• Tidak ada hasil yang ditemukan

STUDI KOMPARASI PENDAPAT MAZHAB HANAFI DAN MAZHAB SYAFI’I TENTANG STATUS HUKUM ISTRI PASCA MULA’ANAH.

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "STUDI KOMPARASI PENDAPAT MAZHAB HANAFI DAN MAZHAB SYAFI’I TENTANG STATUS HUKUM ISTRI PASCA MULA’ANAH."

Copied!
91
0
0

Teks penuh

(1)

STUDI KOMPARASI PENDAPAT MAZHAB HANAFI DAN MAZHAB

SYAFI’I TENTANG STATUS HUKUM ISTRI PASCA MULA>’ANAH

SKRIPSI

Oleh

BAMBANG KUSWANTO NIM. C51211164

Universitas Islam Negeri Sunan Ampel Fakultas Syariah dan Hukum Jurusan Hukum Perdata Islam Program Studi Hukum Keluarga Islam

SURABAYA

(2)
(3)
(4)
(5)

ABSTRAK

Skripsi yang berjudul “Studi Komparasi Pendapat Mazhab H{anafi dan Mazhab Syafi’i tentang Status Hukum Istri Pasca Mula>’anah” ini merupakan hasil penelitian pustaka (library research) yang bertujuan untuk memberikan jawaban atas pertanyaan-pertanyaan, tentang Bagaimana deskripsi pendapat Mazhab H{anafi dan Mazhab Syafi’i tentang status hukum istri pasca mula>’anah?, Bagaimana analisis perbedaan dan persamaan terhadap pendapat Mazhab H{anafi dan Mazhab Syafi’i tentang status hukum istri pasca mula>’anah?

Dalam rangka untuk menjawab masalah-masalah di atas, penulis melakukan penelitian dengan menghimpun literatur-literatur yang berhubungan dan relevan dengan pendapat mazhab H{anafi dan mazhab Syafi’i tentang status hukum istri pasca mula>’anah. Kemudian data yang telah terkumpul dianalisis menggunakan metode analisis deskriptif komparatif.

Berdasarkan penelitian ini diperoleh hasil bahwa terdapat beberapa persamaan dan perbedaan pendapat antara Mazhab H{anafi dan Mazhab Syafi’i. Persamaannya adalah kedua Mazhab sama-sama sepakat bahwasanya wajib berpisah bagi suami istri sesudah mereka berdua bermula>’anah. Mazhab H{anafi dan Mazhab Syafi’i juga sepakat bahwasanya Mula>’anah tidak jadi dilaksanakan jika tidak ada syarat-syarat seperti: a)Orang yang dituduh berzina istrinya sendiri, b)Suami tidak mempunyai saksi dalam tuduhannya, c)Istri membantah apa yang dituduhkan kepadanya, d)Tuduhannya itu khusus tuduhan zina atau tidak mengakui anak yang dikandung istrinya.

Perbedaan pendapat kedua Mazhab adalah dalam hal status hukum istri pasca mula>’anah. Menurut Mazhab H{anafi bagi Suami Istri yang telah bermula>’anah jika suaminya sudah mengakui bahwa ia berdusta dalam tuduhannya, dan si istri mengakui kebenaran ucapan si suami maka mereka dibolehkan menikah kembali. Karena dasar haramnya untuk selama-lamanya bagi mereka adalah semata-mata tidak dapat menentukan mana yang benar dari suami istri yang bermula>’anah tersebut padahal sudah jelas salah satunya pasti ada yang berdusta. Karena itu jika telah terungkap rahasia tersebut, maka keharaman selama-lamanya jadi terhapus. Sedangkan Mazhab Syafi’i berpendapat bahwa istrinya itu menjadi haram dia kawini untuk selama-lamanya, sekalipun dia telah mengakui bahwa dirinya telah berdusta. Jika suami mengakui dirinya berdusta ketika menuduh istrinya berzina, maka hal ini tidak membuatnya dapat kembali kepada ikatan pernikahan, dan tidak membuat hilang pengharaman yang bersifat abadi karena perkara ini adalah hak untuk suami, dan dia telah batalkan haknya dengan perbuatan mula>’anah. . Oleh karena itu, tidak mungkin baginya untuk kembali bersama lagi.

(6)

DAFTAR ISI

Halaman

SAMPUL DALAM... i

PERNYATAAN KEASLIAN ... ii

PERSETUJUAN PEMBIMBING ... iii

PENGESAHAN ... iv

MOTTO ... v

ABSTRAK ... vi

KATA PENGANTAR ... vii

DAFTAR ISI ... ix

DAFTAR TRANSLITERASI ... xi

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah ... 1

B. Identifikasi dan Batasan Masalah ... 9

C. Rumusan Masalah ... 11

D. Kajian Pustaka ... 11

E. Tujuan Penelitian ... 15

F. Kegunaan Hasil Penelitian ... 15

G. Definisi Operasional ... 16

H. Metode Penelitian ... 17

I. Sistematika Pembahasan ... 21

BAB II PENDAPAT MAZHAB H{ANAFI TENTANG STATUS HUKUM ISTRI PASCA MULA>’ANAH A. Biografi Imam H{anafi ... 23

B. Istinbat Hukum Mazhab H{anafi ... 31

C. Status Hukum Istri Pasca Mula>’anah Menurut Mazhab H{anafi ... 35

BAB III PENDAPAT MAZHAB SYAFI’I TENTANG STATUS HUKUM

(7)

A. Biografi Imam Syafi’i... 45 B. Istinbath Hukum Mazhab Syafi’i... 52 C. Status Hukum Istri Pasca Mula>’anah Menurut Mazhab

Syafi’i ... 57

BAB IV ANALISIS PENDAPAT MAZHAB H{ANAFI DAN MAZHAB

SYAFI’I TENTANG STATUS HUKUM ISTRI PASCA MULA>’ANAH

A. Analisis Persamaan Pendapat Mazhab H{anafi dan

Mazhab Syafi’i Tentang Status Hukum Istri Pasca

Mula>’anah ... 68

B. Analisis Perbedaan Pendapat Mazhab H{anafi dan

Mazhab Syafi’i Tentang Status Hukum Istri Pasca

Mula>’anah ... 71

BAB V PENUTUP

A. Kesimpulan ... 78 B. Saran ... 79

DAFTAR PUSTAKA LAMPIRAN

(8)

BAB I PENDAHULUAN

A.Latar Belakang Masalah

Perkawinan merupakan sesuatu yang sangat penting dalam kehidupan

manusia. dengan adanya perkawinan diharapkan akan terbentuknya suatu

keluarga yang bahagia, kekal dan abadi. Hikmah yang terdapat didalam

perkawinan ialah diantaranya yakni menjauhkan atau mengindarkan diri dari

perbuatan keji seperti zina.1Namun perkawinan itu tidak selamanya

mendatangkan kebahagian, ada kalanya perkawinan tersebut mendapatkan

rintangan seperti perceraian karena adanya suatu penyebab. Dan salah satu

alasan penyebab terjadinya perceraian adalah karena salah satu diantara mereka

melakukan perzinaan.

Didalam kitab Al- Fiqhu Al-Islami wa Adillatuhu disebutkan mengenai

pengertian zina sebagai berikut :

ِ لاِ

نز

ِ للاِيِا

ِ غِ ة

ِِ و

ِ شلا

ِ رِ ع

ِِ ب

ِ عِ ن

ِ وِ

ِ حا

ِ د

ِ وِ:

ِ ِ وِ

ِ وِ ط

ِ ءِ

ِ رلا

ِ ج

ِ لِ

ِ اِ لِ رِ أ

ِ ةِ

ِ ي

ِ ل ُ ُلاِ

ِ

ِ ي

ِ َِ

ِ يِ

ِ لا

ِ ك ل

ِِ و

ِ شِ ُ

ِ هِ ته

Zina menurut bahasa dan istilah memiliki satu kesatuan makna, yaitu seorang laki – laki menyetubuhi seorang wanita melalui qubul tanpa adanya hak kepemilikan yang sah (Nikah).2

Perzinaan merupakan perbuatan yang sangat tercela karena selain

bertentangan dengan agama juga bertentangan dengan hukum dan adat istiadat

1Muhammad Zuhaily, Fiqih Munakahat Kajian Fiqih Pernikahan dalam Perspektif Mazhab

Syafi’i,(Surabaya;Imtiyaz 2013)23.

(9)

2

masyarakat. Dampak dari perzinaan sangat besar baik bagi pelakunya maupun

bagi masyarakat. Atas dasar itu agama Islam menciptakan hukuman bagi pelaku

perzinaan yaitu rajam bagi yang telah menikah dan dicambuk 100 kali bagi

yang belum menikah.3

Landasan untuk itu adalah firman Allah Swt dalam surat An Nuur ayat 2

yang berbunyi:   ِ  ِ   ِ   ِ   ِ  ِ   ِ   ِ  ِ   ِ  ِ  ِ   ِ  ِ   ِ   ِ  ِ   ِ   ِ   ِ   ِ   ِ  ِ   ِ  ِ   ِ   ِ   ِ  ِِِ ِ

“perempuan yang berzina dan laki-laki yang berzina, Maka deralah tiap-tiap seorang dari keduanya seratus dali dera, dan janganlah belas kasihan kepada keduanya mencegah kamu untuk (menjalankan) agama Allah, jika kamu beriman kepada Allah, dan hari akhirat, dan hendaklah (pelaksanaan) hukuman mereka disaksikan oleh sekumpulan orang-orang yang beriman.”4

Perbuatan zina juga dapat merusak sendi-sendi agama dan moral serta

meruntuhkan seluruh norma dan tatanan kehidupan masyarakat. Dalam

pandangan Quraish Shihab bahwa seks dalam pandangan Islam adalah sesuatu

yang suci.5Namun dengan adanya perzinaan maka menyebabkan simpang

siurnya keturunan, terjadinya kerusakan terh{adap keturunan, dan berantakannya

keluarga. Bahkan hingga menyebabkan tercabutnya akar kekeluargaan,

menyebarnya penyakit menular, merajalelanya nafsu, dan maraknya kebobrokan

moral.6

3Abd al-Qadir Audah, al-Tasyri' al-Jina'i al-Islamy, Juz I, (Mesir: Dar al-Fikr al-Araby,tth),78. 4Departemen Agama RI, Al-Qur’an dan Terjemahnya, (Surabaya: Penerbit Mahkota, 2001),544. 5 Quraish Shihab, Mistik, Seks, dan Ibadah, (Jakarta: Republika, 2004), 2.

(10)

3

Adanya perbuatan muhshanah seharusnya dapat lebih menjaga dari untuk

tidak melakukan perbuatan tercela. Apalagi, jika masih dalam ikatan

perkawinan yang berarti menyakiti dan mencemarkan nama baik keluarganya. 7

Sesungguhnya ketika dua insan mengikat sebuah tali pernikahan, maka

keduanya telah berjanji agar setia kepada pasangannya di kala senang dan

maupun susah hingga akhir hayat. Namun terkadang sebuah ikatan yang telah

ia jalin bersama pasangannya bisa saja terjadi cerai dan melupakan janji setia

tersebut. Apalagi jika salah satu diantara meraka sudah melempar tuduhan

berbuat zina kepada satunya. hingga mencapai suatu level dimana kedua belah

pihak sudah tidak mungkin bersatu kembali, bahkan keduanya harus melakukan

sumpah di h{adapan hakim bahwa pasangannya telah berzina dengan orang lain.

Inilah yang dikenal didalam fiqih disebut li’a>n.

Kata “li’a>n” terambil dari kata al-la’nu, yang artinya jauh dan laknat atau

kutukan. Disebut demikian karena suami istri yang saling berli’a>n

(bermula>’anah) itu berakibat saling dijauhkan oleh hukum dan diharamkan

berkumpul sebagai suami istri untuk selama-lamanya, atau karena yang

bersumpah li’a>n itu dalam kesaksiannya yang kelima menyatakan bersedia

menerima laknat Allah jika pernyataannya tidak benar.8

7 M. Rizal Qosim, Pengamalan Fikih 2 (Solo, Aqila,2013) 30.

8Direktorat Jendral Pembinaan Kelembagaan Agama Islam Departemen Agama, Ilmu Fiqh jilid II,

(11)

4

Menurut istilah hukum Islam. Li’a>n ialah sumpah yang diucapkan oleh

suami ketika ia menuduh istrinya berbuat zina dengan empat kali kesaksian

bahwa ia termasuk orang yang benar dalam tuduhannya. Kemudian pada

sumpah kesaksian kelima disertai persyaratan bahwa ia bersedia menerima

laknat Allah jika ia berdusta dalam tuduhannya itu.9

Menurut KHI yang disebutkan dalam pasal 126, Li’a>n terjadi karena suami

menuduh istri berbuat zina dan atau mengingkari anak dalam kandungan atau

yang sudah lahir dari isterinya, sedangkan isteri menolak tuduhan dan atau

pengingkaran tersebut.10

Li’a>n terjadi apabila seorang suami menuduh istrinya berbuat zina, atau

tidak mengakui anak yang lahir dari istrinya sebagai anak kandungnya,

sedangkan istrinya tersebut menolak tuduhannya itu, padahal si suami tidak

punya bukti bagi tuduhannya itu, maka dia boleh melakukan sumpah li’a>n

terh{adap istrinya itu. Caranya adalah Si suami bersumpah dengan saksi Allah

sebanyak empat kali bahwa dia adalah termasuk orang-orang yang berkata

benar tentang apa yang dituduhkannya kepadanya istrinya itu. Kemudian pada

sumpahnya yang kelima dia hendaknya mengatakan bahwa, laknat Allah akan

menimpa dirinya manakala dirinya termasuk orang-orang yang berdusta.

Selanjutnya istrinya bersumpah pula dengan saksi Allah sebanyak empat kali,

bahwa suaminya itu termasuk orang-orang yang berdusta. Lalu pada sumpahnya

(12)

5

yang kelima, hendaknya dia mengatakan bahwa murka Allah akan menimpanya

manakala suaminya itu termasuk orang-orang yang benar.11

Landasan untuk itu adalah firman Allah Swt dalam surat An Nuur ayat 6-9

yang berbunyi:   ِ   ِ   ِ   ِ  ِ   ِ   ِ   ِ   ِ   ِ   ِ   ِ   ِ   ِ  ِ  ِ   ِ   ِ  ِ ِ ِ   ِ   ِ   ِ   ِ   ِ  ِ   ِ   ِ   ِ  ِ ِ ِ   ِ  ِ   ِ  ِ   ِ   ِ   ِ   ِ  ِ  ِ   ِ   ِ  ِِِ   ِ   ِ   ِ   ِ   ِ  ِ   ِ   ِ   ِ  ِِِ ِ

Artinya: “Dan orang-orang yang menuduh isterinya (berzina), Padahal mereka tidak ada mempunyai saksi-saksi selain diri mereka sendiri, Maka persaksian orang itu ialah empat kali bersumpah dengan nama Allah, Sesungguhnya Dia adalah Termasuk orang-orang yang benar. Dan (sumpah) yang kelima: bahwa la'nat Allah atasnya, jika Dia Termasuk orang-orang yang berdusta. Istrinya itu dihindarkan dari hukuman oleh sumpahnya empat kali atas nama Allah Sesungguhnya suaminya itu benar-benar Termasuk orang-orang yang dusta. Dan (sumpah) yang kelima: bahwa laknat Allah atasnya jika suaminya itu Termasuk orang-orang yang benar.12

Menurut Al-Jurjawi, dalam sumpah li’a>n terkandung beberapa hikmah

antara lain:13

1. Suatu pernikahan dan fungsi wanita sebagai istri bagi suami tidak akan

sempurna kecuali dengan adanya keserasian dan saling menyayangi

antara keduanya. Tetapi apabila sudah terdapat tuduhan zina dan

melukai istri dengan kekejian, maka hati mereka akan sempit dan

11Muhammad Jawad Mughniyah, al-Fiqh ‘ala al-Madzahib al-Khamsah, (Dar al-Jawad; Beirut

1996)333.

12Departemen Agama RI, Al-Qur’an dan Terjemahnya..., 544.

13Ahmad Ali al-Jurjawi. Hikmah al-Tasyri’ wa Falsafatuh (falsafat dan Hikmah HukumIsalam).

(13)

6

hilanglah kepercayaan dari istri sehingga mereka berdua hidup dalam

kedengkian yang tentu akan membawa akibat jelek.

2. Melarang dan memperingatkan suami istri agar jangan melakukan

perlakuan buruk yang akan mengurangi kemulian itu.

3. Menjaga kehormatannya dari kehinaan pelacuran yang tidak pernah

hilang pengaruhnya siang dan malam.

Setelah berlangsung prosesi li’a>n antara suami dan istri terjadilah

perpisahan antara suami istri dan untuk selanjutnya putus hubungan perkawinan

diantara keduanya. Keduanya dipisahkan, dan si anak tidak dinyatakan sebagai

anak suaminya itu. Putusnya perkawinan tersebut menurut segolongan ulama,

yaitu Imam Malik dan al-Laits terjadi setelah keduanya menyelesaikan

li’a>nnya, sedangkan menurut Imam Syafi’i putus perkawinan setelah suami

menyelesaikan li’a>nnya tanpa memerlukan putusan hakim. Adapun menurut

Imam H{anafi perkawinan putus semenjak diputuskan oleh hakim. Setelah

putus perkawinan itu apakah suami yang telah me li’a>n istrinya itu masih

mungkin kembali kepada istrinya dengan akad perkawinan baru, terdapat

perbedaan pendapat dikalangan ulama.14

Sebenarnya semua mazhab sepakat atas wajibnya berpisah bagi kedua orang

tersebut sesudah mereka berdua bermula>’anah tetapi mereka berbeda pendapat

tentang apakah si istri menjadi haram selamanya bagi suaminya, dalam arti dia

14Amir Syarifuddin, Hukum Perkawinan Islam di Indonesia: Antara Fiqh Munakahat dan

(14)

7

tidak boleh lagi melakukan akad nikah sesudah mula>’anah tersebut, bahkan

sesudah si suami mengakui sendiri bahwa apa yang dia tuduhkan itu sebenarnya

dusta belaka. yang menjadi pertanyaan apakah haram secara temporal, dan dia

boleh melakukan akad kembali dengan istrinya itu sesudah dia mengakui

kedustaannya?.15

Syafi’i, Hambali> dan Maliki> berpendapat bahwa istrinya itu menjadi haram

dia kawini untuk selama-lamanya, sekalipun dia telah mengakui bahwa dirinya

telah berdusta. Mereka beralasan dengan dasar hukum H{adits Nabi:16

ِ بِو ر م عِا ن ر ُ خ أِ: لو ُ يِ، ة ن ي ي عِ ن بِ نا ي ف سِ ت ع َ وِ: لا قِ، ه ن عِ ه للاِ ي ض رِ ي ع فا شلاِا ن ر ُ خ أ

ِ نِ

ِ،ٍرا ني د

ِ: ْ ن عا ت م ل لِ لا قِ م ل س وِ ه ي ل عِ ه للاِى ل صِ ِ نلاِ ن أِ: ر م عِ ن باِ ن عِ،ٍ ي ُ جِ ن بِ دي ع سِ ن ع

«

ِا م ك با س ح

ِ ب ذا كِا م ك د ح أِ، ه للاِى ل ع

ا ه ي ل عِ ك لِ لي ُ سِا،

ِ»

ِ: لا قِ، ِا مِ ه للاِ لو س رِا يِ: لا قِ،

«

ِِ ن إِ ك لِ لا مِا

ِ ك لِ د ع ب أِ ك ل ذ فِ،ا ه ي ل عِ ت ب ذ كِ ت ن كِ ن إ وِ،ا ه ج ر فِ ن مِ ت ل ل ح ت ساِا بِ و ه فِا ه ي ل عِ ت ق د صِ ت ن ك

ِ

ِ ه ن مِ و أِا ه ن م

»

Artinya :“Syafi’i memberi tahu kepada kami, ia berkata:saya mendengar Sufyan bin Uyainah ia berkata : Umar memberi tahu kepada kami ,Dari Sa’id bin Jubair ra, berkata “saya bertanya kepada ibnu umar tentang dua orang yang berli’an lalu beliau berkata: “Nabi SAW. Bersabda kepada dua orang yang saling melakukan li’an : “ hisab kalian berdua itu dih{adirat Allah salah seorang diantara kalian berdua itu berdusta untukmu tidak ada jalan untuk bersatu lagi dengan istrimu”. Ia berkata Ya Rasulullah bagaimana dengan harta saya (mas kawin) yang telah diberikan kepadanya? Beliau menjawab: tidak ada harta bagimu, kalau tuduhanmu benar, maka hartamu itu untuk menghalalkan kemaluannya bagimu, dan apabila kamu berdusta, maka hartamu lebih menjauhkan kamu lagi dari padanya”.17

Sementara itu, H{anafi berpendapat bahwa mula>’anah itu sama dengan talak,

sehingga istrinya itu haram tidak untuk selama-lamanya. Sebab keharaman itu

15 Muhammad Jawad Mughniyah, al-Fiqh ‘ala al-Madzahib al-Khamsah...,334.

16Amir Syarifuddin, Hukum Perkawinan Islam di Indonesia: Antara Fiqh Munakahat...122.

(15)

8

disebabkan mula>’anah, dan bila si suami telah mengakui kedustaan dirinya,

maka hilang pulalah keharaman itu. H{anafi memberikan kemungkinan bagi

keduanya untuk kembali membangun perkawinan bila salah seorang diantara

keduanya mencabut sumpah li’a>nnya. H{anafi berpendapat Dengan pencabutan

itu keduanya dapat kembali dengan akad baru.18

Mayoritas para ulama’ berpendapat bahwa pasca mula>’anah, istrinya itu

menjadi haram dia kawini untuk selama-lamanya ,oleh karena itu disini penulis

memfokuskan merujuk pada satu Mazhab saja yakni Mazhab Syafi’i yang juga

berpendapat demikian, bahwasanya istrinya itu menjadi haram dia kawini untuk

selamanya. Alasan penulis memilih Mazhab Syafi’i karena Muslim di Indonesia

pada umumnya mengikuti ajaran atau mazhab Syafi’i. Sedangkan jelas yang

memberikan kemungkinan bagi keduanya untuk kembali membangun

perkawinan hanyalah Mazhab H{anafi .

Perbedaan pengambilan dasar hukum pendapat Mazhab H{anafi dan Mazhab

Syafi’i tentang status istri mula>’anah tentu sangat menarik untuk dipelajari

lebih dalam, sehingga dengan begitu penulis dapat memaparkan perbedaan

pemikiran keduanya, metode pengambilan hukum, ketentuan istri mula>’anah

dari kedua pendapat yang saling berseberangan ini.

Dengan pertimbangan tersebut, maka penulis ingin membahas lebih lanjut

mengenai pendapat Mazhab H{anafi dan Mazhab Syafi’i tentang status hukum

18Abu Bakar bin Mas’ud al- Kasani al-Hanafi, Bada’I as-Shana’i fi Tartiibi as-Syara’i, Juz III,

(16)

9

istri mula>’anah dalam perkawinan, Hal itulah yang mendasari penulis untuk

membuat suatu kajian mengenai pembahasan li’a>n, dengan skripsi yang

berjudul "Studi Komparasi pendapat Mazhab H{anafi dan Mazhab Syafi’i

tentang status hukum istri pasca mula>’anah".

B.Identifikasi dan Batasan Masalah

Setelah penulis memaparkan faktor-faktor yang mendorong dilakukannya

penelitian mengenai pendapat Mazhab H{anafi dan Mazhab Syafi’i tentang

status hukum istri pasca mula>’anah, perlu kiranya penulis sarikan poin-poin

penting yang akan menjadi fokus penelitian penulis selanjutnya, poin-poin

penting tersebut di antaranya adalah:

1. Pengertian mula>’anah menurut Mazhab H{anafi dan Mazhab Syafi’i.

2. Pandangan Mazhab H{anafi dan Mazhab Syafi’i tentang dasar hukum

mula>’anah.

3. Metode istinba>t} hukum yang dipakai oleh Mazhab H{anafi dan Mazhab

Syafi’i.

4. Ketentuan mula>’anah menurut Mazhab H{anafi dan Mazhab Syafi’i.

5. Pandangan Mazhab H{anafi dan Mazhab Syafi’i tentang status istri

mula>’anah.

(17)

10

7. Perbedaan dan persamaan pendapat Mazhab H{anafi dan Mazhab Syafi’i

tentang status hukum istri pasca mula>’anah

8. Hikmah yang didapat dari mula>’anah.

Mengingat luasnya masalah yang tercakup dalam studi penelitian ini, maka

diperlukan adanya pembatasan objek penelitian agar pembahasannya lebih

terfokus, yaitu pada:

1. Pandangan Mazhab H{anafi dan Mazhab Syafi’i tentang status hukum istri

pasca mula>’anah.

2. Perbedaan dan persamaan pendapat Mazhab H{anafi dan Mazhab Syafi’i

tentang status hukum istri pasca mula>’anah.

Poin-poin tersebut akan diramu dalam sebuah rumusan masalah pada

sub-bab selanjutnya untuk dijadikan sebagai acuan penelitian penulis dalam masalah

Status hukum istri pasca mula>’anah yang dikemukakan oleh Mazhab H{anafi

dan Mazhab Syafi’i.

C.Rumusan Masalah

1. Bagaimana persamaan pendapat Mazhab H{anafi dan Mazhab Syafi’i

tentang status hukum istri pasca mula>’anah?

2. Bagaimana perbedaan terh{adap pendapat Mazhab H{anafi dan Mazhab

(18)

11

D.Kajian Pustaka

Kajian pustaka adalah deskripsi ringkas tentang kajian/penelitian yang

sudah pernah dilakukan seputar permasalahan yang akan diteliti penulis.

Kajian pustaka dilakukan untuk menegaskan bahwa kajian penelitian ini

bukan merupakan pengulangan atau duplikasi dari kajian/penelitian

sebelumnya.19

Adapun penelitian (skripsi) yang membahas tentang mula>’anah:

1. “Studi Analisis Terh{adap Ibnu 'Abidin Tentang Li'a>n Bagi orang Bisu”.

skripsi ini ditulis oleh Anisatul 'Inayah mahasiswa Fakultas syari’ah IAIN

walisongo Semarang ,2008.Dalam skripsi ini membahas bahwasanya menurut

Ibnu ‘Abidin tidak ada li’a>n bagi orang bisu. Ini sesuai dengan yang beliau tulis

dalam kitabnya yaitu Radd al-Muhtar juz V. Ibnu ‘Abidin mengatakan syarat

-syarat li’a>n salah satunya adalah harus bisa berbicara. Karena ketika seseorang

yang berli’a>n itu bisu atau tidak dapat berbicara maka tidak ada li’a>n dan tidak

ada h{ad. Karena Ibnu ‘Abidin menggolongkan li’a>n ke dalam bentuk kesaksian,

bukan termasuk dalam bentuk sumpah. Sehingga orang yang bisu tidak boleh

berli’a>n karena orang bisu adalah orang yang kesaksiannya tidak dapat diterima

atau bukan orang yang ahli bersaksi.20

19 Fak. Syariah IAIN Sunan Ampel, Petunjuk Teknis Penulisan Skripsi, (Surabaya: IAIN Sunan

Ampel, Cet. IV, 2012), 9

20Anisatul 'Inayah, “Studi Analisis Terh{adap Ibnu 'Abidin Tentang Li'an Bagi orang Bisu” (Skripsi--

(19)

12

2. “Studi Analisis Pendapat Imam Abu Hanifah Tentang Kewajiban Suami

Pada Istri yang dili’a>n.” Skripsi ini ditulis oleh Nani nursamsiyah, mahasiswa

Fakultas syari’ah IAIN walisongo Semarang ,2011. Skripsi ini membahas

menurut Imam Abu Hanifah, li’a>n disamakan dengan talak ba’in. Hal ini

dikarenakan li’a>n yang timbul dari pihak suami dan tak ada campur tangan

dengan pihak istri. Setiap perpisahan yang timbul dari pihak suami adalah talak

bukan fasakh. Jadi seorang suami wajib memberi nafkah dan tempat tinggal

terh{adap istri selama masa iddah. Istinba>th Hukum yang digunakan Imam Abu

Hanifah dalam pendapatnya tentang kewajiban suami pada istri yang dilli’a>n

adalah dengan menggunakan qiyas. Sehingga hukumnya wajib memberikan

nafkah dan tempat tinggal. Semua itu dilakukan untuk memberikan sanksi yang

tegas pada suami agar lebih memperhatikan kebutuhan istri dan tanggung jawab

sebagai suami.21

3. “Kedudukan Hukum Anak yang Lahir Akibat dari Perceraian Li’a>n dalam

Hukum Waris Islam” skripsi ini ditulis oleh Fariha yustisia mahasiswa Fakultas

hukum Universitas Jember, 2013. kesimpulan dari penulis skripsi ini adalah

anak yang dilahirkan akibat dari li’a>n mempunyai hubungan nasab dengan ibu

dan keluarga ibunya saja. Terh{adap suami ibunya maupun terh{adap laki-laki

yang menyebabkan terjadinya suatu kelahiran tidak ada hubungan nasab. Secara

yuridis ayahnya tidak mempunyai kewajiban memberikan nafkah kepada

21Nani nursamsiyah “Studi Analisis Pendapat Imam Abu Hanifah Tentang Kewajiban Suami Pada

(20)

13

anaknya dan tidak bisa menjadi wali nikah apabila anak li’a>n tersebut

perempuan. Sedangkan Dalam hal hubungan kewarisan antara laki-laki dengan

anak yang dili’a>n terputus dan untuk selanjutnya hubungan kewarisannya hanya

dengan ibunya saja. Di samping mempunyai hubungan kewarisan dengan

ibunya, anak li’a>n juga mempunyai hubungan kewarisan dengan orang-orang

yang bertalian keluarga dengan ibunya yang bertalian hanya melalui garis

perempuan.22

4. “Tinjauan Hukum Islam Tentang Status Anak Yang Lahir Setelah

Perceraian Sebab Li'a>n (Analisis Terh{adap Undang-Undang No.1 Tahun 1974

Pasal 42 Tentang Status Anak Sah)”. Oleh Atin Ratna Sari mahasiswa Fakultas

syari’ah IAIN walisongo Semarang ,2008. Dalam skripsi ini membahas

ketentuan yang terdapat dalam Undang-Undang No.1 Tahun 1974 Pasal 42

tidak sejalan dengan pengertian anak sah yang terdapat dalam hukum Islam.

Karena dalam hukum Islam terdapat pengecualian yaitu walaupun dalam

perkawinan yang sah tetapi apabila ayahnya melakukan pengingkaran terh{adap

anak yang dikandung oleh istri dan apabila setelah perceraian terjadi, maka

anak yang lahir tersebut hanya akan mempunyai hubungan nasab dengan ibunya

dan kedudukannya jelas menjadi anak yang tidak sah. Jadi dalam hukum Islam

status anak yang lahir setelah perceraian sebab li’a>n adalah tidak sah. Berbeda

22Fariha Yustisia “Kedudukan Hukum Anak yang Lahir Akibat dari Perceraian Li’an dalam Hukum

(21)

14

dengan pengertian anak sah yang terdapat dalam ketentuan Undang – Undang

No. 1 Tahun 1974 pasal 42. Secara implisit dalam ketentuan undang-undang

ini, status anak yang dilahirkan sebab li’a>n tetap disebut sebagai anak yang

sah.23

Dari hasil kajian pustaka tersebut, penulis memiliki penilaian bahwa

perbandingan antara penelitian yang akan dilakukan ini memiliki perbedaan

dari penelitian-penelitian sebelumnya. Skripsi yang akan ditulis oleh penulis

lebih menitikberatkan kepada perspektif dua mazhab mengenai status hukum

istri setelah melakukan sumpah li’a>n. Berdasarkan hasil penelusuran penulis

tersebut, tidak berlebihan kiranya jika penulis mengatakan bahwa penelitian

dalam skripsi ini merupakan penelitian yang belum pernah diteliti sebelumnya.

E. Tujuan Penelitian

Tujuan dari penelitian ini adalah:

1. Untuk mengetahui pendapat Mazhab H{anafi dan Mazhab Syafi’i tentang

status hukum istri pasca mula>’anah.

2. Untuk mengetahui perbedaan dan persamaan analisis dari pendapat Mazhab

H{anafi dan Mazhab Syafi’i tentang status hukum istri pasca mula>’anah.

23 AtinRatna Sari, Tinjauan Hukum Islam Tentang Status Anak Yang Lahir Setelah Perceraian

Sebab Li'an (Analisis Terh{adap Undang-Undang No.1 Tahun 1974 Pasal 42 Tentang Status Anak

(22)

15

F. Kegunaan Penelitian

1. Secara Teoritis

Dari segi teoritis, hasil penelitian diharapkan berguna bagi pengembangan

ilmu pengetahuan serta memperluas wawasan ilmu-ilmu hukum Islam (fiqih),

khususnya terh{adap pendapat Mazhab H{anafi dan Mazhab Syafi’i tentang

status hukum istri pasca mula>’anah.

2. Secara Praktis

Secara praktis, hasil penelitian ini diharapkan dapat berguna sebagai bahan

pedoman atau acuan di lingkungan akademisi maupun juga para peneliti

selanjutnya apabila terdapat persoalan yang berkaitan dengan masalah

mula>’anah.

G.Definisi Operasional

Definisi operasional adalah memuat penjelasan tentang pengertian dari

variabel yang telah dipilih oleh peneliti. Guna mempermudah dalam memahami

maksud dari penelitian ini, maka berikut ini akan dipaparkan beberapa definisi

tersebut: menemukan maksud tersebut:

Studi Komparasi : Maksudnya sebuah studi yang bersifat komparasi

yaitu perbandingan sebagai penjelas.24 Dalam hal

24 Al-Barry, M. Dahlan Y., L. Lya Sofyan Yacub, Kamus Induk Istilah Ilmiah: Seri Intelektual,

(23)

16

ini adalah studi yang membandingkan serta

mencari titik persamaan dan perbedaan dua

pendapat yakni pendapat mazhab Hanafi dan

mazhab Syafi’i.

Mazhab Hanafi : Mazhab adalah pendapat atau aliran yang bermula

dari pemikiran atau ijtihad seorang imam dalam

memahami sesuatu. Pemikirannya kemudian

diikuti para pengikutnya dan dikembangkan

menjadi suatu aliran, sekte atau ajaran.25 Mazhab

Hanafi adalah salah satu aliran terkemuka dalam

islam (fiqh), didirikan Imam Hanafi , mazhab ini

berkembang di Irak, dan dikenal sebagai paling

rasional. Nama asli beliau adalah al-Nu’man bin

Tha>bit, dilahirkan pada tahun 699 Masehi atau

tahun 80 Hijriyah di Ku>fah (Irak).26

Mazhab Syafi’i :

Mazhab Syafi’i adalah salah satu aliran dalam

fiqh dikalangan ahl al-sunnah wa al-jama>’. Nama

ini dinisbatkan kepada Imam Syafi’i yang

merupakan pendirinya. Imam Syafi’i memiliki

(24)

17

Status Hukum

Istri Pasca Mula>’anah

:

:

nama asli Muhammad ibn Idris bin ‘Abba>s bin

‘Uthmanbin Syafi’i (150-204 H).27

Maksudnya adalah bahwa hukum istri tersebut

setalah melakukan mula>’anah menjadi mahram

muabbad (istri menjadi haram selamanya) atau

mahram muaqqat (istri boleh dinikahi kembali).

Adalah istri yang setelah melakukan sumpah li’a>n

sebab suaminya menuduh ia berzina atau

mengingkari anak yang ada didalam kandungan

istrinya.

Dari definisi-definisi di atas dapat diambil makna secara keseluruhan bahwa

penelitian ini merupakan upaya pemecahan masalah yang dilakukan oleh penulis

secara mendalam dan menyeluruh.

H.Metode Penelitian

Sebagai human instrument, penulis merupakan instrumen kunci dalam

penelitian kualitatif ini, sehingga terselenggaranya penelitian tersebut sangat

bergantung pada kegiatan penulis dalam pengumpulan data, analisis, serta

pembuatan kesimpulan.28 Penelitian ini berbentuk penelitian deskriptif, yaitu

suatu bentuk penelitian yang memaparkan dan menafsirkan data-data yang

27 Ibid, Jil.6,285.

(25)

18

telah terkumpul.29 Artinya, penelitian ini akan memaparkan Pendapat Mazhab

H{anafi dan Mazhab Syafi’i terkait status hukum istri pasca mula>’anah

kemudian pendapat tersebut akan dianalisis sebagaimana mestinya.

1. Data yang dikumpulkan

Data yang diperlukan dalam penulisan skripsi ini adalah:

a. Data tentang status hukum istri pasca mula>’anah dalam perkawinan

menurut Mazhab H{anafi dan Mazhab Syafi’i.

b. Data tentang dasar hukum Mazhab H{anafi dan Mazhab Syafi’i terkait

pendapat beliau terh{adap status hukum istri pasca mula>’anah dalam

perkawinan.

c. Data tentang persamaan dan perbedaan pandangan Mazhab H{anafi dan

Mazhab Syafi’i tentang status hukum istri pasca mula>’anah dalam

perkawinan.

2. Sumber Data

Data yang diperoleh dalam penelitian ini dikumpulkan dari sumber data

Sekunder. Adapun yang dimaksud dengan sumber data sekunder yang

digunakan oleh penulis adalah data yang diperoleh dari dokumen-dokumen

resmi, buku-buku, jurnal, tulisan di media online yang berhubungan dengan

objek penelitian, dan hasil-hasil penelitian. Sumber sekunder dalam penelitian

ini meliputi literatur-literatur mengenai mula>’anah, antara lain:

(26)

19

a. kitab karya Mazhab H{anafi dan didukung dengan beberapa kitab

pendukungnya yaitu:

1) Kitab Bada>’i u as-Shana>’i fi Tarti>b al-Shara>i’ karya Abu Bakar bin

Mas’ud Al- Ka>sa>ni Al- H{anafi

2) Kitab Al-Mabsu>t li as-Sarkhasi> karya Shamsuddin as-Sarkhasi>.

3) Kitab Fath{ al-Qadyr karya Muhammad bin Abdul Wa>hid al-H>anafi

4) Kitab Tabyi>n al-Haqa>iq Syarh{ Kanzu al-Daqai>q karya Fakhruddi>n

‘Uthma>n bin ‘Ali al-Hanafi.

Sebagai perbandingan penulis juga akan menggunakan kitab karya Mazhab

Syafi’i.

b. kitab karya Mazhab Syafi’i, dan kitab-kitab pendukung yang notabenya

merupakan pengikutnya seperti

1) Kitab al-Umm Li as- Sha@fi’i karya Muhammad bin Idris as- Syafi’i

2) Kitab Niha>yah al-Muhta>j ila Sharh al-Minha>j karya Muhammad bin Abi

‘Abba>s as-Syafi’i

3) Kitab al-Wajy>z fi Fiqih Mazhab al-Imam as-Syafi’i karya Muhammad

bin Muhammad al-Ghaza>ly>

4) Kitab Ha@siyah al Bujairami karya Sulaiman al-Bujairami.

(27)

20

Pengumpulan data dalam penelitian ini, penulis menggunakan metode

Library Research (kajian pustaka).30 Dalam pengumpulan data yaitu dengan

mencari sumber-sumber data di perpustakaan, baik perpustakaan yang ada di

lingkungan kampus maupun di perpustakaan pesantren.

4. Teknik Pengolahan Data

Setelah data yang dibutuhkan terkumpul, maka data tersebut diolah melalui

tahapan-tahapan berikut:

a. Editing, yaitu data yang sudah dikumpulkan tersebut lalu diperiksa

kembali secara cermat. Pemeriksaan tersebut meliputi segi kelengkapan

sumber informasi, kejelasan makna, kesesuaian dan keselarasan satu

dengan lainnya, relevansi dan keseragaman, serta kesatuan kelompok

data.

b. Organizing, yaitu pengaturan dan penyusunan data bagian-bagian

sehingga seluruhnya menjadi suatu kesatuan yang teratur dengan

memberikan kode-kode tertentu pada masing-masing kategori atau nilai

setiap variabel.

c. Tabulasi, setelah data diperoleh dan terkumpul, maka dilakukan

pengelompokan data yang telah tersusun rapi dalam suatu bentuk

pengaturan yang logis dan ringkas.

5. Teknik Analisis Data

(28)

21

Untuk menganalisis data yang telah dikumpulkan. penulis menggunakan

teknik deskriptif komparatif dengan pola pikir deduktif, yaitu menggambarkan

hasil penelitian secara sistematis dengan diawali teori atau dalil yang bersifat

umum yang menjelaskan tentang status hukum istri pasca mula>’anah menurut

Mazhab H{anafi dan Mazhab Syafi’i.

Penelitian deskriptif adalah suatu penelitian yang bertujuan untuk

membuat deskripsi atau gambaran secara sistematis, faktual dan akurat

mengenai fakta-fakta, sifat-sifat serta hubungan antar fenomena yang

diselidiki.31 Pendekatan deskriptif komparatif dipergunakan untuk mengetahui

pendapat Mazhab H{anafi dan Mazhab Syafi’i terkait status hukum istri pasca

mula>’anah. Selanjutnya, deskripsi tersebut dianalisis menggunakan pola pikir

deduktif.

Dengan teori-teori atau dalil yang bersifat umum mengenai status hukum

istri pasca mula>’anah dalam hukum Islam, kemudian dianalisis dari persamaan

dan perbedaan kedua pendapat sehingga bisa diambil beberapa kesimpulan.

I. Sistematika Pembahasan

Agar dalam pembuatan skripsi ini dapat terarah dan sesuai dengan apa yang

diharapkan oleh penulis, maka disusunlah sistematika pembahasan yang terbagi

(29)

22

dalam lima bab yang terdiri atas beberapa subbab, adapun susunannya sebagai

berikut:

Bab pertama: Pendahuluan. Bab ini merupakan pengantar penelitian yang

memiliki unsur-unsur, di antaranya: latar belakang masalah, rumusan

masalah, kajian pustaka, tujuan penelitian, kegunaan penelitian,

definisi operasional, metode penelitian, serta sistematika pembahasan.

Bab kedua: Pembahasan. Pada bab ini akan disajikan bahasan mengenai biografi

Imam H{anafi ,nama-nama guru dan murid beliau, kitab-kitab karya

beliau, sejarah perkembangan dan penyebaran mazhab H{anafi , metode

istinba>t mazhab H{anafi , dan pendapat Mazhab H{anafi tentang status

hukum istri pasca mula>’anah.

Bab ketiga: Pembahasan. Pada bab ini akan disajikan bahasan mengenai

biografi Imam Syafi’i, nama-nama guru dan murid beliau, kitab-kitab

karya beliau, sejarah perkembangan dan penyebaran mazhab H{anafi ,

dan pendapat Mazhab Syafi’i tentang status hukum istri pasca

mula>’anah.

Bab keempat: Analisis Data. Dalam bab ini Pendapat Mazhab H{anafi dan

Mazhab Syafi’i terkait status hukum istri pasca mula>’anah akan

dianalisis.

(30)

BAB II

PENDAPAT MAZHAB H{ANAFI TENTANG

STATUS HUKUM ISTRI PASCA MULA>’ANAH

A. Biografi Imam H{anafi 1. Nasab Imam H{anafi

Imam H{anafi adalah pendiri mazhab H{anafi nama aslinya Nu’ma>n Bin

Tha>bit al-Taymi> al-Ku>fi. Imam H{anafi memiliki nama kunyah yaitu Abu>

Hanifah. Beliau dilahirkan di Kuffah pada tahun 80 H/699M.1 Hidup di bawah

pemerintahan Bani Umayyah selama lima puluh dua tahun dan delapan belas

tahun dibawah Bani ‘Abbas (‘Abbasiyah). Imam H{anafi menghabiskan masa

kecil dan tumbuh dewasa di kufah. Sejak masih kanak- kanak beliau telah

mengkaji dan menghafal Al- Qur’an.

Imam Hanafi adalah keturunan Persia. Beberapa pendapat menyatakan

bahwa Imam Hanafi adalah keturunan Persia yang merdeka. Isma>il bin H}amma>d

yaitu seorang cucu Imam Hanafi mengatakan “Kami adalah keturunan

bangsawan Persia yang merdeka. Demi Allah, keluarga kami sama sekali tidak

pernah menjadi budak.

Silsilah nasab Imam Hanafi yaitu Nu’ma>n Bin Tha>bit bin Zut{a bin

Mah{muli Taymillah bin Tha’labah. Ayahnya seorang pedagang besar, yakni

1Ahmad al-Subarsi, Sejerah dan Biografi Imam empat Mazhab, Sabil Huda, Ahmadi(Jakarta;Amzah,

(31)

24

seorang pedang sutra asli Persia yang pernah berjumpa dengan Ali bin Abi

Thalib. Karenanya Imam H{anafi sebelum memusatkan perhatiannya kepada

ilmu, turut berdagang di pasar menjual kain sutra. Di samping berniaga, ia juga

tekun menghafal al-Qur’an dan amat gemar membacanya.2

Kecerdasan otaknya menarik perhatian orang-orang yang mengenalnya.

Karenanya Asy-Sya’bi menganjurkan supaya Imam H{anafi mencurahkan

perhatiannya kepada ilmu. Dengan anjuran Asy-Sya’bi mulailah Imam H{anafi

terjun mendalami ilmu. Namun demikian Imam H{anafi tidak melepaskan

usahanya sama sekali.3

Dalam kehidupannya Imam H{anafi adalah seorang yang hidup

berkecukupan. Sebagai pedagang, ia tidak tamak, juga tidak takut kehabisan

harta, sangat memelihara amanah orang yang dititipkan kepadanya, murah hati

yang mempergunakan kekayaan untuk kehidupan orang lain. Amat kuat

agamanya, amat banyak ibadahnya, berpuasa di siang hari dan mengerjakan

shalat lail di malamnya. Karena sifat-sifat ini, maka beliau menjadi saudagar

yang ganjil di antara para pedagang. Karenanya orang-orang menyamakannya

dengan Abu Bakar Az-Shiddiq.4 Selain memperdalam Al-Qur’an, beliau juga

aktif mempelajari ilmu fiqih. Dalam hal ini beliau belajar di kalangan sahabat

Rasul, diantaranya kepada Anas bin Malik, Abdullah bin Aufa dan Abu> Tufayl

2Azyumardi Azra, Ensiklopedi Islam, Jilid 2,( Jakarta: PT Ichtiar Baru Van Hoeve,2005) 79.

3Abdullah Mustafa, Al-Fath Al-Mubin Fi Tabaqat Al- Ushuliyin:“Pakar-Pakar Fiqih Sepanjang

Sejarah”, Husain Muhammad. (Yogyakarta:LKPSM, 2001)72.

(32)

25

Amir, dan lain sebagainya. Dari mereka, beliau juga mendalami ilmu hadits. 5

Dimasa Umayyah, Yazid bin Umar bin Humairah pernah bekerja di Irak

sebagai pegawai Marwan. Beliau lalu meminta Imam H{anafi menggantikan

kedudukannya sebagai hakim di Kuffah, tetapi beliau menolaknya. Yazid lalu

memukulnya sebanyak 110 kali. Tapi Imam H{anafi tidak mengubah

pendiriannya. Yazid pun mengubah metodenya.6

Imam H{anafi yang mempunyai otak cerdas dan cemerlang sehingga

dengan kecerdasannya itu dia menggali hukum serta menghilangkan

perselisihan dan menghapus perkara-perkara syubhat seperti yang diungkapkan

oleh kaum ateis yang mengingkari adanya kha>liq (sang pencipta).

Imam H{anafi dalam membentuk mazhabnya dan mempelajari aneka

masalah, ia mendiskusikan masalah dengan para muridnya. Masing-masing

memberi pendapat, Imam H{anafi mendiskusikan pendapat-pendapat itu,

sehingga tercapainya suatu pendapat yang dikemukakan dalam diskusi itu.7

Semenjak Nabi wafat hingga sampai kepada masa Asy-Syafi’i, para ulama

terbagi dua golongan. Ada golongan yang terkenal dengan ahli pikir, yaitu

golongan yang mencari ‘illat-‘illat hukum dan menetapkan hukum dengan

menggunakan daya akal, dan ada golongan yang berdalil dengan h{adis.

Imam H{anafi cenderung kepada golongan pertama, maka apabila tidak

5Muhammad Jawad Mughniyah, al-Fiqh ‘ala al-Madzahib al-Khamsah, (Dar al-Jawad; Beirut 1996)

xxv.

6Ahmad al-Subarsi, Sejerah dan Biografi Imam empat Mazhab...,48.

(33)

26

menemukan sunnah yang telah terkenal, ia menggunakan ra’yu dan amat

berhati-hati dalam meriwayatkan h{adis, karena takut kedustaan dalam

periwayatan h{adis, seperti pemikirannya yang menjadikan ra’yu atau pendapat

sebagai pokok yang menolong pelaksanaan hukum berupa pembuatan aturan

politik secara umum bagi umat Islam. Hal ini sesuai dengan kandungan syari’at

yang mengharuskan kepemimpinan didasarkan pada musyawarah, kemudian

bai’at secara adil dan bersih serta jauh dari permainan kotor atau paksa. Dengan

demikian Imam H{anafi menilai khalifah yang dipegang dinasti Umayyah secara

Shari’i tidak sah.8

Pada masa pemerintahan yang kedua (‘Abasiyyah), yakni pada masa

pemerintahan Abu Ja’far Al-Mansur (754-775 M), yang memerintah sesudah

‘Abbas Asy-Syaaffah, beliau juga mengalami nasib yang sama, Imam H{anafi

mendapat tawaran menjadi Qadli, dan itupun ditolaknya, akibatnya beliau

dihukum dan dipenjara hingga akhir hayatnya pada tahun 150 H/767 M.9

2. Para Guru Imam H{anafi

Guru Imam H{anafi antara lain ‘Ata bin Abi Kabah, Hisyam bin ‘Urwah,

Nafi Maulana bin Umar. Tetapi guru yang paling banyak diambil ilmunya

adalah Hammad bin Sulaiman Al-Asy’ari (W. 120 H) yang berguru kepada

Ibrahim An-Nakah’i dan Amir bin Syura bin Al-Sya’bi. Hammad dikenal

sebagai orang kaya, pemurah dan luas ilmunya. Imam H{anafi menjadi muridnya

8Ibid 457.

(34)

27

selama 18 tahun.10Imam H{anafi juga pernah berguru kepada Zayd bin ‘Ali dan

Ja’far as-Sa>diq.11

3. Para Murid Imam H{anafi

Murid-Murid Imam H{anafi yang paling terkenal adalah Ya’kub ibn

Ibrahim ibn Habib Al-Ansari, terkenal dengan nama Abu Yusuf, Zuffar ibn

Hudail, Muhammad ibn Al-Hassan ibn Farqad Al-Shaibani dan Al-Hasan ibn

Ziyad Al-Lu’lu’i.12

Melalui keempat murid inilah Mazhab H{anafi tersebar luas, terutama

melalui dua orang diantara mereka yaitu: Abu Yusuf dan Muhammad ibn

Al-Hasan Al-Shaibani. Kedua murid paling terkemuka ini dikenal dalam sejarah

ilmu fiqih dengan sebutan dua imam atau dua sahabat, karena kepandaian dan

jasanya dalam penyebaran mazhab H{anafi serta karena kedekatan hubungan

mereka dengan Imam H{anafi .

Abu Yusuf Ya’qub ibn Ibrahim Al-Ansari (113-182 H) diangkat menjadi

hakim di Baghdad dan kemudian dimasa pemerintahan khalifah Harun

Al-Rasyid menjadi hakim tinggi (qadi al-qudat) dengan wewenang mengangkat

hakim-hakim diseluruh kekuasaan ‘Abbasiyah. Dengan jabatannya ini ia

mempunyai kesempatan untuk menyebarkan Mazhab H{anafi .13

10Muh Zuhri, Hukum Islam Dalam Lintasan Sejarah, (Jakarta: Raja Grafindo Persada,tt.h), 95. 11Hasbi Ash Shiddiqy, Pokok-Pokok Pegangan Imam Mazhab...,200.

12Azyumardi Azra, Ensiklopedi Islam..., 80.

(35)

28

Muhammad ibn Al-Hasan Al-Shaibani (132-189 H) adalah murid Imam

H{anafi yang memperoleh pujian karena jasanya memelihara dan menyebarkan

pendapat-pendapat mazhab H{anafi . Ia menyatakan dirinya penghimpun

buku-buku penting Mazhab H{anafi dan menggali aturan-aturan rinci, terutama yang

berhubungan dengan hukum waris. Ia terkenal dalam analisanya tentang

kasus-kasus nyata dan teoritik dengan memperluas sistem deduksi dan induksi.14

Buku-buku yang dihimpun oleh Imam Muhammad ada dua jenis. Yang

pertama disebut zahir al-riwayah, buku tentang persoalan-persoalan ulama

terdiri dari enam buku: al-mabsut, al jami’ al kabir, al jami’ al sagir, al-siyar al

kabir, al siyar al sagir dan al-ziyadah.15 Yang kedua adalah buku yang disebut

Al-Nawadir. Al Nawadir juga terdiri dari buku-buku lain yang dinisbatkan

kepada para pendiri mazhab, seperti Al-Mujarrad oleh Imam H{anafi yang

diriwayatkan oleh muridnya, Imam Al-Hasan ibn Ziyad Al-Lu’lu’i.”16

Para murid Imam H{anafi juga mempunyai murid-murid yang mencapai

kemasyhuran, seperti Hilal Al-Ra’y (W.245 H), Ahmad Ibn Muhir Al-Hasyaf

(W. 261 H) pengarang kitab-kitab Al-Hilal dan Al-Waqf, dan Al-Jami’ Al-Kabir

mengenai syarat-syarat perjanjian.17

Sesudah generasi ini muncul generasi baru para ahli fiqh pendukung setia

14Abdul Wahab Khallaf, Sejarah Pembentukan Hukum Islam, Imron A.m.,(Surabaya:Bina Ilmu,

1978), 73.

15A.Rahman,Syari’ah The Islamic Law: ,“Penjelasan Lengkap Hukum-Hukum Allah (Syari’ah)”.

Zaimudin,Rusydi Sulaiman,( Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2002), 127-128.

(36)

29

mazhab H{anafi seperti Abu Al-Hasan Al-Karkhi (340 H) Abu ‘Abd Allah Al

-Jujuni (W. 398 H) pengarang Khizanah Akmal, Syam Aimmah

Al-Sarakhi (W. 483) penyunting Al-Mabsut{ dan lain-lainnya.

4. Karya-karya Imam H{anafi

Imam H{anafi tidak meninggalkan karya tulis mengenai

pandangan-pandangan hukumnya. Hanya terdapat risalah-risalah kecil yang dinisbatkan

kepadanya mengenai ilmu kalam dan akhlak. Seperti al-fiqh al-akbar, al alim wa

muta’alim dan juga risalahnya dalam menolak pandangan qadariyah. Para

pengikutnya yang membukukan pendapat-pendapatnya dan pendapat ulama

generasi sebelumnya yang diriwayatkan Imam H{anafi .

Adapun hasil majelis (kuliah) dari beberapa murid-murid Imam H{anafi

untuk kemudian dikodifikasikan, seperti kitab- kitab yang sudah dibukukan

adalah: Kitab Al-Mabsut}, Kitab Al- Jami’ush Shaghir, Kitab Al-Jami’ul Kabir,

Kitab Ash-Shairush Shaghir, Kitab Ash- Shairul Kabir, Kitab Az-Ziadat, Kitab

Al-Faraidl, kitab Asy-Syurut dan Kitab Fiqhul Akbar.18

5. Perkembangan dan Penyebaran Mazhab H{anafi

Mazhab H{anafi telah berkembang di dunia Islam. Mazhab ini menempati

kedudukan paling atas di irak sepanjang masa kekhalifahan ‘Abbasiyah karena

merupakan sistem hukum yang paling banyak mendapat dukungan khalifah.

Mazhab H{anafi juga merupakan mazhab resmi negara di zaman Turki

18Munawar Khalil, Biografi Empat Serangkai Imam Madzhab,( Jakata: CV. Bulan

(37)

30

‘Utsmani.19

Mazhab H{anafi yang merupakan salah satu mazhab yang mampu bertahan

hingga saat ini tidak bisa dilepaskan dari perjalanan sejarah panjangnya. Untuk

mencapai Kejayaannya mazhab ini melewati beberapa fase sehingga menjadi

sebuah mazhab yang banyak dianut .

Para pengikut mazhab H{anafi saat ini sebagian besar tesebar di daerah

India, Afghanistan, Paskitan, Irak, Syiria, Turki,suriname dan juga sebagian

diantaranya berada di daerah Mesir.

Di samping itu, penyebaran mazhab H{anafi juga tidak bisa lepas dari

otoritas pemerintahan. Yang dimaksudkan disini adalah rezim kerajaan ottoman

pada abad ke 19, kerajaan ottaman menjadikan mazhab H{anafi sebagai hukum

resmi negara. Siapapun yang berkeinginan untuk menjadi hakim disana, mereka

diwajibkan mempelajari mazhab H{anafi . Oleh karena itu, mazhab H{anafi

tersebar luas juga di sepanjang wilayah pemerintahan kerajaan ottoman di akhir

abad ke 19.20

19Azyumardi Azra, Ensiklopedi Islam...,128.

20Abu Ameenah Bilal Philips, Asal-usul dan Perkembangan fiqh;Analisis Historis atas

(38)

31

B. Istinba>th Hukum Mazhab H{anafi

Mazhab H{anafi adalah mazhab yang mengikuti Imam H{anafi , maka

istinbath hukum mazhabnya didasarkan atas istinba>th Imam mereka yakni Imam

H{anafi . Imam H{anafi berdasarkan urutan tahun adalah orang pertama dari

empat mazhab besar. Itu artinya dia adalah orang yang sangat menentukan bagi

perkembangan hukum Islam selanjutnya. Menurut Imam H{anafi hukum Islam

dapat digali atau diformulasikan berdasarkan beberapa sumbernya. Meskipun

dia terkenal sebagai pengguna rasio yang kuat, bukan berarti dia meninggalkan

nas}s}-nas{s} sama sekali. Istinbath hukum H{anafi dapat diketahui melalui

pernyataannya sebagaimana dikutip oleh Muhammad bin Ali> al-H}as{kafi dalam

kitabnya al-Rudd al-Mukhta>r.21

Artinya:” Sesungguhnya aku mengambil dari kitab Allah, jika aku tidak mendapatinya, maka aku mengambil dari sunnah Rasulullah SAW, jika aku tidak mendapati dalam Kitab Allah dan sunnah Rasululullah SAW maka aku mengambil pendapat para sahabat Rasulullah, aku mengambil dari mereka yang aku kehendaki dan aku meninggalkan yang aku kehendaki, aku tidak keluar dari pendapat sebagian mereka kepada pendapat sebagian yang lain. Apabila permasalahannya sudah sampai kepada Ibrahim (an-Nakha’i), as-Sha’bi, , Ibn Sirin, al-Hasan dan Sa’id bin al-Musayyab, mereka adalah orang-orang yang berijtih{ad, maka aku juga berijtih{ad sebagaimana mereka berijtih{ad”.

(39)

32

Jadi Istinba>th hukum Imam H{anafi berpedoman kepada al-Qur’an, sunnah,

pendapat-pendapat para sahabat, Sisanya Imam H{anafi juga berijtih{ad dengan

selain nas{s{.22

Secara umum istinba>th hukum Imam H{anafi bertumpuh atas tujuh sumber,

Sumber-sumber tersebut yang merupakan dasar dari istinbath hukum mazhab

H{anafi dan akan dijelaskan sebagai berikut:

1. Al-Qur’an

Bagi mazhab H{anafi al-Qur’an merupakan sumber hukum Islam yang

utama yang tidak bisa diperdebatkan lagi. Pada dasarnya al-Qur’an digunakan

untuk menentukan akurasi sumber-sumber lain yang bertentangan dengan

al-Qur’an dianggap tidak valid.23

2. Sunnah

Sunnah digunakan sebagai sumber hukum Islam terpenting setelah

al-Qur’an, tetapi dengan beberapa kualifikasi dalam penggunaannya. Mereka

mensyaratkan bahwa h{adith bukan hanya harus s}ahih, tetapi juga harus dikenal

secara luas (mashhu>r), jika h{adith tersebut digunakan sebagai dasar hukum yang

sah. Kualifikasi ini berfungsi sebagai benteng terh{adap h{adith-h{adith palsu yang

22Ibid, 4.

(40)

33

sering muncul didaerah tersebut dimana hanya ada sedikit sahabat yang

berperan.24

Imam H{anafi merupakan figur yang dianggap mapan sebagai representasi

ahl al-ra’yi memang sedikit ketat dalam menentukan kualifikasi h{adith yang

dapat diterima. Ahl al-ra’y tidak segan-segan mendahulukan qiya>s daripada

sebuah h{adith ah{ad. Mereka menolak h{adith yang menurut mereka tidak

mashhu>r walaupun menurut ulama lain shahih dan begitu pula sebaliknya.25

3. Pendapat Para Sahabat

Pendapat para sahabat mengenai beberapa materi hukum yang tidak

disebutkan dalam al-Qur’an dan sunnah. Pendapat sahabat yang disepakati

diantara mereka (ijma>’ sahabat) lebih diutamakan daripada pendapat pribadi

Imam H{anafi dan murid-muridnya dalam mendekdusi hukum Islam. Mazhab

H{anafi juga mengakui ijma’ para ulama muslim lainnya di semua periode

sebagai hal yang valid dan mengikat umat Islam.

Jika ada pendapat yang berbeda-beda di kalangan para sahabat mengenai

hukum-hukum tertentu, maka Imam H{anafi akan memilih pendapat yang

dipandang paling memadai dalam menjawab persoalan. Dalam menetapkan

pandangan ini sebagai prinsip penting mazhabnya, Imam H{anafi lebih

mengutamakan pendapat para sahabat dari pada pendapatnya sendiri.26

24Ibid 89.

25Kholidah”Imam Syafi’i:Upaya Menjembatani Pemikiran Ahl al-Ra’yi dan Ahl al-Hadith dalam

Istinbath Hukum”, Jurnal Hukum Islam, No 1,(Juli,2011),14.

(41)

34

4. Qiyas

Imam H{anafi merasa tidak harus menerima rumusan masalah hukum dari

murid-murid para sahabat (ta>bi’in) selama tidak berdasar atas sumber-sumber

diatas tersebut. Dalam perspektifnya dia memiliki kapasitas yang sama dengan

ta>bi’in dalam melakukan ijtih{ad sendiri dengan berdasarkan atas prinsip-prinsip

qiyas yang telah dibangun bersama murid-muridnya.27

5. Istihsa>n

Istihsan adalah mengalihkan hukum dari suatu masalah karena ada dalil

yang lebih tertentu, baik dari kitab atau h{adith dan sesuatu yang dianggap baik

oleh seorang mujtahid melalui pemikiran akal.28

Seorang tokoh H{anafiyah Shams{uddin al-Sharkhas{i berpendapat istihsan

yakni, Qiya>s dan istihsa>n pada hakikat keduanya adalah dua macam qiya>s. Yang

pertama qiya>s jali> (qiya>s yang jelas) tapi pengaruhnya dalam mencapai tujuan

syariat (kemaslahatan) lemah. Ini dinamakan qiya>s. Sedangkan yang kedua

adalah qiya>s khafi(yang tersembunyi) yang memiliki pengaruh yang kuat ini

dinamakan istihsa>n. 29

Istihsa>n dalam mazhab H{anafi dapat dibagi dua macam, yaitu istihsa>n

dengan qiya>s dan istihsa>n dengan dalil syari’at lain. Yang pertama adalah

peralihan dari qiya>s jali> pada qiya>s khafi. Sedangkan yang kedua adalah

27Ibid, 90.

28Abdul Karim ibn Ali Annamlati, Raudotul Manadzir fi Usulilfiqhi, (Beirut: Muasasah Kutub, 1998)

244.

29Yusefri,”Penolakan Imam al-Syafi’i terhadap al-Istihsan Sebagai Metode penetapan Hukum Islam”,

(42)

35

berpindah dari kaidah umum atau qiya>s karena alasan sunnah, ijma’ atau

daru>rah.30

6. Ijma>’

Mazhab H{anafi seperti juga mayoritas ulama mengakui konsensus dari

semua mujtahid muslim pada suatu masa setelah wafatnya Rasulullah SAW

tentang suatu hukum dari sebuah kasus atau lebih populer dengan ijma@’. Mereka

mengakui ijma@’ sebagai dalil yang mengikat, oleh karenanya sah menjadi hujjah

syar’iyyah.31

7. ‘Urf

‘Urf yakni Sesuatu yang menjadi kebiasaan manusia, dan mereka

mengikutinya dalam bentuk setiap perbuatan yang populer di antara mereka,

ataupun suatu kata yang biasa mereka kenal dengan pengertian tertentu.32

C. Status Hukum Istri Pasca Mula>’anah Menurut Mazhab H{anafi

Mazhab H{anafi mendefinisikan mula>’anah (li’a>n) sebagai kesaksian yang

dikuatkan dengan sumpah yang diiringi dengan laknat dari pihak suami dan

dengan kemarahan dari pihak istri.33

Terjadinya mula>’anah disebabkan karena seorang suami menuduh istrinya

berbuat zina dengan laki-laki lain, tanpa mampu mendatangkan empat orang

30 Ibid, 172.

31Amir Syarifuddin, Usul al-Fiqh, Jilid I,(Jakarta;Kencana Pernada Group,2008), 125. 32Abdul Rahman Dahlan, Ushul Fiqh, (Jakarta: Amzah, 2011), 209.

(43)

36

saksi yang dapat menguatkan kebenaran tuduhannya itu. Bentuk ini

menyebabkan adanya li’a>n setelah suami melihat sendiri (secara langsung)

bahwa istrinya telah berzina dengan laki-laki lain.34

Sebab yang lain adalah seorang suami mengingkari (menolak) bayi yang

telah di kandung istrinya. Hal ini bisa terjadi apabila suami mengaku bahwa

suami tidak pernah berhubungan badan dengan istrinya semenjak akad nikah

berlangsung. Kemudian sebab yang lainnya adalah bahwa istrinya telah

melahirkan sebelum batas minimal kelahiran (kurang dari kelahiran) setelah

bersenggama.35

Oleh karena sebab-sebab yang terjadi di atas, maka untuk menguatkan

kebenaran tuduhannya seorang suami mengucapkan sumpah li’a>n. Sedangkan

istri menyangkal tuduhan tersebut dengan sumpah li’a>n pula, sehingga terjadi

mula>’anah diantara kedua suami istri tersebut. jika terjadi hal yang demikian

pastilah salah satu dari suami istri tersebut ada yang berdusta.

Mengenai li’a>n para ulama’ bersepakat bahwa perkara li’a>n merupakan

suatu ketentuan yang sah menurut Al-Qur’an, As-Sunnah, Qiyas dan Ijma’.36

Suatu perbuatan dinamakan mula>’anah bila padanya terpenuhi syarat dan

rukun yang ditentukan. Dalam hukum islam, terdapat beberapa rukun dan syarat

mula>’anah, antara lain:37

34Sayyid Sabiq, Fiqih Sunnah, Juz II,(Beirut; Dar al-Fikr,2008) 619. 35Ibid.

36Ibid,618,

(44)

37

1. Rukun mula>’anah adalah sebagai berikut: 38

a. Suami, tidak akan jatuh li’a>n apabila yang menuduh zina atau yang

mengingkari anak itu laki-laki lain yang tidak mempunyai ikatan

pernikahan yakni yang bukan suaminya.

b. Istri, tidak akan jatuh li’a>n apabila yang dituduh tersebut bukan istrinya.

c. Shighat atau lafadz li’a>n, yaitu lafadz yang menunjukkan tuduhan zina

atau pengingkaran kandungan kepada istrinya.

d. Kesaksian yang dikuatkan dengan sumpah.

2. Syarat wajibnya mula>’anah menurut ulama mazhab H{anafi ada tiga :39

a. Pasangan tersebut masih berstatus suami istri atau masih dalam ikatan

perkawinan. Sekalipun istri belum digauli.Alasannya dalam firman Allah

SWT dalam surat an-Nuur (24) ayat 6 yang artinya : “Dan orang-orang

yang menuduh istrinya…”. Kata “istri” menurut ulama mazhab H{anafi

menunjukkan bahwa status mereka masih suami istri. Tidak ada li’a>n

antara orang yang bukan pasangan suami istri atau dengan tuduhan yang

diarahkan kepada perempuan yang selain istrinya. Juga tidak ada li’a>n

dengan tuduhan kepada istri yang telah meninggal dunia, karena orang

yang meninggal dunia tidak lagi berstatus istri dan tidak dapat dikenakan

li’a>n.

(45)

38

b. Status perkawinan mereka adalah nikah yang sah, bukan fasid. Tidak ada

li’a>n bagi perempuan yang dinikahi dengan pernikahan yang fasid karena

dia bukan istrinya.

c. Suami adalah seorang muslim yang cakap memberikan kesaksian .

3. Tentang syarat pelaksanaan, Mazhab H{anafi menyebutkan enam syarat:40

a. Di h{adapan hakim atau wakilnya

b. Dilakukan setelah diperintahkan hakim

c. Mengucapkan lima lafal li’a>n

d. masing-masing keduanya mengucapkan lafal-lafal itu seperti saling

melaknat, sebagaimana yang sudah disebutkan dalam al-Qur’an.

e. Lafal-lafal li’a>n diucapkan secara berurutan. Suami juga harus memulai

sumpah dan setelahnya istri yang mengucapkannya.

f. Masing-masing dari keduanya menyebut namanya (suami istri) bila dia

tidak h{adir.

Mazhab H{anafi juga mensyaratkan keduanya adalah suami istri yang

merdeka, berakal, baligh, muslim, mampu berbicara, dan belum pernah

dikenakan hukuman h{ad karena menuduh. Disamping itu tidak ada empat orang

saksi sebagai bukti kebenaran dari tuduhan suami.41

40Wahbat al-Zuh}aili@, Al-Fiqh al-Isla@mi@ Wa Adillatuhu Juz VII, (Damaskus: Da@r al-Fikr, 1985), 563. 41Fakhruddi>n ‘Uthma>n bin ‘Ali al-Hanafi, Tabyi>n al-Haqa>iq Syarh{ Kanzu al-Daqai>q Juz III

(46)

39

Mengenai hukum mundurnya salah satu diantara suami istri dari melakukan

mula>’anah setelah dia memintanya kepada hakim, Mazhab H{anafi berpendapat,

jika si suami menolak untuk melakukan mula>’anah, maka dia ditahan sampai dia

melakukan mula>’anah atau dirinya mengaku maka dia dikenakan hukuman h{ad.

Sedangkan jika istri menolak untuk melakukan li’a>n, maka dia ditahan.42

Mazhab H>>}anafi menyebutkan bahwa akibat hukum dari li’a>n ada dua yakni

adanya kewajiban hakim untuk menceraikan suami istri dan adanya kewajiban

hakim untuk memutus hubungan nasab anak istri dari suami kemudian

menasabkan anak tersebut kepada istrinya.43

Setelah perceraian diputuskan oleh hakim karena proses mula>’anah, maka

suami dan istri tidak dapat disatukan kembali menurut semua mazhab hukum

islam, kecuali Mazhab H{anafi yang berpendapat bahwa bila suami kemudian

menyatakan bahwa dia telah berdusta sewaktu melakukan sumpah, maka si

suami harus dihukum h{ad. Sesudah itu mereka bisa menikah kembali dan anak

yang dikandung isterinya menjadi anaknya.44

Mazhab H{anafi menyatakan bahwa suami yang mengaku dusta dalam

tuduhannya dapat membolehkan nikah kembali bagi Suami Istri yang telah

bermula>’anah, Sebagaimana yang dijelaskan dalam kitab Bada’i as- Shana’i:

42Ibid,571.

43 Muhammad bin Abdul Wa>hid al-H>anafi, Fath{ al-Qadyr Juz 4, ,(Beirut:Dar al-Kutub al-‘Ilmiah,

1995) 256.

(47)

40

لا ح د

Artinya: “Apabila suami telah mengakui kedustaan dirinya maka ia di dera dengan hukuman h{ad, atau si istri sendiri yang berdusta dengan membenarkannya, maka diperbolehkan menikah antara keduanya dan berkumpul kembali.45

Imam H{anafi selaku pendiri Mazhab H{anafi dan Muhammad juga

berpendapat, bahwa perceraian yang terjadi pada mula>’anah merupakan

perceraian ta>laq ba’in, yakni sebagai berikut:

ب ت لط قي ة

Artinya : “Perceraian yang terjadi pada li’a>n merupakan perceraian ta>laq ba>’in”.46

Dengan melihat pendapat beliau bahwa li’a>n termasuk kategori talak ba’in

berarti dapat diindikasikan bahwa perceraian karena li’a>n bukan perceraian

selama-lamanya sebab yang namanya tala>q ba>’in adalah perceraian yang dapat

bersatu kembali dengan akad nikah baru.

Sebagaimana yang telah disebutkan Mazhab Hanafi berpendapat akibat

mula>’anah yakni perceraian terjadi bukan setelah selesainya suami dan istri

mengucapkan li’a>n, melainkan perceraian baru terjadi setelah adanya putusan

hakim yang menceraikan keduanya.47

45Abu Bakar bin Mas’ud al-Kasani al-H{anafi , Bad’i as-Sana’i fi Tartibi as-Syara’i, Juz III, (Beirut:

Dar al-Kutub al- Alamiyah, t.th),245.

(48)

41

Imam H{anafi berpendapat seperti diatas karena beliau mengqiyaskan

perceraian akibat li’a>n dengan perceraian karena impoten. Sebagaimana

pendapat beliau sebagai berikut :

Artinya: “Adapun Imam Abu> H{anifah menyerupakan perpisahan li’a>n dengan talak karena diqiyaskan dengan perceraian lelaki yang impoten, karena perpisahan ini menurut pendapatnya baru dapat terjadi sesudah ada keputusan

dari hakim.”48

Mazhab Hanafi mendasarkan pendapatnya dengan metode qiyas,

bahwasanya perceraian karena mula>’anah termasuk talak bukan fasakh, karena

menurut beliau perceraian karena mula>’anah dan perceraian karena impoten

mempunyai kesamaan yakni sama-sama baru dapat terjadi sesudah ada

keputusan dari hakim. Dan juga perceraian ini datangnya dari pihak suami dan

tidak ada campur tangan dari pihak istri maka disebut talak. Karena perceraian

yang timbul dari pihak suami adalah talak bukan fasakh.49 Perceraian yang

terjadi disini adalah seperti perceraian karena impoten yang harus dilakukan

dengan putusan pengadilan (putusan hakim).50

Jadi pengqiyasan percer

Referensi

Dokumen terkait

Berdasarkan dari hasil wawancara maupun observasi menyatakan jumlah SDM terkait petugas klaim pada rawat jalan masih kurang karena hanya berjumlah 2

Hubungan kedua variabel tersebut juga dibahas oleh Sakthivel dan Jayakrishnan (2012), mereka menggunakan teori pertukaran sosial ( social exchange theory )

Amati para konsumen Anda dan undang konsumen yang memiliki potensi sukses untuk datang ke Sophie Solution Training dan selalu tunjukkan katalog terbaru Sophie Paris dan

Lepas dan periksa sikat karbon secara teratur. Lepas ketika aus sampai tanda batas. Jaga agar sikat sikat karbon tetap bersih dan tidak bergeser dari tempatnya. Kedua sikat

Jika Pelanggan gagal untuk mematuhi larangan yang ditentukan dalam Pasal 12, atau atas terjadinya salah satu atau lebih dari kondisi yang ditentukan dalam Pasal 12, atau

Saat ini banyak tayangan atau program news feature yang mengangkat orang-orang yang menderita penyakit yang parah, kemiskinan, kalangan orang- orang yang

Dengan menggunakan Lean production system, di dalam lingkup Perguruan Tinggi, ada beberapa elemen yang harus dipertimbangkan dalam pengelolaan kearsipan, diantaranya

Mahasiswa belajar mengenai wawasan seni dan Pendidikan seni untuk anak usia dini, kemampuan dasar dan karakteristik music tari dan seni rupa untuk anak usia dini wawasan seni