya beliau yang lainnya. Kedua, dari masalah yang digambarkan pada kitab tersebut terdapat uraian tentang kebiasaan-kebiasaan masyarakat Banjar yang masih dipengaruhi oleh paham-paham dan keyakinan yang mengiringi upacara keagamaan pada masyarakat Banjar yang dapat menjadikan kesyirikan dan kemurtadan. (Abu Daudi, 2003: 79)

c. Risalah Fath ar-Rahman

Risalah ini sebenarnya adalah karya Syekh Zakariya al-Anshari yang berjudul: Fath ar-Rahman bi Syarh Risalah al-Wali ar-Ruslan, yaitu komentar terhadap sebuah risalah tentang ilmu tauhid yang ditulis Ibnu Rislan ad-Dimasyqi. Al-Banjari menerjemahkan risalah tersebut ke dalam bahasa Melayu dengan huruf Arab yang ditulis miring dibawah teks aslinya yang berasal dari tulisan Muhammad Sa’id.

(13)

174

d. Risalah Kanz al-Ma‘rifah

Karya ini berisi tentang ilmu tasawuf dan penjelasan mengenai hakikat mengenal diri untuk ma’rifat kepada Allah swt dan hal-hal lainnya yang berkenaan dengan tasawuf. Karya ini ditulis dalam bahasa Melayu dan tidak pernah dicetak. Salianan naskah aslinya masih terdapat di kalangan sebagian zuriat al-Banjari (Abu Daudi, 2003: 82)

Dua kitab yang pertama ditulis untuk diajarkan pada kalangan awam, sementara dua risalah yang terakhir dalam bidang tasawuf hanya diajarkan untuk kalangan terpelajar dan khusus saja.

Selain dalam bidang tauhid dan tasawuf al-Bajari juga menulis bidang qh seperti kitab Luqtatu al-Ajlān. Karya ini ditulis al-Banjari pada tahun 1192 H/1778 M, untuk kepentingan dakwahnya di kalangan wanita. Isinya berkenaan dengan kewajiban bagi perempuan untuk belajar masalah haid (menstruasi), istihaḍah, dan nifas, dalam kaitannya dengan keabsahan ibadah mereka dan hubungan suami istri. Kitab ini baru dicetak tahun 1992 M dengan mentransliterasi ke huruf latin dan bahasa Indoesia, dan juga menyertakan salinan naskah aslinya. Sedangkan naskah aslinya dalam bentuk manuskrif yang tertulis dengan huruf Arab berbahasa Melayu masih tersimpan di kalangan keluarga al-Banjari di Dalam Pagar, Martapura. (Abu Daudi, 2003: 78-79) 3. Membentuk Mahkamah Syar’iyyah

Sebagaimana dikemukakan terdahulu, di Kerajaan Banjar sudah ada jabatan penghulu yang bertugas mengurus soal-soal keagamaan. Bagaimana persisnya tugas tersebut tidak ada keterangan yang jelas, namun diperkirakan tidak berbeda dengan penghulu-penghulu yang ada di Jawa, sebab kerajaan Banjar sangat dipengaruhi oleh kerajaan-kerajaan Jawa terutama dalam budaya politik,.

Menurut G.F. Pijper ( 1985: 73) penghulu bertugas menyelesaikan perkara-perkara yang berkaitan dengan masalah keagamaan berdasarkan hukum Islam. Penghulu dapat disebut qadi dalam bahasa Arab, meskipun hanya memiliki keahlian sedikit kalau dibandingkan dengan seorang qadi. Penghulu juga menjabat sebagai Ketua Pengadilan Agama.

Apabila di Kerajaan Banjar ada jabatan penghulu sebagaimana penghulu di Jawa, berarti kerajaan Banjar sudah memiliki lembaga peradilan. Pada zaman Al-Banjari lembaga ini ditingkatkan menjadi Mahkamah Syar’iyyah yang dipimpin oleh seorang mufti. Pembentukan

(14)

175

lembaga tersebut dilakukan sultan atas usul dan nasehat Al-Banjari,

(Halidi, 40) yang tujuannya untuk menjaga hukum atau peraturan keagamaan di wilayah kerajaan Banjar, sesuai dengan hukum Islam.

Memang di dalam struktur ini, mufti merupakan Ketua Hakim Tertinggi (Ketua Mahkamah Syar’iyyah), dan di bawahnya ada jabatan qadi yang bertugas sebagai pelaksana hukum dan mengatur jalannya peradilan agar hukum Islam berlaku dengan wajar. Mufti yang pertama diangkat oleh sultan adalah Syekh Muhammad As’ad bin Usman cucu Banjari sendiri, sedangkan qadi pertama adalah Abu Su’ud, anak Al-Banjari dengan Bidur. (Abu Daudi, 2003: 87)

Sebagai tindak lanjut dari keberadaan lembaga ini, atas usul Al-Banjari, sultan juga memberlakukan hukum pidana Islam di wilayah kerajaan Banjar. Hukum pidana tersebut meliputi hukuman mati bagi orang Islam yang murtad, hukuman dera bagi penzina,3 hukuman diperangi sultan dan para naibnya bagi mereka yang tidak salat berjamaah (al-Banjari, tt: 22) dan sebagainya. Dengan diberlakukannya hukum pidana tersebut, maka lengkaplah pemberlakuan hukum Islam dimasyarakat Banjar, yaitu perdata dan pidana.

Sebagai rujukan dalam memutuskan hukuman di mahkamah syar`iyyah, al-Banjari menulis 2 kitab selain sabilal muhtadīn, yaitu

kitāb an-Nikāh dan kitab farāid. kitāb an-Nikāh berisi tentang

Kitab ini membahas tentang permasalahan pernikahan dan berbagai permasalahan yang berkaitan dengan pernikahan, misalnya tentang wali. Salianan naskah kitāb an-Nikāh ini masih dalam bentuk manuskrif dan masih terdapat di Dalam Pagar pada salah seorang zuriat al-Banjari(Abu Daudi, 2003: 82), sedangkan kitab farāid membahas tentang masalah harta warisan dan cara pembagiannya. Kitab ini juga memuat konsep harta yang diperoleh suami istri selama hidupnya yang disebut dengan harta perpantangan. (Abu Daudi, 2003:82).

Selain ketiga hal di atas, peranan secara tidak langsung juga dilakukan oleh Kerajaan ketika mengadakan pesta, aruh ataupun karasmin yang menyebabkan banyaknya muncul naskah-naskah syair, penyalinan naskah panji, dan lain-lain. Naskah-naskah ini kebanyakan di salin di abad XIX. Naskah-naskah ini sebagian masih ada dalam bentuk manuskrip dan tersimpan di museum Lambung Mangkurat Banjarbaru. Selain untuk Karasmin dan aruh yang dilakukan kerajaan, rakyat biasa juga bisa melakukan aruh kecil yang mengundang tukang syair (penyair), tukang kisah, dan lain-lain untuk memeriahkan acaranya.

(15)

176

Hal ini juga menyebabkan berkembangnya penyalinan naskah dalam bentuk syair, seperti syair Siti Zubaidah.

Peranan secara langsung

Peranan kerajaan secara langsung dalam penulisan naskah di Kalimantan Selatan ini bisa sebagai penulis naskah langsung, atau menyuruh orang untuk menulis naskahnya. Misalnya penulisan Undang-undang Sultan Adam, surat-surat Kerajaan Banjar, perjanjian antara Pangeran Nata Dilaga dengan VOC, dan lain-lain. Undang-undang Sultan Adam dibuat oleh Sultan Adam dengan bantuan mufti H. Jamaluddin dan Pangeran Syarif Husein. Undang-undang Sultan Adam itu terdiri dari dua versi, yaitu versi Martapura 31 pasal dan versi Amuntai berisi 38 Pasal. Undang-undang ini ditetapkan pada hari Kamis, 15 Muharram 1251 H (11 Juni 1835 M) oleh Sultan Adam Sendiri. (Abu Daudi, 2003:30--31).

Peranan Kerajaan secara langsung bisa juga dalam bentuk permintaan kerajaan kepada Banjari untuk menulis kitab Sabil al-Muhtadin li at-Tafaqquh Amr ad-Din. Kitab ini selesai ditulisnya pada tanggal 27 Rabiul Akhir 1195 H (22 April 1781 M.) atas permintaan Sultan Tahmidullah bin Sultan Tamjidillah. Kitab terdiri atas dua jilid yang berisi pembahasan tentang masalah ibadah, yaitu seperempat (satu rubu‘) dari pembahasan masalah-masalah qh dalam Islam. Isinya mencangkup semua macam ibadah dalam Islam, dengan memberikan porsi terbesar pada pembahasan masalah sembahyang (shalat), ditambah dengan masalah makanan dan perburuan. Salinan naskah aslinya, yang masih dalam bentuk manuskrip (dua versi) ada di Dalam Pagar, Martapura.

Peranan Kerajaan Banjar Masa Kini

Seiring berlalunya waktu dan hilangnya kerajaan Banjar, hilang pula peran penting yang dilakukan oleh kerajaan Banjar. Munculnya lagi kerajaan Banjar di Kabupaten Banjar dengan dinobatkannya H. Khairus Saleh sebagai Raja Muda Kesultanan Banjar pada hari Minggu tanggal 12 Desember 2010 di Mahligai Sultan Adam, (Barjie, 2011: 6) membawa harapan adanya peran penting yang bisa dilakukan lagi oleh Kesultanan Banjar. Walaupun demikian, sampai sekarang belum ada langkah kongkrit yang sudah dilakukan oleh Kesultanan Banjar baru ini terhadap pelestarian naskah di Kalimantan Selatan. Kesultanan

(16)

177

Banjar lebih banyak melakukan kegiatan yang sifatnya aruh rakyat

(pesta rakyat) yang dilakukan setiap tahun bertepatan dengan milad Kesultanan Banjar. Aruh rakyat ini biasanya diselenggarakan dengan menampilkan tradisi lisan Banjar dan karasmin yang berorientasi pada pesta dan keramaian. Menurut Gusti Marhusen4, salah seorang pengurus Lembaga Adat Kesultanan Banjar, Kesultanan Banjar ke depannya memang akan melakukan beberapa langkah konkret dalam upaya terhadap pelestarian naskah-naskah di Kalimantan Selatan, misalnya mengumpulkan surat-surat Kerajaan Banjar dulu yang masih tersebar dikalangan keturunan raja-raja Banjar. Selain itu, Kesultanan Banjar juga akan melakukan pelestarian terhadap naskah di Kalimantan selatan misalnya dengan menerbitkan kembali sabil al-Muhtadin karya al-Banjari dalam dua bahasa dan dua aksara, yaitu aksara Arab Melayu dan Latin dalam satu buku.5 Penyusunan sabil al-Muhtadin ini sedang dilakukan oleh salah satu zuriat al-Banjari di dalam Pagar yaitu Irsyad Zein atau yang lebih terkenal Abu Daudi. Namun, patut dicermati oleh Kesultanan Banjar sekarang adalah munculnya penulis-penulis produktif dalam bahasa Arab Melayu/Banjar di pertengahan abad ke-20 dan abad ke-21 ini, misalnya Almarhum syeikh H. Kasyful Anwar bin Haji Ismail, yang banyak menulis karya dalam bahasa Arab Melayu/ Banjar sebagai bahan ajaran di pondok pesantren Darussalam yang didirikannya. Demikian juga dengan K.H. Syukri Unus yang telah banyak menulis atau pun menerjemahkan karya-karya ke dalam bahasa Arab Melayu/Banjar untuk diajarkannya di pengajiannya dan juga di pesantren yang diasuhnya, karya tulis yang sudah ditulis oleh KH. Syukri Unus ini hampir semuanya dilakukan dengan tulisan tangan, tidak dengan menggunakan komputer . Hal yang sama juga dilakukan oleh KH. Munawwar cucu dari Syeikh Kasyful Anwar. Ia juga banyak menulis kitab-kitab dalam bahasa Melayu Banjar untuk diajarkan di pengajiannya Kampung Melatu tepat di depan kubah (maqam) Syeikh Kasyful Anwar al-Banjari. Seyogyanya kepada kesultanan Banjar untuk mendata karya-karya para penulis tersebut, bahkan juga memilikinya sebagai khazanah kekayaan ilmu di Kalimantan Selatan.

Selain itu, selayaknya Kesultanan Banjar mencari dan mendata naskah-naskah apa saja yang ada di Kalimantan Selatan, terutama di Kabupaten Banjar sebagai salah satu gudang naskah di kalimantan Selatan, untuk kemudian dibuat sebuah katalog naskah Kalimantan Selatan.

(17)

178

Catatan Kaki

• Artikel ini pernah disampaikan dalam “Simposium Internasional Manassa XIV” 11-13 September 2012 di Yogyakarta

1. Naskah itu ditulis pada tahun 1668 dan pernah ditemukan oleh seorang orientalis R.O. Winestedt di Jakarta.

2. Al-Banjari sudah dianggap sebagai bubuhan Raja-raja (kaum Bangsawan), beliau diberi tanah lungguh seperti anak-anak bangsawan lainnya.

3. Zamzam, Op.cit., h. 12.

4. Wawancara pada tanggal 5 Juli 2012.

5. Menurut Abu Daudi, beliau dizinkah oleh Syeik Zaini Abdul Gani (Guru Sekumpul) menyalin dan mentraskripsi karya-karya al-Banjari asalkan tidak meninggal tulisan Arab Melayunya. Hal ini dilakukan agar para pembaca bisa membandingkan antara teks aslinya dengan translitarsi dalam huruf latin, dan juga untuk menghindari terjadinya kesalahan dalam proses translitrasi dan transkripsi.

Bibliogra

Banjari, Syekh Muhammad Arsyad al-. tt. Sabil al-Muhtadin li at-Tafaqquh Amr

ad-Din. Mesir: Dar al-Fikri.

Banjari, Syekh Muhammad Na s ibnu Idris al-. tt. Al Durr an Na s Bayan

Wahdat Af’al wa Asma’ wa as-Sifat wa al Zat, Zat al Taqdis. Jeddah:

al-haramain.

Barjie, Ahmad. 2011. “Religiusitas Kesultanan Banjar” dalam Re eksi Banua

Banjar. Martapura: Pustaka Agung Kesultanan Banjar.

Daud, Alfani.1997. Islam dan Masyarakat Banjar: Diskripsi dan Analisa

Kebudayaan Banjar. Jakarta: PT Raja Gra ndo Persada.

Daudi, Abu. 2003. Maulana Syekh Muhammad Arsyad Al-Banjari (Tua Haji Besar. Yayasan Pendidikan Islam Dalam Pagar (Yapida): Martapura.

Humaidy. 2004. “Peran Syekh Syekh Muhammad Arsyad al-Banjari dalam Pembaharuan Pendidikan Islam di Kalimantan Selatan Penghujung Abad XVIII”. Tesis. Yogyakarta: Perpustakaan IAIN Sunan Kalijaga.

Halidi, Yusuf. 1968.Ulama Besar Kalimantan Syekh Muhammad Arsyad

Al-Banjari. Surabaya : al-Ihsan.

___________. 1986. Ulama Besar Kalimantan Syekh Syekh Muhammad Arsyad

al-Banjari, Surabaya : PT. Bina Ilmu.

Jamaluddin, Ibnu al-fadil as-syeikh Muhammad Arsyad mufti Banjar. tt.

(18)

179

Pijper. G.F. 1985. Beberapa Studi Tentang Sejarah Islam Indonesia 1900-1950, Jakarta: UI-Press.

Rasyid, H. Abd. al-. 1979. Ini Kitab Perukunan Besar Melayu, Surabaya: Maktabah Saad bin Nasir bin Nabhan wa Auladih.

Said, Ir. H. Muhammad. 2011. Raja Diraja Kerajaan Banjar Abad XV—XXI:

Catatan Riwayat Kerajaan Banjar; Perlawanan Hingga Upaya Rekonstruksi.

Martapura: Pustaka Agung Kesultanan Banjar.

Wikipedia. “Ahmad Syamsuddin al-Banjari.” http://id.wikipedia.org/wiki/ Ahmad_ Syamsuddin_al-Banjari” (diakses tanggal 12 Juli 2012).

Zaidan, Abdul Rozak. 2008. Hikayat Banjar: “Re eksi Sastra Nusantara” dalam

Dari Hitu ke Barus. Jakarta: Pusat Bahasa.

__________________________

Referensi

Dokumen terkait

Dinas Kesehatan Kota Medan juga memperhatikan pentingnya membuat suatu metode dalam melihat tercapai atau tidaknya dana yang ada secara efektif dan efisien dengan

Inisiatif yang paling cocok untuk Hibah Jangkar akan memiliki pendekatan/jalur untuk membawa perubahan yang bertahan lama dalam skala besar di satu atau beberapa sektor ini

”Karena itulah kami berlima dari mahasiswa Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Airlangga melakukan penelitian untuk mengetahui ada tidaknya penurunan perilaku sehat

Puji syukur kehadirat Allah SWT terucap atas segala karunia-Nya yang telah diberikan sehingga penulis dapat menyelesaikan tesis yang berjudul “ANALISIS PENGARUH KUALITAS

Hal ini dikarenakan ibu hamil yang telah dijelaskan mengenai efek samping mengonsumsi tablet besi seperti mual menyalahartikan bahwa gejala mual yang terjadi lebih

Dalam pembentukan desa setulang menjadi desa wisata, ada yang menjadi faktor pendukung adalah adanya dukungan dari Masyarakat desa setulang yang mendukung pembentukan desa wisata,

Meja Kursi Tamu dari kayu,furniture dan kelengkapan rumah tangga lainnya dari rotan atau bambu.. Garam Meja, Garam