• Tidak ada hasil yang ditemukan

PANDANGAN HAKIM PENGADILAN AGAMA MALANG TENTANG TIDAK DIPERBOLEHKANNYA GUGATAN NAFKAH MADIYYAH ANAK DALAM BUKU PEDOMAN PELAKSANAAN TUGAS DAN ADMINISTRASI PERADILAN AGAMA.

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "PANDANGAN HAKIM PENGADILAN AGAMA MALANG TENTANG TIDAK DIPERBOLEHKANNYA GUGATAN NAFKAH MADIYYAH ANAK DALAM BUKU PEDOMAN PELAKSANAAN TUGAS DAN ADMINISTRASI PERADILAN AGAMA."

Copied!
100
0
0

Teks penuh

(1)

PANDANGAN HAKIM PENGADILAN AGAMA MALANG

TENTANG TIDAK DIPERBOLEHKANNYA GUGATAN NAFKAH

MA>D}IYYAH

ANAK DALAM BUKU PEDOMAN PELAKSANAAN

TUGAS DAN ADMINISTRASI PERADILAN AGAMA

SKRIPSI

Oleh:

Robi’atul Adawiyah

C51211155

Universitas Islam Negeri Sunan Ampel

Fakultas Syariah dan Hukum

Jurusan Hukum Perdata Islam Prodi Ahwal al-Syakhsiyyah

Surabaya

(2)
(3)
(4)
(5)

ABSTRAK

Skripsi yang berjudul pandangan hakim Pengadilan Agama Malang tentang tidak diperbolehkannya gugatan nafkah ma>d}iyyah anak dalam buku pedoman pelaksanaan tugas dan administrasi Peradilan Agama ini merupakan hasil penelitian lapangan yang bertujuan untuk menjawab permasalahan bagaimana pandangan hakim Pengadilan Agama Malang tentang tidak diperbolehkannya gugatan nafkah ma>d}iyyah anak dalam buku Pedoman Pelaksanaan Tugas dan Administrasi Peradilan Agama, dan bagaimana analisis yuridis terhadap pandangan hakim Pengadilan Agama Malang tentang tidak diperbolehkannya gugatan nafkah ma>d}iyyah anak dalam buku Pedoman Pelaksanaan Tugas dan Administrasi Peradilan Agama.

Data penelitian disajikan dengan menggunakan metode deskriptif analisis untuk menggambarkan dan menjelaskan data secara rinci dan sistematis segala fakta yang dihadapi, kemudian dianalisis menggunakan pola pikir induktif yaitu menganalisis data yang berangkat dari suatu yang bersifat khusus dan ditarik kesimpulan yang bersifat umum. Dalam hal ini penulis meninjau data yang bersifat khusus yaitu pandangan hakim Pengadilan Agama Malang tentang tidak diperbolehkannya gugatan nafkah ma>d}iyyah anak dengan menggunakan teori yang bersifat umum yaitu kewajiban orang tua terhadap anak secara yuridis.

Hasil penelitian menyimpulkan bahwa pandangan hakim Pengadilan Agama Malang tentang tidak diperbolehkannya gugatan nafkah ma>d}iyyah anak terbagi menjadi dua macam pendapat. Pendapat pertama adalah setuju, nafkah ma>d}iyyah anak tetap tidak bisa dituntut secara mutlak karena lil intifa’ bukan lil tamlik. Pendapat kedua adalah tidak setuju, nafkah ma>d}iyyah anak bisa dituntut karena telah jelas diatur dalam perundang-undangan Indonesia bahwa ayah memiliki kewajiban utama dalam menafkahi anak hingga dewasa dan belum ditemukannya dalil al-Qur’an dan Hadis yang menyatakan nafkah anak adalah lil intifa’.

Secara yuridis pandangan hakim yang setuju dengan tidak diperbolehkannya gugatan nafkah ma>d}iyyah anak dalam buku Pedoman Pelaksanaan Tugas dan Administrasi Peradilan Agama kurang relevan dengan peraturan lainnya. Seperti

dalam pasal 41 UU Perkawinan dan pasal 156 Kompilasi Hukum Islam disebutkan

bahwa ayah tetap wajib menafkahi anak meskipun orang tua bercerai hingga anak umur 21 tahun, sedangkan dalam pasal 13 dan 77 UU Perlindungan anak menyebutkan bahwa anak berhak mendapat perlindungan dari hal penelantaran.

(6)

DAFTAR ISI

SAMPUL DALAM ... i

PERNYATAAN KEASLIAN ... ii

PERSETUJUAN PEMBIMBING ... iii

PENGESAHAN ... iv

ABSTRAK ... v

KATA PENGANTAR ... vi

DAFTAR ISI ... vii

DAFTAR TRANSLITERASI ... xi

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang ... 1

B. Identifikasi Masalah ... 11

C. Rumusan Masalah ... 12

D. Kajian Pustaka ... 13

E. Tujuan Penelitian ... 15

F. Kegunaan Hasil Penelitian ... 16

G. Definisi Operasional ... 17

H. Metode Penelitian ... 18

I. Sistematika Pembahasan ... 22

BAB II NAFKAH ANAK DALAM FORMULASI YURIDIS A. Pengertian dan Hak-hak Anak 1. Pengertian Anak ... 24

2. Hak-hak Anak ... 27

(7)

2. Kadar Pemberian Nafkah ... 34 3. Gugurnya Pembayaran Nafkah ... 37 C. Konstruksi Hukum Nafkah Anak

1. Perspektif Undang-undang Perkawinan No. 1 Tahun 1974 ... 39 2. Perspektif Kompilasi Hukum Islam ... 43 3. Perspektif Undang-undang Perlindungan Anak No. 23 Tahun

2002 ... 46

BAB III KETENTUAN NAFKAH MA>D}IYYAH ANAK DALAM PERSPEKTIF REGULASI DAN HAKIM PENGADILAN AGAMA MALANG

A. Gambaran Umum Pengadilan Agama Malang

1. Letak Geografis Pengadilan Agama Malang... 51 2. Wewenang Pengadilan Agama Malang ... 52 3. Visi dan Misi Pengadilan Agama Malang ... 54 B. Peraturan Tidak Diperbolehkannya Gugatan Nafkah Ma>d}iyyah Anak

Dalam Buku Pedoman Pelaksanaan Tugas dan Administrasi Peradilan Agama

1. Latar Belakang Lahirnya Buku Pedoman Pelaksanaan Tugas dan Administrasi Peradilan Agama ... 55 2. Peraturan Tidak Diperbolehkannya Gugatan Nafkah Ma>d}iyyah

Anak ... 57 C. Pandangan Hakim Pengadilan Agama Malang tentang Tidak

(8)

BAB IV ANALISIS YURIDIS PANDANGAN HAKIM PENGADILAN AGAMA MALANG TENTANG TIDAK DIPERBOLEHKANNYA GUGATAN NAFKAH MA>D}IYYAH ANAK DALAM BUKU PEDOMAN PELAKSANAAN TUGAS DAN ADMINISTRASI PERADILAN AGAMA

A. Analisis Terhadap Pandangan Hakim Pengadilan Agama Malang TentangTidak Diperbolehkannya Gugatan Nafkah Ma>d}iyyah Anak Dalam Buku Pedoman Pelaksanaan Tugas dan Adminisrasi Peradilan Agama ... 72 B. Analisis Yuridis terhadap Pandangan Hakim Pengadilan Agama

Malang Tentang Tidak Diperbolehkannya Gugatan Nafkah Ma>d}iyyah Anak Dalam Buku Pedoman Pelaksanaan Tugas dan Administrasi Peradilan Agama ... 77

BAB V PENUTUP

A. Kesimpulan ... 86 B. Saran ... 87

DAFTAR PUSTAKA

(9)

DAFTAR TRANSLITERASI

Di dalam naskah skripsi ini banyak dijumpai nama dan istilah teknis (technical term) yang berasal dari bahasa Arab yang ditulis dengan huruf Latin. Pedoman transliterasi yang digunakan untuk penulisan tersebut adalah sebagai berikut:

A. Konsonan

Arab Indonesia Arab Indonesia

أ

ط

t}

ب

B

ظ

z}

ت

T

ع

ث

Th

غ

Gh

ج

J

ؼ

F

ح

h}

ؽ

Q

خ

Kh

ؾ

K

د

D

ؿ

L

ذ

Dh

ـ

M

ر

R

ف

N

ز

Z

ك

W

س

S

ق

H

ش

Sh

ء

ص

s}

ي

Y
(10)

Sumber: Kate L. Turabian. A Manual of Writers of Term Papers Disertations (Chicago and London: The University of Chicago Press, 1987).

B. Vokal

1. Vokal Tunggal (monoftong)

Tanda dan Huruf Arab Nama Indonesia

َا

fath{ah A

ِا

Kasrah I

ا

d}amah U

Catatan: Khusus untuk hamzah, penggunaan apostrof hanya berlaku jika hamzah tersebut berh}arakat sukun. Contoh: iqtid}a>’

)ءاضتقا(

2. Vokal Rangkap (diftong) Tanda dan

Huruf Arab

Nama Indonesia Keterangan

ىَـ fath}ah dan alif Ay a dan y

وَـ fath}ah dan wawu Aw a dan w

Contoh: bayna

(

نب

)

: maud}u>’

)عوضوم(

3. Vokal Panjang (mad) Tanda dan

Huruf Arab

Nama Indonesia Keterangan

اَػػػػػػػػػػػ

fath}ah dan alif a> a dan garis di atas

يِػػػػػػػػػ

kasrah dan ya’ i> i dan garis di atas

وُػػػػػػػػػػػ

d}ammah dan wawu u> u dan garis di atas Contoh: al-jama>’ah )ةعامجا(
(11)

:yadu>ru (ريدي)

C. Ta>’ Marbu>t}ah

Transliterasi untuk ta>’ marbut}ah ada dua:

1. Jika hidup (menjadi mud}a>f) transliterasinya adalah t. 2. Jika mati atau sukun, transliterasinya adalah h. Contoh: shari>’at al-Isla>m

)ـاساا ةعيرش(

: shari>ah isla>mi>yah

)ةيماسإ ةعيرش(

D. Penulisan Huruf Kapital

(12)

1

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Perkawinan merupakan sunatulla>h yang apabila dijalankan termasuk dalam ibadah. Perkawinan dalam Islam tidaklah semata-mata sebagai hubungan atau kontrak keperdataan biasa, akan tetapi mempunyai nilai ibadah. Oleh karena itu, suami isteri dalam suatu perkawinan mempunyai tanggung jawab secara vertikal kepada Tuhan Yang Maha Esa di samping mempunyai hak dan kewajiban secara timbal balik antara suami dan isteri serta anak-anak yang lahir dalam perkawinan.1

Namun dalam pergaulan antara suami isteri tidak jarang terjadi perselisihan dan pertengkaran yang terus menerus, ataupun terdapat sebab-sebab lain yang menyebabkan suatu perkawinan tidak dapat dipertahankan lagi, sedangkan upaya-upaya damai yang dilakukan oleh kedua belah pihak maupun keluarga tidak membawa hasil yang maksimal sehingga pada akhirnya jalan keluar yang harus ditempuh tidak lain adalah perceraian.

Seperti halnya perkawinan yang menimbulkan hak dan kewajiban, perceraian membawa akibat-akibat hukum bagi kedua belah pihak dan juga terhadap anak-anak yang dilahirkan dalam perkawinan. Putusnya perkawinan karena perceraian menurut pasal 149 Kompilasi Hukum Islam ada akibat hukum tersendiri bagi si

(13)

2

suami yaitu dengan munculnya kewajiban setelah menjatuhkan talak terhadap isterinya, antara lain dengan memberikan muth’ah untuk menggembirakan bekas istri, memberikan nafkah selama masa ‘iddah, melunasi mas kawin, dan membayar nafkah untuk anak-anaknya.2

Sebagaimana diketahui bersama bahwa anak harus dinafkahi dengan baik sesuai kemampuan orang tua, anak merupakan penerus bangsa yang mengemban tugas bangsa yang belum terselesaikan oleh generasi-generasi sebelumnya. Sebagai penerus cita-cita bangsa dan negara, anak harus dapat tumbuh dan berkembang menjadi manusia dewasa yang sehat rohani dan jasmani, cerdas, bahagia, berpendidikan dan bermoral tinggi. Oleh karena itu anak harus memperoleh kasih sayang, perlindungan, pembinaan, dan pengarahan yang tepat.3

Hal tersebut juga terdapat dalam QS. Al-Baqarah ayat 233 yang berbunyi:

َاِإ ٌسْفَ ن ُفَلَكُت َا ِفوُرْعَمْلاِب َنُهُ تَوْسِكَو َنُهُ قْزِر ُهَل ِدوُلْوَمْلا ىَلَعَو

اَهَعْسُو

Artinya: ‚Dan kewajiban ayah memberi makan dan pakaian kepada para ibu dengan cara yang makruf. Seseorang tidak dibebani melainkan menurut kadar

kesanggupannya.‛4

Bahwa nafkah bagi suami terhadap isteri dan anak adalah suatu kewajiban yang harus dipenuhi. Terlebih orang tua terhadap anak-anaknya. Apabila seorang suami menthalaq isterinya, sedangkan isteri itu mempunyai anak, maka isterinya

2 Aminah Azis, Aspek Hukum Perlindungan Anak, (Medan: USU Press, 1998), 26. 3 Djaman Nur, Fiqh Munakahat, (Semarang: CV. Thoha Putra, 2003), 97.

(14)

3

itulah yang berhak mengasuh anak tersebut hingga berusia minimal tujuh tahun dan mengenai biaya hidup (nafkah) si anak-anak dibebankan suami yang menceraikannya sesuai dengan kemampuannya.5

Untuk menjamin kesejahteraan dan ketentraman anak terutama anak bawah umur di Indonesia diberlakukan Undang-undang yang mengatur secara rinci masalah h{ad{anah dan biaya pemeliharaan anak akibat perceraian untuk memberikan perlindungan bagi masa depan anak. Seorang ayah mempunyai kewajiban terhadap anaknya untuk mencukupi kebutuhan ekonomis, baik dalam bentuk pangan, sandang, perumahan, dan kesehatan. Segala kebutuhan anak termasuk biaya pendidikannya adalah menjadi tanggung jawab ayah menurut kemampuannya.6

Menyadari demikian pentingnya anak dalam kedudukan keluarga, individu, masyarakat, bangsa dan Negara maka Undang-undang telah mengatur hak-hak anak misalnya dalam Undang-undang No.1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, Undang-undang No. 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak, Undang-undang No.4 Tahun 1979 Tentang Kesejahteraan Anak, Undang-undang No. 3 tahun 1997 Tentang Pengadilan Anak, dan Instruksi Presiden No.1 Tahun 1991 tentang Kompilasi Hukum Islam dan berbagai peraturan perundang-undangan lain. Demikian pula hak-hak anak diakui oleh sejumlah putusan pengadilan.7

5 Maftuh Asnan, dkk, Risalah Fiqh Wanita, (Surabaya: Terbit Terang, 2001), 381. 6 Soemiyati, Hukum Perkawinan Islam, (Semarang: CV. Thoha Putra, 2005), 126.

(15)

4

Pada pasal 34 ayat 1 Undang-undang No. 1 Tahun 1974 tentang perkawinan secara tegas menyebutkan bahwa suami wajib melindungi isterinya dan memberikan segala sesuatu keperluan hidup berumah tangga sesuai dengan kemampuannya. Pasal ini memberi justifikasi bahwa kedudukan suami sebagai kepala rumah tangga atau pemimpin bertanggung jawab memberikan nafkah atas keluarganya, artinya ia bertanggung jawab memberikan jaminan terhadap kebutuhan pihak-pihak yang berhak memperoleh nafkah yaitu istri dan anak-anaknya, baik untuk keperluan rumah tangga, pemeliharaan anak maupun pendidikan bagi anak sesuai dengan kemampuannya.8

Kehadiran anak itu sendiri dalam perkawinan menimbulkan hubungan hukum antara anak dan orangtua. Hubungan tersebut menimbulkan hak dan kewajiban antara orang tua dan anak. Kewajiban orang tua ini dapat dilihat dari ketentuan dalam Pasal 45 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974, yang disebutkan dalam pasal 45 ayat (1)bahwa kedua orang tua wajib memelihara dan mendidik anak-anak mereka sebaik-baiknya. Sedangkan dalam ayat (2) disebutkan bahwa kewajiban orang tua dimaksud dalam ayat (1) pasal ini berlaku sampai anak itu kawin atau dapat berdiri sendiri. Kewajiban mana berlaku terus meskipun perkawinan orang tua putus.9

8 M. Idris Ramulyo, Hukum Perkawinan Islam, 68.

9 Tim Citra Umbara, Undang-Undang RI No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, (Bandung:Citra

(16)

5

Namun meskipun telah diatur dalam berbagai peraturan perundang-undangan anak, pada kenyataannya masih banyak anak yang tidak beruntung (disadvantaged children) dalam mencukupi kehidupannya. Sebagai salah satu faktor ketidak beruntungan anak dalam proses pertumbuhan dan perkembangannya adalah tidak tercukupinya aspek rohani maupun aspek jasmani berupa pemenuhan kebutuhan hidup sehari-hari dan pendidikan yang layak bagi anak. Hal ini diakibatkan adanya kelalaian seorang ayah dalam menafkahi anaknya.10

Hal tersebut mencul sebagai sebuah masalah, kelalaian seorang ayah dalam menafkahi anaknya ketika masih terikat dalam perkawinan ini memiliki dampak yang luar biasa buruk untuk anak itu sendiri atau si ibu. Ibu disini harus mengambil alih tugas secara keseluruhan urusan rumah tangga baik untuk membiayai segala keperluan biaya anak atau merawat dan membesarkannya.Anak disini juga sangat dirugikan karena tidak berhasil mendapatkan haknya sebagai seorang anak, seperti mendapat pendidikan yang layak, kebutuhan sandang, pangan, dan lain sebagainya.

Adanya kelalaian dalam memberikan nafkah merupakan permasalahan yang sering terjadi dikalangan masyarakat. Terjadinya disebabkan kurangnya kesadaran masyarakat tentang bagaimana pentingnya melaksanakan kewajiban pemberian nafkah atau pihak yang berhak memperoleh nafkah juga kurang

(17)

6

pengetahuannya tentang cara menuntut hak-haknya. Akibatnya, tidak sedikit anak dan isteri yang terlantar begitu saja karena kelalaian suaminya.

Secara hukum, baik dalam hukum Islam maupun dalam hukum positif, kewajiban untuk menafkahi keluarga (khususnya anak) merupakan kewajiban primer seorang ayah.11 Terlebih dalam kultur masyarakat Indonesia yang sebagian besar masih berciri patriarki dengan mengdepankan maskulinitas peran seorang ayah, maka menjadi keniscayaan seorang ayah untuk menafkahi keluarga, khususnya anak.12

Dengan beratnya beban ibu dalam menanggung semua kebutuhan keluarga akibat seorang ayah yang lalai dalam menunaikan kewajibannya, maka hal tersebut mendorong para ibu ketika terjadi sebuah perceraian untuk tidak lupa melakukan gugatan kepada suaminya untuk membayar nafkah ma>d}iyyah (lampau) anaknya karena dianggap nafkah tersebut adalah hutang yang harus dibayar. Akan tetapi hal tersebut tidak bisa terpenuhi karena adanya peraturan yang melarang. Mengenai masalah tidak diperbolehkannya gugatan nafkah ma>d}iyyah anak tersebut tercantum dalam Buku Pedoman Pelaksanaan Tugas dan Administrasi Peradilan Agama Edisi Revisi 201013 yang diterbitkan oleh Mahkamah Agung.

Peraturan Mahkamah Agung tersebut menjadi salah satu pedoman penting dan menjadi patron para hakim di lingkungan Peradilan Agama dalam

11 Tim Citra Umbara, Undang-Undang RI No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawianan, 21.

12 Irma Setyowati Soemitro, Aspek Hukum Perlindungan Anak, (Jakarta: Bumi Aksara, 1990), 13. 13 Buku yang diterbitkan Mahkamah Agung RI sebagai pedoman atau acuan bagi seluruh aparat

(18)

7

memutuskan masalah salah satunya mengenai gugatan nafkah ma>d}iyyah anak. Adapun peraturan tentang tidak diperbolehkannya gugatan nafkah ma>d}iyyah anak dalam buku berbunyi:‛ Nafkah anak merupakan kewajiban ayah, dalam hal ayah tidak mampu, ibu berkewajiban untuk memberi nafkah anak (Pasal 41 huruf a dan b Undang-undang No. 1 Tahun 1974). Oleh karena nafkah anak merupakan kewajiban ayah dan ibu, maka nafkah lampau anak tidak boleh dituntut oleh isteri sebagai hutang suami (tidak ada nafkah ma>d}iyyah anak)‛.14

Oleh karena itu, adanya peraturan Mahkamah Agung dalam buku tersebut masih menjadi perdebatan di kalangan para hakim Pengadilan Agama khususnya hakim Pengadilan Agama Malang. Adapun hakim Pengadilan Agama Malang terdapat pro kontra tentang Peraturan Mahkamah Agung tersebut yang menolak gugatan nafkah ma>d}iyyah anak. Hal ini terjadi karena tidak adanya keterangan jelas mengenai h}ujjah maupun peraturan perundang-undangan yang mendasari Mahkamah Agung menetapkan hal tersebut. Dalam pertimbangan tersebut, h}ujjah atau dalil tersebut tidak dinukil, sehingga masih menimbulkan pertanyaan di kalangan hakim dan praktisi lainnya.15

Dalam sebuah Yurisprudensi MA No.608k/AG/2003 hanya dijelaskan bahwa nafkah ma>d}iyyah anak yang tidak terbayarkan adalah lil intifa’ bukan lil tamlik,

14 Mahkamah Agung RI, Pedoman Pelaksanaan Tugas Dan Administrasi Peradilan Agama, buku 2,

edisi 2010, 223.

(19)

8

sehingga tidak dapat digugat. Hal tersebutlah yang dijadikan alasan bagi hakim yang setuju terhadap tidak diperbolehkannya gugatan nafkah ma>d}iyyah anak.16

Perdebatan terus berlanjut dikalangan para hakim karena terdapat sebab yang lain, yaitu dalam Yurisprudensi MA No. 24k/AG/2003 dan Buku Pedoman Pelaksanaan Tugas dan Administrasi Peradilan Agama tentang diperbolehkannya gugatan nafkah ma>d}iyyah isteri. Meskipun kedua pihak sudah bercerai, istri

sebagai termohon berhak dan diperbolehkan untuk melakukan gugatan atas nafkah

yang tidak dipenuhi oleh pemohon (suami) yang disebut pula dengan nafkah

ma>d}iyyah (nafkah terhutang atau nafkah lampau).

Maka beberapa kalangan hakim beranggapan bahwa apabila gugatan nafkah ma>d}iyyah isteri dapat dikabulkan maka gugatan nafkah ma>d}iyyah anak seharusnya juga bisa dikabulkan. Karena sesungguhnya menafkahi anak adalah hak kedua orang tua utamanya ayah hingga anak dewasa nanti. Hal tersebut menjadikan dilema sendiri bagi para hakim untuk memutus perkara gugatan nafkah ma>d}iyyah anak. Mereka beranggapan bahwa tidak diperbolehkannya gugatan nafkah ma>d}iyyah anak sebagaimana dalam Buku Pedoman Pelaksanaan Tugas dan Administrasi Peradilan Agama tersebut tidak bisa diterapkan secara mutlak tetapi melihat kondisi permasalahan yang terjadi.17

Selanjutnya muncul pendapat lain dari hakim yang mengatakan bahwa gugatan nafkah ma>d}iyyah anak dapat dikabulkan jika ayah dengan sengaja

(20)

9

melalaikan membayar nafkah anak tersebut padahal ia dalam kondisi mampu bahkan berlebih secara material dan moril. Pada kondisi demikian maka nurani dan ijtihad hakim tersebut yang harus dilakukan. Akan tetapi di lain pihak, Peraturan Mahkamah Agung juga merupakan salah satu sumber hukum yang harus digunakan hakim dalam memutuskan suatu perkara. Oleh karena itu, dengan demikian bahwa ijtihad baru hakim untuk mengabulkan gugatan nafkah ma>d}iyyah anak dianggap menyalahi Peraturan Mahkamah Agung yang tercantum dalam Buku Pedoman Pelaksanaan Tugas dan Administrasi Peradilan Agama.18

Hakim adalah pejabat yang melaksanakan kekuasaan kehakiman guna untuk menegakkan keadilan. Dalam menjalankan tugasnya hakim terkadang menjadi terompet Undang-undang dalam kasus hukum yang telah jelas ditentukan sehingga hakim tinggal menerapkannya, tetapi pada saat yang lain hakim dituntut untuk bisa menafsirkan Undang-undang dan berijtihad dengan kemampuannya sendiri, yakni saat Undang-undang belum secara khusus mengatur atas kasus tertentu.19 Penulis mengangkat tema tentang pandangan para hakim dikarenakan hakim sebagai pelaku utama penegak hukum sehingga pendapat hakim dianggap sangat penting.

Adapun alasan penulis dalam menentukan pandangan hakim Pengadilan Agama Malang dikarenakan terjadinya pro kontra terhadap peraturan tidak

18 Ibid.

19 Wildan Sayuti, Etika Profesi Kode Etik Hakim, (Jakarta: Pusat Pendidikan dan Pelatihan Pegawai

(21)

10

diperbolehkannya gugatan nafkah ma>d}iyyah anak dalam buku Pedoman Pelaksanaan Tugas dan Administrasi Peradilan Agama. Adapun sebelumnya penulis telah melakukan observasi awal ke Pengadilan Agama Jombang untuk mengetahui bagaimana pandangan hakim terhadap peraturan tersebut. Akan tetapi, hasil dari observasi tersebut menyatakan hakim Pengadilan Agama Jombang sebagian besar kontra dengan peraturan tersebut. Sehingga dengan ini penulis lebih tertarik menggunakan perspektif pandangan hakim Pengadilan Agama Malang karena adanya pro kontra dikalangan para hakim.

Berangkat dari pemahaman di atas, maka permasalahan tentang tidak diperbolehkannya gugatan nafkah ma>d}iyyah anak perlu dikaji dan diteliti secara mendalam dengan menggunakan perspektif pandangan para hakim di Pengadilan Agama Malang. Mengingat Buku Pedoman Pelaksanaan Tugas dan Administrasi Peradilan Agama ini dijadikan sebagai acuan para hakim dalam mumutus perkara gugatan nafkah ma>d}iyyah anak. Adapun seorang hakim adalah pejabat yang melakukan kekuasaan kehakiman yang diatur Undang-undang dan sesuai dengan tugas dan wewenangnya yaitu menerima, mengadili, dan memutus suatu perkara yang diajukan padanya, termasuk juga hakimlah yang mengeluarkan sebuah

putusan nantinya. Atas dasar itu, persoalan ini akan dijadikan bahan skripsi oleh penulis dengan

(22)

11

Diperbolehkannya Gugatan Nafkah Ma>d}iyyah Anak Dalam buku Pedoman Pelaksanaan Tugas dan Administrasi Peradilan Agama‛.

B. Identifikasi Masalah dan Batasan Masalah 1. Identifikasi Masalah

Berdasarkan latar belakang diatas, maka identifikasi yang dapat dihimpun dalam penelitian ini adalah:

a. Pengertian nafkah ma>d}iyyah anak. b. Dasar hukum nafkah ma>d}iyyah anak. c. Kadar pemberian nafkah ma>d}iyyah anak.

d. Akibat tidak diperbolehkannya gugatan nafkah ma>d}iyyah anak.

e. Pandangan hakim Pengadilan Agama Malang tentang tidak diperbolehkannya gugatan nafkah ma>d}iyyah anak dalam buku Pedoman Pelaksanaan Tugas dan Administrasi Peradilan Agama.

f. Analisis terhadap pandangan hakim Pengadilan Agama Malang tentang tidak diperbolehkannya gugatan nafkah ma>d}iyyah anak dalam buku Pedoman Pelaksanaan Tugas dan Administrasi Peradilan Agama

2. Batasan Masalah

(23)

12

membatasi masalah yang akan diteliti, begitu juga halnya dengan penelitian ini, yang akan diteliti hanya masalah-masalah tertentu saja.

Mengingat hal tersebut di atas, penulis perlu membatasi masalah yang akan diteliti dengan tujuan agar penulis dapat mencapai sasaran penelitian dan tidak terjadi kesimpang siuran dalam menafsirkan masalah yang ada. Adapun masalah yang akan diteliti pada penelitian ini adalah mengenai pandangan hakim Pengadilan Agama Malang tentang tidak diperbolehkannya gugatan nafkah ma>d}iyyah anak dalam buku Pedoman Pelaksanaan Tugas dan Administrasi Peradilan Agama, dan analisis yuridis terhadap pandangan hakim Pengadilan Agama Malang tentang tidak diperbolehkannya gugatan nafkah ma>d}iyyah anak dalam buku Pedoman Pelaksanaan Tugas dan Administrasi Peradilan Agama.

C. Rumusan Masalah

Dengan mengacu pada latar belakang dan identifikasi masalah tersebut di atas, ada beberapa pokok permasalahan yang akan penulis bahas dalam skripsi ini, adapun permasalahan tersebut dapat dirumuskan sebagai berikut:

(24)

13

2. Bagaimana analisis yuridis terhadap pandangan hakim Pengadilan Agama Malang tentang tidak diperbolehkannya gugatan nafkah ma>d}iyyah anak dalam Buku Pedoman Pelaksanaan Tugas dan Administrasi Peradilan Agama?

D. Kajian Pustaka

Kajian pustaka pada penelitian ini pada dasarnya adalah untuk mendapatkan gambaran hubungan topik yang akan diteliti dengan penelitian sejenis yang mungkin pernah dilakukan oleh penelitian sebelumnya sehingga diharapkan tidak ada pengulangan materi penelitian secara mutlak.

Sejauh penelitian penulis terhadap karya-karya ilmiah maupun laporan penelitian, pembahasan tentang nafkah ma>d}iyyah anak ini belum banyak yang menggunakannya untuk bahan penelitian. Adapun ada beberapa penelitian yang berhubungan diantaranya adalah:

1. Anugrah Putra Adinugroho dengan skripsinya yang berjudul ‚Tinjauan

(25)

14

berpendapat bahwa hal tersebut tidak bisa diterapkan secara mutlak. Sehingga jika suami dianggap mampu maka nafkah tersebut bisa digugat agar dibayar. Dalam skripsinya menyimpulkan bahwa putusan Pengadilan Agama Jember Nomor: 1843/Pdt.G/2007/Pa.Jr dianggap kurang tepat.20 2. Skripsi yang ditulis oleh Vivine Aqurista Muji Lestari Tahun 2005 yang

berjudul ‛Gugatan Nafkah Terhutang dan Penyelesaiannya (Studi Kasus di

Pengadilan Agama Pasuruan Tahun 2003)‛. Dalam penelitiannya menjelaskan tentang deskripsi perkara nafkah terhutang baik nafkah isteri atau anak pada tahun 2003 di PA Pasuruan dan bagaimana pelaksanaan eksekusi atas perkara nafkah terhutang. Adapun dalam skripsinya menghasilkan kesimpulan bahwa pelaksanaan eksekusi atas perkara nafkah terhutang masih terjadi perbedaan dalam beberapa putusan, Hakim memiliki pandangan yang berbeda-beda dalam memutuskan perkara karena belum adanya peraturan yang mengatur dengan jelas.21

3. Ahmad Zuhdi Muhdlor dan Natsir Asnawi dalam artikel pendeknya yang

berjudul ‚Apakah nafkah ma>d}iyyah (lampau) anak yang tidak terbayarkan

mutlak lil intifa’? (Kajian Terhadap Kaidah yurisprudensi MA RI Nomor 608k/AG/2003)‛. Artikel ini menjelaskan tentang nafkah ma>d}iyyah anak yang terdapat dalam kaidah Yurisprudensi MA RI Nomor 608k/AG/2003.

20Anugrah Putra Adinugraha, Gugatan Nafkah Lampau Karena Kelalaian Bekas Suami (Studi

Putusan Pengadilan Agama Jember Nomor: 1843/Pdt.G/2007/Pa.Jr)‛ (Skripsi--Universitas Jember,

Jember, 2008).

21 Vivine Aqurista Muji Lestari, ‚Gugatan Nafkah Terhutang dan Penyelesainnya (Studi Kasus di

(26)

15

Adapun mereka mengkritisi bahwa Yurisprudensi MA RI Nomor 608k/AG/2003 ini masih perlu dikaji secara mendalam, karena tidak ada dalil yang menjelaskannya.22

Adapun penelitian yang sedang penulis lakukan ini terkait tentang nafkah ma>d}iyyah anak. Namun, terdapat perbedaan antara penelitian penulis dengan penelitian lainnya. Adapun perbedaan antara penelitian ini dengan penelitian-penelitian sebelumnya adalah Penelitian ini fokus terhadap adanya perbedaan pandangan hakim Pegadilan Agama Malang tentang tidak dibolehkannya gugatan nafkah ma>d}iyyah anak yang terdapat dalam Buku Pedoman Pelaksanaan Tugas dan Administrasi Peradilan Agama. Adapun dari perbedaan pandangan hakim tersebut kemudian oleh penulis akan dianalisa secara yuridis dengan menggunakan undang No. 1 Tahun 1974 tentang perkawinan, Undang-undang No. 23 Tahun 2002 Perlindungan Anak dan Kompilasi Hukum Islam.

E. Tujuan Penelitian

Adapun tujuan yang ingin dicapai dari penelitian ini adalah:

1. Untuk mengetahui bagaimana pandangan hakim Pengadilan Agama Malang tentang tidak diperbolehkannya gugatan nafkah ma>d}iyyah anak dalam Buku Pedoman Pelaksanaan Tugas dan Administrasi Peradilan Agama.

22Zuhdi Muhdlor dan Natsir Asnawi,‚Apakah nafkah ma>d}iyyah(lampau) anak yang tidak terbayarkan

mutlak lil intifa’? (Kajian Terhadap Kaidah yurisprudensi MA RI Nomor 608k/AG/2003)‛, dalam

(27)

16

2. Untuk mengetahui bagaimana analisis yuridis terhadap pandangan hakim Pengadilan Agama Malang tentang tidak diperbolehkannya gugatan nafkah ma>d}iyyah anak dalam Buku Pedoman Pelaksanaan Tugas dan Administrasi Peradilan Agama.

F. Kegunaan Hasil Penelitian

Adapun kegunaan dari hasil penelitian ini adalah sebagai berikut: 1. Aspek teoritis

Hasil penelitian ini dapat dijadikan bahan acuan atau referensi bagi peneliti berikutnya dan dapat memberikan pengertian dan pemahaman serta kesadaran yang kuat akan pentingnya pemberlakuan suatu hukum yang dapat mengakomodir kesejahteraan masyarakat akan pemahaman terhadap nafkah ma>d}iyyah anak serta menegakkan keadilan.

2. Aspek praktis

(28)

17

G. Definisi Operasional

Untuk menghindari kesalahan dalam menginterpretasikan arti dan maksud dalam judul ini, maka perlu ditegaskan bahwa pengertian kata-kata yang terdapat dalam judul ini adalah sebagai berikut:

1. Pandangan Hakim

Pendapat yang berdasar pada pengetahuan hakim-hakim di Pengadilan Agama Malang terhadap tidak diperbolehkannya gugatan nafkah ma>d}iyyah anak dalam buku Pedoman Pelaksanaan Tugas dan Administrasi Peradilan Agama.

2. Gugatan

Suatu surat yang didalamnya mengandung sengketa dan memuat surat gugatan tentang nafkah ma>d}iyyah anak.

3. Nafkah Ma>d}iyyah Anak

Nafkah lampau atau nafkah terhutang, yakni nafkah yang pada waktu setelah terjadinya akad nikah tidak dibayarkan seorang ayah kepada anaknya. Adapun dalam penelitian ini yang dimaksud dengan tentang tidak diperbolehkannya gugatan nafkah ma>d}iyyah anak terdapat dalam peraturan Mahkamah Agung yang tercantum dalam Buku Pedoman Pelaksanaan Tugas dan Administrasi Peradilan Agama Edisi 2010.

(29)

18

diperbolehkannya gugatan nafkah ma>d}iyyah anak dalam Buku Pedoman Pelaksanaan Tugas dan Administrasi Peradilan Agama.

H. Metode Penelitian

Penelitian yang penulis lakukan ini termasuk penelitian lapangan (field research), oleh karena itu data yang dikumpulkan merupakan data langsung dari lapangan sebagai obyek penelitian yang bersumber dari pandangan hakim Pengadilan Agama Malang. Adapun penulisan skripsi ini menggunakan metode pembahasan sebagai berikut:

1. Lokasi Penelitian

Adapun lokasi yang digunakan penelitian penulis adalah Pengadilan Agama Malang.

2. Data yang dikumpulkan

Data yang dihimpun adalah data tentang :

a. Data yang terkait tentang pandangan hakim Pengadilan Agama Malang tentang tidak diperbolehkannya gugatan nafkah ma>d}iyyah anak.

b. Data yang terkait dasar hukum hakim Pengadilan Agama Malang tentang tidak diperbolehkannya gugatan nafkah ma>d}iyyah anak.

3. Sumber Data

(30)

19

a. Sumber data primer, yaitu sumber data yang diperoleh langsung dari objek penelitian oleh orang yang melakukan penelitian.23 Pada penelitian kali ini, sumber data primernya adalah Hakim Pengadilan Agama Malang dan Buku Pedoman Pelaksanaan Tugas dan Administrasi Peradilan Agama.

b. Sumber data sekunder

Sumber data sekunder diperoleh dari dokumen, catatan-catatan atau tulisan yang berhubungan dengan masalah nafkah ma>d}iyyah anak seperti: 1) Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan.

2) Undang-Undang No. 23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak. 3) Kompilasi Hukum Islam.

4) Yurisprudensi Mahkamah Agung 2007. 4. Teknik pengumpulan data

Untuk memperoleh data tersebut digunakan teknik sebagai berikut: a. Observasi24 yaitu suatu cara atau proses yang komplek dan dilakukan

secara sistematis, terencana, terarah untuk mengamati fenomena suatu kelompok untuk mendapatkan suatu informasi untuk melanjutkan penelitian. Observasi dalam penelitian ini dilakukan di Pengadilan Agama Malang.

23 Sugiyono, Memahami Penelitian Kualitatif, (Bandung: CV. Alfabeta, 2009), 62

24

(31)

20

b. Wawancara (Interview)25 yaitu teknik memperoleh data dengan tanya jawab langsung secara lisan. Adapun dalam penelitian ini dengan hakim-hakim Pengadialan Agama Malang. Wawancara ini dilakukan dengan pokok pertanyaan yang telah disiapkan kemudian dilanjutkan dengan variasi wawancara guna memperoleh data yang diperlukan.

c. Dokumenter26 yaitu suatu cara untuk memperoleh data dari buku-buku, catatan-catatan, ataupun dokumen yang berhubungan dengan penelitian. Dalam hal ini yaitu nafkah ma>d}iyyah anak.

5. Teknik Pengolahan Data

Data yang telah dikumpulkan kemudian diolah melalui tahapan tahapan sebagai berikut:

a. Editing, yaitu memeriksa kembali semua data yang diperoleh dengan memilih dan menyeleksi data tersebut dari berbagai segi yang meliputi kesesuaian, keselarasan satu dengan yang lainnya, keaslian, kejelasan serta relevansinya dengan permasalahan.27

b. Organizing, yaitu mengatur dan menyusun data sedemikian rupa sehingga dapat memperoleh gambaran yang sesuai dengan rumusan masalah.28

25 Ibid. 26 Ibid., 53.

(32)

21

6. Teknik Analisis Data

Setelah data selesai dikumpulkan dengan lengkap baik dari lapangan maupun dokumenter, tahap berikutnya adalah tahap analisis. Seperti halnya teknik pengumpulan data, analisis data juga merupakan bagian yang penting dalam penelitian, karena dengan menganalisis, data dapat diberi arti dan makna yang jelas sehingga dapat digunakan untuk memecahkan masalah dan menjawab persoalan-persoalan yang diajukan dalam penelitian.

(33)

22

I. Sistematika Pembahasan

Secara umum, skripsi ini dibagi dalam lima bab. Dimana satu sama lain saling berkaitan dan merupakan suatu sistem yang urut untuk mendapatkan suatu kesimpulan dalam mendapatkan suatu kebenaran ilmiah. Adapun sistematika penulisan skripsi ini adalah sebagai berikut:

Bab pertama adalah pendahuluan, yang meliputi latar belakang masalah, identifikasi dan batasan masalah, rumusan masalah, tujuan penelitian, kegunaan hasil penelitian, definisi operasional, metode penelitian, dan sistematika pembahasan.

Bab kedua berisi landasan teori, yang terdiri dari tinjauan umum tentang nafkah anak, meliputi tentang pengertian anak, hak-hak anak, pengertian nafkah, nafkah ma>d}iyyah (terhutang) anak, kadar pemberian nafkah, gugurnya kewajiban membayar nafkah, kewajiban orang tua terhadap anak berdasarkan Undang-undang No. 1 Tahun 1974, berdasarkan Kompilasi Hukum Islam, dan berdasarkan Undang-undang Perlindungan Anak.

(34)

23

geografis, wewenang, visi-misi, serta uraian pandangan hakim Pengadilan Agama Malang tentang tidak diperbolehkannya gugatan nafkah ma>d}iyyah anak.

Bab keempat merupakan bab yang membahas kajian analisis yuridis terhadap pandangan hakim Pengadilan Agama Malang tentang tidak diperbolehkannya gugatan nafkah ma>d}iyyah anak dalam buku Pedoman Pelaksanaan Tugas dan Administrasi Peradilan Agama.

(35)

24

BAB II

NAFKAH ANAK DALAM FORMULASI YURIDIS

A. Pengertian dan Hak-hak Anak 1. Pengertian Anak

Pengertian anak secara umum dipahami masyarakat adalah keturunan kedua setelah ayah dan ibu. Sekalipun hasil dari hubungan yang tidak sah secara kacamata hukum. Anak mengandung banyak arti apalagi bila kata anak diikuti dengan kata lain misalnya anak turunan, anak kecil, anak sungai, anak negeri, dan lain sebagainya.1 Anak adalah putra putri kehidupan, masa depan bangsa dan Negara. Oleh karena itu anak memerlukan pembinaan agar dapat berkembang mental dan spiritualnya secara maksimal.2

Pengertian anak dalam hukum perdata tidak diatur secara eksplisit. Pengertian anak selalu dihubungkan dengan kedewasaan, sedangkan kedewasaan tidak ada keseragaman dalam berbagai peraturan perundang-undangan di Indonesia. Sedangkan definisi anak menurut Hukum yang berlaku di Indonesia itu bervariasi menurut sudut pandang hukum itu sendiri.3 Adapun diantaranya adalah:

1 Hilman Hadikusuma, Bahasa Hukum Indonesia, (Bandung: Grafika, 1992), 83.

2 Darwan Prints dalam Iman Jauhari, Hak-Hak Anak dalam Hukum Islam, (Jakarta: Pustaka Bangsa

Press, 2003), 80.

(36)

25

a. Undang-Undang Indonesia

Dalam Kitab Undang-undang Hukum Perdata (BW) pasal 330 ayat 1 menyatakan bahwa anak adalah mereka yang belum mencapai umur genap 21 tahun dan tidak lebih dahulu kawin. Sedangkan dalam Undang-undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang HAM pasal 1 angka 5 menyebutkan bahwa anak adalah setiap manusia yang berusia di bawah 18 (delapan belas) tahun dan belum menikah, terrnasuk anak yang masih dalam kandungan apabila hal tersebut adalah demi kepentingannya.4 Sedangkan menurut Undang-undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak pasal 1 angka 1 menyebutkan bahwa anak adalah seseorang yang belum berusia 18 (delapan belas) tahun, termasuk anak yang masih dalam kandungan.5

Adapun Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 tidak lugas mengatur mengenai kapan seorang digolongkan sebagai anak. Adapun secara tersirat dalam pasal 6 ayat 2 menyatakan bahwa syarat perkawinan bagi seorang yang belum berumur 21 tahun harus mendapat ijin orang tuanya, dan pasal 7 ayat 1 menyatakan bahwa minimal usia anak dapat kawin yaitu pria 19 tahun dan wanita 16 tahun.6

4 Irma Setyowati Soemitro, Aspek Hukum Perlindungan Anak, (Jakarta: Bumi Aksara, 1990), 17. 5 Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak

(37)

26

Di sisi lain, pasal 47 ayat 1 Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 menyatakan bahwa anak yang belum mencapai 18 tahun atau belum melakukan pernikahan ada di bawah kekuasaan orang tuanya selama mereka tidak mencabut kekuasaan orang tuanya. Sedangkan dalam Inpres RI Nomor 1 tahun 1991 tentang Kompilasi Hukum Islam mengenai batas usia dewasa diatur dalam pasal 98 ayat 1 dinyatakan bahwa dewasa adalah 21 tahun sepanjang anak tersebut tidak cacat fisik dan mental ataupun belum pernah melakukan perkawinan.7

Dari beberapa Undang-undang diatas, anak yang dimaksud dalam pemberian nafkah ini adalah seseorang yang belum mencapai umur 21 tahun dan belum pernah menikah.8

b. Yurisprudensi Mahkamah Agung

Dalam yurisprudensi tetap Mahkamah Agung Republik Indonesia, tidak ada keseragaman mengenai batas kedewasaan, sebagai gambaran dalam putusan Mahkamah Agung No. 53 K/SIP/152 tanggal 1 Juni 1955 dinyatakan bahwa 15 tahun dianggap telah dewasa untuk kasus yang terjadi di wilayah Bali. Dalam putusan Mahkamah Agung Nomor: 601 K/SIP/1976, dinyatakan bahwa tanggal 18 November 1976 umur 20

(38)

27

tahun dianggap telah dewasa untuk perkara yang terjadi di daerah Jakarta.9

c. Hukum Kebiasaan (Hukum Adat dan Hukum Islam)

Menurut hukum adat tidak ada ketentuan yang pasti kapan seseorang dianggap dewasa, Menurut penelitian Supomo tentang Hukum Perdata adat di Jawa Barat dijelaskan bahwa ukuran kedewasaan seseorang diukur dari segi: 1. Dapat bekerja sendiri, 2. Cakap untuk melakukan apa yang di syaratkan dalam kehidupan bermasyarakat dan bertanggung jawab, 3. Dapat mengurus harta kekayaannya sendiri.10

Demikian pula dalam hukum Islam, batasan kedewasaan tidak berdasarkan hitungan usia, tetapi sejak ada tanda-tanda perubahan badaniah, baik bagi anak pria, demikian pula bagi anak wanita.11

2. Hak-Hak Anak

Dalam ajaran Islam, anak adalah amanah Allah kepada kedua orang tuanya, masyarakat, bangsa dan negara sebagai warisan dari Islam, anak menerima setiap ukiran dan mengikuti semua pengarahan yang diberikan kepadanya. Oleh karena itu anak perlu dididik dan diajari dengan kebaikan. Dalam pandangan dunia internasional, hak-hak anak menjadi aktual sejak

(39)

28

dibicarakan pada tahun 1942 yang dinyatakan dalam Deklarasi Jenewa yang mengelompokkan hak-hak manusia dan memuat pula hak asasi anak. Selain itu hak anak dituangkan dalam Declaration On The Rights Of The Child yang dikenal dengan deklarasi hak asasi anak pada tanggal 20 November 1989.12

Deklarasi hak asasi anak yang dicetuskan oleh PBB tersebut belum dapat dipandang sebagai suatu ketentuan hukum positif. Oleh karena itu pemerintah Indonesia telah mengeluarkan keputusan Presiden Republik Indonesia (Keppres) Nomor 36 Tahun 1990 tentang pengesahan Convention on The Right of The Child. Langkah yang bijaksana pemerintah Indonesia, dilakukan pada tahun 1979 dengan mengundangkan Undang-undang Nomor 4 Tahun 1979 tentang Kesejahteraan Anak. Akan tetapi pada operasionalnya Undang-undang tersebut belum begitu mencerminkan suatu proses penegakan hak asasi anak yang lebih transparan.13

Bab III Undang-Undang tentang Perlindungan Anak mengatur mengenai hak dan kewajiban anak. Hak anak diatur jelas dalam ketentuan pasal 4 sampai dengan pasal 18, sedangkan kewajiban anak dicantumkan pada pasal 19. Hak anak yang tercantum dalam Undang-Undang tentang Perlindungan Anak tersebut antara lain meliputi hak:14

12 Yusuf Thalib, Pengaturan Hak Anak dalam Hukum Positif, (Jakarta: BPHN, 1984), 33. 13 Rina Wijayanti, Hak-hak Anak, (Jakarta: Sinar Pustaka, 2010), 21.

(40)

29

1. Untuk dapat hidup, tumbuh, berkembang dan berpartisipasi secara wajar sesuai dengan harkat dan martabat kemanusiaan serta mendapat perlindungan dari kekerasan dan diskriminasi.

2. Atas suatu nama sebagai identitas dan status kewarganegaraan.

3. Untuk beribadah menurut agamanya, berpikir dan berkreasi sesuai dengan tingkat kecerdasan dan usianya dalam bimbingan orang tua. 4. Untuk mengetahui orang tuanya, dibesarkan dan diasuh oleh orang

tuanya sendiri.

5. Memperoleh pelayanan kesehatan dan jaminan sosial sesuai dengan kebutuhan fisik, mental, spiritual dan sosial.

6. Memperoleh pendidikan dan pengajaran dalam rangka pengembangan pribadinya dan tingkat kecerdasannya sesuai dengan minat dan bakatnya.

7. Memperoleh pendidikan luar biasa, rehabilitasi, bantuan sosial dan pemeliharaan taraf kesejahteraan sosial bagi anak yang menyandang cacat.

8. Memperoleh pendidikan khusus bagi anak yang memiliki keunggulan. 9. Menyatakan dan didengar pendapatnya, menerima, mencari dan

(41)

30

10.Untuk beristirahat dan memanfaatkan waktu luang, bergaul dengan anak yang sebaya, bermain, berekreasi dan berkreasi sesuai dengan minat, bakat dan tingkat kecerdasannya demi pengembangan diri.

11.Mendapat perlindungan dari perlakuan diskriminasi, eksploitasi (baik ekonomi maupun seksual), penelantaran, kekejaman, kekerasan, penganiayaan, ketidakadilan serta perlakuan salah lainnya.

12.Untuk diasuh oleh orang tuanya sendiri kecuali jika ada alasan dan/atau aturan hukum yang sah menunjukkan bahwa pemisahan itu adalah demi kepentingan terbaik bagi anak dan merupakan pertimbangan terakhir. 13.Memperoleh perlindungan dari sasaran penganiayaan, penyiksaan atau

penjatuhan hukuman yang tidak manusiawi. 14.Memperoleh kebebasan sesuai dengan hukum.

15.Mendapatkan perlakuan secara manusiawi dan penempatan yang dipisahkan dari orang dewasa, memperoleh bantuan hukum atau bantuan lainnya secara efektif dalam setiap tahapan upaya hukum yang berlaku, serta membela diri dan memperoleh keadilan di depan Pengadilan Anak yang objektif dan tidak memihak dalam sidang tertutup untuk umum, bagi setiap anak yang dirampas kebebasannya.

(42)

31

17.Mendapatkan bantuan hukum dan bantuan lainnya, bagi setiap anak yang menjadi korban atau pelaku tindak pidana.

Dalam usaha menciptakan kesejahteraan anak di Indonesia, maka perlu dalam era pembangunan hukum nasional beberapa aturan hukum yang mengatur anak, mendapat perhatian khusus dan perlu pula diselamatkan dengan kebutuhan anak-anak sesuai dengan zamannya. Masalah perlindungan hukum bagi anak, merupakan salah satu cara untuk melindungi anak-anak Indonesia sebagai tunas bangsa.15

Perlindungan anak merupakan suatu usaha yang mengadakan kondisi dimana setiap anak dapat melaksanakan hak dan kewajibannya. Adapun perlindungan anak ini juga merupakan perwujudan adanya keadilan dalam suatu masyarakat. Dengan demikian perlindungan anak harus sedapat mungkin diusahakan dalam berbagai bidang kehidupan bernegara dan bermasyarakat. Perlindungan anak mengutamakan kepentingan anak dari pada kepentingan orang tua.16

15 Abdul Rozak Husein, Hak Anak dalam Islam, ( Jakarta: fikahati Aneka, 1992), 44.

16 Iman Jauhari, Perlindungan Hukum Terhadap Anak dalam Keluarga Poligami, (Medan: USU Press,

(43)

32

B. Nafkah Ma>d}iyyah Anak 1. Pengertian Nafkah

Nafkah berarti belanja, kebutuhan pokok yang dimaksudkan adalah kebutuhan pokok yang diperlukan oleh orang-orang yang membutuhkannya. Sebagian ahli fiqih berpendapat bahwa yang termasuk dalam kebutuhan pokok itu adalah pangan, sandang, tempat tinggal. Sementara ahli fiqih yang lain berpendapat bahwa kebutuhan pokok itu hanyalah pangan.17

Mengingat banyaknya kebutuhan yang di perlukan oleh keluarga tersebut maka dari pendapat tersebut dapat dipahami bahwa kebutuhan pokok minimal adalah pangan, sedangkan kebutuhan yang lain tergantung kemampuan orang yang berkewajiban membayar atau menyediakannya dan memenuhinya.18

Sedang menurut Kamal Muchtar, nafkah berarti ‚belanja, kebutuhan

pokok‛. Maksudnya, ialah kebutuhan pokok yang diperlukan oleh

orang-orang yang membutuhkan.19 Adapun yang dimaksud dengan ‚nafkah‛ menurut istilah ialah belanja, belanja disini merupakan memenuhi segala kebutuhan istri, meliputi makanan, pakaian, tempat tinggal dan lain-lain yang termasuk kebutuhan rumah tangga pada umumnya. Selain tempat

17 Djamaan Nur, Fiqh Munakahat, (Semarang: CV. Thoha Putra, 2003), 19. 18 Ibid., 20.

19 Kamal Muchtar, Asas-Asas Hukum Islam Tentang Perkawinan, (Jakarta: Bulan Bintang, 2004),

(44)

33

tinggal, maka keperluan rumah tangga yang wajib dipenuhi oleh suami meliputi :20

a. Belanja dan keperluan rumah tangga sehari-hari. b. Belanja pemeliharaan kehidupan anak-anak. c. Belanja sekolah dan pendidikan anak-anak.

Sedangkan ma>d}iyyah berasal dari kata (يضام) dalam bahasa Arab

mempunyai arti lampau atau terdahulu.21 Dan disebutkan dalam sebuah kamus Indonesia bahwa kata lampau memiliki dua makna yakni: 1) lalu, lewat, dan 2) lebih, sangat.22

Sehingga dari pengertian diatas dapat disimpulkan bahwa yang dimaksud nafkah ma>d}iyyah anak adalah nafkah lampau atau nafkah terhutang, yakni nafkah yang pada waktu setelah terjadinya akad nikah tidak dibayarkan seorang ayah kepada anaknya.23

Seperti yang kita ketahui bahwa dengan terselenggaranya akad nikah menimbulkan adanya hak dan kewajiban antara suami dan istri. Diantara kewajiban suami terhadap istri dan anak yang paling kokoh adalah kewajiban memberi nafkah, baik berupa makanan, pakaian (kiswah), maupun tempat tinggal. Bila nafkah baik lahir maupun batin tidak di penuhi oleh salah satu pihak. Maka seperti halnya dalam kasus lainnya para pihak dapat

20 Soemiyati, Hukum Perkawinan Islam dan Undang-Undang Perkawinan, 44.

21 Adib Bisri dan Munawwir al-Fatah, Kamus Al-Bisri, (Jakarta: Pustaka Progresif, 1999), 174. 22 Hartono, Kamus Praktis Bahasa Indonesia, (Jakarta: Rineka Cipta, 1996),60.

(45)

34

mengadukannya dihadapan pengadilan. Adapun bisa berbentuk gugatan rekovensi24 yang diajukan istri karena kelalaian suami tidak menafkahi setelah perkawinan terjadi.25

2. Kadar Pemberian nafkah

Pada dasarnya nominal kadar nafkah tidak dijelaskan dalam al-Qur’an maupun Hadis. Al-Qur’an dan Hadis hanya menyebutkan al-ma’ru@f yang menunjukkan bahwa suami harus memberikan nafkah yang baik kepada isteri dan anaknya. Sehingga kata al-ma’ru@f yang masuk dalam kategori

‘a@mm tersebut menimbulkan perbedaan pendapat dikalangan para fuqaha’

dengan alasannya masing-masing. Akan tetapi ada juga yang berpendapat bahwa penyebutan kata al-ma’ru@f yang umum tersebut merupakan upaya menjaga arah kebijaksanaan al-Qur’an dan Hadis, sehingga tetap relevan di setiap masa dan tempat.26 Adapun ketentuan nominal kadar nafkah juga tidak tercantum dalam hukum positif yang ada di Indonesia.

Ketiadaan ketentuan kadar nafkah tersebut tentunya sangat mempengaruhi nafkah ma>d}iyyah yang belum terbayarkan. Sehingga dalam kasus tersebut sangat diperlukan ijtihad atau pengarahan akal pikiran oleh

24 Gugat balasan atau gugatan yang diajukan tergugat sebagai gugatan balasan terhadap gugatan

yang diajukan penggugat kepadanya. Lihat dalam Sarwono, Hukum Acara Perdata Teori dan Praktek, (Jakarta: Sinar Grafika, 2012), 56.

(46)

35

para hakim. Meskipun begitu ulama empat mazhab telah menawarkan ketentuan kadarnya sesuai dengan ijtihad yang mereka lakukan dengan penggalian dalilnya masing-masing.

Pendapat Golongan Shafi’iyyah dalam menetapkan jumlah nafkah bukan diukur dengan jumlah kebutuhan, tetapi sesuai kemampuan. Sehingga memperhatikan kaya dan miskinnya keadaan suami, bagi suami yang kaya (mu@sir) ditetapkan kewajiban nafkah setiap hari 2 mud. Sedangkan bagi yang miskin (mu’sir) ditetapkan satu hari 1 mud dan bagi yang sedang (mutawassit{) 1 1/2 mud.27

Golongan H{anafiyyah, Malikiyyah dan H{anabilah berpendapat bahwa agama tidak menentukan jumlah nafkah. Maka mereka menyerahkan kepada ijtihad masing-masing hakim di daerahnya. Suami wajib memberi nafkah kepada isteri dan anaknya secukupnya yang meliputi makanan, daging, sayur-mayur, buah-buahan, minyak zaitun dan samin serta segala kebutuhan yang diperlukan sehari-hari dan sesuai dengan keadaan yang umum. Standar ini berbeda menurut keadaan, dan situasi tempat. Mereka menetapkan jumlah nafkah bagi istri ditetapkan sesuai dengan kemampuan suami, kaya atau miskin, bukan dengan melihat bagaimana keadaan isteri maupun anaknya.28

(47)

36

Adapun tidak adanya ketentuan yang pasti menegenai kadar nafkah, tetapi suami wajib memberi nafkah kepada isteri dan anak secara al-ma’ru@f. Akan tetapi apabila kemudian tidak melunasinya, maka nafkah menjadi hutang yang harus dipertanggung jawabkannya. Hutang dalam hal ini sama dengan hutang-piutang lainnya yang sah, yang tidak akan gugur dari tanggung jawabnya, kecuali kalau dilunasi atau dibebaskan. Demikianlah pendapat Shafi’i dan praktek Pengadilan Mesir sejak lahirnya Undang-undang No. 25 tahun 1929.29

3. Gugurnya Kewajiban Membayar Nafkah

Adanya ikatan perkawinan yang sah menjadikan seorang istri terikat semata-mata hanya untuk suaminya dan tertahan sebagai miliknya, karena ia berhak menikmatinya terus menerus. Maka tepat kiranya Islam mewajibkannya suami memberikan nafkah kepada istrinya dan juga anak-anaknya. Istri wajib taat kepada suami, tinggal dirumahnya, mengurus rumah tangganya, serta memelihara dan mendidik anak-anaknya. Sebaliknya, suami bertanggung jawab untuk memenuhi kebutuhan isteri dan anak-anaknya, memberi belanja kepada keduanya selama ikatan sebagai

(48)

37

suami istri masih terjalin dan istri tidak berbuat durhaka (nusyu>z) terhadap suami, atau karena ada hal-hal lain yang menghalangi pemberian nafkah.30 Oleh karena itu, nafkah haruslah diberikan kepada istri di mulai dari setelah perkawinan dilangsungkan dan nafkah anak semenjak anak dilahirkan. Maka, jika nafkah tersebut tidak dipenuhi, ada kewajiban suami untuk membayar hutang nafkah yang belum terbayarkan. Karena hutang nafkah adalah merupakan hutang suami yang harus dan wajib untuk dilunasi. Sehingga disebut juga dengan nafkah ma>d}iyyah (nafkah terhutang).31

Pembayaran nafkah anak memang wajib bagi suami, akan tetapi apabila suami dalam keadaan benar-benar tidak mampu maka dibebaskan atau gugur dalam melaksankan kewajibannya membayar nafkah, sehingga dapat beralih kepada isteri atau keluarga terdekatnya. Ketidakmampuan dalam hal ini dapat saja disebabkan:

a. Karena ketidak berdayaannya, atau yang dalam hukum perdata dikenal dengan istilah Onmacht. Di mana yang bersangkutan memang tidak berdaya untuk melaksanakan kewajibannya memenuhi nafkah anaknya disebabkan faktor fisiknya, seperti cacat atau sakit, yang membuatnya benar-benar tidak mungkin dapat memenuhi kewajibannya tersebut sebagaimana mestinya

(49)

38

b. Karena suatu keadaan (situasi) darurat, atau yang dalam hukum perdata dikenal dengan istilah Overmacht. Di mana ayah bersangkutan tidak dapat melakukan kewajibannya memenuhi nafkah anaknya karena faktor keadaan darurat yang datang dari luar. Misalnya karena terjadi bencana alam, atau ayah bersangkutan dihukum penjara selama beberapa tahun, atau karena situasi kacau (cheos) seperti perang atau kerusuhan yang meluas.32

Adapun tidak ada ketentuan atau aturan yang pasti mengenai ukuran mampu atau tidak mampunya seorang suami dalam membayar nafkah, sehingga dalam hal ini hakim dituntut melakukan ijtihad dengan melihat fakta-fakta yang terjadi, baik dari pengakuan masing-masing pihak atau para saksi. Sehingga hal tersebut bisa dijadikan pertimbangan dalam meutuskan perkara dengan adil.33

Karenanya sudah dianggap benar jika seorang istri mengajukan gugatan atas hak yang tidak terpenuhi dimasa lalu ketika ia masih dianggap sah terikat dalam sebuah perkawinan. Hal ini menjadi hal mutlak istri, sejumlah yang terhutang oleh suaminya selama masih berlangsungnya hubungan perkawinan antara mereka berdua. Demikian pula jika suami meninggal dunia, maka hutang tersebut harus dibayarkan kepada istrinya, sebelum harta

(50)

39

peninggalannya dibagikan kepada para ahli waris. Kecuali jika istri menggugurkan hutang suaminya secara suka rela sepenuhnya, dan bukan karena paksaan. Maka dengan demikian hutang nafkah tersebut dianggap lunas atau gugur.34

C. Konstruksi Hukum Nafkah Anak

1. Kewajiban Orang Tua Terhadap Anak Dalam Perspektif Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan

Suami sebagai kepala rumah tangga dan isteri sebagai ibu rumah tangga masing-masing berhak untuk melakukan perbuatan hukum. Disamping itu ada hak-hak dan kewajiban yang harus di penuhi dan di dapati satu sama lain. Apabila suami atau isteri melalaikan kewajibannya, masing-masing pihak suami atau isteri dapat mengajukan gugatan kepada Pengadilan.35 Demikian halnya dengan kewajiban dalam pemenuhan nafkah, baik mencakup nafkah lahir batin terhadap isteri ataupun nafkah terhadap anak. Hal tersebut merupakan salah satu pokok yang harus diperoleh dalam perkawinan, maka jika ada pelanggaran atau kelalaian, pihak yang dirugikan berhak mengajukannya ke Pengadilan yang berwenang. Segala apa yang disebut dalam pokok persoalan ini telah di atur dalam Bab VI

34 Muhammad Bagir Al-Habsyi, Fiqh Praktis Menurut Al-Qur’an, As-Sunnah, dan Pendapat Para

Ulama, (Jakarta: Mizan, 2002), 139.

(51)

40

undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Hak dan Kewajiban Suami dan Isteri dan Bab X tentang Hak dan Kewajiban Orang Tua Terhadap Anak.36

Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan dalam pasal 30 menyebutkan bahwa suami istri memikul kewajiban yang luhur untuk menegakkan rumah tangga yang menjadi sendi dasar dari susunan masyarakat. Selanjutnya dalam pasal 45 disebutkan sebagai berikut: 1) Kedua orang tua wajib memelihara dan mendidik anak-anak mereka sebaik-baiknya, 2) Kewajiban orang tua yang dimaksud dalam ayat (1) pasal 1 berlaku sampai anak itu kawin atau berdiri sendiri, kewajiban mana berlaku terus meskipun perkawinan antara keduanya putus.37

Pada pasal 34 ayat 1 Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang perkawinan secara tegas menyebutkan bahwa suami wajib melindungi isterinya dan memberikan segala sesuatu keperluan hidup berumah tangga sesuai dengan kemampuannya. Lebih lanjut, dalam pasal 34 ayat 3 Undang-undang Perkawinan dikatakan bahwa apabila suami atau isteri melalaikan kewajibannya, masing-masing dapat mengajukan gugatan kepada Pengadilan. Ini berarti apabila suami tidak memberikan nafkah untuk keperluan hidup rumah tangganya, isteri dapat menggugat ke Pengadilan

36 Ibid., 59.

(52)

41

Negeri atau Pengadilan Agama (bergantung dari agama yang dianut oleh pasangan suami isteri tersebut).38

Pasal ini memberi justifikasi bahwa kedudukan suami sebagai kepala rumah tangga atau pemimpin bertanggung jawab memberikan nafkah atas keluarganya, artinya ia bertanggung jawab memberikan jaminan terhadap kebutuhan pihak-pihak yang berhak memperoleh nafkah yaitu istri dan anak-anaknya, baik untuk keperluan rumah tangga, pemeliharaan anak maupun pendidikan bagi anak sesuai dengan kemampuannya. Dalam peraturan Undang-undang Perkawinan, tidak ditetapkan besarnya nafkah yang harus diberikan, hanya dikatakan sesuai dengan kemampuan si suami.39

Selanjutnya dalam pasal 47 dinyatakan sebagai berikut: 1) Anak yang belum mencapai umur 18 tahun atau belum pernah melangsungkan perkawinan ada dibawah kekuasaan orang tuanya selama mereka tidak dicabut dari kekuasaannya, 2) Orang tua mewakili anak tersebut mengenai perbuatan hukum di dalam dan di luar Pengadilan.40

Kekuasaan orang tua ini dapat saja dicabut akan tetapi orang tua tidak dibebaskan dari kewajiban memberi biaya nafkah anak. Hal tersebut sebagaimana diatur dalam pasal 49 Undang-undang Nomor 1 Tahun 74 tentang Perkawinan, sebagai berikut:

38 Sudarsono, Hukum Perkawinan Nasional, 55. 39 Ibid., 56.

(53)

42

1. Salah seorang atau kedua orang tua dapat dicabut kekuasaannya terhadap seorang anak atau lebih untuk waktu tertentu atas permintaan orang tua yang lain, keluarga anak dalam garis lurus keatas dan saudara kandung yang telah dewasa atau pejabat yang berwenang dengan keputusan pengadilan dalam hal-hal:

a. ia sangat melalaikan kewajibannya terhadap anaknya. b. Ia berkelakuan sangat buruk.

2. Meskipun orang tua dicabut kekuasaannya, mereka masih tetap berkewajiban untuk memberi biaya pemeliharaan terhadap anak tersebut.41

Adapun dalam pasal 41 Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan menyatakan akibat putusnya perkawinan karena perceraian ialah :42

a. Baik ibu atau bapak tetap berkewajiban memelihara dan mendidik anak-anaknya, semata-mata berdasarkan kepentingan anak, bilamana ada perselisihan mengenai penguasaan anak-anak, Pengadilan memberi keputusannya.

b. Bapak yang bertanggung-jawab atas semua biaya pemeliharaan dan pendidikan yang diperlukan anak itu, bilamana bapak dalam kenyataan tidak dapat memenuhi kewajiban tersebut, Pengadilan dapat menentukan bahwa ibu ikut memikul biaya tersebut.

.

Adapun dalam ketentuan pasal 41 huruf b, berdasarkan ketentuan tersebut diatas dapat diartikan bahwasanya tuntutan perceraian dengan tuntutan pemenuhan nafkah anak adalah dua hal yang berbeda. Maka dari itu bisa saja tuntutan pemenuhan nafkah anak diajukan terpisah dari tuntutan cerai. Setiap orang yang menahan hak orang lain untuk kemanfaatannya,

(54)

43

maka ia bertanggung jawab membelanjainya. Hal ini sudah merupakan kaidah umum. Demikian halnya dalam sebuah perkawinan.43

2. Kewajiban Orang Tua Terhadap Anak dalam Perspektif Kompilasi Hukum Islam

Pandangan ajaran Islam terhadap anak menempatkan anak dalam kedudukan yang mulia. Anak mendapat kedudukan dan tempat yang istimewa dalam Nash al-Qur’an dan al-Hadits. Oleh karena itu, anak dalam pandangan Islam harus diperlakukan secara manusiawi, diberi pendidikan, pengajaran, keterampilan dan akhlaaqul kariimah agar anak itu kelak bertanggung jawab.44

Masalah anak dalam pandangan al-Qur’an menjadi tanggung jawab kedua orang tuanya. Adapun salah satu tanggung jawabnya adalah pemberian nafkah anak. Biaya nafkah anak tidak hanya menyangkut biaya sandang, pangan, dan tempat tinggal anak semata, akan tetapi juga biaya pendidikan anak. Pendidikan ini penting disebabkan dalam ajaran Islam anak merupakan generasi pemegang tongkat estafet perjuangan dan khalifah di muka bumi.45

Instruksi Presiden Republik Indonesia Nomor 1 Tahun 1991 tentang Kompilasi Hukum Islam memuat hukum material tentang perkawinan,

43 Sudarsono, Hukum Perkawinan Nasional, 56. 44 Abdul Rozak Husein, Hak Anak dalam Islam, 33.

(55)

44

kewarisan dan wakaf yang merumuskan secara sistematis hukum di Indonesia secara konkret. Maka untuk itu dalam hal ini perlu dirujuk mengenai ketentuan-ketentuan dalam Kompilasi Hukum Islam yang mengatur tentang kewajiban orang tua terhadap anak.46

Pengaturan nafkah anak dalam Kompilasi Hukum Islam (KHI) dapat dilihat dalam pasal 80 ayat 2, yaitu bahwa suami wajib melindungi isterinya dan memberikan segala sesuatu keperluan hidup berumah tangga sesuai dengan kemampuannya. Selanjutnya dalam ayat 4 disebutkan bahwa Sesuai dengan penghasilannya, suami menanggung: a. nafkah, kiswah dan tempat kediaman bagi istri, b. biaya rumah tangga, biaya perawatan dan biaya pengobatan bagi istri dan anak, c. biaya pendidikan bagi anak. Selanjutnya dalam pasal 81 ditegaskan bahwa suami wajib menyediakan tempat kediaman bagi isteri dan anak-anak.47

Kewajiban suami juga diatur dalam Kompilasi Hukum Islam Pasal 40 ayat 4 point (b) dan point (c). Dalam point (b) menyebutkan bahwa suami menanggung biaya rumah tangga, biaya perawatan, dan biaya pengobatan bagi isteri dan anak. Sedangkan dalam point (c) juga disebutkan biaya pendidikan bagi anak.48

(56)

45

Pada pasal 156 huruf d menyebutkan bahwa akibat putusnya perkawinan karena perceraian ialah semua biaya hadhanah dan nafkah anak menjadi tanggungan ayah menurut kemampuannya, sekurang-kurangnya sampai anak tersebut dewasa dan dapat mengurus diri sendiri (21 tahun).49

Dalam pasal 77 Kompilasi Hukum Islam disebutkan bahwa:50

1. Suami istri memikul kewajiban yang luhur untuk menegakkan rumah tangga yang sakiinah mawaddah dan warrahmah yang menjadi sendi dasar dari susunan masyarakat.

2. Suami istri memikul kewajiban untuk mengasuh dan memelihara anak-anak mereka, baik mengenai pertumbuhan jasmani, rohani maupun kecerdasannya dan pendidikan agamanya.

Adapun apabila ditemukan sebuah fakta apabila orang tua dianggap tidak mampu dalam memenuhi kewajibannya maka hal kewajiban tersebut bisa beralih. Dalam Pasal 98 Kompilasi Hukum Islam tentang pemeliharaan anak ditegaskan bahwa Pengadilan Agama dapat menunjuk salah seorang kerabat terdekat yang mampu menunaikan kewajiban tersebut apabila kedua orang tuanya tidak mampu.51

Anak berhak atas penghidupan yang layak, tidak dibeda-bedakan dan tidak diperlakukan diskriminatif. Anak pun tidak berhak untuk

49 Ibid., 39. 50 Ibid., 28.

(57)

46

dieksploitasi, baik oleh orang tuanya maupun masyarakat atau Negara. Rasulullah tidak pernah mengeksploitasi anak baik dalam ekonomi maupun seksual atau gender. Ubadah bin Al Walid berkata, Rasulullah bersabda, ‚Berilah mereka makan dari apa yang kalian makan dan berilah mereka pakaian dari apa yang kalian pakai‛.52

3. Kewajiban Orang Tua terhadap Anak Dalam Perspektif Undang-Undang Perlindungan Anak

Pembentukan Undang-undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak didasarkan pada pertimbangan bahwa perlindungan anak dalam segala aspeknya merupakan landasan yuridis dan bagian penting dari kegiatan pembangunan nasional, khususnya dalam mewujudkan kehidupan anak dalam berbangsa dan bernegara.53 Namun sejalan dengan banyaknya perlakuan tidak baik dan tak manusiawi terhadap anak, baik di luar maupun di tengah-tengah keluarganya sendiri, maka Negara dalam hal ini pemerintah berkewajiban untuk memberikan perlindungan hukum terhadap anak.

Pasal 3 Undang-Undang tentang Perlindungan Anak menyebutkan bahwa perlindungan anak bertujuan untuk menjamin terpenuhinya hak-hak anak agar dapat hidup, tumbuh, berkembang dan berpartisipasi secara optimal sesuai dengan harkat dan martabat kemanusiaan, serta mendapat

52 Maftuh Asnan, dkk. Risalah Fiqh Wanita. 23.

(58)

47

perlindungan dari kekerasan dan diskriminasi demi terwujudnya anak Indonesia yang berkualitas, berakhlak mulia dan sejahtera.54

Menurut RI Suharhin, C. disebutkan bahwa demi pertumbuhan anak yang baik orang tua harus memenuhi kebutuhan jasmani seperti makan, minum, tidur, kebutuhan keamanan dan perlindungan kebutuhan untuk dicintai orang tuanya, kebutuhan harga diri (adanya penghargaan) dan kebutuhan untuk menyatakan diri baik, secara tertulis maupun secara lisan. Selain itu M. Yahya Harahap menyebutkan bahwa yang dimaksud dengan pemeliharaan anak adalah: 1. Tanggung jawab orang tua untuk mengawasi, memberikan pelayanan yang semestinya serta mencukupi kebutuhan hidup anak, 2. Pemeliharaan yang berupa pengawasan, pelayanan serta pencukupan nafkah anak tersebut adalah bersifat continoue (terus menerus) sampai anak itu dewasa.55

Adapun pembahasan hak dan kewajiban anak dalam Undang-undang Perlindungan Anak Nomor 23 Tahun 2002 terdapat pada Bab III dari pasal 4 sampai pasal 19. Sedangkan pasal 26 Undang-undang Perlindungan Anak mengatur mengenai kewajiban dan tanggung jawab orang tua terhadap anak. Adapun dalam pasal 26 disebutkan:

1. Orangtua berkewajiban dan bertanggungjawab untuk: a. Mengasuh, memelihara, mendidik, dan melindungi anak.

54 Shanty Dellyana, Wanita dan Anak di mata Hukum, 55.

55 Bagong Suyanto, dkk, Tindak Kekerasan Terhadap anak Masalah dan Upaya Pemantauaannya,

(59)

48

b. Menumbuhkan anak sesuai dengan kemampuan, bakat dan minatnya.

c. Mencegah terjadinya perkawinan pada usia anak.

2. Dalam hal orangtua tidak ada atau karena suatu kewajiban dan tanggung jawabnya maka kewajiban dan tanggung jawab sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dapat beralih kepada keluarga, yang dilaksanakan sesuai dengan ketentuan peraturan Perundang-undangan yang berlaku.56

Apabila orang tua tidak ada, tidak dapat melaksanakan kewajiban dan tanggung jawabnya, atau tidak diketahui keberadaannya, maka kewajiban dan tanggung jawab orang tua atas anak dapat beralih kepada keluarga sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku.57 Adapun dalam pasal 30 Undang-undang Perlindungan Anak juga menyebutkan bahwa: 1) Dalam hal orang tua sebagaimana dimaksud dalam Pasal 26, melalaikan kewajibannya, terhadapnya dapat dilakukan tindakan pengawasan atau kuasa asuh ora

Referensi

Dokumen terkait

Pengukuran frekuensi pukulan pendeta dilakukan sebelum dan sesudah pelatihan pada masing-masing kelompok dengan metode pengukuran jumlah pukulan dalam tiga puluh

Berdasarkan pada permasahalan yang dialami Trans Semarang Koridor II dan research gap yang telah dipaparkan, diperlukan penelitian yang lebih mendalam mengenai

Bila pasien patuh menjalankan aktivitas self-care, maka pengendalian kadar glukosa darah yang menjadi tujuan utama penatalaksanaan DM akan berada dalam batas

Hasil tes yang dilakukan pada ketiga siklus seperti pada tabel 4, dapat dilihat bahwa pada siklus 1 rata-rata hasil test mahasiswa pada kelas A 50,70 dan kelas B

• Pengenaan jasa sebesar 1.65% atas akumulasi rate harian selama sebulan.. 1) Pembayaran ke Tenaga Kerja A serta Pajak Penghasilan Pasal 21 Ditanggung oleh PT “X”

Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui keanekaragaman jenis serta mengetahui indeks keanekaragaman kupu-kupu yang terdapat di kawasan Hutan Dalit Desa Benao Hulu

Ini artinya dapat diduga terdapat hubungan yang positif dan signifikan antara motivasi kerja, pengalaman kerja, dan komitmen kerja guru secara bersama-sama terhadap

Hasil penelitian menunjukkan bahwa kualitas layanan website tidak berpengaruh signifikan dengan kepuasan pengguna, sehingga perlu dilakukan perbaikan pada kualitas