• Tidak ada hasil yang ditemukan

IMPLEMENTASI KAIDAH AL ‘ADAH MUHAKKAMAH DALAM PERUBAHAN SIKLUS HAID PERSPEKTIF FIKIH SHAFI’I.

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "IMPLEMENTASI KAIDAH AL ‘ADAH MUHAKKAMAH DALAM PERUBAHAN SIKLUS HAID PERSPEKTIF FIKIH SHAFI’I."

Copied!
59
0
0

Teks penuh

(1)

IMPLEMENTASI KAIDAH

AL ‘A>D

AH

MUH}AKKAMAH DALAM

PERUBAHAN SIKLUS HAID PERSPEKTIF FIKIH SH>>

AFI’I

>

TESIS

Diajukan untuk Memenuhi Sebagian Syarat

Memperoleh Gelar Magister dalam Program Studi Ilmu Keislaman

Konsentrasi Shari’ah

Oleh:

Abdur Rohman Falahi (F02212001)

KONSENTRASI SHARI’

AH

PROGRAM PASCASARJANA

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SUNAN AMPEL

SURABAYA

(2)
(3)
(4)
(5)
(6)

ABSTRAK

Judul Tesis :Implementasi Kaidah Al-‘A>dah Muh}akkamah Dalam Perubahan

Siklus Haid Perspektif Fikih Syafi’i

Penulis :Abdur Rohman Falahi

Banyak hal yang membuka peluang terhadap berbagai penafsiran shari’ah

yang terdapat dalam al-Qur’an dan al-Sunnah. Segala hal yang berkenaan dengan

haid pun tidak lepas dari berbagai penafsiran ulama fiqh. Tesis ini menganalisis

tentang urgensi kaidah fikih al-‘A>dah Muh}akkamah dalam penetuan hukum haid,

juga mengenai pandangan dan pemikiran fikih Sh>afi’i permasalahan haid

khususnya pada masalah wanita yang haidnya mengalami perubahan siklus serta akibat hukum yang ditimbulkannya.

Penelitian ini menggunakan jenis penelitian kualitatif yang menempatkan

riset pustaka (library reseach) sebagai eksplorasi sumber datanya, yakni peneliti

mengacu dan menelaah pada data-data karya ilmiah berupa kitab-kitab kuning klasik dan modern serta buku-buku yang berhubungan dengan permasalahan haid. Penelitian ini menggunakan metode analisis interaktif. Artinya analisis dilakukan secara simultan dan terus menerus sejak pengumpulan data dilakukan hingga selesainya pengumpulan data dalam waktu tertentu melalui proses data reduction, data display dan conclution

Hasil penelitian ini menyimpulkan bahwa kaidah Al-‘A>dah Muhakkamah berperan penting dalam kaitannya menetapkan hukum haid pada wanita yang mengalami perubahan siklus darah haidnya. Oleh karena itu jika haid wanita mengalami perubahan setiap bulannya maka darah yang dihukumi haid adalah darah yang keluar sesuai kebiasaanya pada bulan-bulan sebelumnya. Sehingga akibat hukum yang ditimbulkan adalah ketidak bolehan melaksanakan hal-hal yang diharamkan bagi wanita yang sedang haid, seperti shalat, puasa, bersetubuh, t}awa>f, t}alaq, dan berdiam diri di masjid>.

(7)

DAFTAR ISI

Halaman

SAMPUL DALAM ... i

PERNYATAAN KEASLIAN ... ii

PERSETUJUAN PEMBIMBING ... iii

PENGESAHAN TIM PENGUJI ... iv

MOTTO ... v

ABSTRAK ... vi

KATA PENGANTAR ... vii

PEDOMAN TRANSLITERASI ... ix

DAFTAR ISI ... x

BABI PENDAHULUAN ... 1

A. Latar Belakang Masalah ... 1

B. Identifikasi Masalah ... 5

C. Rumusan Masalah ... 6

D. Tujuan Penelitian ... 6

E. Kegunaan Penelitian ... 6

F. Kerangka Teoritik ... 7

G. Penelitian Terdahulu ... 11

H. Metode Penelitian ... 13

I. Sistematika Pembahasan ... 16

BAB II TINJAUAN UMUM KAIDAH AL-‘A>DAH MUHAKKAMAH .... 18

(8)

B. Sejarah Munculnya al-‘A>dah ... 22

C. Pengertian al-‘A>dah ... 26

D. Kaidah Cabang al-‘A>dah Muhakkamah ... 31

E. Kriteria al-‘A>dah dalam Penetapan Dasar Hukum ... 38

BAB III TINJAUAN UMUM TENTANG HAID ... 45

A. Pengertian Haid ... 45

B. Proses Terjadinya Haid ... 53

C. Implementasi Kaidah al-‘>Adah Muh}akkamah dalam Perubahan Siklus Haid ... 63

D. Gangguan Haid dan Hal-hal Yang Mempengaruhi Perubahan Siklus Haid ... 67

BAB IV ANALISIS IMPLEMENTASI KAIDAH AL-‘A>DAH MUHAKKAMAH PADA PERUBAHAN SIKLUS HAID ... 73

A. Implementasi Kaidah al-‘A>dah Muh}akkamah Dalam Perubahan Siklus Haid ... 73

B. Urgensi Kaidah al-‘A>dah Muh}akkamah Dalam Penetapan Haid Pada Wanita ... 80

C. Ketentuan Hukum Pasca Perubahan Siklus Haid ... 83

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN ... 89

(9)

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Istilah menstruasi dalam literatur Islam disebut haid. Haid secara

etimologi berarti sesuatu yang mengalir1. Sedangkan secara terminologi haid merupakan darah yang mengalir dari pangkal rahim wanita setelah umur baligh dalam keadaan sehat2. Rahim merupakan salah satu organ yang hanya dimiliki oleh perempuan. Berbagai persoalan muncul

dikarenakan perempuan memiliki rahim. Persoalan yang dihadapi

perempuan memiliki implikasi yang luas dalam penataan sosial. Karena

memiliki rahim, perempuan harus hamil, melahirkan, menstruasi dan

menopause. Fakta biologis ini secara langsung membedakan perempuan

dengan laki-laki secara kodrati.

Masalah haid, termasuk materi yang kedudukannya sangat penting

dalam Islam, permasalahan haid masih dikategorikan sebagai materi yang

sangat rumit. Karena untuk mengetahui keterangan seputar materi yang

tercakup di dalamnya, diperlukan ketekunan dalam menghafal

hadith-hadith Nabi dan athar-athar sahabat yang berbicara tentangnya. Di

samping itu, diperlukan juga pemahaman yang mendalam dengan

1

Ah}mad Warson Munawwir, al-Munawwir Kamus Arab-Indonesia (Surabaya: Pustaka Progresif,1997), 314.

(10)

2

menelaah penjelasan-penjelasan yang diberikan oleh para pakar yang

secara khusus mendalami masalah tersebut3.

Masalah haid dijelaskan dalam QS Al-Baqa>rah ayat 222:

ع ك لأسي

ا ضيح لا يف ءاس لا ا ل تعاف ًذأ ه لق ضيح لا

ّا إ ّا مكرمأ ثيح م ه تأف ر طت اذإف ر طي تح ه برقت

بحي يبا تلا بحي

ير طت لا

Mereka bertanya kepadamu tentang haid. Katakanlah, “haid itu adalah kotoran.” Oleh sebab itu, hendaklah kamu menjauhkan diri dari wanita di waktu haid dan janganlah kamu mendekati mereka sebelum mereka suci.

Apabila mereka telah suci, maka campurilah mereka itu di tempat yang

diperintahkan Allah kepadamu. Sesungguhnya Allah menyukai

orang-orang yang bertaubat dan menyukai orang-orang-orang-orang yang mensucikan diri4.

Pengetahuan tentang haid beserta permasalahan-permasalahan yang terdapat di dalamnya sangatlah penting diketahuai dan dipelajari oleh semua orang khususnya bagi seorang wanita, sehingga kaum wanita wajib belajar tentang hukum-hukum haid. Jika tidak, maka suami atau wali wanita tersebut yang mengerti tentang hukum haid wajib mengajarkan. Adapun jika suami tidak mengerti, maka suami tersebut harus mengizinkan isterinya untuk belajar kepada orang yang mengerti.

3Abdu al-Rahman Muhammad Abdulla>h al-Rifa>’i, Masa>’il al-Haid Wa al-Nifa>s Wa al-Istiha>d}hah

Fi al-Sunnati al-Nabawiy>. Terj. Mahfud Hidayat Lukman dan Ahmad Muzayyin Safwan, Tuntunan Haidh, Nifas & Darah Penyakit Tinjauan Fiqih dan Medis, (Jakarta: Mustaqiim, 2003), 20-21.

4

(11)

3

Haram hukumnya bagi suami melarang isteri yang tengah belajar ilmu haid, kecuali jika suami tersebut belajar kemudian mengajarkan kepada isteri5. Bahkan menurut al-Dimya>ti6, mengetahui hukum-hukum haid sama halnya mempelajari setengah ilmu agama.

Terdapat beberapa permasalahan dalam haid diantaranya adalah mengenai masa sedikitnya haid (aqal al-h}ayd}), umumnya masa haid (gha>lib al-h}ayd}), dan sebanyak-banyaknya masa haid (akthar al-h}ayd}). Permasalahan-permasalahan tersebut tidak dijelaskan secara rinci dalam al-Qur’>an dan al-Hadi>th, permasalahan tersebut ditetapkan melalui metode istinba>t} yang berdasarkan istiqra>’ (kesimpulan dari khusus ke umum) yang dilakukan Imam al-Sha>fi’i> melalui research yang dilakukan terhadap beberapa wanita di daerah dan pada zamannya7.

Begitu juga mengenai permasalahan tentang kebiaasaan haid yang terjadi pada wanita dalam setiap bulannya yang disebut ‘>adat al-h}ayd}. Kebiasaan haid (‘>adat al-h}ayd)}, tidak dijelaskan secara rinci dalam

al-Qur’>an dan al-Hadi>th. ‘A>dat al-h}ayd} disinggung dalam beberapa kaidah fikih (al-Qawa>id al-Fiqhiyyah)8 yaitu masuk dalam kaidah lima dasar

5Abu> Muh}ammad >A{hmad Ramli> ‘Abd al-Maji>d, Dali>l al-Mah}i>d} (Gresik: ar-Rau>d}ah, 1425 H/ 2004 M), 9.

6Abu> Bakr Ibn Uthma>n bin Muhammad al-Dimya>t}i> , I’a>nah at-T{a>libi>n, Juz 3 (Beirut: Da>r al-Fikr, t.t), 214.

7

Ibra>him al Ba>ju>ri>, Ha>syiyah al-Ba>ju>ri> ‘ala ibn Qa>sim al-Gha>zy> (Surabaya: al-Hida>yah,tt), 111

8

Qawa>id secara bahasa adalah prinsip dasar atau beberapa asas dari segala sesuatu. Sedangkan

Fiqhiyyah berarti pemahaman mendalam dalam suatu masalah. Secara istilah Qawa>id al-Fiqhiyyah

merupakan prinsip-prinsip umum terhadap suatu hukum yang didapat melalui pemikiran yang mendalam dari dalil-dalil yang terperinci yang mencakup keseluruhan. (Lihat Mawa>hib

(12)

4

(Qawa>id al-K}hamsah al-Us}uliyah). Salah satu kaidah tersebut adalah al

‘a>dah muh}akkamah.

Kaidah ini merupakan salah satu induk dari kaidah-kaidah fiqh

yang diambil dari kebiasaan-kebiasaan baik yang tumbuh dan berkembang

di dalam masyarakat, dapat dijadikan dasar dalam menetapkan suatu

hukum dengan melihat sifat dari hukum itu sendiri yang senantiasa

mengalami perubahan sesuai dengan nilai-nilai yang berkembang di dalam

masyarakat.

Kebiasaan lama keluarnya darah haid pada seoang wanita dalam

setiap bulannya dapat dijadikan sandaran penentuan masa haid. Misalnya

kalau setiap bulan darah haidnya keluar selama 5 hari, maka berarti adat

haidnya 5 hari demikian seterusnya9. Pada contoh tersebut bisa ditentukan dengan mudah manakala kebiasaan keluar darah haidnya teratur dalam

setiap bulannya.

Penentuan masa haid akan mengalami kesulitan ketika dalam

setiap bulan mengalami perubahan masa keluarnya darah haid, hal ini

dikarenakan banyak faktor, menurut artikel kesehatan menyebutkan

pengaruh obat-obatan adalah faktor dominan yang mempengaruhi

perubahan siklus haid dalam setiap bulannya10. Permasalan seperti tersebut di atas memerlukan penelitian lebih lanjut yaitu sejauh mana kaidah

al-‘A>dah Muh}akkamah menyikapi permasalahan ini kaitannya dengan perubahan siklus haid yang dialami oleh seorang wanita.

9

Ibra>him al Ba>ju>ri>, Ha>syiyah al-Ba>ju>ri> ‘ala ibn Qa>sim al-Gha>zy,> (Surabaya: al-Hida>yah,tt), 111. 10

(13)

5

B. Identifikasi Masalah

Dari paparan latar belakang masalah di atas dapat penulis jelaskan

ruang lingkup dan identifikasi masalah penelitian ini. Masalah-masalah

dalam penelitian ini meliputi keberadaan kaidah fikih Al-‘>adah

Muh}akkamah dalam menentukan haidnya seorang wanita yang mengalami perubahan siklus haid, masalah lainnya yaitu meliputi kajian kaidah fikih

al-‘>Adah Muh}akkamah dalam menyikapi perubahan siklus haid pada wanita menurut pemikiran fikih haid mad}zhab Syafi’i. Hal inilah yang menggugah penelitian ini untuk kemudian dipaparkan secara jelas

permasalahan-permasalahan yang berkaitan dengan perubahan kebiasaan

haid (‘a>dat al-h}ayd}) seorang wanita sekaligus akibat hukum yang ditimbulkannya dengan mengacu pendapat-pendapat para pakar dan ulama

mazhab Syafi’i.

C. Rumusan Masalah

Dari pembatasan masalah yang telah dilakukan, maka dapat

dirumuskan beberapa rumusan masalah sebagai berikut:

1. Bagaimanakah urgensi kaidah al-‘>Adah Muh}akkamah dalam penentuan hukum haid?

2. Bagaimanakah peranan kaidah al-‘>Adah Muh}akkamah dalam perubahan siklus haid menurut pemikiran fikih Syafi’i?

3. Bagaimanakah implementasi kaidah al-‘>Adah Muh}akkamah dalam

(14)

6

D. Tujuan Penelitian

Tujuan penelitian ini adalah:

1. Untuk menganalisis urgensi kaidah al-‘>Adah Muh}akkamah dalam penentuan hukum haid.

2. Untuk menganalisis pemikiran fikih Syafi’i tentang kaidah al-‘>Adah

Muh}akkamah terhadap perubahan siklus haid. E. Kegunaan Penelitian

Penelitian ini diharapkan mampu memberikan manfaat, di

antaranya sebagai berikut:

1. Penelitian ini menambah khazanah keilmuan yang luas tentang persoalan haid dan implikasinya terhadap kaidah fikih al-‘>Adah

Muh}akkamah.

2. Penelitian ini juga memberikan manfaat bagi masyarakat luas khususnya wanita yang berkaitan langsung dengan permasalahan yang dibahas dalam penelitian ini, yaitu tentang perubahan siklus haid pada wanita.

F. Kerangka Teoritik 1. Pengertian ‘Urf

Kata ‘Urf secara etimologi berarti, sesuatu yang dipandang baik dan diterima oleh akal sehat. Kata ‘Urf dalam pengertian terminologi sama dengan istilah al-‘A>dah (kebiasaan), yaitu:

(15)

7

‚sesuatu yang telah mantap di dalam jiwa dari segi dapatnya

diterima oleh akal yang sehat dan watak yang benar‛11

‘Urf berarti sesuatu yang telah dikenali masyarakat dan merupakan kebiasaan di kalangan mereka baik berupa perbuatan-perbuatan atau pantangan-pantangan, ‘urf bisa disebut juga dengan adat. Menurut Syara’, tidak ada perbedaan antara ‘Urf dan al-‘>adat

(adat kebiasaan). Namun dalam pemahamannya biasa diartikan bahwa pengertian ‘Urf lebih umum dibandingkan dengan pengertian al-‘>adat

karena al-‘>adat di samping telah dikenal oleh masyarakat, juga telah biasa dikerjakan di kalangan mereka, seakan-akan merupakan hokum tertulis, sehingga ada sanksi-sanksi terhadap orang yang melanggarnya12.

Contohnya adat perbuatan, seperti kebiasaan umat manusia berjual beli dengan tukar menukar secara langsung, tanpa bentuk ucapan akad. Adat ucapan seperti kebiasaan manusia menyebut al-walad secara mutlak berarti anak laki-laki, bukan anak perempuan dan kebiasaan mereka, juga kebiasaan mereka untuk tidak mengucapkan kata daging sebagai ikan. Adat terbentuk dari kebiasaan manusia menurut derajat mereka, secara umum maupun tertentu. Berbeda

dengan ijma’, yang terbentuk dari kesepakatan para mujtahid saja,

tidak termasuk manusia secara umum13.

11 Abdulla>h ibn Sulai>ma>n al-Jarhazy>, al-Mawa>hib al-Saniyyah, (Surabaya, al-Hida>yah), 122. 12 Muin Umar dkk, Ushul Fiqh 1, (Jakarta:Depag RI,tt), 150.

13

(16)

8

2. Macam-macam ‘Urf

‘Urf atau adat itu ada dua macam, yaitu adat yang benar dan adat yang rusak. Adat yang benar adalah kebiasaan yang dilakukan

manusia, tidak bertentangan dengan dalil syara’, tidak menghalalkan

yang haram dan tidak mengharamkan kewajiban. Sedangkan adat yang rusak adalah kebiasaan yang dilakukan oleh manusia tetapi

bertentangan dengan syara’, menghalalkan yang haram atau

membatalkan kewajiban14.

Penggolongan macam-macam adat atau ‘Urf itu juga dapat dilihat dari beberapa segi:

a. Ditinjau dari segi materi yang biasa dilakukan. Dari segi ini ‘Urf

ada dua macam:

1) ‘Urf qauli, yaitu kebiasaan yang berlaku dalam penggunaan kata-kata atau ucapan. Contohnya, kata Waladun secara

etimologi artinya ‚anak‛ yang digunakan untuk anak laki-laki atau perempuan. Berlakunya kata tersebut untuk perempuan karena tidak ditemukannya kata ini khusus untuk perempuan dengan tanda perempuan (Mu’annath). Penggunaan kata Walad itu untuk anak laki-laki dan perempuan, (mengenahi waris atau harta pusaka) berlaku juga dalam al-Qur’>an, seperti dalam surat al-Nisa>’ (4): 11-12. Seluruh kata walad dalam

14 Jalal al-Di>n Abdu Al-Rahma>n Abi> Bakr al-Suyu>t}i, al-As}yba>h wa al-Nad}ha>ir,

(17)

9

kedua ayat tersebut yang disebutkan secara berulang kali, berlaku untuk anak laki-laki dan perempuan.

2) ‘Urf fi’li, yaitu kebiasaan yang berlaku dalam perbuatan. Umpamanya; (1) jual beli barang-barang yang enteng, murah dan tidak begitu bernilai (ba>y’mu’athah) transaksi jual beli dimana si pembeli menyerahkan uang sebagai pembayaran atas barang yang telah diambilnya, tanpa mengucapkan ijab qabul, karena harga tersebut sudah dimaklumi bersama15.

b. Ditinjau darisegi ruang lingkup penggunaannya.

1) Al-‘>adat atau ‘Urf umum, yaitu kebiasaan yang telah umum berlaku di mana-mana, hampir di seluruh penjuru dunia, tanpa memandang negara, bangsa dan agama. Contohnya: menganggukkan kepala tanda menyetujui dan menggelengkan kepala tanda menolak atau meniadakan, atau misalnya kebiasaan orang mengembala hewan ternak itu di siang hari maka kalau ada yang menggembalakan hewan ternaknya di malam hari, maka dianggap aneh atau ganjil dan tidak seperti kebiasaan umumnya16.

2) Al-‘>adat atau ‘Urf khusus, yaitu kebiasaan yang dilakukan oleh sekelompok orang tertentu atau pada waktu tertentu; tidak berlaku di semua tempat dan sembarang waktu.

15Mukhtar Yahya, Fatchur Rahman, Dasar-dasar Pembinaan Hukum Fiqh Islami (PT. al-Ma’arif, tt), 110.

16

(18)

10

c. Dari segi penilaian baik dan buruk:

1) Adat yang shahi>h, yaitu adat yang berulang ulang dilakukan, diterima oleh orang banyak, tidak bertentangan dengan agama, sopan santun dan budaya yang luhur. Contohnya, memberi hadiah kepada orang tua dan kenalan dekat dalam waktu-waktu tertentu, mengadakan acara halal bihalal (silaturrahmi) saat hari raya, memberi hadiah sebagai suatu penghargaan atas suatu prestasi.

2) Adat yang fasid, yaitu adat yang berlaku di suatu tempat meskipun merata pelaksanaannya, namun bertentangan dengan agama, undang-undang negara dan sopan santun. Contohnya, berjudi untuk merayakan suatu peristiwa, pesta dengan menghidangkan minuman haram, membunuh anak perempuan yang baru lahir, kumpul kebo (hidup bersama tanpa nikah)17.

G. Penelitian Terdahulu

Sejauh penelusuran peneliti, upaya mengkaji ulang (rethinking) terhadap permasalahan haid secara lebih mendalam dalam tinjauan Hukum Islam di era modern sudah banyak dilakukan. Dari sepanjang pengamatan peneliti terhadap telaah buku, kitab, ataupun karya tulis (tesis), peneliti sudah banyak menemukan yang secara khusus membahas tentang haid, seperti:

17

(19)

11

1. Larangan Hubungan Intim dengan Isteri yang Sedang Haid (Suatu

Tinjauan Filsafat Hukum Islam)18. Tesis ini meneliti tentang ‘illat dan hikmah dari larangan melakukan hubungan seks pada saat isteri sedang haid.

2. Perempuan Menstruasi Dalam Hukum Islam19. Tesis ini membahas

tentang larangan-larangan bagi perempuan ketika sedang menstruasi ditinjau dari pendapat ulama-ulama yang tertuang dalam kitab fiqh. Ada larangan yang berupa kesepakatan ulama, dan ada larangan yang menjadi ikhtila>f al-‘ulama>.

3. Problematika Haid dan Permasalahan Wanita20. Buku ini

membicarakan tentang pengertian haid, warna darah haid, masa haid, cara mengetahui suci dari haid atau nifas, serta hukum-hukum yang

berhubungan dengan wanita, seperti hukum iddah, rad}a’, dan lain-lain.

4. Tinjauan Madhhab Sha<fi’i< Dan Mad}hhab H{ambali< Tentang H{aid{

Yang Terputus-putus Serta Akibat Hukum Yang Ditimbulkan21. Tesis ini membahas permasalahan haid yang terputus-putus dan akibat hukum yang ditimbulkan dalam pandangan madhhab Sha>fi’i> dan

mad}hhab H{anbali>.

18Muhammad Suheli, Larangan Hubungan Seks Ketika Isteri Sedang Haid, (Tesis, IAIN Sunan

Ampel, Surabaya, 2000). 19

Rejal Miftahul Fajar, ‚Perempuan Menstruasi dalam Hukum Islam‛, (Tesis, IAIN Sunan Ampel,Surabaya, 2009).

20

Segaf Hasan Baharun, Problematika Haid dan Permasalahan Wanita (Pasuruan: Yayasan Pondok Pesantren Da>r al-Lug}ah Wa Da’wah, 1999),

(20)

12

Sedangkan dalam penelitian ini akan dijelaskan tentang penentuan kebiasan masa keluarnya haid (‘a>dat al-h}aid}) seorang wanita yang mengalami perubahan terhadap siklus haidnya, dalam pandangan kaidah fikih al ‘>adah Muh}akkamah prespektif fikih h}aid mad}hab Sha>fi’i>.

H. Metode Penelitian

1. Jenis Penelitian

Dalam sebuah penelitian, ada tiga hal yang fundamental yang

harus dipertimbangkan, yaitu permasalahan yang dihadapi, bentuk dan

sumber informasi yang digunakan serta cara memahami serta

menganalisis informasi dan merangkainya menjadi penjelasan yang

bulat guna menjawab persoalan yang diteliti.

Penelitian ini menggunakan jenis penelitian kualitatif yang

menempatkan riset pustaka (library reseach)22sebagai eksplorasi sumber datanya, yakni peneliti mengacu dan menelaah bahan-bahan

karya ilmiah berupa kitab-kitab klasik dan modern serta buku-buku yang berhubungan dengan permasalahan haid.

Penelitian ini memerlukan beberapa bahan hukum yang dijadikan pedoman untuk menganalisa penelitian yang akan diteliti. Beberapa bahan hukum tersebut adalah pertama: bahan hukum primer yaitu merupakan bahan hukum pokok atau merupakan bahan-bahan yang mengikat dalam pembahasan ini yang terdiri atas kitab-kitab

22Abudin Nata membedakan kualifikasi suatu penelitian itu bersifat literer atau lapangan dengan

(21)

13

yang mengulas tentang pendapat madhhab Sha>fi’i> : al-Ra>fi’i> (w.

623H) dalam kitabnya Fath al-‘Azi>z bi Sharh} al-Waji>z , al-Nawawi> (w. 676 H) dalam kitabnya al-Majmu>’ ‘ala Sharh} al-Muhadhdhab, Ibn Hajar al-Hai>tami> dalam Minha>j al-Qawi>m, Ibra>him al-Ba>juri dalam kitabnya H}a>syiyah al-Ba>ju>ri, Zakariya> al-Ans}ha>ri dalam kitabnya Fathi al-Wahha>b, dan lain-lain.

Bahan hukum kedua yaitu bahan hukum sekunder merupakan

bahan-bahan yang menjelaskan bahan hukum primer, yaitu seperti hasil penelitian, pendapat para pakar yang mendukung tema pembahasan atau tidak secara langsung berhubungan namun ada kesamaan tema yang dikembangkan, dalam hal ini seperti halnya jurnal-jurnal, artikel-artikel tentang penelitian yang dikaji, internet dan lain-lain. Bahan ketiga adalah bahan hukum tersier yaitu yang menjelaskan bahan hukum primer dan sekunder seperti kamus, ensiklopedia, bibliografi dan indeks, dan dalam hal ini adalah kamus-kamus Arab, seperti al-Munawwir, dll.

2. Analisis Data

Penelitian ini menggunakan metode analisis interaktif. Artinya

analisis dilakukan secara simultan dan terus menerus sejak

pengumpulan data dilakukan hingga selesainya pengumpulan data

(22)

14

conclution: drawing/verifying23 dengan langkah operasional sebagai

berikut:

1. Reduksi data (data reduction). Dalam proses ini peneliti akan

merangkum, memilih hal-hal yang pokok dari data yang sementara

diperoleh untuk kemudian dicari tema atau kategorisasi. Dengan

proses ini, didapatkan gambaran yang lebih jelas untuk menentukan

langkah pengumpulan data selanjutnya bahkan sampai menentukan

cara mengumpulkannya.24

2. Penyajian Data (data display). Data penelitian yang sudah

direduksi, maka dilakukan proses penarasian data dalam bentuk

teks.25 Pada saat display data ini pun peneliti melakukan analisis

data dan dibangun teori-teori yang telah siap untuk diuji

kebenarannya dengan tetap mengacu pada kerangka teori yang

telah disusun.26

3. Penarikan Kesimpulan (conclution: drawing/verifying). Setelah

data dinarasikan dalam bentuk teks, maka langkah berikutnya

ditempuh langkah “penyimpulan” yang bersifat sementara. Sebab

dari kesimpulan sementara ini akan ditindak lanjuti dengan proses

verifikasi dengan mengumpulkan data yang kurang, reduksi,

23Mathew B. Miles dan A. Michael Huberman, Analisis Data Kualitatif, terj. Tjetjep Rohendi

Rohidi (Jakarta: UI Press, 1992),20. Lihat juga: Sugiyono, Memahami Metode Penelitian Kualitatif (Bandung: Alphabeta, 2005), 91-93.

24Sugiyono, Memahami Metode Penelitian Kualitatif, 92. 25Ibid. 92

26Ahmad Syafi’iMufid, “Penelitian Kualitatif Untuk Penelitian Agama,” dalam

(23)

15

display dan penarikan kesimpulan lagi. Proses ini berlangsung

secara berurutan, berulang-ulang, terus menerus sampai penelitian

ini sampai mendekati tingkat validitas yang dapat

dipertanggungjawabkan.

4. Setelah dirasa hasil penelitian telah akurat, barulah disusun sebuah

teks naratif dari keseluruhan hasil penelitian.

I. Sistematika Pembahasan

Penulisan dari hasil penelitian ini dibuka dengan bab pertama

berupa pendahuluan untuk mengantarkan menuju argumentasi, cakupan

dan perihal mekanisme penelitian. Penjelasan mengenai latar belakang

penelitian, fokus penelitian beserta metode dalam penelitian akan diulas di

bab ini sebagai langkah awal dan ringkas dalam melihat langkah yang

akan ditempuh dan dibahas dalam penelitian.

Pada bab kedua dijelaskan tentang landasan teori dan dasar hukum

tentang kajian kaidah fikih al-‘>Adah Muh}akkamah, pengertian serta kriteria penggunaan sebuah kaidah fikih dalam penetapan suatu hukum,

selain itu akan dipaparkan secara singakat sejarah atau histori munculnya

al-‘>dah, dijelaskan pula kaidah-kaidah cabang dari kaidah Al-‘>adah

Muh}akkamah.

Pada bab ketiga akan dipaparkan mengenai tinjauan umum tentang

haid wanita. Bahasan pada bab ini terdapat beberapa sub bab meliputi

(24)

16

perubahan siklus haid pada wanita serta urgensi al-‘>adah dalam penentuan hukum haid.

Pada bab keempat dijelaskan tentang penerapan kaidah al-‘a>dah

Muh}akkamah pada wanita yang mengalami perubahan siklus pada haidnya. Dalam bab ini juga dipaparkan tentang penetapan hukum pasca

perubahan yang terjadi pada siklus haidnya.

Bab kelima penutup yang meliputi kesimpulan dari hasil

penelitian, berupa sintesa dari data dan analisisnya tentang penetapan masa

haid dari wanaita yang mengalami perubahan siklus dalam haidnya.

Kemudian diakhiri dengan saran-saran untuk pengembangan studi lebih

(25)

BAB II

TINJAUAN UMUM KAIDAH AL-‘ADAH MUH}AKKAMAH

A. Dasar Hukum Kaidah al-‘A>dah Muh}akkamah

Kaidah ini mempunyai beberapa dalil yang telah disepakati para

ulama’,diantaranya adalah:

1. QS. Al-Nisa>’` ayat 19 :

َ نُوُرِشاَعَو

َ

َِفوُرْعَمْلِِ

َ

Artinya : dan bergaullah dengan mereka dengan cara yang patut

Imam Nawawi dalam tafsirnya menyatakan bahwa agar selalu

memberikan hal-hal yang patut pada istrinya, meliputi: tempat

tinggal, nafkah dan meperhalus perkataan1.

2. QS. Al-Baqarah ayat 228 :

َ نَََُو

َ

َُلْثِم

َ

يِذ لا

َ

َِفوُرْعَمْلَِِ نِهْيَلَع

َ

Artinya: dan para wanita mempunyai hak yang seimbang dengan

kewajibannya menurut cara yang ma’ruf2.

Sebagian ahli tafsir menafsirkan kalimat "bi al-ma'ru>f" dalam

dua ayat di atas dengan kalimat "sesuai adat yang berlaku di tempat

dan masa suami dan isteri berada. Suami memperlakukan isteri

1Muhammad Ibn Umar Nawawi al-Ja>wy>, Mara>h Labi>d Likasyfi Ma’na Al-Qur’a>n Al-Maji>d (DKI,

Da>r al-Kutub al-‘Ilmiyah, tt), 189

2

(26)

18

dengan baik, sesuai dengan adat yang dikenal dan berlaku di

masyarakat, demikian sebaliknya perlakuan isteri kepada suami3.

3. QS. Al-Nisa>; 6 :

فورعمَِلكأيلفَارقفَناكَنمو

َ

Artinya: dan barang siapa miskin, maka bolehlah ia makan harta itu menurut yang patut4

Yang dimaksud dengan Al-Ma’ru>f pada ayat di atas adalah

sesuatu yang di anggap baik menurut kebanyakan manusia5.

4. QS. Al-‘A`ra>f 199 :

َِذُخ

َ

وْفَعْلا

َ

َْرُمْاَو

َ

َِفْرُعْلِِ

Artinya: Jadilah Engkau Pema'af dan suruhlah orang mengerjakan yang ma'ruf6.

Kata al-‘urfi pada ayat di atas menurut Ibn Kat}hir dalam

tafsirnya berarti al-ma’ru>f yang bisa dipahamisebagai sesuatu yang

baik dan telah menjadi kebisaaan suatu masyarakat. Berdasarkan

pemahaman tersebut, maka ayat itu dipahami sebagai perintah untuk

3

Muhammad ibn Abdullah al-Sya>uka>ni, Fathu al-Qa>di>r, juz 1 (Beirut: Dar al-Hadits, tt), 351

4

Mujamma’ al-Malik Fahd Li T}hiba>’at al-Mus}haf, Al-Qur’>an dan Terjemahnya (Kerajaan Saudi Arabia: Al-Syari>f medinah Munawwarah<, tt), 116

5

Muhammad bin Abdullah Al-S}ya>uka>ni, Fathu Al-Qadi>r, (Baerut, Da>r Al-Kalim,tt), 491

6Mujamma’ al-Malik Fahd Li T}hiba>’at al-Mus}haf, Al-Qur’>an dan Terjemahnya (Kerajaan Saudi

(27)

19

mengerjakan sesuatu yang telah dianggap baik sehingga telah

menjadi tradisi dalam suatu masyarakat7.

Al-Suyu>t}hi menyatakan dalam kitab al-Ikli>l bahwa ayat ini

merupakan Qa>idah Syar’iyyah, yang menunjukkan penggunaanal-‘Urf

dalam menetapkan hukum dengan syarat tidak bertentangan dengan

Shara’8.

5. Hadith riwayat al-Buk}ha>ri (no. 5364) :

َْنَع

َ

ََةَشِئاَع

َ

َ نَأ

َ

ََدِْ

َ

ََتِْب

َ

ََةَبْ تُع

َ

َْتَلاَق

:

َََي

َ

ََلوُسَر

َ

َِ ّا

َ

َ نِإ

َ

ََناَيْفُسََِأ

َ

ٌَلُجَر

َ

ٌَحيِحَش

َ

ََسْيَلَو،

َ

َِنيِطْعُ ي

َ

اَمَ

َِنيِفْكَي

َ

يِدَلَوَو

َ

اَم اِإ

َ

َُتْذَخَأ

َ

َُِْم

َ

ََوُ َو

َ

َُمَلْعَ يَا

َ

ََلاَقَ ف

َ

:

يِذُخ

َ

اَمَ

َِكيِفْكَي

َ

َِكَدَلَوَو

َ

َِفوُرْعَمْلِِ

Dari Aisyah Radhiyallahu anhuma bahwa Hindun binti Utbah berkata, "Wahai Rasûlullâh, sungguh Abu Sufyân orang yang pelit dan tidak memberikan nafkah yang cukup untukku dan anakku, kecuali yang aku ambil tanpa sepengetahuannya." Maka Rasu>lullâh S}hallalla>hu

‘alaihi wa sallam bersabda, "Ambillah secukupnya untuk dirimu dan anakmu dengan ma'ruf."

Dalam hadith ini Nabi S}hallalla>hu ‘alaihi wa Sallam

menjadikan adat dan kebisaaan yang berlaku sebatas standar batasan

nafkah yang berhak diperoleh isteri. Beliau S}hallalla>hu ‘alaihi wa

Sallam tidak menentukan nominalnya. Ini menunjukkan bahwa 'urf

7Isma>’il ibn Ka>thi>r al-Qura>sy, Tafsi>r al-Qur’>an al-‘ad}hi>m, juz 3 (Kaero: Maktabah al-S}hofa>, tt),

313. Lihat juga Abu Muhammad S}ha>lih ibn Muhammad ibn Hasan al-As}hmari>, Majmu>’ah Al

-Fawa>’id al-Bahiyyah ‘ala Mand}zumah al-Qawa>id al-Fiqhiyyah (al-‘Arabiyah al-Sa’udiyah: da>r al -S}hamay>’i, 2000), 94

8Abu Muhammad S}ha>lih ibn Muhammad ibn Hasan al-As}hmari>, Majmu>’ah Al-Fawa>’id al

(28)

20

dapat diperhitungkan dalam hal-hal yang batasannya tidak ditentukan

oleh Shara’9.

6. Pendapat Abdullah Ibn Mas’ud :

ََرَاَم

ََوُهَ فاًئْ يَسََنْوُمِلْسُماَُاَءَرَاَمَوٌَنَسَحَِهََدِْعََوُهَ فَاًَسَحََنْوُمِلْسُمْاَُاَء

ٌَءْيَسَِهاَدِْع

Apa apa yang dipandang baik oleh kaum muslimin baik pula dalam pandangan Allah dan apa saja yang dipandang buruk oleh orang Islam maka menurut Allah pun digolongkan sebagai perkara yang buruk

Ungkapan Abdullah bin Mas’ud di atas, baik dari segi redaksi

maupun maksudnya, menunjukkan bahwa kebiasaan-kebiasaan baik

yang berlaku di dalam masyarakat muslim yang sejalan dengan

tuntutan syari’at Islam, adalah juga merupakan sesuatu yamg baik di

sisi Allah. Sebaliknya, hal-hal yang dianggap buruk dan bertentangan

dengan syari’at maka buruk pula dihadapan Allah.

Pendapat tersebut menurut al-Qara>fy dalam kitabSharh

Al-Tanqi>h menunjukkan kehujjahan al-‘urf dan dapat dijadikan sebuah

pedoman untuk segala sesuatu yang baik10.

Sedangkan dalil kaidah Al-‘a>dah Muh}akkamah dari

kesepakatan (ijma>’) dari para ulama ushuliyyin diantaranya adalah

Al-Jala>l al- Mahally dalam kitab Sharh Jam’i al-Jawa>mi’, dan juga yang

9Ibnu Hajar al-'Asqala>ni>, Fathu Al-Ba>ri,juz 9( Baerut: Dar al-Salamah. Tt), 630 10

Abu Muhammad S}ha>lih ibn Muhammad ibn Hasan al-As}hmari>, Majmu>’ah Al-Fawa>’id al

(29)

21

sudah dinyatakan oleh al-Bana>ni dalam kitab Sharh al-mahalli li jam’i

al-Jawa>mi’11.

B. Sejarah munculnya Al-‘a>dah

Secara historis, selama Rasulullah hadir, sebagai legislator Islam

di wilayah Makkah maupun Madinah, beliau banyak mengadopsi al-’Urf

setempat. Sebagian al-’Urf tersebut ditetapkan oleh wahyu al-Qur’an

danH}adith12. Meskipun demikian, tidak semua al-’Urf tradisi masyarakat

arab pra Islam dijadikan sebagai bagian dari ajaran Islam.Tradisi Arab

lain dan tradisi lain dari luar Arab yang ditetapkan dalam al-Qur’an

adalah ibadah haji, puasa, kewarisan, bentuk-bentuk perdagangan (jual

beli), khitanan dan kurban13.

Namun demikian tidak semua tradisi arab-non arab itu diadopsi

menjadi bagian dari shari'ah Islam, beberapa di antaranya direvisi,

dimodifikasi14. Sebagian yang lainnya dibatalkan berdasarkan wahyu dari

Allah seperti persoalan riba dan cara memperlakukan kaum perempuan15.

11Ibid, Abu Muhammad S}ha>lih ibn Muhammad ibn Hasan al-As}hmari, 95 12

Muhammad el-Awa, the Place of Custom ('urf) in Islamic Legal Theory, 177-178. Lebih lanjut menurut el-Awa bahwa argumentasi Rasulullah dalam menyetujui al-'urf sebagai sumber hukum Islamkarena al-'urf mampu menyediakan pemecahan (solutions) yang diperkirakan bisa memberi kepuasan kebutuhan masyarakat tertentu.

13

Dalam pembahasan historis-antropologis, Nizar Abazhah membahasnya dalam Fi Madinah al-Rasul, yang diterjemahkan secara bagus oleh Asy’ari Khatib, dan diterbitkan dengan judul Ketika Nabi di Kota: Kisah Sehari-hari Nabi di Kota, (Jakarta: Zaman, 2010)

14

Ratno Lukito, Islamic Law and Adat Encounter; the Experience of Indonesia, (Jakarta; Logos Wacana Ilmu, 2001), 7

15

(30)

22

Fakta ini semakin menegaskan bahwa Hukum Islam (shari'ah

maupun fiqh) dalam perkembangannya senantiasa berbasis pada al-'urf.

Proses perkembangan Hukum Islam tersebut senantiasa melibatkan

dialektika budaya yang terus menerus, sehingga menghasilkan fiqh.

Berpijak pada praktek Rasulullah dalam melakukan tashri' al-Islam

menunjukkan bahwa Hukum Islam yang hadir di muka bumi ini tidak

melompat dari ruang hampa muncul dalam waktu tiba-tiba. Sebaliknya

kehadiran Hukum Islam bahkan isi al-Qur’an pada mulanya terikat oleh

ruang, rentetan waktu dan peristiwa. Semua itu terjadi sebagai upaya

responsif pasa persoalan-persoalan yang berkembang pasa masa itu.

Meskipun sudah ada al-Qur’an dan Sunnah, mengingat begitu

pentingya kehadiran al-’Urf sehingga para sahabat sepeninggal rasulullah

tidak menutup diri untuk mengambil tradisi dan sistem masyarakat

lainselama tidak bertentangan dengan al-Qur’an dan sunnah16. Fungsi

al-Qur’an dan al-Sunnah, dalam hal ini, selain sebagai sumber inspirasi

penggalian hukum juga menjadi petunjuk pelaksanaan pembentukan

Hukum Islam.

Bahkan bisa ditegaskan keabadian al-Qur’an sebagai wahyu

Tuhan, fungsi dan peranannya terus berkelanjutan jika ulama bersikap

akomodatif terhadap al-’Urf di seluruh penjuru dunia dan segala zaman.

Upaya transformasi kandungan al-Qur’an dan al-Sunnah pada suatu

16

(31)

23

masyarakat hanya akan membatasi keabadian wahyu Tuhan17. Karena

al-Qur’an sebagai petunjuk melihat persoalan kemanusiaan18.

Para sahabat yang mengikuti langkah Rasulullah, terlihat pada

masa kekhalifahan Umar bin Khattab. Tampaknya, baik pada lapis

pertama (masa Rasulullah) maupun pada lapis kedua (masa sahabat)

keberadaan al-’Urf dianggap sebagai salah satu sumber dan landasan

pembangunan Hukum Islam. Artinya pada periode awal Islam al-’Urf

menjadi landasan signifikan dalam pembangunan hukum.

Sayangnya, pada periode berikutnya al-’Urf justru menjadi

perdebatan dalam Islam. Pasca zaman sahabat, keterlibatan umat Islam

maupun ulama begitu intensif dan sangat bervariasi. Mereka harus

berhadapan dengan persoalan-persoalan baru yang belum pernah

ditetapkan dalam al-Qur’an maupun al-Sunnah, terutama pada persoalan

politik dan hukum. Selain itu sistem pemerintahan teokratis--yang

dikembangkan oleh Bani Ummayyah dan Bani Abbasiyyah telah

mempunyai andil yang cukup besar terhadap lahirnya perbedaan paham

baik dari segi materi hukum (al-fiqh), metodologi hukum (usul al-fiqh)

maupun proses pengambilan hukum (istinbat al-Hukm).

Perbedaan ini pula mempengaruhi para ulama fiqh maupun ulama

usul al-fiqh dalam memperlakukan al-’Urf sebagai sumber Hukum Islam.

Padahal, secara umum madhhab-madhhab besar seperti Hanafiyah,

17

Tentang persoalan sebagai agama yang akomodatif daripada transformatif, lihat dalam Bryan s. Turner, Weber And Islam: A Critical Study (London: Routledge and Kegan Paul, 1974), cet, ke-1, 171

18

(32)

24

Malikiyah, Hanbaliyah dan Shafi'iyah menggunakan al-’Urf sebagai

landasan Hukum Islam, hanya saja dalam jumlah dan perinciannya,

mereka berbeda pendapat19.

Penerimaan al-’Urf sebagai dalil shara' ini di kalangan para ulama

fiqh diperkuat oleh Imam al-Shat}ibi (w.790 H/ ahli usul fiqh Maliki) dan

Imam Ibn Qayyim al-Jauziyah (691 – 751 H / 1292 – 1350 M/ ahli usul

fiqh Hanbali)20. Imam Malik misalnya dalam memutuskan persoalan

fiqhiyah senantiasa menyandarkan pada al-’Urf yang dilakukan oleh

masyarakat Madinah. Sikap yang sama dilakukan oleh Imam Shafi'i

ketika berada di Mesir dan di Baghdad. Karena al-’Urf di Mesir dan di

Baghdad berlainan, maka Imam Shafi'i pun mengubah qawl al-qadim

menjadi qawl al-jadid21. Hal ini semakin menegaskan bahwa al-’Urf

kapan pun dan di mana pun, dalam konteks pembangunan hukum,

merupakan sesuatu yang mutlak ada.

C. Pengertian Al-‘A>dah

‘Urf dan al-‘>Adah sendiri, dalam ilmu ushul al-fiqh, dibahas

tersendiri sebagai sebuah metode yang mempertimbangkan faktor empiris

suatu masyarakat. Meskipun terkesan diperdebatkan posisinya sebagai

sebuah metode istinbath hukum, para ulama kiranya tidak pernah bisa

19

Satria Effendi Muh. Zein, Ushul Fiqh, 273

20

Nasrun haroen, Ushul Fiqh, 142. Lebih jauh para ulama membagi al-‘urf tiga macam yaitu: dari segi obyeknya, terdiri dari al-urf al-lafzi dan al-urf al-amali. Dari segi cakupannya terdiri dari al-urf al-aam dan al urf al-khas}. Dan dari segi keabsahannya al-urf terdiri dari al-urf al-s}ahih}

(kebiasaan suatu masyarakat yang tidak bertentangan dengan nas}) dan al-urf al-fasid (kebiasaan suatu masyarakat yang bertentangan dengan nas} dan bertentangan dengan kaidah-kaidah yang dalam shara’.)

21

(33)

25

melepaskan diri dari pertimbangan ‘urf di suatu tempat di mana mereka

berhadapan dengan persoalan hukum. Imam Malik mempertimbangkan

‘Amal Ahl al-Madinah dengan mengedepankan aspek maslahah dalam

proses berijtihad. Imam Hanafi menggunakan istihsan al-‘urf dalam

pertimbangan hukumnya. Imam Shafi’i memiliki hasil ijtihad yang

berbeda, qaul qadim dan qaul jadid, atas dasar perbedaan tempat dan

kondisi sosial masyarakat. Serta ulama-ulama lain, juga melakukan hal

yang sama.

Kata ‘urf berasal dari kata ‘arafa, ya’rifu (mengetahui, mengenal

sesuatu). Abdul Wahab Khallaf mengartikan ‘urf dengan sesuatu yang

dikenal oleh manusia dan berlaku kepadanya, baik berupa perkataan,

perbuatan atau meninggalkan sesuatu22. Bila dikatakan si Fulan lebih dari

yang lain dari segi ‘urfnya, ini maksudnya adalah bahwa si Fulan lebih

dikenal dibandingkan dengan yang lain. Pengertian (dikenal) ini lebih

dekat kepada pengertian (diakui oleh orang lain).

Term ‘urf dalam ilmu ush>ul al-fiqh secara istilahi (definitif),

disamakan dengan Al-‘>adat yang telah diserap ke dalam bahasa Indonesia

menjadi, adat. Ini dapat dilihat dari penjelasan Abdul Wahab Khallaf,

yang menegaskan secara syari’at, tidaklah ada perbedaan antara ‘urf dan

‘adat23.

22Abdul Wahab Khala>f, ‘Ilm al-Ushul al-Fiqh wa Khulas}hahTa>ri>kh al-Tasyri>’ (Mshr:

al-Mu’assah al-Sa’u>diyah, tt), 89

23

(34)

26

Bila diperhatikan dari segi penggunaan dan akar katanya, terlihat

perbedaan antara keduanya. Akar kata ‘>adat, yaitu ‘>ada, ya’>udu, yang

berarti pengulangan. Karena itu, sesuatu yang baru dilakukan satu kali,

belumlah dinamakan ‘>adat. Adapun kata ‘urf, pengertiannya tidaklah

melihat dari segi berulang kalinya suatu perbuatan dilakukan, melainkan

apakah suatu perkataan atau perbuatan itu dikenal atau tidak oleh banyak

orang. Tegasnya, ‘adat sesuatu yang berulangkali, dan ‘urf sesuatu yang

dikenal.

Terhadap bentuk perbedaan itu, Amir Syarifuddin menyatakan

bahwa tidak ada perbedaan yang prinsip di antara keduanya karena kedua

kata itu pengertiannya sama, yaitu suatu perbuatan yang telah

berulang-ulang dan dikenal sehingga diakui oleh banyak orang, atau perbuatan itu

sudah dikenal dan diakui, sehingga dilakukan orang secara berulang kali.

Dengan demikian, meskipun dua kata tersebut dapat dibedakan tetapi

perbedaannya tidak berarti24, sehingga tidak menimbulkan konsekwensi

hukum yang berbeda.

Al-’Urf tentang perbuatan manusia misalnya, seperti jual beli

yang dilakukan berdasarkan saling pengertian dengan tidak mengucapkan

sighat. Untuk al-’Urf yang bersifat ucapan atau perkataan, misalnya

saling pengertian terhadap pengertian al-walad, yang secara mutlak

berarti anak laki-laki dan bukan anak wanita. Karena itu, menurut

24

(35)

27

sebagian besar ulama, adat dan al-’Urf secara terminologis tidak memiliki

perbedaan prinsipil25.

Dari penjelasan di atas dapat disimpulkan bahwa istilah adat dan

al-’Urf memang berbeda jika ditinjau dari dua aspek yang berbeda pula.

Perbedaannya, istilah adat hanya menekankan pada aspek pengulangan

pekerjaan, sementara al-’Urf hanya melihat pelakunya. Di samping itu.

Adat dapat dilakukan oleh pribadi maupun kelompok, sementara al-’Urf

harus dijalani oleh komunitas tertentu. Sederhananya, adat hanya melihat

aspek pekerjaan, sedangkan al-’Urf lebih menekankan aspek pelakunya.

Persamaannya, adat dan al-’Urf adalah sebuah pekerjaan yang sudah

diterima akal sehat, tertanam dalam hati, dilakukan berulang-ulang, dan

sesuai dengan karakter pelakunya26.

Secara garis besar ‘Urf atau ‘Ada>t terbagi ke dalam dua bagian

yaitu:

1. ‘Urf al-S}ahih yaitu bangunan tradisi yang tidak bertentangan dengan

dalil shar’i, tidak mengharamkan sesuatu yang halal, tidak

membatalkan sesuatu yang wajib27, tidak menggugurkan cita-cita

kemaslahatan, serta tidak mendorong timbulnya mafsadah28.

Contohnya adalah adat yang berlaku dalam dalam pembayaran mahar,

25Abdul Wahab Khala>f, Ilmu Usul al-Fiqh,wa Khulas}hahTa>ri>kh al-Tasyri>’ (Mshr: al-Mu’assah al

-Sa’u>diyah, tt), 85

26Abdul Haq, dkk, Formulasi Nalar Fiqh: telaah Kaidah Fiqh Konseptual, (Surabaya: khalista &

Kakilima Lirboyo, 2006), 276

27

M. Sidqi al-Burnu, al-Wajiz fi Idah Qawaid al-Fiqhal-Kulliyah, (Beirut: Muassasah al-Risalah, 1983), 157

28

(36)

28

secara kontan atau hutang, adat kebiasaan seorang yang melamar

seorang wanita dengan memberikan sesuatu sebagai hadiah, bukan

sebagai mahar, dan lain sebagainya29.

2. ‘Urf al-Fa>sid yaitu sebuah kebisaaan yang dikenal oleh manusia dan

berlawanan dengan ketentuan shara’ serta menghalalkan sesuatu yang

haram dan membatalkan kewajiban. Tradisi yang berlawanan dengan

dalil shar’i>30, serta mencegah kemaslahatan dan mendorong timbulnya

kerusakan31. Contohnya adalah kebiasaan masyarakat Arab jahiliyyah

yang mengubur anak perempuan hidup-hidup karena dianggap sebagai

aib, berjudi atau taruhan, rentenir, pesta pora, dan lain sebagainya.

Jenis kedua ini sudah pasti bertentangan dengan shari’at.

Dalam perkembangannya, al-’Urf kemudian secara general

digunakan dengan makna tradisi, yang tentu saja meliputi tradisi baik

(al-’Urf al-sahih}) dan tradisi buruk (al-’Urf al-fasid). Dalam konteks ini,

tentu saja al-ma’ruf bermakna segala sesuatu yang sesuai dengan tradisi

yang baik, yang berarti sesuai dengan tuntunan wahyu. Amr bi al-ma’ruf

berarti memerintahkan sesama manusia untuk bertindak sesuai dengan

nilai-nilai yang pantas menurut suatu masyarakat, yang tidak

bertentangan dengan nilai-nilai wahyu.

29Mukhtar Yahya, Fatchur Rohman, Dasar-dasar Pembinaan Hukum Fiqh Islami, (PT.

al-Ma’arif,tt),110

30

Abdul Wahab Khalaf, Ilmu Usul al-Fiqhwa Khulas}hahTa>ri>kh al-Tasyri>’ (Mshr: al-Mu’assah al -Sa’u>diyah, tt), 86

31

(37)

29

Nilai-nilai yang pantas menurut suatu masyarakat merupakan

manifestasi hati nurani masyarakat tersebut dalam konteks kondisi

lingkungan yang melingkupi masyarakat tersebut. Kondisi lingkungan

yang berbeda pada masyarakat yang berbeda akan menyebabkan variasi

pada nilai-nilai kepantasan yang dianut. Karena itu, tradisi pada suatu

masyarakat dapat berbeda dengan tradisi pada masyarakat yang lain.

Sebagai contoh, apabila al-Qur’an menyatakan wa ‘a>syiru>hunna bi

al-ma’ruf (dan pergaulilah isteri-isteri kalian secara ma’ruf), maka yang

dimaksud adalah tuntutan kepada para suami untuk memperlakukan

isteri-isteri mereka sesuai dengan nilai-nilai kepantasan yang berlaku

dalam masyarakat, yang mana nilai-nilai itu dapat berbeda dengan yang

ada pada masyarakat lainnya. Namun perlu diingat bahwa nilai-nilai

kepantasan itu tidak boleh bertentangan dengan nilai-nilai wahyu

(al-Qur’an dan Sunnah Nabi).

Kaidah al-‘Ada>h muh}akkamah merupakan kaidah asasiyyah atau

qawaid kulliya>t al-kubra, yang memiliki fungsi yang sangat pentingdalam

menetapkan hukumfikih.Ungkapan singkat al-‘a>dah muhakkamah,

memiliki makna yang cukup luasdalam mengungkapkan maksud dan

tujuan syari’ah.

Mahmud Musthafa al-Zuhaili menegaskan bahwa baik kebisaaan

(‘adat) yang bersifat umum maupun khusus, dapat dijadikan sebagai dasar

(38)

30

tidak diatur oleh nash secara khusus32. Maka kebisaaan atau ‘adat bisa

dijadikan dasar dalam menetapkan hukum ketika tidak bertentangan dalil

nash.

D. Kaidah Cabang dari Al-‘A<dah Al-Muh}akkamah

Berikut adalah beberapa kaidah cabang dari kaidah Al-‘A<dah

Al-Muh}akkamah:

1.

اًطْرَشَِطْوُرْشَمْلاَكَاَفْرُعَُفْوُرْعَما

a. Makna kaidah

Sesuatu yang dianggap baik menurut ‘urf, sama

kekuatannya dengan sesuatu yang dipersyaratkan oleh shara`.

Qaidah ini memberi pengertian bahwa ketentuan ketentuan ‘urf

mempunyai kekuatan mengikat sepert dalam hal yang benar

benar tidak bertentangan dengan ketentuan nas}h al-Qur`an dan

al-Sunnah.33Maksudnya adat kebisaaan dalam bermu’amalah

mempunyai daya ikat seperti suatu syarat yang dibuat,

meskipun tidak secara tegas dinyatakan34.

b. Contoh kaidah

Apabila orang bergotong royong membangun rumah

sebuah masjid, maka berdasarkan adat kebisaaan, orang-orang

tersebut tidak dibayar. Jadi tidak dapat menuntut bayaran. Lain

32

Mahmud Musthafa al-Zuhaili, al-Qawa’id al-Fiqhiyah wa thatbiqatiha fi al-mazhab al-arba’ah,

Juz 1, (Damaskus: Dar al-Fikr, 2006), 298.

33Syeh Ahmad bin Syeh Muhammad Az-Zarqa’, Syarh Qawa’id Fiqhiyah, (Damaskus: Dar

al-Qolam, 1996), 237

34

(39)

31

halnya apabila sudah dikenal sebagai tukang kayu atau tukang

cat yang biasa diupah, datang kesuatu rumah yang sedang

dibangun lalu dia bekerja disitu, dan tidak mensyaratkan

apapun, maka tukang kayu tersebut harus diberi upah

semestinya, sebab kebisaaan tukang kayu atau tukang cat

apabila bekerja, dia mendapat bayaran.

2.

ص لَِِِِْْيْع تلاَكَ ِفْرُعْلَُِِِْْيْع تلا

a. Makna kaidah

Yang ditetapkan melalui `urf sama dengan yang

ditetapkan melalui nas}. Qaidah ini menegaskan bahwa ketentuan

hukum yang diperoleh atas dasar `urf mempunyai kekuatan

seperti ketentuan hukum yang diperoleh atas dasar nas}

al-Qur’>an dan al-Hadit}h, dalam hal ketentuan‘urf tersebut tidak

bertentangan dengan nas}.35 Jadi, kaidah ini menjelaskan

kekuatan legalitas suatu hukum.

b. Contoh kaidah

Apabila seseorang menyewa rumah atau toko tanpa menjelaskan

siapa yang bertempat tinggal dirumah atau toko tersebut, maka

si penyewa dapat memanfaatkan rumah tersebut tanpa

mengubah bentuk atau kamar-kamar rumah kecuali dengan ijin

orang yang menyewakan36.

35Syeh Ahmad bin Syeh Muhammad Az-Zarqa’,Syarh Qawa’id Fiqhiyah, 241 36

(40)

32

3.

َْمُهَ ْ يَ ب

َ ِطْوُرْشَمْلاَكَِرا َََُُْْ بَُفْوُرْعَم

َْلا

a. Makna kaidah

Tradisi yang disepakati antar pedagang bagaikan sebuah

syarat.37 Maksud kaidah ini adalah sesuatu yang sudah menjadi

kebisaaan antar pedagang itu menjadi sebuah syarat bagi

mereka38

b. Contoh kaidah

Transaksi jual beli batu bata, bagi penjual untuk

menyediakan angkutan sampai kerumah pembeli. Bisaanya harga

batu bata yang dibeli sudah termasuk biaya angkutan ke lokasi

pembeli.

4.

اَِِ

َُلَمَعلاَُبٌَََِة جُحَِسا لاَُلاَمْعِتْسِا

a. Makna kaidah

Apa yang bisa diperbuat orang banyak adalah hujjah

(alasan/argument/dalil) yang wajib diamalkan.Yang dimaksud

dengan isti’ma>lu al-Na>s adalah al-’a>dah atau kebisaaan yang

terjadi dikalangan masyarakat39.

37Imad Ali Jum’ah, al-Qawaid al-Fiqhiyah al-Muyassarah, (Urdun: Dar an-Nafais Li al-Nashri wa

al-Tauzi’, 2006), hal. 69. Lihat juga Syeh Ahmad bin Syeh Muhammad Az-Zarqa’, Syarh

Qawa’id Fiqhiyah, 239.

38

Syeh Ahmad bin Syeh Muhammad Az-Zarqa’, Syarh Qawa’id Fiqhiyah, (Damaskus: Dar al-Qolam, 1996), 239

39

(41)

33

b. Contoh kaidah

Menjahitkan pakaian kepada tukang jahit, sudah menjadi

adat kebisaaan bahwa yang menyediakan benang, jarum, dan

menjahitnya adalah tukang jahit.

5.

َِةَداَعلا

َ

َِةَلَاَدِب

َ

َُكَرْ تُ ت

َ

َُةَقْ يِقَحا

a. Makna kaidah

Arti hakiki (yang sebenarnya) ditinggalkan karena ada

petunjuk arti menurut adat.

b. Contoh kaidah

Sighat jual beli yang menggunakan kalimat fi’il madhi,

seperti isytaraytu (aku membeli), sudah dapat dianggap benar

walaupun pada arti sebenarnya menggunakan arti madhi (telah

lampau), karena sudah umum digunakan kalimat ijab kabul oleh

ahli bahasa dan Shara’40.

6.

ًَةَقْ يِقَح

َِعََ تْمُمْلاَكًَةَداَعَُعََ تْمُما

a. Makna kaidah

Sesuatu yang tidak berlaku berdasarkan adat kebisaaan

seperti yang tidak berlaku dalam kenyataan. Maksud kaidah ini

adalah apabila tidak mungkin terjadi berdasarkan adat kebisaaan

40Muhammad Sidqi al-Burnu, al-Wajiz fi Idah Qawaid al-Fiqhal-Kulliyah, (Beirut: Muassasah

(42)

34

secara rasional, maka tidak mungkin terjadi dalam

kenyataannya.

b. Contoh kaidah

Pengakuan orang fakir terhadap harta benda semisal

tanah yang menjadi miliknya, tapi tidak bisa menjelaskan asal

usul tanah tersebut41.

7.

َْتَبَلَغَوَاَْتَدَرَطْضاَاَذِاَُةَداَعلاَُرَ بَ ت

َْعُ تَاَ َِا

a. Makna kaidah

Adat bisa dijadikan patokan apabila berlaku dikalangan

masyarakat luas. Maksud kaidah ini adalah sebuah kebisaaan

atau adat itu bisa menjadi pijakan hukum ketika kebisaaan

tersebut banyak berlaku dikalangan masyarakat, maka

sebaliknya jika jarang atau bahkan sama (belum dikatakan

mayaritas) maka tidak bisa dijadikan patokan hukum42.

b. Contoh kaidah

Transaksi mu’amalah dengan menggunakan mata uang

yang berlaku didaerah tersebut.

8.

َِرِدا لِل

ََاَِعِئَا شلاَ ِبِلاَغِللَُةَرْ بِعلا

a. Makna kaidah

41Syeh Ahmad bin Syeh Muhammad Az-Zarqa>’, Syarh Qawa>’id al-Fiqhiyah,(Damaskus: Dar

al-Qolam, 1996), 223

(43)

35

Adat yang diakui adalah yang umumnya terjadi dan

dikenal oleh manusia bukan dengan yang jarang terjadi.

b. Contoh kaidah

Menetapkan hukum mahar dalam perkawinan namun tidak

ada kejelasan berapa banyak ketentuan mahar, maka ketentuan

mahar berdasarkan pada kebisaaan43.

9.

ىِظْفَللاَِنْذِااَكَ ِفْرُعلاَُنْذِا

a. Makna kaidah

Pemberian izin menurut adat kebisaaan adalah sama

dengan pemberian izin menurut ucapan.

b. Contoh kaidah

Apabila tuan rumah menghidangkan makanan untuk

tamu tetapi tuan rumah tidak mempersilahkan, maka tamu boleh

memakannya, sebab menurut kebisaaan bahwa dengan

menghidangkan berarti mempersilahkannya.

10.

َ

ة مزأا

َ

رغتب

َ

ماكحأا

َ

رغت

َ

رك ي

َ

ا

a. Makna kaidah

Tidak bisa dipungkiri lagi, perubahan hukum beriringan

dengan adanya perubahan waktu. Maksud dari kaidah ini adalah

perubahan hukum mengikuti perubahan waktu menurut urf dan

43

(44)

36

adat kebisaaan suatu masyarakat itu sendiri44. sesungguhnya

persoalan-persoalan fiqh, baik yang ditetapkan berdasarkan nash

maupun dengan jalan ijtihad dan ra’yi, tidak bisa lepas dari

pertimbangan waktu, tempat, dan ‘urf sebuah masyarakat. Para

mujtahid pun, sangat memperhatikan hal itu. Oleh karena itu

pula, seoarang mujtahid disyaratkan harus mengetahui kearifan

lokal (‘urf) suatu masyarakat tempat di mana ia akan berijtihad

untukmenemukan hukum terhadap suatu persoalan. Wajar bila

banyaknya perbedaan hukum, adalah karena adanya perbedaan

zaman, tempat, dan adanya perubahan ‘urf yang dipegang oleh

suatu masyarakat45.

E. Kriteria Al-‘a>dah Dalam Penetapan Dasar Hukum

Secara umum al-’Urf diamalkan oleh semua ulama fiqh terutama

di kalangan mad}zhab H}anafiyyah dan Malikiyyah. Ulama H}anafiyyah

dalam berijtihad menggunakan istihsan (salah satu metode ijtihad yang

mengambil sesuatu yang lebih baik yang tidak diatur dalam shara’), dan

salah satunyaberbentuk istihsan al-’Urf (istihsan yang menyandarkan

pada al-‘urf). Ulama Malikiyyah menjadikan al-’Urf yang hidup di

kalangan penduduk Madinah sebagai dasar dalam menetapkan hukum.

Ulama Shafi`iyyah banyak menggunakan’Urf dalam hal-hal yang

tidak menemukan ketentuan batasan dalam shara’ maupun dalam

44

Syeh Ahmad bin Syeh Muhammad Az-Zarqa>’, Syarh Qawa>’id al-Fiqhiyah,(Damaskus: Dar al-Qolam, 1996), 227

45Shalih Ibn Ghanim al-Sadlan, al-Qawa’idu al-Fiqhiyatu al-Kubro wa ma Tafarra’a ‘Anha,

(45)

37

penggunaan bahasa. Dalam menanggapi adanya penggunaan’Urf dalam

fiqh, Suyut}i mengulasnya dengan mengembalikannya kepada kaidah

al-‘adat muhakkamah (adat itu menjadi pertimbangan hukum)46.

Dalam fungsi dan peran praktisnya al-’Urf memainkan peranan

penting di dalam sejarah perkembangan dan kebangkitan manusia baik

dalam kehidupan sosial maupun kehidupan lainnya47.Lebih jauh dari itu,

menurut logika sosial bahwa kelahiran hukum bermula, di antaranya, dari

kesepakatan-kesepakatan yang dibangun oleh masyarakat berdasarkan

fakta sosial. Dengan kata lain, al-’Urf dengan beberapa unsurnya yang

meliputi fakta sosial, antropologis, serta dinamika ekonomi politik tidak

dapat dipisahkan dari proses pembentukan hukum. Karena al-’Urf adalah

esensi dan subtansi hukum itu sendiri, hanya bedanya terletak pada

wujudnya yang tidak atau belum dikodifikasikan secara sistematis

menurut alur hukum yang berlaku.

Bila ditinjau dari jenis pekerjaannya, al-’Urf dibagi menjadi dua;

al-’Urf al-qawli (kultur linguistik) dan al-’Urf al-fi’li (kultur normatif).

Jika ditinjau dari aspek kuantitas pelakunya, al-’Urf terbagi menjadi

al-’Urf al-‘am dan al-’Urf al-khas}.Berikut ini penjelasannya masing-masing:

1. al-’Urf al-Qawli (kultur linguistik)

al-’Urf al-Qawli adalah sejenis kata, ungkapan, atau istilah

tertentu yang diberlakukan oleh sebuah komunitas untuk menunjuk

46Amir Syarifuddin, Ushul Fiqh, Jilid 2 (Jakarta: Logos Wacana Ilmu 2001), 473

47Sobhi Mahmassani, Falsafah al-Tashri' fi al-Islam, terj., Ahmad Sudjono, SH., (Bandung;

(46)

38

makna khusus, dan tidak ada kecenderungan makna lain di luar apa yang

mereka pahami48. Artinya ketika kata itu diucapkan, maka yang terbesit

dalam hati mereka adalah makna yang khusus tersebut, bukan antonim

makna lainnya. Hanafiyyah dan Shafi’iyyah menamakan al-’Urf al-qawli

ini dengan istilah al-’Urf al-mukhassasah49. contohnya ketika orang Arab

mengucapkan walad (anak), maka mereka pasti mengartikannya sebagai

anak laki-laki, bukan anak perempuan. Begitu pula dengan kalimat lahm

(daging), yang dimaksud pasti bukan dagiung ikan asin atau ikan laut,

melainkan daging binatang peliharaan, seperti daging sapi, kambing,

ayam, daging hewan peliharaan lainnya50.

2. al-’Urf al-fi’li (kultur normatif)

Al-‘Urf al-fi’li (dalam istilah lain disebut sebagai al-’Urf al

-amali) adalah sejenis pekerjaan atau aktivitas tertentu yang sudah

biasa dilakukan secara terus menerus, sehingga dipandang sebagai

norma sosial51. Dalam budaya masyarakat Arab, al-’Urf al-fi’li dapat

disaksikan pada transaksi jual beli tanpa sighat (bay’ al-mu’atah)

yang sudah sangat umum terjadi. Karena sudah sangat mudah

dijalankan, kebisaaan ini sudah menjadi hal yang lumrah di

masyarakat. Tak heran jika qawl mukhtar memperbolehkan transaksi

48Wahbah al-Zuhaily, Subul al-Istifadah min al-Nawazil wa al-Fatawa wa al-Amal al-Fiqhy fi

Tatbiqat al-Mu’asirah, (Damaskus: Dar al-Maktab, 2001), 48

49Muhammad Sidqi al-Burnu, al-Wajiz fi Idah Qawaid al-Fiqhal-Kulliyah, (Beirut: Muassasah

al-Risalah, 1996), 281

50Abdul Wahhab Khallaf,Ilmu Usul Fiqhwa Khulas}hahTa>ri>kh al-Tasyri>’ (Mshr: al-Mu’assah

al-Sa’u>diyah, tt), 89

51Wahbah al-Zuhaily, Subul al-Istifadah min al-Nawazil wa al-Fatawa wa al-Amal al-Fiqhy fi

(47)

39

model ini, dengan catatan hanya pada barang yang bernilai nominal

rendah (muhqirat), sebab tradisi tersebut sudah menjadi kebisaaan

masyarakat yang sulit dihindari. Inilah salah satu aplikasi bentuk

kaidah al-‘adat al-muhakkamah52.

Jika ditinjau dari aspek pelakunya, adat terbagi menjadi dua

kategori umum, yaitu adat ‘urfiyyah ammah (budaya global universal)

dan adat ‘urfiyyah kh>as}s}ah (budaya parsial-partikular). Perinciannya

adalah sebagai berikut:

1. ‘A>dat ‘urfiyyah ammah adalah bentuk pekerjaan yang sudah berlaku

menyeluruh dan tidak mengenal pergantian generasi, atau letak

geografis. Tradisi jenis ini bersifat lintas batas, lintas cakupan, dan

lintas zaman53.Adat ‘urfiyyah ammah bisa berbentuk ucapan (qawli)

atau pekerjaan (fi’li).

2. ‘A>dat ‘urfiyyah khassah ialah sejenis kebisaaan yang berlaku di

kawasan atau golongan tertentu, dan tidak tampak pada komunitas

lainnya54. Tradisi jenis ini dapat berubah dan berbeda disebabkan

perbedaan tempat dan waktu. Ia juga dapat didefinisikan sebagai

sebuah tradisi yang dijalankan golongan tertentu, baik dalam satu

52Abdul Wahhab Khallaf, Ilmu Usul Fiqh wa Khulas}hahTa>ri>kh al-Tasyri>’ (Mshr:

al-Mu’assah al-Sa’u>diyah, tt),89

53Dalam kategori yang pertama ini, Abdul Karim Zaidan memberi tambahan kata sifat

al-Islamiyyah pada kalimat balad (kawasan) yang menjadi tempat berseminya tradisi global ini. dengan demikian adat ‘urfiyyah ammah versi Abdul Karim Zaidan ini hanya tradisi yang hidup dan berkembang di negara-negara Islam. Sejauh penelusuran penulis, kata sifaty Islamiyyah ini tidak ditemukan dalam literatur usul fiqh maupun kaidah fiqh yang lain, selain al-Wajiz karya Abdul Karim Zaidan. Lebih lengkapnya, silahkan lihat Abdul Karim Zaidan, al-Wajiz, (Muassasah al-Risa>lah, vol. IIX, 2001), 253

(48)

40

kawasan, komunitas intelektual, komunitas profesional, dan lain

sebagainya. Budaya jenis inidapatberupa ucapan atau perbuatan.

Selain adat ‘urfiyyah ammah dan adat ‘urfiyyah khassah,

Muhammad S}idqi bin Ahmad al-Burnu menambahkan satu

kategorilagi, yaitu adat ‘urfiyyah shar’iyyah (budaya

shar’i)55.Contohnya seperti istilah shalat’ asal maknanya adalah

berdoa, sementara dalam terminologi shariat mempunyai pengertian

setiap pekerjaan yang diawali takbir dan diakhiri dengan salam.

Bila ditilik secara umum, sebenarnya hanya terdapat dua

kategori al-adat lagi, yakni al-adat al-sahih dan al-adat al-fasid.

Perinciannya adalah sebagai berikut:

a. al-adat al-sahih, yakni bangunan tradisi yang tidak bertentangan

dengan dalil shar’i>, tidak mengharamkan sesuatu yang halal,

tidak membatalkan sesuatu yang wajib56, tidak menggugurkan

cita-cita kemaslahatan, serta tidak mendorong timbulnya

mafsadah57. Contohnya adalah adat masyarakat dalam masa

pertunangan pihak laki-laki memberikan hadiah kepada pihak

wanita dan hadiah ini tidak dianggap sebagai mas kawin.

b. al-adat al-fasid, yaitu tradisi yang berlawanan dengan dalil

shari’at, atau menghalalkan keharaman maupun membatalkan

55Muhammad Sidqi Ibn Ahmad al-Burnu, al-Wajiz fi Idah Qawaid al-Fiqhal-Kulliyah, (Beirut:

Muassasah al-Risalah, 1983),157

56Ibid Muhammad Sidqi Ibn Ahmad al-Burnu, al-Wajiz, 157

(49)

41

kewajiban58, serta mencegah kemaslahatan dan mendorong

timbulnya kerusakan59. Contohnya kebisaaan masyarakat Arab

jahiliyyah yang mengubur anak perempuan hidup-hidup karena

dianggap sebagai aib, berjudi atau taruhan, rentenir, pesta pora,

dan lain sebagainya. Jenis kedua ini sudah pasti bertentangan

dengan shari’at.

Para ulama sepakat bahwa al-adat al-sahih wajib dipelihara

dan diikuti bila sudah menjadi norma-norma sosial. Sebagaimana

yang dijelaskan oleh Abdul Karim Zaydan, bahwa Nabi Muhammad

SAW. sendiri cukup responsif dan apresiatif terhadap cita-cita

kemaslahatan masyarakat Arab melalui adat istiadat mereka. Syarat

kafa’ah (sepadan) dalam pernikahan, atau perhitungan sifat ‘as}abah

(kekerabatan) dalam perwalian dan waris mewaris yang sebenarnya

adalah tradisi masyarakat Arab pra-Islam ternyata diadopsi oleh Nabi

SAW. Sebaliknya al-adat al-fasid jelas tidak boleh dipelihara, karena

pemeliharaan terhadap tradisi ini akan mengakibatkan kerusakan

Para ulama menggunakan al-’Urf sebagai landasan atau

sumber pembentukan Hukum Islam, bersepakat bahwa hukum yang

dibentuk berdasarkan pada al'-'urf bertahan selama al-’Urf telah

berubah, maka kekuatan hukum itu pun juga berubah. Dengan kata

lain, bahwa ketetapan Hukum Islam yang dibentuk bersumberkan

58Abdul Wahhab Khallaf, Ilmu Usul Fiqh wa Khulas}hahTa>ri>kh al-Tasyri>’ (Mshr:

al-Mu’assah al-Sa’u>diyah, tt), 89

(50)

Referensi

Dokumen terkait

Kesimpulan dalam penelitian ini Pemaknaan Karikatur “Fulus Nazarudin Untuk Petingi Demokrat” adalah pemaknaan gambar secara mendalam dari ikon, indeks dan simbol

Hasil dari analisis bivariat dengan menggunakan uji statistik chi- square menunjukkan ada hubungan yang bermakna antara paritas dengan pemilihan alat kontrasepsi dalam

Bergaul dengan orang seperti itu adalah bertemu dengan waktu atau kesempatan yang tidak menguntungkan (kàlavipatti) ketika karma baik tidak mendukung dan karma buruk

Sementara itu dapat dilihat pula bahwa penambahan sumber nitrogen amonium sulfat baik digunakan untuk pertumbuhan bakteri dikarenakan C/N Rasio media dengan penambahan amonium

Tujuan dari penelitian adalah untuk mengetahui perbedaan kuat lentur dan beban batas yang terjadi pada panel sirip bambu dengan takikan pada permukaan panel

Ari Saputra dan Bayu Mitra Adhytama Kusuma dengan penelitian yang berjudul “Revitalisasi Masjid Dalam Dialektika Pelayanan Umat dan Kawasan Perekonomian Rakyat”

Jika Anda memerlukan informasi atau mengalami masalah, silahkan kunjungi situs Web Philips di www.philips.com atau hubungi Pusat Layanan Pelanggan Philips di negara Anda lihat

Bila pengumpulan data dilakukan secara kelompok yang terdiri atas 5 orang pengumpul data, maka setiap anggota kelompok harus dapat menghubungi 100 orang anggota sampel, atau 5