SKRIPSI
Oleh
Anna Putri Syafitri
NIM. C02213013
Universitas Islam Negeri Sunan Ampel Fakultas Syari‘ah dan Hukum
Jurusan Hukum Perdata Islam Prodi Hukum Ekonomi Syari‘ah (Muamalah) Surabaya
v ABSTRAK
Skripsi ini adalah hasil penelitian lapangan tentang “Tinjauan Hukum Islam Terhadap Pemahaman Penukar Uang Dengan Jumlah Yang Tidak Sama (Studi Kasus di Desa Drajat Kecamatan Paciran Kabupaten Lamongan)”. Rumusan masalahnya: Pertama, Bagaimana deskripsi tentang pemahaman para
pelaku akad mengenai penukaran uang dengan jumlah yang tidak sama. Kedua, Bagaimana tinjauan hukum Islam terhadap praktik penukaran uang dengan jumlah yang tidak sama jika dikaitkan dengan pemahaman para pelaku.
Data penelitian ini dihimpun melalui observasi dan wawancara (interview), kemudian dianalisis secara kualitatif menggunakan metode analisis deskriptif dengan menggunakan pola pikir induktif, sehingga ditemukan suatu pengetahuan yang secara umum diakui kebenarannya untuk selanjutnya ditarik sebuah kesimpulan.
Hasil penelitian menyimpulkan bahwa terdapat 6 (enam) orang yang belum mengerti tentang penukaran uang dengan jumlah yang tidak sama tersebut. Karena itu, mereka tidak pernah mempermasalahkan kekurangan itu, dan menjadikannya sebagai upah. Terdapat 4 (empat) orang yang faham akan hukumnya, tetapi penukar akhirnya beranggapan bahwa kekurangan iu adalah upah menunggu para konsumen. Disisi lain, 2 (dua) orang merasa dirugikan dan 1 (satu) orang menganggapnya s}adaqah. Dikaitkan antara hukum Islam dengan konstruksi para pelaku, penukaran uang tersebut menjadi boleh, jika kekurangan yang didapatkan oleh penukar itu adalah sebagai upah (ujrah) untuk pemilik usaha penukaran uang, dan harus di jelaskan pada saat melakukan akad. Sehingga kedua pihak mengerti dan tidak ada yang merasa dirugikan. Tapi jika penukar uang itu merasa dirugikan karena mereka mengetahui bahwa dalam penukaran uang itu harus sama jumlah nilainya, masuk dalam teori al-s}arf maka hukumnya bisa menjadi tidak boleh.
xi
DAFTAR ISI
Halaman
SAMPUL DALAM ... i
PERNYATAAN KEASLIAN ... ii
PERSETUJUAN PEMBIMBING ... iii
PENGESAHAN ... iv
ABSTRAK ... v
KATA PENGANTAR ... vi
PERSEMBAHAN ... viii
BIODATA PENULIS ... ix
MOTTO ... x
DAFTAR ISI ... xi
DAFTAR TRANSLITERASI ... xiv
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang ... 1
B. Identifikasi Masalah dan Batasan Masalah ... 8
C. Rumusan Masalah ... 9
D. Kajian Pustaka ... 9
E. Tujuan Penelitian ... 11
F. Kegunaan Hasil Penelitian ... 11
G. Definisi Operasional ... 12
H. Metode Penelitian ... 12
xii
BAB II TUKAR MENUKAR UANG, UPAH (UJRAH) DAN HUBUNGAN TUKAR MENUKAR UANG DENGAN RIBA A. Tukar Menukar Uang (al-S}arf)
1. Pengertian Tukar Menukar Uang ... 18
2. Dasar Hukum ... 19
3. Syarat-syarat Tukar Menukar Uang ... 25
4. Rukun Tukar Menukar Uang ... 27
B. Upah (Ujrah) 1. Pengertian Upah (Ujrah) ... 27
2. Dasar Hukum ... 29
3. Jenis Ijarah Menurut Obyeknya ... 32
4. Syarat-syarat Upah (Ujrah) ... 32
5. Rukun Ujrah ... 33
C. Hubungan Tukar Menukar Uang Dengan Riba 1. Pengertian Riba ... 34
2. Dasar Hukum Riba ... 35
3. Jenis-jenis Riba ... 39
4. Hubungan Tukar Menukar Dengan Riba ... 41
BAB III PRAKTIK PENUKARAN UANG DAN DESKRIPSI PEMAHAMAN PARA PELAKU AKAD MENGENAI PENUKARAN UANG DENGAN JUMLAH YANG TIDAK SAMA A. Profil Desa ... 43
B. Praktik Penukaran Uang Dengan Jumlah Yang Tidak Sama... . 46
C. Deskripsi Pemahaman Para Pelaku Akad Mengenai Penukaran Uang Dengan Jumlah Yang Tidak Sama 1. Pemilik Usaha Penukaran Uang ... 49
xiii
BAB IV ANALISIS TINJAUAN HUKUM ISLAM TERHADAP PENUKARAN UANG DENGAN JUMLAH YANG TIDAK SAMA JIKA DIKAITKAN DENGAN PEMAHAMAN PARA PELAKU
A. Analisis Terhadap Praktik Penukaran Uang Dengan Jumlah Yang Tidak Sama ... 56 B. Analisis Hukum Islam Terhadap Penukaran Uang Dengan
Jumlah Yang Tidak Sama Jika Dikaitkan Dengan Pemahaman Para Pelaku ... .57 BAB V PENUTUP
A. Kesimpulan ... 64 B. Saran ... 65
1
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Islam yang bersifat universal dan fleksibel, telah memiliki
kemampuan dalam merespon perkembangan umat dan perubahan zaman.
Salah satunya persoalan di zaman modern ini tentang bagaimana hukum
Islam mampu menjawab persoalan umat manusia yang semakin banyak.
Masalah yang muncul merupakan salah satu dari globalisasi zaman dalam
mewujudkan interaksi zaman dan budaya diberbagai bangsa yang
membuat laju perubahan sosial itu semakin cepat menjadikan munculnya
persoalan baru bagi hukum Islam.
Perubahan itulah yang menjadikan masyarakat terpengaruh cara
dalam memandang dan bersikap terhadap harta dan teknis berinteraksi.
Dalam masyarakat agraris, konsep harta bagi masyarakat industri yang
telah bekembang, harta bagi mereka berfungsi sebagai modal dan
komoditas.
Harta merupakan komponen pokok dalam kehidupan manusia,
unsur d}laru>ri> yang tidak bisa ditinggalkan dengan begitu saja. Dengan
harta, manusia bisa memenuhi kebutuhannya, baik yang bersifat materi
ataupun immateri. Dalam kerangka memenuhi kebutuhan tersebut,
terjadilah hubungan horizontal antarmanusia (mu’a>malah), karena pada
kebutuhannya sendiri, akan tetapi saling membutuhkan dan terkait
dengan manusia lainnya.1 Salah satunya kebutuhan manusia sehari-hari
adalah uang, yang merupakan bagian integral dari kehidupan kita
sehari-hari.
Uang adalah sesuatu yang secara umum diterima di dalam
pembayaran untuk pembelian barang-barang dan jasa-jasa serta untuk
pembayaran utang-utang. Dan juga sering dipandang sebagai kekayaan
yang dimilikinya yang dapat digunakan untuk membayar sejumlah
tertentu utang dengan kepastian dan tanpa penundaan.2 Ada beberapa
fungsi uang yang sangat penting yaitu sebagai alat bantu dalam
penukaran, di dalam pembayaran dan sebagainnya, oleh karena itu kita
perlu membedakan fungsi yang telah dibagi kedalam 4 fungsi, yaitu uang
sebagai satuan hitung, uang sebagai alat penukar, uang sebagai
penimbunan kekayaan dan uang sebagai standar pencicilan utang. 3
Pertukaran berarti transfer satu barang dengan barang lainnya atau
dengan uang. Pertukaran sekarang menjadi sesuatu hal yang sangat
diperlukan bagi keberadaan manusia, karena secara individual manusia
tidak dapat memenuhi kebutuhannya sendiri. Dia tidak dapat
memproduksi semua kebutuhan hidupnya maupun segala sesuatu yang dia
perlukan. Dia tergantung pada orang lain dalam banyak hal. Dengan
demikian, maka ia memenuhi keinginannya melalui pertukaran. Oleh
1 Dimyauddin Djuwaini, Pengantar Fiqh Muamalah, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2008), 18. 2 Iswardono, Uang dan Bank, cet ke-4 (Yokyakarta: BPFE, 1999), 4.
karena itu pertukaran menempati tempat yang amat vital di dalam
ekonomi karena ia mengoordinasi dan menyesuaikan konsumsi dan
produksi. Secara luas dapat dikatakan bahwa secara umum pertukaran itu
berlangsung dalam dua bentuk, yakni barter dan menggunakan uang.4
Secara linguistik, al-s}arf bermakna ziyadah (tambahan). Hal ini
berdasarkan hadits Rasulullah yang menyebut ibadah nafilah (sunnah,
tambahan) dengan istilah s}arf. Secara istilah, s}arf adalah perdagangan
valuta asing, baik dilakukan atas valuta yang sejenis maupun berbeda
jenis, dan dilakukan secara tunai (sport).5
Secara umum jual beli mata uang (al-s}arf) dalam kitab-kitab fiqh
diidentikkan dengan tukar menukar antara emas dengan emas atau perak
dengan perak. Oleh karena itu dalam kitab fiqh apa saja yang menjadi
ketentuan atau syarat rukun dalam transaksi jual beli berlaku juga dalam
transaksi mata uang (al-s}arf). Hanya saja kategorinya lebih khusus dari
ketentuan tersebut sepanjang memenuhi ketentuan dalam transaksi jual
beli dalam hukum Islam adalah kegiatan yang ditolelir, tetapi meski
boleh. Perlu dibuat semacam catatan karena pada dasarnya hukum Islam
memandang uang atau harta sebagai alat tukar bukan komoditas.
Dengan adanya tukar menukar tersebut, dapat mempermudah
orang-orang yang membutuhkan uang logam/recehan yang biasanya
digunakan untuk diberikan kepada para pengemis yang sudah ada di
4 Muhammad Sharif Chaudhry, Sistem Ekonomi Islam, (Jakarta: Kencana Prenada Media Group,
2012), 113.
5
sepanjang jalan dan paling utama untuk mengisi kotak amal yang ada di
sekitarnya. Banyak para pengemis yang memanfaatkan situasi seperti itu
untuk mengemis, tempat itu hampir setiap hari dikunjungi oleh
orang-orang yang melakukan ziarah.
Di Indonesia ziarah adalah kebiasaan orang-orang yang beragama
Islam, untuk melakukan doa bersama di tempat yang bersejarahnya para
wali seperti yang biasanya disebut dengan sunan. Disitulah banyak para
pengemis yang duduk berbaris di sepanjang jalan. Sekecil apapun yang
diberikan sudah sangat berarti bagi para pengemis, seperti uang logam
Rp. 500 ataupun uang kertas Rp. 1000 atau Rp. 2000.
Banyaknya uang yang pengemis dapatkan dari pemberian
orang-orang yang sedang melakukan ziarah, disitu ada orang-orang yang
memanfaatkan keadaan dengan membuka tempat penukaran uang.
Terdapat banner kecil yang bertulisan “Penukaran Uang 1000 dapat 900”.
Orang yang membuka penukaran uang itu dapat uang dari hasil
penukarannya kepada orang yang mengemis, dan pihak yang menukarkan
uang tersebut biasanya para peziarah. Yang mana nilai uang tersebut
sudah sangat jelas tidak sama. Dalam penukaran uang tidak boleh ada
yang dirugikan dan jumlah nilai harus sama, tidak kurang dan tidak lebih.
Kelebihan uang dalam tukar menukar barang yang nilainya sama tersebut
adalah riba dan hukumnya haram. Terdapat beberapa istilah dalam
istilah tukar menukar uang ada juga yang menyebutnya dengan istilah
jual beli uang.
Sabda Nabi Muhammad SAW:
َل َت
ِب ُع
ذلا او
َ
َب
ِب
ذلا
َ
ِب
ِإ
ل
ِم
ْث
ًل
ِِب
ْث ِل
َو ،
َل
ُت
ِش
ف
َ ب او
ْع
َض
َه
َع ا
َل
َ ب ى
ْع
ٍض
َو ،
َل
َت ِب
ُع
ْلا او
َو ِر
َق
ِب ْلا
َو ِر
ِق
ِإ
ل
ِم
ْث
ًل
ِِب
ْث ٍل
َو ،
َل
ُت
ِش
ف
َ ب او
ْع
َض
َه
َع ا
َل
َ ب ى
ْع
ٍض
َو ،
َل
َت ِب
ُع
ِم او
ْ َه
َغ ا
ِئا ًب
ِب ا
َ
ِجا
ٍز
اور .
ىراخبلا
ملسمو
Artinya: “Janganlah engkau menjual emas ditukar dengan emas
melainkan sama dengan sama, dan janganlah engkau melebihkan salah satunya dibanding lainnya. Janganlah engkau menjual perak ditukar dengan perak melainkan sama dengan sama, dan janganlah engkau melebihkan salah satunya dibanding lainnya. Dan janganlah engkau menjual salah satunya diserahkan secara kontan ditukar dengan lainnya yang tidak
diserahkan secara kontan.” (HR Bukhari dan Muslim)6
Terdapat pemahaman mengenai penukaran uang, yang mana pihak
penukar uang beranggapan jika uang tersebut adalah kerugian bagi
mereka, karena kurangnya jumlah nilai uang yang ditukarkan tersebut.
7Tetapi ada juga yang beranggapan bahwa kekurangan jumlah nilai uang
ditukar itu untuk upah orang yang mempunyai penukaran uang tersebut.
Orang yang menukarkan uang tersebut untuk memberikan shadaqah para
pengemis yang sudah berbaris disepanjang jalan. Dalam penukaran uang
tersebut jika menukarkan uang 50.000 maka yang didapatkan hanya
45.000.8
6
Abu Abdullah Muhammad bin Ismail bin Ibrahim bin al-Mughiroh bin Bardizbah al-Ju’fi al -Bukhori (Imam Bukhari), Shahih Bukhari. (t.tp., shahih: t.t), Hadith: 2031, 1196.
7
Nurul Inayah, Penukar Uang, Wawancara, Tanggal 25 Februari 2017. 8
Dalam hukum Islam cara penukaran terdapat enam macam,
meliputi: emas, perak, gandum, jagung, kurma, dan garam yang harus
dilakukan secara seimbang jika sejenis, dan harus kontan. Persoalan
tersebut jika dikaitkan dengan fiqh muamalah akan semakin penting,
tentang bagaimana pengembangan dalam menjawab berbagai persoalan
bentuk-bentuk transaksi ekonomi kontemporer ini. Seperti halnya
masalah penukaran uang yang sudah sering terjadi pada saat ini.
Menurut ulama Hanafiyah dan ulama Hanbaliyah menyatakan
bahwa transaksi penukaran emas hanya sebatas tukar jasa. Dalam hal ini
emas bisa disamakan dengan uang karena emas dan uang sama-sama alat
tukar, kelebihan yang ada pada penukaran uang tersebut merupakan
wujud dari imbalan karena masyarakat yang menukarkan uang dijalan.
Selain itu penukaran uang dianggap sebagai upaya tolong menolong
sesama muslim, sebagaimana disebut dalam Firman Allah surat
Al-Maidah ayat: 5 : 2, yang berbunyi:
...
Artinya: “...Dan tolong menolonglah kamu dalam kebaikan dan taqwa dan jangan tolong menolong dalam berbuat dosa dan permusuhan. Dan bertakwalah kamu kepada Allah, sesungguhnya Allah amat berat siksa-Nya” (Q.S. Al-Maidah: 5: 2)9
9 Departemen Agama RI, al Qur’an dan Terjemahannya, (Semarang: PT. Karya Toha Putra,
Sedangkan menurut ulama syafi’iyah dan ulama malikiyah
menyatakan bahwa apabila terjadi pertukaran barang yang tidak senilai
itu termasuk riba. Riba adalah suatu yang dilarang agama islam.
Sebenarnya pertukaran uang itu bukanlah perbuatan yang tercela, jika
jumlah nilainya itu sama, tidak ada kelebihan dan tidak ada pengurangan.
Mengingat banyaknya masalah hukum Islam bagi para pelaku
akad yang ditimbulkan dalam praktek ini. Persoalan unsur riba bukan
sebatas pertambahan nilai dari barang yang ditukar, masih banyak aspek
yang ditinjau untuk menetapkan keharamannya. Bagaimana pemahaman
para pelaku akad mengenai kekurangan uang dalam transaksi tersebut.
oleh karena itu, perlu diadakan upaya pemikiran para pihak akad
mengenai permasalahan ini.
Mengenai fenomena tersebut, perlu dikemukakan pandangan
hukum Islam terhadap praktik penukaran uang tersebut. oleh karena itu,
umat Islam zaman sekarang dituntut harus mampu memahami hukum dan
ajaran yang sesuai dengan tuntutan masa dan lingkungannya, berdasarkan
sumber aslinya yaitu Alquran dan Hadits. Maksud dari tujuan tuntutan
tersebut adalah agar mampu merealisasikan tujuan Islam yang sebenarnya
yakni keadilan dan kejujuran.
Terkait dengan pemaparan diatas, maka penulis mencoba
mengkaji permasalahan yang ada dari segi hukum islam, yang tidak lain
adalah pada penukaran uang yang dimana nilai uang tersebut tidak sama,
jumlah nilai uang yang ditukarkan tersebut tidak sama”, inilah yang
menjadikan alasan peneliti mengadakan sebuah penelitian tentang
pemahaman para pelaku akad mengenai penukaran uang dengan jumlah
yang tidak sama. Untuk mengetahui status hukum dari transaksi ini, dan
perlu diteliti pemahaman para pelaku akad penukaran uang, maka penulis
mengambil judul “TINJAUAN HUKUM ISLAM TERHADAP
PEMAHAMAN PENUKAR UANG DENGAN JUMLAH YANG TIDAK
SAMA (Studi kasus di Desa Drajat, Kecamatan Paciran, Kabupaten
Lamongan)”.
B. Identifikasi Masalah dan Batasan Masalah
Berdasarkan uraian masalah-masalah yang muncul diatas, maka
bisa diidentifikasikan masalah yang timbul antara lain:
1. Pengertian tentang Uang.
2. Penjelasan tentang pertukaran.
3. Pengertian tentang al-s}arf.
4. Manfaat dan keuntungan yang diperoleh dari praktik penukaran uang
5. Pemahaman pelaku mengenai penukaran uang dengan jumlah yang
tidak sama.
6. Status hukum Islam terhadap praktik penukaran uang dengan jumlah
yang tidak sama.
Agar kajian ini lebuh terfokus dan tuntas, peneliti membatasi
penelitian ini hanya pada permasalahan-permasalahan sebagai berikut:
1. Deskripsi tentang pemahaman para pelaku akad mengenai penukaran
uang dengan jumlah yang tidak sama.
2. Hukum Islam terhadap praktik penukaran uang dengan jumlah yang
tidak sama jika dikaitkan dengan pemahaman para pelaku.
C. Rumusan Masalah
1. Bagaimana deskripsi tentang pemahaman para pelaku akad mengenai
penukaran uang dengan jumlah yang tidak sama?
2. Bagaimana tinjauan hukum Islam terhadap praktik penukaran uang
dengan jumlah yang tidak sama jika dikaitkan dengan pemahaman
para pelaku?
D. Kajian Pustaka
Kajian pustaka ini dilakukan agar dapat memperoleh suatu
gambaran yang memiliki hubungan topik yang akan diteliti dari beberapa
penelitian yang sejenis atau memiliki keterkaitan, sehingga tidak terjadi
duplikasi penelitian. Dalam penelusuran awal, sampai saat ini penulis
menemukan beberapa penelitian yang terkait tentang penukaran uang,
diantaranya adalah:
1. Penelitian yang dilakukan oleh Nila Wulan Sari, Muamalah 2009.
Logam di Pasar Simo”. Peneliti ini menyimpulkan bahwa fenomena
penukaran uang logam hukumnya haram, karena kelebihannya adalah
riba. Penyebabnya adalah akad yang dilakukan itu bukanlah akad
tukar menukar, tetapi akad jual beli. Dalam islam jual beli uang itu
diharamkan.10 Skripsi wulan lebih terfokuskan pada jual beli uang
logam, sedangkan penelitian pada karya tulis penulis menekankan
pada penukaran uang dengan jumlah yang tidak sama.
2. Penelitian yang dilakukan oleh Akyatul Bana, Muamalah 2012.
Dengan judul “Studi Analisis Terhadap Pemikiran K.H Kholil Dahlan
Tentang Penukaran Uang Baru Menjelang Lebaran”. Menurut K.>H
Kholil Dahlan dalam hal jual beli yang dilakukan itu halal, tapi karena
syarat jual beli didalamnya tidak terpenuhi menjadi haram.
Selanjutnya, beliau tidak setuju dan menolak jika tambahan dalam
transaksi tersebut dianggap sebagai upah, dan mengenai status praktik
penukaran uang menjelang lebaran ini tidak didukung oleh hukum
Islam.11 Dalam skripsi ini lebih terfokuskan terhadap pemikiran K.H
Kholil Dahlan tentang tukar menukar uang baru menjelang lebaran.
Sedangkan penulis mengkaji dalam segi tinjauan hukum Islamnya.
3. Penelitian yang dilakukan oleh Muflihatul Bariroh, Muamalat 2012.
Dengan judul “Tinjauan Hukum Islam Terhadap Praktik Penukaran
Uang Baru Menjelang Hari Raya Idul Fitri”. Menyatakan bahwa
10
Nila wulan Sari, “Tinjauan Hukum Islam Terhadap Penukaran Uang Logam Di Pasar Simo” (Skripsi-Institut Agama Islam Negeri Sunan Ampel, 2009).
11
fenomena praktik transaksi penukaran uang baru menjelang hari raya
Idul fitri adalah pada mulanya merupakan transaksi yang terlarang
karena tidak sesuai dengan kaidah dalam pertukaran yang berlaku
dalam Islam, yakni adanya pertukaran barang sejenis berupa uang
rupiah dengan rupiah tetapi dengan takaran atau nilai yang berbeda.12
Penelitian ini terfokuskan pada praktik dalam penukaran uang baru
menjelang hari raya Idul Fitri, sedangkan penulis mengkaji tentang
pemahaman para pelaku akad penukaran uang yang tidak sama.
E. Tujuan Penelitian
Sesuai dengan permasalahan diatas, penelitian ini bertujuan untuk:
1. Mengetahui dan mendeskripsikan tentang pemahaman para pelaku
akad mengenai penukaran uang dengan jumlah yang tidak sama.
2. Menemukan dan mengetahui pandangan hukum Islam terhadap
praktik penukaran uang dengan jumlah yang tidak sama jika dikaitkan
dengan pemahaman para pelaku.
F. Kegunaan Hasil Penelitian
1. Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan beberapa
sumbangan pemikiran hukum Islam, khususnya yang berkaitan dengan
penukaran uang dengan jumlah yang tidak sama.
2. Sebagai masukan kepada para pelaku akad terhadap penukaran uang
dengan jumlah yang tidak sama.
3. Bagi peneliti, dapat melatih diri dalam melakukan penelitian dan
mendapatkan pengalaman dengan memperluas wawasan pengetahuan
yang selama ini hanya didapatkan penulis secara teoritis.
G. Definisi Operasional
Agar tidak terjadi kesalah pahaman dalam memahami beberapa
istilah yang ada di dalam penelitian ini, maka penulis memberikan
penjelasan atau definisi dari bebrapa istilah sebagai berikut:
Hukum Islam : Segala ketentuan Allah yang terdapat pada
Alquran, sunnah dan dijabarkan oleh para
ulama’ fikih yang tercemin dari istinbath
mereka. Baik berupa larangan, pilihan atau
yang berupa syarat, sebab dan halangan
dalam suatu perbuatan hukum yang
berkaitan dengan perilaku manusia.
Penukar Uang : Orang yang menukarkan uang.
H. Metode Penelitian
Maka diperlukan tahapan-tahapan atau langkah-langkah dalam
1. Jenis Penelitian
Dirjen Pendidikan Tinggi menyebutkan salah satu cara
penggolongan mengenai macam jenis penelitian berdasarkan atas
sifat-sifat masalahnya.13 Maka berdasarkan atas sifat-sifat
masalahnya tersebut, jenis penelitian dalam skripsi ini termasuk
dalam kategori penelitian kasus dan penelitian lapangan dan
penelitian deskriptif.
2. Pendekatan Penelitian
Penelitian ini menggunakan pendekatan kualitatif. Pendekatan
kualitatif adalah suatu proses penelitian dan pemahaman yang
berdasarkan pada metodologi yang menyelidiki suatu fenomena sosial
dan masalah manusia.14 Pendekatan kualitatif digunakan dalam
penelitian ini karena:
a. Data yang didapatkan benar-benar murni.
b. Data yang diperoleh hasil dari wawancara dari para pihak penukar
dan pemilik penukaran uang.
c. Data ini dideskripsikan dan dianalisis sehingga ditemukan suatu
pengetahuan yang secara umum.
13
Cholid Narbuko dan Abu achmadi, Metodologi Penelitian, cet-10, (Jakarta: Bumi Aksara, 2009), 41.
14 Juliansyah Noor, Metodologi Penelitian: Skripsi, Tesis, Disertasi, dan Karya Ilmiah, (Jakarta:
3. Obyek Penelitian
Dalam penelitian ini obyek yang diteliti peneliti adalah kasus
tukar menukar uang dilokasi desa Drajat, kecamatan Paciran,
kabupaten Lamongan.
4. Sumber Data
Adapun sumber data yang dibutuhkan dalam penelitian ini, antara
lain sebagai berikut:
a. Sumber Data Primer
Sumber data primer adalah sumber data yang dibutuhkan
untuk memperoleh data-data yang berkaitan langsung dengan
obyek penelitian, data primer disini diperoleh atau dikumpulkan
langsung di lapangan oleh peneliti, diantaranya yaitu:
1) Data didapat dari 3 (tiga) pihak yang mempunyai usaha
penukaran uang, dan
2) Data didapat dari 10 (sepuluh) pihak yang menukarkan uang.
b. Sumber Data Sekunder
Sumber data sekunder adalah data yang menjelaskan
terhadap data primer. Dalam penelitian ini yang menjadi data
sekunder adalah buku-buku, catatan-catatan, dokumen tentang apa
saja yang berhubungan dengan penukaran uang dengan jumlah
yang tidak sama.
Adapun sumber dari buku-buku adalah:
2) Iswaedono, Uang dan Bank.
3) Muhammad Sharif Chaudhry, Sistem Ekonomi Islam.
4) Mardani, Ayat-ayat dan Hadits Ekonomi Syariah.
5) Nasrun Harun, Fiqh Muamalah.
6) Wahbah Az-Zuhaili, Fiqih Islam Wa Adillatuhu.
5. Cara Memperoleh Data
Untuk mendapatkan data yang diperlukan dalam penelitian ini,
maka penulis menggunakan cara sebagai berikut:
a. Observasi
Teknik ini menuntut adanya pengamatan dari peneliti baik
secara langsung maupun tidak langsung terhadap objek penelitian.
Beberapa informasi yang diperoleh hasil observasi antara lain:
ruang (tempat), pelaku, kegiatan, objek, perbuatan, kejadian atau
peristiwa, waktu dan perasaan.15 Penulis akan mengamati lokasi
praktek penukaran uang dengan jumlah tidak sama di desa Drajat,
kecamatan Paciran, kabupaten Lamongan.
b. Wawancara (interview)
Wawancara merupakan salah satu teknik pengumpulan
data yang dilakukan dengan berhadapan secara langsung dengan
yang diwawancarai tetapi dapat juga diberikan daftar pertanyaan
dahulu untuk dijawab pada kesempatan lain.16 Dimana wawancara
15 Ibid., 140
16
ini dilakukan dengan 3 (tiga) pihak yang mempunyai usaha
penukaran uang dan 10 (sepuluh) pihak yang menukarkan uang di
desa Drajat, kecamatan Paciran, kabupaten lamongan.
6. Analisis Data
Hasil pengumpulan data akan dibahas dan kemudian dilakukan
analisis secara kualitatif.
a. Analisis Deskriptif, yaitu memaparkan serta menjelaskan secara
mendalam dan menganalisa terhadap semua aspek yang berkaitan
dengan masalah penelitian tentang konstruksi para pelaku akad
mengenai penukaran uang dengan jumlah yang tidak sama
berdasarkan teori hukum Islam, dengan menggunakan penalaran
Induktif.
b. Pola Pikir Induktif, merupakan prosedur yang bermula dengan
fakta, fenomena, kemudian dideskripsikan dan dianalisis
menggunakan data empiris, sehingga ditemukan suatu
pengetahuan yang secara umum diakui kebenarannya, 17
I. Sistematika Pembahasan
Untuk mendapatkan gambaran yang lebih jelas dan dapat
mempermudah mengenai isi skripsi ini, penulis membagi dalam lima bab
yang terdiri dari:
Bab pertama, membahas tentang pendahuluan yang terdiri dari:
latar belakang masalah, identifikasi masalah, rumusan masalah, kajian
pustaka, tujuan penelitian, kegunaan hasil penelitian, definisi operasional,
metode penelitian dan sistematika pembahasan.
Bab kedua, membahas tentang landasan teori terhadap penukaran
uang dengan jumlah yang tidak sama. Diantaranya, pengertian tukar
menukar uang (al-s}arf), pengertian upah (ujrah), hubungan tukar menukar
uang dengan riba.
Bab ketiga, membahas tentang praktik penukaran uang dengan
jumlah yang tidak sama. Deskripsi pemahaman para pelaku akad
mengenai penukaran uang dengan jumlah yang tidak sama.
Bab keempat, membahas tentang Analisis Tinjauan Hukum Islam
terhadap penukaran uang dengan jumlah yang tidak sama jika dikaitkan
dengan pemahaman para pelaku (studi kasus di desa Drajat, kecamatan
Paciran, kabupaten Lamongan).
Bab kelima, bab terakhir ini merupakan penutup dari pembahasan
18
BAB II
TUKAR MENUKAR UANG, UPAH (UJRAH) DAN HUBUNGAN
TUKAR MENUKAR UANG DENGAN RIBA
A. Tukar Menukar Uang (al-s}arf)
1. Pengertian Tukar Menukar Uang
Pengertian umum tentang tukar menukar adalah kegiatan saling
memberikan sesuatu dengan menyerahkan barang. Pengertian ini jika
dikaitkan dalam Islam sama saja dengan jual beli, yaitu saling
memindahkan milik dengan ganti yang dapat dibenarkan.
Istilah lain yang digunakan tukar menukar uang (jual beli uang)
dalam Islam adalah al- s}arf. Pengertian al-s}arf secara bahasa berarti
memindahkan dan mengembalikan. Sedangkan secara istilah fuqaha,
definisi al-s}arf adalah jual beli alat bayar (emas, perak dan mata uang)
dengan alat bayar sejenis atau beda jenis.1
Ulama fiqh mendefinisikan s}arf adalah sebagai memperjualbelikan
uang dengan uang yang sejenis maupun tidak sejenis. Pada masa kini,
bentuk jual beli ini banyak dijumpai dilakukan oleh bank-bank devisa
atau para money changer, misalnya jual beli rupiah dengan dolar
Amerika serikat atau dengan mata uang asing lainnya.2
1 Suqiyah Musafa’ah. DKK, Hukum Ekonomi Dan Bisnis Islam I, (Surabaya: IAIN SA Press,
2013), 130.
2 Sutan Remy Sjahdeini, Perbankan Islam dan Kedudukannya Dalam Tata Hukum Perbankan
Secara umum jual beli mata uang (al- s}arf) dalam kitab-kitab fiqh
diidentikkan dengan tukar menukar antara emas dan emas atau perak
dengan perak. Oleh karena itu dalam kitab fiqh apa saja yang menjadi
ketentuan atau syarat rukun dalam transaksi jual beli yang berlaku
juga dalam transaksi mata uang (al-s}arf). Hanya saja kategorinya lebih
khusus dari ketentuan tersebut sepanjang memenuhi ketentuan dalam
transaksi jual beli dalam hukum Islam adalah kegiatan yang ditolelir,
tetapi meski boleh, perlu dibuat semacam catatan karena pada
dasarnya hukum Islam memandang uang atau harta sebagai alat tukar
bukan komoditas, untuk memenuhi permintaan dan penawaran atau
money demand for transaction bukan spekulasi.
2. Dasar Hukum
a. Al-Qur’an
Dalam al-Qur’an tidak ada ayat yang secara khusus dan
jelas menerangkan tentang akad al-s}arf . Namun, beberapa ayat
secara umum memberikan keterangan tentang kebolehan
melakukan akad ini. Diantaranya disebutkan dalam Q.S
al-Baqarah (2) ayat 275:
...
Artinya: “...padahal Allah telah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba.3
3 Departemen Agama RI, al Qur’an dan Terjemahannya, (Semarang: PT. Karya Toha Putra,
Tafsir dari ayat ini adalah Allah menjelaskan bahwa dia
menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba, karena jual beli
mengandung manfaat bagi pribadi dan masyarakat dan karena
riba menyeret kepada eksploitasi, kebinasaan dan kesia-siaan.4
Dan dalam surat an-Nisa’ ayat 29:
Artinya: “Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu saling memakan harta sesamamu dengan jalan yang batil, kecuali dengan jalan perniagaan yang berlaku dengan suka sama-suka di antara kamu, dan janganlah kamu membunuh dirimu, Sesungguhnya Allah adalah Maha Penyayang kepadamu.”5
Menerangkan bahwa tidak boleh memakan harta sesama
muslim dengan cara apapun kecuali dengan cara perniagaan,
itupun harus suka sama suka.
b. As-sunnah
Dalam beberapa riwayat hadith disebutkan tentang
kebolehan melakukan akad al-s}arf dengan syarat terhindar dari
riba. Terdapat beberapa hadith yang menjelaskan tentang akad
ini, diantaranya adalah:
4
Syaikh Shalih bin Abdul Aziz Alusy Syaikh, Tafsir Al-Muyassar, cet-3, (Solo: An-Naba’, 2013), 185.
5
Hadits riwayat Bukhari:
َل َت
ب ع
ذلا او
َ
َب
ب
ذلا
َ
ب
إ
ل
ِ
ث
ًل
ب
ث ل
َو ،
َل
ت
ش
ف
َ ب او
ع
َض
َه
َع ا
َل
َ ب ى
ع
ض
َو ،
َل
َت ب
ع
لا او
َو ر
َق
ب لا
َو ر
ق
إ
ل
ِ
ث
ًل
ب
ث ل
َو ،
َل
ت
ش
ف
َ ب او
ع
َض
َه
َع ا
َل
َ ب ى
ع
ض
َو ،
َل
َت ب
ع
ِ او
َه
َغ ا
ئا ًب
ب ا
َ
جا
ز
اور .
ملسِو ىراخبلا
Artinya: “Janganlah engkau menjual emas ditukar dengan emas melainkan sama dengan sama, dan janganlah engkau melebihkan salah satunya dibanding lainnya. Janganlah engkau menjual perak ditukar dengan perak melainkan sama dengan sama, dan janganlah engkau melebihkan salah satunya dibanding lainnya. Dan janganlah engkau menjual salah satunya diserahkan secara kontan ditukar dengan lainnya yang tidak
diserahkan secara kontan.” (HR Bukhari dan Muslim)6
Hadith riwayat al-Bukhori dan Muslim bersumber dari
sahabat Abu Sa’id Al Khudri:
، دي عَس َِأ ََ إ َرَم ع ن باَو اَنَأ ت قَلَط ن ا :َلاَق ، ع فاَن نَع
َف
َح
د َ ث
َ
َأ ا
ن
َر س
و ل
لا
َص ل
ى
لا
َع َل
ي
َو َس
ل َم
َق
َلا
َس :
ع ت
أ
ذ َن
َيا
َ
َتا
نا
َ ي ق
لو
:
َل َت
ب ع
ذلا او
َ
َب
ب
ذلا
َ
ب
إ ،
ل
ِ ث
ًل
ب ث
ل
َو ،
لا ف
ض
َة
ب لا
ف
ض
ة
إ ،
ل
ِ ث
ًل
ب
ث ل
َل ،
ي َش
ف
َ ب ع
ض
َع َل
َ ب ى
ع
ض
َو ،
َل َت
ب ع
و
ِ ا
َغ
ئا ًب
ب ا
َ
جا
ز.
Artinya: “Janganlah kalian menjual emas dengan emas kecuali
dengan ukuran yang sama dan perak dengan perak kecuali dengan ukuran yang sama. Tidak boleh ditambah sebagian atas sebagian lainnya dan tidak boleh menjual barang yang tidak ada dengan yang ada.”7
Dalam mengamalkan hadith ini menurut ulama dari
kalangan sahabat Nabi SAW dan lainnya, kecuali hadith yang
diriwayatkan Ibnu Abbas, mereka membolehkan jual beli emas
dengan emas atau perak dengan perak dengan ukuran yang tidak
6
Abu Abdullah Muhammad bin Ismail bin Ibrahim bin al-Mughiroh bin Bardizbah al-Ju’fi al -Bukhori (Imam Bukhari), Shahih Bukhari. (t.tp., shahih: t.t), Hadith: 2031, 1196.
sama, jika pembayarannya kontan. Sebab menurutnya, riba dalam
hal ini hanya terjadi pada pembayaran yang tidak kontan.
Telah diriwayatkan dari Ibnu Abbas, bahwa ia telah
membatalkan perkataannya ini ketika menceritakan kepada Abu
Sa’id Al Khudri tentang hadith Rasulullah SAW seperti tersebut
diatas.8
Kesimpulan dari hadith diatas adalah bahwa larangan
menjual emas dengan emas, perak dengan perak baik yang sudah
dibentuk maupun yang belum dibentuk (batangan) atau yang
berbeda, selagi tidak mengikuti ukuran yang syar’i, yaitu
beratnya, jika tidak dilakukan pembayaran secara kontan dari
kedua belah pihak di tempat akad. Larangan terhadap hal itu
mengharuskan pengharamannya dan tidak sahnya akad.
c. Ijma’
Penukaran dua mata uang tertentu hukumnya sah, menurut
ijma’ ulama, seperti ucapan, “aku jual atau aku tukar kepadamu
dinar ini dengan beberapa dirham ini.” Demikian pula sah
hukumnya, penukaran dua mata uang berdasarkan sifat tertentu,
seperti ucapan, “Aku jual atau tukar 1 dinar dengan ciri-ciri
demikian dalam tanggunganku dengan 20 dirham mata uang sati
daerah dalam tanggunganmu.” Menurut pendapat yang masyhur.
Apabila seseorang mengucapkan akad s}arf secara mutlak
seperti, “Aku tukar 1 dinar kepadamu denga 20 dirham,”
sementara didaerahnya terdapat satu mata uang, atau terdapat
beberapa mata uang namun salah satunya lebih dominan, maka
secara mutla pula transaksi tersebut sah. Kemudian kedua belah
pihak menentukan mata uang masing-masing dan melakukan
serah terima sebelum meninggalkan tempat tersebut.9
Sementara itu, penukaran mata uang dalam bentuk utang
hukumnya tidak sah. Misalnya seperti ucapan, “Aku jual 1 dinar
yang menjadi tanggunganmu dengan sepuluh dirham yang
menjadi tanggunganku.” Praktik ini termasuk jual beli utang
dengan utang yang tidak diperbolehkan.
Rekayasa (hilah) dalam pengalihan kepemilikan harta
ribawi dengan jenis yang sama dalam jumlah yang lebih banyak,
seperti jual beli emas dengan emas dalam jumlah yang lebih
banyak, hukumnya boleh. Bisa juga dengan cara masing-masing
pihak memberi pinjaman kepada pihak lain lalu membebaskannya,
atau masing-masing menghibahkan nilai lebih kepada ppihak lain.
Akad demikian diperbolehkan, jika dalam transaksi jual beli,
pemberian pinjaman, dan hibah tersebut tidak mensyaratkan
pihak lain untuk melakukan suatu hal, meskipun meniatkan hal
tersebut, hukumnya makruh. Demikian pendapat ulama
Syafi’iyah.10
Ulama sepakat bahwa akad s}arf disyariatkan dengan
syarat-syarat tertentu. Yaitu:11
1) Pertukaran tersebut harus dilaksanakan secara tunai (spot)
artinya masing-masing pihak harus menerima atau
menyerahkan masing-masing mata uang pada saat yang
bersamaan.
2) Motif pertukaran adalah dalam rangka mendukung transaksi
komersial, yaitu transaksi perdagangan barang dan jasa antar
bangsa.
3) Harus dihindari jual beli bersyarat, misalnya A setuju membeli
barang dari B hari ini dengan syarat B harus membelinya
kembali pada tanggal tertentu dimasa yang akan datang.
4) Transaksi berjangka harus dilakukan dengan pihak-pihak yang
diyakini mampu menyediakan valuta asing yang
dipertukarkan.
5) Tidak dibenarkan menjual barang yang belum dikuasai atau
jual beli tanpa hak kepemilikan.
10 Ibid., 16.
11 Suqiyah Musafa’ah DKK, Hukum Ekonomi Dan Bisnis Islam I, (Surabaya: IAIN SA Press,
3. Syarat-syarat Tukar Menukar Uang
Secara umum syarat-syarat dalam tukar menukar uang (al-s}arf)
adalah:
a. Adanya serah terima antara kedua pihak sebelum berpisah diri.
Hal itu agar tidak terjatuh pada riba nasi’ah (riba
penangguhan). Apabila kedua pihak atau salah satunya berpisah
sebelum adanya serah terima kedua barang, maka akadnya
menjadi fasid menurut ulama Hanafiah, dan menjadi batal
menurut ulama lainnya karena tidak adanya syarat serah terima.12
Maksud dari berpisah diri adalah berpisahnya badan kedua
pihak yang melakukan transaksi dari majelis akad, yang satu pergi
ke satu arah dan yang lain pergi ke arah lain, atau yang satu pergi
dan yang lain tetap ditempat.
b. Apabila mata uang atau valuta yang diperjualbelikan itu dari jenis
yang sama.
Apabila barang sejenis dijual dengan sejenisnya seperti perak
dengan perak atau emas dengan emas, maka tidaklah boleh
dilakukan kecuali bila timbangan keduanya sama, meskipun
berbeda kualitas dan bentuknya dimana salah satunya lebih
berkualitas dari yang lain atau lebih bagus bentuknya.
Berdasarkan hadith Nabi SAW diatas, “Emas dengan emas,
masing-masing kadarnya sama.” Maksudnya, emas dijual dengan
emas yang sama timbangannya bukan sifatnya, karena sesuai
dengan kaidah “Emas yang bagus dan yang jelek sama saja.”13
Maka jual beli mata uang itu harus dilakukan dalam mata
uang sejenis yang kualitas dan kuantitasnta sama, sekalipun model
dari mata uang itu berbeda. Misalnya, antara mata uang rupiah
lembaran Rp 50.000 (lima puluh ribu rupiah) ditukar dengan uang
rupiah lembaran Rp 5.000 (lima ribu rupiah). Atau uang kertas
ditukar dengan uang logam atau sebaliknya.14
c. Terbebas dari hak khiya>r syarat.
Tidak diperbolehkan adanya khiya>r syarat bagi kedua belah
pihak yang melangsungkan akad atau salah satunya. Karena dalam
akad s}harf ini serah terima merupakan salah satu syarat (untuk
kepemilikan).
Apabila pihak yang mempuyai hak khiya>r menggugurkan
haknya itu di majelis kemudian kedua belah pihak berpisah tanpa
adanya serah terima, maka akadnya menjadi boleh. Hal ini berbeda
dengan pendapat Imam Zufar yang menyatakan bahwa apabila
khiya>r itu masih berlaku sampai keduanya berpisah maka akadnya
dengan jelas dinyatakan fasid.15
13 Ibid., 281
14 Sutan Remy Sjahdeini, Perbankan Islam dan Kedudukannya Dalam Tata Hukum Perbankan
Indonesia, (Jakarta: PT Pustaka Utama Grafiti, 1999), 90.
d. Dengan akad s}harf tidak boleh terdapat tenggang waktu.
Bahwa antara penyerahan mata uang yang saling
dipertukarkan, karena bagi sahnya s}harf penguasaan objek akad
harus dilakukan secara tunai dan perbuatan saling menyerahkan
itu harus telah berlangsung sebelum kedua belah pihak yang
melakukan jual beli valuta itu berpisah badan.
4. Rukun Tukar Menukar Uang
Adapun rukun yang harus dipenuhi dalam transaksi al-s}arf sebagai
berikut:16
a. Pelaku akad, yaitu ba’i (penjual) adalah pihak yang memiliki
valuta untuk dijual, dan musytari (pembeli) adalah pihak yang
memerlukan dan akan membeli valuta.
b. Objek akad, yaitu s}arf (valuta) dan si’rus s}arf (nilai tukar).
c. S}ighat, yaitu ijab dan qabul.
B. Upah (Ujrah)
1. Pengertian Upah (ujrah)
Secara etimologi, kata ijarah berasal dari kata ajru yang berarti
‘iwadhu pengganti. Oleh karena itu, thawab “pahala” disebut juga
dengan ajru “upah.”17 Pendapatan yang diterima dari transaksi ijarah
disebut ujrah. al-ujrah ialah imbalan yang diperjanjikan dan dibayar
oleh pengguna manfaat sebagai imbalan atas manfaat yang
diterimanya.18
Terdapat definisi lain tentang ujrah, yaitu imbalan yang diberikan
atau yang diminta atas suatu pekerjaan yang dilakukan.19 Menurut
lampiran SK DIR BI yang dimaksud dengan ujrah adalah imbalan
yang diberikan atau yang diminta atas suatu pekerjaan yang
dilakukan. Dengan kata lain, ujrah tidak lain adalah fee yang dikenal
dalam kegiatan bank konvensioanal atau lembaga pembiayaan
konvensional.20
Penjelasan lain tentang definisi pengupahan yang bermakna
membayar kompensasi atas apa yang memberi manfaat, entah itu
karena suatu pekerjaan atau selainnya. Yang menjadi fokus pada
pengertian ini adalah pengupahan yang berkaitan dengan pekerjaan.
Dalam melakukan akad pengupahan ini meliputi ijab dan qabul.
Karena dengan ijab dan qabul terjadilah kontrak diantara kedua belah
pihak.21
Dari definisi-definisi yang sudah dijelaskan diatas, dapat
disimpulkan bahwa upah atau ujrah adalah hasil yang diperoleh atas
suatu pekerjaan yang sudah dilakukan oleh seseorang, yang diawali
18 Sunarto Zulkifli, Panduan Praktis Transaksi Perbankan Syariah, (Jakarta: Zikrul Hakim, 2007),
44.
19 Ascarya, Akad & Produk Bank syariah, (Jakarta: Rajawali Pers, 2013), 110. 20
Sutan Remy Sjahdeini, Perbankan Islam dan Kedudukannya Dalam Tata Hukum Perbankan Indonesia, (Jakarta: PT Pustaka Utama Grafiti, 1999), 104.
dengan sebua perjanjian kerja, baik secara lisan maupun secara tulisan
(kontrak).
2. Dasar Hukum
a. Al-Qur’an
Allah berfirman dalam surah al-Kahfi ayat 77:
Artinya: “Maka keduanya berjalan; hingga tatkala keduanya sampai kepada penduduk suatu negeri, mereka minta dijamu kepada penduduk negeri itu, tetapi penduduk negeri itu tidak mau menjamu mereka, kemudian keduanya mendapatkan dalam negeri itu dinding rumah yang hampir roboh, Maka Khidhir menegakkan dinding itu. Musa berkata: “Jikalau kamu mau, niscaya kamu
mengambil upah untuk itu.”22
Musa khidhir berjalan hingga sampai kepada penduduk
suatu negeri, lalu keduanya minta makanan dari mereka sebagai
tamu, tetapi penduduknya menolak menjamu keduanya.
Kemudian keduanya mendapati di negeri itu dinding yang
condong yang hampir roboh, maka Khidhir meluruskan
kemiringannya hingga menjadi tegak. Musa berkata, “sekiranya
kamu mau, niscaya kamu bisa mengambil upah dari pekerjaan ini
yang dapat kamu belanjakan untuk memperoleh makanan kita,
karena mereka tidak menjamu kita.”23
22
Departemen Agama RI, al Qur’an dan Terjemahannya, (Semarang: PT. Karya Toha Putra, 2002), Q.S al-Kahfi: 18: 77, 413.
23 Syaikh Shalih bin Abdul Aziz Alusy Syaikh, Tafsir Al-Muyassar, cet-3, (Solo: An-Naba’,
Firman Allah yang membahas tentang upah juga terdapat
pada surah al-Baqarah ayat 233:
Artinya: “Para ibu hendaklah menyusukan anak-anaknya selama dua tahun penuh, Yaitu bagi yang ingin menyempurnakan penyusuan. dan kewajiban ayah memberi Makan dan pakaian kepada Para ibu dengan cara ma'ruf. seseorang tidak dibebani melainkan menurut kadar kesanggupannya. janganlah seorang ibu menderita kesengsaraan karena anaknya dan seorang ayah karena anaknya, dan warispun berkewajiban demikian. apabila keduanya ingin menyapih (sebelum dua tahun) dengan kerelaan keduanya dan permusyawaratan, Maka tidak ada dosa atas keduanya. dan jika kamu ingin anakmu disusukan oleh orang lain, Maka tidak ada dosa bagimu apabila kamu memberikan pembayaran menurut yang patut. bertakwalah kamu kepada Allah dan ketahuilah bahwa Allah Maha melihat
apa yang kamu kerjakan.”24
Yang dimaksud dengan ayat ini adalah untuk menyerahkan
biaya penyusuhan anak balita itu dengan sebuah kesepakatan yang
24 Departemen Agama RI, al Qur’an dan Terjemahannya, (Semarang: PT. Karya Toha Putra,
tidak berujung pada perselisihan, maksudnya takutlah kepada
Allah dengan tidak melakukan tindakan yang merugikan dan tidak
menyulut perselisihan termasuk diantaranya menjalin kesepakatan
dam menyulut perselisihan yang merugikan.25
b. As-Sunnah
Hadith yang diriwayatkan oleh Bukhari dan Muslim dari
Ibnu Abbas bahwa Nabi SAW bersabda,
نَع م ل س َِو ي راَخ ب لا ىَوَرَو
با
ن
َع ب
َأ سا
ن
لا
ب
َص ل
لا ى
َع َل
ي
َو
َس ل
َم
َمَجَت ح إ
َر جَأ َما ج ْا يَط عَأَو
Artinya: “Berbekamlah kalian, berikanlah upah bekamnya kepada tukang bekam tersebut.”26
c. Ijma’
Menurut mazhab Hanafi bahwa upah tidak dibayarkan hanya
dengan adanya akad. Boleh untuk memberikan syarat
mempercepat dan menangguhkan sisanya, sesuai dengan
kesepakatan kedua belah pihak. Jika akadnya atas jasa, maka
wajib membayar upah pada saat jasa telah dilakukan. Apabila
akad dilaksanakan tanpa syarat menegenai penerimaan bayaran
dan penangguhannya, Abu Hanifah dan Malik berpendapat,
25
Abu Thahir Muhammad bin Ya’kub Al-Fairuzabadi, Tafsir Ibnu ‘Abbas, (Bandung: Pustaka Darul Ilmi, 2008), 179.
26 Abu Abdullah Muhammad bin Ismail bin Ibrahim bin al-Mughiroh bin Bardizbah al-Ju’fi al
“Wajib diserahkan berangsur, sesuai dengan manfaat yang
diterima”.27
Sebagaimana yang dijelaskan dalam ayat al-Qur’an dan
haidith diatas terdapat beberapa hal yang harus dilakukan dalam
perjanjian kerja dan upah kerja, yaitu:
1) Sebelum melakukan pekerjaan harus ada akad atau transaksi.
2) Terbentuknya kerja sama karena adanya pekerja dan pemilik kerja.
3) Menjelaskan jenis dan waktu pekerjaan.
4) Kejelasan dalam memberi upah atau gaji.
5) Waktu pembayaran diberikan setelah selesai pekerjaan atau sesuai
dengan kesepakatan awal.
3. Jenis Ijarah Menurut Obyeknya
Berdasarkan obyeknya, ijarah terdiri dari:28
a. Ijarah dimana obyeknya manfaat dari barang, seperti sewa mobil,
sewa rumah, dan lain-lain.
b. Ijarah di mana obyeknya adalah manfaat dari tenaga seseorang
seperti jasa taksi, jasa guru, dan lain-lain.
4. Syarat-syarat Upah (ujrah)
Upah itu bisa dinyatakan sah jika memenuhi syarat-syarat
sebagai berikut:29
27 Sayyid Sabiq, Fiqih Sunnah, (Jakarta: Pena Pundi Aksara, 2006), 209.
a. Merelakan kedua pihak pelaku akad. Apabila salah satu pihak
dipaksa untuk melakukan akad, maka akadnya dinyatakan tidak
sah.
b. Mengetahui manfaat upah tersebut dengan jelas guna mencegah
terjadinya fitnah. Cukup dengan penjelasan tentang pengupahan
yang dilakukan tersebut.
c. Yang menjadi obyek akad dapat diserahterimakan pada saat akad,
baik secara fisik atau definitif.
d. Upah tersebut bisa diserahterimakan dan bernilai manfaat.
e. Manfaat dari upah tersebut status hukumnya mubah, bukan
termasuk yang diharamkan.
5. Rukun Ujrah
a. Lafal. Lafal itu mengandung arti izin kepada yang akan bekerja
dan tidak ditentukan waktunya.
b. Orang yang menjanjikan memberikan upah.
c. Pekerjaan.
d. Upah harus jelas. Telah ditentukan dan diketahui oleh orang yang
melakukan pekerjaan.30
C. Hubungan Tukar Menukar Uang Dengan Riba
1. Pengertian Riba
Riba/al-riba> secara kebahasaan (etimologi) berarti “tambahan”.
Secara linguistik, riba juga berarti “tumbuh berkembang, meningkat,
membesar”. Maksud riba dalam ayat al-Qur’an menurut Ibn al-‘Arabi
al-Maliki dalam kitabnya ahkam al-Qur’an, sebagaimana yang
dikemukakan oleh syafi’i Antonio:31
ةَغ للا ِ اَبِرلَا
ض وَع اَهَلَ باَق ي ََ ةَداَي ز ِل ك ةَيَ ْا ِ ب داَر م لاَو ةَداَيِزلا َو
Artinya: “Pengertian riba secara bahasa ialah tambahan, sedangkan
yang dimaksud dengan riba dalam ayat ialah setiap penambahan yang diambil tanpa adanya satu transaksi pengganti atau penyeimbang yang dibenarkan syariah.”
Maksud transaksi pengganti atau penyeimbang adalah transaksi
perdagangan atau komersial yang membenarkan adanya tambahan
tersebut secara adil seperti transaksi jual beli, gadai, sewa, atau bagi
hasil. Dalam transaksi sewa, penyewa membayar uang sewa karena
adanya manfaat sewa yang dinikmati, termasuk menurunnya nilai
ekonomi suatu barang karena pemanfaatan oleh penyewa. Dalam jual
beli, pembeli membayar harga atas imbalan barang yang diterimanya.
Demikian juga halnya bagi hasil dalam suatu perkongsian,
masing-masing berhak mendapatkan keuntungan seperti juga menanggung
kerugian karena pernyataan modal.32
31 Syukri Iska, Sistem Perbankan Syariah Indonesia dalam Perspektif Fikih Ekonomi,
(Yogyakarta: Fajar Media Press, 2014), 215.
Menurut imam Syafi’i Riba adalah akad yang terjadi dalam
penukaran barang-barang tertentu yang tidak bisa diketahui sama atau
tidaknya menurut syara dan terlambat menerimanya.33
2. Dasar Hukum Riba
a. Al-Qur’an
Al-Qur’an menolak bahwa anggapan riba yang pada
zahirnya seolah-olah menolong mereka yang memerlukan, sebagai
suati perbuatan untuk mendekatkan diri kepada Allah. Allah SWT
berfirman pada Q.S ar-Ruum ayat 39:
Artinya: “dan sesuatu Riba (tambahan) yang kamu berikan agar Dia bertambah pada harta manusia, Maka Riba itu tidak menambah pada sisi Allah. dan apa yang kamu berikan berupa zakat yang kamu maksudkan untuk mencapai keridhaan Allah, Maka (yang berbuat demikian) Itulah orang-orang yang melipat gandakan (pahalanya).”34
Tafsir dari ayat ini adalah harta yang kamu berikan sebagai
hutang dengan tujuan mendapatkan riba, dan mencari tambahan
dan hutang tersebut, agar ia tumbuh dan meningkat pada
harta-harta manusia, maka ia disisi Allah tidak bertambah, karena Allah
justru membatalkan dan menghancurkannya. Sementara apa yang
kamu berikan dalam bentuk zakat dan sedekah kepada
orang-orang yang berhak menerima demi mencari keridhaan Allah dan
33 Marzuki Yahya, Panduan Fiqh Imam Syafi’i, (Jakarta: Al-Maghfiroh, 2013), 88.
34 Departemen Agama RI, al Qur’an dan Terjemahannya, (Semarang: PT. Karya Toha Putra,
pahala dari-Nya, maka inilah yang diterima Allah dan
dilipatgandakan untuk kalian dengan pelipatgandaan yang
banyak.35
Allah juga melarang orang-orang untuk memakan riba
dengan berlipat ganda. Seperti dalam Q.S al-Imraan ayat 130:
Artinya: “Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu memakan Riba dengan berlipat ganda dan bertakwalah kamu kepada Allah supaya kamu mendapat keberuntungan.”36
Yang dimaksud Riba pada ayat ini ialah Riba nasi'ah.
menurut sebagian besar ulama bahwa Riba nasi'ah itu selamanya
haram, walaupun tidak berlipat ganda. Riba nasiah yang berlipat
ganda yang umum terjadi dalam masyarakat Arab zaman jahiliyah.
Diturunkan ayat ini karena, Al-Faryabi meriwayatkan dari
mujathid, dia berkata: orang-orang Arab biasa melakukan
transaksi jual beli hingga tenggang waktu tertentu. Jika telah jatuh
tempo dan yang bersangkutan tidak bisa melunasi, mereka tambah
harganya dan mereka perpanjang temponya.
Al-Faryabi juga meriwayatkan dari ‘Atha, dia berkata:
orang-orang Tsaqif menghutangkan uang kepada orang-orang
35
Syaikh Shalih bin Abdul Aziz Alusy Syaikh, Tafsir Al-Muyassar, cet-3, (Solo: An-Naba’, 2013), 28.
36
jahiliyah pada zaman jahiliyah. Setelah tempo penagihan datang,
dan yang berhutang belum bisa membayarnya, mereka berkata,
“Kalian bisa diberi temponlahi, namun harus membayar bunganya
kepada kami.”37
Allah dengan jelas dan tegas mengharamkan apapun jenis
tambahan. Q.S al-Baqarah ayat 280-281:
Artinya: “Dan mereka berkata: “Kami sekali-kali tidak akan disentuh oleh api neraka, kecuali selama beberapa hari saja." Katakanlah: “Sudahkah kamu menerima janji dari Allah sehingga Allah tidak akan memungkiri janji-Nya, ataukah kamu hanya mengatakan terhadap Allah apa yang tidak kamu ketahui? (Bukan demikian), yang benar: Barangsiapa berbuat dosa dan ia telah diliputi oleh dosanya, mereka Itulah penghuni neraka, mereka
kekal di dalamnya.”38
Tafsir dari ayat 280 ini adalah bila pihak pemikul hutang
tidak mampu untuk melunasi, maka berikanlah tenggang waktu
kepadanya sampai Allah memberikan kemudahan kepadanya,
sehingga dia bisa menunaikan kewajibannya kepada kalian. Bila
kalian tidak menuntut harta pokok, baik seluruhnya atau sebagian
37
Abu Thahir Muhammad bin Ya’kub Al-Fairuzabadi, Tafsir Ibnu ‘Abbas, (Bandung: Pustaka Darul Ilmi, 2008), 301.
38 Departemen Agama RI, al Qur’an dan Terjemahannya, (Semarang: PT. Karya Toha Putra,
darinya dan menggugurkannya maka hal ini lebih baik bagi kalian,
bila kalian mengetahui keutamaan hal itu dan bahwa ia lebih baik
bagi kalian didunia dan akhirat.
Sedangkan tafsir dari ayat 280 adalah takutlah wahai
manusia terhadap sesuatu hari dimana pada saat itu kalian kembali
kepada Allah, yaitu Hari Kiamat, dimana kalian menghadap
kepada Allah untuk menghisab kalian. Dia akan membalas
masing-masing orang dari kalian sesuai dengan amal
perbuatannya, bila baik maka balasannya baik, bila buruk maka
buruk pula balasannya tanpa ada yang dizhalimi. Ayat ini
mengandung petunjuk agar meninggalkan usaha-usaha riba yang
diharamkan oleh Allah, menyempurnakan iman dan
tuntutan-tuntutannya berupa mendirikan shalat, menunaikan zakat dan
melakukan amal-amal s}ahih.39
b. Ijma’
Ibnu Manzur (711 H/1311 M) dalam karya besarnya kamus
Arab Lisan al-‘Arab menjelaskan bahwa, apa yang dilarang adalah
nilai tambah, manfaat atau keuntungan yang diterima atas
pinjaman yang diberikan. Semenjak dahulu, kata riba sudah
dipahami sebagai suatu bentuk tambahan, yang disyaratkan untuk
39
dibayar oleh si peminjam kepada orang yang meminjamkan atas
nilai pokok pinjaman.40
Mujtahid meriwayatkan bahwa riba yang dilarang oleh Allah
SWT adalah yang dipraktikkan pada masa jahiliyyah. Seseorang
yang mempunyai piutang kepada orang lain, kemudian peminjam
berkata kepadanya “untukmu tambahan sekian sebagai imbalan
penundaan pembayaran,” maka ditundalah pembayaran tersebut
untuknya.41
Setelah mengetahui kejelasan tentang riba, bahwa sesungguhnya
semua praktik yang mengandung riba itu suatu penganiayaan dan
penindasan terhadap orang-orang yang membutuhkan dan yang
seharusnya mendapatkan uluran dana.
3. Jenis-jenis Riba
Dalam ilmu fikih dikenal tiga jenis riba, yaitu:42
a. Riba Fadhl
Riba fadhl yaitu riba yang timbul akibat pertukaran barang
sejenis yang tidak memenuhi kriteria sama kualitasnya, sama
kuantitasnya dan sama waktu penyerahan. Pertukaran semisal ini
mengandung gharar, yaitu ketidakjelasan bagi kedua belah pihak
akan nilai masing-masing barang yang dipertukarkan.
40 Dimyauddin Djuwaini, Pengantar Fiqih Muamalah, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2008), 193. 41 Muhammad Ibnu Jabir, Jami’ Al Bayan Fi Tafsir al-Quran, jilid IV, 90 Dalam Shihab,
Membumikan al-Quran, 262.
42 Adiwarman A. Karim, Bank Islam Analisis Fiqh dan Keuangan, (Jakarta: Rajawali Pers, 2009),
Riba fadhl juga bisa timbul dari transaksi barter, karena
adanya kesulitan untuk mengukur nilai dari barang yang
dipertukarkan secara tepat. Rasulullah SAW tidak
menganjurkanpertukaran (barter) dalam ekonomi, dan
mempersyaratkan bahwa komoditas yang dipertukarkan secara
barter, harus dijual terlebih dahulu secara cash, baru kemudian
dipergunakan untuk membeli komoditas yang dibutuhkan.
Penyebab terakhir dari terjadinya riba fadhl adalah yang
paling banyak mendapatkan perhatian dari para ukama fiqh.
Banyak hadith shahih yang menyatakan dengan jelas tentang hal
ini. Diantaranya, jika komoditas sejenis dipertukarkan satu sama
lainnya, maka keduanya harus memiliki persamaan kualitas dan
kuantitas, dan dilakukan secara cash. Jika komoditas yang
dipertukarkan berbeda, baik dalam ukuran maupun kuantitasnya,
maka hal itu boleh saja dilakukan, asalkan secara cash.43
Menurut Sayyid Sabiq, enam jenis barang sebagaimana
disebut dalam hadith merupakan kebutuhan pokok dalam
memenuhi keperluan hidup manusia. Emas dan perak merupakan
alat tukar untuk menentukan standar harga barang. Sedangkan
empat yang lainnya merupakan keperluan pokok dalam kehidupan
manusia.44
43
Dimyauddin Djuwaini, Pengantar Fiqih Muamalah, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2008), 200.
44
Ada beberapa bentuk jual beli yang dilarang oleh
Rasulullah SAW karena dapat digolongkan kepada riba, seperti
jual beli hewan dengan daging (hewan yang telah mati), jual beli
buah basah dengan buah kering, dan jual beli ‘inah.
b. Riba Nasi’ah
Riba nasi’ah yaitu riba yang timbul akibat utang piutang
yang tidak memenuhi kriteria untung muncul bersama resiko dan
hasil usaha timbul bersama biaya. Riba ini bermakna penambahan
bersyarat yang diperuntukkan bagi yang memberi hutang, yang
diperoleh dari orang yang berhutang karena adanya penangguhan
masa pembayaran.
Dalam ungkapan lain, Sa’id Sa’ad Marthan menjelaskan
pengertian yang dikemukakan Sayyid Sabiq, bahwa tambahan itu
tanpa melibatkan ganti rugi. Riba ini banyak terjadi pada masa
Jahiliyah dan diharamkan berdasarkan al-Qur’an, Sunnah dan
Ijma’ para Imam.45
4. Hubungan Tukar Menukar dengan Riba
Riba adalah suatu