JHECDs, 5 (1), 2019, hal. 30-39
30
Kajian Literatur
Dampak perubahan iklim terhadap timbulnya penyakit tular
nyamuk terutama Limfatik Filariasis
The impact of climate change on mosquito borne diseases especially
Limphatic Filariasis
Risqa Novita
Puslitbang Biomedis dan Teknologi Dasar Kesehatan, Badan Litbang Kesehatan Korespondensi: risqa@litbang.depkes.go.id
DOI: https://dx.doi.org/10.22435/jhecds.v5i1.1583
Tanggal diterima 20 Maret 2019, Revisi pertama 02 April 2019, Revisi terakhir 20 Juni 2019, Disetujui 25 Juni 2019, Terbit daring 1 Juli 2019
Abstract. Environment provides the greatest contribution as much as 45% in determining a person's health status than other factors, which are behavior (30%), health care (20%) and hereditary (5%). Environmental conditions in Indonesia is still low, which is evidenced by the low achievement of indicators of a healthy environment and a still high health problems caused by poor environment. Climate change has impact on vector borne diseases, especially lymphatic filariasis. So the topic will be studied in this paper to determine the relationship between climate change and incidence of vector borne diseases, especially Limphatic filariasis. The output of this paper is to know the effect of climate changes in mosquito borne diseases, especially Lymphatic filariasis. The study was a reviewer from literature in Google and Pubmed by searching keywods are health of environment, climate change, mosquito borne diseases, and lymphatic filariasis. Based on the results of the literature searching, health of environmental is essentially a condition or state of optimum environment so that a positive effect on the health status of humans Temperature and precipitation are the most variables of climate change which influence mosquito’s development. Temperature has high as 33,5oC and presipitation has high has 600mm were optimum for mosquito’s development. Conclusion. Climate change has relation between vector borne diseases incidence, especially Lymphatic filariasis. Mosquito borne diseases in lymphatic filariasis are ectotherm which dependent on climate change.
Keywods : environmental health, lymphatic filariasis, mosquito borne diseases, climate change
Abstrak. Lingkungan memberikan kontribusi terbesar sebesar 45% terhadap status kesehatan seseorang dibandingkan faktor lainnya seperti perilaku sebesar 30%, pelayanan kesehatan sebesar 20%, dan keturunan sebesar 5%. Kondisi kesehatan lingkungan di Indonesia masih rendah yang dibuktikan dengan rendahnya pencapaian indikator kesehatan lingkungan dan masih menjadi masalah kesehatan tertinggi yang disebabkan oleh kondisi lingkungan yang buruk. Perubahan iklim menimbulkan peningkatan mosquito borne diseases terutama penyakit Limfatik Filariasis yang ditularkan oleh nyamuk Aedes sp, Anopheles sp, Culex sp dan Mansonia sp. Tujuan penulisan artikel review ini adalah untuk mengetahui dampak perubahan iklim dengan kejadian mosquito borne diseases, terutama Limfatik Filariasis. Studi ini berupa review dari literatur di Google dan Pubmed yang dicari melalui pencarian kata kunci yaitu kesehatan lingkungan, perubahan iklim, mosquito borne diseases dan Limfatik Filariasis. Berdasarkan analisis terhadap literatur diketahui bahwa kesehatan lingkungan merupakan suatu standar yang harus dicapai untuk terciptanya kesehatan manusia. Variabel perubahan iklim yang berpengaruh terhadap perkembangan nyamuk perantara Limfatik Filariasis adalah temperatur dan presipitasi. Temperatur sebesar 33,5oC dan presipitasi 600mm optimal untuk perkembangan nyamuk. Perubahan iklim dapat berpengaruh terhadap
kejadian penyakit mosquito borne diseases terutama Limfatik Filariasis. Nyamuk perantara Limfatik Filariasis bersifat ektoterm yang bergantung dengan perubahan iklim.
Kata kunci : kesehatan lingkungan, Limfatik Filariasis, mosquito borne diseases, perubahan iklim
DOI
Cara sitasi : : https://dx.doi.org/10.22435/jhecds.v5i1.1583Novita R. Dampak perubahan iklim terhadap timbulnya penyakit tular nyamuk
terutama Limfatik Filariasis. J.Health.Epidemiol.Commun.Dis. 2019;5(1): 30-39.
31
Pendahuluan
Pemanasan global terjadi cepat dan mengakibatkan perubahan iklim yang memiliki dampak besar bagi kesehatan manusia. Berbagai dampak yang ditimbulkan yaitu peningkatan kejadian penyakit yang ditularkan melalui vektor (vector-borne
diseases), melalui air (water-borne diseases), maupun
melalui makanan (foodborne diseases).1
Penyakit infeksi yang ditularkan melalui nyamuk (mosquito borne diseases) meningkat di negara-negara Asia Selatan dan Asia Tenggara pada abad 21 ini. Adanya perubahan iklim berdampak pada perubahan temperatur dan presipitasi. Hal ini akan lebih meningkatkan kasus mosquito borne diseases di Asia Selatan dan Asia Tenggara.2 Indonesia
merasakan dampak perubahan iklim yang nyata. Pada bulan Juni 2009 di seluruh wilayah Indonesia masih terjadi hujan dengan intensitas yang cukup tinggi, padahal seharusnya pada bulan tersebut sudah memasuki musim kemarau.2
Lingkungan berpengaruh terhadap kesehatan manusia. Infeksi penyakit dapat terjadi jika terdapat ketidakseimbangan hubungan antara lingkungan, agen penyakit dan pejamu. Perubahan iklim merupakan salah satu faktor lingkungan yang berpengaruh terhadap kesehatan masyarakat. Perubahan iklim dapat memicu perkembangbiakan penyakit tular vektor karena berkaitan dengan suhu, kelembaban udara dan curah hujan. Menurut model matematika yang dikemukakan oleh Martens 1997, peningkatan suhu global 3oC dapat
meningkatkan penyakit malaria 50-80 juta per tahun.3
Vektor adalah hewan avertebrata yang menularkan agen penyakit dari satu pejamu ke pejamu lain yang rentan. Vektor digolongkan menjadi dua, yaitu vektor mekanik dan biologi. Agen penyakit tidak mengalami perubahan jika di vektor mekanik, namun mengalami perkembangbiakan dari satu tahap ke tahap berikutnya di dalam tubuh vektor biologi. Salah satu contoh vektor biologi adalah nyamuk.4
Perubahan iklim berpengaruh terhadap siklus hidup nyamuk dan intensitas hisapan nyamuk. Hal ini karena nyamuk termasuk dalam ectothermic, yaitu suhu tubuh tergantung dengan suhu lingkungan (temperatur ambien).5 Tahapan siklus
hidup yang rentan terhadap perubahan iklim adalah larva ke dewasa. Peningkatan suhu akan mempercepat proses perkembangan larva nyamuk menjadi dewasa. Perubahan iklim juga akan mempercepat nyamuk betina dewasa untuk mencerna darah yang dihisap, sehingga intensitas penghisapan akan semakin tinggi. Hal ini berakibat ke peningkatan frekuensi penularan penyakit.4,5
Jenis-jenis nyamuk yang dapat dipengaruhi oleh perubahan iklim adalah Anopheles gambiae, A.
funestus, A. darlingi, Culex quinquefasciatus dan Aedes
aegypti.5 Culex sp merupakan salah satu vektor
penular filariasis dan termasuk nyamuk yang bersifat antropofilik (gemar menghisap darah manusia). Aktifitas menghisap dilakukan pada malam hari dan di luar rumah.6
Review artikel ini bertujuan untuk mengetahui dampak perubahan iklim terhadap kasus Limfatik Filariasis yang disebabkan oleh nyamuk Culex sp,
Aedes sp, Mansonia sp, dan Anopheles sp.
Metode
Penelusuran kepustakaan dilakukan melalui internet dengan peramban Google dan PubMed. Penelusuran menggunakan kata kunci kesehatan lingkungan, Limfatik filariasis, perubahan iklim dan
mosquito borne diseases. Kepustakaan diambil dari
unduhan jurnal gratis dan laman situs kesehatan internasional seperti World Health Organization (WHO).
Total referensi sebanyak 68 buah, Kriteria eksklusi adalah artikel yang tidak menjawab pertanyaan penelitian, kemudian dilakukan penyaringan artikel terpilih sesuai dengan kriteria inklusi, yang digunakan untuk penulisan review artikel ini. Kriteria inklusi rujukan adalah semua artikel mengenai kesehatan lingkungan, Limfatik Filariasis, perubahan iklim dan mosquito borne diseases. Penyaringan artikel terpilih dilakukan berdasarkan kriteria inklusi dan kriteria eksklusi. Didapatkan 42 artikel yang diulas dan ditulis untuk menjawab pertanyaan penelitian, yaitu apakah dampak perubahan iklim terhadap kasus Limfatik Filariasis yang disebabkan oleh nyamuk Culex sp, Mansonia sp, dan Anopheles sp.
Hasil
Berdasarkan penelusuran kepustakaan, 42 literatur terbagi dari artikel yang berasal dari jurnal internasional dan nasional, secara terperinci dilihat pada grafik berikut ini:
Gambar 1. Rincian artikel yang digunakan sebagai literatur review
21.40%
78.60%
Total Artikel Yang direview
32
Kesehatan Lingkungan
Konsep kesehatan lingkungan sebagai bagian dari kesehatan masyarakat sesungguhnya telah lama dikenal di dunia internasional. Sebagaimana disebutkan di dalam teori yang dikemukakan oleh Hendrik L. Blum bahwa lingkungan memberikan kontribusi yang paling besar yaitu sebanyak 45% dalam menentukan derajat kesehatan seseorang dibandingkan faktor lainnya yaitu perilaku sebanyak 30%, pelayanan kesehatan sebanyak 20% dan keturunan sebanyak 5%.7,8
Perubahan Iklim
Perubahan iklim adalah perubahan kondisi iklim rata-rata, misal musim kemarau yang lebih panjang
dari biasanya. Menurut the European Environment
Agency (EEA), perubahan iklim menyebabkan
kenaikan temperatur permukaan bumi sebesar 0,74oC pada abad 20, dan kenaikan temperatur
laut dunia sebesar 1,8 mm per tahun sejak tahun 1961.9
Pada abad 21 diprediksi terjadi kenaikan temperatur bumi sebesar 1,5-5,8oC yang dipicu
oleh peningkatan cuaca ekstrem, gelombang panas, banjir dan kekeringan di berbagai tempat.10
Pengaruh perubahan iklim terhadap terjadinya penyakit menular dapat dilihat pada gambar di bawah:
Gambar 2. Hubungan antara perubahan iklim, penyakit infeksius dan manusia11
Gambar di atas menunjukkan adanya hubungan antara perubahan iklim, yang ditandai adanya perubahan temperatur, presipitasi dan kelembaban, angin serta debu mempengaruhi terjadinya segitiga keseimbangan penyakit antara pejamu, agen penyakit dan penyebaran. Jika terjadi ketidakseimbangan antara faktor di dalam segitiga ini, maka akan terjadi penyakit infeksius yang ditularkan melalui peranan vektor, air, makanan, udara dan lainnya. Terjadinya penyakit infeksius ini akan mempengaruhi kesehatan manusia.
Mosquito borne diseases
Mosquito borne diseases memiliki kontribusi
tertinggi dalam menyebabkan beban penyakit pada masa global saat ini karena sangat peka dengan kondisi iklim. Kondisi ini akan secara langsung mempengaruhi kehidupan nyamuk dan secara tidak langsung juga terhadap kasus terjadinya mosquito
borne diseases.11,19
Terdapat beberapa model yang digunakan untuk mengukur pengaruh perubahan iklim terhadap perkembangan nyamuk, misalnya model algoritma MaxEnt. MaxEnt model dipakai untuk memprediksi pengaruh perubahan temperatur terhadap habitat dan distribusi nyamuk. Hasil model menunjukkan bahwa Cx. quinquefasciatus, Cx. univittatus, M.
uniformis, M. Africana berpengaruh terhadap
perubahan iklim. Perubahan iklim yang dapat mempengaruhi distribusi dan habitat keempat nyamuk tersebut adalah temperatur dan curah hujan.16
Limfatik Filariasis
Nyamuk yang berperan sebagai vektor Limfatik Filariasis adalah Aedes sp, Culex sp, Anopheles sp, dan Mansonia sp. Kasus Limfatik Filariasis menduduki peringkat ketiga dari penyakit tular nyamuk per tahun di dunia, seperti terlihat dalam tabel berikut:
33 Tabel 1. Jumlah kasus per tahun oleh Penyakit Tular
nyamuk.17,18
Jenis nyamuk Penyakit yang ditularkan jumlah kasus Perkiraan per tahun
Malaria Anopheles 212 juta
Dengue Aedes 96 juta
Limfatik filariasis Aedes, Anopheles, Culex, dan Mansonia
38,5 juta
Chikungunya Aedes, Anopheles,
Culex, dan Mansonia
693.000 (di Amerika)
Virus Zika Aedes 500.000
(Amerika)
Yellow fever Aedes dan
Haemagogus 130.000 (Afrika)
Japanese
encephalitis Culex 42.5002
West nile fever Culex 2588
Kasus Limfatik Filariasis cukup tinggi jika dilihat dari tabel tersebut, yaitu urutan ketiga teratas setelah Dengue. Perubahan iklim yang terjadi saat ini dapat membuat kasus Limfatik Filariasis cukup tinggi karena nyamuk sebagai perantara berasal
dari 4 genus yang berbeda yaitu Aedes, Anopheles, Culex, dan Mansonia.
Perubahan iklim berdampak pada naiknya permukaan air laut yang dapat meningkatkan salinitas air. Beberapa nyamuk yaitu Aedes sp dan
Anopheles sp toleran dengan air salin, seperti
terlihat pada tabel berikut ini:
Tabel 2. Macam spesies nyamuk yang hidup dalam air salin22
Spesies nyamuk Distribusi Penyakit yang
disebarkan
Ae. (Ochlerotatus) vigilax Australia, Asia Tenggara Limfatik filariasis
An. Subpictus Asia Limfatik filariasis
Aedes sp terutama Ae. aegypti merupakan vektor
alami untuk cacing Brugia malayi. Aedes sp mengalami 6 tahapan perkembangan di dalam hidupnya, seperti terlihat dalam gambar berikut ini.
Gambar 3. Siklus hidup Aedes sp19
Anopheles dapat menularkan cacing Wuchereria
bancrofti dan B. malayi yang menyebabkan Limfatik
Filariasis pada manusia. Terdapat 460 spesies Anopheles yang sudah teridentifikasi di seluruh belahan dunia, dan 100 di antaranya dapat menularkan penyakit ke manusia dan hewan. Menurut penelitian yang telah dilakukan oleh Ridha, 2018, terdapat hubungan antara tingginya curah hujan dengan daya tahan hidup nyamuk Mansonia yang juga dapat berperan sebagai vektor Limfatik Filariasis. Spesies Mansonia terutama Ma.
annulate memiliki peluang hidup yang lebih tinggi di
bulan Desember yang memiliki curah hujan
tertinggi sepanjang tahun yaitu 119,00 mm/hari, yaitu 37,23 hari.18
Jenis nyamuk lainnya yang dapat dipengaruhi oleh perubahan iklim adalah Culex sp. Spesies Culex yang dapat menjadi vektor untuk Limfatik Filariasis adalah Cx. pipiens dan Cx. quinquefasciatus. Perbedaan Cx. pipiens dan Cx. quinquefasciatis pada daerah penyebarannya, Cx. quinquefasciatis banyak terdapat di daerah tropis dan sub tropis. Cx.
quinquefasciatis merupakan vektor cacing filaria
yaitu W. bancrofti yang terdapat di Brazil, Afrika
34
Gambar 4. Daerah geografis penyebaran Cx. quinquefascatus (area berwarna biru)3
Pembahasan
Pemanasan global merupakan isu internasional pada beberapa tahun belakangan ini. Dampak dari pemanasan global adalah terjadinya perubahan iklim yang saat ini sudah dapat dirasakan oleh penduduk di berbagai belahan dunia antara lain: 1) Perubahan pola cuaca dan curah hujan pada beberapa negara yang dapat mengakibatkan meningkatnya ancaman kekeringan dan banjir; 2) Perubahan pada turun dan mencairnya salju pada ketepatan waktu dan jumlah curah hujan; 3) Meningkatnya permukaan air laut yang berdampak pada tanah dan bebatuan di pantai dan ketersediaan air; 4) Meningkatnya temperatur pada air sungai dan danau, mencairnya salju abadi dan berkurangnya kejernihan air yang mengancam kehidupan habitat pada sungai dan danau.10,30
Perubahan iklim dapat mempengaruhi kesehatan manusia, terutama bila disebabkan oleh penyakit menular. Terdapat tiga komponen penting yang memicu terjadinya penyakit infeksius, yaitu agen penyakit, pejamu, dan lingkungan. Beberapa penyakit infeksius terutama yang ditularkan oleh vektor dapat dipengaruhi oleh perubahan iklim.11,12
Perubahan iklim termasuk temperatur, presipitasi, angin, dan sinar matahari. Perubahan tersebut mempengaruhi tingkat survival, reproduksi atau distribusi agen penyakit, sehingga membuat agen penyakit tersebut dapat beradaptasi terhadap lingkungan.
Perubahan iklim global secara tidak langsung dapat menyebabkan persebaran beberapa penyakit infeksi dalam jumlah banyak, terutama yang dibawa melalui air, makanan dan vektor. Lebih jauh lagi menyebabkan peningkatan suhu ambien dari siklus hidup yang dinamis dari vektor, yaitu nyamuk, kutu, lalat pasir maupun organisme pembawa
penyakit lainnya seperti protozoa, bakteri, dan virus.
Oleh karena perubahan iklim juga merupakan penyebab bencana alam maka penyakit-penyakit yang ditimbulkan oleh perubahan iklim cenderung sama dengan penyakit yang disebabkan oleh bencana alam (banjir, kekeringan) seperti diare, kolera, pes, dan malaria, namun selain itu juga muncul masalah penyakit kanker kulit.6 Masalah
kesehatan lingkungan merupakan masalah yang komplek hingga untuk mengatasinya dibutuhkan kerjasama berbagai pihak. Untuk itu diperlukan sistem yang terintegrasi dan komprehensif dari berbagai sektor terkait.2,24
Media transmisi yang tidak hidup seperti air, udara, makanan, debu disebut perantara sedangkan yang hidup secara spesifik seperti serangga atau artropoda disebut vektor. Komponen lingkungan dikatakan memiliki potensi untuk menyebabkan penyakit jika dalam lingkungan tersebut terdapat satu atau lebih agen penyakit yang dapat berupa agen biologis (bakteri, parasit, virus), fisik (suhu, debu, radiasi), kimia (karbon monoksida, asbes, arsen, dsb.), dan nutrisi (kelebihan atau kekurangan gizi).26
Nyamuk termasuk dalam vektor yang dapat menularkan penyakit infeksi ke manusia. Kemampuan nyamuk untuk menularkan penyakit ke manusia tergantung dari faktor berikut, yaitu: 1) Umur nyamuk, semakin panjang umur nyamuk maka semakin tinggi peluang menulari manusia; 2) Peluang kontak dengan manusia. Pada umumnya nyamuk yang bersifat antropofilik, cenderung menyukai menghisap darah manusia dibandingkan darah hewan; 3) Frekuensi menggigit seekor nyamuk. Semakin sering seekor nyamuk yang mengandung bibit penyakit menggigit, maka semakin besar peluang menularkan penyakit; 4) Kerentanan nyamuk terhadap patogen itu sendiri.
35
Nyamuk yang memiliki terlalu banyak patogen dalam perutnya memiliki peluang lebih besar untuk menginfeksi manusia; 5) Keberadaan manusia di sekitar nyamuk. Nyamuk memiliki kebiasaan menggigit di luar maupun di dalam rumah pada malam hari. Setelah menggigit, beristirahat di dalam rumah maupun di luar rumah; 6) Temperatur lingkungan. Temperatur lingkungan yang dianggap kondusif berkisar antara 25-30oC
dan kelembaban udara 60-80%, dan; 7) lingkungan. Nyamuk memiliki respon tinggi terhadap perubahan iklim berupa penyebaran aktif dan penyebaran pasif. Penyebaran aktif berupa penyebaran luas dan tingkat reproduksi tinggi terutama di daerah baru. Penyebaran pasif berupa penyebaran yang meluas melalui transportasi manusia, termasuk antar benua, seperti Ae.
albopictus yang menempel di roda mobil. Hal ini
yang membuat area penyebaran Limfatik Filariasis meluas karena pergerakan Ae. Albopictus.20
Faktor lingkungan sangat berperan untuk menyebabkan nyamuk sebagai vektor penular penyakit infeksius. Faktor-faktor tersebut antara lain: a) Lingkungan fisik, seperti temperatur udara yang mempengaruhi panjang pendeknya masa inkubasi patogen penyakit; b) Kelembaban udara yang rendah akan memperpendek umur nyamuk. Hujan yang diselingi panas semakin baik untuk perkembangbiakan nyamuk sedangkan pengaruh sinar matahari terhadap pertumbuhan larva nyamuk berbeda-beda, sebagai contoh An.
sundaicus lebih suka tempat yang teduh sehingga
pada musim hujan populasi nyamuk ini berkurang.27,28
Kemampuan nyamuk untuk bertahan hidup tergantung dari temperatur dan kelembapan lingkungan yang mempengaruhi fekunditas atau kemampuan bereproduksi dan fertilitas nyamuk. Temperatur yang tinggi sangat mempengaruhi kelembapan udara dan biologis nyamuk. Kelembapan 60-80% berpengaruh pada nyamuk betina. Nyamuk akan menurunkan produksi telur, peletakan telur, dan perubahan peletakan telur.19,29
Salah satu syarat nyamuk menjadi vektor filaria yaitu harus mempunyai umur yang relatif lebih panjang dari masa inkubasi ekstrinsik karena larva filaria memerlukan waktu 8-12 hari untuk menjadi infektif.15,16 Temperatur dan kelembaban
berpengaruh terhadap kebiasaan menghisap dan umur nyamuk, sehingga mikrofilaria atau larva cacing filaria yang berada di dalam tubuh nyamuk mempunyai waktu yang cukup untuk tumbuh menjadi infektif, yaitu larva stadium L3.17,18
Tingginya kasus penyakit tersebut berkaitan erat dengan perubahan peruntukan lahan yang semula adalah lahan hutan berubah menjadi perkebunan atau perumahan, metode pertanian yang berbeda-beda, pemakaian pestisida, perilaku manusia, kontrol vektor dan perubahan iklim. Penyakit-penyakit tersebut termasuk Penyakit-penyakit zoonosis yang menular dari hewan seperti mamalia atau burung liar ke manusia, yang dapat bersirkulasi secara terus-menerus di dalam lingkungan.5,16,17
Hujan, temperatur tinggi dan berbagai perubahan cuaca mempengaruhi vektor dan penyakit yang ditularkan oleh vektor, misalnya temperatur tinggi dapat meningkatkan atau menurunkan survival rate, daya tahan vektor, tingkah laku vektor, ekologi, dan beberapa faktor lainnya.1,2
Populasi nyamuk tergantung dengan variabel iklim, yaitu temperatur dan presipitasi. Perubahan iklim menyebabkan peningkatan suhu latitudinal dan altitudinal, serta kenaikan suhu air permukaan bumi sebesar 2.4-6.4oC per tahun 2100.10
Perubahan temperatur berpengaruh langsung ke nyamuk karena nyamuk merupakan hewan ektotermik yang sangat bergantung dengan suhu lingkungan. Nyamuk juga memerlukan temperatur ambien yang sangat berpengaruh terhadap siklus hidupnya.
Perubahan temperatur mempengaruhi biologi dan ekologi nyamuk, termasuk penyebaran penyakitnya. Hal ini karena nyamuk sangat tergantung pada temperatur ambien untuk bertahan hidup dan berkembangbiak. Sebagai contoh di dataran tinggi Afrika memiliki temperatur ambien yang rendah, mengakibatkan pembatasan perkembangiakan dan daya hidup nyamuk Anopheles.1,19 Peningkatan temperatur
juga mempengaruhi perubahan bionomik atau perilaku menghisap dari populasi nyamuk, angka hisapan rata-rata meningkat, kegiatan reproduksi nyamuk berubah ditandai dengan perkembangbiakan nyamuk yang semakin cepat dan masa kematangan parasit filaria dalam tubuh nyamuk akan semakin pendek.14
Pada umumnya penyakit yang disebabkan oleh vektor Limfatik Filariasis sensitif terhadap perubahan iklim. Nyamuk sangat tergantung dengan kenaikan temperatur. Temperatur di atas 33,5oC menyebabkan siklus hidup Ae. albopictus
menjadi lebih pendek. Hambatan siklus hidup terjadi di tahap perkembangan telur, larva, dan dewasa. Siklus hidup nyamuk tidak akan menghasilkan nyamuk dewasa pada suhu di bawah 18oC dan di atas 34oC. Temperatur yang tinggi,
yaitu di atas 39oC juga akan membuat parasit
36
bagi nyamuk agar metabolisme tubuh dapat berjalan adalah 25-27oC.5
Temperatur 33,5oC dan presipitasi sebesar
650mm optimal untuk peningkatan kasus penyakit infeksius yang ditularkan melalui nyamuk.36
Presipitasi adalah curah hujan yang jatuh ke bumi dan membentuk kubangan air. Kubangan air ini dibutuhkan untuk tahapan perkembangan nyamuk ynag berhubungan dengan kelembaban. Hal tersebut mempengaruhi daya tahan nyamuk. Periode ekstrinsik yaitu waktu yang dibutuhkan oleh parasit untuk berkembang biak di dalam tubuh nyamuk hingga tahap infektif untuk ditularkan ke pejamu akhir, yaitu manusia atau hewan.37 Penelitian menunjukkan bahwa periode
ekstrinsik pada nyamuk akan memendek jika suhu lingkungan meningkat, dan hal ini akan meningkatkan status infeksius agen penyakit. Pada nyamuk Aedes sp, temperatur rendah akan memperpendek periode inkubasi ekstrinsik dan menyebabkan peningkatan jumlah parasit infektif dengan menekan sistem imun nyamuk.38 Nyamuk
dapat berubah menjadi infeksius setelah memakan patogen pada saat menghisap darah induk semang yang terinfeksi. Proses ini diikuti dengan sirkulasi patogen dari mulut nyamuk menuju ke tubuh nyamuk.1,14
Siklus hidup nyamuk dalam menularkan patogen terbagi di dalam dua bagian, yaitu bagian di tubuh nyamuk dan di pejamu. Di pejamu, perkembangan patogen akan stabil karena tubuh pejamu memiliki sistem termoregulator yang mengatur temperatur tubuh. Di dalam tubuh nyamuk, patogen akan berkembang jika nyamuk menemukan temperatur yang sesuai untuk perkembangan, yaitu temperatur ambien.
Pengaruh temperatur inilah yang menyebabkan penularan penyakit oleh nyamuk. Hal ini juga yang menyebabkan populasi nyamuk yang tinggi belum dapat menyebabkan tingginya penularan penyakit dari nyamuk seperti Dengue, Malaria, dan Limfatik Filariasis. Namun penyebaran patogen tersebut dipengaruhi oleh temperatur lingkungan yang optimal karena nyamuk tidak memiliki sistem regulasi temperatur tubuh di dalam tubuh.5,14
Temperatur lingkungan yang optimal ini adalah salah satu faktor yang menyebabkan kompetensi nyamuk dalam menyebarkan patogen. Kompetensi nyamuk merupakan kemampuan intrinsik untuk menyebarkan patogen. Pada saat kondisi lingkungan berubah akibat perubahan iklim, kompetensi nyamuk akan terpengaruh dan kapasitas nyamuk akan sangat berubah yang
memungkinkan terjadi outbreak transmisi patogen dari nyamuk. Kapasitas nyamuk tergantung dari jumlah nyamuk yang berkaitan erat dengan curah hujan.10
Penyakit yang ditularkan oleh nyamuk masih merupakan masalah kesehatan masyarakat yang utama di negara beriklim tropis dan sub tropis. Penyakit ini hanya akan terjadi jika vektor, hewan sebagai induk semang, iklim, patogen dan populasi masyarakat yang rentan berada di dalam satu waktu dan lokasi. Perubahan iklim secara global dapat meningkatkan infeksi penyakit yang ditularkan oleh nyamuk karena menyebabkan peningkatan jumlah nyamuk dan patogen.30,31
Adanya perubahan iklim global diprediksikan memicu terjadinya outbreak penyakit infeksius karena perubahan iklim dapat menyebabkan perluasan area patogen penyakit, induk semang dan vektor penyakit.2,11 Salah satu jenis penyakit
infeksius yang bersifat zoonosis dapat ditularkan oleh vektor, yaitu Limfatik filariasis atau penyakit Kaki Gajah. Limfatik filariasis merupakan salah satu penyakit menular yang masih menjadi masalah kesehatan di dunia. Limfatik filariasis disebabkan oleh cacing filaria Wuchereria bancrofti, Brugia
malayi dan Brugia timori yang menyerang saluran
dan kelenjar getah bening serta ditularkan oleh berbagai jenis nyamuk.20,21
Limfatik Filariasis tidak mematikan namun menimbulkan sakit secara fisik yang bersifat kronis dan kecacatan yang permanen sehingga menurunkan aktivitas, produktivitas penderita dan menjadi beban sosial keluarga. Selain itu, Limfatik Filariasis dapat menimbulkan dampak ekonomi dan dampak mental secara psikologis. Negara endemik Limfatik Filariasis terbanyak di dunia setelah India yaitu Indonesia dan ketiga terbanyak adalah Nigeria.3,5
Limfatik Filariasis disebarkan oleh vektor nyamuk hampir semua genus, yaitu Anopheles, Culex, Mansonia, Aedes, dan Armigeres. Nyamuk Culex memiliki tubuh berwarna cokelat kehitam-hitaman, ujung abdomen tumpul, palpus lebih pendek dari proboscis, dan sayap berwarna gelap.5,16
Anopheles masuk di dalam (An.) family Culicidae dan memiliki spesies yang banyak. Anopheles betina membutuhkan protein yang didapat dari darah manusia atau hewan yang dihisapnya untuk mematangkan sel telur di dalam tubuh. Beberapa spesies Anopheles ada yang bersifat anthropophilik atau menyukai menghisap darah manusia dan ada beberapa spesies yang bersifat zoophilik atau
37
menyukai menghisap darah hewan. Transmisi Limfatik Filariasis terjadi jika Anopheles membawa stadium infektif dari agen penyakit infeksius tersebut.35 Anopheles merupakan hewan
poikilotherms, yang tergantung dengan temperatur
ambien. Sehingga perubahan iklim mempengaruhi biologi dan ekologi Anopheles yang bertindak sebagai vektor Limfatik Filariasis.
Kurang lebih terdapat tujuh spesies Culex yaitu Cx.
quinquefasciatus, Cx. hutchinsoni, Cx. sitienss, Cx. vishnui, Cx. pseudovishnui, Cx. tritaeniorinchus, dan Cx gelidus. Ciri utama pada Cx. quinquefasciatus yaitu
pleuron berwarna pucat, sedangkan Cx. hutchinsoni pleuron berwarna gelap kehitam-hitaman, permukaan anterior femur kaki tengah, Cx. sitiens berbercak berupa sisik-sisik cokelat dan putih, Cx.
vishnui memiliki permukaan anterior femur kaki
tengah sebagian besar gelap dan tidak memiliki sisik, Cx. pseudovishnui memiliki vertex dengan sisik-sisik berwarna kekuning-kuningan, Cx. tritaeniorhynchus bagian ventral proboscis ke pangkal
dengan bercak pucat dan Cx. gelidus memiliki
scutum berwarna putih keperakan.16
Culex merupakan nyamuk yang memiliki daerah penyebaran yang luas di dunia. Terlihat di gambar 4, penyebaran Culex hampir meliputi sebagian besar dunia. Peningkatan temperatur air permukaan dapat mengakibatkan peningkatan jumlah penyakit infeksius yang disebabkan oleh nyamuk, yaitu Limfatik Filariasis, Chikungunya, Malaria atau Dengue.1,21,22
Cx. quinquefasciatus berkembang pesat di wilayah
perkotaan yang memiliki tingkat sanitasi dan drainase yang kurang memadai. Cx. quinquefasciatus juga memiliki tempat perkembangbiakan yang permanen, sehingga mudah diketahui oleh manusia. Tempat beristirahat Cx. quinquefasciatus biasanya di dalam rumah, yaitu di bawah kolong tempat tidur, sudut-sudut gelap rumah, dan baju yang bergantungan.5,35
Kenaikan temperatur di bumi menyebabkan peningkatan temperatur air di permukann bumi. Perkembangbiakan Culex sp meningkat seiring dengan peningkatan temperatur air.6 Temperatur
yang tinggi pada daerah perkotaan memacu musim kawin nyamuk, yaitu dengan meningkatnya siklus reproduksi, memperpanjang musim kawin nyamuk dan interaksi dengan induk semang. Hal ini akan mempercepat terjadinya outbreak penyakit, terutama pada nyamuk Culex sp.1
Seseorang dapat tertular atau terinfeksi oleh Limfatik Filariasis apabila orang tersebut digigit nyamuk yang infektif, yakni nyamuk yang
mengandung larva stadium III (L3). Pada mulanya nyamuk tersebut mendapat cacing filarial kecil (mikrofilaria) sewaktu menghisap darah penderita atau binatang reservoir yang mengandung mikrofilaria. Siklus penularan penyakit kaki gajah ini melalui dua tahap, yaitu perkembangan dalam tubuh nyamuk (vektor) dan tahap kedua perkembangan dalam tubuh manusia dan reservoir.9,17
Meningkatnya temperatur rata-rata bumi sampai dengan tahun 2100 mempunyai konsekuensi terhadap meningkatnya transmisi mosquito borne
diseases termasuk pada nyamuk vektor filariasis.
Kasus kronis Limfatik Filariasis di Indonesia mempunyai kecenderungan meningkat, yaitu 8.243 kasus pada tahun 2005 menjadi 11.473 kasus pada tahun 2007.2
Adanya nyamuk sebagai vektor berbagai penyakit infeksius, memerlukan tindakan pencegahan agar manusia dapat terhindar dari Limfatik Filariasis. Beberapa langkah pencegahan yang dapat dilakukan antara memakai kelambu yang dicelupkan dengan pestisida untuk mencegah gigitan nyamuk Anopheles sp, gerakan 3 M (menguras, mengubur, dan menutup) tempat penampungan air, penggunaan kasa pada lubang angin di rumah atau dengan pestisida untuk mencegah penyakit Limfatik Filaria dan sanitasi lingkungan.14,38
Kesimpulan dan Saran
Kesimpulan
Perubahan iklim yang terjadi dapat meningkatkan kasus Limfatik filariasis yang ditularkan oleh Culex
sp. Aedes sp, Mansonia sp dan Anopheles sp.
Saran
Untuk mencegah terjadinya Limfatik filariasis oleh nyamuk akibat perubahan iklim, maka masyarakat diharapkan untuk membudayakan hidup sehat agar kita terhindar dari gigitan nyamuk perantara Limfatik filariasis. Bagi pemangku kebijakan, dapat diterapkan regulasi agar masyarakat memelihara kesehatan lingkungan dengan cara tidak membuang sampah sembarangan dan menghilangkan genangan air yang berpotensi sebagai tempat perindukan nyamuk.
Ucapan Terima Kasih
Ucapan terimakasih disampaikan kepada tim reviewer, masukan yang diberikan sangat berharga sehingga karya tulis ini menjadi lebih sempurna.
38
Kontribusi Penulis
RN merupakan kontributor utama dalam penyusunan artikel ini, mulai dari menuliskan ide penelitian, pencarian literatur, hingga tahap akhir yaitu penulisan artikel.
Daftar Pustaka
1. Fouque F, Reeder JC. Impact of past and on-going changes on climate and weather on vector-borne diseases transmission : a look at the evidence. Infectious Diseases of Poverty.2019;8(51):1–9. 2. Servadio JL, Rosenthal SR, Carlson L, Bauer C.
Climate patterns and mosquito-borne disease outbreaks in South and Southeast Asia J Infect Public Health. 2018;11(4):566–71.
3. Sudarso. Perubahan iklim dan pengaruhnya terhadap peningkatan gangguan kesehatan. Damianus Journal of Medicine. 2010;9(1):12–22. 4. Samy AM, Elaagip AH, Kenawy MA. Climate
Change Influences on the Global Potential Distribution of the Mosquito Culex quinquefasciatus , Vector of West Nile Virus and Lymphatic Filariasis. Plos One.2016; 11(10): e0163863
5. Parham P, Medone P, Ceccarelli S, Parham PE, Rabinovich JE. The impact of climate change on the geographical distribution of two vectors of Chagas disease : implications for the force of infection.Phil. Trans. R. Soc. B.2015;370: 20130560.
6. Franklinos LH V, Jones KE, Redding DW, Abubakar I. Review The effect of global change on mosquito-borne disease. Lancet Infect Dis [Internet]. 2019;3099(19).
7. Mills JN, Gage KL, Khan AS. Review Potential Influence of Climate Change on Vector-Borne and Zoonotic Diseases : A Review and Proposed Research Plan. 2010;118(11):1507–14.
8. Khan AM, Dutta P, Sarmah CK, Baruah NK, Das S, Pathak AK, et al. Prevalence of lymphatic filariasis in a tea garden worker population of Dibrugarh (Assam), India after six rounds of mass drug administration. J Vector Borne Dis. 2015;52(4):314–20.
9. Townroe S, Callaghan A. British Container Breeding Mosquitoes : The Impact of Urbanisation and Climate Change on Community Composition and Phenology. Plos One. 2014;9(4):e95325. 10. Morse SS, Mazet JAK, Woolhouse M, Parrish CR,
Carroll D, Karesh WB, et al. Prediction and prevention of the next pandemic zoonosis. Lancet. 2012;380(9857):1956–65.
11. Burgos S, Ear S. Emerging Infectious Diseases and Public Health Policy: Insights from Cambodia, Hong Kong and Indonesia. Transbound Emerg Dis. 2015; 62 (2015) 96–101 DOI. 10.1111/tbed.12084
12. Erhard Markus. Impacts of Europe ’ s changing climate. Joint EEA-JRC-WHO report2008;4:1-247 13. DelmotteI Masson et al. Global warming of 1.5°C Summary for Policymakers. Intergovernmental Panel on Climate Change.2018:1-32
14. Caminade C, Mcintyre MK, Jones AE. Climate
Change and Vector-borne Diseases : Where Are We Next Heading ? The Journal of Infectious Diseases.2016;214:1300–1.
15. Kortet R, Laaksonen S, Pusenius J, Kumpula J, Vena A. Short Communication Climate Change Promotes the Emergence of Serious Disease Outbreaks of Filarioid Nematodes. EcoHealth.2010;7–13.
16. Wu X, Lu Y, Zhou S, Chen L, Xu B. Impact of climate change on human infectious diseases : Empirical evidence and human adaptation. Environ Int. 2016;86:14–23.
17. Ekawasti F, Martindah E. Pengendalian Vektor pada Penyakit Zoonotik Virus Arbo di Indonesia ( Vector Control of Zoonotic Arbovirus Disease in Indonesia ). Wartazoa.2016;26(4):151–62. 18. Ochieng AO, Nanyingi M, Kipruto E, Ondiba IM,
Sci B, Amimo FA, et al. Ecological niche modelling of Rift Valley fever virus vectors in Baringo, Kenya. Infection Ecology and Epidemiology.2016;1(5):1– 9.
19. Gebreyesus T.A. Global Vector Control Response.WHO.2018:1-64
20. Ramasamy R, Surendran SN. Global climate change and its potential impact on disease transmission by salinity-tolerant mosquito vectors in coastal zones. Frontiers in physiology.2012;3(196):1–14.
21. Portunasari WD, Kusmintarsih ES, Riwidiharso E. Survei Nyamuk Culex spp sebagai Vektor Filariasis di Desa Cisayong , Kecamatan Cisayong.Biosfera. 2016;33(3):142–8.
22. Hotez PJ, Bottazzi ME, Strych U, Chang LY, Lim YAL, Goodenow MM, et al. Neglected Tropical Diseases among the Association of Southeast Asian Nations (ASEAN): Overview and Update. PLoS Negl Trop Dis. 2015;9(4):1–15.
23. Ridha MR, Fakhrizal D, Litbang B, Bumbu PBT, Lokalitbang J, Perkantoran K, et al. Pengaruh Iklim Terhadap Peluang Umur Nyamuk Mansonia spp di Daerah Endemis Filariasis di Kabupaten Kapuas. Jurnal Kesehatan Lingkungan Indonesia.2018;17(2):74–9.
24. Verner G, Schütte S, Knop J, Sankoh O, Sauerborn R. Health in climate change research from 1990 to 2014: positive trend, but still underperforming. Glob Health Action. 2016;9(1):30723.
25. Rodó X, Pascual M, Doblas-reyes FJ, Gershunov A, Stenseth NC, Alonso D. Climate change and infectious diseases : Can we meet the needs for better prediction ?Climate Change. 2013;118:625–40.
26. Githeko AK, Lindsay SW, Confalonieri UE, Patz JA. Climate change and vector-borne diseases: A regional analysis. Bull World Health Organ. 2000;78(9):1136–47.
27. Herlihy N, Bar-Hen A, Verner G, Fischer H, Sauerborn R, Depoux A, et al. Climate change and human health: What are the research trends? A scoping review protocol. BMJ Open. 2016;6(12). 28. Mcmichael AJ, Patz J, Kovats RS. Impacts of global
environmental change on future health and health care in tropical countries. 1998;54(2):475–88. 29. Gubler DJ, Reiter P, Ebi KL, Yap W, Nasci R, Patz
39 States : Potential Impacts on Vector- and Rodent-Borne Diseases. Enviromental Health Perspectives.2001;109(2):223–33.
30. Short EE, Caminade C, Thomas BN. Climate Change Contribution to the Emergence or Re- Emergence of Parasitic Diseases. Infectious Diseases: Research and Treatmen.2017;10:1-7 31. Vale G, Marcos J, Ferreira B, Ruth A, Arcanjo L,
Amélia R, et al. Review Article Chagas disease in the State of Amazonas : history , epidemiological evolution , risks of endemicity and future perspectives. Rev Soc Bras Med Trop .2015;48(I):27–33.
32. Gratz NG. Critical review of the vector status of Aedes albopictus. Med Vet Entomol. 2004;18(3):215–27.
33. Nasrin. Faktor-faktor Lingkungan dan Perilaku Yng Berhubungan Dengan Kejadian Filariasis di Kabupaten Bangka Barat. Tesis. Universitas Diponegoro Semarang.2008.
34. Ramadhani Tri 1, Bambang Yunianto. Aktivitas Menggigit Nyamuk Culex quinquefasciatus Di Daerah Endemis Filariasis Limfatik Kelurahan Pabean Kota Pekalongan Provinsi Jawa Tengah. Aspirator.2009;1(1):11-15
35. Perwitasari D. Insiden Malaria dan Pola Iklim di Kabupaten Kapuas Propinsi Kalimantan Tengan dan Kabupaten Sumba Barat Propinsi Nusa Tenggara Timur. Jurnal Ekologi Kesehatan. 2014;13(1):59-70.
36. Lourens GB, Ferrell DK. Lym p h a t i c Fi l a r i a s i s Lymphatic filariasis Parasite Mosquito Larvae. Nurs Clin. 2019:1-8
37. Shidqon MA. Bionomik Nyamuk Culex sp sebagai vektor penyakit filariasus Wuchereria bancrofti. Universitas Negeri Semarang. 2016.
38. Ohm JR, Baldini F, Barreaux P, Lefevre T, Lynch PA, Suh E, et al. Rethinking the extrinsic incubation period of malaria parasites. Parasites & Vectors.2018;11(178):1–9.
39. Carpenter S, Wilson A, Barber J, Veronesi E, Mellor P, Venter G, et al. Temperature Dependence of the Extrinsic Incubation Period of Orbiviruses in Culicoides Biting Midges. Plos One.2011;6(11):1–8.
40. Conlan J V., Sripa B, Attwood S, Newton PN. A review of parasitic zoonoses in a changing Southeast Asia. Vet Parasitol. 2011;182(1):22–40. 41. Afrane Yaw A., Andrew K. Githeko1, and Guiyun Yan Manuscript A. The Ecology of Anopheles Mosquitoes under Climate Change: Case Studies from the Effects of Environmental Changes in East Africa Highlands Highlands A. Ann N Y Acad Sci. 2012;1249:204–10.
42. Mutiara H, Parasitologi B, Kedokteran F, Lampung U. Filariasis : Pencegahan Terkait Faktor Risiko Filariasis : Prevention Related to Risk Factor. Majority.2016;5(3):1–6.