• Tidak ada hasil yang ditemukan

TINJAUAN PUSTAKA. Taksonomi, Botani dan Ekologi Tanaman Buah Merah

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "TINJAUAN PUSTAKA. Taksonomi, Botani dan Ekologi Tanaman Buah Merah"

Copied!
17
0
0

Teks penuh

(1)

4

TINJAUAN PUSTAKA

Taksonomi, Botani dan Ekologi Tanaman Buah Merah

Buah merah merupakan salah satu jenis tanaman Pandanaceae, dengan taksonomi menurut Sadsoeitoeboen (1999), yaitu termasuk dalam divisi Spermatophyta, kelas Angiospermae, sub kelas Monocotyledonae, ordo Pandanales, famili Pandanaceae, genus Pandanus dan spesies conoideus. Menurut Sadsoeitoeboen (1999), tanaman buah merah termasuk dalam kelompok pohon dengan akar tunjang yang muncul dari bagian batang dekat permukaan tanah dan cenderung akar tanaman masuk ke dalam tanah hingga kedalaman 100 cm.

Akar tanaman buah merah tergolong akar serabut dengan tipe perakaran dangkal, dengan diameter 1,5 – 2,8 cm sampai 6 - 6,8 cm. Tinggi pohon mencapai 8 - 15 m dengan diameter batang semu 15 - 30 cm. Tinggi percabangan pertama 5 – 8 m di atas permukaan tanah. Berbatang semu, kasar, berserat serta berair dan, tegak, bergetah dan berwarna coklat berbercak putih (Gambar 1).

a

b

Gambar 1 Pertanaman buah merah di Kabupaten Manokwari; a. Morfologi tanaman buah merah; b. Akar tanaman buah merah (tanda lingkaran). Tanaman buah merah memiliki daun tunggal, tersusun melingkar seperti spiral dengan panjang 88 cm – 102 cm dan lebar 6 – 10 cm. Ujung daun meruncing dengan duri di tepian yang berukuran 1 mm; tulang daun terletak di permukaan bawah daun. Warna daun hijau tua dan daun memeluk batang. Pembungaan muncul dari ujung batang yang langsung membentuk buah dengan bunga majemuk, berbentuk tabung berlapisan gabus ditengah, berkelamin satu

(2)

5 atau tunggal setangkup, duduk di ketiak daun pelindung (bractea), berbentuk biji- bijian dengan perhiasan bunga bersegmen kecil. Petal menyatu tidak terpisah dan melingkar ke semua sisi dari pangkal hingga ujung dan panjang tangkai buah antara 20 - 30 cm. Stamen satu dengan satu stamen semu. Bakal buah terbenam, terdiri dari satu ruang dengan sejumlah atau banyak bakal biji di setiap ruang (Budi et al. 2005).

Panjang tangkai sinkarp 7 - 17 cm dengan bentuk sinkarp silindris. Ujung sinkarp tumpul, pangkal membentuk jantung. Panjang sinkarp 96 - 102 cm dan berdiameter 14,5 – 20,5 cm. Daun pelindung sinkarp melancip dengan tulang daun utama yang berduri. Sinkarp muda berwarna merah bata, setelah matang berwarna merah cerah. Panjang buah sekitar 11 – 13,5 cm dengan lebar 4 - 6 cm dan tebal 1,5 – 3 mm. Epikarp bersegi empat, dan bagian atas tempurung meruncing (Sadsoeitoeboen 1999). Berat buah mencapai 10 kg dengan tinggi 50 – 150 cm (Gambar 2a). Perbanyakan umumnya melalui tunas ataupun stek yang terdapat pada akar atau batang. Dapat dipanen setelah berumur awal tanam 2-3 tahun dan tahap berikutnya antara 1 - 2 tahun.

a

b

Gambar 2 Buah merah; a. Buah merah dari tanaman berumur 4 tahun; b. Biji buah merah (Wiryanta 2005).

Wiryanta (2005) melaporkan bahwa tanaman buah merah merupakan tanaman berkayu yang tumbuhnya bercabang mencapai 5 cabang dengan tinggi dapat mencapai 15 meter. Daunnya berbentuk pita yang pinggirnya berduri kecil. Akarnya berbentuk akar udara yang menggantung sampai ketinggian satu meter

(3)

C dan kelembaban udara antara 73 – 98 %. Untuk kebutuhan cahaya, tanaman 6 dari pangkal batang. Kulit buah bagian luar menyerupai buah nangka yang terdiri dari kumpulan biji yang tersusun di empulur atau hati yang berada di dalam buah (Gambar 2b). Di pedalaman Papua sendiri ditemukan paling sedikit 14 jenis atau varietas tanaman buah merah. Buahnya berwarna merah marun terang, tetapi ada juga jenis yang berwarna berwarna coklat, coklat-kekuningan dan kuning.

Buah merah termasuk tanaman endemik Papua dan secara umum habitat asal tanaman ini adalah hutan sekunder dengan kondisi tanah lembab, berkadar asam (pH sekitar 5,4-6,2) dan nilai kapasitas tukar kation (KTK) rendah. Sementara kisaran suhu udara tempat tumbuh tanaman buah merah sekitar 23 - 33 º

buah merah membutuhkan intensitas sekitar 1000-3000 lux (Budi et al. 2005). Marga Pandanus ini mempunyai kisaran toleran yang sangat tinggi terhadap kondisi tanah dan salinitas, sehingga banyak dijumpai di daerah berawa/becek, berpasir, keadaan air tanah dangkal sampai dalam (Ullo 2002). Buah merah dapat dijumpai pada ketinggian 5 - 300 m di atas permukaan laut Budi et al. (2005). Sadsoeitoeboen (1999) melaporkan bahwa pada daerah pegunungan Arfak Kabupaten Manokwari, kultivar buah merah panjang tumbuh pada ketinggian 5- 110 m dan 2300 m diatas permukaan air laut.

Berdasarkan data dari Budi et al. (2005), buah merah tersebar di beberapa wilayah di Papua. Di Propinsi Papua, tanaman ini tersebar di Kabupaten Jayawijaya, Nabire, Timika, Jayapura; sedangkan di Papua Barat, tersebar di Kabupaten Manokwari. Menurut Sadsoeitoeboen (1999), di Kabupaten Manokwari tanaman buah merah ditanam pada berbagai ekosistem dan di beberapa wilayah, yaitu di Desa Amban dan Nuni, Warkapi, Warmare, Testega, Ransiki serta Prafi. Berdasarkan penelitian Melinda & Hayu (2006) tanaman buah merah di Kabupaten Manokwari mengalami penyakit hawar daun. Gejala yang nampak di lapang adalah daun menguning yang mengelilingi bercak; diawali dengan bercak kecil sampai meluas membentuk lingkaran besar dengan warna coklat muda, abu-abu hingga coklat tua kehitaman. Hasil penelitian Melinda & Hayu (2006) menunjukkan beberapa jenis cendawan yang berasosiasi dengan gejala hawar daun, yaitu Scopulariopsis sp., Aspergillus sp., Humicola sp., Fusarium sp., Oidium sp., Nigrospora sp. dan 2 cendawan yang tidak

(4)

7 teridentifikasi; namun belum dipastikan jenis cendawan yang merupakan patogen penyebab hawar daun. Penentuan patogen yaitu cendawan yang berasosiasi dengan penyakit hawar daun didasarkan pada saat inkubasi daun bergejala hawar yang dilembabkan. Hasil yang diperoleh adalah hifa cendawan yang muncul dan tidak ada mikroorganisme lain.

Gejala penyakit hawar pada daun tanaman buah merah banyak ditemukan di beberapa daerah di Kabupaten manokwari, tetapi belum diketahui keparahan penyakit serta kehilangan hasil yang disebabkan. Namun mengetahui dan mengidentifikasi penyebab penyakit hawar daun sangat penting sebagai informasi dasar dalam deteksi penyakit secara dini.

Manfaat Tanaman Buah Merah

Sejak dahulu, masyarakat daerah Papua khususnya di Manokwari memanfaatkan buah merah sebagai bahan pangan. Masyarakat mengambil minyak dan sari buah merah dari hasil rebusan buahnya, dan dijadikan bahan campuran dalam makanan. Selain itu juga buah merah digunakan sebagai sarana dalam upacara ritual dan sebagai obat tradisional (Sadsoeitoeboen 1999). Wiryanta (2005) melaporkan bahwa pasta dari buah merah dijadikan bahan pakan bagi hewan peliharaan masyarakat. Selain itu, masyarakat Papua memanfaatkan buah merah sebagai sumber minyak dengan memasaknya seperti membuat minyak kelapa. Minyak tersebut kemudian disimpan dan dapat bertahan selama satu tahun; dijadikan sebagai pengganti minyak goreng yang harganya relatif mahal dan sulit dijangkau masyarakat. Pada kenyataannya, sebagian besar masyarakat Papua yang mengkonsumsi buah merah jarang terkena penyakit, tubuhnya kuat dan staminanya prima. Manfaat lain dari tanaman buah merah adalah daun serta batangnya digunakan untuk membuat tikar dan atap (Craven & de Fretes 1987).

Buah merah mengandung zat gizi bermanfaat atau senyawa aktif dalam kadar tinggi, diantaranya beta karoten, tokoferol, serta asam lemak seperti asam oleat, asam linoleat, asam linolenat, asam dekanoat, senyawa antioksidan dan antivirus dalam dosis tinggi, vitamin dan mineral esensial yang cukup lengkap. Murningsih (1992) melaporkan bahwa buah merah memiliki kandungan minyak yang cukup tinggi, yaitu sekitar 36,93% per 100 gram berat buah kering. Karena

(5)

8 kandungan senyawa penting itulah, maka buah merah dapat berperan sebagai pencegah penyakit degeneratif seperti stroke, jantung koroner, dan kanker (Jeffbagy 2004).

Berbagai sumber dari bidang kesehatan menyatakan bahwa senyawa yang dikandung oleh buah merah ini bermanfaat dalam menyembuhkan berbagai penyakit. Tokoferol, alfatokoferol dan beta karoten berfungsi sebagai antioksidan yang mampu menangkal radikal bebas. Ketiga senyawa inilah yang membantu proses penyembuhan penyakit kanker, tumor dan HIV/AIDS. Tokoferol juga dapat berfungsi sebagai pengencer darah yang baik untuk penderita stroke. Selanjutnya senyawa asam lemak tak jenuh berperan sebagai antioksidan dan membantu sistem kerja otak. Berdasarkan laporan dari Wiryanta (2005), sejumlah kesaksian menyatakan setelah mengkonsumsi sari buah merah secara teratur, dapat membantu proses penyembuhan penyakit kanker, tumor, HIV/AIDS, darah tinggi, asam urat, stroke, gangguan pada mata, herpes, diabetes melitus, osteoporosis, ambeien, lupus, malaria akut serta meningkatkan kecerdasan otak.

Morfologi Fusarium sp.

Fusarium merupakan salah satu cendawan yang diperoleh pada penelitian Hayu & Melinda (2006), tentang jenis cendawan yang berasosiasi dengan gejala hawar daun tanaman buah merah. Sampai sekarang, cendawan ini belum diketahui menyebabkan penyakit hawar pada tanaman kelompok pandanaceae. Tetapi berdasarkan penelitian dari Goldberg (2006), Fusarium dapat menyebabkan penyakit hawar daun atau bercak daun pada tanaman monokotil, yaitu rumput. Bercak daun Fusarium (hawar Fusarium) terjadi secara keseluruhan pada area atau luasan daun yang besar. Berbentuk tidak teratur, luka dengan sedikit kebasahan dengan tepian berwarna coklat kehitaman yang terjadi pada sebagian besar daun dewasa serta dikelilingi warna kuning. Bercak daun dimulai pada ujung daun dan menghasilkan hawar. Dengan rujukan inilah, maka diduga cendawan penyebab penyakit hawar daun tanaman buah merah dapat disebabkan oleh Fusarium, karena gejala hawar daun yang nampak di lapangan relatif tidak berbeda dengan gejala bercak atau hawar pada rumput serta ke dua tanaman ini tergolong dalam subkelas yang sama, yaitu monokotil.

(6)

9 Fusarium sp. memiliki beberapa spesies (Agrios 2005) dan merupakan patogen tular tanah yang termasuk Hyphomycetes (sub divisio Deuteromycotina) dan family Tuberculariaceae. Fusarium sp., dapat tumbuh dengan baik pada bermacam macam media agar yang mengandung ekstrak sayuran. Mula-mula miselium tidak berwarna, semakin tua warnanya semakin krem, akhirnya koloni tampak mempunyai benang. Pada miselium yang lebih tua terbentuk klamidospora yang berdinding tebal. Miselia umumnya seperti kapas, seringkali dengan warna ungu, merah muda atau kuning pada media (Barnett & Hunter 1999).

Menurut Leslie & Summerell (2006), cendawan ini memiliki konidia yang bercabang dan disebut konidiofor yang merupakan alat perkembangbiakan, tempat penyimpanan massa, sporodokia atau miselium. Konidiofor bervariasi, ramping dan sederhana, gemuk, pendek, bercabang tidak teratur atau menghubungkan fialid, tunggal atau berkelompok membentuk sporodokia. Sporodokia ini membentuk makrokonidia dan mikrokonidia. Bentuk makrokonidia melengkung panjang dengan ujung mengecil dan mempunyai sekat antara 1-10 atau lebih, terdiri dari beberapa sel, berbentuk perahu; sedangkan mikrokonidium bentuknya pendek, tidak bersekat atau bersekat satu, bersel satu, ovoid, tunggal atau berantai, ada juga yang memiliki 2-3 sel, bujur atau ramping membengkok (Barnett & Hunter 1999). Cendawan ini dapat bertahan di dalam tanah sebagai saprofit atau parasit dalam bentuk klamidospora paling tidak selama lima tahun serta menghasilkan mikrokonidia bening, silindris atau seperti perahu dan bersekat.

Surachmat & Mathur (1988); Gandjar et.al. (1999) dan C.M.I. (1968) yang menyatakan bahwa koloni Fusarium berwarna putih, dengan merah muda sampai violet, tepian koloni berwarna putih, berbentuk bundar, elevasi datar serta pertumbuhan koloninya lambat. Memiliki mikrokonidia yang berseptat 0 - 5, berbentuk elips, lurus dan sedikit membengkok. Beberapa spesies dari Fusarium sp. antara lain : F. oxysporum, F. cilliatum, F. moniliforme, F. roseum, F. solani dan F. venticosum (Watanabe 2002) serta F. equisetii (Nelson 2001). Konsep umum dari Fusarium pertama kali dianalisis oleh Link pada tahun 1809 dengan ciri dasar yaitu adanya konidia berbentuk perahu atau ”canoe” atau pisang yang nampak pada semua genus. Perbedaan bentuk dari konidia adalah umum untuk

(7)

10 mengidentifikasi banyak spesies Fusarium, meskipun ciri tersebut berbeda antar spesies. Akan tetapi Fusarium memiliki morfologi yang terbatas, yang diduga karena seleksi alam dan ekspresinya yang peka terhadap lingkungan. Deskripsi beberapa spesies Fusarium antara lain sebagai berikut :

1. F. oxysporum

Koloni biasanya berwarna merah muda sampai biru violet atau putih dan kuning; bagian tengah koloni berwarna lebih gelap dibandingkan dengan bagian tepi. Saat konidium terbentuk, tekstur koloni menjadi seperti wol atau kapas (Fran & Cook 1998). Konidiofor hialin, sederhana, dan pendek menghubungkan massa spora. Konidia hialin, terdiri dari dengan 2 jenis yaitu : makrokonida berbentuk perahu atau bulan sabit yang agak ramping pada ujung sel, dan sel basal yang bengkok, dengan 3- 5 sel. Mikrokonidia elips dengan 1 sel; klamidospora berwarna coklat dan berbentuk semi bulat. Panjang makrokonidia 17,5 – 29,1 – 45 µm dan diameter 2,9–4,7 µm. Panjang mikrokonidia 6 – 15,8 µm dan diameter 1,9–3,7-5 µm. Klamidospora berdiameter 5,3-10,2–15 µm (Watanabe 2002). Lebih dari 54 forma spesialis F. oxysporum telah diketahui dan dipublikasi.

2. F. ciliatum

Menurut Watanabe (2002), F. ciliatum memiliki konidiofor sederhana (monofialid), mendatar, jarang bercabang di ujung, dengan makrokonidia yang besar, membentuk sporodokia. Makrokonidia hialin, sangat ramping, berbentuk sabit, 3-6 sekat. Tidak ada mikrokonida dan klamidospora. Panjang konidiofor 10-20; 3,2-5 µm. Konidia berdiameter 40-56-2,2-3,2 µm. Cendawan ini berasal dari tanah, dengan koloni homogen pada media Potato Dextrose Agar (PDA), coklat kekuningan ditengah, sedikit putih dan miselia aerial datar.

3. F. moniliforme

F. moniliforme merupakan bentuk anamorf, sedangkan bentuk teleomorf diberikan nama Gibberella fujikuroi. Cendawan ini memiliki konidiofor hialin, sederhana atau bercabang yang menghubungkan massa spora. Konidia hialin, terdiri dari 2 macam: makrokonidia berbentuk

(8)

11 perahu, dengan sel yang sedikit meramping di ujung, sel kaki membengkok dengan 4-5 sel; mikrokonida hialin, ovoid, ujung meruncing. Tidak ada klamidospora. Panjang makrokonidia 26,4-38,9 µm; diameter 2,4-3,7 µm. Panjang mikrokonidia panjang 7,2-12 µm; diameter 2,4-3,2 µm. Diketahui sebagai patogen pada padi, penyebab penyakit Bakanae (Watanabe 2002).

4. F. roseum

Memiliki konidia berwarna kuning dan merah muda. Dengan konidiofor hialin, sederhana dan menghubungkan massa spora. Konidia hialin, terdiri dari 2 jenis : makrokonidia berbentuk bulan sabit atau perahu dengan sel apikal dan sel kaki yang membengkok, 4-6 sel serta mikrokonidia silinder dengan 1-2 sel. Klamidospora berwarna coklat dan berbentuk bulat. Panjang makrokonidia panjang 24,5-45-105 µm; lebar 4- 5-7,5 µm dan mikrokonidia panjangnya 5-17,1 µm; diameter 1,7-6,1 µm; klamidospora 6,2-10,2 -15 µm (Watanabe 2002).

5. F. ventricosum

F. ventricosum merupakan bentuk anamorf, sedangkan Nectria ventricosa merupakan bentuk teleomorfnya. Koloni pada media PDA tidak aerial, coklat kekuningan pucat atau coklat merah muda dan ber- zonasi. Memiliki konidiofor hialin, tegak, panjang, bercabang dan menghubungkan massa spora. Konidia ada 2, yaitu makrokonidia hialin, berbentuk bulan sabit, elips panjang dengan 4-5 sel; serta mikrokonidia hialin dengan 1 sel. Klamidospora coklat kekuningan, tunggal atau 2-4 rantai. Panjang koniofor 125-150 µm; panjang cabang 32,5-90 µm. Massa spora 10-25 µm. Makrokonidia 23,7-47,5 dan 3,7-6,3 µm. Mikrokonidia 3,7-11,3 dan 1,5-5,0 µm; klamidospora 6,2-8,8 µm. (Watanabe 2002). 6. F. solani

F. solani merupakan bentuk anamorf, dan Nectria haemotococca adalah bentuk teleomorfnya. Memiliki konidia yang hialin, sederhana dan menghubungkan massa spora. Konidia terdiri dari 2 jenis, yaitu : makrokonida dengan sel yang membengkok di ujung dan meramping, 2 sel silinder di tengah, selalu 3-5 sel dan mikrokonidia silinder dengan 1-2

(9)

12 sel. Klamidospora coklat, berbentuk bulat dan selalu soliter. Panjang konidiofor 50-165 µm. Makrokonidia 7,2-15; 2,4-3,9 µm; diameter klamidospora 6-7,3 µm. F. solani memiliki 28 forma spesialis dan umumnya heterotalik, jarang yang homotalik (Watanabe 2002).

7. F. equisetii

Pada isolasi awal miselia berwarna putih dan salem (peach), selanjutnya (7-10) hari berubah menjadi coklat (beige) dan akhirnya berwarna kekuningaan mengkilap, dan dibawahnya diawali lagi dengan warna salem yang berubah menjadi coklat tua. Hanya makrokonidia yang dihasilkan, jarang berkembang tetapi dihasilkan dari kumpulan sel spora pada konidiofor. Makrokonidia membengkok seperti sabit, dengan perkembangan sel kaki dan sel apikal yang menipis dan melengkung dengan 4-7 septa, berukuran 22-60 x 3,5-6 µm atau 50x4,5 µm. Klamidospora interkalar, soliter, berbentuk bulat, 7-9 µm. Jarang memiliki peritesia, jarang berkembang, ovoid dengan dinding sel yang kasar dengan tebal 200-350 µm, dan diameter 180-240 µm. Askuspora 21-33 x 4,5-5 µm, hialin, berbentuk kumparan, 2-3 sekat (Nelson 2001).

Sampai sekarang, karakter fisik dan fisiologi masih digunakan secara luas dan praktis sebagai karakter morfologi untuk membedakan spesies Fusarium. Yang menjadi masalah utama adalah jumlah karakter yang ada untuk dideteksi jauh lebih kecil daripada jumlah spesies yang perlu dibedakan. Bentuk konidia sering memberikan deskripsi spesies yang baik, tetapi perbedaan bentuk dan ukuran makrokonidia dapat membingungkan, subjektif dan bergantung pada lingkungan makrokonidia dihasilkan (Leslie et al. 2001).

Menurut (Leslie et al. 2001), para ahli kebanyakan menggunakan sistem genetik dan molekuler sebagai dasar mengidentifikasi spesies Fusarium dan mendeskripsikan takson baru; karena sistem tersebut lebih luas tersedia dalam aplikasinya dan kekerabatan dapat diperluas serta penentuan suatu spesies dan batas-batasnya lebih jelas. Secara konvensional, konsep morfologi yang lebih menguasai, tetapi baru-baru ini teknik biologi dan molekuler yang menjadi lebih penting. Masing-masing dari konsep tersebut beserta dengan tekniknya yang

(10)

13 berbeda-beda saat ini digunakan untuk saling melengkapi dan memiliki kontribusi yang mengarah pada identifikasi suatu spesies dalam genus Fusarium.

Ekologi dan Patogenesis Fusarium sp.

Fusarium termasuk patogen tanaman yang dapat menular melalui tanah (soil borne); bertahan dalam tanah (soil inhabitant) sebagai miselium atau spora tanpa adanya inang (Nelson 2001). Jika terdapat inang maka akan menginfeksi akar, masuk ke jaringan vaskular (xylem) menyebar dan memperbanyak diri, dan menyebabkan inang mengalami kelayuan karena sistem pembuluh pada tanaman inang tersebut tersumbat (Agrios 2005). Secara ekonomi Fusarium sp., adalah patogen penting dalam pertanian hortikultura di dunia (Singleton et al. 1992). Sebagai contoh, F. oxysporum menyerang pertanaman dan penyebarannya sangat luas hampir di seluruh dunia. Cendawan ini menghasilkan tiga macam toksin yang menyerang jaringan tanaman, yaitu: asam fusarat, asam dehidrofusarat dan likomarasmin. Toksin-toksin tersebut akan mengubah permeabilitas membran plasma dari sel tanaman inang sehingga mengakibatkan tanaman yang terinfeksi lebih cepat kehilangan air daripada tanaman yang sehat (Nelson 2001).

Mendgen et al. (1996) berpendapat bahwa cara kerja dari toksin yang dihasilkan Fusarium adalah mengubah struktur sel tanaman; toksin yang dihasilkan adalah asam fusarat dan enzim pektinase. Enzim pektinase merupakan enzim perombak dinding sel tanaman, sehingga patogen bisa masuk ke sel tanaman dengan mudah, serta menyebabkan terjadinya perubahan warna pada akar tanaman (Ching 2008). Asam fusarat bersifat racun pada jaringan parenkim yang letaknya bersebelahan dengan jaringan pembuluh, sehingga menghambat peran dari keduanya (Oku 1994). Mekanisme infeksi Fusarium adalah spora jatuh ke sel tanaman (inokulasi) dibantu oleh angin, masuk ke lubang alami, yaitu hidatoda (pada bagian tanaman), kemudian berkembang biak dan hifanya akan mengkolonisasi jaringan (Tucker & Talbot 2001). Jaringan dipenuhi oleh massa spora patogen, kemudian spora akan berkecambah dan menyumbat sistem jaringan sehingga menimbulkan layu, hawar atau busuk akibat toksin yang dikeluarkan.

(11)

14 Perkembangan Fusarium sp., dipengaruhi oleh keadaan pH yaitu dari tanah asam memungkinkannya tumbuh dan berkembang. Selanjutnya suhu yang berpengaruh terhadap pertumbuhan tanaman berpengaruh juga terhadap perkembangan penyakit. Fusarium sp., mampu hidup pada suhu tanah antara 10 - 24 ºC, meskipun hal ini tergantung pula pada isolatnya (Soesanto 2008). Fusarium juga cepat berkembang pada tanah yang terlalu basah atau becek, kelembaban udara yang tinggi, dan pH tanah yang rendah (Ching 2008). Populasi patogen dapat bertahan secara alami di dalam tanah dan pada akar tanaman sakit serta dapat menginfeksi tanaman lewat mulut kulit, lentisel, kutikula, luka. Fusarium sp., membentuk spora yang berperan di dalam sebaran patogen yang luas secara alami melalui hujan; dimana dengan adanya curah hujan yang tinggi akan membantu pemencaran cendawan patogen tular tanah ke daerah lain yang lebih jauh, baik karena percikan maupun terbawa aliran air. Faktor lain yang berperan dalam penyebaran spora Fusarium adalah angin, bibit terinfeksi, pemindahan bibit, tanah terinfestasi, permukaan air drainase, pembubunan, luka karena serangga, alat pertanian, dan lain-lain (Nelson 2001).

Penyakit yang umumnya diakibatkan oleh patogen ini adalah penyakit layu Fusarium yang menyerang akar dan menimbulkan kerugian yang cukup besar. Tanaman yang menjadi layu akibat penyakit ini antara lain, semangka, melon, tomat, kopi, pisang (Gordon & Martin 1997). Selain itu juga Fusarium dapat menyebabkan busuk biji jagung dan damping off pada pesemaian kapas (Elsalam et al. 2003). Untuk gejala hawar yang disebabkan oleh Fusarium masih sedikit dijumpai. Tetapi beberapa spesies Fusarium dapat menyebabkan penyakit hawar yang menyerang gandum di berbagai belahan Eropa, Amerika, dan Asia hingga menjadi epidemik dan mengakibatkan kerugian akibat kegagalan panen (Zhuping 1994). Penyakit hawar yang disebabkan oleh Fusarium ini umumnya disebut sebagai Fusarium head blight (FHB) atau “scab” atau kudis dan dipengaruhi oleh kelembaban udara yang berlebihan pada musim tertentu. FBH dapat diatasi dengan penggunaan benih tanaman gandum transgenik yang resisten terhadap FBH (Zhuping 1994). Selain itu juga, Fusarium dapat menyebabkan hawar atau bercak daun pada rumput (Goldberg 2006), yang disebut dengan fusarium leaf spot atau fusarium blight.

(12)

15 Fusarium juga menyebabkan penyakit busuk akar dan crown, busuk tongkol, hawar benih dan biji gandum serta malformasi pada mangga dan penyakit bakane pada padi (Summerell et al. 2003). Berkaitan dengan tanaman dari kelompok monokotil, tanaman tebu (Saccharum sp.) diserang oleh Fusarium dan menimbulkan penyakit pokkah boeng yang berasal dari Jawa dan menimbulkan kerugian besar. Penyakit ini menghasilkan gejala yang sangat luas, teristimewa selama cuaca hujan. Umumnya ujung tanaman membelit dan berubah bentuk. Daun klorotik di permukaan bawah, terbatas di dasarnya dan berkembang dengan warna merah tua. Kultivar yang rentan dapat terus berkembang gejalanya, termasuk nekrosis di bagian apikal, keriput, daun menjadi pendek dan gejala berkembang ke batang yang menyerupai potongan dari pisau. Patogen ini tersebar oleh aliran angin dan percikan hujan, menginfeksi potongan batang tebu, serangga dalam stadia pupa dan dewasa yang membuat liang pada batang tebu. Tebu menjadi rentan pada umur 3-8 bulan (Gordon & Martin 1997).

Keragaman Mikroorganisme melalui Karakter Molekuler

Keragaman mikroorganisme adalah variasi atau perbedaan bentuk-bentuk mikroorganisme, materi genetik yang dikandungnya, serta bentuk-bentuk ekosistem tempat hidup atau habitatnya (Campbell & Reece 2005). Keragaman mikroorganisme ini dapat dibedakan secara morfologi, fisiologi dan genetika yang digunakan untuk klasifikasi dan identifikasi secara tepat sehingga diperoleh ciri khusus dari suatu mikroorganisme. Morfologi dan fisiologi suatu mikroorganisme dapat diketahui dengan pewarnaan, uji endospora, menggunakan media spesifik, melihat perkembangan hifa, warna miselium, bentuk konidia dan sebagainya. Pengamatan tersebut cukup membantu dalam identifikasi, tetapi bila satu kelompok mikroorganime mememiliki beberapa jenis atau strain, maka akan sulit untuk dibedakan secara morfologi bahkan dapat terjadi kesalahan identifikasi (Suryadi & Mahmud 2002). Sebagai contoh, hasil penelitian Saragih & Silalahi (2006) menunjukkan bahwa terdapat beberapa spesies Fusarium yang terdeteksi dan diidentifikasi sebagai penyebab penyakit layu pada tanaman markisa. Merujuk pada Burgess et al. (1994) yang mengatakan bahwa F. oxysporum dan F.

(13)

16 equisetii memiliki keragaman yang tinggi yang diduga karena perbedaan ekologi tempat asalnya sehingga antar spesies sulit dikendalikan dengan cara yang sama.

Pendekatan teknologi asam nukleat merupakan cara yang akurat dalam untuk mencirikan keragaman genetik di antara beberapa spesies. Klasifikasi dan identifikasi yang tepat dapat merujuk pada suatu upaya pengendalian yang tepat sasaran. Teknik molekuler yang dapat digunakan untuk mengetahui keragaman mikroorganisme adalah metode Polymerase Chain Reaction (PCR) dan analisis sequencing. PCR merupakan teknik untuk melipatgandakan sekuen nukleotida tertentu secara eksponensial secara in vitro dengan melibatkan sepasang oligonukleotida sebagai primer dan dengan bantuan enzim. Sekuen nukleotida tertentu ini merupakan daerah yang bersifat konserve dan menjadi ciri khas genetik suatu cendawan, yang dapat membedakan dengan organisme lain bahkan cendawan lain yang berbeda jenis dan spesies (Muladno 2002).

Salah satu daerah yang biasa digunakan para ahli untuk mendeteksi keberadaan cendawan patogen tanaman adalah internal transcribed spacer (ITS) pada ribosomal DNA (rDNA) dengan data sekuen 28S rRNA. Daerah ini memiliki variasi sekuens yang tinggi antar spesies serta memberikan kegunaan bagi primer yang dihasilkan untuk deteksi spesies yang spesifik pada cendawan dan membedakan kedekatan hubungan spesies cendawan (Bryan et al. 1995; Elsalam et al. 2003). Gen RNA ribosom (rDNA) memiliki karakter yang cocok untuk deteksi patogen pada tingkat spesies. rDNA ini sangat stabil dan menunjukkan daerah yang conserve dan bervariasi di dalam genom dan dapat digunakan untuk investigasi kekerabatan dalam tingkat spesies (Hibbert et al. 1995 dan Lee et al. 2000). Mereka memperbanyak diri secara ganda mencapai 200 copy per haploid genom (Bruns et al. 1991) dan mengandung gen 18S subunit kecil (SSU), 5.8S dan 28S subunit besar (LSU) (Gambar 3). Perbedaan komposisi nukleotida dari daerah ITS digunakan untuk mendesain primer spesifik untuk mengamplifikasi DNA secara selektif antara spesies patogen tanaman (Moricca et al. 1998). Analisis sekuen nukleotida dari daerah rDNA dapat secara luas diterima untuk menghasilkan filogeni dan hubungannya dalam taksonomi (Hibbert et al. 1995).

(14)

17

Gambar 3 Primer ITS-Fu-f dan ITS-Fu-r, spesifik untuk Fusarium yang dibentuk dari daerah ITS (internal transcribed spacer)

(Elsalam et al. 2003).

Untuk analisis sequencing mengarah pada identifikasi isolat cendawan yang mencerminkan hubungan filogeni. Data sekuen 28S rDNA saat ini digunakan sebagai dasar identifikasi cendawan dalam sistem hirarki yang mencerminkan hubungan kekerabatan (Shenoy et al 2007). Menurut Muladno (2002), penggunaan data sekuens penting dalam membandingkan sekuens dari gen yang sama pada spesies yang berbeda, yang memungkinkan dibuatnya diagram filogenetik. Filogenetik dalam cendawan merupakan cara untuk membedakan spesies yang satu dengan yang lain menjadi sub kelompok yang lebih kecil Leslie et al. (2001). Dalam aplikasinya, banyak studi filogenetik cendawan menggunakan sekuen DNA dari satu atau dua lokus dari isolat yang telah terkarakterisasi dengan baik; contohnya di dalam filogeni Fusarium, dilakukan berdasarkan sekuen ITS antara 2 sekuen Fusarium (Harrington & Potter 1997).

Bakteri Rizosfer yang Berpotensi sebagai Biokontrol

Rizosfer merupakan daerah ideal bagi tumbuh dan berkembangnya mikroorganisme termasuk agensia pengendali hayati (Campbell & Reece 2005). Salah satu mikroorganisme tersebut adalah bakteri rizosfer yang berpotensi

(15)

18 sebagai agens hayati dalam menghambat perkembangan patogen penyebab penyakit serta meningkatkan pertumbuhan tanaman (Baker & Cook 1974). Bakteri di daerah rizosfer lebih banyak yang berperan sebagai agen hayati. Keberlangsungan hidupnya juga lebih stabil dibandingkan dengan bakteri yang hidup di daerah permukaan daun (filoplan). Daerah perakaran banyak terdapat mikroorganisme saprofit yang menyebabkan tahap perombakan dan kecepatan perombakan bahan organik di dalam tanah, sehingga patogen mempunyai kesempatan yang kecil untuk berkembang (Hutcheoson 1998; Weller et al. 2002).

Kelimpahan bakteri di daerah rizosfer sangat beragam dan antara satu wilayah dengan wilayah lainnya berbeda – beda (Lynch 1990). Perbedaaan kelimpahan bakteri dari wilayah yang berbeda dipengaruhi oleh adanya eksudat akar dan didukung dengan lingkungan di dalam tanah yang akan mempengaruhi interaksi organisme antara mikroba tanah, tanaman dan tanah (Soesanto 2008). Makin banyak dan padat akar suatu tanaman di dalam tanah, makin kaya kandungan senyawa organik pada rizosfer sehingga makin padat pula populasi mikroba tanah, termasuk agen hayati. Seiring dengan pendapat dari Degens et al. (2000) bahwa perubahan penggunaan lahan dapat mempengaruhi populasi dan komunitas mikroba dalam tanah.

Loon et al. (1998) mengatakan bahwa bakteri merupakan salah satu kelompok mikroorganisme yang relatif mudah dikembangkan sehingga menjadi cepat melimpah jika dikembangkan dari biosfernya. Oleh karena itu dengan mengetahui kelimpahan dan keragaman bakteri potensial tersebut yang nantinya akan diperbanyak dan dilepas kembali ke daerah rizosfer pertanaman, dapat merupakan usaha konservasi lingkungan rizosfer pada tanaman buah merah dan berprospek dalam usaha pengendalian hayati penyakit tanaman.

Jenis – jenis bakteri rizosfer yang berpotensi sebagai agens biokontrol yang adalah dari kelompok Pseudomonas fluorescens dan nonfluorescens, bakteri tahan panas yang meliputi Bacillus, Clostridium, selanjutnya bakteri penghasil siderofor dan bakteri pendegradasi kitin (Baker & Cook 1974). Bakteri kitinolitik merupakan bakteri yang mampu menghasilkan enzim kitinase yang dimanfaatkan untuk sumber karbon dan nitrogen melalui proses asimilasi kitin (Wang & Chang 1997). Enzim yang dihasilkan berfungsi untuk mendegradasi kitin yang

(16)

19 merupakan komponen penyusun dinding sel cendawan, kulit serangga, dan kerangka luar kelompok arthopoda, moluska, nematoda, dan protozoa. Beberapa genus bakteri yang menghasilkan kitinase antara lain Aeromonas, Alteromonas, Chromobacterium, Enterobacter, Ewingella, Pseudoalteromonas, Vibrio, Bacillus sp., Clostridium sp, Enterobacter liquefaciens, Flavobacterium indolthecium, Klebsiella sp, Micrococcus colpogenes, Pseudomonas sp., Serratia marcencens dan Pyrococcus. Hasil penelitian melapokan bakteri kitinolitik Arthobacter sp., dan Hafnia sp., telah diketahui mampu mengendalikan Fusarium sp. dan Sclerotinia sp pada tanaman tomat dan arbei (Wang & Chang 1997).

Bakteri tahan panas juga merupakan salah satu bakteri rizosfer yang berpotensi sebagai agens hayati, yang meliputi Bacillus dan Clostridium. Saat ini Bacillus lebih banyak dimanfaatkan sebagai agens pengendali hayati patogen tanaman, karena menghasilkan antibiotik yang dapat membunuh mikroba lain Antibiotik yang dihasilkan adalah subtilin, subtilosin, mycobacillin, subsporin, surfactin, bacillomycin, bacilysin, asam sianida, fengycin dan bacilysocin (Maurhofer et al.1994). Selain itu bakteri ini mampu menghasilkan enzim degradatif makromolekul seperti protease dan kitinase yang dapat menghancurkan dinding sel cendawan. Bacillus merupakan bakteri Gram postif yang membentuk spora tahan panas yang berfungsi untuk bertahan hidup pada suhu ekstrim sekitar 700 sampai 1000 C dan sebagian besar bersifat saprofitik (Schaad et al. 2001). B. subtilis, B. cereus, B. licheniformis, B. megaterium dan B. pumilus dapat berperan sebagai agen biokontrol untuk mengendalikan Fusarium sp. (Nelson 2001).

Bakteri kelompok flourescence menghasilkan pigmen berwarna hijau, yang merupakan senyawa flouresein atau pioverdin yang berpendar di bawah cahaya ultraviolet (panjang gelombang 266 nm); dihasilkan pada media dengan kandungan besi rendah yang berfungsi untuk mengikat zat besi dari lingkungannya (Misagi et al. dalam Khaeruni 1998). P. fluorescens diketahui memproduksi asam silikat yang mampu mengendalikan patogen tanaman (Maurhofer et al.1994). P. fluorescens mengeluarkan senyawa antifungal, siderofor,HCNdanmetabolitsekunderlainnyayangsifatnyadapatmenghambat aktivitasF.oxysporum.Senyawasiderofordiproduksipadakondisilingkungan tumbuhyang miskin ionFe3+.Senyawainimengkelat ionFe3+sehinggatidak

(17)

20

tersedia bagi mikroorganisme lain. Ion Fe3+ sangat diperlukan oleh spora F.

oxysporumuntukberkecambah.DengantidaktersedianyaionFe3+makainfeksi

F. oxysporum ke tanaman berkurang (Ramamoorthy et al. 2002). Senyawa antifungal dapat menyebabkan modifikasi struktur dinding sel dan perubahan biokimia/fisiologis pada sintesa protein yang terlibat dalam pertahanan tanaman (de Brito et al. 1995). Chrisnawati et al. (2009) membuktikan bahwa gabungan Pseudomonas fluorosens Pf 101 dan Bacillus spp. Bc 26 memiliki kemampuan antagonistik tertinggi dalam menekan perkembangan penyakit layu bakteri nilam.

Agensia organisme yang digunakan dalam pengendalian hayati sebagian besar dari kelompok mikroba, mampu menekan dan memusnahkan perkembangan mikroba lain, secara khusus yang bersifat fitopatogen (BPTH 2005). Pengendalian secara hayati semakin berkembang karena cara ini lebih unggul dibandingkan dengan pemakaian pestisida dan terbukti lebih aman bagi lingkungan (Pal & Gardener 2006). Mekanisme mikroba menekan mikroba patogen tanaman antara lain melalui antagonisme, antibiosis, hiperparasit, mengeluarkan senyawa volatil, menginduksi ketahanan tanaman dan sebagainya (Baker & Cook 1974). Mekanisme penekanan agens hayati terhadap patogen tanaman nyata terlihat pada perkembangan patogen yang terhambat sehingga penyakit yang ditimbulkan dapat ditekan. Liu et al. (2007) menyatakan bahwa penghambatan yang kuat terhadap patogen dalam uji in vitro mengindikasikan penekanan pertumbuhan cendawan tersebut disebabkan oleh adanya senyawa antifungal yang dihasilkan oleh bakteri antagonis. Aktivitas antagonisme yang utama disebabkan oleh kemampuan bakteri menghasilkan antibiotik; dengan mekanisme antibiotik dan senyawa metabolik yang dihasilkan masuk ke dalam sel patogen dan menghambat aktivitas patogen. Kelimpahan bakteri rizosfer yang berpotensi sebagai agens pengendali hayati sangat penting sebagai informasi dalam mengendalikan penyakit tanaman serta dapat memacu peningkatan pertumbuhan tanaman yang pada akhirnya meningkatkan hasil tanaman sebagai akibat dari pengendalian penyakit jangka panjang (Zhang et al. 2002). Bakteri rizozfer berpotensi juga sebagai pelarut fosfat, membantu dalam asimilasi N2 serta menstabilkan stuktur tanah yang sangat mendukung pertumbuhan tanaman (Mukerji et al. 2006).

Gambar

Gambar 1  Pertanaman buah merah di Kabupaten Manokwari; a. Morfologi tanaman buah merah; b
Gambar 2  Buah merah; a. Buah merah dari tanaman berumur  4 tahun;
Gambar 3  Primer ITS-Fu-f dan ITS-Fu-r, spesifik untuk  Fusarium yang dibentuk dari daerah ITS (internal transcribed spacer)

Referensi

Dokumen terkait

Perbandingan nilai absorbansi untuk pita spektrum inframerah pada bilangan gelombang 1670,35 cm -1 pada spektrum kitin hasil ekstraksi dengan 1661,50 cm -1 pada

Sebagaimana diilustrasikan pada gambar 3, penilaian kinerja 360 derajat mengakomodasi proses evaluasi kognitif terhadap penilaian kinerja yang dialami individu karena

karena pertama senjata itu pemberian dewa dengan jalan yang tidak etis/curang, kedua Karna sendiri bukan tokoh yang suci oleh karena hasil perselingkuhan antara Kunti dengan

Selain faktor musim, ada beberapa alasan mengapa penting untuk memanfaatkan air hujan ini untuk kebutuhan domestik, yaitu: meningkatnya kebutuhan akan air, terbatasnya pasokan

Akan tetapi, berbagai riset tentang praktik pilkada selama satu dekade terakhir menemukan bahwa ranah kebebasan politik yang diimpikan tersebut ternyata telah 'dibajak'

Pada setiap siklus jumlah total yang diperoleh oleh kelompok pembudidaya udang vannamei dari ukuran 40-60/kg pada keseluruhan tambak adalah sebagai berikut: pada saat

Penyusunan program penyuluhan pertanian bersama petani menyiratkan suatu pandangan luas tentang partisipasi masyarakat. Partisipasi merupakan keterlibatan masyarakat

Berdasarkan temuan dari hasil penelitian disimpulkan bahwa terdapat beberapa problematika dan tantangan yang dihadapi oleh pondok pesantren di Kabupaten Gresik, yaitu