SKRIPSI
Diajukan kepada Fakultas Bahasa dan Seni Universitas Negeri Yogyakarta untuk Memenuhi Sebagian Persyaratan
guna Memperoleh Gelar Sarjana Pendidikan
Oleh:
Pramestiyana Ratih Pratisti NIM 10204241023
JURUSAN PENDIDIKAN BAHASA PRANCIS FAKULTAS BAHASA DAN SENI UNIVERSITAS NEGERI YOGYAKARTA
v
You have to decide what your highest priorities are and have the courage,
pleasantly, smilingly, non-apologetically, to say NO to ther things. And the
way you do that is by having a bigger YES burning inside. The enemy of the
best is often the good. (Stephen Covey)
If you want to be proud of yourself, then do things in which you can take
vi
kalian
My lovely sista, Rahajeng Teni Bintari, terima kasih atas ide romannya, kakak sayang padamu!
Terima kasih untuk:
My honey, Faris Biladi, yang selalu ada mengisi hariku, be my forever and always yes!
Sahabat tercinta, Dita Larasati, atas kebersamaan dan kebahagiaan Sabahat tersayang, Siti Istiqomah a.k.a Lily Andromeda, atas kasih sayang dan
ketulusan
Komunitas YUI Lovers, UNSTRAT, SP Mania, rekan jamming, geng SMA, seluruh teman-teman Jurusan Pendidikan Bahasa Prancis, atas canda tawa dan
senyuman
Teman-teman lain yang tak dapat saya sebutkan satu per satu, atas segala warna kehidupan
viii
C. Keterkaitan Antarunsur Karya Sastra ... 17
ix
3. Latar ... 68
4. Tema ... 80
B. Wujud Keterkaitan Unsur Intrinsik dalam Roman ... 82
C. Wujud Perkembangan Perwatakan Tokoh Utama ... 84
BAB V PENUTUP A. Kesimpulan ... 93
B. Implikasi ... 95
C. Saran ... 96
DAFTAR PUSTAKA ... 97
x
Gambar 2: Skema Aktan Roman Bruges La Morte Karya Georges Rodenbach .... 51
Gambar 3: Bagan Alur Roman Bruges La Morte Karya Georges Rodenbach ... 52
xi
Tabel 2 : Alur Perkembangan Teori Psikoseksual Freud ... 23
Tabel 3 : Tahapan Alur Roman Bruges La Morte Karya Georges Rodenbach ... 41
xii
... 99 2. Lampiran 2 : Résumé ... 102
1
Pramestiyana Ratih Pratisti 10204241023
ABSTRAK
Penelitian ini bertujuan untuk: (1) mendeskripsikan unsur intrinsik pada roman Bruges La Morte karya Georges Rodenbach yang berupa alur, penokohan, latar, dan tema roman, (2) mendeskripsikan hubungan antarunsur intrinsik dalam roman Bruges La Morte karya Georges Rodenbach, (3) mendeskripsikan perkembangan perwatakan tokoh utama pada roman Bruges La Morte karya Georges Rodenbach.
Subjek penelitian ini adalah roman Bruges La Morte karya Georges Rodenbach yang diterbitkan pada tahun 1892 oleh penerbit Editions du Boucher. Objek penelitian yang dikaji adalah: (1) unsur-unsur pembangun atau unsur-unsur intrinsik roman Bruges La Morte karya Georges Rodenbach, berupa alur, penokohan, latar, tema, (2) keterkaitan antarunsur tersebut, (3) wujud perkembangan tokoh utama roman Bruges La Morte. Penelitian ini menggunakan pendekatan objektif dengan metode analisis konten yang bersifat deskriptif-kualitatif-analitis. Validasi ditentukan berdasarkan validitas semantik dan expert-judgement, sedangkan reliabilitas yang digunakan ialah intrarater dan interrater.
2
Cette recherche a pour but de: (1) décrire les éléments intrinsèques de roman Bruges La Morte de Georges Rodenbach qui se comprennent de l’intrigue, de la caractérisation des personnages, du contexte (le lieu, le temps, le cadre social), et du thème, (2) de décrire la relation entre ces éléments intrinsèques du roman, et (3) de décrire le développement de caractère du personnage principal de roman Bruges La Morte de Georges Rodenbach.
Le sujet de la recherche est le roman Bruges La Morte de Georges Rodenbach publié en 1892 par l’editions du Boucher. Les objets de cette recherche sont: (1) les éléments intrinsèques qui forment l’histoire de roman en forme de l’intrigue, de la caractérisation des personnages, du contexte (le lieu, le temps, l’état social), et du thème, (2) la relation entre ces éléments intrinsèques, et (3) le développement de caractère du personnage principal de roman Bruges La Morte de Georges Rodenbach. Cette recherche utilise l’approche objective, tandis que la méthode appliquée est l’analyse du contenu. La validité est fondée sur la validité sémantique est celle d’expert-judgement, tandis que la fiabilité est acquise par le procédé d’intrarater et d’interrater.
Le résultat de cette recherche montre que (1) le roman Bruges La Morte de Georges Rodenbach a une intrigue progressive qui se termine par la fin tragique. Le personnage principal de ce roman est Hugues Viane, tandis que les personnages supplémentaires sont Jane Scott et Barbe. L’histoire se déroule à Bruges, en Belgique à la saison d’automne au printemps. Le cadre social montré dans ce roman est la vie d’une communauté bourgeoise à Bruges, (2) ces éléments intrinsèques s’enchainent en formant une unité textuelle liée par le thème. Le thème majeur de roman est la dépression d’un veuf à cause de la mort de sa femme, (3) le caractère du personnage principal, notamment Hugues, est considéré inapte en raison de l’instabilité d’id, d’égo et de super égo qui provoque le changement de comportement dans la forme de la névrose de trouble unipolaire. Ceci est causé par la forte dépression à cause de la mort de la femme aimée qui abouti à un déséquilibre mental continue et qui provoque également le chaos en soi et en entourage du personnage principal.
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Karya sastra merupakan sebuah bentuk seni yang dituangkan melalui bahasa,
sehingga bahasa menjadi media sastra. Karya sastra muncul dalam bentuk ungkapan
pribadi manusia yaitu berupa ide, pengalaman, pemikiran, maupun perasaan dan
dituangkan dalam bentuk tulisan. Adapun dalam memahami suatu karya sastra,
diperlukan kajian yang mendalam terhadap karya sastra dari berbagai unsur yang
membentuknya (Fananie, 2002: 63). Telaah sastra digunakan untuk mengkaji karya
sastra yang meliputi berbagai aspek, baik aspek intrinsik maupun aspek ekstrinsik.
Menurut Schmitt dan Viala (1982: 16) disebutkan pengertian karya sastra yaitu:
...la littérature, au sens strict, comme l’ensemble des textes qui, à chaque époque, ont été considérés comme échappant aux usages de la pratique courante, et visent à signifier plus en signifiant différemment bref: l’ensemble des textes ayant une dimension esthétique.
...karya sastra, dalam arti sempit, seperti kesatuan teks, yang pada setiap jaman, dianggap menyimpang dari pemakaian sehari-hari, dan memiliki arti berbeda, bahwa tulisan merupakan suatu dimensi keindahan.
Dari pengertian tersebut, dapat disimpulkan bahwa karya sastra terdapat pada
setiap jaman. Karya sastra adalah hasil karya manusia yang mengungkapkan berbagai
fenomena dan problematika kehidupan sehari-hari dengan berbagai bentuk variasi
bahasa penulisannya. Karya sastra dapat berupa peristiwa nyata maupun imajinatif,
Sastra dibagi menjadi tiga jenis, yaitu drama, puisi, dan prosa. Istilah drama
berasal dari Bahasa Prancis drame, digunakan untuk menjelaskan lakon-lakon mereka
tentang kehidupan kelas menengah di Prancis. Puisi merupakan bagian dalam karya
sastra pada dasarnya merupakan sarana ekspresi seseorang dari alam batinnya. Prosa
secara etimologis merupakan pengungkapan dari apa yang dirasakan, diketahui, dan
dimaksudkan pengarang yang langsung diucapkan dengan bahasa yang langsung dan
bebas, tidak memerlukan bahasa yang rumit seperti pada puisi.
Roman merupakan salah satu karya yang termasuk dalam prosa. Dalam kamus
Le Petit Larousse Illustré (Larousse, 1994 : 898) dijelaskan bahwa:
Roman est une œuvre littéraire, récit en prose d’une certaine longueur, dont l’intérêt est dans la narration d’aventures, l’étude de mœurs ou de caractères, l’analyse de sentiments ou de passions, la représentation du réel ou du diverses données objectives et subjectives.
Roman adalah karya kesusastraan, ditulis dalam bentuk prosa dengan panjang tertentu yang memfokuskan pada cerita petualangan, mempelajari adat istiadat atau macam-macam karakter, analisis perasaan atau gairah, perwujudan sebuah kenyataan secara objektif maupun subjektif.
Roman yang dijadikan subjek kajian pada penelitian ini adalah roman Bruges
La Morte karya Georges Rodenbach yang diterbitkan pertama kali pada tahun 1892
dan dicetak ulang pada tahun 2005 oleh Editions du Boucher. Roman ini
menceritakan tentang depresi tokoh utama Hugues sepeninggal istrinya. Hugues
merasa hidup dalam kehampaan dan menjadi pelamun. Hugues pun memotong
rambut istrinya dan dijadikannya kepang kemudian disimpan di rumahnya. Keadaan
berubah setelah Hugues mengenal Jane, seorang penari yang memiliki wajah mirip
muncul konflik-konflik dalam kehidupannya. Ia merasakan kesedihan atas kematian
istrinya, kemudian merasakan kegelisahan akibat rasa ingin tahu pada Jane. Namun
kenyataannya, kemiripan wajah Jane tidak serta merta membuatnya memiliki jiwa
yang sama dengan istri Hugues sebelumnya. Pada akhirnya Hugues membunuh Jane
akibat dari frustasinya. Georges Rodenbach berusaha memberikan gambaran
mengenai romannya Bruges La Morte dengan menekankan berbagai situasi yang ada
secara mendetail sehingga pembaca akan benar-benar merasakan nuansa ceritanya
dari kesedihan yang berujung pada keterpurukan yang dialami Hugues yang
dicurahkan melalui kota Bruges. Adapun Georges Rodenbach memberikan
pandangan kehidupan sosial masyarakat pada saat roman Bruges La Morte ini
muncul.
Georges Rodenbach adalah seorang penulis berkebangsaan Belgia. Ia juga
seorang penulis puisi yang terkenal. Sebelum menjadi seorang penulis, Georges
Rodenbach menempuh pendidikan di Gent dan mengambil jurusan hukum. Setelah
lulus, ia pindah ke Prancis pada tahun 1878 dan melanjutkan studinya di bidang
jurnalistik. Georges Rodenbach meninggal pada 25 Desember 1898 di Paris, Prancis.
Makamnya menjadi salah satu makam terunik di dunia karena berbentuk monumen
yang terbuat dari platina yang menggambarkan dirinya muncul dari makam
membawa setangkai mawar. Bruges La Morte merupakan roman yang membuat
namanya dikenal tidak hanya di Prancis, namun juga di tempat asalnya, Belgia.
Adapun karya-karya Georges Rodenbach yang lain, seperti Le Carillonneur (1897),
Bruges La Morte yang diterbitkan pertama kali pada tahun 1892 ini mendapatkan
apresiasi yang besar, yaitu roman pertama yang diberi ilustrasi dengan gambar. Atas
apresiasi tersebut, roman Bruges La Morte karya Georges Rodenbach ini pun hingga
diterjemahkan ke dalam tujuh bahasa. Pada tahun 1920, seorang komposer Erich
Wolfhang Korngold menggunakan roman Bruges La Morte ini sebagai basis dari
operanya Die Tote Stadt atau The Dead City.
Dalam proses pengkajian fiksi, pengkajian unsur-unsur pembangun roman
merupakan hal utama yang harus dilakukan. Diungkapkan Barthes dalam bukunya
(1981: 8-9), dalam mengupas cerita, diperlukan analisis terhadap berbagai kesatuan
yang membangun cerita tersebut. Analisis inilah yang akan dilakukan oleh peneliti
sastra, agar makna suatu karya dapat ditangkap dengan baik oleh pembaca. Adapun
unsur pembangun roman, diantaranya adalah alur, penokohan, latar, tema, sudut
pandang, dan lain-lain.
Pada penelitian roman Bruges La Morte ini akan dibatasi pada beberapa unsur
intrinsik roman, yaitu alur, penokohan, latar, dan tema. Penelitian roman Bruges La
Morte karya Georges Rodenbach ini menggunakan analisis strukturalisme.
Pengkajian dilakukan pada perwatakan tokoh, yaitu tokoh utama, dengan teori
psikoanalisis Sigmund Freud, sebab dalam roman ini lebih banyak diceritakan
tentang tokoh utama. Adapun tokoh utama dalam roman Bruges La Morte dianggap
memiliki perilaku menyimpang atau tidak normal menurut teori psikologi. Oleh
karena itu, akan dikaji guna mencermati dan meneliti hubungan antarsatuan yang
yang mempengaruhi perkembangan perwatakan tokoh sehingga memudahkan dalam
pemahaman roman.
B. Identifikasi Masalah
Berdasarkan latar belakang yang telah dipaparkan, terdapat beberapa
identifikasi masalah yaitu sebagai berikut.
1. Bagaimana wujud unsur intrinsik yang berupa alur, penokohan, latar, dan tema
dalam roman Bruges La Morte karya Georges Rodenbach.
2. Hubungan antarunsur intrinsik yang berupa alur, penokohan, latar, dan tema
dalam roman Bruges La Morte karya Georges Rodenbach.
3. Perkembangan perwatakan tokoh pada roman Bruges La Morte karya Georges
Rodenbach.
4. Konflik yang terbangun pada roman Bruges La Morte karya Georges
Rodenbach.
5. Latar sosial masyarakat pada saat munculnya roman Bruges La Morte karya
Georges Rodenbach.
C. Batasan Masalah
Untuk memfokuskan penelitian pada roman Bruges La Morte karya Georges
Rodenbach, dibatasi masalah sebagai berikut.
1. Bagaimana wujud unsur intrinsik yang berupa alur, penokohan, latar, dan tema
2. Hubungan antarunsur intrinsik yang berupa alur, penokohan, latar, dan tema
dalam roman Bruges La Morte karya Georges Rodenbach.
3. Perkembangan perwatakan tokoh utama pada roman Bruges La Morte karya
Georges Rodenbach.
D. Rumusan Masalah
Dari identifikasi masalah dan batasan masalah yang telah disebutkan, dapat
dirumuskan masalah sebagai berikut.
1. Bagaimana wujud unsur intrinsik yang berupa alur, penokohan, latar, dan tema
roman Bruges La Morte karya Georges Rodenbach?
2. Bagaimana hubungan antarunsur intrinsik dalam roman Bruges La Morte karya
Georges Rodenbach?
3. Bagaimana perkembangan perwatakan tokoh utama pada roman Bruges La
Morte karya Georges Rodenbach?
E. Tujuan Penelitian
Berdasarkan rumusan masalah di atas, tujuan penelitian ini adalah sebagai
berikut.
1. Untuk mendeskripsikan unsur intrinsik yang berupa alur, penokohan, latar, dan
tema roman Bruges La Morte karya Georges Rodenbach.
2. Untuk mendeskripsikan hubungan antarunsur intrinsik dalam roman Bruges La
3. Untuk mendeskripsikan perkembangan perwatakan tokoh utama pada roman
Bruges La Morte karya Georges Rodenbach.
F. Manfaat Penelitian
Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat yaitu sebagai
berikut.
1. Hasil penelitian ini adalah untuk memperkenalkan karya sastra Prancis berupa
roman, yaitu roman Bruges La Morte karya Georges Rodenbach secara lebih
mendalam.
2. Hasil penelitian ini adalah untuk menelaah karya sastra Prancis berupa roman
Bruges La Morte karya Georges Rodenbach menggunakan teori psikoanalisis.
BAB II KAJIAN TEORI
A. Roman sebagai Karya Sastra
Secara umum, karya sastra terdiri tiga bentuk, yaitu genre prosa, puisi, dan
drama. Adapun dari tiap-tiap karya sastra memiliki bentuk tersendiri. Terdapat
cerpen, novel, dongeng, yang merupakan contoh dari karya sastra berjenis prosa.
Contoh jenis karya sastra dari prosa lainnya adalah roman.
Di dalam kamus Le Robert Micro (Robert, 2006: 1184) pengertian roman yaitu
sebuah karya sastra yang sifatnya imajinatif dan tersusun dalam bentuk prosa yang
menampilkan tokoh-tokoh seperti kenyataannya. Roman dikatakan menarik karena
menyajikan petualangan, pendalaman budaya, analisis perasaan atau sebuah hasrat
yang disajikan baik secara objektif maupun subjektif. Schmit dan Viala dalam
bukunya (1982: 51) menjelaskan pengertian roman yaitu jenis prosa naratif panjang
yang berupa cerita petualangan, percintaan, kepahlawanan, ilmiah, dan lain-lain.
Jadi, dapat disimpulkan bahwa roman adalah karya sastra yang berbentuk fiksi
yang berasal dari pemikiran pengarang dan menceritakan kisah hidup seorang tokoh
beserta segala problematika dan kehidupan sosialnya.
B. Analisis Struktural
Karya sastra terbentuk dari unsur-unsur pembangunnya. Unsur-unsur ini saling
berkaitan satu sama lain. Dalam mengkaji unsur-unsur karya sastra, diperlukan kajian
melangkah pada tahap berikutnya. Pendekatan struktural berusaha menelaah sastra
dari segi intrinsik yang membangun mutu karya sastra.
Analisis terhadap unsur intrinsik pada penelitian ini akan dibatasi pada unsur
yang berupa alur, tokoh, latar, dan tema. Analisis ini merupakan langkah awal yang
harus dilakukan oleh peneliti sebelum mengkaji lebih dalam suatu karya.
1. Alur
Alur merupakan seluruh peristiwa yang dipaparkan dalam sebuah cerita yang
terdiri dari aksi. Aksi-aksi tersebut dapat berupa tindakan dari para tokoh, perasaan
dari para tokoh, kedaaan tokoh, maupun peristiwa. Pembuatan sekuen terkadang
begitu kompleks, karena terdapat kriteria-kriteria dalam pembuatan sekuen. Untuk
membatasi kompleksitas sebuah sekuen, diperlukan kriteria-kriteria yang dijelaskan
oleh Schmit dan Viala (1982: 27) sebagai berikut:
- Harus terdapat suatu titik perhatian atau fokalisasi yang dapat dilihat dari suatu
subjek atau suatu objek yang memiliki kesamaan peristiwa, tokoh, gagasan atau
peristiwa yang sama.
- Sekuen harus membentuk koherensi, baik dalam dimensi waktu maupun
dimensi tempatnya: terjadi di tempat sama atau terjadi di waktu yang sama, atau
di beberapa tempat dan waktu yang sama dalam suatu fase: suatu masa
kehidupan seseorang, urutan peristiwa dan bukti-bukti yang mendukung suatu
ide/ gagasan, dan sebagainya.
Une façon générale, un segment de texte qui forme un tout cohérent autour d’un même centre d’intérêt. Une séquence narrative correspond à une série de faits représentant une étape dans l’évolution de l’action.
Sekuen secara umum merupakan bagian dari teks yang membentuk koherensi dari keseluruhan cerita. Sekuen sama dengan urutan kejadian (peristiwa) menggambarkan langkah dalam pergerakan dari sebuah tindakan.
Dari pengertian tersebut, dapat dijelaskan bahwa sekuen merupakan urutan
kejadian suatu cerita. Sekuen menggambarkan setiap pergerakan dari suatu tindakan.
Dapat disimpulkan bahwa sekuen merupakan rangkaian peristiwa yang mempunyai
sebab akibat dan berada dalam satu kesatuan.
Berdasarkan hubungan antarsekuen, terdapat dua fungsi sekuen yang
dikemukakan oleh Barthes (1981: 15-16), yaitu fonction cardinale (fungsi utama) dan
fonction catalyse (fungsi katalisator). Satuan-satuan yang memiliki fungsi utama
dihubungkan dengan hubungan sebab-akibat atau hubungan logis. Fungsi inilah yang
berperan utama dalam mengarahkan jalannya suatu cerita. Adapula satuan yang
memiliki fungsi katalisator berfungsi menghubungkan cerita yang lain, mempercepat
ataupun memperlambat, melanjutkan kembali, merangkum, mengantisipasi dan
terkadang membuat bingung pembaca.
Menurut Besson (1987: 118), terdapat tahapan penceritaan yang terbagi
Situation Tabel 1: Tahapan Alur Robert Besson
Keterangan:
1. La situation initial (tahapan awal suatu cerita)
Tahap ini adalah tahap memperkenalkan para tokoh, perwatakan, dan situasi
dalam suatu cerita kepada pembaca.
2. L’action se déclenche (tahapan pemunculan konflik)
Pada tahap ini dilakukan pengenalan kepada para tokoh yang mulai masuk pada
pertikaian yang mengarah pada munculnya konflik.
3. L’action se développe (tahapan peningkatan konflik)
Pengembangan konflik yang muncul hingga semakin meningkat dan mengarah
pada klimaks.
4. L’action se dénoue (tahap klimaks)
Terjadi konflik yang berada pada tahap paling tinggi dan semakin memuncak.
5. La situation final (tahap penyelesaian)
Tahap penyelesaian konflik utama yang menjadi klimaks. Pada tahap ini
Di dalam suatu cerita terdapat kekuatan yang berfungsi sebagai kekuatan
penggerak. Kekuatan penggerak ini dapat berupa seseorang, binatang, entitas,
perasaan, dan sebagainya. Berikut gambaran fungsi kekuatan penggerak (les actans)
yang dikemukakan oleh Greimas via Ubersfeld (1996: 50):
Gambar 1: Skema Aktan/ Penggerak Lakuan Keterangan:
1. La destinateur, yaitu seseorang atau sesuatu yang dapat menjadi sumber ide,
yang membawa atau menghalangi jalan cerita.
2. La destinataire, yaitu seseorang atau sesuatu yang menerima l’objet dari
tindakan le sujet.
3. Le sujet, yaitu seseorang atau sesuatu yang menginginkan l’objet.
4. L’objet, yaitu seseorang atau sesuatu yang diinginkan le sujet.
5. L’adjuvant, yaitu seseorang atau sesuatu yang membantu le sujet untuk
memperoleh l’objet yang diinginkan. Destinateur (D1)
Objet (O)
Sujet (S)
Destinataire (D2)
6. L’opposant, yaitu sesorang atau sesuatu yang menghalangi le sujet untuk
mendapatkan l’objet.
Berdasarkan skema tersebut dapat dijelaskan bahwa le destinateur merupakan
penggerak cerita yang mengarahkan le sujet untuk mendapatkan l’objet. Untuk
mendapatkan l’objet tersebut, le sujet dibantu oleh l’adjuvant dan ditentang oleh
l’opposant. Fungsi le destinataire adalah menerima l’objet hasil bidikan dari le sujet.
Untuk menentukan akhir dari suatu cerita, terdapat beberapa tipe akhir cerita
seperti yang dijelaskan oleh Peyroutet (1991: 8), yaitu:
1. Fin heureuse (akhir bahagia/ menyenangkan)
2. Fin retour a la situation de départ (akhir yang kembali ke situasi awal cerita)
3. Fin tragique sans espoir (akhir tragis tanpa harapan)
4. Fin tragique espoir (akhir tragis dan masih ada harapan)
5. Fin comique (akhir cerita lucu)
6. Suite possible (akhir cerita dengan kemungkinan masih berlanjut)
7. Fin reflexive (akhir cerita ditutup dengan ungkapan narator yang mengambil
hikmah dari cerita)
Di samping terdapat tipe akhir suatu cerita, adapula jenis-jenis cerita seperti
yang diungkapkan Peyroutet (2001: 12), yaitu:
1. Le récit réaliste
Roman yang menceritakan kejadian yang nyata.
2. Le récit historique
3. Le récit d’aventures
Roman yang bercerita tentang petualangan yang dialami tokoh.
4. Le récit policier
Roman yang menceritakan kepahlawanan, detektif, maupun polisi.
5. Le récit fantastique
Roman yang menceritakan kisah fantasi, fiksi, dan irasional.
6. Le récit de sience-fiction
Roman yang menceritakan suatu kisah ilmu pengetahuan dan teknologi.
2. Penokohan
Unsur penting yang harus ada dalam suatu cerita adalah penokohan. Menurut
Aminudin dalam bukunya Pengantar Apresiasi Sastra (1987: 79), tokoh adalah
pelaku yang mengemban peristiwa dalam cerita fiksi sehingga peristiwa tersebut
menjadi suatu cerita, sedangkan penokohan adalah cara pengarang menampilkan
tokoh. Schmitt dan Viala (1982: 69) menguraikan bahwa penokohan adalah para
tokoh yang berada dalam sebuah cerita. Pada umumnya, manusia menjadi peran
utama dalam sebuah cerita, namun ada pula yang tokohnya berasal dari benda,
binatang, antitas (misal keadilan, kematian, dan sebagainya). Untuk menjelaskan
karakteristik dan sifat dari tokoh guna memudahkan pengidentifikasian, disebutkan
Schmitt dan Viala (1982: 70):
Seorang tokoh selalu digambarkan dari tiga hal, yaitu fisik, moral, dan sosial. Ketiga hal ini membentuk le portrait du personnage.
Peyroutet (2001: 14) membagi dua cara penggambaran tokoh, yaitu metode
langsung (méthode direct) dan metode tidak langsung (méthode indirecte). Selain itu,
terdapat pula penggambaran tokoh secara tidak langsung, melainkan dari identifikasi
karakter melalui apa yang dilakukannya, dikatakannya, dirasakannya oleh tokoh yang
bersangkutan, dan disebut dengan les personnages en actes.
Berdasarkan segi peranannya (Aminudin, 1987: 79), tokoh dibedakan menjadi
tokoh utama dan tokoh tambahan. Tokoh utama merupakan tokoh yang ada dalam
setiap peristiwa. Tokoh ini secara terus menerus ditampilkan dan mendominasi
sebagian besar cerita. Berbeda dengan tokoh utama, tokoh tambahan memiliki
peranan hanya melengkapi, melayani, dan mendukung tokoh utama.
Adapula menurut fungsi penampilan (Forster via Nurgiyantoro, 2005: 181),
tokoh dibedakan menjadi protagonis dan antagonis. Tokoh protagonis adalah tokoh
yang menjalankan norma-norma maupun nilai-nilai yang baik. Tokoh protagonis
menyajikan sifat-sifat terpuji seperti yang diharapkan pembaca. Sebaliknya, tokoh
antagonis adalah tokoh yang berlawanan dengan tokoh antagonis. Tokoh inilah yang
mendapat antipati dari pembaca.
Setiap peristiwa dalam suatu cerita akan memunculkan tokoh. Penggambaran
kepribadian dan fisik dari tokoh dapat melalui tingkah laku, keterangan dari tokoh
lain, latar psikologis dan kehidupan sosialnya. Oleh karena itu suatu cerita tidak
3. Latar
Pada dasarnya latar adalah tempat dimana suatu peristiwa terjadi. Adapun latar
meliputi lingkup geografis, lingkup waktu, bahkan berkaitan dengan kebiasaan, adat
istiadat, sejarah, dan nilai-nilai yang berlaku di masyarakat. Secara umum, latar
dalam fiksi dibagi menjadi tiga, yaitu latar tempat, latar waktu, dan latar sosial.
Ketiga latar ini saling berkaitan dan saling mempengaruhi satu dengan yang lainnya.
a. Latar Tempat
Peyroutet (2001: 6) menjelaskan pengertian latar tempat yaitu les lieux: où
l’histoire commence-t-elle? Dans quel pays, quelle ville? (latar tempat adalah dimana
peristiwa dimulai, di negara mana, dan di kota mana). Latar tempat merupakan latar
yang menjelaskan tempat terjadinya suatu peristiwa. Latar juga harus didukung
dengan kehidupan sosial masyarakat, nilai-nilai, tingkah laku, suasana, dan
sebagainya yang mungkin berpengaruh pada penokohan dan pengalurannya.
b. Latar Waktu
Latar waktu mengacu pada saat terjadinya peristiwa yang diceritakan. Menurut
Peyroutet (2001: 6), latar waktu merupakan kapan suatu peristiwa itu terjadi. Untuk
membentuk cerita yang utuh, urutan latar waktu yang diukur dengan hitungan detik,
menit, jam, hari, bulan, dan tahun ditulis berdasarkan kronologis peristiwa.
c. Latar Sosial
Latar sosial berkaitan dengan perilaku tokoh cerita terhadap lingkungannya,
dan Viala (1982: 169) menyebutkan bahwa terdapat latar sosial dalam sebuah teks,
dalam waktu yang sama, teks adalah komponen dari keseluruhan kehidupan sosial
dan budaya. Dari latar sosial ini akan diketahui ciri khas dari suatu tempat yang
ditentukan berdasarkan latar deskripsi sosial masyarakatnya. Latar sosial juga
berkaitan dengan status sosial tokoh yang diceritakan.
4. Tema
Di dalam buku Savoir Lire (Schmitt dan Viala, 1982: 29)disebutkan pengertian
tema yaitu un thème est une isotopie complexe, formée de plusieurs motifs (tema
adalah isotopi kompleks yang terbentuk dari berbagai motif). Secara sederhana, tema
adalah dasar cerita atau gagasan umum dari suatu cerita.
Terdapat dua jenis tema dalam suatu cerita, yaitu tema mayor dan tema minor.
Tema mayor merupakan makna pokok yang menjadi dasar dari suatu cerita. Makna
pokok tersirat dalam sebagian besar dari keseluruhan cerita. Adapun tema minor yang
merupakan makna tambahan dalam suatu cerita. Fungsi dari tema minor yaitu untuk
menyokong dan menonjolkan tema mayor. Selain itu tema minor berfungsi untuk
menghidupkan suasana cerita atau menjadi latar belakang suatu cerita.
C. Hubungan Antarunsur Intrinsik dalam Karya Sastra
Karya sastra yang baik terwujud dari kesatuan dan keterikatan antarunsur
pembentuknya. Unsur pembentuk dari sebuah roman adalah unsur-unsur intrinsik.
Unsur-unsur tersebut memiliki keterkaitan satu sama lain yang akan membentuk
Peristiwa yang terjadi dalam suatu cerita menggambarkan jalannya alur.
Pergerakan alur dijalankan oleh tokoh cerita, terutama tokoh utama. Tokoh utama
merupakan pelaku yang sering muncul dalam peristiwa yang terjadi.
Peristiwa-peristiwa cerita dimanifestasikan melalui perbuatan, tingkah laku, dan sikap para
tokoh. Oleh karena itu alur tidak dapat dipisahkan dari penokohan.
Dalam suatu peristiwa terdapat latar sebagai sarana tokoh mengalami peristiwa.
Latar adalah seluruh keterangan mengenai tempat, waktu, serta suasana dalam cerita.
Latar memberikan gambaran mengenai perwatakan tokoh melalui tempat tinggal,
sehingga latar memiliki kaitan dengan penokohan. Misalnya, seseorang yang tinggal
di pesisir pantai akan memiliki watak berbeda dengan seseorang yang tinggal di
gunung. Latar juga akan menentukan suatu tema.
Tema menjadi ide utama dari sebuah roman. Tema dibawa oleh tokoh utama.
Secara tidak langsung, tokoh utama menjadi penyampai tema (baik dari tingkah laku,
perasaan, dan sebagainya).
.
D. Psikoanalisis dalam Sastra
Psikologi berasal dari bahasa Yunani, psyche yang berarti jiwa, dan logos yang
berarti ilmu. Psikologi berarti ilmu jiwa atau ilmu yang menyelidiki dan mempelajari
tingkah laku manusia (Atkinson via Minderop, 2013: 3). Setiap individu memiliki
karakteristik kepribadian yang berbeda. Diungkapkan Santrock via Minderop (2013:
4), kepribadian yaitu pembawaan yang mencakup dalam pikiran, perasaan, tingkah
Psikoanalisis merupakan kajian psikologi yang dikemukakan oleh Sigmund
Freud. Menurut Freud (Milner via Apsanti, 1980: xiii), psikoanalisis adalah suatu
metode interogasi tentang psike manusia yang sepenuhnya didasarkan pada tindakan
mendengarkan kata-kata pasien. Bahasa merupakan wilayah observasi dan alat
penyembuh bagi ahli psikoanalisis. Sebagai seni bahasa, sastra langsung terlibat,
karena menurut psikoanalisis sastra mempunyai hubungan-hubungan tertentu dengan
tak sadar.
Sigmund Freud lahir tahun 1856 di Austria dan meninggal di London pada usia
83 tahun. Ia berasal dari pedagang Yahudi Austria yang menetap di Wina (Milner via
Apsanti, 1980: 1). Freud mengembangkan teori psikoanalisis yang sangat
berpengaruh pada abas ke-20. Salah satu aspek teori Freud ialah ketertarikan secara
seksual seorang anak laki-laki kepada ibunya. Dalam karyanya “Tafsiran Mimpi”,
Freud selalu menceritakan pengalaman pribadi dan pengalaman masa kecilnya. Freud
berpendapat bahwa buku tidak hanya mengungkapkan masalah ilmu pengetahuan,
namun juga menyajikan berbagai konflik perasaan, dorongan-dorongan dan
bermacam ungkapan yang merajuk pada psikoanalisis. Freud menjelaskan bahwa
alam pikiran manusia terdiri dari alam sadar dan alam tak sadarnya (Minderop, 2013:
10-12).
1. Alam bawah sadar
Menurut Freud pikiran manusia lebih dipengaruhi oleh pikiran alam bawah
sadar dibanding alam sadarnya. Freud menjelaskan bahwa kehidupan seseorang
ada, manusia akan menyimpannya di alam bawah sadarnya. Oleh karena itu, alam
bawah sadar menjadi titik utama untuk memahami perilaku seseorang (Minderop,
2013: 13-14).
Kaitan antara penciptaan karya sastra dengan alam tak sadar sangat erat. Karya
sastra merupakan tempat dimana suatu keadaan kejiwaan dan pemikiran pengarang
berada dalam situasi setengah sadar (subconsicious) setelah mendapat gambaran jelas
yang dituang secara sadar (consicious). Penciptaan karya sastra ini diawali dari
gambaran yang terbentuk dalam pikiran, kemudian dituangkan dalam bentuk tulisan.
Lebih lanjut, Freud menghubungkan keterkaitan antara karya sastra dengan
mimpi. Mimpi memiliki peranan khusus dalam studi psikologi sastra. Menurutnya,
sastra lahir dari mimpi dan fantasi. Impian manusia tidak lepas dari kebutuhan hidup
manusia. Freud juga meyakini mimpi menentukan perilaku seseorang. Mimpi adalah
perwujudan dari konflik dan ketegangan dalam kehidupan sehari-hari (Minderop,
2013: 13).
Di dalam mimpi terdapat uraian yang tercakup dalam suatu proses mimpi, yang
disebut dengan figurasi, kondensasi, pengalihan, dan simbolisasi. Figurasi
merupakan pikiran mimpi yang sering diwujudkan dalam bentuk gambar atau
kata-kata. Kondensasi adalah menggabungkan pikiran-pikiran yang tersembunyi dalam
satu gambaran tunggal. Proses mimpi pengalihan maksudnya adalah mimpi yang
seakan-akan berusaha menghindarkan jejak dari usaha pelacakan dengan
simbolisasi yaitu gambaran mimpi yang sering berhubungan dengan pikiran
tersembunyi melalui analogis (Minderop, 2013: 19).
2. Struktur Kepribadian
Menurut Freud, struktur kepribadian manusia terbagi menjadi tiga, yaitu id,
ego, dan superego. Freud mengibaratkan kedudukan id sebagai ratu, ego sebagai
perdana menteri, dan superego sebagai pendeta tertinggi. Kekuatan id
mengungkapkan tujuan sebenarnya dari manusia, yang mencakup pemenuhan
kebutuhan, sedangkan ego mencari cara untuk memenuhi kebutuhan dan kepuasan.
Ego memiliki fungsi untuk mewujudkan tujuan id dan melindungi diri dari kondisi
bahaya. Terakhir, superego, berfungsi mengendalikan keinginan-keinginan tersebut
(Minderop, 2013: 24).
a. Id
Id terletak di dalam alam tak sadar. Id terdiri dari insting-insting, yang
merupakan tempat penyimpanan energi psikis individu. Id berlaku seperti penguasa
yang harus dihormati, manja, sewenang-wenang, dan mementingkan diri sendiri. Id
menekan manusia untuk memenuhi kebutuhan dasarnya, seperti makan, seks menolak
rasa sakit atau tidak nyaman. Id selalu berhubungan dengan kesenangan (mencari
kenikmatan dan menghindari ketidaknyamanan). Seseorang yang bersikeras
memenuhi tuntutan dan keinginan yang kuat dari suatu realitas, akan membentuk
struktur kepribadian baru, yaitu ego.
Freud menjelaskan ego seperti perdana menteri yang memiliki tugas dan
bertanggung jawab untuk menyelesaikan segala pekerjaan dan tanggap terhadap
masyarakat. Ego berada di antara alam sadar dan alam tak sadar. Ego bertugas
memberi tempat pada mental, misalnya penalaran, penyelesaian masalah dan
pengambilan keputusan. Ego disebut cabang eksekutif (executive branch) kepribadian
karena ego menggunakan penalaran untuk membuat keputusan. Baik id dan ego
memiliki persamaan, yaitu tidak memiliki moralitas. Hal ini dikarenakan keduanya
tidak mengenal nilai baik dan buruk layaknya superego.
c. Superego
Superego mengacu pada moralitas dalam kepribadian. Superego sama halnya
dengan “hati nurani”, yaitu mengenali nilai baik dan buruk (conscience). Dalam
kehidupan seks nya, ego manusia akan memberikan penalaran dalam berhubungan
seks. Misalnya memastikan diri dengan menggunakan pelindung karena tidak ingin
terganggu oleh kelahiran anak di saat karir yang sedang berkembang. Akan tetapi, di
sisi lain id turut memaksakan keinginan bahwa seks merupakan hal menyenangkan
dan harus menjadi puas. Ketika id dan ego sedang memberikan masukannya,
superego yang menjadi penyeimbang diantara keduanya. Superego yang akan
memberikan rasa moral, misal merasa bersalah dalam hubungan seks (Santrock,
2007: 44).
3. Teori Psikoseksual
Perkembangan kepribadian sehat maupun tidak sehat ditentukan oleh hasil kerja
sangat ditentukan dari peristiwa-peristiwa yang terjadi pada tahun-tahun awal
kehidupan. Menurut Freud (Santrock, 2007: 44), manusia memiliki lima tahap
perkembangan, dan di setiap tahapnya manusia mengalami kesenangan di salah satu
bagian tubuh lebih daripada bagian tubuh yang lain. Selain itu, Freud menjelaskan
kepribadian manusia ditentukan dari cara menyelesaikan konflik antara sumber
kesenangan awal tersebut, yaitu mulut, anus, kelamin, dan tuntutan kenyataan.
Penekanan Freud pada motivasi seksual ini sehingga tahap-tahapnya disebut teori
psikoseksual. Tahap-tahap ini terdiri dari oral, anal, phallic, latency, dan genital.
Tahapan perkembangan menurut Freud (Santrock, 2007: 44) di atas dapat
Tabel 2: Alur Perkembangan Teori Psikoseksual Freud a. Tahap Oral
Tahap perkembangan yang pertama menurut Freud adalah tahap oral. Tahap
mulut. Sumber kesenangan individu berasal dari mengunyah, mengisap, dan
menggigit. Tindakan ini menurunkan ketegangan pada bayi (Santrock, 2007: 45).
b. Tahap Anal
Tahap anal adalah tahap perkembangan Freud yang kedua. Tahap ini terjadi
pada usia 1,5 tahun hingga 3 tahun. Kesenangan individu yang terbesar melibatkan
anus atau fungsi pembuangan yang dihubungkan dengannya. Menurut Freud, latihan
otot anal dapat menurunkan ketegangan (Santrock, 2007: 45).
c. Tahap Phalik
Tahap ketiga dari lima tahap perkembangan menurut Freud adalah tahap phalik
yang terjadi pada usia 3 hingga 6 tahun. Kata phalik (phallic) diambil dari bahasa
Latin phallus yang berarti penis. Pada tahap phalik ini kesenangan terfokus pada alat
kelamin saat individu laki-laki dan perempuan menyadari bahwa manipulasi diri
merupakan hal menyenangkan.
Tahap phalik merupakan tahapan yang memiliki kepentingan khusus dalam
perkembangan kepribadian. Hal ini dikarenakan pada tahapan inilah Oedipus complex
muncul. Nama Oedipus complex berasal dari mitologi Yunani, dimana Oedipus,
individu raja Thebes, secara tidak sadar membunuh ayahnya dan menikahi ibunya.
Menurut teori Freud, Oedipus complex adalah perkembangan individu mengenai
keinginan yang kuat untuk menggantikan orang tua yang berjenis kelamin berbeda.
Penentuan Oedipus complex ini dapat dilihat dari individu usia 5 hingga 6 tahun
yang menyadari bahwa ayah atau ibu mereka dapat menghukum mereka karena
mengurangi konflik ini, individu berusaha menjadi seperti ayah atau ibu mereka.
Apabila konflik ini tidak terpecahkan, maka individu tersebut akan terkekang pada
tahap phalik (Santrock, 2007: 45).
d. Tahap Latensi
Tahap latensi terjadi pada usia 6 tahun hingga masa puber. Pada periode ini,
individu menekan seluruh keinginan seksualnya dan berganti mengembangkan
keterampilan sosial dan intelektualnya. Kegiatan ini membantu seorang individu
melupakan konflik tahap phalik yang menekan dan mengarahkan banyak energi
individu ke dalam bidang yang aman secara emosional (Santrock, 2007: 45).
e. Tahap Genital
Tahap terakhir dari teori psikoseksual Freud adalah tahap genital. Tahap genital
terjadi dimulai dari masa puber dan seterusnya. Tahap ini merupakan tahap
kebangkitan seksual. Sumber kesenangan seksual saat ini didapatnya dari seseorang
di luar keluarga. Menurut Freud, konflik yang tidak terpecahkan dengan orang tua
muncul pada masa remaja. Apabila konflik tersebut dapat terpecahkan, maka seorang
individu tersebut mampu mengembangkan hubungan cinta yang matang dan mampu
bertindak secara mandiri sebagai orang dewasa (Santrock, 2007: 45).
f. Tahap Kematangan
Freud menyinggung juga tahapan kematangan ini, tetapi tidak pernah
dikonseptualisasikan secara lengkap. Periode kematangan psikologis merupakan
suatu tahap yang dicapai sesudah seseorang melewati periode-periode perkembangan
banyak peluang untuk mengembangkan gangguan-gangguan patologik atau
kecenderungan neurotik (Semiun, 2006: 113).
4. Mekanisme Pertahanan Diri
Mekanisme pertahanan diri terjadi karena adanya dorongan atau perasaan
beralih untuk mencari objek pengganti. Menurut Freud, istilah mekanisme pertahanan
mengacu pada proses alam bawah sadar seseorang yang bertahan terhadap anxitas.
Mekanisme ini melindunginya dari ancaman eksternal maupun adanya impuls-impuls
dari anxitas internal. Pertahanan yang paling primitif dari ancaman luar berasal yaitu
penolakan realitas (denial of reality), dimana seorang individu mencoba menolak
realitas yang mengganggu dengan menolak mengakuinya.
Mekanisme pertahanan tidak mencerminkan kepribadian secara umum, akan
tetapi memiliki pengaruh yang besar dalam perkembangan kepribadian seseorang.
Kegagalan mekanisme pertahanan dalam memenuhi fungsi pertahanannya
menimbulkan kelainan mental. Menurut Freud, keinginan-keinginan dari id yang
ditahan oleh superego menimbulkan anxitas. Ego merasa bahwa id dapat
menyebabkan gangguan terhadap individu. Anxitas mewaspadai ego guna mengatasi
konflik tersebut melalui mekanisme pertahanan ego dan mengurangi anxitas yang
timbul akibat konflik tersebut (Santrock via Minderop, 2013: 32).
a. Represi
Represi merupakan mekanisme pertahanan yang paling kuat dan luas. Represi
kembali ke alam bawah sadar. Fondasi mekanisme pertahanan ego berpusat pada
represi. Tujuan dari keseluruhan mekanisme pertahanan ini adalah untuk mendorong
(repress) impuls-impuls yang mengancam keluar dari alam sadar. Freud berpendapat,
pengalaman masa kecil, bersumber dari dorongan seks, sangat mengancam untuk
diatas secara sadar oleh manusia. Oleh karena itu, manusia mengurangi anxitas dari
konflik tersebut melalui mekanisme pertahanan represi. Krech via Minderop (2013:
33) menjelaskan sebagai berikut:
As a result of repression, the person is not aware of his own anxiety-producing impulses or does not remember deeply emotional and traumatic past events. A person with homosexual impulses (his recognition of which might produce anxiety in him) may thus, through repression become completely unaware of such impulses, a person who has suffered a mortifying personal failure may, through repression, become unable to recall the experience...
Sebagai hasil dari represi, manusia tidak sadar akan impuls penghasil kecemasan miliknya atau tidak mengingat dengan emosi dan trauma yang mendalam setelah sebuah kejadian dialaminya. Seseorang dengan impuls homoseksual (cara mengenal diri yang mungkin akan menghasilkan kecemasan dalam dirinya) mungkin bisa dikategorikan demikian, melalui represi manusia bisa sama sekali tidak sadar akan impuls-impuls yang dialaminya; seseorang yang mengalami fase memalukan dalam hidupnya tidak mungkin bisa mengingat kembali hal itu ketika ia dalam fase represi...
Berdasarkan penjelasan diatas dapat dijelaskan bahwa mekanisme represi pada
awalnya dipaparkan oleh Sigmund Freud. Adapun represi merupakan tindakan dalam
menghindari perasaan anxitas. Akibat yang ditimbulkan dari represi ini adalah
seseorang menjadi tidak mengingat pengalaman emosional dan traumatiknya di masa
lalu. Tindakan menghindari anxitas melalui represi dapat menjurus pada kondisi
b. Sublimasi
Pada dasarnya, sublimasi merupakan tindakan pengalihan. Sublimasi terjadi
jika tindakan-tindakan yang bermanfaat secara sosial menggantikan perasaan tidak
nyaman. Contohnya adalah seseorang yang memiliki dorongan seks tinggi, kemudian
mengalihkan perasaan tersebut ke dalam bentuk kegiatan lain, dengan menjadi
pelukis tubuh model tanpa busana.
c. Proyeksi
Proyeksi terjadi jika seseorang berusaha menutupi kekurangan ataupun
masalahnya dengan cara melimpahkannya pada orang lain. Hal ini seperti yang
diungkapkan Krench via Minderop (2013: 34) sebagai berikut:
One obvious way to defend against anxiety arising from failure or guilt is by projection of the blame onto someone else. The person who is unware of his own hostile impulses but sees them in other people – and sees the others as hating and persecuting him- is also projecting.
Satu cara paling ampuh untuk mencegah anxitas yang dihasilkan dari kekurangan ataupun penyesalan adalah dengan memproyeksikan (melimpahkan) kesalahan pada orang lain. Seseorang yang tidak sadar terhadap impuls jahatnya tetapi melihat hal tersebut pada orang lain – dan melihat yang lain sebagai orang yang membenci dan menuntutnya, juga termasuk proyeksi.
Pada beberapa waktu, manusia akan menghadapi situasi maupun hal-hal yang
tidak diinginkan dan kemudian melimpahkannya dengan alasan lain. misalnya adalah
ketika kita harus bersikap kritis maupun bersikap kasar terhadap orang lain, namun
kita menyadari bahwa bahwa hal tersebut tidak pantas untuk dilakukan. Sikap ini kita
d. Pengalihan
Pengalihan adalah mengalihkan perasaan tidak senang terhadap suatu objek ke
objek lainnya. Misalnya saja ketika kita tidak menyukai sesuatu dan kemudian kita
mengalihkan kepada pihak lain yang dapat dijadikan kambing hitam. Objek berupa
kambing hitam tersebut bukanlah sumber frustasi, akan tetapi kita merasa objek
tersebut lebih aman untuk dijadikan sasaran.
e. Rasionalisasi
Rasionalisasi memliki dua tujuan, yaitu untuk mengurangi kekecewaan ketika
kita gagal mencapai suatu tujuan, dan memberikan kita motif yang dapat diterima atas
perilaku (Hilgard via Minderop, 2013: 35).
f. Reaksi Formasi
Reaksi formasi merupakan represi akibat impuls anxitas yang terkadang diikuti
oleh kecenderungan yang berlawanan dan bertolak belakang dengan tendensi yang
ditekan. Misalnya saja seseorang bisa menjadi seorang fanatik melawan kejahatan
karena adanya perasaan di bawah alam sadarnya yang berhubungan dengan dosa. Ia
merepresikan impulsnya dengan melawan kejahatan yang tidak ia pahami. Contoh
lainnya adalah kepedulian dari seorang ibu terhadap anaknya sebagai upaya untuk
menutupi rasa tidak nyaman terhadap anaknya. Reaksi formasi ini mampu mencegah
seorang individu berperilaku yang menghasilkan anxitas dan sering kali mencegahnya
g. Regresi
Regresi memiliki dua interpretasi, yaitu retrogressive behavior dan
primitivation. Retrogressive behavior adalah perilaku seseorang yang mirip dengan
anak kecil, menangis dan sangat manja agar memperoleh rasa aman dan perhatian
pihak lain. Primitivation adalah sikap dimana seorang dewasa bersikap tidak
berbudaya dan kehilangan kontrol, sehingga tidak memiliki rasa sungkan untuk
berkelahi (Hilgard via Minderop, 2013: 38).
h. Agresi dan Apatis
Agresi dapat berbentuk langsung (direct agrresion) dan pengalihan (displaced
agrression). Agresi langsung merupakan agresi yang diungkapkan secara langsung
kepada seseorang atau objek yang merupakan sumber frustasi. Agresi yang dialihkan
adalah sikap dimana seseorang mengalami frustasi namun tidak dapat
mengungkapkannya secara puas pada sumber frustasi karena tidak jelas atau tidak
tersentuh. Adapun apatis adalah bentuk lain dari frustasi, dimana seseorang menarik
diri dan bersikap seakan-akan pasrah.
i. Fantasi dan Stereotype
Fantasi adalah peristiwa saat seseorang menghadapi masalah yang demikian
bertumpuk dan mencari solusi dengan berkhayal (berfantasi). Misalnya saja pada
seseorang yang sedang lapar dan membayangkan makanan lezat tersaji didepannya.
Stereotype adalah konsekuensi lain dari frustasi, memperlihatkan perilaku perulangan
terus-menerus. Seseorang yang bertingkah stereotype akan selalu mengulangi
5. Neurosis
Menurut Reber (2010: 620) pengertian neurosis yaitu sebuah kepribadian atau
gangguan mental yang tidak berkaitan dengan disfungsi saraf atau organik yang
diketahui, yaitu sebuah psikoneurosis. Terdapat empat sub tipe awal gangguan
kepribadian neurosis menurut Freud, yaitu kecemasan, fobia, obsesif kompulsif, dan
histeria, lalu mengembang luas hingga mencakup depresi, narsistik, dan sebagainya.
Neurosis dalam psikoanalisis menurut Freud, adalah kesehatan jiwa dan badan yang
terganggu karena adanya konflik dan kesulitan dalam jiwa individu. Dasar dari
adanya neurosis menurut psikoanalisis ialah adanya konflik dan kesulitan batin
(Semiun, 2006: 315).
Penderita neurotik jadi sakit karena merasa tertekan dari luar dan dari dalam
serta memperlihatkan simtom-simtom yang melumpuhkan meskipun tidak begitu
berat dibandingkan dengan gangguan mental yang lain. Neurosis dapat didefinisikan
sebagai gangguan tingkah laku yang disebabkan oleh tegangan emosi sebagai akibat
dari frustasi, konflik, represi, atau perasaan tidak aman (Semiun, 2006: 316).
Freud menjelaskan neurosis bisa terjadi apabila orang bereaksi tidak benar atas
suatu pengalaman yang amat emosional dan memalukan. Neurosis menyebabkan
seseorang tidak bisa mengembangkan diri secara dewasa. Selama neurosis tersebut
tidak disembuhkan, seseorang tersebut tidak mampu hidup secara biasa (Suseno,
2006: 86). Adapun neurosis terbagi ke dalam beberapa reaksi neurotik. Semiun
(2006: 320) mengklasifikasikan reaksi-reaksi neurotik menjadi 6 bentuk, yaitu
gangguan-gangguan disosiatif, gangguan-gangguan-gangguan-gangguan unipolar (depresi), bunuh diri, dan
gangguan-gangguan psikofisiologis.
a. Gangguan-Gangguan Kecemasan
Perbedaan antara gangguan kecemasan dan gangguan lain ialah dalam
gangguan kecemasan, kecemasan menjadi simtom utama atau penyebab utama dari
simtom-simtom yang lain, sedangkan simtom dalam simtom-simtom yang lain,
kecemasan merupakan akibat dari masalah-masalah yang lain (Semiun, 2006: 321).
Gangguan-gangguan kecemasan ini terbagi ke dalam dua kelompok, yaitu
gangguan-gangguan fobia dan anxiety states. Fobia adalah reaksi ketakutan yang hebat atau
abnormal terhadap situasi atau benda yang khusus, sedangkan anxiety states
merupakan gangguan yang respon emosionalnya menyebar dan tidak ada kaitannya
dengan salah satu situasi atau stimulus tertentu. Adapun anxiety states dibedakan
menjadi empat macam, yaitu gangguan panik, gangguan kecemasan menyeluruh,
gangguan stres posttraumatik, dan gangguan obsesif-kompulsif (Semiun, 2006: 332).
b. Gangguan-Gangguan Somatoform
Pengertian dari gangguan-gangguan somatoform adalah gangguan-gangguan
neurotik yang khas bercirikan emosionalitas yang ekstrem, dan berubah menjadi
simtom-simtom fisik, berupa kelumpuhan anggota-anggota badan.
c. Gangguan-Gangguan Disosiatif
Gangguan-gangguan disosiatif adalah gangguan-gangguan atau
Ada lima macam gangguan disosiatif, yaitu amnesia psikogenik, fugues psikogenik,
kepribadian ganda, depersonalisasi, dang gangguan kesurupan.
d. Gangguan-Gangguan Unipolar (Depresi)
Salah satu reaksi neurotik yaitu gangguan-gangguan unipolar. Gangguan
unipolar adalah salah satu jenis gangguan suasana hati. Depresi merupakan jenis
gangguan-gangguan suasana hati (mood). Gangguan-gangguan suasana hati adalah
gangguan-gangguan yang bergerak dari depresi yang dalam sampai kepada mania
yang ganas. Gangguan unipolar muncul karena situasi stress yang terjadi secara
tiba-tiba (misalnya peristiwa kematian) meskipun lama kelamaan mungkin menjadi
sedikit lebih mendalam. Reaksi depresif mungkin berat, namun tidak disertai dengan
delusi (Semiun, 2006: 405). Freud (via Semiun, 2006: 418) menyamakan depresi
dengan perkabungan (perasaan sedih dan duka cita yang terjadi bila orang yang
dicintai meninggal). Orang yang mengalami depresi akan merasa tertekan, murung,
sedih, putus asa, kehilangan semangat dan muram. Ia juga merasa terisolasi, ditolak,
dan tidak dicintai. Adapun penderita depresi akan mudah terkena msalah somatik,
yaitu pola tidur terganggu (Semiun, 2006: 416).
Parkes via Minderop (2013: 44) menemukan bukti bahwa kesedihan yang
berlarut-larut dapat mengakibatkan depresi dan dan putus asa, yang menjurus pada
kecemasan, akibatnya bisa menimbulkan insomnia, tidak memiliki nafsu makan,
timbul perasaan jengkel dan menjadi pemarah serta menarik diri dari pergaulan.
Munculnya ketegangan dan kegelisahan yang menyebabkan kecemasan ini dapat
e. Bunuh Diri
Bunuh diri termasuk dalam gangguan suasana hati (unipolar dan bipolar), dan
orang yang bunuh diri adalah orang yang mengalami gangguan unipolar atau bipolar.
f. Gangguan-Gangguan Psikofisiologis
Gangguan psikofisiologis disebut juga pengaruh psikofisiologis terhadap
gangguan-gangguan fisik atau gangguan-gangguan psikosomatik. Gangguan
psikofisiologis adalah kondisi dimana konflik-konflik psikis atau psikologis dan
kecemasan-kecemasan menjadi penyebab dari timbulnya bermacam-macam penyakit
fisik atau malahan membuat penyakit fisik yang sudah ada semakin lebih parah
BAB III
METODE PENELITIAN
A. Subjek dan Objek Penelitian
Subjek penelitian ini adalah karya sastra yang berbentuk roman berjudul Bruges
La Morte karya Georges Rodenbach yang diterbitkan tahun 2005 oleh Editions du
Boucher dengan jumlah ketebalan 158 halaman. Objek dalam penelitian ini adalah
unsur-unsur pembangun atau unsur-unsur intrinsik roman Bruges La Morte karya
Georges Rodenbach, berupa alur, penokohan, latar, tema, serta wujud perkembangan
perwatakan tokoh utama roman Bruges La Morte. Penelitian ini termasuk penelitian
pustaka dan akan dikaji dengan metode deskriptif kualitatif dengan teknik analisis
konten.
B. Prosedur Penelitian
Pada penelitian ini akan digunakan teknik analisis konten. Teknik analisis
konten adalah teknik untuk menghasilkan deskripsi yang objektif, untuk menganalisis
makna pesan dan cara mengungkapkan pesan, serta inferensi yang valid dan dapat
diteliti ulang berdasarkan konteksnya (Zuhdi, 1993: 1-2). Prosedurnya adalah sebagai
berikut:
1. Teknik Pengumpulan Data
Data dalam penelitian sastra dapat berupa kata, kalimat atau unit bahasa
lainnya. Data kemudian dimaknai dan diungkapkan dengan pertanyaan di dalam
berupa penokohan, maka data-data yang berhubungan dengan tokoh-tokohnya
dijadikan data bagi unsur intrinsik penokohan.
a. Penentuan Unit Analisis
Penentuan unit analisis pada roman Bruges La Morte karya Georges Rodenbach
ini berdasarkan unit sintaksis. Unit sintaksis ini berupa kata, frasa, kalimat, wacana.
b. Pengumpulan dan Pencatatan Data
Tahap ini akan dilakukan dengan teknik baca dan teknik catat. Teknik baca
dilakukan untuk mengidentifikasi penggunaan unsur-unsur intrinsik yang dikaji
dalam roman Bruges La Morte karya Georges Rodenbach, yang ditunjang dengan
membaca buku-buku yang berhubungan dengan penelitian ini. Teknik catat adalah
teknik menjaring data dengan mencatat hasil dari menyimak data. Kegiatan mencatat
dilakukan sebagai lanjutan dari teknik membaca.
Kedua teknik tersebut digunakan untuk mencatat data deskripsi
struktural-psikoanalisis dalam roman Bruges La Morte karya Georges Rodenbach. Proses
pencatatan disertai dengan penyeleksian/ klasifikasi data.
2. Inferensi
Inferensi adalah kegiatan untuk memaknai data berdasarkan konteksnya,
dimulai dari konteks pada teks sebagai awal pemahaman makna, dalam hal ini adalah
pemaknaan terhadap roman Bruges La Morte karya Georges Rodenbach. Inferensi
dalam roman Bruges La Morte karya Georges Rodenbach ini diperoleh dari
kesimpulan awal dari isi roman tersebut. Langkah selanjutnya adalah pemahaman
lebih mendalam dengan memperhatikan konteks yang melatarinya agar tidak
menyimpang dari tujuan awal.
C. Teknik Analisis Data
Setelah melakukan pengumpulan data, langkah selanjutnya adalah analisis data
dengan pendekatan deskriptif-kualitatif. Data yang digunakan berupa kata, frasa/
kalimat yang diidentifikasi dan dilakukan pendeskripsian terhadapnya. Deskripsi
yang dilakukan mencakup bagaimana bentuk unsur intrinsik yang berupa alur,
penokohan, latar, dan tema yang terdapat dalam roman Bruges La Morte. Selanjutnya
mendeskripsikan bagaimana wujud perkembangan perwatakan tokoh utama roman
Bruges La Morte dari pandangan psikoanalisis.
D. Validitas dan Reliabilitas
1. Uji Validitas Instrumen
Uji validitas dalam penelitian ini adalah validitas semantis atau validitas isi.
Validitas semantis digunakan untuk mengukur tingkat kesensitifan suatu teknik
terhadap makna-makna simbolik yang relevan dengan konteks tertentu. Disamping
itu digunakan pula validitas expert judgement. Dalam penelitian ini, penafsiran
terhadap data dilakukan dengan mempertimbangkan konteksnya. Hasil penafsiran ini
2. Uji Reliabilitas Instrumen
Reliabilitas yang digunakan dalam penelitian ini adalah reliabilitas intrarater
atau pengamatan berulang-ulang agar hasil data yang diperoleh konstan. Selain itu
digunakan pula reliabilitas inter-rater atau antarpengamat. Reliabilitas dapat tercapai
apabila terjadi kesepakatan atau kesamaan persepsi terhadap masalah yang
dibicarakan.
BAB V PENUTUP
A. Kesimpulan
Analisis telah dilakukan terhadap unsur-unsur intrinsik atau unsur-unsur
pembangun roman Bruges La Morte karya Georges Rodenbach, dan dapat
disimpulkan beberapa hal sebagai berikut:
1. Wujud Unsur Intrinsik Berupa Alur, Penokohan, Latar, dan Tema
dalam Roman Bruges La Morte Karya Georges Rodenbach
Roman Bruges La Morte karya Georges Rodenbach ini memiliki dominasi
pergerakan alur maju. Berdasarkan unsur pembangunnya, roman Bruges La Morte
karya Georges Rodenbach ini memberikan penekanan pada unsur penokohan. Hal
ini terbukti dari tokoh utamanya, Hugues Viane, yang memiliki perilaku
menyimpang sehingga teori lanjutan untuk menjelaskan berbagai perwatakan
tokoh utama dengan menggunakan teori psikoanalisis.
Selain itu, pengungkapan latar yang dihadirkan dalam roman menjadi hal
yang juga perlu diperhatikan, karena kehadiran latar Bruges membuat cerita yang
diungkapkan menjadi lebih nyata. Keadaan dan situasi kota Bruges diungkapkan
melalui cerita sehingga menambah pengetahuan pembaca tanpa perlu
mengunjunginya. Dari alur, penokohan, dan latar tersebut ditemukan tema utama
dalam roman Bruges La Morte karya Georges Rodenbach ini, yaitu depresi
seorang suami atas kematian istrinya. Adapun tema tambahan yaitu kasih sayang,
2. Wujud Keterkaitan Antarunsur Intrinsik dalam Roman Bruges La
Morte Karya Georges Rodenbach
Roman Bruges La Morte karya Georges Rodenbach terbentuk dari berbagai
unsur pembangunnya. Unsur tersebut saling berkaitan dan mendukung satu sama
lain dalam perwujudan cerita. Keseluruhan unsur intrinsik yang berupa alur,
penokohan, dan latar ini terkait oleh tema. Unsur-unsur ini membangun suatu
kesatuan cerita yang padu dan utuh. Alur sebagai salah satu aspek yang
membangun sebuah cerita terbentuk melalui berbagai macam peristiwa dan
konflik yang saling berkaitan. Peristiwa dan konflik tersebut terbentuk dari
interaksi antartokoh dalam cerita yang membentuk sebuah satuan cerita yang
menarik.
Tokoh utama yaitu Hugues, menjadi penggerak cerita dalam roman ini.
Tokoh ini diperkuat dengan kehadiran tokoh tambahan yang berpengaruh
terhadap jalannya cerita, yaitu Jane dan Barbe. Peristiwa-peristiwa yang dialami
oleh para tokoh ini terjadi dalam suatu tempat, waktu, dan suatu lingkungan sosial
masyarakat. Latar tempat di Bruges dengan latar waktu sembilan bulan ini terjadi
pada latar sosial masyarakat kebangsawanan. Ketiga aspek dalam latar tersebut
mempengaruhi perwatakan dan cara berfikir tokoh dalam cerita. Keterkaitan
antarunsur tersebut membentuk tema utama, yaitu depresi seorang suami atas
kematian istrinya dengan tema tambahan kasih sayang dan obsesivitas.
3. Wujud Perkembangan Perwatakan Tokoh Roman Bruges La Morte
Karya Georges Rodenbach
Roman Bruges La Morte ini dapat dijadikan sebagai contoh Hugues yang
berbagai hasil analisis yang didapatkan dalam pribadi Hugues, menunjukkan
bahwa Hugues memiliki ketidakseimbangan emosi dalam dirinya. Hugues
dikatakan tidak menjalani tahap perkembangan kepribadian secara matang, yaitu
pada tahap genital, dimana depresi atas kematian istrinya. Hugues pun
menyimpan potongan rambut istrinya dan dianggapnya sebagai jiwa dari
rumahnya. Hal ini membuktikan bahwa peristiwa yang terjadi pada setiap tahap
perkembangan mempengaruhi perkembangan kepribadian individu.
Berbagai kecemasan yang timbul pada diri Hugues setalah pertemuannya
dengan Jane semakin membuat Hugues terpuruk dan depresi. Kepergian Barbe,
pelayan setianya, serta kesadaran Hugues akan sifat Jane yang buruk pada
akhirnya membuat Hugues melakukan agresi dengan membunuh Jane. Berbagai
perilaku menyimpang berupa kecemasan berasal dari konflik batin yang terus
menghantui Hugues serta frustasi yang dialami sebagai wujud depresinya
mengarah pada penyakit neurosis dengan reaksi neurotik gangguan unipolar.
B. Implikasi
Penelitian terhadap roman Bruges La Morte karya Georges Rodenbach ini
dapat dijadikan referensi pendukung serta bahan diskusi kesusastraan Prancis dan
pembelajaran sastra dalam mata kuliah Analyse de la Littérature Française dan
Thèori de la Littérature Française di Jurusan Pendidikan Bahasa Prancis.
Penelitian ini juga dapat dijadikan referensi bagi penelitian selanjutnya untuk
mengupas lebih dalam mengenai bentuk-bentuk wacana psikoanalisis selain
neurosis gangguan unipolar yang terdapat dalam roman Bruges La Morte karya
C. Saran
Adapun saran yang dapat diberikan dalam penelitian ini adalah sebagai
berikut.
1. Hasil penelitian ini dapat dilanjutkan dengan mengkaji konflik yang
terbangun pada roman Bruges La Morte karya Georges Rodenbach.
2. Hasil penelitian ini dapat dilanjutkan dengan mengkaji latar sosial
masyarakat pada saat munculnya roman Bruges La Morte karya Georges
Rodenbach.
3. Hasil penelitian ini dapat dilanjutkan menggunakan teori lain, seperti teori
struktural-semiotik.
DAFTAR PUSTAKA
Aminudin. 1987. Pengantar Apresiasi Karya Sastra. Bandung: Sinar Baru.
Barthes, Roland. 1981. L’introduction à l’analyse Structurale du Récit. Paris: Editions du Seuil.
Besson, Robert. 1987. Guide Pratique de la Communication Écrite. Paris: Editions Casteilla.
Fannanie, Zainuddin. 2002. Telaah Sastra. Surakarta: Muhammadiyah University Press.
Labrousse, Pierre. 2009. Kamus Umum Indonesia Perancis. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama.
Larousse. 1994. Le Petit Larousse Illustré. Paris: Larousse.
Milner, Max. 1992. Freud dan Interpretasi Sastra diterjemahkan oleh DS. Apsanti, Sri Widaningsih dan Laksmi. Jakarta: Intermasa.
Minderop, Albertine. 2013. Psikologi Sastra. Jakarta: Yayasan Pustaka Obor Indonesia.
Nurgiyantoro, Burhan. 2005. Teori Pengkajian Fiksi. Yogyakarta: Gajah mada University Press.
Peyroutet, Claude. 2001. La Pratique de l’Expression Écrite. Paris: NATHAN.
Pradopo, Rachmat Djoko. 1995. Beberapa Teori Sastra, Metode Kritik dan Penerapannya. Yogyakarta: Pustaka Pelajar Offset.
Reber, Arthur S, Emily. 2010. Kamus Psikologi. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Robert, Paul. 2006. Le Robert Micro. Paris: Gallimard.
Rodenbach, George. 2005. Bruges La Morte. Paris: Editions du Boucher.
Santrock, John W. 2007. Perkembangan Anak. Jakarta: Erlangga.
Semiun OFM, Yustinus. 2006. Teori Kepribadian dan Terapi Psikoanalitik Freud. Yogyakarta: Kanisius.
_________ . 2006. Kesehatan Mental 2. Yogyakarta: Kanisius.
Schmitt, M. P dan Viala. 1982. Savoir-Lire. Paris: Didier.
Suseno, Franz Magnis. 2006. Menalar Tuhan. Yogyakarta: Kanisius.