• Tidak ada hasil yang ditemukan

Makalah Al-Qur'an & Sains

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "Makalah Al-Qur'an & Sains"

Copied!
23
0
0

Teks penuh

(1)

PENETAPAN AWAL BULAN RAMADHAN

PENETAPAN AWAL BULAN RAMADHAN

DENGAN

DENGAN RU¶YAH HILÂL

 RU¶YAH HILÂL

Makalah Ini Diajukan Guna Melengkapi

Makalah Ini Diajukan Guna Melengkapi Sebagian SyaratSebagian Syarat Untuk Materi:

Untuk Materi: Al-Qur¶an dan SainsAl-Qur¶an dan Sains Program Doktoral (S3) Pengkajian Islam Program Doktoral (S3) Pengkajian Islam

Pascasarjana Institut PTIQ - Jakarta Pascasarjana Institut PTIQ - Jakarta

Oleh: Oleh: ADE BUDIMAN ADE BUDIMAN  Nomo

 Nomor r Test: 11.S3.011Test: 11.S3.011

PROGRAM PASCASARJANA PROGRAM PASCASARJANA

PROGRAM STUDI ILMU AGAMA ISLAM PROGRAM STUDI ILMU AGAMA ISLAM

INSTITUT PERGURUAN TINGGI ILMU AL-QUR¶AN (PTIQ) INSTITUT PERGURUAN TINGGI ILMU AL-QUR¶AN (PTIQ)

J A K A R T A J A K A R T A 1432 H/2011 M 1432 H/2011 M

(2)

PENETAPAN AWAL BULAN RAMADHAN

PENETAPAN AWAL BULAN RAMADHAN

DENGAN RUKYAH HILAL

DENGAN RUKYAH HILAL

A. PENDAHULUAN A. PENDAHULUAN

Ramadhan merupakan salah satu bulan dalam kalender Hijriyah. Kalender Hijriyah Ramadhan merupakan salah satu bulan dalam kalender Hijriyah. Kalender Hijriyah adalah kalender yang mengacu pada peredaran bulan mengelilingi bumi. Oleh sebab itulah adalah kalender yang mengacu pada peredaran bulan mengelilingi bumi. Oleh sebab itulah kalender ini sering disebut dengan kalender 

kalender ini sering disebut dengan kalender QamariyyahQamariyyah. Ada banyak kalender lain yang juga. Ada banyak kalender lain yang juga

mengacu pada peredaran bulan, misalnya kalender jawa, cina, yahudi dan lain sebagainya. mengacu pada peredaran bulan, misalnya kalender jawa, cina, yahudi dan lain sebagainya.

Sebutan Hijriyah disandarkan pada peristiwa hijrahnya Nabi Muhammad SAW, dan Sebutan Hijriyah disandarkan pada peristiwa hijrahnya Nabi Muhammad SAW, dan  peristiwa tersebut juga dijadikan sebagai batas startnya kalender Hijriyah, sebab  peristiwa tersebut juga dijadikan sebagai batas startnya kalender Hijriyah, sebab peristiwa-  peristiwa besar tentang Islam bermula sejak hijrah. Mengapa bukan hari kelahiran Nabi   peristiwa besar tentang Islam bermula sejak hijrah. Mengapa bukan hari kelahiran Nabi Muhammad SAW, atau saat pengangkatanya sebagai seorang Nabi dan Rasul..?, karena Muhammad SAW, atau saat pengangkatanya sebagai seorang Nabi dan Rasul..?, karena menurut para sahabat, peristiwa tersebut atau peristiwa lainnya dianggap tidak memiliki menurut para sahabat, peristiwa tersebut atau peristiwa lainnya dianggap tidak memiliki  pengaruh yang besar bagi kebangkitan Islam

 pengaruh yang besar bagi kebangkitan Islam11..

Kalender Hijriyah berbeda dengan kalender nasional (Masehi) yang menggunakan Kalender Hijriyah berbeda dengan kalender nasional (Masehi) yang menggunakan acuan musim atau peredaran semu matahari sehingga sering disebut dengan kalender  acuan musim atau peredaran semu matahari sehingga sering disebut dengan kalender 

Syamsiyyah

Syamsiyyah. Kalender nasional mengawali harinya saat pukul 00 tengah malam dan bersifat. Kalender nasional mengawali harinya saat pukul 00 tengah malam dan bersifat

tetap, sedangkan kalender Hijriyah mengawali harinya pada sore hari saat matahari terbenam tetap, sedangkan kalender Hijriyah mengawali harinya pada sore hari saat matahari terbenam disuatu tempat; waktu dan posisinya berubah-ubah dari hari kehari. Karena itu, jumlah disuatu tempat; waktu dan posisinya berubah-ubah dari hari kehari. Karena itu, jumlah harinya dalam sebulan juga selalu berubah, bisa menjadi 29 hari atau 30 hari.

harinya dalam sebulan juga selalu berubah, bisa menjadi 29 hari atau 30 hari.

Ketidakpastian jumlah hari dalam sebulan ini disebabkan oleh periode putaran bulan Ketidakpastian jumlah hari dalam sebulan ini disebabkan oleh periode putaran bulan dalam sebulan yang memerlukan waktu sekitar 29,5 hari. Dan hal ini berbeda dengan jumlah dalam sebulan yang memerlukan waktu sekitar 29,5 hari. Dan hal ini berbeda dengan jumlah

11 Atiah Bin Muhammad Salim,Atiah Bin Muhammad Salim, Syarh Bulughul Marâm, Juz. A43,Syarh Bulughul Marâm, Juz. A43,h. h. 6, 6, dikutip dikutip daridari

http://www.islamweb.net 

(3)

hari dalam sebulan pada kalender nasional (Masehi) yang sudah diatur secara tetap, kecuali  pada bulan pebruari setiap tahun kabisat/29 hari jumlahnya tetap 28 hari.

Perbedaan jumlah hari dalam sebulan menyebabkan adanya perbedaan jumlah hari dalam setahun. Dibandingkan kalender nasional (Masehi), jumlah hari dalam setahun pada kalender Hijriyah lebih sedikit, berkisar antara 11 hari-an.

Awal bulan bagi kalender Hijriyah ditandai dengan munculnya bulan sabit atau yang   biasa diistilahkan dengan H ilâl . Dalam Al-Qur¶an  H ilâl  disebutkan sebagai tanda-tanda

waktu.

b4SQe

B

F(]

"

_rF

/lWS$

;

FM[UWT

_kUWT

o

DT

S!U!

8Sk

B$

[FrSI

BUWT

o

B$

U!

S!WT

8Sl

B$

[IWST

S!WT



0[U

ESU!



 Artinya:´Mereka bertanya kepadamu tentang bulan sabit. Katakanlah: "Bulan sabit  itu adalah tanda-tanda waktu bagi manusia dan (bagi ibadat) haji; dan bukanlah kebajikan memasuki rumah-rumah dari belakangnya, akan tetapi kebajikan itu ialah kebajikan orang yang bertakwa. dan masuklah ke rumah-rumah itu dari pintu-  pintunya; dan bertakwalah kepada Allah agar kamu beruntungpintu- (QS. Al-Baqarah [2]:

(4)

Maksudnya adalah disamping sebagai masuknya awal bulan, juga sebagai waktu dimulai dan berakhirnya ibadah puasa. Waktu ibadah haji dan bilanganµI ddah para isteri2.

Dalam hadits Nabi Muhammad SAW secara khusus mengemukakan tentang H ilâl 

(

  

) sebagai persyaratan dimulai dan diakhirinya berpuasa Ramadhan, sebagaimana sabdanya:

   

  

,

  

,

 

 

,

      

  Artinya: Allah SWT telah menjadikan bulan sabit sebagai tanda-tanda waktu bagi manusia, maka berpuasalah kalian karena melihatnya dan berbukalah kalian karena melihatnya. Jika awan menghalangi kalian, genapkanlah bilangan hari menjadi tiga  puluh (hari) (HR. Abdurrazzâq, dari Abdul µAziz dari Rawwâd, dari Nâfi¶ dari Ibnu

µUmar)3.

Sepintas, frasa ³melihat bulan sabit´ itu sangat sederhana. Benarkah sederhana..?, ternyata setelah diteliti secara seksama tidak sesederhana yang dibayangkan, sebab   perkembangan ilmu astronomi, teknologi dan sains telah menghandarkan pada pengertian

³melihat bulan sabit´ (Ru¶yah Al- H ilâl) juga berkembang. Melihat H ilâl tidak semata-mata

melihat dalam artian secara inderawi, tetapi juga ditinjau secara ilmiah, maka tidak mungkin untuk melihat H ilâl tanpa mengetahui secara persis akan posisinya. Jika posisi hilâl sudah

diketahui menurut perhitungan astronomi, maka masih perlu-kah melihat Hilâl secara

2Ibnu Katsir,

Tafsîr Al-Qurân Al-µ  Azhim,(Kairo: Dâr Thayyibah Li An-Nasyr Wa At-Tawzi¶ , 1999), Juz.

I, h. 522

3Abu Bakr Ahmad Al-Baghdâdy, Thurûq  H adits Abdillah Bin µU mar, (Beirut: Dâr Basyâir

(5)

inderawi..?. dari sinilah kemudian muncul landasan teori yang menjadikan dasar peletak  hukum untuk menetapkan kapan awal bulan itu terjadi, yaitu berupa kriteria-kriteria seperti:

1.  Ru¶yah Bil Fi¶li

2. Wujûdul  H ilâl 

3.  I mkânu Ar-Ru¶yah

4.  Mathla¶ Al-Badr (Ru¶yah Global)

Hanya saja, karena tidak adanya kriteria yang disepakati bersama, tak pelak telah meniscayakan munculnya penetapan hukum yang berbeda pula, dan beberapa kali kita telah menyaksikan sekaligus menjalani perbedaan hari pertama berpuasa ramadhan dan perbedaan hari mendirikan sholat Iedul Fithri, meski kita berada dalam wilayah hukum dan ³kampung´ yang sama.

B. BATASAN BEBERAPA ISTILAH a. Hilal

Hilal dalam bahasa Arab merupakan kata benda  Mashdar  dalam bentuk tunggal

 berasal dari kata kerja (



). Bentuk jamaknya (

 

) yang artinya4: 1). Bulan yang muncul pada awal bulanQamariyyahhingga malam ketujuh

2). Bagian dari bulan yang terlihat bercahaya setiap awal bulan.

Dalam ensiklopedia bebas, Wikipedia Bahasa Indonesia, dalam  H ilâl  diartikan sebagai penampakan bulan dengan mata telanjang yang paling awal terlihat menghadap bumi setelah bulan mengalami konjungsi ( I  jtima¶ ). Dan secara astronomi, kata  I  jtima¶  atau konjungsi terjadi jika matahari dan bulan berada pada bujur ekleptika5yang sama.  I  jtima¶ 

4Muhammad Rawwâs dan Hâmid Shâdiq,

 Mu¶jam Lughah Al-Fuqahâ, (Beirut: Dâr An-Nafâis, 1988),

Cet. I, Jilid 2, h. 106

5Orbit atau lingkaran yang seakan-akan dilalui oleh matahari, jika dilihat dari bumi, jalan peredaran

(6)

terjadi setiap 29,531 hari sekali, atau disebut dengan ³Satu Bulan Sinodik´. Pada saat I  jtima¶ ,

  bulan tidak dapat terlihat dari bumi, karena permukaan bulan yang nampak dari bumi tidak  mendapatkan sinar matahari, sehingga dikenal dengan istilah ³Bulan Baru´. Pada petang

  pertama kali setelah I  jtima¶ , bulan terbenam sesaat sesudah terbenamnya matahari. Dalam kalender  H ijriyyah ³ I  jtima´ berperan utama dalam proses penetapan awal bulan6.

b. Ru¶yah

Ru¶yah adalah aktifitas mengamati visibilitas hilal, yakni penampakan bulan sabit yang pertama kali setelah terjadinya I  jtima¶ (konjungsi). Ru¶yah dilakukan pada akhir bulan (Sya¶ban) setelah matahir terbenam, bisa dengan mata telanjang atau dengan alat bantu optik  seperti teleskop. Hilal hanya nampak setelah matahari terbenam (maghrib), karena instensitas cahaya hilal sangat redup dibandingkan dengan cahaya matahari, serta ukurannya sangat tipis7.

Penetapan ru¶yah hilal sebagai dasar penetapan awal pada bulan Qamariyyah

setidaknya akan bersentuhan pada beberapa keadaan baku yang menjadi karakteristik hilal awal bulan, yaitu:

1. Bulan terbenam lebih dahulu dari matahari (Hilal masih/sudah berada dibawah ufuk, alias ³Hilal Negatif´). Dalam keadaan ini, Hilal mustahil dapat dilihat, dan setiap kesaksian pasti akan tertolak.

2. Bulan terbenam setelah terbenamnya matahari. Dalam hal ini, ada kemungkinann Hilal terlihat, namun bergantung ketinggian diatas ufuk.

6Lebih lanjut lihat di (http://id.wikipedia.org/wiki/hilal) 7Lebih lanjut lihat di (http://id.wikipedia.org/wiki/hilal)

(7)

3. Hilal terlihat setelah terbenamnya matahari sebelum terjadinya  I  jtima¶ 

(kongjungsi). Hal ini belum terhitung awal bulan dan masih terhitung sebagai hilal akhir bulan8.

4. Terjadinya konjungsi ketika terbenamnya matahari dalam keadaan tertutup

(Kâsyifah), maka dapat dipastikan Hilal akan terlihat karena kekontrasan cahaya

matahari.

5. Bulan terbenam setelah terbenamnya matahari, sementara itu diwilayah lain sebaliknya, yaitu bulan terbenam sebelum terbenamnya matahari.

Manurut Thomas Djamaluddin9, ada beberapa hal yang perlu diperhatikan dalam melakukan ru¶yah (pengamatan) Hilal, yaitu sebagai berikut10:

1. Hilal adalah objek yang redup dan mungkin hanya tampak sebagai segores cahaya. Sedapat mungkin mengkonfirmasikan dengan menggunakan   binokuler/teropong bila melihat objek terang yang mirip bulan sabit tipis atau

segaris.

2. Pengamatan dari bangunan tinggi ditengah kota mempunyai resiko gangguan  pengamatan akibat polusi asap, debu dan cahaya kota.

3. Lokasi pengamatan dengan arah pandang kebarat yang tidak terbuka atau dipenuhi oleh pepohonan bukanlah lokasi yang baik untuk pengamatan Hilal. Aerah pantai yang terbuka kearah barat adalah lokasi yang terbaik.

4. Hal penting bagi ru¶yah Hilal adalah kemampuan untuk membedakan antara Hilal dan bukan Hilal. Sumpah memang penting untuk membuktikan dan menunjukan

8(fenomena ini terhitung sebagai kejadian yang ganjil dan jarang terjadi)

9Peneliti matahari dan antariksa (LAPAN - Bandung), dan Dosen Pascasarjana S3 PTIQ - Jakarta 10 T. Djamaluddin, Ru¶yatul   H ilal Awal Ramadhan dan  I edul Fithri 1995, dikutip dari:

(8)

kejujuran pengamat, akan tetapi belum cukup untuk memastikan objek yang dilihatnya itu benar-benar Hilal atau bukan Hilal. Saat ini faktor penyebab kesalahan pengamatan Hilal makin banyak.

c. Hisab

 H isab artinya perhitungan. Dalam dunia Islam term H isab digunakan dalam ilmu falak (astronomi) untuk memperkirakan posisi matahari dan bulan terhadap bumi. Posisi matahari menjadi penting karena menjadi patokan umat Islam dalam menentukan masuknya waktu sholat. Sementara posisi bulan untuk mengetahui hilal sebagai penanda masuknya  periode bulan baru dalam kalender Hijriyah11.

Karena ibadah-ibadah dalam Islam terkait langsung dengan posisi matahari dan bulan, maka sejak awal peradaban, Islam menaruh perhatian besar terhadap astronomi. Dewasa ini, metode H isab telah menggunakan komputer dengan tingkat presisi dan akurasi yang tinggi. Berbagai perangkat lunak (Softwere)yang praktis juga telah ada. Hisab seringkali digunakan

sebelum ru¶yah dilakukan. Salah satu hasil hisab adalah penentuan kapan I  jma¶  terjadi.

11Dalam Al-Qur¶an surat Yunus [10] ayat 5:

WSF  "[[A =, =Wl n[,UWT ;rS4 PWrjUWT #Q;$ S,P( [k[j <D \^UWT  $ P[]  bUm Y  F[U  "AZd /d([ 3SU DS,Pd 

Disebutkan bahwa Allah SWT sengaja menjadikan matahari dan bulan untuk mengetahui bilangan tahun dan waktu, begitupula dalam surat Ar-Rahman [55] ayat 5:

, n[,UWT

D 

Disebutkan bahwa matahati dan bulan beredar menurut perhitungan. Demikian juga dalam surat Al-Baqarah [2] ayat 189:  b4SQe B F(]  " _rF /lWS$ ; FM[UWT  _kUWT o DT S!U! 8Sk B$ [FrSI BUWT o B$ U!  S!WT 8Sl B$ [IWST  S!WT  0[U ESU! 

(9)

C. RU¶YAH HILAL DALAM PERSPEKTIF ISLAM KLASIK 

Sebagaimana telah dikemukakan bahwa munculnya H ilal merupakan pertanda awal   bulan dalam sistem kalender Hijriyah. H ilal merupakan fenomena alam yang muncul secara rutin setiap awal bulan. Karena itu sepanjang perjalanan sejarah sebelum astronomi menjadi sebuah kajian sains, fenomena ini secara tradisional berlangsung alami seperti yang digambarkan oleh seorang sahabat dalam pertanyaan tentang Hilal kepada Nabi Muhammad SAW dalam surat Al-Baqarah [2] ayat 189:

³Mengapa ia (bulan) tampak lembut semisal benang kemudian membesar dan terus membulat, kemudian menyusut dan melembut kembali seperti keadaan semula, tidak   seperti matahari yang tak pernah berubah, hanya satu bentuk 12.

Khusus pada bulan Ramadhan yang didalamnya terkandung kewajiban berpuasa selama sebulan, Nabi Muhammad SAW mensyaratkan secara khusus dilakukannya Ru¶yah  H il âl , sebagaimana yang diungkapkan dalam hadis-hadis terdahulu.

1. Pandangan Umum

Meskipun frasa Ru¶yah  H il âl diungkapkan oleh Rasulullah SAW bukan dalam bentuk 

 perintah, akan tetapi para ahli hukum Islam ³klasik´ sepakat untuk melakukan Ru¶yah  H il âl dalam

menetapkan awal bulan Ramadhan. Menurut Hanafi, Syafi¶i dan Maliki hukumnya Fardhu Kifâyah,

sedangkan menurut Hambali hukumnyaSunnah13.

12Al-Imâm Fakhrurrâzi, Tafsîr Al-Fakhrurrâzi, (Kairo: Dâr  I hyâ At-Turâts Al-µ  Araby, 1998), Cet. I,

Jilid I, h. 792

13Ahmad Izzuddin,

(10)

Berdasarkan keumuman hadis tentang Ru¶yah H ilâl , Syeikh µUtsaimin dalam kitab tafsirnya

mengemukakan bahwa dalam hadis-hadis itu diungkapkan cara untuk menetapkan awal bulan Ramadhan, yaitu ada dua cara:

1.  Ru¶yah H ilâl 

2.  I kmal (Menyempurnakan) bulan Sya¶ban menjadi 30 hari

Dan tidak boleh menetapkan awal bulan ramadhan hanya mengandalkan perhitungan astronomi tanpa adanya  Ru¶yah  H ilâl , perhitungan secara astronomi dibolehkan sebatas

sebagai media pendukung (pelengkap)14.

Menurut Taqiyuddin Al-Qusyairy, hadis-hadis  Ru¶yah  H ilâl  diatas mengandung

 beberapa ketentuan:

1. Pelaksanaan Ru¶yah H ilâl mutlak menjadi kewenangan negara bukan perorangan. Hadis

tidak berkaitan dengan hisab

2. Seseorang yang melihat hilal sendirian, berkewajiban untuk berpuasa hanya bagi dirinya sendiri bukan bagi orang lain, dan dilakukan secara rahasia

3.  Ru¶yah H ilâl disuatu negara hanya berlaku di negara itu (lihat hadis: ³Kuraib´pada sub.

Judul pendahuluan, huruf c)

4. Ada yang berpendapat bahwa frasa (

  

) dalam kalimat (

  



  

) bermakna Ru¶yah H ilâl yang dilakukan dengan H isab. Akan

tetapi Imam Qusyairy cenderung berpendapat untuk menggenapkan 30 hari, sebab konteks hadis berkaitan dengan terhalangnya pandangan dalam melihat hilal15.

14Muhammad Bin Shâleh Al-µUtsaimin,

  Majmu¶ Al-Fatâwa Wa Ar-Rasâil  I bnu µU tsaimin, (Makkah,  Dâr Al-Wathan, 1413), Cet. I, Jilid. 19, h. 22

15Taqiyuddin Al-Qusyairy, I hkâm Al-Akhâm, Syarh µU mdah Al-Ahkâm,(Beirut: Muassasah Ar-Risâlah,

(11)

Menurut Syihâbuddin Al-Qulyûby, hadis tentang Ru¶yah  H ilâl mengandung sepuluh

interpretasi yang beragam sebagai berikut16:

1. Perintah berpuasa berlaku atas semua orang yang melihat hilal dan tidak berlaku atas orang yang tidak melihatnya

2. Melihat disini melalui mata, karenanya tidak berlaku atas orang buta 3. Melihat secara ilmu bernilai Mutawâtir 

4. Melihat juga mengandung makna Z han(nisbi) sehingga mencakup astronomi

5. Ada tuntutan puasa secara kontinyu jika terhalang pandangan atas hilal, manakala sudah ada kepastian hilal dapat dilihat

6. Ada kemungkinan hilal sudah berwujud, sehingga wajib puasa, walaupun menurut  pakar astronom belum memungkinkan hilal dapat dilihat

7. Perintah hadis ditujukan kepada kaum muslimin secara menyeluruh, namun  pelaksanaan rukyah tidak diwajibkan kepada seluruhnya

8. Hadis mengandung makna berbuka puasa

9.  Ru¶yah  H ilâl itu berlaku terhadap H ilâl Ramadhan dalam kewajiban berpuasa,

tidak untuk  I  fthâr (berbuka)

10. Yang menutup pandangan ditentukan hanya oleh mendung bukan lainnya

2. pendapat-pendapat Seputar Ru¶yah Hilâl 

Permasalahan yang mengemuka pada dasarnya tidak bersentuhan dengan substansi

 Ru¶yah H ilâl , akan tetapi berkisar pada pelaksanaannya, antara lain tentang:

(12)

a. Terhalangnnya pandangan terhadap H ilâl 

 b. Waktu munculnya H ilâl 

c. Wilayah berlakunya hukum Ru¶yah H ilâl 

d. Kesaksian satu orang yang melihat H ilâl 

Berikut ini adalah pendapat-pendapat tentang kasus diatas yang diambil dari kalangan sahabat, tâbi¶in, dan mazhab yang dikutip dari kitab Fiqih:³Bidâyah AL-Mujtahid´17 .

a. Terhalangnya pandangan terhadap hilal

Dalam Nash hadis, jika pandangan terhadap hilal dalam kondisi ³terhalang´

solusi yang diungkapkan adalah dengan dua redaksi yang berbeda, yaitu:

1). (

    

) artinya menggenapkan 30 hari bulan Sya¶ban

2). (

  

) artinya: (1). Menggenapkan 30 hari (menurut takwil mayoritas),

(2). Dengan perhitungan astronomi

Mayoritas pendapat yang disepakati adalah dengan menggenapkan 30 hari   bulan Sya¶ban, sebab makna inilah yang global, sedangkan yang kedua

merupakan makna iterpretasi. Para ahli ushul menyepakati, jika terdapat  pertentangan antara makna global dan makna iterpretasi, maka yang dikedepankan

adalah makna global.

17Ibnu Rusyd Al-Qurthuby, Bidâyah Al-Mujtahid Wa N ihâyah Al-Muqtashid, (Mesir: Musthâfa Al-Bâbi

(13)

Sementara itu Mathrâf   I bn Syukhair , salah seorang terkemuka dikalangan

Tâbi¶in berpendapat, jika hilal terhalang maka dikembalikan hukumnya menurut   perhitungan astronomi. Penedapat ini sendada dengan pendapat Syafi¶i

sebagaimana yang dikemukakan oleh Ibnu Suraij: ³Jika ada pendapat yang  disandarkan pada astronomi dan menurut perhitungannya ternyata hilal sudah tampak, akan tetapi µ terhalang¶ oleh faktor alam atau yang lainnya, maka baginya diperbolehkan untuk menetapkan berpuasa´. Yang tersirat dalam

  pendapat ini adalah: bahwa usaha Ru¶yah  H ilâl adalah tetap dilaksanakan, meski

kemudian ditemukan terdapat halangan oleh karena faktor cuaca dll.

Ibnu Umar berpendapat, jika terhalangnya hilal terjadi pada awal bulan, maka puasa dilaksanakan pada hari kedua, dan dalam hal ini apabila terdapat keraguantentang hari.

b. Waktu munculnya Hilâl

Mayoritas para ulama telah sepakat, jika hilal terlihat disore hari, maka awal  bulan ditetapkan pada hari kedua.

Jika hilal terlihat dari siang hari, maka menurut pendapat Malik, Syafi¶i dan Hanafi: awal bulan ditetapkan pada hari berikutnya. Sedangkan menurut Abu Yûsuf (pengikut mazhab Hanafi) dan At-Tsauri (pengikut Malik), jika hilal tampak sebelum Z awâl maka awal bulan ditetapkan malam itu juga.

Pada dasarnya pendapat ini didasarkan atas kebiasaan fenomena alam yang disaksikan selama itu.

(14)

Menurut Syafi¶i dan Ahmad,  Ru¶yah  H ilâl  disuatu wilayah berlaku juga di

wilayah lain. Sedangkan menurut Malik, Ru¶yah H ilâl hanya berlaku di wilayah

masing-masing.

d. Kesaksian jumlah orang yang melihat Hilal

Mayoritas para ulama berpendapat: kesaksian satu orang sudah cukup baginya untuk  mulai berpuasa, sedangkan menurut µAthâ Ibn Abu Rabâh, tidak cukup hanya satu orang saja, sekurang-kurangnya dua orang.

Adapun untuk mengakhiri puasa, menurut Malik, Hambali dan Ahmad bahwasannya kesaksian satu orang tidak cukup. Sedangkan menurut Syafi¶i sudah cukup.

D. RU¶YAH HILÂL DI INDONESIA

1. Fenomena awal bulan Hijriyah

Perdebatan tentang penentuan awal bulan Hijriyah setiap menjelang bulan Ramadhan dan Iedul Fithri bagi umat Islam di Indonesia merupakan santapan telinga yang sudah tidak asing lagi,  baik melalui media elektronik maupun media cetak, apalagi jika berdasarkan perhitungan astronomi,   posisi hilal berada pada titik krisis yang berpotensi menimbulkan perbedaan penetapan keputusan

yang hingga kini belum juga ada kesepakan antara pihak-pihak yang berseberangan dalam memahami  Ru¶yah H ilâl ini.

Fenomena di Indonesia ini sebenarnya cukup menarik, sebab pada awalnya banyak kalangan yang beranggapan bahwa pangkal utamanya adalah  H isab. Anggapan tersebut juga tidak bisa

disalahkan, sebab Ibnu Taimiyyah yang digolongkan sebagai bapak filsafat empirisme saja menolak  akan kehadiran H isab. Dengan alasan bahwa H isab merupakan ilmu yang bersifat µprediktif¶ alias

(15)

Ternyata anggapan ini tidak benar, sebab masing-masing juga menggunakan H isab sebagai

landasan. Untuk mengetahui posisi Hilal; 1). Derajat ketinggian, 2). Waktu muncul, 3). Waktu terjadi

 I  jtima¶ (Konjungsi), 4). Lokasi-lokasi potensial untuk dilakukannya Ru¶yah H ilâl , tak mungkin hanya

  berdasarkan perkiraan atau pengalaman empiris semata. Pasti menggunakan perhitungan secara astronomis dan klimatologis. Jika muncul klasifikasi mazhab Ru¶yah H ilâl dan Hisab, maka

semata-mata untuk memudahkan sebutan suatu kelaompok yang b erseberangan.

Selama ratusan tahun pengkajian tentang penafsiran makna yang tersirat dalam Nash Al-Qur¶an dan Hadis ada kecenderungan simplikasi masalah yang solusinya masih bersifat parsial, misalnya tentang perdebatan makna ³ Ru¶yah´ yang berlangsung sekian lamanya, sehingga

muncul ungkapan ³ Ru¶yah Bi Al-Qalb´, ³ Ru¶yah Bi Al-µI lm´ atau ³ Ru¶yah Bil µ  Ain´.

Kemudian sekian lama pula berkutat tentang Mathla¶ , Wujûdul  H ilâl , atau tidak 

sahnya penggunaan alat teropong yang bersifat memantulkan cahaya, dan terakhir kriteria tunggal tinggi bulan minimal 2 derajat. Praktik  H isab, Ru¶yah dan Mathla¶  serta

varian-varian lainnya yang muncul kemudian dengan didasari oleh masalah ijtihadiyah, yang diakui  bersifat Z han (nisbi) dan tidak memiliki kebenaran mutlak. Karena itu sifatnya temporal dan

situasional. Tidak pada tempatnyauntuk menjustifikasi manhaj (metodologi sendiri) dengan mengabaikan manhaj yang lainnya, padahal hisab dan Ru¶yah lebih cenderung untuk diikuti

sesuai dengan keadaan dan zaman, sehingga diperlukan kearifan sosial dalam menetapakan manhaj.

Sejauh ini, perbedaan awal berpuasa dan hari raya sering terjadi dan sudah dianggap   biasa. Umat menyikapinya dengan arif, kendati ada pertentangan kecil dimasyarakat, akan tetapi tidak menjadikan sesuatu yang bergejolak. Dipahami bahwa perbedaan dalam tubuh umat Islam adalah rahmat. Pesan ini bernilai luhur yang menunjukkan konsistensi ajaran Islam sebagai sumber kedamaian.

(16)

Menurut Thomas Djamaluddin, pakar peneliti Matahari dan Antariksa (LAPAN -Bandung), substansi masalah pokok hanyalah bermula dari Re-definisi  H ilâl yang integral

antara hisab dan Ru¶yah dengan riset ilmiah yang terbuka. Riset tidak berarti harus memulai

dari ³Nol´ dengan me- Ru¶yah sendiri, karena hal itu justru bukan metodologi riset yang

efisien untuk masalah hisab Ru¶yah yang memerlukan data jangka panjang dan cakupan

wilayah yang sangat luas. Perlu adanya keberanian mengoreksi pendapat sendiri dan sikap yang terbuka menerima pendapat lain yang mungkin sama sekali baru18.

Hilal sebagai sandi persatuan memang seyogyanya menyatukan umat, bukan menjadikannya retak. Hilal adalah fenomena alam yang sarat makna yang sejak awal menjadi lambang umat Islam. Hilal adalah simbol tauhid sekaligus persatuan. Tidak ada sekat apalagi   jurang pemisah diantara kaum muslimin, maka saatnyalah hilal merekat persatuan umat

Islam. Dan saatnya pula hilal menginspirasi lahirnya kriteria yang disepakati bersama. Tanpa ada yang merasa dimenangkan. Tanpa ada yang merasa dirugikan. Tak ada lagi yang mendahului berpuasa. Tak adalagi yang didahului berhari raya.

2. Identifikasi substansi

Dalam perjalanan Hisab dan  Ru¶yah di Indonesia yang berlangsung melalui

  perdebatan antar ³mazhab´ yang difasilitsi oleh pemerintah dalam upaya mamadukan kriteria-kriteria yang ditetapkan masing-masing. Kriteria-kriteria tersebut sebagaimana yang telah disinggung dipendahuluan. Diidentifikasi sebagai berikut: (1). Ru¶yah   Bil Fi¶li, (2).

Wujûdul  H ilâl, (3). I mkânu Ar-Ru¶yah, (4). Ru¶yah Global (Mathla¶ Al-Badr). Adapun uraian

masing-masing adalah sebagai berikut:

18 T. Djamaluddin,  Redefinisi  H ilal Menuju Titik Temu Kalender   H ijriyah, dikutip dari:

(17)

a.  Ru¶yah Bil Fi¶li 

Untuk menetapkan awal bulan Hijriyah, prinsip-prinsip yang diterapkan dalam kriteria Ru¶yah Bil Fi¶lisebagaimana dikemukakan oleh Ahmad Ghazalie Masroeri, Ketua

PP Lajnah Falakiyah NU adalah sebagai berikut19:

1.  Ru¶yah merupakan aktifitas ilmiah. Sebab melalui Ru¶yah terhadap benda-benda

langit telah melahirkan ilmu hisab

2. Dalam memahami dan mengamalkan Nash Al-Qur¶an dan As-Sunnah tentang   penentuan awal bulan Hijriyah, utamanya bulan Ramadhan, Syawwal dan

Dzulhijjah digunakan asas Ta¶abbudy dan dilengkapi dengan asas Ta¶aqquly

secara simultan

3. Melaksanakan  Ru¶yah  H ilâl  merupakan konsekuensi dari penggunaan asas Ta¶abbudy, sedangkan melengkapi asas Ta¶abbudy dengan ilmu hisab yang

akurasinya tinggi, disertai dengan kriteria  I mkânu Ar-Ru¶yah 20 merupakan

konsekuensi dari penggunaan asasTa¶aqquly

4.  NKRI merupakan suatu wilayah hukum; apabila hasil Ru¶yah disalah satu tempat di Indonesia telah dinyatakan munculnya hilal, maka menjadi dasar  I tsbatul µÂ m yang

 berlaku bagi umat Islam diseluruh Indonesia

T. Djamaluddin mengkritisi prinsip Ru¶yah Bil Fi¶lisebagai berikut:

1. Sering kali, sumpah dianggap lebih kuat dari argumentasi ilmiah yaitu berupa hasil hisab. Dalam beberapa kasus, bulan yang masih dibawah ufuk menurut   perhitungan astronomi dilaporkan terlihat dan diambil sebagai dasar penetapan

awal bulan, misalnya pada penetapan Iedul Fithri 1413/1993.

19Ahmad Ghazalie Masroerie,

 P enentuan Awal Bulan Qamariyah  P erspektif N U   , 2007,dikutip dari:

http://www.nu.or.id/page.php?lang+id&menu+news_view&news_id+9867.

20Kriteria yang diadopsi I mkânu Ar-Ru¶yah MABIMS (Negara-negara: Brunei Darussalam, Indonesia,

(18)

2. Kasus kesaksian dicakung pada Iedul Fithri 1998 yang ditolak oleh sidang itsbat di Departemen Agama RI, akan tetapi diterima oleh PWNU Jawa Timur, yang dalam hal ini menunjukkan belum konsistennya pelaksanaan kriteria secara menyeluruh dijajaran NU. Saat ini hilal masih dibawah kriteria I mkânu Ar-Ru¶yah

2 drajat. Secara teori limit Danjon, jarak minimal untuk mata manusia rata-rata mampu melihat hilal adalah ketinggian 7 drajat.

3. Lajnah Falakiyah PBNU yang menginsyaratkan Iedul Fithri jatuh pada 06 Desember 2002 sebelum ada  Ru¶yatu Al- H ilâl , hanya mendasarkan pada kriteria

yang sebenarnya telah menjadi pedoman PBNU

b. ujûdul Hilâl 

Awal bulan Hijriyah (termasuk Ramadhan dan Syawwal) dimulai sejak  terbenamnya matahari setelah terjadi  I  jtima¶  (konjungsi) dan bulan pada saat itu  belum terbenam, masih berada diatas ufuk (horizon).

Secara umum, kriteria yang dijadikan dasar untuk menetapkan awal bulan Hijriyah sebagaimana dikemukakan oleh PP Muhammadiyah adalah sebagai  berikut21:

1. Awal bulan Qamariyyah dimulai sejak terbenamnya matahari setelah terjadi  I  jtima¶ 

2. Pada saat matahari terbenam tersebut, bulan belum terbenam atau masih  berada diatas ufuk berapapun besarnya

Dalam hal menetapkan awal bulan sejak atahari terbenam, kriteria ini mensyaratkan kedudukan bulan masih belum terbenam atau asih diatas ufuk pada saat

21 Pimpinan Pusat Muhammadiyah, Penyatuan Kalender Hijriyah, 2007, dikutip dari:

(19)

matahari terbenam. Tegasnya, walaupun I  jtima¶ terjadi sebelum matahari terbenam,   pada saat matahari terbenam tersebut belum dapat ditentukan sebagai awal bulan

sebelum diketahui posisi bulan terhadap ufuk pada saat matahari terbenam itu. Apabila pada saat matahari terbenam itu bulan belum terbenam atau masih berada diatas ufuk, maka sejak saat itu mulai masuk bulan baru, sebaliknya apabila pada saat itu bulan sudah terbenam atau sudah dibawah ufuk maka saat itu masih dianggap sebagai hari terakhir dari bulan yang sedang berlangsung.

T. Djamaluddin mengkritisi kriteriaWujûdul  H ilâl sebagai berikut:

1. Kasus pada bulan Dzulhijjah 1423H dikalimantan bagian selatan, sulawesi   bagian selatan, nusa tenggara bagian selatan tentang bulan yang telah wujud  pada saat maghrib 01 Pebruari sebelum terjadi I  jtima¶ berseberangan dengan

kriteria Wujûdul  H ilâl  yang ditandai dengan bila matahari terbenam lebih

dahulu daripada bulan setelah terjadi I  jtima¶ 

2. Pendekatan murni astronomis, bisa menyesatkan bila digunakan untuk    pembenaran penetapan awal bulan yang harus mempertimbangkan syari¶at,  bulan baru astronomi atau I  jtima¶ , tidak ada dasar hukumnya untuk diambil

sebagai batas awal bulanQamariyyah. Sementara itu, posisi bulan diatas ufuk 

dalam definisi sesungguhnya Wujûdul   H ilâl  tidak punya arti secara

astronomis, karena tidak mungkin teramati.Wujûdul  H ilâl hanya ada dalam

teori, apalagi kalau Wujûdul  H ilâl tidak mempertimbangkan I  jtima¶ Qabla  Al-Ghurub, ³ H ilâl´ teoritik-pun mungkin tidak ada karena belum terjadi  I  jtima¶ .

3. Konsep Mathla¶ Wilâyatu Al- H ukmi kontradiksi kalau diterapkan pada hisab

murni, tanpa mengadopsi kriteria Ru¶yah. Konsepsi Mathla¶ berangkat dari

(20)

tidak tampak. Dalam hal ini konsep Mathla¶  diperlukan untuk memberikna

kepastian keberlakuan Ru¶yah  H ilâl itu. Dengan hisab murini, Mathla¶ tidak 

diperlukan lagi.

c. Imkânu Ar-Ru¶yah

Penanggalan Hijriyah standar empat negara ASEAN, yang ditetapkan berdasarkan Musyawarah Menteri-menteri Agama Brunnei Darussalam, Indonesia, Malaysia dan Singapura (MABIMS) tahun 1996 merumuskan kriteria yang disebut ³ I mkânu Ar- Ru¶yah´ dan dipakai secara resmi untuk penentuan awal bulan Hijriyah pada kalender 

resmi pemerintah yang menyatakan: ³Hilal dianggap terlihat dan keesokannya ditetapkan sebagai awal bulan Hijriyah, berikutnya apabila memenuhi salah satu syarat-syarat sebagai berikut:

1. Ketika matahari terbenam, ketinggian bula diatas horison tidak kurang dari 20 dan jarak lengkung bulan-matahari (sudut elongasi) tidak kurang dari 30

2. Ketika bulan terbenam, umur bulan tidak kurang dari 8 jam selepas  I  jtima¶ 

(konjungsi) berlaku.

T. Djamaluddin mengkritisi kriteria ini sebagai kriteria yang didasarkan analisis sederhana, belum memperhitungkan beda azimut bulan-matahari seperti yang dilakukan pada kriteria astronomis. Kalau mau jujur, kriteria Wujûdul  H ilâl yang saat

ini digunakan Muhammadiyah juga tidak ada dukungan ilmiahnya.

Kriteria yang diharapakan sebagai pemersatu terhadap perbedaan kriteria yang ada nampaknya belum memenuhi harapan, sebab beberapa ormas memang menerima,

(21)

namun ormas yang lain menolak, yaitu Muhammadiyah karena dianggap kriteria

 I mkânu Ar-Ru¶yah tidak ada dukungna ilmiahnya, padahal menurut T. Djamaluddin, kriteria Wujûdul   H ilâl  yang saat ini digunakan Muhammadiyah juga tidak ada

dukungan ilmiahnya22.

d. Ru¶yah Global (M athla¶ Al-Badr)

Kriteria ini menetapkan wilayah hukum secara terbuka dan tak terbatas. Di Indonesia kriteria ini dipakai oleh sebagian muslim melalui organisasi-organisasi tertentu sebagai jalan pintas merujuk kepada penetapan awal bulan Hijriyah oleh Arab Saudi atau menggunakan pedoman terlihatnya hilal dinegara lain dalam penentuan awal bulan Hijriyah. Penganut kriteria ini biasanya menggunakan dalil: ³Jika suatu   penduduk negeri melihat bulan, hendaklah mereka semua berpuasa meski yang lain

mungkin belum melihatnya´.

3. Alternatif solusi

Berdasarkan kritisi yang dilakukan oleh T. Djamaluddin, maka beliau menawarkan solusi sebagai alternatif dalam kebuntuan (dalam kesepakatan) sebagai berikut:

a. Perlu adanya kriteria hilal yang disepakati bersama dengan dukungan ilmu  pengetahuan

 b. Masing-masing mengkaji ulang tentang kriteria I mkânu Ar-Ru¶yah yang dipegang oleh NU dan kriteriaWujûdul  H ilâl yang dipegang oleh Muhammadiyah

22

T. Djamaluddin,  Redefinisi  H ilal Menuju Titik Temu Kalender   H ijriyah, dikutip dari:

(22)

c. Masing-masing menganalisis data Ru¶yah H ilâl dan data hisab, sehingga diperoleh

syarat-syarat Ru¶yah  H ilâl berupa kriteria H isab Ru¶yah. Kriteria ini dijadikan

 pedoman bagi pe-Ru¶yah Bil Fi¶li dan pe- Ru¶yah Bil µI lmi23.

E. KESIMPULAN

1. Banyak hadis yang memerintahkan untuk memulai dan mengakhiri berpuasa jika menyaksikan hilal dijadikan dasar oleh mayoritas ahli hukum Islam untuk  melakukan Ru¶yah  H ilâl dalam menetapkan awal bulan Ramadhan.

2. Dalam kondisi tertentu misalnya Ru¶yah  H ilâl tidak mungkin dilakukan yang

disebabkan oleh cuaca atau lainnya, mayoritas berpendapat untuk menggenapkan 30 hari bulan Sya¶ban

3. Hadis riwayat Kuraib memungkinkan disetiap negara memiliki otoritas sebagai

 Mathla¶ Wilayah Al- H ukmitersendiri dalam menetapakan awal bulan Hijriyah

4. Di Indonesia kewenangan negara utnuk menetapkan awal bulan Hijriyah hanya sebatas fasilitator, hal ini disebabkan adanya perbedaan tentang kriteria hilal. Sebagai contoh konsekuensi logis adalah sering tidak serempaknya waktu   pelaksanaan ibadah puasa dan sholat Ied, manakala posisi hilal berada dititik 

kritis.

DAFTAR PUSTAKA

23

T. Djamaluddin,  Redefinisi  H ilal Menuju Titik Temu Kalender   H ijriyah, dikutip dari:

(23)

1. Atiah Bin Muhammad Salim, Syarh Bulughul Marâm, Juz. A43,h. 6, dikutip dari http://www.islamweb.net , diakses tgl. 10-11-2011,

2. Ibnu Katsir, Tafsîr Al-Qurân Al-µ  Azhim, (Kairo:  Dâr Thayyibah Li An-Nasyr Wa At-Tawzi¶ , 1999), Juz. I

3. Abu Bakr Ahmad Al-Baghdâdy, Thurûq  H adits Abdillah Bin µU mar, (Beirut: Dâr

Al-Basyâir Al-Islâmiyyah, 2000), t.p, t.t,

4. Muhammad Rawwâs dan Hâmid Shâdiq, Mu¶jam Lughah Al-Fuqahâ, (Beirut: Dâr An- Nafâis, 1988), Cet. I, Jilid 2

5. (http://id.wikipedia.org/wiki/hilal)

6. T. Djamaluddin, Ru¶yatul  H ilal Awal Ramadhan dan  I edul Fithri 1995, dikutip dari:  H ttp://tdjamaluddin.wordpress.com/2010/27/ru¶yatul-hilal-awal-ramadhan-dan-iedul- fitri/ 

7. Al-Imâm Fakhrurrâzi, Tafsîr Al-Fakhrurrâzi, (Kairo:  Dâr   I hyâ At-Turâts Al-µ  Araby,

1998), Cet. I, Jilid I,

8. Ahmad Izzuddin, Fiqh H isab Rukyah, (Jakarta: Erlangga, 2007), Cet. I

9. Muhammad Bin Shâleh Al-µUtsaimin,  Majmu¶ Al-Fatâwa Wa Ar-Rasâil  I bnu µU tsaimin,

(Makkah, Dâr Al-Wathan, 1413), Cet. I, Jilid. 19

10. Taqiyuddin Al-Qusyairy, I hkâm Al-Akhâm, Syarh µU mdah Al-Ahkâm, (Beirut: Muassasah Ar-Risâlah, 2005)

11. Syihâbuddin Al-Qalyûby, H âsyiyah Minhâj At-Thâlibîn, (Beirut: Dâr Al-Fikr, 1998), Jld. 2

12. Ibnu Rusyd Al-Qurthuby,   Bidâyah Al-Mujtahid Wa Nihâyah Al-Muqtashid, (Mesir:

Musthâfa Al-Bâbi Al-Halaby, 1975), Jilid 1

13. T. Djamaluddin, Redefinisi  H ilal Menuju Titik Temu Kalender  H ijriyah, dikutip dari:

http://t.djamaluddin.spaces.live.com/Blog/ens1D#!&(&DEA6587FD7!135.entery

14. Ahmad Ghazalie Masroerie,  P enentuan Awal Bulan Qamariyah  P erspektif N U  , 2007,

dikutip dari: http://www.nu.or.id/page.php?lang+id&menu+news_view&news_id+9867. 15. Pimpinan Pusat Muhammadiyah, Penyatuan Kalender Hijriyah, 2007, dikutip dari:

Referensi

Dokumen terkait

 Akses di bidang ilmu, teknologi, dan pengobatan terbaru  Hasil penelitian dapat bermanfaat bagi

Objek penelitian ini pada kohesi gramatikal yang mengandung unsur referensi pronomina persona dan referensi demonstratif pada Jagad Jawa dalam surat kabar

Kesimpulan penelitian adalah (1) Terdapat interaksi rata-rata prestasi belajar matematika siswa antara bentuk tes dengan motivasi belajar siswa sebesar (0,001 &lt; 0,05) (2)

Minat yang dapat timbul dari adanya pengaruh atau identifikasi terhadap oarang lain, termasuk diantarannya pengaruh dari teman sebaya karena merupakan lingkungan

Tujuan Pengujian : Pengujian dilakukan untuk memastikan bahwa aplikasi dapat memenuhi kebutuhan fungsional untuk pengiriman notifikasi status permainan sehingga aplikasi

Dari sudut fatwa, terdapat tiga pandangan berkaitan bidangkuasa iaitu sama ada Hakim Syarie wanita boleh membicarakan kesemua kes selain hudud dan qisas atau terhad bagi

Tujuan dari penelitian ini adalah membuat sebuah rancangan sistem portal program studi dengan mengambil konten berupa informasi dari sistem informasi yang sudah ada

Begitu juga keluarga, terutama anak-anak, walaupun mereka penting dalam memberikan sokongan kepada warga tua, tetapi kewujudan dan interaksi dalam keluarga adalah tidak