• Tidak ada hasil yang ditemukan

Tinjauan hukum Islam terhadap pemahaman penukar uang dengan jumlah yang tidak sama: studi kasus di Desa Drajat Kecamatan Paciran Kabupaten Lamongan.

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Tinjauan hukum Islam terhadap pemahaman penukar uang dengan jumlah yang tidak sama: studi kasus di Desa Drajat Kecamatan Paciran Kabupaten Lamongan."

Copied!
77
0
0

Teks penuh

(1)

SKRIPSI

Oleh

Anna Putri Syafitri

NIM. C02213013

Universitas Islam Negeri Sunan Ampel Fakultas Syari‘ah dan Hukum

Jurusan Hukum Perdata Islam Prodi Hukum Ekonomi Syari‘ah (Muamalah) Surabaya

(2)
(3)
(4)
(5)
(6)

v ABSTRAK

Skripsi ini adalah hasil penelitian lapangan tentang “Tinjauan Hukum Islam Terhadap Pemahaman Penukar Uang Dengan Jumlah Yang Tidak Sama (Studi Kasus di Desa Drajat Kecamatan Paciran Kabupaten Lamongan)”. Rumusan masalahnya: Pertama, Bagaimana deskripsi tentang pemahaman para

pelaku akad mengenai penukaran uang dengan jumlah yang tidak sama. Kedua, Bagaimana tinjauan hukum Islam terhadap praktik penukaran uang dengan jumlah yang tidak sama jika dikaitkan dengan pemahaman para pelaku.

Data penelitian ini dihimpun melalui observasi dan wawancara (interview), kemudian dianalisis secara kualitatif menggunakan metode analisis deskriptif dengan menggunakan pola pikir induktif, sehingga ditemukan suatu pengetahuan yang secara umum diakui kebenarannya untuk selanjutnya ditarik sebuah kesimpulan.

Hasil penelitian menyimpulkan bahwa terdapat 6 (enam) orang yang belum mengerti tentang penukaran uang dengan jumlah yang tidak sama tersebut. Karena itu, mereka tidak pernah mempermasalahkan kekurangan itu, dan menjadikannya sebagai upah. Terdapat 4 (empat) orang yang faham akan hukumnya, tetapi penukar akhirnya beranggapan bahwa kekurangan iu adalah upah menunggu para konsumen. Disisi lain, 2 (dua) orang merasa dirugikan dan 1 (satu) orang menganggapnya s}adaqah. Dikaitkan antara hukum Islam dengan konstruksi para pelaku, penukaran uang tersebut menjadi boleh, jika kekurangan yang didapatkan oleh penukar itu adalah sebagai upah (ujrah) untuk pemilik usaha penukaran uang, dan harus di jelaskan pada saat melakukan akad. Sehingga kedua pihak mengerti dan tidak ada yang merasa dirugikan. Tapi jika penukar uang itu merasa dirugikan karena mereka mengetahui bahwa dalam penukaran uang itu harus sama jumlah nilainya, masuk dalam teori al-s}arf maka hukumnya bisa menjadi tidak boleh.

(7)

xi

DAFTAR ISI

Halaman

SAMPUL DALAM ... i

PERNYATAAN KEASLIAN ... ii

PERSETUJUAN PEMBIMBING ... iii

PENGESAHAN ... iv

ABSTRAK ... v

KATA PENGANTAR ... vi

PERSEMBAHAN ... viii

BIODATA PENULIS ... ix

MOTTO ... x

DAFTAR ISI ... xi

DAFTAR TRANSLITERASI ... xiv

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang ... 1

B. Identifikasi Masalah dan Batasan Masalah ... 8

C. Rumusan Masalah ... 9

D. Kajian Pustaka ... 9

E. Tujuan Penelitian ... 11

F. Kegunaan Hasil Penelitian ... 11

G. Definisi Operasional ... 12

H. Metode Penelitian ... 12

(8)

xii

BAB II TUKAR MENUKAR UANG, UPAH (UJRAH) DAN HUBUNGAN TUKAR MENUKAR UANG DENGAN RIBA A. Tukar Menukar Uang (al-S}arf)

1. Pengertian Tukar Menukar Uang ... 18

2. Dasar Hukum ... 19

3. Syarat-syarat Tukar Menukar Uang ... 25

4. Rukun Tukar Menukar Uang ... 27

B. Upah (Ujrah) 1. Pengertian Upah (Ujrah) ... 27

2. Dasar Hukum ... 29

3. Jenis Ijarah Menurut Obyeknya ... 32

4. Syarat-syarat Upah (Ujrah) ... 32

5. Rukun Ujrah ... 33

C. Hubungan Tukar Menukar Uang Dengan Riba 1. Pengertian Riba ... 34

2. Dasar Hukum Riba ... 35

3. Jenis-jenis Riba ... 39

4. Hubungan Tukar Menukar Dengan Riba ... 41

BAB III PRAKTIK PENUKARAN UANG DAN DESKRIPSI PEMAHAMAN PARA PELAKU AKAD MENGENAI PENUKARAN UANG DENGAN JUMLAH YANG TIDAK SAMA A. Profil Desa ... 43

B. Praktik Penukaran Uang Dengan Jumlah Yang Tidak Sama... . 46

C. Deskripsi Pemahaman Para Pelaku Akad Mengenai Penukaran Uang Dengan Jumlah Yang Tidak Sama 1. Pemilik Usaha Penukaran Uang ... 49

(9)

xiii

BAB IV ANALISIS TINJAUAN HUKUM ISLAM TERHADAP PENUKARAN UANG DENGAN JUMLAH YANG TIDAK SAMA JIKA DIKAITKAN DENGAN PEMAHAMAN PARA PELAKU

A. Analisis Terhadap Praktik Penukaran Uang Dengan Jumlah Yang Tidak Sama ... 56 B. Analisis Hukum Islam Terhadap Penukaran Uang Dengan

Jumlah Yang Tidak Sama Jika Dikaitkan Dengan Pemahaman Para Pelaku ... .57 BAB V PENUTUP

A. Kesimpulan ... 64 B. Saran ... 65

(10)

1

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Islam yang bersifat universal dan fleksibel, telah memiliki

kemampuan dalam merespon perkembangan umat dan perubahan zaman.

Salah satunya persoalan di zaman modern ini tentang bagaimana hukum

Islam mampu menjawab persoalan umat manusia yang semakin banyak.

Masalah yang muncul merupakan salah satu dari globalisasi zaman dalam

mewujudkan interaksi zaman dan budaya diberbagai bangsa yang

membuat laju perubahan sosial itu semakin cepat menjadikan munculnya

persoalan baru bagi hukum Islam.

Perubahan itulah yang menjadikan masyarakat terpengaruh cara

dalam memandang dan bersikap terhadap harta dan teknis berinteraksi.

Dalam masyarakat agraris, konsep harta bagi masyarakat industri yang

telah bekembang, harta bagi mereka berfungsi sebagai modal dan

komoditas.

Harta merupakan komponen pokok dalam kehidupan manusia,

unsur d}laru>ri> yang tidak bisa ditinggalkan dengan begitu saja. Dengan

harta, manusia bisa memenuhi kebutuhannya, baik yang bersifat materi

ataupun immateri. Dalam kerangka memenuhi kebutuhan tersebut,

terjadilah hubungan horizontal antarmanusia (mu’a>malah), karena pada

(11)

kebutuhannya sendiri, akan tetapi saling membutuhkan dan terkait

dengan manusia lainnya.1 Salah satunya kebutuhan manusia sehari-hari

adalah uang, yang merupakan bagian integral dari kehidupan kita

sehari-hari.

Uang adalah sesuatu yang secara umum diterima di dalam

pembayaran untuk pembelian barang-barang dan jasa-jasa serta untuk

pembayaran utang-utang. Dan juga sering dipandang sebagai kekayaan

yang dimilikinya yang dapat digunakan untuk membayar sejumlah

tertentu utang dengan kepastian dan tanpa penundaan.2 Ada beberapa

fungsi uang yang sangat penting yaitu sebagai alat bantu dalam

penukaran, di dalam pembayaran dan sebagainnya, oleh karena itu kita

perlu membedakan fungsi yang telah dibagi kedalam 4 fungsi, yaitu uang

sebagai satuan hitung, uang sebagai alat penukar, uang sebagai

penimbunan kekayaan dan uang sebagai standar pencicilan utang. 3

Pertukaran berarti transfer satu barang dengan barang lainnya atau

dengan uang. Pertukaran sekarang menjadi sesuatu hal yang sangat

diperlukan bagi keberadaan manusia, karena secara individual manusia

tidak dapat memenuhi kebutuhannya sendiri. Dia tidak dapat

memproduksi semua kebutuhan hidupnya maupun segala sesuatu yang dia

perlukan. Dia tergantung pada orang lain dalam banyak hal. Dengan

demikian, maka ia memenuhi keinginannya melalui pertukaran. Oleh

1 Dimyauddin Djuwaini, Pengantar Fiqh Muamalah, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2008), 18. 2 Iswardono, Uang dan Bank, cet ke-4 (Yokyakarta: BPFE, 1999), 4.

(12)

karena itu pertukaran menempati tempat yang amat vital di dalam

ekonomi karena ia mengoordinasi dan menyesuaikan konsumsi dan

produksi. Secara luas dapat dikatakan bahwa secara umum pertukaran itu

berlangsung dalam dua bentuk, yakni barter dan menggunakan uang.4

Secara linguistik, al-s}arf bermakna ziyadah (tambahan). Hal ini

berdasarkan hadits Rasulullah yang menyebut ibadah nafilah (sunnah,

tambahan) dengan istilah s}arf. Secara istilah, s}arf adalah perdagangan

valuta asing, baik dilakukan atas valuta yang sejenis maupun berbeda

jenis, dan dilakukan secara tunai (sport).5

Secara umum jual beli mata uang (al-s}arf) dalam kitab-kitab fiqh

diidentikkan dengan tukar menukar antara emas dengan emas atau perak

dengan perak. Oleh karena itu dalam kitab fiqh apa saja yang menjadi

ketentuan atau syarat rukun dalam transaksi jual beli berlaku juga dalam

transaksi mata uang (al-s}arf). Hanya saja kategorinya lebih khusus dari

ketentuan tersebut sepanjang memenuhi ketentuan dalam transaksi jual

beli dalam hukum Islam adalah kegiatan yang ditolelir, tetapi meski

boleh. Perlu dibuat semacam catatan karena pada dasarnya hukum Islam

memandang uang atau harta sebagai alat tukar bukan komoditas.

Dengan adanya tukar menukar tersebut, dapat mempermudah

orang-orang yang membutuhkan uang logam/recehan yang biasanya

digunakan untuk diberikan kepada para pengemis yang sudah ada di

4 Muhammad Sharif Chaudhry, Sistem Ekonomi Islam, (Jakarta: Kencana Prenada Media Group,

2012), 113.

5

(13)

sepanjang jalan dan paling utama untuk mengisi kotak amal yang ada di

sekitarnya. Banyak para pengemis yang memanfaatkan situasi seperti itu

untuk mengemis, tempat itu hampir setiap hari dikunjungi oleh

orang-orang yang melakukan ziarah.

Di Indonesia ziarah adalah kebiasaan orang-orang yang beragama

Islam, untuk melakukan doa bersama di tempat yang bersejarahnya para

wali seperti yang biasanya disebut dengan sunan. Disitulah banyak para

pengemis yang duduk berbaris di sepanjang jalan. Sekecil apapun yang

diberikan sudah sangat berarti bagi para pengemis, seperti uang logam

Rp. 500 ataupun uang kertas Rp. 1000 atau Rp. 2000.

Banyaknya uang yang pengemis dapatkan dari pemberian

orang-orang yang sedang melakukan ziarah, disitu ada orang-orang yang

memanfaatkan keadaan dengan membuka tempat penukaran uang.

Terdapat banner kecil yang bertulisan “Penukaran Uang 1000 dapat 900”.

Orang yang membuka penukaran uang itu dapat uang dari hasil

penukarannya kepada orang yang mengemis, dan pihak yang menukarkan

uang tersebut biasanya para peziarah. Yang mana nilai uang tersebut

sudah sangat jelas tidak sama. Dalam penukaran uang tidak boleh ada

yang dirugikan dan jumlah nilai harus sama, tidak kurang dan tidak lebih.

Kelebihan uang dalam tukar menukar barang yang nilainya sama tersebut

adalah riba dan hukumnya haram. Terdapat beberapa istilah dalam

(14)

istilah tukar menukar uang ada juga yang menyebutnya dengan istilah

jual beli uang.

Sabda Nabi Muhammad SAW:

َل َت

ِب ُع

ذلا او

َ

َب

ِب

ذلا

َ

ِب

ِإ

ل

ِم

ْث

ًل

ِِب

ْث ِل

َو ،

َل

ُت

ِش

ف

َ ب او

ْع

َض

َه

َع ا

َل

َ ب ى

ْع

ٍض

َو ،

َل

َت ِب

ُع

ْلا او

َو ِر

َق

ِب ْلا

َو ِر

ِق

ِإ

ل

ِم

ْث

ًل

ِِب

ْث ٍل

َو ،

َل

ُت

ِش

ف

َ ب او

ْع

َض

َه

َع ا

َل

َ ب ى

ْع

ٍض

َو ،

َل

َت ِب

ُع

ِم او

ْ َه

َغ ا

ِئا ًب

ِب ا

َ

ِجا

ٍز

اور .

ىراخبلا

ملسمو

Artinya: “Janganlah engkau menjual emas ditukar dengan emas

melainkan sama dengan sama, dan janganlah engkau melebihkan salah satunya dibanding lainnya. Janganlah engkau menjual perak ditukar dengan perak melainkan sama dengan sama, dan janganlah engkau melebihkan salah satunya dibanding lainnya. Dan janganlah engkau menjual salah satunya diserahkan secara kontan ditukar dengan lainnya yang tidak

diserahkan secara kontan.” (HR Bukhari dan Muslim)6

Terdapat pemahaman mengenai penukaran uang, yang mana pihak

penukar uang beranggapan jika uang tersebut adalah kerugian bagi

mereka, karena kurangnya jumlah nilai uang yang ditukarkan tersebut.

7Tetapi ada juga yang beranggapan bahwa kekurangan jumlah nilai uang

ditukar itu untuk upah orang yang mempunyai penukaran uang tersebut.

Orang yang menukarkan uang tersebut untuk memberikan shadaqah para

pengemis yang sudah berbaris disepanjang jalan. Dalam penukaran uang

tersebut jika menukarkan uang 50.000 maka yang didapatkan hanya

45.000.8

6

Abu Abdullah Muhammad bin Ismail bin Ibrahim bin al-Mughiroh bin Bardizbah al-Ju’fi al -Bukhori (Imam Bukhari), Shahih Bukhari. (t.tp., shahih: t.t), Hadith: 2031, 1196.

7

Nurul Inayah, Penukar Uang, Wawancara, Tanggal 25 Februari 2017. 8

(15)

Dalam hukum Islam cara penukaran terdapat enam macam,

meliputi: emas, perak, gandum, jagung, kurma, dan garam yang harus

dilakukan secara seimbang jika sejenis, dan harus kontan. Persoalan

tersebut jika dikaitkan dengan fiqh muamalah akan semakin penting,

tentang bagaimana pengembangan dalam menjawab berbagai persoalan

bentuk-bentuk transaksi ekonomi kontemporer ini. Seperti halnya

masalah penukaran uang yang sudah sering terjadi pada saat ini.

Menurut ulama Hanafiyah dan ulama Hanbaliyah menyatakan

bahwa transaksi penukaran emas hanya sebatas tukar jasa. Dalam hal ini

emas bisa disamakan dengan uang karena emas dan uang sama-sama alat

tukar, kelebihan yang ada pada penukaran uang tersebut merupakan

wujud dari imbalan karena masyarakat yang menukarkan uang dijalan.

Selain itu penukaran uang dianggap sebagai upaya tolong menolong

sesama muslim, sebagaimana disebut dalam Firman Allah surat

Al-Maidah ayat: 5 : 2, yang berbunyi:

...                       



Artinya: “...Dan tolong menolonglah kamu dalam kebaikan dan taqwa dan jangan tolong menolong dalam berbuat dosa dan permusuhan. Dan bertakwalah kamu kepada Allah, sesungguhnya Allah amat berat siksa-Nya” (Q.S. Al-Maidah: 5: 2)9

9 Departemen Agama RI, al Qur’an dan Terjemahannya, (Semarang: PT. Karya Toha Putra,

(16)

Sedangkan menurut ulama syafi’iyah dan ulama malikiyah

menyatakan bahwa apabila terjadi pertukaran barang yang tidak senilai

itu termasuk riba. Riba adalah suatu yang dilarang agama islam.

Sebenarnya pertukaran uang itu bukanlah perbuatan yang tercela, jika

jumlah nilainya itu sama, tidak ada kelebihan dan tidak ada pengurangan.

Mengingat banyaknya masalah hukum Islam bagi para pelaku

akad yang ditimbulkan dalam praktek ini. Persoalan unsur riba bukan

sebatas pertambahan nilai dari barang yang ditukar, masih banyak aspek

yang ditinjau untuk menetapkan keharamannya. Bagaimana pemahaman

para pelaku akad mengenai kekurangan uang dalam transaksi tersebut.

oleh karena itu, perlu diadakan upaya pemikiran para pihak akad

mengenai permasalahan ini.

Mengenai fenomena tersebut, perlu dikemukakan pandangan

hukum Islam terhadap praktik penukaran uang tersebut. oleh karena itu,

umat Islam zaman sekarang dituntut harus mampu memahami hukum dan

ajaran yang sesuai dengan tuntutan masa dan lingkungannya, berdasarkan

sumber aslinya yaitu Alquran dan Hadits. Maksud dari tujuan tuntutan

tersebut adalah agar mampu merealisasikan tujuan Islam yang sebenarnya

yakni keadilan dan kejujuran.

Terkait dengan pemaparan diatas, maka penulis mencoba

mengkaji permasalahan yang ada dari segi hukum islam, yang tidak lain

adalah pada penukaran uang yang dimana nilai uang tersebut tidak sama,

(17)

jumlah nilai uang yang ditukarkan tersebut tidak sama”, inilah yang

menjadikan alasan peneliti mengadakan sebuah penelitian tentang

pemahaman para pelaku akad mengenai penukaran uang dengan jumlah

yang tidak sama. Untuk mengetahui status hukum dari transaksi ini, dan

perlu diteliti pemahaman para pelaku akad penukaran uang, maka penulis

mengambil judul “TINJAUAN HUKUM ISLAM TERHADAP

PEMAHAMAN PENUKAR UANG DENGAN JUMLAH YANG TIDAK

SAMA (Studi kasus di Desa Drajat, Kecamatan Paciran, Kabupaten

Lamongan)”.

B. Identifikasi Masalah dan Batasan Masalah

Berdasarkan uraian masalah-masalah yang muncul diatas, maka

bisa diidentifikasikan masalah yang timbul antara lain:

1. Pengertian tentang Uang.

2. Penjelasan tentang pertukaran.

3. Pengertian tentang al-s}arf.

4. Manfaat dan keuntungan yang diperoleh dari praktik penukaran uang

5. Pemahaman pelaku mengenai penukaran uang dengan jumlah yang

tidak sama.

6. Status hukum Islam terhadap praktik penukaran uang dengan jumlah

yang tidak sama.

(18)

Agar kajian ini lebuh terfokus dan tuntas, peneliti membatasi

penelitian ini hanya pada permasalahan-permasalahan sebagai berikut:

1. Deskripsi tentang pemahaman para pelaku akad mengenai penukaran

uang dengan jumlah yang tidak sama.

2. Hukum Islam terhadap praktik penukaran uang dengan jumlah yang

tidak sama jika dikaitkan dengan pemahaman para pelaku.

C. Rumusan Masalah

1. Bagaimana deskripsi tentang pemahaman para pelaku akad mengenai

penukaran uang dengan jumlah yang tidak sama?

2. Bagaimana tinjauan hukum Islam terhadap praktik penukaran uang

dengan jumlah yang tidak sama jika dikaitkan dengan pemahaman

para pelaku?

D. Kajian Pustaka

Kajian pustaka ini dilakukan agar dapat memperoleh suatu

gambaran yang memiliki hubungan topik yang akan diteliti dari beberapa

penelitian yang sejenis atau memiliki keterkaitan, sehingga tidak terjadi

duplikasi penelitian. Dalam penelusuran awal, sampai saat ini penulis

menemukan beberapa penelitian yang terkait tentang penukaran uang,

diantaranya adalah:

1. Penelitian yang dilakukan oleh Nila Wulan Sari, Muamalah 2009.

(19)

Logam di Pasar Simo”. Peneliti ini menyimpulkan bahwa fenomena

penukaran uang logam hukumnya haram, karena kelebihannya adalah

riba. Penyebabnya adalah akad yang dilakukan itu bukanlah akad

tukar menukar, tetapi akad jual beli. Dalam islam jual beli uang itu

diharamkan.10 Skripsi wulan lebih terfokuskan pada jual beli uang

logam, sedangkan penelitian pada karya tulis penulis menekankan

pada penukaran uang dengan jumlah yang tidak sama.

2. Penelitian yang dilakukan oleh Akyatul Bana, Muamalah 2012.

Dengan judul “Studi Analisis Terhadap Pemikiran K.H Kholil Dahlan

Tentang Penukaran Uang Baru Menjelang Lebaran”. Menurut K.>H

Kholil Dahlan dalam hal jual beli yang dilakukan itu halal, tapi karena

syarat jual beli didalamnya tidak terpenuhi menjadi haram.

Selanjutnya, beliau tidak setuju dan menolak jika tambahan dalam

transaksi tersebut dianggap sebagai upah, dan mengenai status praktik

penukaran uang menjelang lebaran ini tidak didukung oleh hukum

Islam.11 Dalam skripsi ini lebih terfokuskan terhadap pemikiran K.H

Kholil Dahlan tentang tukar menukar uang baru menjelang lebaran.

Sedangkan penulis mengkaji dalam segi tinjauan hukum Islamnya.

3. Penelitian yang dilakukan oleh Muflihatul Bariroh, Muamalat 2012.

Dengan judul “Tinjauan Hukum Islam Terhadap Praktik Penukaran

Uang Baru Menjelang Hari Raya Idul Fitri”. Menyatakan bahwa

10

Nila wulan Sari, “Tinjauan Hukum Islam Terhadap Penukaran Uang Logam Di Pasar Simo” (Skripsi-Institut Agama Islam Negeri Sunan Ampel, 2009).

11

(20)

fenomena praktik transaksi penukaran uang baru menjelang hari raya

Idul fitri adalah pada mulanya merupakan transaksi yang terlarang

karena tidak sesuai dengan kaidah dalam pertukaran yang berlaku

dalam Islam, yakni adanya pertukaran barang sejenis berupa uang

rupiah dengan rupiah tetapi dengan takaran atau nilai yang berbeda.12

Penelitian ini terfokuskan pada praktik dalam penukaran uang baru

menjelang hari raya Idul Fitri, sedangkan penulis mengkaji tentang

pemahaman para pelaku akad penukaran uang yang tidak sama.

E. Tujuan Penelitian

Sesuai dengan permasalahan diatas, penelitian ini bertujuan untuk:

1. Mengetahui dan mendeskripsikan tentang pemahaman para pelaku

akad mengenai penukaran uang dengan jumlah yang tidak sama.

2. Menemukan dan mengetahui pandangan hukum Islam terhadap

praktik penukaran uang dengan jumlah yang tidak sama jika dikaitkan

dengan pemahaman para pelaku.

F. Kegunaan Hasil Penelitian

1. Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan beberapa

sumbangan pemikiran hukum Islam, khususnya yang berkaitan dengan

penukaran uang dengan jumlah yang tidak sama.

(21)

2. Sebagai masukan kepada para pelaku akad terhadap penukaran uang

dengan jumlah yang tidak sama.

3. Bagi peneliti, dapat melatih diri dalam melakukan penelitian dan

mendapatkan pengalaman dengan memperluas wawasan pengetahuan

yang selama ini hanya didapatkan penulis secara teoritis.

G. Definisi Operasional

Agar tidak terjadi kesalah pahaman dalam memahami beberapa

istilah yang ada di dalam penelitian ini, maka penulis memberikan

penjelasan atau definisi dari bebrapa istilah sebagai berikut:

Hukum Islam : Segala ketentuan Allah yang terdapat pada

Alquran, sunnah dan dijabarkan oleh para

ulama’ fikih yang tercemin dari istinbath

mereka. Baik berupa larangan, pilihan atau

yang berupa syarat, sebab dan halangan

dalam suatu perbuatan hukum yang

berkaitan dengan perilaku manusia.

Penukar Uang : Orang yang menukarkan uang.

H. Metode Penelitian

Maka diperlukan tahapan-tahapan atau langkah-langkah dalam

(22)

1. Jenis Penelitian

Dirjen Pendidikan Tinggi menyebutkan salah satu cara

penggolongan mengenai macam jenis penelitian berdasarkan atas

sifat-sifat masalahnya.13 Maka berdasarkan atas sifat-sifat

masalahnya tersebut, jenis penelitian dalam skripsi ini termasuk

dalam kategori penelitian kasus dan penelitian lapangan dan

penelitian deskriptif.

2. Pendekatan Penelitian

Penelitian ini menggunakan pendekatan kualitatif. Pendekatan

kualitatif adalah suatu proses penelitian dan pemahaman yang

berdasarkan pada metodologi yang menyelidiki suatu fenomena sosial

dan masalah manusia.14 Pendekatan kualitatif digunakan dalam

penelitian ini karena:

a. Data yang didapatkan benar-benar murni.

b. Data yang diperoleh hasil dari wawancara dari para pihak penukar

dan pemilik penukaran uang.

c. Data ini dideskripsikan dan dianalisis sehingga ditemukan suatu

pengetahuan yang secara umum.

13

Cholid Narbuko dan Abu achmadi, Metodologi Penelitian, cet-10, (Jakarta: Bumi Aksara, 2009), 41.

14 Juliansyah Noor, Metodologi Penelitian: Skripsi, Tesis, Disertasi, dan Karya Ilmiah, (Jakarta:

(23)

3. Obyek Penelitian

Dalam penelitian ini obyek yang diteliti peneliti adalah kasus

tukar menukar uang dilokasi desa Drajat, kecamatan Paciran,

kabupaten Lamongan.

4. Sumber Data

Adapun sumber data yang dibutuhkan dalam penelitian ini, antara

lain sebagai berikut:

a. Sumber Data Primer

Sumber data primer adalah sumber data yang dibutuhkan

untuk memperoleh data-data yang berkaitan langsung dengan

obyek penelitian, data primer disini diperoleh atau dikumpulkan

langsung di lapangan oleh peneliti, diantaranya yaitu:

1) Data didapat dari 3 (tiga) pihak yang mempunyai usaha

penukaran uang, dan

2) Data didapat dari 10 (sepuluh) pihak yang menukarkan uang.

b. Sumber Data Sekunder

Sumber data sekunder adalah data yang menjelaskan

terhadap data primer. Dalam penelitian ini yang menjadi data

sekunder adalah buku-buku, catatan-catatan, dokumen tentang apa

saja yang berhubungan dengan penukaran uang dengan jumlah

yang tidak sama.

Adapun sumber dari buku-buku adalah:

(24)

2) Iswaedono, Uang dan Bank.

3) Muhammad Sharif Chaudhry, Sistem Ekonomi Islam.

4) Mardani, Ayat-ayat dan Hadits Ekonomi Syariah.

5) Nasrun Harun, Fiqh Muamalah.

6) Wahbah Az-Zuhaili, Fiqih Islam Wa Adillatuhu.

5. Cara Memperoleh Data

Untuk mendapatkan data yang diperlukan dalam penelitian ini,

maka penulis menggunakan cara sebagai berikut:

a. Observasi

Teknik ini menuntut adanya pengamatan dari peneliti baik

secara langsung maupun tidak langsung terhadap objek penelitian.

Beberapa informasi yang diperoleh hasil observasi antara lain:

ruang (tempat), pelaku, kegiatan, objek, perbuatan, kejadian atau

peristiwa, waktu dan perasaan.15 Penulis akan mengamati lokasi

praktek penukaran uang dengan jumlah tidak sama di desa Drajat,

kecamatan Paciran, kabupaten Lamongan.

b. Wawancara (interview)

Wawancara merupakan salah satu teknik pengumpulan

data yang dilakukan dengan berhadapan secara langsung dengan

yang diwawancarai tetapi dapat juga diberikan daftar pertanyaan

dahulu untuk dijawab pada kesempatan lain.16 Dimana wawancara

15 Ibid., 140

16

(25)

ini dilakukan dengan 3 (tiga) pihak yang mempunyai usaha

penukaran uang dan 10 (sepuluh) pihak yang menukarkan uang di

desa Drajat, kecamatan Paciran, kabupaten lamongan.

6. Analisis Data

Hasil pengumpulan data akan dibahas dan kemudian dilakukan

analisis secara kualitatif.

a. Analisis Deskriptif, yaitu memaparkan serta menjelaskan secara

mendalam dan menganalisa terhadap semua aspek yang berkaitan

dengan masalah penelitian tentang konstruksi para pelaku akad

mengenai penukaran uang dengan jumlah yang tidak sama

berdasarkan teori hukum Islam, dengan menggunakan penalaran

Induktif.

b. Pola Pikir Induktif, merupakan prosedur yang bermula dengan

fakta, fenomena, kemudian dideskripsikan dan dianalisis

menggunakan data empiris, sehingga ditemukan suatu

pengetahuan yang secara umum diakui kebenarannya, 17

I. Sistematika Pembahasan

Untuk mendapatkan gambaran yang lebih jelas dan dapat

mempermudah mengenai isi skripsi ini, penulis membagi dalam lima bab

yang terdiri dari:

(26)

Bab pertama, membahas tentang pendahuluan yang terdiri dari:

latar belakang masalah, identifikasi masalah, rumusan masalah, kajian

pustaka, tujuan penelitian, kegunaan hasil penelitian, definisi operasional,

metode penelitian dan sistematika pembahasan.

Bab kedua, membahas tentang landasan teori terhadap penukaran

uang dengan jumlah yang tidak sama. Diantaranya, pengertian tukar

menukar uang (al-s}arf), pengertian upah (ujrah), hubungan tukar menukar

uang dengan riba.

Bab ketiga, membahas tentang praktik penukaran uang dengan

jumlah yang tidak sama. Deskripsi pemahaman para pelaku akad

mengenai penukaran uang dengan jumlah yang tidak sama.

Bab keempat, membahas tentang Analisis Tinjauan Hukum Islam

terhadap penukaran uang dengan jumlah yang tidak sama jika dikaitkan

dengan pemahaman para pelaku (studi kasus di desa Drajat, kecamatan

Paciran, kabupaten Lamongan).

Bab kelima, bab terakhir ini merupakan penutup dari pembahasan

(27)

18

BAB II

TUKAR MENUKAR UANG, UPAH (UJRAH) DAN HUBUNGAN

TUKAR MENUKAR UANG DENGAN RIBA

A. Tukar Menukar Uang (al-s}arf)

1. Pengertian Tukar Menukar Uang

Pengertian umum tentang tukar menukar adalah kegiatan saling

memberikan sesuatu dengan menyerahkan barang. Pengertian ini jika

dikaitkan dalam Islam sama saja dengan jual beli, yaitu saling

memindahkan milik dengan ganti yang dapat dibenarkan.

Istilah lain yang digunakan tukar menukar uang (jual beli uang)

dalam Islam adalah al- s}arf. Pengertian al-s}arf secara bahasa berarti

memindahkan dan mengembalikan. Sedangkan secara istilah fuqaha,

definisi al-s}arf adalah jual beli alat bayar (emas, perak dan mata uang)

dengan alat bayar sejenis atau beda jenis.1

Ulama fiqh mendefinisikan s}arf adalah sebagai memperjualbelikan

uang dengan uang yang sejenis maupun tidak sejenis. Pada masa kini,

bentuk jual beli ini banyak dijumpai dilakukan oleh bank-bank devisa

atau para money changer, misalnya jual beli rupiah dengan dolar

Amerika serikat atau dengan mata uang asing lainnya.2

1 Suqiyah Musafa’ah. DKK, Hukum Ekonomi Dan Bisnis Islam I, (Surabaya: IAIN SA Press,

2013), 130.

2 Sutan Remy Sjahdeini, Perbankan Islam dan Kedudukannya Dalam Tata Hukum Perbankan

(28)

Secara umum jual beli mata uang (al- s}arf) dalam kitab-kitab fiqh

diidentikkan dengan tukar menukar antara emas dan emas atau perak

dengan perak. Oleh karena itu dalam kitab fiqh apa saja yang menjadi

ketentuan atau syarat rukun dalam transaksi jual beli yang berlaku

juga dalam transaksi mata uang (al-s}arf). Hanya saja kategorinya lebih

khusus dari ketentuan tersebut sepanjang memenuhi ketentuan dalam

transaksi jual beli dalam hukum Islam adalah kegiatan yang ditolelir,

tetapi meski boleh, perlu dibuat semacam catatan karena pada

dasarnya hukum Islam memandang uang atau harta sebagai alat tukar

bukan komoditas, untuk memenuhi permintaan dan penawaran atau

money demand for transaction bukan spekulasi.

2. Dasar Hukum

a. Al-Qur’an

Dalam al-Qur’an tidak ada ayat yang secara khusus dan

jelas menerangkan tentang akad al-s}arf . Namun, beberapa ayat

secara umum memberikan keterangan tentang kebolehan

melakukan akad ini. Diantaranya disebutkan dalam Q.S

al-Baqarah (2) ayat 275:

 ... 







Artinya: “...padahal Allah telah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba.3

3 Departemen Agama RI, al Qur’an dan Terjemahannya, (Semarang: PT. Karya Toha Putra,

(29)

Tafsir dari ayat ini adalah Allah menjelaskan bahwa dia

menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba, karena jual beli

mengandung manfaat bagi pribadi dan masyarakat dan karena

riba menyeret kepada eksploitasi, kebinasaan dan kesia-siaan.4

Dan dalam surat an-Nisa’ ayat 29:

                                

Artinya: “Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu saling memakan harta sesamamu dengan jalan yang batil, kecuali dengan jalan perniagaan yang berlaku dengan suka sama-suka di antara kamu, dan janganlah kamu membunuh dirimu, Sesungguhnya Allah adalah Maha Penyayang kepadamu.”5

Menerangkan bahwa tidak boleh memakan harta sesama

muslim dengan cara apapun kecuali dengan cara perniagaan,

itupun harus suka sama suka.

b. As-sunnah

Dalam beberapa riwayat hadith disebutkan tentang

kebolehan melakukan akad al-s}arf dengan syarat terhindar dari

riba. Terdapat beberapa hadith yang menjelaskan tentang akad

ini, diantaranya adalah:

4

Syaikh Shalih bin Abdul Aziz Alusy Syaikh, Tafsir Al-Muyassar, cet-3, (Solo: An-Naba’, 2013), 185.

5

(30)

Hadits riwayat Bukhari:

َل َت

ب ع

ذلا او

َ

َب

ب

ذلا

َ

ب

إ

ل

ِ

ث

ًل

ب

ث ل

َو ،

َل

ت

ش

ف

َ ب او

ع

َض

َه

َع ا

َل

َ ب ى

ع

ض

َو ،

َل

َت ب

ع

لا او

َو ر

َق

ب لا

َو ر

ق

إ

ل

ِ

ث

ًل

ب

ث ل

َو ،

َل

ت

ش

ف

َ ب او

ع

َض

َه

َع ا

َل

َ ب ى

ع

ض

َو ،

َل

َت ب

ع

ِ او

َه

َغ ا

ئا ًب

ب ا

َ

جا

ز

اور .

ملسِو ىراخبلا

Artinya: “Janganlah engkau menjual emas ditukar dengan emas melainkan sama dengan sama, dan janganlah engkau melebihkan salah satunya dibanding lainnya. Janganlah engkau menjual perak ditukar dengan perak melainkan sama dengan sama, dan janganlah engkau melebihkan salah satunya dibanding lainnya. Dan janganlah engkau menjual salah satunya diserahkan secara kontan ditukar dengan lainnya yang tidak

diserahkan secara kontan.” (HR Bukhari dan Muslim)6

Hadith riwayat al-Bukhori dan Muslim bersumber dari

sahabat Abu Sa’id Al Khudri:

، دي عَس َِأ ََ إ َرَم ع ن باَو اَنَأ ت قَلَط ن ا :َلاَق ، ع فاَن نَع

َف

َح

د َ ث

َ

َأ ا

ن

َر س

و ل

لا

َص ل

ى

لا

َع َل

ي

َو َس

ل َم

َق

َلا

َس :

ع ت

أ

ذ َن

َيا

َ

َتا

نا

َ ي ق

لو

:

َل َت

ب ع

ذلا او

َ

َب

ب

ذلا

َ

ب

إ ،

ل

ِ ث

ًل

ب ث

ل

َو ،

لا ف

ض

َة

ب لا

ف

ض

ة

إ ،

ل

ِ ث

ًل

ب

ث ل

َل ،

ي َش

ف

َ ب ع

ض

َع َل

َ ب ى

ع

ض

َو ،

َل َت

ب ع

و

ِ ا

َغ

ئا ًب

ب ا

َ

جا

ز.

Artinya: “Janganlah kalian menjual emas dengan emas kecuali

dengan ukuran yang sama dan perak dengan perak kecuali dengan ukuran yang sama. Tidak boleh ditambah sebagian atas sebagian lainnya dan tidak boleh menjual barang yang tidak ada dengan yang ada.”7

Dalam mengamalkan hadith ini menurut ulama dari

kalangan sahabat Nabi SAW dan lainnya, kecuali hadith yang

diriwayatkan Ibnu Abbas, mereka membolehkan jual beli emas

dengan emas atau perak dengan perak dengan ukuran yang tidak

6

Abu Abdullah Muhammad bin Ismail bin Ibrahim bin al-Mughiroh bin Bardizbah al-Ju’fi al -Bukhori (Imam Bukhari), Shahih Bukhari. (t.tp., shahih: t.t), Hadith: 2031, 1196.

(31)

sama, jika pembayarannya kontan. Sebab menurutnya, riba dalam

hal ini hanya terjadi pada pembayaran yang tidak kontan.

Telah diriwayatkan dari Ibnu Abbas, bahwa ia telah

membatalkan perkataannya ini ketika menceritakan kepada Abu

Sa’id Al Khudri tentang hadith Rasulullah SAW seperti tersebut

diatas.8

Kesimpulan dari hadith diatas adalah bahwa larangan

menjual emas dengan emas, perak dengan perak baik yang sudah

dibentuk maupun yang belum dibentuk (batangan) atau yang

berbeda, selagi tidak mengikuti ukuran yang syar’i, yaitu

beratnya, jika tidak dilakukan pembayaran secara kontan dari

kedua belah pihak di tempat akad. Larangan terhadap hal itu

mengharuskan pengharamannya dan tidak sahnya akad.

c. Ijma’

Penukaran dua mata uang tertentu hukumnya sah, menurut

ijma’ ulama, seperti ucapan, “aku jual atau aku tukar kepadamu

dinar ini dengan beberapa dirham ini.” Demikian pula sah

hukumnya, penukaran dua mata uang berdasarkan sifat tertentu,

seperti ucapan, “Aku jual atau tukar 1 dinar dengan ciri-ciri

demikian dalam tanggunganku dengan 20 dirham mata uang sati

daerah dalam tanggunganmu.” Menurut pendapat yang masyhur.

(32)

Apabila seseorang mengucapkan akad s}arf secara mutlak

seperti, “Aku tukar 1 dinar kepadamu denga 20 dirham,”

sementara didaerahnya terdapat satu mata uang, atau terdapat

beberapa mata uang namun salah satunya lebih dominan, maka

secara mutla pula transaksi tersebut sah. Kemudian kedua belah

pihak menentukan mata uang masing-masing dan melakukan

serah terima sebelum meninggalkan tempat tersebut.9

Sementara itu, penukaran mata uang dalam bentuk utang

hukumnya tidak sah. Misalnya seperti ucapan, “Aku jual 1 dinar

yang menjadi tanggunganmu dengan sepuluh dirham yang

menjadi tanggunganku.” Praktik ini termasuk jual beli utang

dengan utang yang tidak diperbolehkan.

Rekayasa (hilah) dalam pengalihan kepemilikan harta

ribawi dengan jenis yang sama dalam jumlah yang lebih banyak,

seperti jual beli emas dengan emas dalam jumlah yang lebih

banyak, hukumnya boleh. Bisa juga dengan cara masing-masing

pihak memberi pinjaman kepada pihak lain lalu membebaskannya,

atau masing-masing menghibahkan nilai lebih kepada ppihak lain.

Akad demikian diperbolehkan, jika dalam transaksi jual beli,

pemberian pinjaman, dan hibah tersebut tidak mensyaratkan

pihak lain untuk melakukan suatu hal, meskipun meniatkan hal

(33)

tersebut, hukumnya makruh. Demikian pendapat ulama

Syafi’iyah.10

Ulama sepakat bahwa akad s}arf disyariatkan dengan

syarat-syarat tertentu. Yaitu:11

1) Pertukaran tersebut harus dilaksanakan secara tunai (spot)

artinya masing-masing pihak harus menerima atau

menyerahkan masing-masing mata uang pada saat yang

bersamaan.

2) Motif pertukaran adalah dalam rangka mendukung transaksi

komersial, yaitu transaksi perdagangan barang dan jasa antar

bangsa.

3) Harus dihindari jual beli bersyarat, misalnya A setuju membeli

barang dari B hari ini dengan syarat B harus membelinya

kembali pada tanggal tertentu dimasa yang akan datang.

4) Transaksi berjangka harus dilakukan dengan pihak-pihak yang

diyakini mampu menyediakan valuta asing yang

dipertukarkan.

5) Tidak dibenarkan menjual barang yang belum dikuasai atau

jual beli tanpa hak kepemilikan.

10 Ibid., 16.

11 Suqiyah Musafa’ah DKK, Hukum Ekonomi Dan Bisnis Islam I, (Surabaya: IAIN SA Press,

(34)

3. Syarat-syarat Tukar Menukar Uang

Secara umum syarat-syarat dalam tukar menukar uang (al-s}arf)

adalah:

a. Adanya serah terima antara kedua pihak sebelum berpisah diri.

Hal itu agar tidak terjatuh pada riba nasi’ah (riba

penangguhan). Apabila kedua pihak atau salah satunya berpisah

sebelum adanya serah terima kedua barang, maka akadnya

menjadi fasid menurut ulama Hanafiah, dan menjadi batal

menurut ulama lainnya karena tidak adanya syarat serah terima.12

Maksud dari berpisah diri adalah berpisahnya badan kedua

pihak yang melakukan transaksi dari majelis akad, yang satu pergi

ke satu arah dan yang lain pergi ke arah lain, atau yang satu pergi

dan yang lain tetap ditempat.

b. Apabila mata uang atau valuta yang diperjualbelikan itu dari jenis

yang sama.

Apabila barang sejenis dijual dengan sejenisnya seperti perak

dengan perak atau emas dengan emas, maka tidaklah boleh

dilakukan kecuali bila timbangan keduanya sama, meskipun

berbeda kualitas dan bentuknya dimana salah satunya lebih

berkualitas dari yang lain atau lebih bagus bentuknya.

Berdasarkan hadith Nabi SAW diatas, “Emas dengan emas,

masing-masing kadarnya sama.” Maksudnya, emas dijual dengan

(35)

emas yang sama timbangannya bukan sifatnya, karena sesuai

dengan kaidah “Emas yang bagus dan yang jelek sama saja.”13

Maka jual beli mata uang itu harus dilakukan dalam mata

uang sejenis yang kualitas dan kuantitasnta sama, sekalipun model

dari mata uang itu berbeda. Misalnya, antara mata uang rupiah

lembaran Rp 50.000 (lima puluh ribu rupiah) ditukar dengan uang

rupiah lembaran Rp 5.000 (lima ribu rupiah). Atau uang kertas

ditukar dengan uang logam atau sebaliknya.14

c. Terbebas dari hak khiya>r syarat.

Tidak diperbolehkan adanya khiya>r syarat bagi kedua belah

pihak yang melangsungkan akad atau salah satunya. Karena dalam

akad s}harf ini serah terima merupakan salah satu syarat (untuk

kepemilikan).

Apabila pihak yang mempuyai hak khiya>r menggugurkan

haknya itu di majelis kemudian kedua belah pihak berpisah tanpa

adanya serah terima, maka akadnya menjadi boleh. Hal ini berbeda

dengan pendapat Imam Zufar yang menyatakan bahwa apabila

khiya>r itu masih berlaku sampai keduanya berpisah maka akadnya

dengan jelas dinyatakan fasid.15

13 Ibid., 281

14 Sutan Remy Sjahdeini, Perbankan Islam dan Kedudukannya Dalam Tata Hukum Perbankan

Indonesia, (Jakarta: PT Pustaka Utama Grafiti, 1999), 90.

(36)

d. Dengan akad s}harf tidak boleh terdapat tenggang waktu.

Bahwa antara penyerahan mata uang yang saling

dipertukarkan, karena bagi sahnya s}harf penguasaan objek akad

harus dilakukan secara tunai dan perbuatan saling menyerahkan

itu harus telah berlangsung sebelum kedua belah pihak yang

melakukan jual beli valuta itu berpisah badan.

4. Rukun Tukar Menukar Uang

Adapun rukun yang harus dipenuhi dalam transaksi al-s}arf sebagai

berikut:16

a. Pelaku akad, yaitu ba’i (penjual) adalah pihak yang memiliki

valuta untuk dijual, dan musytari (pembeli) adalah pihak yang

memerlukan dan akan membeli valuta.

b. Objek akad, yaitu s}arf (valuta) dan si’rus s}arf (nilai tukar).

c. S}ighat, yaitu ijab dan qabul.

B. Upah (Ujrah)

1. Pengertian Upah (ujrah)

Secara etimologi, kata ijarah berasal dari kata ajru yang berarti

‘iwadhu pengganti. Oleh karena itu, thawab “pahala” disebut juga

dengan ajru “upah.”17 Pendapatan yang diterima dari transaksi ijarah

disebut ujrah. al-ujrah ialah imbalan yang diperjanjikan dan dibayar

(37)

oleh pengguna manfaat sebagai imbalan atas manfaat yang

diterimanya.18

Terdapat definisi lain tentang ujrah, yaitu imbalan yang diberikan

atau yang diminta atas suatu pekerjaan yang dilakukan.19 Menurut

lampiran SK DIR BI yang dimaksud dengan ujrah adalah imbalan

yang diberikan atau yang diminta atas suatu pekerjaan yang

dilakukan. Dengan kata lain, ujrah tidak lain adalah fee yang dikenal

dalam kegiatan bank konvensioanal atau lembaga pembiayaan

konvensional.20

Penjelasan lain tentang definisi pengupahan yang bermakna

membayar kompensasi atas apa yang memberi manfaat, entah itu

karena suatu pekerjaan atau selainnya. Yang menjadi fokus pada

pengertian ini adalah pengupahan yang berkaitan dengan pekerjaan.

Dalam melakukan akad pengupahan ini meliputi ijab dan qabul.

Karena dengan ijab dan qabul terjadilah kontrak diantara kedua belah

pihak.21

Dari definisi-definisi yang sudah dijelaskan diatas, dapat

disimpulkan bahwa upah atau ujrah adalah hasil yang diperoleh atas

suatu pekerjaan yang sudah dilakukan oleh seseorang, yang diawali

18 Sunarto Zulkifli, Panduan Praktis Transaksi Perbankan Syariah, (Jakarta: Zikrul Hakim, 2007),

44.

19 Ascarya, Akad & Produk Bank syariah, (Jakarta: Rajawali Pers, 2013), 110. 20

Sutan Remy Sjahdeini, Perbankan Islam dan Kedudukannya Dalam Tata Hukum Perbankan Indonesia, (Jakarta: PT Pustaka Utama Grafiti, 1999), 104.

(38)

dengan sebua perjanjian kerja, baik secara lisan maupun secara tulisan

(kontrak).

2. Dasar Hukum

a. Al-Qur’an

Allah berfirman dalam surah al-Kahfi ayat 77:

                              

Artinya: “Maka keduanya berjalan; hingga tatkala keduanya sampai kepada penduduk suatu negeri, mereka minta dijamu kepada penduduk negeri itu, tetapi penduduk negeri itu tidak mau menjamu mereka, kemudian keduanya mendapatkan dalam negeri itu dinding rumah yang hampir roboh, Maka Khidhir menegakkan dinding itu. Musa berkata: “Jikalau kamu mau, niscaya kamu

mengambil upah untuk itu.”22

Musa khidhir berjalan hingga sampai kepada penduduk

suatu negeri, lalu keduanya minta makanan dari mereka sebagai

tamu, tetapi penduduknya menolak menjamu keduanya.

Kemudian keduanya mendapati di negeri itu dinding yang

condong yang hampir roboh, maka Khidhir meluruskan

kemiringannya hingga menjadi tegak. Musa berkata, “sekiranya

kamu mau, niscaya kamu bisa mengambil upah dari pekerjaan ini

yang dapat kamu belanjakan untuk memperoleh makanan kita,

karena mereka tidak menjamu kita.”23

22

Departemen Agama RI, al Qur’an dan Terjemahannya, (Semarang: PT. Karya Toha Putra, 2002), Q.S al-Kahfi: 18: 77, 413.

23 Syaikh Shalih bin Abdul Aziz Alusy Syaikh, Tafsir Al-Muyassar, cet-3, (Solo: An-Naba’,

(39)

Firman Allah yang membahas tentang upah juga terdapat

pada surah al-Baqarah ayat 233:



































































































































































Artinya: “Para ibu hendaklah menyusukan anak-anaknya selama dua tahun penuh, Yaitu bagi yang ingin menyempurnakan penyusuan. dan kewajiban ayah memberi Makan dan pakaian kepada Para ibu dengan cara ma'ruf. seseorang tidak dibebani melainkan menurut kadar kesanggupannya. janganlah seorang ibu menderita kesengsaraan karena anaknya dan seorang ayah karena anaknya, dan warispun berkewajiban demikian. apabila keduanya ingin menyapih (sebelum dua tahun) dengan kerelaan keduanya dan permusyawaratan, Maka tidak ada dosa atas keduanya. dan jika kamu ingin anakmu disusukan oleh orang lain, Maka tidak ada dosa bagimu apabila kamu memberikan pembayaran menurut yang patut. bertakwalah kamu kepada Allah dan ketahuilah bahwa Allah Maha melihat

apa yang kamu kerjakan.”24

Yang dimaksud dengan ayat ini adalah untuk menyerahkan

biaya penyusuhan anak balita itu dengan sebuah kesepakatan yang

24 Departemen Agama RI, al Qur’an dan Terjemahannya, (Semarang: PT. Karya Toha Putra,

(40)

tidak berujung pada perselisihan, maksudnya takutlah kepada

Allah dengan tidak melakukan tindakan yang merugikan dan tidak

menyulut perselisihan termasuk diantaranya menjalin kesepakatan

dam menyulut perselisihan yang merugikan.25

b. As-Sunnah

Hadith yang diriwayatkan oleh Bukhari dan Muslim dari

Ibnu Abbas bahwa Nabi SAW bersabda,

نَع م ل س َِو ي راَخ ب لا ىَوَرَو

با

ن

َع ب

َأ سا

ن

لا

ب

َص ل

لا ى

َع َل

ي

َو

َس ل

َم

َمَجَت ح إ

َر جَأ َما ج ْا يَط عَأَو

Artinya: “Berbekamlah kalian, berikanlah upah bekamnya kepada tukang bekam tersebut.”26

c. Ijma’

Menurut mazhab Hanafi bahwa upah tidak dibayarkan hanya

dengan adanya akad. Boleh untuk memberikan syarat

mempercepat dan menangguhkan sisanya, sesuai dengan

kesepakatan kedua belah pihak. Jika akadnya atas jasa, maka

wajib membayar upah pada saat jasa telah dilakukan. Apabila

akad dilaksanakan tanpa syarat menegenai penerimaan bayaran

dan penangguhannya, Abu Hanifah dan Malik berpendapat,

25

Abu Thahir Muhammad bin Ya’kub Al-Fairuzabadi, Tafsir Ibnu ‘Abbas, (Bandung: Pustaka Darul Ilmi, 2008), 179.

26 Abu Abdullah Muhammad bin Ismail bin Ibrahim bin al-Mughiroh bin Bardizbah al-Ju’fi al

(41)

“Wajib diserahkan berangsur, sesuai dengan manfaat yang

diterima”.27

Sebagaimana yang dijelaskan dalam ayat al-Qur’an dan

haidith diatas terdapat beberapa hal yang harus dilakukan dalam

perjanjian kerja dan upah kerja, yaitu:

1) Sebelum melakukan pekerjaan harus ada akad atau transaksi.

2) Terbentuknya kerja sama karena adanya pekerja dan pemilik kerja.

3) Menjelaskan jenis dan waktu pekerjaan.

4) Kejelasan dalam memberi upah atau gaji.

5) Waktu pembayaran diberikan setelah selesai pekerjaan atau sesuai

dengan kesepakatan awal.

3. Jenis Ijarah Menurut Obyeknya

Berdasarkan obyeknya, ijarah terdiri dari:28

a. Ijarah dimana obyeknya manfaat dari barang, seperti sewa mobil,

sewa rumah, dan lain-lain.

b. Ijarah di mana obyeknya adalah manfaat dari tenaga seseorang

seperti jasa taksi, jasa guru, dan lain-lain.

4. Syarat-syarat Upah (ujrah)

Upah itu bisa dinyatakan sah jika memenuhi syarat-syarat

sebagai berikut:29

27 Sayyid Sabiq, Fiqih Sunnah, (Jakarta: Pena Pundi Aksara, 2006), 209.

(42)

a. Merelakan kedua pihak pelaku akad. Apabila salah satu pihak

dipaksa untuk melakukan akad, maka akadnya dinyatakan tidak

sah.

b. Mengetahui manfaat upah tersebut dengan jelas guna mencegah

terjadinya fitnah. Cukup dengan penjelasan tentang pengupahan

yang dilakukan tersebut.

c. Yang menjadi obyek akad dapat diserahterimakan pada saat akad,

baik secara fisik atau definitif.

d. Upah tersebut bisa diserahterimakan dan bernilai manfaat.

e. Manfaat dari upah tersebut status hukumnya mubah, bukan

termasuk yang diharamkan.

5. Rukun Ujrah

a. Lafal. Lafal itu mengandung arti izin kepada yang akan bekerja

dan tidak ditentukan waktunya.

b. Orang yang menjanjikan memberikan upah.

c. Pekerjaan.

d. Upah harus jelas. Telah ditentukan dan diketahui oleh orang yang

melakukan pekerjaan.30

(43)

C. Hubungan Tukar Menukar Uang Dengan Riba

1. Pengertian Riba

Riba/al-riba> secara kebahasaan (etimologi) berarti “tambahan”.

Secara linguistik, riba juga berarti “tumbuh berkembang, meningkat,

membesar”. Maksud riba dalam ayat al-Qur’an menurut Ibn al-‘Arabi

al-Maliki dalam kitabnya ahkam al-Qur’an, sebagaimana yang

dikemukakan oleh syafi’i Antonio:31

ةَغ للا ِ اَبِرلَا

ض وَع اَهَلَ باَق ي ََ ةَداَي ز ِل ك ةَيَ ْا ِ ب داَر م لاَو ةَداَيِزلا َو

Artinya: “Pengertian riba secara bahasa ialah tambahan, sedangkan

yang dimaksud dengan riba dalam ayat ialah setiap penambahan yang diambil tanpa adanya satu transaksi pengganti atau penyeimbang yang dibenarkan syariah.”

Maksud transaksi pengganti atau penyeimbang adalah transaksi

perdagangan atau komersial yang membenarkan adanya tambahan

tersebut secara adil seperti transaksi jual beli, gadai, sewa, atau bagi

hasil. Dalam transaksi sewa, penyewa membayar uang sewa karena

adanya manfaat sewa yang dinikmati, termasuk menurunnya nilai

ekonomi suatu barang karena pemanfaatan oleh penyewa. Dalam jual

beli, pembeli membayar harga atas imbalan barang yang diterimanya.

Demikian juga halnya bagi hasil dalam suatu perkongsian,

masing-masing berhak mendapatkan keuntungan seperti juga menanggung

kerugian karena pernyataan modal.32

31 Syukri Iska, Sistem Perbankan Syariah Indonesia dalam Perspektif Fikih Ekonomi,

(Yogyakarta: Fajar Media Press, 2014), 215.

(44)

Menurut imam Syafi’i Riba adalah akad yang terjadi dalam

penukaran barang-barang tertentu yang tidak bisa diketahui sama atau

tidaknya menurut syara dan terlambat menerimanya.33

2. Dasar Hukum Riba

a. Al-Qur’an

Al-Qur’an menolak bahwa anggapan riba yang pada

zahirnya seolah-olah menolong mereka yang memerlukan, sebagai

suati perbuatan untuk mendekatkan diri kepada Allah. Allah SWT

berfirman pada Q.S ar-Ruum ayat 39:

                            

Artinya: “dan sesuatu Riba (tambahan) yang kamu berikan agar Dia bertambah pada harta manusia, Maka Riba itu tidak menambah pada sisi Allah. dan apa yang kamu berikan berupa zakat yang kamu maksudkan untuk mencapai keridhaan Allah, Maka (yang berbuat demikian) Itulah orang-orang yang melipat gandakan (pahalanya).”34

Tafsir dari ayat ini adalah harta yang kamu berikan sebagai

hutang dengan tujuan mendapatkan riba, dan mencari tambahan

dan hutang tersebut, agar ia tumbuh dan meningkat pada

harta-harta manusia, maka ia disisi Allah tidak bertambah, karena Allah

justru membatalkan dan menghancurkannya. Sementara apa yang

kamu berikan dalam bentuk zakat dan sedekah kepada

orang-orang yang berhak menerima demi mencari keridhaan Allah dan

33 Marzuki Yahya, Panduan Fiqh Imam Syafi’i, (Jakarta: Al-Maghfiroh, 2013), 88.

34 Departemen Agama RI, al Qur’an dan Terjemahannya, (Semarang: PT. Karya Toha Putra,

(45)

pahala dari-Nya, maka inilah yang diterima Allah dan

dilipatgandakan untuk kalian dengan pelipatgandaan yang

banyak.35

Allah juga melarang orang-orang untuk memakan riba

dengan berlipat ganda. Seperti dalam Q.S al-Imraan ayat 130:

  

  











 

Artinya: “Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu memakan Riba dengan berlipat ganda dan bertakwalah kamu kepada Allah supaya kamu mendapat keberuntungan.”36

Yang dimaksud Riba pada ayat ini ialah Riba nasi'ah.

menurut sebagian besar ulama bahwa Riba nasi'ah itu selamanya

haram, walaupun tidak berlipat ganda. Riba nasiah yang berlipat

ganda yang umum terjadi dalam masyarakat Arab zaman jahiliyah.

Diturunkan ayat ini karena, Al-Faryabi meriwayatkan dari

mujathid, dia berkata: orang-orang Arab biasa melakukan

transaksi jual beli hingga tenggang waktu tertentu. Jika telah jatuh

tempo dan yang bersangkutan tidak bisa melunasi, mereka tambah

harganya dan mereka perpanjang temponya.

Al-Faryabi juga meriwayatkan dari ‘Atha, dia berkata:

orang-orang Tsaqif menghutangkan uang kepada orang-orang

35

Syaikh Shalih bin Abdul Aziz Alusy Syaikh, Tafsir Al-Muyassar, cet-3, (Solo: An-Naba’, 2013), 28.

36

(46)

jahiliyah pada zaman jahiliyah. Setelah tempo penagihan datang,

dan yang berhutang belum bisa membayarnya, mereka berkata,

“Kalian bisa diberi temponlahi, namun harus membayar bunganya

kepada kami.”37

Allah dengan jelas dan tegas mengharamkan apapun jenis

tambahan. Q.S al-Baqarah ayat 280-281:

                                                   

Artinya: “Dan mereka berkata: “Kami sekali-kali tidak akan disentuh oleh api neraka, kecuali selama beberapa hari saja." Katakanlah: “Sudahkah kamu menerima janji dari Allah sehingga Allah tidak akan memungkiri janji-Nya, ataukah kamu hanya mengatakan terhadap Allah apa yang tidak kamu ketahui? (Bukan demikian), yang benar: Barangsiapa berbuat dosa dan ia telah diliputi oleh dosanya, mereka Itulah penghuni neraka, mereka

kekal di dalamnya.”38

Tafsir dari ayat 280 ini adalah bila pihak pemikul hutang

tidak mampu untuk melunasi, maka berikanlah tenggang waktu

kepadanya sampai Allah memberikan kemudahan kepadanya,

sehingga dia bisa menunaikan kewajibannya kepada kalian. Bila

kalian tidak menuntut harta pokok, baik seluruhnya atau sebagian

37

Abu Thahir Muhammad bin Ya’kub Al-Fairuzabadi, Tafsir Ibnu ‘Abbas, (Bandung: Pustaka Darul Ilmi, 2008), 301.

38 Departemen Agama RI, al Qur’an dan Terjemahannya, (Semarang: PT. Karya Toha Putra,

(47)

darinya dan menggugurkannya maka hal ini lebih baik bagi kalian,

bila kalian mengetahui keutamaan hal itu dan bahwa ia lebih baik

bagi kalian didunia dan akhirat.

Sedangkan tafsir dari ayat 280 adalah takutlah wahai

manusia terhadap sesuatu hari dimana pada saat itu kalian kembali

kepada Allah, yaitu Hari Kiamat, dimana kalian menghadap

kepada Allah untuk menghisab kalian. Dia akan membalas

masing-masing orang dari kalian sesuai dengan amal

perbuatannya, bila baik maka balasannya baik, bila buruk maka

buruk pula balasannya tanpa ada yang dizhalimi. Ayat ini

mengandung petunjuk agar meninggalkan usaha-usaha riba yang

diharamkan oleh Allah, menyempurnakan iman dan

tuntutan-tuntutannya berupa mendirikan shalat, menunaikan zakat dan

melakukan amal-amal s}ahih.39

b. Ijma’

Ibnu Manzur (711 H/1311 M) dalam karya besarnya kamus

Arab Lisan al-‘Arab menjelaskan bahwa, apa yang dilarang adalah

nilai tambah, manfaat atau keuntungan yang diterima atas

pinjaman yang diberikan. Semenjak dahulu, kata riba sudah

dipahami sebagai suatu bentuk tambahan, yang disyaratkan untuk

39

(48)

dibayar oleh si peminjam kepada orang yang meminjamkan atas

nilai pokok pinjaman.40

Mujtahid meriwayatkan bahwa riba yang dilarang oleh Allah

SWT adalah yang dipraktikkan pada masa jahiliyyah. Seseorang

yang mempunyai piutang kepada orang lain, kemudian peminjam

berkata kepadanya “untukmu tambahan sekian sebagai imbalan

penundaan pembayaran,” maka ditundalah pembayaran tersebut

untuknya.41

Setelah mengetahui kejelasan tentang riba, bahwa sesungguhnya

semua praktik yang mengandung riba itu suatu penganiayaan dan

penindasan terhadap orang-orang yang membutuhkan dan yang

seharusnya mendapatkan uluran dana.

3. Jenis-jenis Riba

Dalam ilmu fikih dikenal tiga jenis riba, yaitu:42

a. Riba Fadhl

Riba fadhl yaitu riba yang timbul akibat pertukaran barang

sejenis yang tidak memenuhi kriteria sama kualitasnya, sama

kuantitasnya dan sama waktu penyerahan. Pertukaran semisal ini

mengandung gharar, yaitu ketidakjelasan bagi kedua belah pihak

akan nilai masing-masing barang yang dipertukarkan.

40 Dimyauddin Djuwaini, Pengantar Fiqih Muamalah, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2008), 193. 41 Muhammad Ibnu Jabir, Jami’ Al Bayan Fi Tafsir al-Quran, jilid IV, 90 Dalam Shihab,

Membumikan al-Quran, 262.

42 Adiwarman A. Karim, Bank Islam Analisis Fiqh dan Keuangan, (Jakarta: Rajawali Pers, 2009),

(49)

Riba fadhl juga bisa timbul dari transaksi barter, karena

adanya kesulitan untuk mengukur nilai dari barang yang

dipertukarkan secara tepat. Rasulullah SAW tidak

menganjurkanpertukaran (barter) dalam ekonomi, dan

mempersyaratkan bahwa komoditas yang dipertukarkan secara

barter, harus dijual terlebih dahulu secara cash, baru kemudian

dipergunakan untuk membeli komoditas yang dibutuhkan.

Penyebab terakhir dari terjadinya riba fadhl adalah yang

paling banyak mendapatkan perhatian dari para ukama fiqh.

Banyak hadith shahih yang menyatakan dengan jelas tentang hal

ini. Diantaranya, jika komoditas sejenis dipertukarkan satu sama

lainnya, maka keduanya harus memiliki persamaan kualitas dan

kuantitas, dan dilakukan secara cash. Jika komoditas yang

dipertukarkan berbeda, baik dalam ukuran maupun kuantitasnya,

maka hal itu boleh saja dilakukan, asalkan secara cash.43

Menurut Sayyid Sabiq, enam jenis barang sebagaimana

disebut dalam hadith merupakan kebutuhan pokok dalam

memenuhi keperluan hidup manusia. Emas dan perak merupakan

alat tukar untuk menentukan standar harga barang. Sedangkan

empat yang lainnya merupakan keperluan pokok dalam kehidupan

manusia.44

43

Dimyauddin Djuwaini, Pengantar Fiqih Muamalah, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2008), 200.

44

(50)

Ada beberapa bentuk jual beli yang dilarang oleh

Rasulullah SAW karena dapat digolongkan kepada riba, seperti

jual beli hewan dengan daging (hewan yang telah mati), jual beli

buah basah dengan buah kering, dan jual beli ‘inah.

b. Riba Nasi’ah

Riba nasi’ah yaitu riba yang timbul akibat utang piutang

yang tidak memenuhi kriteria untung muncul bersama resiko dan

hasil usaha timbul bersama biaya. Riba ini bermakna penambahan

bersyarat yang diperuntukkan bagi yang memberi hutang, yang

diperoleh dari orang yang berhutang karena adanya penangguhan

masa pembayaran.

Dalam ungkapan lain, Sa’id Sa’ad Marthan menjelaskan

pengertian yang dikemukakan Sayyid Sabiq, bahwa tambahan itu

tanpa melibatkan ganti rugi. Riba ini banyak terjadi pada masa

Jahiliyah dan diharamkan berdasarkan al-Qur’an, Sunnah dan

Ijma’ para Imam.45

4. Hubungan Tukar Menukar dengan Riba

Riba adalah suatu

Referensi

Dokumen terkait

- Tidak disediakannya bangku taman untuk tempat duduk ketika pada waktu menunggu seseorang. - Penghijauan yang kurang dirasakan sehingga menimbulkan perasaan tidak

Berdasarkan hasil penelitian yang telah diuraikan, maka dapat ditarik kesimpulan dalam penelitian ini, antara lain sebagai berikut: Peran Unit Pelaksana Teknis

Pengaruh Effective Inoculant PROMI dan EM4 terhadap Laju Dekomposisi dan Kualitas Kimia Kompos dari Sampah Kota Ambon, dapat dilihat pada Tabel 1 dan Tabel

Dalam proses yang dilakukan pada gambar 4.1 diatas merupakan aktifitas yang akan dilakukan oleh user, aktifitas yang dapat dilakukan adalah, tambah data

Telah dilakukan pengembangan perangkat pembelajaran pengelolaan limbah dengan pendekatan Thinking Actively in a Social Context (TASC) dengan tujuan untuk mengetahui

Industri manufaktur tentunya pada mesin/peralatan sangat dibutuhkan untuk menunjang kegiatan ketika proses produksi dimulai hingga selesai, namun tentunya mesin /

Bentuk dari penelitian ini berbeda dengan penelitian yang dilakukan Rahma Nurvidiana dkk (2015) “Pengaruh Word Of Mouth Terhadap Minat Beli Serta Dampaknya Pada