TRADISI PENGGUNAAN GARAM DALAM BACAAN YASIN DI DESA GARON KECAMATAN BALEREJO KABUPATEN MADIUN
(Perspektif Strukturalisme Claude Levi Strauss)
Skripsi
Disusun Untuk Memenuhi Tugas Akhir Guna Memperoleh Gelar Sarjana Strata 1 (S-1) dalam
Ilmu Ushuluddin dan Filsafat
oleh:
LULUK PITRIANI NINGSIH NIM: E71213107
JURUSAN AQIDAH DAN FILSAFAT ISLAM FAKULTAS USHULUDDIN DAN FILSAFAT UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SUNAN AMPEL
SURABAYA
ABSTRAK
Luluk Pitriani Ningsih, NIM. E71213107, 2017. Tradisi Penggunaan Garam dalam Bacaan Yasin di Desa Garon Kecamatan Balerejo Kabupaten Madiun (Perspektif Strukturalisme Claude Levi Strauss). Skripsi Program Studi Aqidah dan Filsafat Islam Fakultas Ushuluddin dan Filsafat Universitas Islam Negeri Sunan Ampel Surabaya.
Kata Kunci : Tradisi Penggunaan Garam, dan Strukturalisme
Skripsi ini adalah hasil penelitian lapangan yang berjudul “Tradisi Penggunaan Garam dalam Bacaan Yasin di Desa Garon Kecamatan Balerejo Kabupaten Madiun (Perspektif Strukturalisme Claude Levi Strauss)”. Ini adalah hasil penelitian untuk mengerti dan memahami tradisi penggunaan garam dalam bacaan yasin di Desa Garon Kecamatan Balerejo Kabupaten Madiun.
Dalam penelitian ini, peneliti menggunakan metode kualitatif yang menghasilkan data deskriptif berupa kata-kata secara lisan maupun tertulis tentang orang-orang dan perilaku yang diamati. Serta menggunakan pendekatan Strukturalisme dalam menafsirkan, menginterpretasikan makna yang terkandung dalam sebuah simbol atau kata. Adapun teknik pengumpulan data yang digunakan selama proses penelitian ini adalah observasi, wawancara dan dokumentasi.
Hasil penelitian, diperoleh data bahwa mayoritas masyarakat masih melakukan tradisi penggunaan garam dan percaya akan mitos dan resiko-resiko yang menimpa apabila tidak melakukan tradisi (adat/kebiasaan) diantaranya di ganggu hal-hal ghaib, dan di jadikan sebagai penangkal dari kejahatan, juga di percaya sebagai pengobatan. Menurut sesepuh desa setempat, tradisi penggunaan garam tersebut merupakan warisan dari nenek moyang yang patutnya dijaga dan
dilaksanakan (manut). Seperti yang dikatakan oleh Claude Levi Strauss bahwa
setiap simbol tradisi pasti mempunyai makna yang tersembunyi, Oleh sebab itu perlu adanya metode atau cara untuk mengidentifikasi dan menafsirkannya.
Menurut Claude Levi Strauss, struktur dibedakan menjadi dua yaitu Struktur dalam dan struktur luar. Struktur dalam meliputi seperti batin yang mana manusia akan merasa bersalah dan takut jika tidak melakukan tradisi tersebut. Struktur luar misalnya saja mitos, system kekerabatan, dan sebagainya. dari sinilah kemudian diterapkan atau diimplementasikan ke dalam tradisi penggunaan garam dalam bacaan yasin, tepatnya di Desa Garon Kecamatan Balerejo Kabupaten Madiun dengan menggunakan strukturalisme Claude Levi Strauss yang dalam pemikirannya mempunyai hubungan yang erat akan mitos-motos yang terjadi dalam tradisi tersebut.
DAFTAR ISI
Halaman
SAMPUL DALAM ... i
PERNYATAAN KEASLIAN ... ii
PERSETUJUAN PEMBIMBINGAN ... iii
PENGESAHAN ... iv
MOTTO ... v
PERSEMBAHAN ... vi
ABSTRAK ... vii
KATA PENGANTAR ... viii
DAFTAR ISI ... x
PEDOMAN TRANSLITERASI ... xii
BAB I : PENDAHULUAN ... 1
A.Latar Belakang Masalah ... 1
B. Identifikasi Masalah ... 6
C. Rumusan Masalah ... 7
D.Penegasan Judul ... 7
E. Tujuan Masalah ... 10
F. Manfaat Penelitian... 10
G.Telaah Pustaka... 10
H.Metodologi Penelitian ... 13
BAB II : STRUKTURALISME CLAUDE LEVI STRAUSS ... 19
A.Biografi Claude Levi Strauss ... 19
B.Karya Claude Levi Strauss ... 23
C.Teori Strukturalisme Claude Levi Strauss ... 26
D.Asumsi Dasar Strukturalisme ... 40
BAB III : TRADISI PENGGUNAAN GARAM DI DESA GARON ... 44
A.Gambaran Umum Lokasi di Desa Garon Kecamatan Balerejo Kabupaten Madiun ... 44
1. Keadaan Geografis Desa Garon ... 44
2. Kebudayaan Desa Garon ... 48
3. Keagamaan Desa Garon ... 52
4. Perekonomian Desa Garon ... 54
5. Pendidikan Desa Garon ... 55
B.Sejarah Penggunaan Garam dalam Bacaan Yasin di Desa Garon ... 56
BAB IV : ANALISIS DATA TRADISI PENGGUNAAN GARAM ... 70
A.Makna Tradisi Penggunaan Garam dalam Perspektif Strukturalisme Claude Levi Strauss ... 70
BAB V : PENUTUP ... 80
A.Kesimpulan... 80
B.Saran ... 81
DAFTAR PUSTAKA ... 82
1
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Penelitian ini hendak memaparkan tradisi masyarakat Desa Garon
kecamatan Balerejo kabupaten Madiun tradisi menggunakan garam
sebagai sajian dalam acara rutinitas yasinan. Masyarakat mempercayai
bahwa garam dapat menyembuhkan penyakit akan tetapi jika garam
tersebut disertai dengan bacaan yasinan maka barokahnya akan lebih besar
lagi manfaatnya.
Tradisi penggunaan garam dalam yasinan adalah bentuk dari
kebudayaan dari masyarakat setempat. Kebudayaan adalah persatuan
antara budi dan daya menjadi kata dan makna yang sejiwa, tidak lagi
menerima di bagi atau di pisah-pisah atas maknanya masing-masing. Budi
yang mengandung makna akal, pikiran, pengertian, paham, pendapat,
ikhtiar, lagi pula perasaan, dan daya mengandung makna tenaga, kekuatan,
kesanggupan. Maka kebudayaan mengandung makna leburan dari dua
makna tadi, dan artinya himpunan segala usaha dan daya upaya yang
dikerjakan dengan menggunakan hasil pendapat budi, untuk memperbaiki
sesuatu dengan tujuan mencapai kesempurnaan.1
Kebudayaan atau tradisi itu sendiri muncul atas keinginan manusia
itu sendiri untuk memenuhi kebutuhan hidupnya, baik dalam bentuk
1
2
tingkah laku, pola hidup, perekonomian, pertanian, system kekerabatan,
stratifikasi sosial, religi, mitos dan sebagainya. Semua aspek tersebut yang
kemudian harus di penuhi oleh manusia dalam kehidupannya dan akan
menjadikan sebuah kebudayaan atau tradisi.
Tradisi merupakan kesamaan benda material dan gagasan yang
berasal dari masa lalu namun masih ada hingga kini dan belum
dihancurkan atau dirusak. Tradisi dapat di artikan sebagai warisan yang
benar atau warisan masa lalu. Namun demikian tradisi yang terjadi
berulang-ulang bukanlah dilakukan secara kebetulan atau disengaja.2
Menurut tokoh C.A. Van Peursen tradisi merupakan proses pewarisan atau
penerusan norma-norma, adat istiadat, kaidah-kaidah, harta-harta. Tradisi
dapat dirubah, diangkat, ditolak dan dipadukan dengan aneka ragam
perbutan manusia. Tradisi berarti segala sesuatu yang disalurkan atau
diwariskan dari masa lalu ke masa kini.3
Dalam tradisi masyarakat khususnya di pulau Jawa pasti terdapat
penggunaan simbol dalam segala aspek kehidupan teutama dalam
beragama. Tradisi tersebut tentunya lahir dari masyarakat setempat sesuai
dengan pengalaman keagamaan dan keyakinan mereka masing-masing,
dan itu semua merupakan karya cipta manusia yang wajib dilestarikan.
Tradisi pembacaan yasinan merupakan tradisi lama yang masih
dipegang oleh kalangan masyarakat. Yasinan merupakan bentuk ijtihad
para ulama untuk mensyiarkan islam dengan jalan mengajak masyarakat
2
Piotr Sztompka, Sosiologi Perubahan Sosial, (Jakarta: Prenada Media Grup, 2007), 69
3
3
untuk mendekatkan diri pada ajaran Islam melalui cinta membaca Al
Qur’an, salah satunya Surat Yasin sehingga disebut sebagai Yasinan.
Kegiatan yasinan di lakukan masyarakat baik kaum ibu maupun bapak dan
juga di kalangan remaja putra maupun putri. Pelaksanaannyapun
berbeda-beda seperti ada yang melaksanakannya pada malam hari, siang hari atau
sore hari atau hanya pada waktu-waktu tertentu misalnya malam jumat
yang di laksanakan di masjid maupun dirumah warga secara bergiliran
setiap minggunya.
Ada hadits sahih: Yasin Lima quriat Lahu, artinya surat Yasin
dibaca sesuai niat si pembaca. Yasin dapat dibaca saat kita mengharap
rezeki Tuhan, meminta sembuh dari penyakit, menghadap ujian, mencari
jodoh, atau hajat lain yang mendesak.
Yasinan adalah sebuah kegiatan membaca surat yasin secara
bersama-sama yang dipimpin oleh seorang kaum, biasanya yasinan juga di
lengkapi dengan bacaan Al Fatihah, dan bacaan tahlil serta ditutup dengan
do’a dan di amini oleh para jamaah. Adapula yasinan di laksanakan untuk
memperingati dan mengirim doa keluarga yang sudah meninggal.
Masyarakat mempercayai bahwa dengan membaca surat yasin maka
pahala atas pembacaan itu akan sampai pada si mayit. Ada juga yasinan di
percaya untuk meminta hajat kepada Allah agar dipermudah dalam
mencari rizki maupun meminta hajat agar orang yang sakit yasin bisa di
4
Allah menghendaki yang bersangkutan kembali kepada-Nya, semoga
cepat diambil oleh-Nya dengan tenang.4
Masyarakat melaksanakan tradisi ini karena turun temurun. Artinya
tradisi ini merupakan peninggalan dari nenek moyang mereka, dimana
islam mengadopsinya bagian dari ritual keagamaan. Dari pelaksanaan
tradisi ini maka ada makna yang lain selain dari arti ayat-ayat yang di baca
secara bersama-sama misalnya contohnya seperti rutinitas yang ada di
Desa Garon yasinan dipercaya sebagai tradisi yang sudah seharusnya di
lakukan karena selain untuk menjalin silaturahim antar umat manusia juga
mendapatkan manfaat dari membaca yasin, menendapatkan amal dan juga
barokah dari surat Yasin tersebut. Selain yasin yang dibaca adapun
Istighosah, Asmaul husna, dan tahlilan. Setelah membaca yasinan di
lanjutkan acara seperti ngobrol membahas tentang kegiatan ataupun arisan.
Lalu dilanjutkan dengan makan-makan hidangan yang sudah di sediakan
oleh tuan rumah yang mempunyai hajat.
Desa Garon merupakan salah satu desa yang terletak dalam
wilayah Kecamatan Balerejo Kabupaten Madiun. Dari segi keagamaan,
masyarakat desa Garon sudah bisa dikatakan berkembang. Penduduk Desa
Garon mayoritas beragama Islam. Adapun kegiatan-kegiatan keagamaan
yang berlangsung di Desa Garon di antaranya adalah Jama’ah Yasinan.
Jama’ah yasinan terdiri dari kelompok ibu-ibu dilaksanakan setiap
seminggu sekali dan di setiap dusun memiliki jama’ah yasinan. Di desa
4
5
Garon kegiatan yasinan ibu-ibu yang dilaksanakan setiap hari kamis
malam jumat.
Kegiatan jamaah yasinan ini biasanya dengan pembacaan surat
yasin dan tahlil. Kegiatan yasinan di Desa Garon bukan hanya dilakukan
di masjid tetapi kegiatan ini dilakukan dengan sistem anjangsana. Kegiatan
tersebut dilakukan dengan anjangsana sehingga dari warga satu dengan
yang lain saling mendapatkan bagian sebagai tuan rumah jama’ah tahlil
dan bisa menjalin silaturahim yang sangat erat sehingga tidak ada warga
satu dengan yang lain. Jamaah tahlil ini dipimpin oleh salah satu tokoh
yang telah warga pilih sebagai pemimpin tahlil yang ada di Desa Garon.
Dalam tradisi yang dilakukan di desa Garon tersebut adapun
keunikannya yang mana dalam acara yasinan ini di sediakan sajian berupa
satu ember garam. Masyarakat mempercayai sebagai pengobatan secara
tradisional, yang mana dalam hal melakukannya para warga mengusapkan
bagian-bagian tubuh yang terasa sakit lalu di olesi dengan garam yang di
sediakan. Dan tidak hanya itu saja warga juga bisa membawa pulang
garam tersebut selain bisa di usapkan ke bagian tubuh warga juga bisa
menggunakannya untuk memasak. Garam yang biyasanya di gunakan
untuk penyedap makanan lain dengan bagi masyarakat Garon mereka
menjadikan garam sebagai sajian dalam acara rutinitas yasinan yang mana
di percaya karena barokahnya membaca yasinan juga tahlilan garam bisa
6
Dari sinilah penulis merasa tertarik untuk meneliti tradisi
penggunaan garam dalam bacaan yasin di desa Garon merupakan hal
penting untuk mendapatkan barokahnya yasinan dan garam sebagai sajian
sekaligus pengobatan. Berangkat dari pemikiran inilah penulis ingin
mengetahui lebih jauh tentang “Tradisi Penggunaan Garam dalam Bacaan
Yasin di Desa Garon Kecamatan Balerejo Kabupaten Madiun (Perspektif
Strukturalisme Claude Levi Strauss)”.
B. Identifikasi Masalah
Tradisi Penggunaan garam dalam bacaan yasin adalah tradisi yang
biyasa di lakukan oleh masyarakat Desa Garon. Yang biyasanya yasinan
hanya sebatas suatu kegiatan namun di sini garam dijadikan sajian dalam
acara tersebut hal tersebut dipercaya warga situ sebagai pengobatan
dengan menggunakan garam yang mana garam tersebut mendapatkan
barokah dari bacaan yasinan tersebut. Karena garam itu sendiri juga sudah
memiliki manfaat tersendiri di tambah dengan barokah yasinan tadi garam
di percaya bisa memberikan manfaat yang lebih bagi masyarakat selain di
gunakan bumbu memasak juga bisa digunakan untuk obat. Selain itu juga
di percaya bahwa garam bisa mengusir hal-hal ghaib, bisa melindungi dari
kejahatan seperti setan tidak bisa mendekat apabila garam di taburkan di
setiap sudut rumah ataupun di sajikan di dalam rumah.
Dalam penelitian sebelumnya ada beberapa yang membahas
7
terapi Ruqyah dan ada juga yang membahas tradisi tahlilan dan Ritual
fenomena tahlilan dan yasinan akan tetapi dalam skripsi ini akan
membahas tradisi penggunaan garam dalam bacaan yasin di Desa Garon
Kecamatan Balerejo Kabupaten Madiun dari sinilah peneliti ingin
mencoba menyuguhkan hal yang baru dan menurut sebagian kita hal biasa.
Dalam kalangan Islam khususnya para penganut aliran Ahlussunah
Waljamaah (NU) bahwa beribadah itu hanya melaksankan hal-hal yang
wajib saja, tetapi juga hal-hal yang disunahkan oleh Rasulullah serta
melestarikan adat istiadat yang baik dan tidak mudharat.
C. Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang diatas maka rumusan masalah dalam
penelitian ini penulis rumuskan sebagai berikut:
1. Bagaimana penggunaan garam dalam tradisi bacaan yasin di Desa
Garon Kecamatan Balerejo Kabupaten Madiun?
2. Apa makna penggunaan garam dalam tradisi bacaan yasin di Desa
Garon Kecamatan Balerejo Kabupaten Madiun?
D. Penegasan Judul
Agar tidak terjadi kesalahan dalam memahami judul skripsi ini
maka perlu diberikan penegasan judul “Tradisi Penggunaan Garam dalam
Bacaan Yasin di Desa Garon Kecamatan Balerejo Kabupaten Madiun
8
1. Tradisi merupakan kesamaan benda material dan gagasan yang
berasal dari masa lalu namun masih ada hingga kini dan belum
dihancurkan atau dirusak. Tradisi dapat di artikan sebagai
warisan yang benar atau warisan masa lalu. Menurut tokoh
C.A. Van Peursen tradisi merupakan proses pewarisan atau
penerusan norma-norma, adat istiadat, kaidah-kaidah,
harta-harta. Tradisi dapat dirubah, diangkat, ditolak dan dipadukan
dengan aneka ragam perbutan manusia. Tradisi berarti segala
sesuatu yang disalurkan atau diwariskan dari masa lalu ke masa
kini.5
2. Yasinan adalah sebuah kegiatan membaca surat yasin secara
bersama-sama yang dipimpin oleh seorang kaum, biasanya
yasinan juga di lengkapi dengan bacaan Al Fatihah, dan bacaan
tahlil serta ditutup dengan doa dan di amini oleh para jamaah.
Adapula yasinan di laksanakan untuk memperingati dan
mengirim doa keluarga yang sudah meninggal. Ada juga
yasinan di percaya untuk meminta hajat kepada Allah agar
orang yang sakit yasin bisa di baca dengan harapan jika bisa
sembuh semoga cepat sembuh, dan jika Allah menghendaki
yang bersangkutan kembali kepada-Nya, semoga cepat diambil
oleh-Nya dengan tenang.6
5
C.A. Van Persen, Strategi Kebudayaan, (Yogyakarta: Kanisisus, 1988), 11
6
9
3. Penggunaan garam dalam bacaan yasin adalah sebuah tradisi
keagamaan yang menjadi medium dalam beribadah kepada
Tuhan dan Ukhuwah Islamiyah oleh masyarakat Desa Garon.
Pada dasarnya garam mendapatkan energi yang dihasilkan oleh
suara bacaan yasin tersebut. Dan di sini tradisi penggunaan
garam bertujuan supaya terhindar dari kejahatan yaitu
gangguan dari hal-hal ghaib. Warga Garon meyakini bahwa
garam bisa mengusir hal ghaib seperti bisa mengusir setan.
4. Strukturalisme Claude Levi Strauss menurutnya dalam struktur
bahasa dengan mitos mempunyai persamaan. Dengan bahasa
manusia dapat mengerti pesan-pesan yang tersampaikan dari
budaya yang diyakini dan dengan bahasa akan terkuak makna
dari simbol. Begitupun dengan mitos juga mengandung
pesan-pesan. Dengan adanya mitos tersebut manusia bisa mengerti
akan fenomnena budaya yang di percayai. Jadi bahasa dengan
mitos saling berkaitan karena untuk mengerti sebuah makna
dari simbol kita harus mengerti fenomena-fenomea dalam
sebuah budaya.
Hal ini yang membuat peneliti tertarik untuk meneliti lebih dalam
lagi tentang “Tradisi Penggunaan Garam dalam Bacaan Yasin di Desa
Garon Kecamatan Balerejo Kabupaten Madiun (Perspektif Strukturalisme
10
E. Tujuan Masalah
Adapun tujuan dan kegunaan penelitian ini merupakan hasil analisa
rumusan masalah di atas
1. Untuk mengetahui bagaimana penggunaan garam dalam bacaan yasin
di Desa Garon Kecamatan Balerejo Kabupaten Madiun.
2. Untuk mengetahui apa makna penggunaan garam dalam tradisi yasin
di Desa Garon Kecamatan Balerejo Kabupaten Madiun.
F. Manfaat Penelitian
Hasil dari studi penelitian ini diharapkan bermanfaat dalam hal-hal
sebagai berikut:
1. Kegunaan teoritis, meliputi dua hal:
a) Dapat dijadikan tambahan ilmu pengetahuan tentang kajian serupa.
b) Dapat digunakan sebagai dasar penyusunan untuk penelitian
lanjutan yang mempunyai relevansi dengan skripsi ini.
c) Memberikan sumbangan pemikiran bagi para pembaca, dan bagi
keilmuan juga dalam kajian keislaman
G. Telaah Pustaka
Berdasarkan penelusuran saya ada beberapa buku ataupun skripsi
karya ilmiah lainnya yang bisa dijadikan sebagai panduan maupun bahan
pertimbangan dalam penulisan skripsi ini, tentunya buku-buku yang
11
alternative baik itu berkaitan dengan alternative tenaga dalam atau
menggunakan alternative selain itu misalnya menggunakan pembacaan
ayat suci al-Qur’an atau yang disebut dengan ruqyah, ataupun
menggunakan alternative dengan perantara bantuan seorang dukun,
diantaranya:
1. Tradisi Tahlilan Dalam Kehidupan Masyarakat Desa
Tegalangus (Analisis Sosio Kultural) oleh Muhammad Iqbal
Fauzi dalam skripsi ini membahas tentang tradisi tahlilan di dea
Tegalangus yang mana masyarakat Tegalangus memiliki
motivasi yang berbeda-beda dalam menghadiri pelaksanaan
tahlilan dan tradisi tahlilan memiliki nilai positif dan negative
bagi masyarakatnya. Silaturrahim, solidaritas sosial dan
ceramah agama yang berisi pengetahuan agama merupakan
nilai positif. Sedangkan nilai negatifnya, tahlilan membentuk
kebiyasaan masyarakat dalam menyuguhkan aneka hidangan
sehingga memberatkan keluarga terutama yang tidak mampu,
tahlilan juga sering dijadikan ranah politik, terlebih menjelang
pemilihan umum.
2. Ritualisasi Budaya-Agama dan Fenomena Tahlilan-Yasinan
Sebagai Upaya Pelestarian Potensi Kearifan Lokal dan
Penguatan Moral Masyarakat oleh Hamim Farhan dalam
skripsi ini menjelaskan tentang ritual bidaya agama dan
12
sebagian masyarakat muslim Jawa/Indonesia. Khususnya di
Gresik semisal ritual kolak Ayam pada hari malam 23
Ramadlan. Salah satu dari keanekaragaman faham dan aliran
itu lalu menciptakan karakteristik ekspresi religi dalam bentuk
khazanah budaya-agama. Bagaimana seseorang atau kelompok
(jamaah) untuk mengekspresikan pengalaman religiusnya yang
khas. Dari simbol-simbol keberagaman itu tidak hanya sebagai
pemenuhan religiusnya akan tetapi juga membangun solidaritas
sosial bahkan bisa saja sebagai mediasi.
3. Terapi Air Putih (Mengobati Berbagai Macam Penyakit) oleh
Teguh Sutanto dalam buku ini membahas tentang penggunaan
air dengan baik, bagimana kriteria air yang sehat dan
menyembuhkan, bagimana aturan-aturan dalam terapi air putih,
terapi air putih utnuk kecantikan dan kebugaran dan terapi air
untuk penyembuhan.
4. Terapi Qur’ani (Tinjauan Historis, al-Qur’an al-Hadits dan
Sains Modern) oleh Ahmad Zuhdi dosen sejarah dan
kebudayaan islam fakultas adab dan humaniora Universitas
Islam Negeri Sunan Ampel (UINSA), buku ini banyak
menjelaskan mengenai pengobatan alternative pada zaman
sebelum Rasulullah dan setelah dengan menggunakan Ruqyah
atau disebut juga dengan do’a di Indonesia sendiri dikenal
13
sebagai penyembuhan penyakit diperbolehkan bagaimana
bentuk/ucapan mantranya asal tidak mengandung unsur syirik,
cara mengobatinya dengan membacakan mantra ini kepada
sipasien kemudian suara yang hasilakan ini mengandung
tenaga listrik yang bisa tersalurkan kepada tubuh
sipasienmelalui indra pendengaran, kemudian tenaga listrik
yang dihasilkan suara ini memperngaruhi sel-sel dalam tubuh
dan memberi perintah/isyarat untuk memperbaiki sel-sel yang
tidak seimbang atau rusak.
H. Metodologi Penilitian
1. Jenis Penelitian
Penelitian ini bersifat kualitatif, yaitu suatu pendekatan penelitian
yang menghasilakan data deskriptif berupa data-data tertulis atau lisan
dari orang-orang dan pelaku yang dapat diamati.7
Bentuk penelitian adalah penelitian deskriptif kualitatif, yaitu
penelitian yang bersifat menggambarkan atau menguraikan suatu hal
dalam situasi tertentu.8
Penelitian deskriptif yang dimaksud adalah penelitian yang
dilakukan hanya bertujuan untuk menggambarkan keadaan atau suatu
fenomena dalam situasi tertentu dan peneliti hanya ingin mengetahui
hal-hal yang berhubungan dengan keadaan sesuatu.
7
Lexy. J Moleong, Metode Penelitian Kualitatif, (Bandung: Remaja Rosdakarya, 2002),3
8
14
2. Kehadiran Peneliti
Peneliti di sini akan bertindak sebagai pengumpul dan pengolah
informasi yang bersifat pasif. Peneliti hanya mengamati secara
langsung yang bertujuan memperoleh data. Peneliti juga menjalin
komunikasi antara responden dan peneliti demi kemudahan mencari
data.
3. Sumber Data
Sumber data adalah subyek darimana data di peroleh.9 Adapun
sumber data penelitian terdiri dari:
a. Sumber data primer, yaitu sumber-sumber yang memberikan data
langsung dari tangan pertama.10 Yang termasuk data primer ini
adalah informan dari warga Desa Garon Kecamatan Balerejo
Kabupaten Madiun.
1. Bapak Hartoyo Kepala Desa Garon
2. Sri Wahyuti Ketua KWT Desa Garon sekaligus sekertaris
Jama’ah Yasinan Desa Garon
3. Umi Ibu Nyai/sesepuh Desa Garon
4. Warti’ah warga Desa Garon
5. Wulandari warga Desa Garon
6. Kasiatun Warga Desa Garon
7. Yasir Tokoh Agama Desa Garon
8. Matin Tokoh Agama Desa Garon
9
Koentjoro Ningrat, Metode Penelitian Masyarakat, (Jakarta: Gramedia, 1981), 254
10
15
b. Sumber data sekunder, yaitu sumber data yang mengutip dari
sumber lain.11 Yang termasuk sumber data sekunder yaitu meliputi:
buku-buku dan literature yang berkaitan dengan judul skripsi,
unduhan dari internet, serta sumber data lainnya yang mendukung.
4. Teknik Pengumpulan Data
Penelitian ini termasuk dalam penelitian non-empirik yang
menggunakan metode penelitian lapangan. Oleh karena itu
sumber-sumber data yang digunakan dalam penelitian ini berasal dari
bahan-bahan yang telah dikumpulkan melalui metode observasi mengenai
permasalahan dalam penelitian ini.
Metode pengumpulan data yang digunakan pada penelitian ini
adalah sebagai berikut:
a. Metode Observasi
Observasi sebagai alat pengumpul data banyak digunakan untuk
mengukur tingkah laku individu ataupun proses terjadinya kegiatan
yang dapat diamati baik dalam situasi yang sebenarnya maupun
dalam situasi buatan.12
Disini peneliti menempati posisi sebagai partisipasi dan non
partisipasi, jadi dalam artian peneliti ikut berperan dalam kegiatan
yang berkenaan dengan keterangan yang diamati.
Metode observasi ini di gunakan untuk memperoleh data
mengenai tentang pelaksanaan kegiatan rutinitas yasinan.
11
Ibid., 143
12
16
5. Metode Wawancara
Metode wawancara adalah suatu pengumpulan data melalui proses
Tanya jawab dimana dua atau lebih berhadap-hadapan secara fisik.13
Metode wawancara dapat dipandang sebagai metode pengumpulan
data dengan jalan seperti tanya jawab sepihak yang dikerjakan dengan
sistematis dan berdasarkan pada tujuan sepihak.
6. Dokumentasi
Dokumentasi adalah teknik mencari data mengenai hal-hal yang
berhubungan langsung dengan tema penelitian ini berupa catatan
peristiwa yang sudah berlalu seperti, tulisan, gambar atau berbentuk
karya.14 Dalam metode dokumentasi ini peneliti mengumpulkan
data-data yang nantinya akan disusun secara sistematis sesuai kebutuhan.
7. Pengecekan Keabsahan Data dalam peneliti
Data dapat dikatakan valid apabila tidak ada perbedaan antara hasil
penelitian dan kenyataan yang ada. Di sini peneliti terlebih dahulu
mempelajari data dan menguji dalam pengumpulan data tersebut. Baik
dari diri sendiri dan orang lain. Untuk pengecekan keabsahan data,
peneliti melakukan beberapa teknik pemeriksaan keabsahan data
secara teliti dan hati-hati, diantaranya:
1. Perpanjangan pengamatan. Peneliti kembali turun kelapangan.
Melakukan pengamatan, wawancara lagi dengan sumber data yang
13
Moh. Nasir, Metode Penelitian (Bogor: Ghalia Indonesia, 2009), 193-194
14
17
pernah ditemui maupun yang baru. Dan perpanjangan pengamatan
untuk menguji kredibilitas data pada penelitian ini akan difokuskan
data yang telah diperoleh.
2. Meningkatkan ketekunan. Peneliti melakukan pengamatan secara
lebih cermat dan berkesinambungan dalam memahami gejala
dilapangan. Dengan demikian data dan urutan peristiwa akan dapat
direkam secara pasti dan sistematis.
8. Tahap-tahap penelitian
Secara operasional, tahapan penelitian ini dibagi atas dua tahapan:
a. Tahap Persiapan/Pra Lapangan
Tahapan ini dilakukan sebelum peneliti terjun kelapangan,
yaitu: menyusun rancangan peneliti, memilih lapangan penelitian,
pengurusan perizinan, memilih informan dan menyiapkan segala
perlengkapan penelitian.
b. Pelaksanaan
Penelitian mulai terjun ke lapangan. Dengan memahami
latar penelitian, mengirim surat permohonan kepada informan dan
pengumpulan data yang dilakukan melalui teknik observasi,
wawancara, dan dokumentasi. Selanjutnya peneliti focus pada
18
I. Sistematika Pembahasan
Untuk memperoleh alur skripsi ini secara sistematis, peneliti
membagi sistematika penulisan skripsi ini tersusun menjadi lima bab:
Bab I merupakan bab pendahuluan, meliputi latar belakang
masalah, identifikasi masalah dan batasan masalah, rumusan masalah,
penegasan judul, tujuan masalah, manfaat penelitian, telaah pustaka,
penegasan judul, tujuan penelitian, manfaat penelitian, telaah pustaka,
metodologi penelitian dan sistematika pembahasan.
Bab II Berisikan Landasan Teori Strukturalisme Claude Levi
Strauss yang terdiri dari Biografi Claude Levi Strauss, Karya Levi Strauss,
Strukturalisme Levi Strauss, dan Asumsi Dasar Strukturalisme.
Bab III Adalah uraian tentang laporan penelitian yang terdiri dari
letak geografis, Kebudayaan dan keagamaan, Perekonomian dan
kependidikan serta data Sejarah tradisi penggunaan garam dalam bacaan
yasin di desa Garon.
Bab IV Analisis dan pengolahan atau penganalisisan data yang
telah diperoleh dari bab sebelumnya dengan metode dan pendekatan yang
telah disebutkan. Analisis yang digunakan dalam penelitian ini adalah
analisis tentang Makna Tradisi penggunaan Garam dalam perspektif
strukturalisme Claude Levi Strauss.
19
BAB II
STRUKTURALISME CLAUDE LEVI STRAUSS
A. Biografi Claude Levi Strauss
Claude Levi Strauss adalah ahli antropologi berkebangsaan
Prancis. Dilahirkan di Brussel, Belgia, tahun 1908 dari orang tua Yahudi
yang berkebangsaan Prancis, dari ayah bernama Raymond Levi Strauss
dan ibu Ema Levy. Kedua orang tua Claude Strauss mempunyai
kewarganegaraan Prancis. Kemudian pada tahun 1909 orang tua Claude
Levi Strauss pindah ke Paris, Prancis. Secara sosial historis, sejak kecil
Claude Levi Strauss hidup dalam sebuah keluarga yang berjiwa seni.
Ayahnya adalah seorang pelukis yang lebih banyak melukis poteret.
Karena hidup Levi Strauss semasa kecil seperti ini, maka kita tidak perlu
heran apabila keadaan ini sangat berpengaruh terhadap corak
pemikirannya, terutama pengaruh ini sangat Nampak terhadap bidang
antropologinya. Pengaruh seperti ini bisa dilihat dari buku-bukunya
tentang mitos serta analisisnya tentang hias, topeng, mitos dan juga cara
dia memandang fenomena sosial budaya.
Tahun 1914 mereka pindah ke Versailler, Prancis. Ia belajar
Filsafat d Universitas Sorbonne, sebuah Universita yang cukup bonafide di
Prancis. Studi fakultas ini berhasil ia selesaikan dalam waktu satu tahun
dengan tesis tentang dalil-dalil filsafati aliran materialisme historis, dengan
20
dikemudian hari turut menentukan perjalanan karirnya sebagai ahli
antropologi. Tesisnya yang bertema materialisme historis ini, termasuk
bagian dari pengaruh terhadap kerangka berpikir Claude Levi Strauss yang
disebut sebagai strukturalisme. Sebenarnya niat Claude Levi Strauss pada
awalnya bukan pada bidang antropologi. Ia serius pada bidang antropologi
karena pengaruh pendidikan yang ia tempuh di Universitas Sorbonne dan
pendalamannya pada materialism historis.1
Claude Levi Strausslah yang dikenal sebagai bapak Strukturalisme,
sebab dialah yang pertama kalinya menggunakan pendekatan linguistic
struktural dalam kajian atau analisis budaya. Belakang pendidikan filsafat,
namun ia mulai tertarik dengan antropologi ketika menjadi professor
sosiologi di Sao Paulo, Brazil, dan menjelajahi daerah-daerah pedalaman
di Brazil antara tahun 1934-1939. Ketika NAZI mulai berekspansi keluar
dari negeri Jerman, Lavi Strauss pindah ke New York (USA), Claude
Strauss menjadi pengajar etnologi, sebuah Universitas yang didirikan oleh
kaum intelektual pelarian Prancis. Di sinilah kecenderungan structural
yang sudah lama ada dalam diri Claude Strauss berkembang dan menjadi
matang dan di kota inilah ia berjumpa dengan seorang linguis bernama
Roman Jakobson. Perkenalannya dengan linguistic modern inilah yang
akan mengubah haluan kariernya. Claude Levi Strauss mulai melihat
kemungkinan penerapan ilmu linguistic pada antropologi budaya.
1
21
Dikemudian hari ia memang berhasil mewujudkan impiannya itu.
Budaya baginya adalah bahasa. Levi Strauss melahirkan konsep
strukturalisme sendiri akibat ketidakpuasannya terhadap fenomenologi dan
eksistensialisme. Pasalnya para ahli antropologi pada saat itu tidak pernah
mempertimbangkan peranan bahasa yang sebenarnya sangat dekat dengan
kebudayaan manusia itu sendiri. Dalam bukunya yang berjudul Trites
Tropique 1955 ia menyatakan bahwa penelaan budaya perlu dilakukan
dengan model linguistic. Ia tidak setuju dengan Bragson yang menganggap
tanda linguistic dianggap sebagai hambatan yang merusak impresi
kesadaran individual yang halus, cepat berlalu, dan mudah rusak. menurut
Levi Strauss bahasa yang digunakan merefleksikan budaya atau perilaku
manusia tersebut. Oleh karena itu ada kesamaan konsep antara bahasa dan
budaya manusia. Ia berpendapat bahwa bahasa dapat digunakan untuk
mempelajari kebudayaan atau perilaku suatu masyarakat.2
Dari sinilah bisa disimpulkan teori pemikirannya Levi Strauss lebih
mengarah kepada Bahasa dan Budaya. Dalam beberapa pemikiran yang
sudah tertuangkan banyak pemaknaan yang menggunakan teori Bahasa.
Karena Levi Strauss beranggapan bahwa dengan Bahasa kita dapat
mengetahui arti makna yang terdapat pada suatu Budaya. Levi Strauss juga
mengartikan bagaimana kepercayaan masyarakat terhadap kebudayaan
yang dianutnya dengan menggunakan metode Bahasa. Dengan mengetahui
2
22
cara bahasa yang digunakan oleh masyarakat maka akan mengetahui
bagaimana pemaknaan dari kebudayaan tersebut.
Pada tahun 1947 Claude Levi Strauss kembali ke Prancis dan
menempuh ujian doktornya di Uneversitas Sorbonne, dengan disertasi Les
Structures Elementaires De La Parente. Pada tahun ini juga Claude Levi
Strauss bertemu dengan Jacques Lacan, seorang ahli psikologi analisis
dirumah Alexander Koyre. Namun pertemuan mereka tidak
memperngaruhi pemikiran Claude Levi Strauss tentang strukturalisme dan
juga tidak ada kaitannya karena petemuan mereka yang sampai menjadi
sahabat itu tidak digunakan untuk membicarakan strukturalisme,
antropologi, atau filsafat. Tetapi pertemuan mereka selama beberapa tahun
hanya digunakan untuk membicarakan seni dan sastra.3
Pada tahun 1949, Claude Levi Strauss menunjukkan konsistensi
dan keteguhannya untuk menekuni bidang antropologi dengan
menggunakan pendekatan structural melalui terbitan buku dari
disertasinya. Melalui buku ini nama Claude Levi Strauss mulai menanjak
dan diperhitungkan di dunia pemikiran. Buku ini banyak mendapat
sambutan positif, meskipun ada beberapa pemikir sezamannya yang
merasa iri kemudian menjauh dari Claude Strauss. Dalam buku inilah
untuk pertama kalinya beraneka ragam system kekerabatan suku-suku
bangsa didunia dicoba dijelaskan dengan menggunakan model-model yang
3
23
memperlihatkan prinsip-prinsip yang bekerja dibalik fenomena system
kekerabatan. Buku jiga menunjukkan kepiawaian Levi Strauss dalam
menerapkan analisis structural atas fenomena kekerabatan. Bangunan
pemikiran Claude Levi Strauss semakin mantap dengan menggunakan
paradigma strukturalnya ketika dia menulis buku Totemisme dan Savage
Mind. Buku ini menggambarkan keyakinan Claude Levi Strauss akan
ketepatan dan manfaat analisis Strutural yang dipeloporinya, bagi upaya
membangun disiplin antropologi yang lebih kokoh pondasi filsafat dan
keilmuwannya. Perjalanan Claude Levi Strauss dari sini sampai kedepan
seringkali dilaluinya dengan menerbitkan buku-buku melalui hasil
penelitiannya, sehingga semakin lama Claude Levi Strauss semakin
dikenal. Baik di dunia akademis maupun kalangan awam. 4
B. Karya Claude Levi Strauss
Kesuksesan Levi Strauss ini tertuang dalam beberapa buku yang
membuatnya termasyhur Yaitu:
1. Les structures elementaire de la parente 1949 (Struktur-struktur
elementary kekerabatan), Tristes tropiques 1955 (Daerah tropika yang
menyedihkan) adalah otobiografinya yang menjadi sukses besar.
2. Antropoligie structural 1958 (Antropologi structural) mengumpulkan
berbgagai artikel dan publikasi kecil.
4
24
3. Le totemisme aujourd’bui 1962 (Totemisme dewasa ini), La pensee
sauvage 1962 (Pemikiran Liar), Studi besar tentang mitologi diberi
judul umum.5
4. Mythologies I (1964), Le CRue Et Le Cuit, Paris: Plon, 1964
Terjemahan Inggris. Mythologiques, I: The Raw And The Cooked, New
York: Harper and Row, 1969.
5. La Voie des masques 1973 (Jalan Topeng-Topeng) memperlajari
topeng-topeng dari kebudayaan-kebudayaan primitive dalam hubungan
dengan mitologi mereka, dan masih ada beberapa karya lainnya lagi.
6. The Elementary Structures Of Kinship. Trans by J.H.Bell and J.R Von
Strurmer. Edited by R. Needha. Baston: Beacon Press.1969.
7. Tristes Tropiques. Paris: Librairic Plon.1995.
Uraian pemikiran penulis dalam karya sastra selama periode pekerjaan
lapangannya. Dan otobiografinya yang menjadi sukses besar. Dalam
bahasa Indonesia diterjemahkan sebagao daerah tropika yang
menyedihkan. Edisi baru yang diperbaiki.1973.
(terjemahan Inggris. Tristes Tropiques. New York: Atheneum. 1967)6
8. La Pense Sauvage, Paris: Plon 1962.
(terjemahan Inggris, The Sauvage Mind, London: Weidenfeld and
Nicolson, 1966).
5
Bertens, Filsafat Barat Kontemporer, (Jakarta: PT. Gramedia, 2001), 45
6
25
(terjemahan Belanda. Het Wilde Denken, Amsterdam: Meulenhoff
Nederland, 1968. Dikutip dari edisi Belanda).
9. Mythologiques II: Du Miel Aux Cendrems, Paris: Plon , M.C 1967.
(terjemahan: From Honey To Ashes, New York: Harper and Row,
1973).
(terjemahan Jerman: Mythological II: Vom Honing Zur Asche,
Frankfrut Am Main: Suhrkamp Verlag, 1972).
10.Mithologiques III: L’origine Des Manieres De Table, O.M.T. Paris,
1968.
(terjemahan Inggris: The Origin Of The Table Manners, New York:
Harper, 1979).
11.Mithologiques IV: L’homme Nu, Paris: Plon 1971.
(terjemahan Inggris: The Naked Man, New York: Harper And Row
1981).
(terjemahan Jerman: Mithological IV: Der Nackte Mensch 1.
Suhrkamp Verlag, 1975.
12.Mythologikal IV: Der Nacket Mensch 2. Suhrkamp Verlag, 1975.
13.Antropplogie Structurale Deux, Paris: 1973.
(terjemahan Inggris. Structirale Antropology. Volume II, London:
Allen Lane, Penguin Books Ltd 197; New York: Basic Books, 1976.
14. L’Identite, Seminaire Interdisciplinaire Dirige Par Claude Levi Strauss 1974-1975. Paris: Quadrige P.U.F 1983. (edisi pertama. Edition
26
15.Myth And Meaning (Massey Lectures, 1977) London 1978.
(terjemahan Jerman. Mytos und bedeutung, Vortraege. Frankfrut Am
Main: Suhrkamp Verlag Es 1027. (Neue Volge Band 27, 1980). Buku
ini memuat ceramah-ceramah yang diberikan Levi Strauss untuk radio
kanada siaran berbahasa Inggris.
16.La Voie Des Masques. Geneve, Edition Albert Skira Les Sentiers De
La Creation, 2 Vol, 1975. (edisi yang diperbaiki dan ditambahkan
dengan tiga ekskursi, Paris: Plon “Agora”, 1979). (terjemahan Inggris,
The Way Of The Masks. Seattle: University of Washington Press,
1982).
17.Le Regard Eloigne, Paris: Plon, 1983.
(terjemahan Inggris: The Few From Afar, New York: basic Books,
1985; Oxford: Brasil Blackwell Ltd 1985).
18.Paroles Donnees, Paris: Plon, 1984.
19.La Potiere Jalouse, Paris: Plon, 1985.7
C. Teori Strukturalisme Claude Levi Strauss
Manusia pada dasarnya merupakan animal Symbolicum di mana
manusia tidak bisa hidup dalam dunia yang berupa fakta-fakta kasar atau
dunia fisik semata dan tidak pula hidup menurut kebutuhan dan dorongan
seketika, namun manusia hidup dalam emosi, imajiner, kerinduan dan
kecemasan, ilusi, delusi, fantasi dan impian. Keseluruan tersebut adalah
benang yang membentuk jaring-jaring semacam mite, bahasa, seni dan
7
27
agama di mana masing-masing saling berkait berkesinambungan dan
membentuk lingkaran fungsional manusia yang bisa kita sebut sebagai
system simbolis.8
System inilah yang membedakan antara organisme dan manusia.
Organisme memiliki system efektor (menerima rangsang) dan reseptor
(bereaksi) di mana keduanya bekerja sama dan saling terkait membentuk
mata rantai atau yang desebut sebagai lingkaran fungsional pada binatang.
Sedangkan pada manusia, terdapat mata rantai ketiga yaitu system
simbolis sebab lingkaran fungsional manusia tidak hanya berkembang
secara kuantitatif, namun juga mengalami perubahan-perubahan kualitatif.9
Mitos itu sendiri bukanlah semata-mata tumpukan tahayul atau
hayalan karena sebenarnya mitos mempunyai bentuk yang sistematis dan
konseptual. Pada hakikatnya, mitos terdiri dari pengiasan cerita.
Mitos-mitos tersebut menghubungkan urutan kejadian yang kepentingannya
terletak pada kejadian-kejadian itu sendiri dan dalam detail yang
menyertainya. Hal tersebut menjadikan mitos memiliki sifat terbuka dan
bisa dikisahkan ulang dalam kata-kata lain, diperluas maupun dielaborasi.
Keberadaan mitos dalam suatu masyarakat, menurut Levi Strauss
adalah dalam rangka mengatasi atau memecahkan berbagai persoalan
dalam masyarakat yang secara empiris tidak terpahami dalam nalar
manusia. Ia yakin bahwa mitos bukan satu produk spontan dari fantasi
8
Dr. P.M. Laksono. Teori Budaya. (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1999), 65
9
28
yang bebas, sewenang-wenang dan tak beraturan, melainkan perwujudan
murni akal tak sadar yang menerapkan seluruh aturan dan prinsip mental
apriori pada berbagai isi bahan cerita mitos.10
Strukturalisme dipandang sebagai salah satu penelitian kesastraan
yang menekankan pada kajian hubungan antar unsur pembangun karya
sastra yang bersangkutan. Strukturalisme Levi Strauss secara implisit
menganggap teks naratif, seperti mitos, sejajar atau mirip dengan kalimat
berdasarkan dua hal. Pertama, teks merupakan kesatuan yang bermakna
(meaningful Whole), yang dapat dianggap mewujudkan atau
mengekspresikan, pemikiran pengarang, seperti kalimat yang
mengejawantahkan pemikiran seseorang pembicara. Apa yang
diekspresikan atau ditampilkan oleh sebuah teks adalah lebih dari yang
diekspresikan oleh kalimat-kalimat yang membentuk teks tersebut, seperti
halnya makna sebuah kalimat adalah lebih dari sekedar makna
diekspresikan kata-kata membentuk kalimat tersebut. Kedua, sebuah teks
adalah kumpulan peristiwa-peristiwa atau bagian-bagian yang
bersama-sama membentuk sebuah cerita serta menampilkan berbagai tokoh dalam
gerak.11
Strukturalisme Levi Strauss sangat berkaitan erat dengan masalah
antropologi budaya yang digunakan untuk memahami dan menjelaskan
10
Djohn Desanto, Agus Cremers. Mitos Dukun & Sihir Claude Alfa Strauss. (Yogyakarta: Kanisius, 1997), 89
11
Hanief Rosyadi. “Islam tradisional dalam perspektif strukturalisme Claude Levi
29
fenomena-fenomena dalam kebudayaan. Pada analisis structural, struktur
dibedakan menjadi dua macam yaitu struktur lahir atau struktur luar
(surface structure) dan struktur batin atau struktur dalam (deep structure).
Struktur luar adalah relasi-relasi antarunsur yang dapat dibuat atau bangun
berdasarkan ciri empiris dari relasi-relasi tersebut, sedang struktur dalam
adalah susunan tertentu yang dibangun berdasarkan atas struktur luar yang
telah berhasil dibuat serta dipelajari. Struktur dalam ini dapat disusun
dengan menganalisis dan membandingkan berbagai struktur luar yang
berhasil diketemukan atau dibangun. Struktur dalam inilah yang digunakan
sebagai model untuk memahami fenomena yang diteliti karena melalui
struktur inilah peneliti kemudian dapat memahami fenomena kebudayaan
yang dipelajari. Struktur luar misalnya saja mitos, system kekerabatan,
kostum, tata cara memasak dan sebagainya. Berbeda dengan struktur
dalam yang merupakan struktur dari struktur permukaan. Struktur
permukaan mungkin dapat disadari, tetapi struktur dalam berada dalam
tataran tidak disadari.12
Dengan menggunakan analisis structural, maka makna yang
ditampulkan dari fenomena-fenomena sutau kebudayaan diharapakan akan
menjadi utuh. Dengan mengkaji mitos, Levi Strauss, dengan menggunakan
paradigm structural dapat mengungkapkan logika yang ada di balik
mitos-mitos yang nampak dari structural luar tersebut. Logika dasar tersebut
12
30
terwujud dari aktifitas kehidupan sehari-sehari manusia. Berbagai
fenomena budaya merupakan wujud dari nalar tersebut.13
Levi Strauss memberikan perhatian terhadap mitos yang
terkandung dalam setiap dongeng, baik secara bulat maupun fragmentaris.
Menurutnya mitos adalah naratif sendiri, khususnya yang berkaitan dengan
aspek-aspek kebudayaan tertentu. Pada dasarnya mitos merupakan
pesan-pesan kultural terhadap anggota masyarakat. strukturalisme Levi Strauss
tidak lain adalah dongeng. Mitos dalam konteks, Levi Strauss sebagaimana
dinyatakan dalam bukunya yang terkenal Structural Antropology, struktur
bukanlah representasi atau substitusi realitas. Struktur dengan demikian
adalah realitas empiris itu sendiri, yang di tampilkan sebagai organisasi
logis, yang disebut sebgaia isi.14
Langkah digunakan dalam menganalisis tradisi penggunaan garam
dalam bacaan yasinan, dengan menggunakan teori Claude Levi Strauss ini
dengan menentukan sekuen-sekuen teks yang mana sekuen itu juga
disamakan dengan episode. Dalam konteks ini, langkah yang utama dan
pertama adalah mengidentifikasi miteme-miteme pada tataran kalimat
seperti yang diungkapkan Levi Strauss. Setelah menentukan
episode-episode atau sekuen, langkah berikutnya ditentukan unit-unit sekuen
tersebut, yakni relasi antar tokoh dalam tiap episode, relasi antar unsur
yang lain selain tokoh tap episode. Setelah mengetahui relasi antar tokoh
13
Mudji Sutrisno, Hendar Putranto. Teori-Teori Kebudayaan. (Yogyakarta: Kanisius, 2005), 121
14
31
maka akan ditemukan makna dalam teks terebut. Metime-metime inilah
yang harus didapatkan lebih dulu sebelum berusaha mengetahui makna
sebut mitos secara keseluruhan, karena metime ini merupakan unit yang
terkecil dari cerita dan disinlah akan ditemukan kedudukan metime yang
berada pada posisi sebagai simbol dan tanda. Unit-unit terkecil mitos yaitu
miteme adalah kalimat-kalimat atau kata-kata yang menunjukkan relasi
tertentu atau mempunyai makna tertentu. Pada akhirnya, dapat ditemukan
makna yang akan disampaikan dalam mitos tersebut.
Menurut Levi Strauss sebuah mitos selalu terkait dengan masa lalu.
Nilai intrinsic dalam mitos yang ditaksir terjadi pada waktu tertentu juga
membentuk sebuah struktur yang permanen. Struktur ini terkait dengan
masa lalu, masa kini, dan masa yang akan datang. Mitos menghubungkan
urutan kejadian yang kepentingannya terletak pada kejadian-kejadian itu
sendiri dan detail yang menyertainya. Dengan demikian, mitos selalu
terbuka untuk digunakan ulang dan khususnya menyadarkan diri pada
terjemahan.15
Strukturalisme Claude Levi Strauss :
1. Structure of Language
Structure of language adalah struktur bahasa yang digunakan
dalam penyampaian cerita dalam suatu kebuadayaan. Struktur bahasa
juga bisa identitas masyarakat pada suatu periode tertentu. Suatu
15
Zakridatul Agusmaniar,
32
bahasa pada hakikatnya adalah sebagai suatu system perlambangan
yang disusun secara sewenang/arbiter. Jika ditinjau sebagai suatu
system bunyi, unit-unit konstituen bahasa ialah fonem-fonemnya,
yakni kelompok signifikan yang memuat unsur-unsur bunyi.
Menurut Levi Strauss, budaya pada hakikatnya adalah suatu
system simbolik atau konfigurasi system perlambangan. Lebih lanjut,
untuk memahami sesuatu perangkat lambang budaya tertentu, orang
harus lebih dulu melihatnya dalam kaitan dengan system keseluruhan
tempat system perlambangan itu menjadi bagian. Akan tetapi ketika
Levi Strauss berbicara tentang fenomena kultural sebagai sesuatu yang
bersifat simbolik, dia tidak memasalahkan referen atau arti lambang
secara empiric. Yang ia perhatikan adalah pola-pola formal,
bagaimana unsur-unsur simbol saling berkaitan secara logis untuk
membentuk system keseluruhan.16
Menurut levi Strauss, bahasa dan kebudayaan pada dasarnya
hasil dari aktivitas yang mirip atau sama. Aktivitas ini berasal adri apa
yang disebutnya sebagai “tamu tak diundang” yakni nalar manusia.
Adanya korelasi antar bahasa dan kebudayaan bukanlah karena
adanya semacam hubungan kausal antara bahasa dan kebudayaan,
16
Chusnul Chotimah, “Diskursus Kasta dalam Kitab Mahabarata Karya C.
33
tetapi karena keduanya merupakan produk dari aktivitas nalar
manusia.17
Levi Strauss berpendapat bahwa linguistic merupakan disiplin
yang perlu dilirik oleh ahli antropologi adalah bahwa pada masa itu
ahli bahasa yang memiliki masalah dapat meminta bantuan seseorang
insinyur komunikasi untuk membuat suatu peralatan yang
memungkinkan dilakukannya semacam eksperimen berkenan dengan
masalah tersebut. Eksperimen ini menurut Levi Strauss sangat mirip
dengan eksperimen dalam ilmu alam. Di sinilah Levi Strauss melihat
peranan penting dari Linguistik bagi antropologi, karena ia
menginginkan antropologi dapat mencapai posisi ilmiah sebagaimana
yang telah di capai oleh ilmu pasti dan alam.
Linguistic yang mencapai posisi ilmiah yang kuat tersebut
sangat menarik bagi Levi Strauss dalam pengembangan antropologi.
Sebab pada saat itu, kajian antropologi, terutama kajian mitologi,
belum menemukan alat analisis yang dapat memberikan kejelasan
bagi mitologi yang jumlahnya cukup besar dan berserakan. Tidak
seorangpun ahli mitologi ketika itu yang mahu tahu bagaimana cara
menyusun, menghimpun, dan memahaminya dalam suatu kesatuan
17
34
yang bermakna. 18Dengan pendekatan linguistic structural ini, Levi
Strauss berusaha merumuskan metode analisis yang kemudian
dengannya ia mampu menghimpun kembali ratusan mitos yang
berserakan dan menempatkannya dalam sebuah bangunan besar di
mana masing-masing mitos memperoleh tempatnya serta memilki
keterkaitan dengan mitos-mitos yang lain. Dengan kata lain, ia ingin
mengungkap tatanan logika dasar yang berada di balik segala
kekayaan dan keanekaragaman budaya manusia. Metode analisis
structural Levi Strauss tersebut meminjam gagasan dari banyak tokoh
linguistic.19
Ahli-ahli linguistic structural yang sangat berpengaruh pada
Levi Strauss antara lain adalah Ferdinand de Saussure, Roman
Jakobson, dan Nikola Troubetzkoy. Salah satunya pemikiran yang
Levi Strauss ambil dari Ferdinan de Saussure, Levi Strauss mengambil
paling tidak lima pandangan yaitu 1) tinanda dan penanda, 2) bentuk
(form) dan (contens) isi, 3) langue dan parole, 4) sinkronis dan
diakronis, dan 5) sintagmatik dan paradigmatic.20
2. Structural Atas Mitos
Claude Levi Strauss mengembangkan analisis mitos dengan
memanfaatkan model-model linguistic. Menurutnya, ada kesamaan
18
Lechte, John. 50 Filsuf kontemporer: dari strukturalisme sampai postmodernitas”.
Yogyakarta: Kanisius, 2001, 119
19
Ibid., 118
20
35
antara mitos dengan bahasa persamaannya, yakni pertama, bahasa
adalah sarana komunikasi untuk menyampaikan pesan dari satu
individu ke individu yang lain, atau kelompok satu ke kelompok yang
lain. Mitos sendiri juga disampaikan melalui bahasa dan lewat proses
penceritaan, pesan-pesan yang ada di dalamnya dapat disampaikan.
Kedua, seperti halnya bahasa, mitos mengandung aspek langue dan
parole, sinkronis dan diaktronis, sintagmatik dan juga paradigmatic.
Aspek langue inilah yang memungkinkan berlangsungnya komunikasi
simbolik antar manusia karena langue dimiliki bersama.21 Langue
merupakan sebuah fenomena kolektif yaitu system, fakta sosial atau
aturan-aturan, norma-norma yang tidak disadari. Pada tataran langue
-lah struktur dalam sebuah mitos dapat ditunjukkan. Sedangkan parode
adalah tuturan yang bersifat individual yang merupakan cerminan
kebebasan seseorang.
Sebagaimana bahasa tersusun atas elemen-elemen seperti
fonem-fonem, mitos pun terdiri atas unit-unit lebih kecil yang
disebutnya mitem (mythems). Makna dari sebuah mitos diperoleh dari
mitem-mitem dan sekaligus merefleksikan bagaimana mitem-mitem
tersebut tersusun menjadi satu kesatuan yang utuh.
Myth dalam bahasa Indonesia adalah mitos, Mitos dalam
konteks strukturalisme Levi Strauss tidak lain adalah dongeng.
21
36
Meskipun hanya khayalan, mitos dipandang mendapatkan tempat
ekspresinya yang paling bebas dalam dongeng. Menurut Heddy Shri
Ahimsa Putra dongeng merupakan sebuah kisah atau cerita yang lahir
dari hasil imajinasi manusia, dari khayalan manusia, walaupun
unsur-unsur khayalan tersebut berasal dari apa yang ada dalam kehidupan
sehari-hari.22
Mitos merupakan hasil kreativitas psyche manusia yang secara
tak sadar menaati hukum-hukum tertentu (relasi-relasi dan
oposisi-oposisi dalam alam). Psyche memang selalu didetrminasi oleh
struktur-struktur tak sadar dalam segala aktivitas mentalnya. Dalam
interpretasinya terhadap berbagai mitos, ia juga memperlihatkan
bahwa mitos juga terdiri atas relasi-relasi dan oposisi-oposisi.23
Mitos-mitos merupakan hasil dari kreativitas psike manusia
yang sama sekali bebas. Kalau sekiranya dapat di buktikan bahwa
dibidang itu pun psike manusia tetap taat pada hukum-hukum tertentu,
maka kesimpulannya ialah bahwa psike selalu dideterminasi oleh
struktur-struktur tak sadar dalam segala pekerjaannya. Dan dalam
interpretasinya tentang mitologi itu Levi Strauss memang
memperlihatkan bahwa mitos juga sendiri atas relasi-relasi serta
22
Heddy Shri Ahimsa Putra, Strukturalisme Levi-Strauss: Mitos dan Karya Sastra, (Yogyakarta: Kepel Press, 2006), 72
23
37
oposisi-oposisi dan bahwa dengan cara demikian pemikiran liar
berhasi menciptakan keteraturan dalam dunianya.
Menurut Levi Srauss, mite harus berlangsung seperti analisis
mengenai bahasa. Unsur-unsur mite, seperti unsur-unsur bahasa,
dalam dirinya sendiri tidaklah mengandung arti. Arti itu barulah
muncul bila unsur-unsur tadi bergabung membentuk suatu struktur.
Mite mengandung semacam amanat yang dikodekan, dan tugas
penganalisa ialah menemukan dan mengurai kode itu serta
menyingkapkan amanatnya. 24
Mite memiliki muatan naratif. Akan tetapi hal itu bukanlah
makna utama, karena mite menembus hingga melampaui
(mentransendensi) narasi. Yang maknawi adalah pola mite yang
sepenuhnya formal itu, hubungan-hubungan logis antara
elemen-elemen yang terkandung didalamnya. Jika dipandang dalam skala
global, variasi mite yang tampak nyata itu di pandang sebagai
transformasi logis dari seperangkat hubungan structural yang bertahan
lama. Penemuan inti struktur yang mendasar inilah yang menjadi
perhatian pokok Levi Strauss dalam menganalisis mite. 25
Levi Strauss mengembangkan teori strukturalnya dalam
analisis mitos. Ia menggabungkan fungsi-fungsi secara fertikal dan
24
Christopher R. Badcock, Levi Strauss: Strukturalisme dan teori sosiologi terj. Robby Habiba Abror (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2008), 87
25
38
menerangkan paradigmatic yang tumpang tindih menggunakan
varian-varian mitos dengan model structural yang tidak linear. Levi Strauss
menarik kesimpulan bahwa mitos-mitos yang ada diseluruh dunia
tersebut pada hakikatnya bersifat semena atau arbiter. Levi Straus
menarik sebuah kesimpulan bahwa mitos-mitos yang ada diseluruh
dunia tersebut pada hakikatnya dalam relasi-relasi atau keterkaitan
antara elemen-elemen adalam mitos dengan mengombinasikan
elemen-elemennya. Mitos dapat dikategorikan seperti dalam bahasa.
Mitos bersifat seperti bahasa yang tersusun atas satuan-satuan unit
serupa dengan elemen-elemen lingual bahasa.26
Namun, mitos tidak dapat sepenuhnya disamakan dengan
bahasa bila dilihat dari factor waktu. Bahasa memang dapat diteliti
pada factor waktu tertentu atau pada waktu yang sama atau yang di
istilahkan dengan sifat singkronik dan diakronik sesuai pada konsep
langue dan parole. Mitos ternyata memiliki sifat kombinasi antara
reversible time dan non revesible time. Hal ini berarti bahwa mitos
sepanjang sejarah akan selalu sama meskipun dari waktu kewaktu
penampilannya berbeda.
Ada tiga landasan yang perlu diperhatikan dalam melakukan
analisis mitos. Pertama, bila mitos dianggpa sebagai sesuatu yang
bermakna, maka makna ini tidaklah terdapat pada unsur-unsurnya
yang berdiri sendiri, yang terpisah satu dengan yang lain, tetapi pada
26
39
cara unsur-unsur tersebut dikombinasika. Kedua, walaupun mitos
termasuk dalam kategori bahasa, namun mitos bukanlah sekedar
bahasa. Artinya hanya ciri-ciri tertentu saja dari mitos yang bertemu
dengan ciri-ciri bahasa. Ketiga, ciri-ciri tersebut dapat ditemukan
bukan pada tingkat bahasa itu sendiri tapi di atasnya. Ciri-ciri tersebut
lebih kompleks, lebih rumit daripada ciri-ciri pada wujud kebahasaan
lainnya. Berdasarkan tiga landasan ini, dua langkah dalam
menganalisis mitos: menemukan miteme atau ceriteme, dan menyusun
miteme secara sintagmatis dan paradigmatis.27
3. Structure of Kinship
Levi Strauss menggolongkan beberapa antara hubungan
kekerabatan, salah satu yang dikaji adalah hubungan anak kepada
orang tuanya. Biasanya digunakan sebagai jargon, lihatlah perubahan
yang terjadi antata perempuan dengan suatu kelompok. Pada tahun
1950 Claude Levi Strauss terinspirasi dari sekolah yang dibentuknya
yaitu “Alliance Theorists” bisa mengubah antropologi di Inggris yang
lebih dominan, berdasarkan sudut pandang yang utama dan persatuan
makna yang kedua dari reproducing the liniage. Sebelumnya Levi
Strauss menganalisis dari hubungan harus lebih menarik dari sekedar antropologisnya, pada dasarnya hubungan kekerabatan merupakan kajian humanis dan harus menjadi penggerak suatu ketertarikan manusia. 28
27
Agus Cremers, Antara Alam dan Mitos: Memperkenalkan Antropologi Struktural
Claude Levi Strauss (Flores: Penerbit Nusa Indah, 1997), 87
28
40
Titik singgung lain adalah sama seperti bahasa, kekerabatan pun
merupakan suatu system komunikasi, karena informasi atau
pesan-pesan disampaikan oleh satu indiviu kepada individu lain.
Kekerabatan adalah system komunikasi, karena klien-klien atau
famili-famili atau grup-grup sosial lain tukar menukar wanita-wanita
mereka. Sebagaimana bahasa merupakan pertukaran, komunikasi,
dialog, demikian pun kekerabatan. Dan karena bahasa serta
kekerabatan boleh dianggap sebagai dua fenomena yang dapat
disetarafkan, maka kedua-duanya dapat diselidiki menurut metode
yang sama. Boleh ditambah lagi bahwa seperti halnya dalam bahasa
system kekerabatan pun dikuasai oleh aturan-aturan yang tidak
disadari.29
D. Asumsi Dasar Strukturalisme
Strukturalisme memiliki beberapa asumsi dasar yang berbeda
dengan konsep pendekatan lain. Beberapa asumsi dasar tersebut antara:
1. Dalam strukturalisme ada anggapan bahwa upacara-upacara,
sistem-sistem kekerabatan dan perkawinan, pola tempat tinggal, pakaian dan
sebagainya, secara formal semuanya dapat dikatakan sebagai
bahasa-bahasa atau tanda dan simbol yang menyampaikan pesan tertentu. Oleh
29
41
karena itu terdapat ketertataan (order) serta keterulangan (regularities)
pada berbagai fenomena tersebut.
2. Para penganut strukturalisme beranggapan bahwa dalam diri semua
manusia terdapat kemampuan untuk mentrukstur, menyusun suatu
struktur, atau adalah kemampuan untuk menstrukstur, menyusun suatu
struktus, atau menempelkan suatu struktur tertentu pada gejala-gejala
yang dihadapinya. Dalam kehidupan sehari-hari apa yang kita dengar
dan saksikan adalah perwujudan dari adanya struktur dalam tadi. Akan
tetapi perwujudan ini tidak pernah komplit. Suatu struktur hanya
mewujud secara parsial pada suatu gejala, seperti halnya suatu kalimat
dalam bahasa Indonesia hanyalah wujud dari struktur bahasa Indonesia.
Kemampuan ini terdesain sedemikian rupa sehingga berbagai macam
kemungkinan penstrukturan tersebut tidak lantas menjadi tanpa batas.
Setiap gejala dengan demikian dipandang memilki strukturnya
sendiri-sendiri, baik sebagai surface structure maupun deep Structure. Surface
structur adalah struktur yang Nampak dan disadari keberadaannya.
Deep structure adalah struktur yang berada dibalik struktur yang
tampak dan tidak disadari keberadaannya.30
3. Mengikuti pandangan de Saussure bahwa suatu istilah maknanya oleh
relasi-relasinya pada suatu titik waktu tertentu, yaitu secara sinkronis,
dengan istilah-istilah yang lain, para penganut strukturalisme
berpendapat bahwa relasi-relasi suatu fenomena budaya dengan
30
42
fenomena-fenomena yang lain pada titik waktu tertentu inilah yang
menentukan makna fenomena tersebut. Hukum transformasi adalah
keterulangan-keterulangan (Regularities) yang tampak, melalui suatu
konfigurasi structural berganti menjadi konfigursi structural yang lain.
Transformasi yang berulang-ulang akan menunjukkan hukum-hukum
transformasi yang mengikuti struktur tertentu, bukan hukum sebab
akibat.
4. Relasi-relasi yang ada pada struktur dalam dapat disederhanakan lagi
menjadi oposisi berpasangan (binary opposition). Sebagai serangkaian
tanda-tanda dan simbol-simbol, fenomena budaya pada dasarnya juga
dapat di tanggapi dengan cara seperti diatas. Dengan metode analisis
structural makna-makna yang ditampilakan dari berbagai fenomena
budaya diharapakan akan dapat menjadi lebih utuh. Sebagai
serangkaian tanda-tanda dan simbol-simbil, fenomena budaya dapat
juga diproses menjadi oposisi berpasangan, yang dengannya analisis
antropologis tidak hanya akan diarahkan untuk mengungkapkan
makna-makna refrensialnya saja, tetapi juga menyusun tatabahasa yang ada
dibalik proses munculnya budaya itu sendiri, atau hukum-hukum yang
mengatur proses perwujudan berbagai macam fenomena semiotic dan
simbolis yang bersifat tidak disadari.
Keempat asumsi dasar ini merupakan ciri-ciri utama dalam
pendekatan strukturalisme. Dengan demikian dapat disimpulkan juga
43
Struktur bahasa mencerminkan struktur sosial masyarakat. Disamping itu
kebudayaan juga diyakini memiliki struktur sebagaimana yang terdapat
dalam bahasa yang digunakan dalam suatu masyarakat.31
31
Chusnul Chotimah, “Diskursus Kasta dalam Kitab Mahabarata Karya C.