STUDI KOMPARASI PENDAPAT MAZHAB HANAFI DAN MAZHAB
SYAFI’I TENTANG STATUS HUKUM ISTRI PASCA MULA>’ANAH
SKRIPSI
Oleh
BAMBANG KUSWANTO NIM. C51211164
Universitas Islam Negeri Sunan Ampel Fakultas Syariah dan Hukum Jurusan Hukum Perdata Islam Program Studi Hukum Keluarga Islam
SURABAYA
ABSTRAK
Skripsi yang berjudul “Studi Komparasi Pendapat Mazhab H{anafi dan Mazhab Syafi’i tentang Status Hukum Istri Pasca Mula>’anah” ini merupakan hasil penelitian pustaka (library research) yang bertujuan untuk memberikan jawaban atas pertanyaan-pertanyaan, tentang Bagaimana deskripsi pendapat Mazhab H{anafi dan Mazhab Syafi’i tentang status hukum istri pasca mula>’anah?, Bagaimana analisis perbedaan dan persamaan terhadap pendapat Mazhab H{anafi dan Mazhab Syafi’i tentang status hukum istri pasca mula>’anah?
Dalam rangka untuk menjawab masalah-masalah di atas, penulis melakukan penelitian dengan menghimpun literatur-literatur yang berhubungan dan relevan dengan pendapat mazhab H{anafi dan mazhab Syafi’i tentang status hukum istri pasca mula>’anah. Kemudian data yang telah terkumpul dianalisis menggunakan metode analisis deskriptif komparatif.
Berdasarkan penelitian ini diperoleh hasil bahwa terdapat beberapa persamaan dan perbedaan pendapat antara Mazhab H{anafi dan Mazhab Syafi’i. Persamaannya adalah kedua Mazhab sama-sama sepakat bahwasanya wajib berpisah bagi suami istri sesudah mereka berdua bermula>’anah. Mazhab H{anafi dan Mazhab Syafi’i juga sepakat bahwasanya Mula>’anah tidak jadi dilaksanakan jika tidak ada syarat-syarat seperti: a)Orang yang dituduh berzina istrinya sendiri, b)Suami tidak mempunyai saksi dalam tuduhannya, c)Istri membantah apa yang dituduhkan kepadanya, d)Tuduhannya itu khusus tuduhan zina atau tidak mengakui anak yang dikandung istrinya.
Perbedaan pendapat kedua Mazhab adalah dalam hal status hukum istri pasca mula>’anah. Menurut Mazhab H{anafi bagi Suami Istri yang telah bermula>’anah jika suaminya sudah mengakui bahwa ia berdusta dalam tuduhannya, dan si istri mengakui kebenaran ucapan si suami maka mereka dibolehkan menikah kembali. Karena dasar haramnya untuk selama-lamanya bagi mereka adalah semata-mata tidak dapat menentukan mana yang benar dari suami istri yang bermula>’anah tersebut padahal sudah jelas salah satunya pasti ada yang berdusta. Karena itu jika telah terungkap rahasia tersebut, maka keharaman selama-lamanya jadi terhapus. Sedangkan Mazhab Syafi’i berpendapat bahwa istrinya itu menjadi haram dia kawini untuk selama-lamanya, sekalipun dia telah mengakui bahwa dirinya telah berdusta. Jika suami mengakui dirinya berdusta ketika menuduh istrinya berzina, maka hal ini tidak membuatnya dapat kembali kepada ikatan pernikahan, dan tidak membuat hilang pengharaman yang bersifat abadi karena perkara ini adalah hak untuk suami, dan dia telah batalkan haknya dengan perbuatan mula>’anah. . Oleh karena itu, tidak mungkin baginya untuk kembali bersama lagi.
DAFTAR ISI
Halaman
SAMPUL DALAM... i
PERNYATAAN KEASLIAN ... ii
PERSETUJUAN PEMBIMBING ... iii
PENGESAHAN ... iv
MOTTO ... v
ABSTRAK ... vi
KATA PENGANTAR ... vii
DAFTAR ISI ... ix
DAFTAR TRANSLITERASI ... xi
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah ... 1
B. Identifikasi dan Batasan Masalah ... 9
C. Rumusan Masalah ... 11
D. Kajian Pustaka ... 11
E. Tujuan Penelitian ... 15
F. Kegunaan Hasil Penelitian ... 15
G. Definisi Operasional ... 16
H. Metode Penelitian ... 17
I. Sistematika Pembahasan ... 21
BAB II PENDAPAT MAZHAB H{ANAFI TENTANG STATUS HUKUM ISTRI PASCA MULA>’ANAH A. Biografi Imam H{anafi ... 23
B. Istinbat Hukum Mazhab H{anafi ... 31
C. Status Hukum Istri Pasca Mula>’anah Menurut Mazhab H{anafi ... 35
BAB III PENDAPAT MAZHAB SYAFI’I TENTANG STATUS HUKUM
A. Biografi Imam Syafi’i... 45 B. Istinbath Hukum Mazhab Syafi’i... 52 C. Status Hukum Istri Pasca Mula>’anah Menurut Mazhab
Syafi’i ... 57
BAB IV ANALISIS PENDAPAT MAZHAB H{ANAFI DAN MAZHAB
SYAFI’I TENTANG STATUS HUKUM ISTRI PASCA MULA>’ANAH
A. Analisis Persamaan Pendapat Mazhab H{anafi dan
Mazhab Syafi’i Tentang Status Hukum Istri Pasca
Mula>’anah ... 68
B. Analisis Perbedaan Pendapat Mazhab H{anafi dan
Mazhab Syafi’i Tentang Status Hukum Istri Pasca
Mula>’anah ... 71
BAB V PENUTUP
A. Kesimpulan ... 78 B. Saran ... 79
DAFTAR PUSTAKA LAMPIRAN
BAB I PENDAHULUAN
A.Latar Belakang Masalah
Perkawinan merupakan sesuatu yang sangat penting dalam kehidupan
manusia. dengan adanya perkawinan diharapkan akan terbentuknya suatu
keluarga yang bahagia, kekal dan abadi. Hikmah yang terdapat didalam
perkawinan ialah diantaranya yakni menjauhkan atau mengindarkan diri dari
perbuatan keji seperti zina.1Namun perkawinan itu tidak selamanya
mendatangkan kebahagian, ada kalanya perkawinan tersebut mendapatkan
rintangan seperti perceraian karena adanya suatu penyebab. Dan salah satu
alasan penyebab terjadinya perceraian adalah karena salah satu diantara mereka
melakukan perzinaan.
Didalam kitab Al- Fiqhu Al-Islami wa Adillatuhu disebutkan mengenai
pengertian zina sebagai berikut :
ِ لاِ
نز
ِ للاِيِا
ِ غِ ة
ِِ و
ِ شلا
ِ رِ ع
ِِ ب
ِ عِ ن
ِ وِ
ِ حا
ِ د
ِ وِ:
ِ ِ وِ
ِ وِ ط
ِ ءِ
ِ رلا
ِ ج
ِ لِ
ِ اِ لِ رِ أ
ِ ةِ
ِ ي
ِ ل ُ ُلاِ
ِ
ِ ي
ِ َِ
ِ يِ
ِ لا
ِ ك ل
ِِ و
ِ شِ ُ
ِ هِ ته
Zina menurut bahasa dan istilah memiliki satu kesatuan makna, yaitu seorang laki – laki menyetubuhi seorang wanita melalui qubul tanpa adanya hak kepemilikan yang sah (Nikah).2
Perzinaan merupakan perbuatan yang sangat tercela karena selain
bertentangan dengan agama juga bertentangan dengan hukum dan adat istiadat
1Muhammad Zuhaily, Fiqih Munakahat Kajian Fiqih Pernikahan dalam Perspektif Mazhab
Syafi’i,(Surabaya;Imtiyaz 2013)23.
2
masyarakat. Dampak dari perzinaan sangat besar baik bagi pelakunya maupun
bagi masyarakat. Atas dasar itu agama Islam menciptakan hukuman bagi pelaku
perzinaan yaitu rajam bagi yang telah menikah dan dicambuk 100 kali bagi
yang belum menikah.3
Landasan untuk itu adalah firman Allah Swt dalam surat An Nuur ayat 2
yang berbunyi: ِ ِ ِ ِ ِ ِ ِ ِ ِ ِ ِ ِ ِ ِ ِ ِ ِ ِ ِ ِ ِ ِ ِ ِ ِ ِ ِ ِ ِِِ ِ
“perempuan yang berzina dan laki-laki yang berzina, Maka deralah tiap-tiap seorang dari keduanya seratus dali dera, dan janganlah belas kasihan kepada keduanya mencegah kamu untuk (menjalankan) agama Allah, jika kamu beriman kepada Allah, dan hari akhirat, dan hendaklah (pelaksanaan) hukuman mereka disaksikan oleh sekumpulan orang-orang yang beriman.”4
Perbuatan zina juga dapat merusak sendi-sendi agama dan moral serta
meruntuhkan seluruh norma dan tatanan kehidupan masyarakat. Dalam
pandangan Quraish Shihab bahwa seks dalam pandangan Islam adalah sesuatu
yang suci.5Namun dengan adanya perzinaan maka menyebabkan simpang
siurnya keturunan, terjadinya kerusakan terh{adap keturunan, dan berantakannya
keluarga. Bahkan hingga menyebabkan tercabutnya akar kekeluargaan,
menyebarnya penyakit menular, merajalelanya nafsu, dan maraknya kebobrokan
moral.6
3Abd al-Qadir Audah, al-Tasyri' al-Jina'i al-Islamy, Juz I, (Mesir: Dar al-Fikr al-Araby,tth),78. 4Departemen Agama RI, Al-Qur’an dan Terjemahnya, (Surabaya: Penerbit Mahkota, 2001),544. 5 Quraish Shihab, Mistik, Seks, dan Ibadah, (Jakarta: Republika, 2004), 2.
3
Adanya perbuatan muhshanah seharusnya dapat lebih menjaga dari untuk
tidak melakukan perbuatan tercela. Apalagi, jika masih dalam ikatan
perkawinan yang berarti menyakiti dan mencemarkan nama baik keluarganya. 7
Sesungguhnya ketika dua insan mengikat sebuah tali pernikahan, maka
keduanya telah berjanji agar setia kepada pasangannya di kala senang dan
maupun susah hingga akhir hayat. Namun terkadang sebuah ikatan yang telah
ia jalin bersama pasangannya bisa saja terjadi cerai dan melupakan janji setia
tersebut. Apalagi jika salah satu diantara meraka sudah melempar tuduhan
berbuat zina kepada satunya. hingga mencapai suatu level dimana kedua belah
pihak sudah tidak mungkin bersatu kembali, bahkan keduanya harus melakukan
sumpah di h{adapan hakim bahwa pasangannya telah berzina dengan orang lain.
Inilah yang dikenal didalam fiqih disebut li’a>n.
Kata “li’a>n” terambil dari kata al-la’nu, yang artinya jauh dan laknat atau
kutukan. Disebut demikian karena suami istri yang saling berli’a>n
(bermula>’anah) itu berakibat saling dijauhkan oleh hukum dan diharamkan
berkumpul sebagai suami istri untuk selama-lamanya, atau karena yang
bersumpah li’a>n itu dalam kesaksiannya yang kelima menyatakan bersedia
menerima laknat Allah jika pernyataannya tidak benar.8
7 M. Rizal Qosim, Pengamalan Fikih 2 (Solo, Aqila,2013) 30.
8Direktorat Jendral Pembinaan Kelembagaan Agama Islam Departemen Agama, Ilmu Fiqh jilid II,
4
Menurut istilah hukum Islam. Li’a>n ialah sumpah yang diucapkan oleh
suami ketika ia menuduh istrinya berbuat zina dengan empat kali kesaksian
bahwa ia termasuk orang yang benar dalam tuduhannya. Kemudian pada
sumpah kesaksian kelima disertai persyaratan bahwa ia bersedia menerima
laknat Allah jika ia berdusta dalam tuduhannya itu.9
Menurut KHI yang disebutkan dalam pasal 126, Li’a>n terjadi karena suami
menuduh istri berbuat zina dan atau mengingkari anak dalam kandungan atau
yang sudah lahir dari isterinya, sedangkan isteri menolak tuduhan dan atau
pengingkaran tersebut.10
Li’a>n terjadi apabila seorang suami menuduh istrinya berbuat zina, atau
tidak mengakui anak yang lahir dari istrinya sebagai anak kandungnya,
sedangkan istrinya tersebut menolak tuduhannya itu, padahal si suami tidak
punya bukti bagi tuduhannya itu, maka dia boleh melakukan sumpah li’a>n
terh{adap istrinya itu. Caranya adalah Si suami bersumpah dengan saksi Allah
sebanyak empat kali bahwa dia adalah termasuk orang-orang yang berkata
benar tentang apa yang dituduhkannya kepadanya istrinya itu. Kemudian pada
sumpahnya yang kelima dia hendaknya mengatakan bahwa, laknat Allah akan
menimpa dirinya manakala dirinya termasuk orang-orang yang berdusta.
Selanjutnya istrinya bersumpah pula dengan saksi Allah sebanyak empat kali,
bahwa suaminya itu termasuk orang-orang yang berdusta. Lalu pada sumpahnya
5
yang kelima, hendaknya dia mengatakan bahwa murka Allah akan menimpanya
manakala suaminya itu termasuk orang-orang yang benar.11
Landasan untuk itu adalah firman Allah Swt dalam surat An Nuur ayat 6-9
yang berbunyi: ِ ِ ِ ِ ِ ِ ِ ِ ِ ِ ِ ِ ِ ِ ِ ِ ِ ِ ِ ِ ِ ِ ِ ِ ِ ِ ِ ِ ِ ِ ِ ِ ِ ِ ِ ِ ِ ِ ِ ِ ِ ِ ِ ِ ِ ِِِ ِ ِ ِ ِ ِ ِ ِ ِ ِ ِِِ ِ
Artinya: “Dan orang-orang yang menuduh isterinya (berzina), Padahal mereka tidak ada mempunyai saksi-saksi selain diri mereka sendiri, Maka persaksian orang itu ialah empat kali bersumpah dengan nama Allah, Sesungguhnya Dia adalah Termasuk orang-orang yang benar. Dan (sumpah) yang kelima: bahwa la'nat Allah atasnya, jika Dia Termasuk orang-orang yang berdusta. Istrinya itu dihindarkan dari hukuman oleh sumpahnya empat kali atas nama Allah Sesungguhnya suaminya itu benar-benar Termasuk orang-orang yang dusta. Dan (sumpah) yang kelima: bahwa laknat Allah atasnya jika suaminya itu Termasuk orang-orang yang benar.12
Menurut Al-Jurjawi, dalam sumpah li’a>n terkandung beberapa hikmah
antara lain:13
1. Suatu pernikahan dan fungsi wanita sebagai istri bagi suami tidak akan
sempurna kecuali dengan adanya keserasian dan saling menyayangi
antara keduanya. Tetapi apabila sudah terdapat tuduhan zina dan
melukai istri dengan kekejian, maka hati mereka akan sempit dan
11Muhammad Jawad Mughniyah, al-Fiqh ‘ala al-Madzahib al-Khamsah, (Dar al-Jawad; Beirut
1996)333.
12Departemen Agama RI, Al-Qur’an dan Terjemahnya..., 544.
13Ahmad Ali al-Jurjawi. Hikmah al-Tasyri’ wa Falsafatuh (falsafat dan Hikmah HukumIsalam).
6
hilanglah kepercayaan dari istri sehingga mereka berdua hidup dalam
kedengkian yang tentu akan membawa akibat jelek.
2. Melarang dan memperingatkan suami istri agar jangan melakukan
perlakuan buruk yang akan mengurangi kemulian itu.
3. Menjaga kehormatannya dari kehinaan pelacuran yang tidak pernah
hilang pengaruhnya siang dan malam.
Setelah berlangsung prosesi li’a>n antara suami dan istri terjadilah
perpisahan antara suami istri dan untuk selanjutnya putus hubungan perkawinan
diantara keduanya. Keduanya dipisahkan, dan si anak tidak dinyatakan sebagai
anak suaminya itu. Putusnya perkawinan tersebut menurut segolongan ulama,
yaitu Imam Malik dan al-Laits terjadi setelah keduanya menyelesaikan
li’a>nnya, sedangkan menurut Imam Syafi’i putus perkawinan setelah suami
menyelesaikan li’a>nnya tanpa memerlukan putusan hakim. Adapun menurut
Imam H{anafi perkawinan putus semenjak diputuskan oleh hakim. Setelah
putus perkawinan itu apakah suami yang telah me li’a>n istrinya itu masih
mungkin kembali kepada istrinya dengan akad perkawinan baru, terdapat
perbedaan pendapat dikalangan ulama.14
Sebenarnya semua mazhab sepakat atas wajibnya berpisah bagi kedua orang
tersebut sesudah mereka berdua bermula>’anah tetapi mereka berbeda pendapat
tentang apakah si istri menjadi haram selamanya bagi suaminya, dalam arti dia
14Amir Syarifuddin, Hukum Perkawinan Islam di Indonesia: Antara Fiqh Munakahat dan
7
tidak boleh lagi melakukan akad nikah sesudah mula>’anah tersebut, bahkan
sesudah si suami mengakui sendiri bahwa apa yang dia tuduhkan itu sebenarnya
dusta belaka. yang menjadi pertanyaan apakah haram secara temporal, dan dia
boleh melakukan akad kembali dengan istrinya itu sesudah dia mengakui
kedustaannya?.15
Syafi’i, Hambali> dan Maliki> berpendapat bahwa istrinya itu menjadi haram
dia kawini untuk selama-lamanya, sekalipun dia telah mengakui bahwa dirinya
telah berdusta. Mereka beralasan dengan dasar hukum H{adits Nabi:16
ِ بِو ر م عِا ن ر ُ خ أِ: لو ُ يِ، ة ن ي ي عِ ن بِ نا ي ف سِ ت ع َ وِ: لا قِ، ه ن عِ ه للاِ ي ض رِ ي ع فا شلاِا ن ر ُ خ أ
ِ نِ
ِ،ٍرا ني د
ِ: ْ ن عا ت م ل لِ لا قِ م ل س وِ ه ي ل عِ ه للاِى ل صِ ِ نلاِ ن أِ: ر م عِ ن باِ ن عِ،ٍ ي ُ جِ ن بِ دي ع سِ ن ع
«
ِا م ك با س ح
ِ ب ذا كِا م ك د ح أِ، ه للاِى ل ع
ا ه ي ل عِ ك لِ لي ُ سِا،
ِ»
ِ: لا قِ، ِا مِ ه للاِ لو س رِا يِ: لا قِ،
«
ِِ ن إِ ك لِ لا مِا
ِ ك لِ د ع ب أِ ك ل ذ فِ،ا ه ي ل عِ ت ب ذ كِ ت ن كِ ن إ وِ،ا ه ج ر فِ ن مِ ت ل ل ح ت ساِا بِ و ه فِا ه ي ل عِ ت ق د صِ ت ن ك
ِ
ِ ه ن مِ و أِا ه ن م
»
Artinya :“Syafi’i memberi tahu kepada kami, ia berkata:saya mendengar Sufyan bin Uyainah ia berkata : Umar memberi tahu kepada kami ,Dari Sa’id bin Jubair ra, berkata “saya bertanya kepada ibnu umar tentang dua orang yang berli’an lalu beliau berkata: “Nabi SAW. Bersabda kepada dua orang yang saling melakukan li’an : “ hisab kalian berdua itu dih{adirat Allah salah seorang diantara kalian berdua itu berdusta untukmu tidak ada jalan untuk bersatu lagi dengan istrimu”. Ia berkata Ya Rasulullah bagaimana dengan harta saya (mas kawin) yang telah diberikan kepadanya? Beliau menjawab: tidak ada harta bagimu, kalau tuduhanmu benar, maka hartamu itu untuk menghalalkan kemaluannya bagimu, dan apabila kamu berdusta, maka hartamu lebih menjauhkan kamu lagi dari padanya”.17
Sementara itu, H{anafi berpendapat bahwa mula>’anah itu sama dengan talak,
sehingga istrinya itu haram tidak untuk selama-lamanya. Sebab keharaman itu
15 Muhammad Jawad Mughniyah, al-Fiqh ‘ala al-Madzahib al-Khamsah...,334.
16Amir Syarifuddin, Hukum Perkawinan Islam di Indonesia: Antara Fiqh Munakahat...122.
8
disebabkan mula>’anah, dan bila si suami telah mengakui kedustaan dirinya,
maka hilang pulalah keharaman itu. H{anafi memberikan kemungkinan bagi
keduanya untuk kembali membangun perkawinan bila salah seorang diantara
keduanya mencabut sumpah li’a>nnya. H{anafi berpendapat Dengan pencabutan
itu keduanya dapat kembali dengan akad baru.18
Mayoritas para ulama’ berpendapat bahwa pasca mula>’anah, istrinya itu
menjadi haram dia kawini untuk selama-lamanya ,oleh karena itu disini penulis
memfokuskan merujuk pada satu Mazhab saja yakni Mazhab Syafi’i yang juga
berpendapat demikian, bahwasanya istrinya itu menjadi haram dia kawini untuk
selamanya. Alasan penulis memilih Mazhab Syafi’i karena Muslim di Indonesia
pada umumnya mengikuti ajaran atau mazhab Syafi’i. Sedangkan jelas yang
memberikan kemungkinan bagi keduanya untuk kembali membangun
perkawinan hanyalah Mazhab H{anafi .
Perbedaan pengambilan dasar hukum pendapat Mazhab H{anafi dan Mazhab
Syafi’i tentang status istri mula>’anah tentu sangat menarik untuk dipelajari
lebih dalam, sehingga dengan begitu penulis dapat memaparkan perbedaan
pemikiran keduanya, metode pengambilan hukum, ketentuan istri mula>’anah
dari kedua pendapat yang saling berseberangan ini.
Dengan pertimbangan tersebut, maka penulis ingin membahas lebih lanjut
mengenai pendapat Mazhab H{anafi dan Mazhab Syafi’i tentang status hukum
18Abu Bakar bin Mas’ud al- Kasani al-Hanafi, Bada’I as-Shana’i fi Tartiibi as-Syara’i, Juz III,
9
istri mula>’anah dalam perkawinan, Hal itulah yang mendasari penulis untuk
membuat suatu kajian mengenai pembahasan li’a>n, dengan skripsi yang
berjudul "Studi Komparasi pendapat Mazhab H{anafi dan Mazhab Syafi’i
tentang status hukum istri pasca mula>’anah".
B.Identifikasi dan Batasan Masalah
Setelah penulis memaparkan faktor-faktor yang mendorong dilakukannya
penelitian mengenai pendapat Mazhab H{anafi dan Mazhab Syafi’i tentang
status hukum istri pasca mula>’anah, perlu kiranya penulis sarikan poin-poin
penting yang akan menjadi fokus penelitian penulis selanjutnya, poin-poin
penting tersebut di antaranya adalah:
1. Pengertian mula>’anah menurut Mazhab H{anafi dan Mazhab Syafi’i.
2. Pandangan Mazhab H{anafi dan Mazhab Syafi’i tentang dasar hukum
mula>’anah.
3. Metode istinba>t} hukum yang dipakai oleh Mazhab H{anafi dan Mazhab
Syafi’i.
4. Ketentuan mula>’anah menurut Mazhab H{anafi dan Mazhab Syafi’i.
5. Pandangan Mazhab H{anafi dan Mazhab Syafi’i tentang status istri
mula>’anah.
10
7. Perbedaan dan persamaan pendapat Mazhab H{anafi dan Mazhab Syafi’i
tentang status hukum istri pasca mula>’anah
8. Hikmah yang didapat dari mula>’anah.
Mengingat luasnya masalah yang tercakup dalam studi penelitian ini, maka
diperlukan adanya pembatasan objek penelitian agar pembahasannya lebih
terfokus, yaitu pada:
1. Pandangan Mazhab H{anafi dan Mazhab Syafi’i tentang status hukum istri
pasca mula>’anah.
2. Perbedaan dan persamaan pendapat Mazhab H{anafi dan Mazhab Syafi’i
tentang status hukum istri pasca mula>’anah.
Poin-poin tersebut akan diramu dalam sebuah rumusan masalah pada
sub-bab selanjutnya untuk dijadikan sebagai acuan penelitian penulis dalam masalah
Status hukum istri pasca mula>’anah yang dikemukakan oleh Mazhab H{anafi
dan Mazhab Syafi’i.
C.Rumusan Masalah
1. Bagaimana persamaan pendapat Mazhab H{anafi dan Mazhab Syafi’i
tentang status hukum istri pasca mula>’anah?
2. Bagaimana perbedaan terh{adap pendapat Mazhab H{anafi dan Mazhab
11
D.Kajian Pustaka
Kajian pustaka adalah deskripsi ringkas tentang kajian/penelitian yang
sudah pernah dilakukan seputar permasalahan yang akan diteliti penulis.
Kajian pustaka dilakukan untuk menegaskan bahwa kajian penelitian ini
bukan merupakan pengulangan atau duplikasi dari kajian/penelitian
sebelumnya.19
Adapun penelitian (skripsi) yang membahas tentang mula>’anah:
1. “Studi Analisis Terh{adap Ibnu 'Abidin Tentang Li'a>n Bagi orang Bisu”.
skripsi ini ditulis oleh Anisatul 'Inayah mahasiswa Fakultas syari’ah IAIN
walisongo Semarang ,2008.Dalam skripsi ini membahas bahwasanya menurut
Ibnu ‘Abidin tidak ada li’a>n bagi orang bisu. Ini sesuai dengan yang beliau tulis
dalam kitabnya yaitu Radd al-Muhtar juz V. Ibnu ‘Abidin mengatakan syarat
-syarat li’a>n salah satunya adalah harus bisa berbicara. Karena ketika seseorang
yang berli’a>n itu bisu atau tidak dapat berbicara maka tidak ada li’a>n dan tidak
ada h{ad. Karena Ibnu ‘Abidin menggolongkan li’a>n ke dalam bentuk kesaksian,
bukan termasuk dalam bentuk sumpah. Sehingga orang yang bisu tidak boleh
berli’a>n karena orang bisu adalah orang yang kesaksiannya tidak dapat diterima
atau bukan orang yang ahli bersaksi.20
19 Fak. Syariah IAIN Sunan Ampel, Petunjuk Teknis Penulisan Skripsi, (Surabaya: IAIN Sunan
Ampel, Cet. IV, 2012), 9
20Anisatul 'Inayah, “Studi Analisis Terh{adap Ibnu 'Abidin Tentang Li'an Bagi orang Bisu” (Skripsi--
12
2. “Studi Analisis Pendapat Imam Abu Hanifah Tentang Kewajiban Suami
Pada Istri yang dili’a>n.” Skripsi ini ditulis oleh Nani nursamsiyah, mahasiswa
Fakultas syari’ah IAIN walisongo Semarang ,2011. Skripsi ini membahas
menurut Imam Abu Hanifah, li’a>n disamakan dengan talak ba’in. Hal ini
dikarenakan li’a>n yang timbul dari pihak suami dan tak ada campur tangan
dengan pihak istri. Setiap perpisahan yang timbul dari pihak suami adalah talak
bukan fasakh. Jadi seorang suami wajib memberi nafkah dan tempat tinggal
terh{adap istri selama masa iddah. Istinba>th Hukum yang digunakan Imam Abu
Hanifah dalam pendapatnya tentang kewajiban suami pada istri yang dilli’a>n
adalah dengan menggunakan qiyas. Sehingga hukumnya wajib memberikan
nafkah dan tempat tinggal. Semua itu dilakukan untuk memberikan sanksi yang
tegas pada suami agar lebih memperhatikan kebutuhan istri dan tanggung jawab
sebagai suami.21
3. “Kedudukan Hukum Anak yang Lahir Akibat dari Perceraian Li’a>n dalam
Hukum Waris Islam” skripsi ini ditulis oleh Fariha yustisia mahasiswa Fakultas
hukum Universitas Jember, 2013. kesimpulan dari penulis skripsi ini adalah
anak yang dilahirkan akibat dari li’a>n mempunyai hubungan nasab dengan ibu
dan keluarga ibunya saja. Terh{adap suami ibunya maupun terh{adap laki-laki
yang menyebabkan terjadinya suatu kelahiran tidak ada hubungan nasab. Secara
yuridis ayahnya tidak mempunyai kewajiban memberikan nafkah kepada
21Nani nursamsiyah “Studi Analisis Pendapat Imam Abu Hanifah Tentang Kewajiban Suami Pada
13
anaknya dan tidak bisa menjadi wali nikah apabila anak li’a>n tersebut
perempuan. Sedangkan Dalam hal hubungan kewarisan antara laki-laki dengan
anak yang dili’a>n terputus dan untuk selanjutnya hubungan kewarisannya hanya
dengan ibunya saja. Di samping mempunyai hubungan kewarisan dengan
ibunya, anak li’a>n juga mempunyai hubungan kewarisan dengan orang-orang
yang bertalian keluarga dengan ibunya yang bertalian hanya melalui garis
perempuan.22
4. “Tinjauan Hukum Islam Tentang Status Anak Yang Lahir Setelah
Perceraian Sebab Li'a>n (Analisis Terh{adap Undang-Undang No.1 Tahun 1974
Pasal 42 Tentang Status Anak Sah)”. Oleh Atin Ratna Sari mahasiswa Fakultas
syari’ah IAIN walisongo Semarang ,2008. Dalam skripsi ini membahas
ketentuan yang terdapat dalam Undang-Undang No.1 Tahun 1974 Pasal 42
tidak sejalan dengan pengertian anak sah yang terdapat dalam hukum Islam.
Karena dalam hukum Islam terdapat pengecualian yaitu walaupun dalam
perkawinan yang sah tetapi apabila ayahnya melakukan pengingkaran terh{adap
anak yang dikandung oleh istri dan apabila setelah perceraian terjadi, maka
anak yang lahir tersebut hanya akan mempunyai hubungan nasab dengan ibunya
dan kedudukannya jelas menjadi anak yang tidak sah. Jadi dalam hukum Islam
status anak yang lahir setelah perceraian sebab li’a>n adalah tidak sah. Berbeda
22Fariha Yustisia “Kedudukan Hukum Anak yang Lahir Akibat dari Perceraian Li’an dalam Hukum
14
dengan pengertian anak sah yang terdapat dalam ketentuan Undang – Undang
No. 1 Tahun 1974 pasal 42. Secara implisit dalam ketentuan undang-undang
ini, status anak yang dilahirkan sebab li’a>n tetap disebut sebagai anak yang
sah.23
Dari hasil kajian pustaka tersebut, penulis memiliki penilaian bahwa
perbandingan antara penelitian yang akan dilakukan ini memiliki perbedaan
dari penelitian-penelitian sebelumnya. Skripsi yang akan ditulis oleh penulis
lebih menitikberatkan kepada perspektif dua mazhab mengenai status hukum
istri setelah melakukan sumpah li’a>n. Berdasarkan hasil penelusuran penulis
tersebut, tidak berlebihan kiranya jika penulis mengatakan bahwa penelitian
dalam skripsi ini merupakan penelitian yang belum pernah diteliti sebelumnya.
E. Tujuan Penelitian
Tujuan dari penelitian ini adalah:
1. Untuk mengetahui pendapat Mazhab H{anafi dan Mazhab Syafi’i tentang
status hukum istri pasca mula>’anah.
2. Untuk mengetahui perbedaan dan persamaan analisis dari pendapat Mazhab
H{anafi dan Mazhab Syafi’i tentang status hukum istri pasca mula>’anah.
23 AtinRatna Sari, “Tinjauan Hukum Islam Tentang Status Anak Yang Lahir Setelah Perceraian
Sebab Li'an (Analisis Terh{adap Undang-Undang No.1 Tahun 1974 Pasal 42 Tentang Status Anak
15
F. Kegunaan Penelitian
1. Secara Teoritis
Dari segi teoritis, hasil penelitian diharapkan berguna bagi pengembangan
ilmu pengetahuan serta memperluas wawasan ilmu-ilmu hukum Islam (fiqih),
khususnya terh{adap pendapat Mazhab H{anafi dan Mazhab Syafi’i tentang
status hukum istri pasca mula>’anah.
2. Secara Praktis
Secara praktis, hasil penelitian ini diharapkan dapat berguna sebagai bahan
pedoman atau acuan di lingkungan akademisi maupun juga para peneliti
selanjutnya apabila terdapat persoalan yang berkaitan dengan masalah
mula>’anah.
G.Definisi Operasional
Definisi operasional adalah memuat penjelasan tentang pengertian dari
variabel yang telah dipilih oleh peneliti. Guna mempermudah dalam memahami
maksud dari penelitian ini, maka berikut ini akan dipaparkan beberapa definisi
tersebut: menemukan maksud tersebut:
Studi Komparasi : Maksudnya sebuah studi yang bersifat komparasi
yaitu perbandingan sebagai penjelas.24 Dalam hal
24 Al-Barry, M. Dahlan Y., L. Lya Sofyan Yacub, Kamus Induk Istilah Ilmiah: Seri Intelektual,
16
ini adalah studi yang membandingkan serta
mencari titik persamaan dan perbedaan dua
pendapat yakni pendapat mazhab Hanafi dan
mazhab Syafi’i.
Mazhab Hanafi : Mazhab adalah pendapat atau aliran yang bermula
dari pemikiran atau ijtihad seorang imam dalam
memahami sesuatu. Pemikirannya kemudian
diikuti para pengikutnya dan dikembangkan
menjadi suatu aliran, sekte atau ajaran.25 Mazhab
Hanafi adalah salah satu aliran terkemuka dalam
islam (fiqh), didirikan Imam Hanafi , mazhab ini
berkembang di Irak, dan dikenal sebagai paling
rasional. Nama asli beliau adalah al-Nu’man bin
Tha>bit, dilahirkan pada tahun 699 Masehi atau
tahun 80 Hijriyah di Ku>fah (Irak).26
Mazhab Syafi’i :
Mazhab Syafi’i adalah salah satu aliran dalam
fiqh dikalangan ahl al-sunnah wa al-jama>’. Nama
ini dinisbatkan kepada Imam Syafi’i yang
merupakan pendirinya. Imam Syafi’i memiliki
17
Status Hukum
Istri Pasca Mula>’anah
:
:
nama asli Muhammad ibn Idris bin ‘Abba>s bin
‘Uthmanbin Syafi’i (150-204 H).27
Maksudnya adalah bahwa hukum istri tersebut
setalah melakukan mula>’anah menjadi mahram
muabbad (istri menjadi haram selamanya) atau
mahram muaqqat (istri boleh dinikahi kembali).
Adalah istri yang setelah melakukan sumpah li’a>n
sebab suaminya menuduh ia berzina atau
mengingkari anak yang ada didalam kandungan
istrinya.
Dari definisi-definisi di atas dapat diambil makna secara keseluruhan bahwa
penelitian ini merupakan upaya pemecahan masalah yang dilakukan oleh penulis
secara mendalam dan menyeluruh.
H.Metode Penelitian
Sebagai human instrument, penulis merupakan instrumen kunci dalam
penelitian kualitatif ini, sehingga terselenggaranya penelitian tersebut sangat
bergantung pada kegiatan penulis dalam pengumpulan data, analisis, serta
pembuatan kesimpulan.28 Penelitian ini berbentuk penelitian deskriptif, yaitu
suatu bentuk penelitian yang memaparkan dan menafsirkan data-data yang
27 Ibid, Jil.6,285.
18
telah terkumpul.29 Artinya, penelitian ini akan memaparkan Pendapat Mazhab
H{anafi dan Mazhab Syafi’i terkait status hukum istri pasca mula>’anah
kemudian pendapat tersebut akan dianalisis sebagaimana mestinya.
1. Data yang dikumpulkan
Data yang diperlukan dalam penulisan skripsi ini adalah:
a. Data tentang status hukum istri pasca mula>’anah dalam perkawinan
menurut Mazhab H{anafi dan Mazhab Syafi’i.
b. Data tentang dasar hukum Mazhab H{anafi dan Mazhab Syafi’i terkait
pendapat beliau terh{adap status hukum istri pasca mula>’anah dalam
perkawinan.
c. Data tentang persamaan dan perbedaan pandangan Mazhab H{anafi dan
Mazhab Syafi’i tentang status hukum istri pasca mula>’anah dalam
perkawinan.
2. Sumber Data
Data yang diperoleh dalam penelitian ini dikumpulkan dari sumber data
Sekunder. Adapun yang dimaksud dengan sumber data sekunder yang
digunakan oleh penulis adalah data yang diperoleh dari dokumen-dokumen
resmi, buku-buku, jurnal, tulisan di media online yang berhubungan dengan
objek penelitian, dan hasil-hasil penelitian. Sumber sekunder dalam penelitian
ini meliputi literatur-literatur mengenai mula>’anah, antara lain:
19
a. kitab karya Mazhab H{anafi dan didukung dengan beberapa kitab
pendukungnya yaitu:
1) Kitab Bada>’i u as-Shana>’i fi Tarti>b al-Shara>i’ karya Abu Bakar bin
Mas’ud Al- Ka>sa>ni Al- H{anafi
2) Kitab Al-Mabsu>t li as-Sarkhasi> karya Shamsuddin as-Sarkhasi>.
3) Kitab Fath{ al-Qadyr karya Muhammad bin Abdul Wa>hid al-H>anafi
4) Kitab Tabyi>n al-Haqa>iq Syarh{ Kanzu al-Daqai>q karya Fakhruddi>n
‘Uthma>n bin ‘Ali al-Hanafi.
Sebagai perbandingan penulis juga akan menggunakan kitab karya Mazhab
Syafi’i.
b. kitab karya Mazhab Syafi’i, dan kitab-kitab pendukung yang notabenya
merupakan pengikutnya seperti
1) Kitab al-Umm Li as- Sha@fi’i karya Muhammad bin Idris as- Syafi’i
2) Kitab Niha>yah al-Muhta>j ila Sharh al-Minha>j karya Muhammad bin Abi
‘Abba>s as-Syafi’i
3) Kitab al-Wajy>z fi Fiqih Mazhab al-Imam as-Syafi’i karya Muhammad
bin Muhammad al-Ghaza>ly>
4) Kitab Ha@siyah al Bujairami karya Sulaiman al-Bujairami.
20
Pengumpulan data dalam penelitian ini, penulis menggunakan metode
Library Research (kajian pustaka).30 Dalam pengumpulan data yaitu dengan
mencari sumber-sumber data di perpustakaan, baik perpustakaan yang ada di
lingkungan kampus maupun di perpustakaan pesantren.
4. Teknik Pengolahan Data
Setelah data yang dibutuhkan terkumpul, maka data tersebut diolah melalui
tahapan-tahapan berikut:
a. Editing, yaitu data yang sudah dikumpulkan tersebut lalu diperiksa
kembali secara cermat. Pemeriksaan tersebut meliputi segi kelengkapan
sumber informasi, kejelasan makna, kesesuaian dan keselarasan satu
dengan lainnya, relevansi dan keseragaman, serta kesatuan kelompok
data.
b. Organizing, yaitu pengaturan dan penyusunan data bagian-bagian
sehingga seluruhnya menjadi suatu kesatuan yang teratur dengan
memberikan kode-kode tertentu pada masing-masing kategori atau nilai
setiap variabel.
c. Tabulasi, setelah data diperoleh dan terkumpul, maka dilakukan
pengelompokan data yang telah tersusun rapi dalam suatu bentuk
pengaturan yang logis dan ringkas.
5. Teknik Analisis Data
21
Untuk menganalisis data yang telah dikumpulkan. penulis menggunakan
teknik deskriptif komparatif dengan pola pikir deduktif, yaitu menggambarkan
hasil penelitian secara sistematis dengan diawali teori atau dalil yang bersifat
umum yang menjelaskan tentang status hukum istri pasca mula>’anah menurut
Mazhab H{anafi dan Mazhab Syafi’i.
Penelitian deskriptif adalah suatu penelitian yang bertujuan untuk
membuat deskripsi atau gambaran secara sistematis, faktual dan akurat
mengenai fakta-fakta, sifat-sifat serta hubungan antar fenomena yang
diselidiki.31 Pendekatan deskriptif komparatif dipergunakan untuk mengetahui
pendapat Mazhab H{anafi dan Mazhab Syafi’i terkait status hukum istri pasca
mula>’anah. Selanjutnya, deskripsi tersebut dianalisis menggunakan pola pikir
deduktif.
Dengan teori-teori atau dalil yang bersifat umum mengenai status hukum
istri pasca mula>’anah dalam hukum Islam, kemudian dianalisis dari persamaan
dan perbedaan kedua pendapat sehingga bisa diambil beberapa kesimpulan.
I. Sistematika Pembahasan
Agar dalam pembuatan skripsi ini dapat terarah dan sesuai dengan apa yang
diharapkan oleh penulis, maka disusunlah sistematika pembahasan yang terbagi
22
dalam lima bab yang terdiri atas beberapa subbab, adapun susunannya sebagai
berikut:
Bab pertama: Pendahuluan. Bab ini merupakan pengantar penelitian yang
memiliki unsur-unsur, di antaranya: latar belakang masalah, rumusan
masalah, kajian pustaka, tujuan penelitian, kegunaan penelitian,
definisi operasional, metode penelitian, serta sistematika pembahasan.
Bab kedua: Pembahasan. Pada bab ini akan disajikan bahasan mengenai biografi
Imam H{anafi ,nama-nama guru dan murid beliau, kitab-kitab karya
beliau, sejarah perkembangan dan penyebaran mazhab H{anafi , metode
istinba>t mazhab H{anafi , dan pendapat Mazhab H{anafi tentang status
hukum istri pasca mula>’anah.
Bab ketiga: Pembahasan. Pada bab ini akan disajikan bahasan mengenai
biografi Imam Syafi’i, nama-nama guru dan murid beliau, kitab-kitab
karya beliau, sejarah perkembangan dan penyebaran mazhab H{anafi ,
dan pendapat Mazhab Syafi’i tentang status hukum istri pasca
mula>’anah.
Bab keempat: Analisis Data. Dalam bab ini Pendapat Mazhab H{anafi dan
Mazhab Syafi’i terkait status hukum istri pasca mula>’anah akan
dianalisis.
BAB II
PENDAPAT MAZHAB H{ANAFI TENTANG
STATUS HUKUM ISTRI PASCA MULA>’ANAH
A. Biografi Imam H{anafi 1. Nasab Imam H{anafi
Imam H{anafi adalah pendiri mazhab H{anafi nama aslinya Nu’ma>n Bin
Tha>bit al-Taymi> al-Ku>fi. Imam H{anafi memiliki nama kunyah yaitu Abu>
Hanifah. Beliau dilahirkan di Kuffah pada tahun 80 H/699M.1 Hidup di bawah
pemerintahan Bani Umayyah selama lima puluh dua tahun dan delapan belas
tahun dibawah Bani ‘Abbas (‘Abbasiyah). Imam H{anafi menghabiskan masa
kecil dan tumbuh dewasa di kufah. Sejak masih kanak- kanak beliau telah
mengkaji dan menghafal Al- Qur’an.
Imam Hanafi adalah keturunan Persia. Beberapa pendapat menyatakan
bahwa Imam Hanafi adalah keturunan Persia yang merdeka. Isma>il bin H}amma>d
yaitu seorang cucu Imam Hanafi mengatakan “Kami adalah keturunan
bangsawan Persia yang merdeka. Demi Allah, keluarga kami sama sekali tidak
pernah menjadi budak.
Silsilah nasab Imam Hanafi yaitu Nu’ma>n Bin Tha>bit bin Zut{a bin
Mah{muli Taymillah bin Tha’labah. Ayahnya seorang pedagang besar, yakni
1Ahmad al-Subarsi, Sejerah dan Biografi Imam empat Mazhab, Sabil Huda, Ahmadi(Jakarta;Amzah,
24
seorang pedang sutra asli Persia yang pernah berjumpa dengan Ali bin Abi
Thalib. Karenanya Imam H{anafi sebelum memusatkan perhatiannya kepada
ilmu, turut berdagang di pasar menjual kain sutra. Di samping berniaga, ia juga
tekun menghafal al-Qur’an dan amat gemar membacanya.2
Kecerdasan otaknya menarik perhatian orang-orang yang mengenalnya.
Karenanya Asy-Sya’bi menganjurkan supaya Imam H{anafi mencurahkan
perhatiannya kepada ilmu. Dengan anjuran Asy-Sya’bi mulailah Imam H{anafi
terjun mendalami ilmu. Namun demikian Imam H{anafi tidak melepaskan
usahanya sama sekali.3
Dalam kehidupannya Imam H{anafi adalah seorang yang hidup
berkecukupan. Sebagai pedagang, ia tidak tamak, juga tidak takut kehabisan
harta, sangat memelihara amanah orang yang dititipkan kepadanya, murah hati
yang mempergunakan kekayaan untuk kehidupan orang lain. Amat kuat
agamanya, amat banyak ibadahnya, berpuasa di siang hari dan mengerjakan
shalat lail di malamnya. Karena sifat-sifat ini, maka beliau menjadi saudagar
yang ganjil di antara para pedagang. Karenanya orang-orang menyamakannya
dengan Abu Bakar Az-Shiddiq.4 Selain memperdalam Al-Qur’an, beliau juga
aktif mempelajari ilmu fiqih. Dalam hal ini beliau belajar di kalangan sahabat
Rasul, diantaranya kepada Anas bin Malik, Abdullah bin Aufa dan Abu> Tufayl
2Azyumardi Azra, Ensiklopedi Islam, Jilid 2,( Jakarta: PT Ichtiar Baru Van Hoeve,2005) 79.
3Abdullah Mustafa, Al-Fath Al-Mubin Fi Tabaqat Al- Ushuliyin:“Pakar-Pakar Fiqih Sepanjang
Sejarah”, Husain Muhammad. (Yogyakarta:LKPSM, 2001)72.
25
Amir, dan lain sebagainya. Dari mereka, beliau juga mendalami ilmu hadits. 5
Dimasa Umayyah, Yazid bin Umar bin Humairah pernah bekerja di Irak
sebagai pegawai Marwan. Beliau lalu meminta Imam H{anafi menggantikan
kedudukannya sebagai hakim di Kuffah, tetapi beliau menolaknya. Yazid lalu
memukulnya sebanyak 110 kali. Tapi Imam H{anafi tidak mengubah
pendiriannya. Yazid pun mengubah metodenya.6
Imam H{anafi yang mempunyai otak cerdas dan cemerlang sehingga
dengan kecerdasannya itu dia menggali hukum serta menghilangkan
perselisihan dan menghapus perkara-perkara syubhat seperti yang diungkapkan
oleh kaum ateis yang mengingkari adanya kha>liq (sang pencipta).
Imam H{anafi dalam membentuk mazhabnya dan mempelajari aneka
masalah, ia mendiskusikan masalah dengan para muridnya. Masing-masing
memberi pendapat, Imam H{anafi mendiskusikan pendapat-pendapat itu,
sehingga tercapainya suatu pendapat yang dikemukakan dalam diskusi itu.7
Semenjak Nabi wafat hingga sampai kepada masa Asy-Syafi’i, para ulama
terbagi dua golongan. Ada golongan yang terkenal dengan ahli pikir, yaitu
golongan yang mencari ‘illat-‘illat hukum dan menetapkan hukum dengan
menggunakan daya akal, dan ada golongan yang berdalil dengan h{adis.
Imam H{anafi cenderung kepada golongan pertama, maka apabila tidak
5Muhammad Jawad Mughniyah, al-Fiqh ‘ala al-Madzahib al-Khamsah, (Dar al-Jawad; Beirut 1996)
xxv.
6Ahmad al-Subarsi, Sejerah dan Biografi Imam empat Mazhab...,48.
26
menemukan sunnah yang telah terkenal, ia menggunakan ra’yu dan amat
berhati-hati dalam meriwayatkan h{adis, karena takut kedustaan dalam
periwayatan h{adis, seperti pemikirannya yang menjadikan ra’yu atau pendapat
sebagai pokok yang menolong pelaksanaan hukum berupa pembuatan aturan
politik secara umum bagi umat Islam. Hal ini sesuai dengan kandungan syari’at
yang mengharuskan kepemimpinan didasarkan pada musyawarah, kemudian
bai’at secara adil dan bersih serta jauh dari permainan kotor atau paksa. Dengan
demikian Imam H{anafi menilai khalifah yang dipegang dinasti Umayyah secara
Shari’i tidak sah.8
Pada masa pemerintahan yang kedua (‘Abasiyyah), yakni pada masa
pemerintahan Abu Ja’far Al-Mansur (754-775 M), yang memerintah sesudah
‘Abbas Asy-Syaaffah, beliau juga mengalami nasib yang sama, Imam H{anafi
mendapat tawaran menjadi Qadli, dan itupun ditolaknya, akibatnya beliau
dihukum dan dipenjara hingga akhir hayatnya pada tahun 150 H/767 M.9
2. Para Guru Imam H{anafi
Guru Imam H{anafi antara lain ‘Ata bin Abi Kabah, Hisyam bin ‘Urwah,
Nafi Maulana bin Umar. Tetapi guru yang paling banyak diambil ilmunya
adalah Hammad bin Sulaiman Al-Asy’ari (W. 120 H) yang berguru kepada
Ibrahim An-Nakah’i dan Amir bin Syura bin Al-Sya’bi. Hammad dikenal
sebagai orang kaya, pemurah dan luas ilmunya. Imam H{anafi menjadi muridnya
8Ibid 457.
27
selama 18 tahun.10Imam H{anafi juga pernah berguru kepada Zayd bin ‘Ali dan
Ja’far as-Sa>diq.11
3. Para Murid Imam H{anafi
Murid-Murid Imam H{anafi yang paling terkenal adalah Ya’kub ibn
Ibrahim ibn Habib Al-Ansari, terkenal dengan nama Abu Yusuf, Zuffar ibn
Hudail, Muhammad ibn Al-Hassan ibn Farqad Al-Shaibani dan Al-Hasan ibn
Ziyad Al-Lu’lu’i.12
Melalui keempat murid inilah Mazhab H{anafi tersebar luas, terutama
melalui dua orang diantara mereka yaitu: Abu Yusuf dan Muhammad ibn
Al-Hasan Al-Shaibani. Kedua murid paling terkemuka ini dikenal dalam sejarah
ilmu fiqih dengan sebutan dua imam atau dua sahabat, karena kepandaian dan
jasanya dalam penyebaran mazhab H{anafi serta karena kedekatan hubungan
mereka dengan Imam H{anafi .
Abu Yusuf Ya’qub ibn Ibrahim Al-Ansari (113-182 H) diangkat menjadi
hakim di Baghdad dan kemudian dimasa pemerintahan khalifah Harun
Al-Rasyid menjadi hakim tinggi (qadi al-qudat) dengan wewenang mengangkat
hakim-hakim diseluruh kekuasaan ‘Abbasiyah. Dengan jabatannya ini ia
mempunyai kesempatan untuk menyebarkan Mazhab H{anafi .13
10Muh Zuhri, Hukum Islam Dalam Lintasan Sejarah, (Jakarta: Raja Grafindo Persada,tt.h), 95. 11Hasbi Ash Shiddiqy, Pokok-Pokok Pegangan Imam Mazhab...,200.
12Azyumardi Azra, Ensiklopedi Islam..., 80.
28
Muhammad ibn Al-Hasan Al-Shaibani (132-189 H) adalah murid Imam
H{anafi yang memperoleh pujian karena jasanya memelihara dan menyebarkan
pendapat-pendapat mazhab H{anafi . Ia menyatakan dirinya penghimpun
buku-buku penting Mazhab H{anafi dan menggali aturan-aturan rinci, terutama yang
berhubungan dengan hukum waris. Ia terkenal dalam analisanya tentang
kasus-kasus nyata dan teoritik dengan memperluas sistem deduksi dan induksi.14
Buku-buku yang dihimpun oleh Imam Muhammad ada dua jenis. Yang
pertama disebut zahir al-riwayah, buku tentang persoalan-persoalan ulama
terdiri dari enam buku: al-mabsut, al jami’ al kabir, al jami’ al sagir, al-siyar al
kabir, al siyar al sagir dan al-ziyadah.15 Yang kedua adalah buku yang disebut
Al-Nawadir. Al Nawadir juga terdiri dari buku-buku lain yang dinisbatkan
kepada para pendiri mazhab, seperti Al-Mujarrad oleh Imam H{anafi yang
diriwayatkan oleh muridnya, Imam Al-Hasan ibn Ziyad Al-Lu’lu’i.”16
Para murid Imam H{anafi juga mempunyai murid-murid yang mencapai
kemasyhuran, seperti Hilal Al-Ra’y (W.245 H), Ahmad Ibn Muhir Al-Hasyaf
(W. 261 H) pengarang kitab-kitab Al-Hilal dan Al-Waqf, dan Al-Jami’ Al-Kabir
mengenai syarat-syarat perjanjian.17
Sesudah generasi ini muncul generasi baru para ahli fiqh pendukung setia
14Abdul Wahab Khallaf, Sejarah Pembentukan Hukum Islam, Imron A.m.,(Surabaya:Bina Ilmu,
1978), 73.
15A.Rahman,Syari’ah The Islamic Law: ,“Penjelasan Lengkap Hukum-Hukum Allah (Syari’ah)”.
Zaimudin,Rusydi Sulaiman,( Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2002), 127-128.
29
mazhab H{anafi seperti Abu Al-Hasan Al-Karkhi (340 H) Abu ‘Abd Allah Al
-Jujuni (W. 398 H) pengarang Khizanah Akmal, Syam Aimmah
Al-Sarakhi (W. 483) penyunting Al-Mabsut{ dan lain-lainnya.
4. Karya-karya Imam H{anafi
Imam H{anafi tidak meninggalkan karya tulis mengenai
pandangan-pandangan hukumnya. Hanya terdapat risalah-risalah kecil yang dinisbatkan
kepadanya mengenai ilmu kalam dan akhlak. Seperti al-fiqh al-akbar, al alim wa
muta’alim dan juga risalahnya dalam menolak pandangan qadariyah. Para
pengikutnya yang membukukan pendapat-pendapatnya dan pendapat ulama
generasi sebelumnya yang diriwayatkan Imam H{anafi .
Adapun hasil majelis (kuliah) dari beberapa murid-murid Imam H{anafi
untuk kemudian dikodifikasikan, seperti kitab- kitab yang sudah dibukukan
adalah: Kitab Al-Mabsut}, Kitab Al- Jami’ush Shaghir, Kitab Al-Jami’ul Kabir,
Kitab Ash-Shairush Shaghir, Kitab Ash- Shairul Kabir, Kitab Az-Ziadat, Kitab
Al-Faraidl, kitab Asy-Syurut dan Kitab Fiqhul Akbar.18
5. Perkembangan dan Penyebaran Mazhab H{anafi
Mazhab H{anafi telah berkembang di dunia Islam. Mazhab ini menempati
kedudukan paling atas di irak sepanjang masa kekhalifahan ‘Abbasiyah karena
merupakan sistem hukum yang paling banyak mendapat dukungan khalifah.
Mazhab H{anafi juga merupakan mazhab resmi negara di zaman Turki
18Munawar Khalil, Biografi Empat Serangkai Imam Madzhab,( Jakata: CV. Bulan
30
‘Utsmani.19
Mazhab H{anafi yang merupakan salah satu mazhab yang mampu bertahan
hingga saat ini tidak bisa dilepaskan dari perjalanan sejarah panjangnya. Untuk
mencapai Kejayaannya mazhab ini melewati beberapa fase sehingga menjadi
sebuah mazhab yang banyak dianut .
Para pengikut mazhab H{anafi saat ini sebagian besar tesebar di daerah
India, Afghanistan, Paskitan, Irak, Syiria, Turki,suriname dan juga sebagian
diantaranya berada di daerah Mesir.
Di samping itu, penyebaran mazhab H{anafi juga tidak bisa lepas dari
otoritas pemerintahan. Yang dimaksudkan disini adalah rezim kerajaan ottoman
pada abad ke 19, kerajaan ottaman menjadikan mazhab H{anafi sebagai hukum
resmi negara. Siapapun yang berkeinginan untuk menjadi hakim disana, mereka
diwajibkan mempelajari mazhab H{anafi . Oleh karena itu, mazhab H{anafi
tersebar luas juga di sepanjang wilayah pemerintahan kerajaan ottoman di akhir
abad ke 19.20
19Azyumardi Azra, Ensiklopedi Islam...,128.
20Abu Ameenah Bilal Philips, Asal-usul dan Perkembangan fiqh;Analisis Historis atas
31
B. Istinba>th Hukum Mazhab H{anafi
Mazhab H{anafi adalah mazhab yang mengikuti Imam H{anafi , maka
istinbath hukum mazhabnya didasarkan atas istinba>th Imam mereka yakni Imam
H{anafi . Imam H{anafi berdasarkan urutan tahun adalah orang pertama dari
empat mazhab besar. Itu artinya dia adalah orang yang sangat menentukan bagi
perkembangan hukum Islam selanjutnya. Menurut Imam H{anafi hukum Islam
dapat digali atau diformulasikan berdasarkan beberapa sumbernya. Meskipun
dia terkenal sebagai pengguna rasio yang kuat, bukan berarti dia meninggalkan
nas}s}-nas{s} sama sekali. Istinbath hukum H{anafi dapat diketahui melalui
pernyataannya sebagaimana dikutip oleh Muhammad bin Ali> al-H}as{kafi dalam
kitabnya al-Rudd al-Mukhta>r.21
Artinya:” Sesungguhnya aku mengambil dari kitab Allah, jika aku tidak mendapatinya, maka aku mengambil dari sunnah Rasulullah SAW, jika aku tidak mendapati dalam Kitab Allah dan sunnah Rasululullah SAW maka aku mengambil pendapat para sahabat Rasulullah, aku mengambil dari mereka yang aku kehendaki dan aku meninggalkan yang aku kehendaki, aku tidak keluar dari pendapat sebagian mereka kepada pendapat sebagian yang lain. Apabila permasalahannya sudah sampai kepada Ibrahim (an-Nakha’i), as-Sha’bi, , Ibn Sirin, al-Hasan dan Sa’id bin al-Musayyab, mereka adalah orang-orang yang berijtih{ad, maka aku juga berijtih{ad sebagaimana mereka berijtih{ad”.
32
Jadi Istinba>th hukum Imam H{anafi berpedoman kepada al-Qur’an, sunnah,
pendapat-pendapat para sahabat, Sisanya Imam H{anafi juga berijtih{ad dengan
selain nas{s{.22
Secara umum istinba>th hukum Imam H{anafi bertumpuh atas tujuh sumber,
Sumber-sumber tersebut yang merupakan dasar dari istinbath hukum mazhab
H{anafi dan akan dijelaskan sebagai berikut:
1. Al-Qur’an
Bagi mazhab H{anafi al-Qur’an merupakan sumber hukum Islam yang
utama yang tidak bisa diperdebatkan lagi. Pada dasarnya al-Qur’an digunakan
untuk menentukan akurasi sumber-sumber lain yang bertentangan dengan
al-Qur’an dianggap tidak valid.23
2. Sunnah
Sunnah digunakan sebagai sumber hukum Islam terpenting setelah
al-Qur’an, tetapi dengan beberapa kualifikasi dalam penggunaannya. Mereka
mensyaratkan bahwa h{adith bukan hanya harus s}ahih, tetapi juga harus dikenal
secara luas (mashhu>r), jika h{adith tersebut digunakan sebagai dasar hukum yang
sah. Kualifikasi ini berfungsi sebagai benteng terh{adap h{adith-h{adith palsu yang
22Ibid, 4.
33
sering muncul didaerah tersebut dimana hanya ada sedikit sahabat yang
berperan.24
Imam H{anafi merupakan figur yang dianggap mapan sebagai representasi
ahl al-ra’yi memang sedikit ketat dalam menentukan kualifikasi h{adith yang
dapat diterima. Ahl al-ra’y tidak segan-segan mendahulukan qiya>s daripada
sebuah h{adith ah{ad. Mereka menolak h{adith yang menurut mereka tidak
mashhu>r walaupun menurut ulama lain shahih dan begitu pula sebaliknya.25
3. Pendapat Para Sahabat
Pendapat para sahabat mengenai beberapa materi hukum yang tidak
disebutkan dalam al-Qur’an dan sunnah. Pendapat sahabat yang disepakati
diantara mereka (ijma>’ sahabat) lebih diutamakan daripada pendapat pribadi
Imam H{anafi dan murid-muridnya dalam mendekdusi hukum Islam. Mazhab
H{anafi juga mengakui ijma’ para ulama muslim lainnya di semua periode
sebagai hal yang valid dan mengikat umat Islam.
Jika ada pendapat yang berbeda-beda di kalangan para sahabat mengenai
hukum-hukum tertentu, maka Imam H{anafi akan memilih pendapat yang
dipandang paling memadai dalam menjawab persoalan. Dalam menetapkan
pandangan ini sebagai prinsip penting mazhabnya, Imam H{anafi lebih
mengutamakan pendapat para sahabat dari pada pendapatnya sendiri.26
24Ibid 89.
25Kholidah”Imam Syafi’i:Upaya Menjembatani Pemikiran Ahl al-Ra’yi dan Ahl al-Hadith dalam
Istinbath Hukum”, Jurnal Hukum Islam, No 1,(Juli,2011),14.
34
4. Qiyas
Imam H{anafi merasa tidak harus menerima rumusan masalah hukum dari
murid-murid para sahabat (ta>bi’in) selama tidak berdasar atas sumber-sumber
diatas tersebut. Dalam perspektifnya dia memiliki kapasitas yang sama dengan
ta>bi’in dalam melakukan ijtih{ad sendiri dengan berdasarkan atas prinsip-prinsip
qiyas yang telah dibangun bersama murid-muridnya.27
5. Istihsa>n
Istihsan adalah mengalihkan hukum dari suatu masalah karena ada dalil
yang lebih tertentu, baik dari kitab atau h{adith dan sesuatu yang dianggap baik
oleh seorang mujtahid melalui pemikiran akal.28
Seorang tokoh H{anafiyah Shams{uddin al-Sharkhas{i berpendapat istihsan
yakni, Qiya>s dan istihsa>n pada hakikat keduanya adalah dua macam qiya>s. Yang
pertama qiya>s jali> (qiya>s yang jelas) tapi pengaruhnya dalam mencapai tujuan
syariat (kemaslahatan) lemah. Ini dinamakan qiya>s. Sedangkan yang kedua
adalah qiya>s khafi(yang tersembunyi) yang memiliki pengaruh yang kuat ini
dinamakan istihsa>n. 29
Istihsa>n dalam mazhab H{anafi dapat dibagi dua macam, yaitu istihsa>n
dengan qiya>s dan istihsa>n dengan dalil syari’at lain. Yang pertama adalah
peralihan dari qiya>s jali> pada qiya>s khafi. Sedangkan yang kedua adalah
27Ibid, 90.
28Abdul Karim ibn Ali Annamlati, Raudotul Manadzir fi Usulilfiqhi, (Beirut: Muasasah Kutub, 1998)
244.
29Yusefri,”Penolakan Imam al-Syafi’i terhadap al-Istihsan Sebagai Metode penetapan Hukum Islam”,
35
berpindah dari kaidah umum atau qiya>s karena alasan sunnah, ijma’ atau
daru>rah.30
6. Ijma>’
Mazhab H{anafi seperti juga mayoritas ulama mengakui konsensus dari
semua mujtahid muslim pada suatu masa setelah wafatnya Rasulullah SAW
tentang suatu hukum dari sebuah kasus atau lebih populer dengan ijma@’. Mereka
mengakui ijma@’ sebagai dalil yang mengikat, oleh karenanya sah menjadi hujjah
syar’iyyah.31
7. ‘Urf
‘Urf yakni Sesuatu yang menjadi kebiasaan manusia, dan mereka
mengikutinya dalam bentuk setiap perbuatan yang populer di antara mereka,
ataupun suatu kata yang biasa mereka kenal dengan pengertian tertentu.32
C. Status Hukum Istri Pasca Mula>’anah Menurut Mazhab H{anafi
Mazhab H{anafi mendefinisikan mula>’anah (li’a>n) sebagai kesaksian yang
dikuatkan dengan sumpah yang diiringi dengan laknat dari pihak suami dan
dengan kemarahan dari pihak istri.33
Terjadinya mula>’anah disebabkan karena seorang suami menuduh istrinya
berbuat zina dengan laki-laki lain, tanpa mampu mendatangkan empat orang
30 Ibid, 172.
31Amir Syarifuddin, Usul al-Fiqh, Jilid I,(Jakarta;Kencana Pernada Group,2008), 125. 32Abdul Rahman Dahlan, Ushul Fiqh, (Jakarta: Amzah, 2011), 209.
36
saksi yang dapat menguatkan kebenaran tuduhannya itu. Bentuk ini
menyebabkan adanya li’a>n setelah suami melihat sendiri (secara langsung)
bahwa istrinya telah berzina dengan laki-laki lain.34
Sebab yang lain adalah seorang suami mengingkari (menolak) bayi yang
telah di kandung istrinya. Hal ini bisa terjadi apabila suami mengaku bahwa
suami tidak pernah berhubungan badan dengan istrinya semenjak akad nikah
berlangsung. Kemudian sebab yang lainnya adalah bahwa istrinya telah
melahirkan sebelum batas minimal kelahiran (kurang dari kelahiran) setelah
bersenggama.35
Oleh karena sebab-sebab yang terjadi di atas, maka untuk menguatkan
kebenaran tuduhannya seorang suami mengucapkan sumpah li’a>n. Sedangkan
istri menyangkal tuduhan tersebut dengan sumpah li’a>n pula, sehingga terjadi
mula>’anah diantara kedua suami istri tersebut. jika terjadi hal yang demikian
pastilah salah satu dari suami istri tersebut ada yang berdusta.
Mengenai li’a>n para ulama’ bersepakat bahwa perkara li’a>n merupakan
suatu ketentuan yang sah menurut Al-Qur’an, As-Sunnah, Qiyas dan Ijma’.36
Suatu perbuatan dinamakan mula>’anah bila padanya terpenuhi syarat dan
rukun yang ditentukan. Dalam hukum islam, terdapat beberapa rukun dan syarat
mula>’anah, antara lain:37
34Sayyid Sabiq, Fiqih Sunnah, Juz II,(Beirut; Dar al-Fikr,2008) 619. 35Ibid.
36Ibid,618,
37
1. Rukun mula>’anah adalah sebagai berikut: 38
a. Suami, tidak akan jatuh li’a>n apabila yang menuduh zina atau yang
mengingkari anak itu laki-laki lain yang tidak mempunyai ikatan
pernikahan yakni yang bukan suaminya.
b. Istri, tidak akan jatuh li’a>n apabila yang dituduh tersebut bukan istrinya.
c. Shighat atau lafadz li’a>n, yaitu lafadz yang menunjukkan tuduhan zina
atau pengingkaran kandungan kepada istrinya.
d. Kesaksian yang dikuatkan dengan sumpah.
2. Syarat wajibnya mula>’anah menurut ulama mazhab H{anafi ada tiga :39
a. Pasangan tersebut masih berstatus suami istri atau masih dalam ikatan
perkawinan. Sekalipun istri belum digauli.Alasannya dalam firman Allah
SWT dalam surat an-Nuur (24) ayat 6 yang artinya : “Dan orang-orang
yang menuduh istrinya…”. Kata “istri” menurut ulama mazhab H{anafi
menunjukkan bahwa status mereka masih suami istri. Tidak ada li’a>n
antara orang yang bukan pasangan suami istri atau dengan tuduhan yang
diarahkan kepada perempuan yang selain istrinya. Juga tidak ada li’a>n
dengan tuduhan kepada istri yang telah meninggal dunia, karena orang
yang meninggal dunia tidak lagi berstatus istri dan tidak dapat dikenakan
li’a>n.
38
b. Status perkawinan mereka adalah nikah yang sah, bukan fasid. Tidak ada
li’a>n bagi perempuan yang dinikahi dengan pernikahan yang fasid karena
dia bukan istrinya.
c. Suami adalah seorang muslim yang cakap memberikan kesaksian .
3. Tentang syarat pelaksanaan, Mazhab H{anafi menyebutkan enam syarat:40
a. Di h{adapan hakim atau wakilnya
b. Dilakukan setelah diperintahkan hakim
c. Mengucapkan lima lafal li’a>n
d. masing-masing keduanya mengucapkan lafal-lafal itu seperti saling
melaknat, sebagaimana yang sudah disebutkan dalam al-Qur’an.
e. Lafal-lafal li’a>n diucapkan secara berurutan. Suami juga harus memulai
sumpah dan setelahnya istri yang mengucapkannya.
f. Masing-masing dari keduanya menyebut namanya (suami istri) bila dia
tidak h{adir.
Mazhab H{anafi juga mensyaratkan keduanya adalah suami istri yang
merdeka, berakal, baligh, muslim, mampu berbicara, dan belum pernah
dikenakan hukuman h{ad karena menuduh. Disamping itu tidak ada empat orang
saksi sebagai bukti kebenaran dari tuduhan suami.41
40Wahbat al-Zuh}aili@, Al-Fiqh al-Isla@mi@ Wa Adillatuhu Juz VII, (Damaskus: Da@r al-Fikr, 1985), 563. 41Fakhruddi>n ‘Uthma>n bin ‘Ali al-Hanafi, Tabyi>n al-Haqa>iq Syarh{ Kanzu al-Daqai>q Juz III
39
Mengenai hukum mundurnya salah satu diantara suami istri dari melakukan
mula>’anah setelah dia memintanya kepada hakim, Mazhab H{anafi berpendapat,
jika si suami menolak untuk melakukan mula>’anah, maka dia ditahan sampai dia
melakukan mula>’anah atau dirinya mengaku maka dia dikenakan hukuman h{ad.
Sedangkan jika istri menolak untuk melakukan li’a>n, maka dia ditahan.42
Mazhab H>>}anafi menyebutkan bahwa akibat hukum dari li’a>n ada dua yakni
adanya kewajiban hakim untuk menceraikan suami istri dan adanya kewajiban
hakim untuk memutus hubungan nasab anak istri dari suami kemudian
menasabkan anak tersebut kepada istrinya.43
Setelah perceraian diputuskan oleh hakim karena proses mula>’anah, maka
suami dan istri tidak dapat disatukan kembali menurut semua mazhab hukum
islam, kecuali Mazhab H{anafi yang berpendapat bahwa bila suami kemudian
menyatakan bahwa dia telah berdusta sewaktu melakukan sumpah, maka si
suami harus dihukum h{ad. Sesudah itu mereka bisa menikah kembali dan anak
yang dikandung isterinya menjadi anaknya.44
Mazhab H{anafi menyatakan bahwa suami yang mengaku dusta dalam
tuduhannya dapat membolehkan nikah kembali bagi Suami Istri yang telah
bermula>’anah, Sebagaimana yang dijelaskan dalam kitab Bada’i as- Shana’i:
42Ibid,571.
43 Muhammad bin Abdul Wa>hid al-H>anafi, Fath{ al-Qadyr Juz 4, ,(Beirut:Dar al-Kutub al-‘Ilmiah,
1995) 256.
40
لا ح د
Artinya: “Apabila suami telah mengakui kedustaan dirinya maka ia di dera dengan hukuman h{ad, atau si istri sendiri yang berdusta dengan membenarkannya, maka diperbolehkan menikah antara keduanya dan berkumpul kembali.45
Imam H{anafi selaku pendiri Mazhab H{anafi dan Muhammad juga
berpendapat, bahwa perceraian yang terjadi pada mula>’anah merupakan
perceraian ta>laq ba’in, yakni sebagai berikut:
ب ت لط قي ة
Artinya : “Perceraian yang terjadi pada li’a>n merupakan perceraian ta>laq ba>’in”.46
Dengan melihat pendapat beliau bahwa li’a>n termasuk kategori talak ba’in
berarti dapat diindikasikan bahwa perceraian karena li’a>n bukan perceraian
selama-lamanya sebab yang namanya tala>q ba>’in adalah perceraian yang dapat
bersatu kembali dengan akad nikah baru.
Sebagaimana yang telah disebutkan Mazhab Hanafi berpendapat akibat
mula>’anah yakni perceraian terjadi bukan setelah selesainya suami dan istri
mengucapkan li’a>n, melainkan perceraian baru terjadi setelah adanya putusan
hakim yang menceraikan keduanya.47
45Abu Bakar bin Mas’ud al-Kasani al-H{anafi , Bad’i as-Sana’i fi Tartibi as-Syara’i, Juz III, (Beirut:
Dar al-Kutub al- Alamiyah, t.th),245.
41
Imam H{anafi berpendapat seperti diatas karena beliau mengqiyaskan
perceraian akibat li’a>n dengan perceraian karena impoten. Sebagaimana
pendapat beliau sebagai berikut :
Artinya: “Adapun Imam Abu> H{anifah menyerupakan perpisahan li’a>n dengan talak karena diqiyaskan dengan perceraian lelaki yang impoten, karena perpisahan ini menurut pendapatnya baru dapat terjadi sesudah ada keputusan
dari hakim.”48
Mazhab Hanafi mendasarkan pendapatnya dengan metode qiyas,
bahwasanya perceraian karena mula>’anah termasuk talak bukan fasakh, karena
menurut beliau perceraian karena mula>’anah dan perceraian karena impoten
mempunyai kesamaan yakni sama-sama baru dapat terjadi sesudah ada
keputusan dari hakim. Dan juga perceraian ini datangnya dari pihak suami dan
tidak ada campur tangan dari pihak istri maka disebut talak. Karena perceraian
yang timbul dari pihak suami adalah talak bukan fasakh.49 Perceraian yang
terjadi disini adalah seperti perceraian karena impoten yang harus dilakukan
dengan putusan pengadilan (putusan hakim).50
Jadi pengqiyasan percer