KIPRAH SHOLIHAH WAHID HASYIM DALAM
PERPOLITIKAN DI INDONESIA 1950-1987
SKRIPSI
Diajukan Untuk Memenuhi Sebagian Syarat Memperoleh Gelar Sarjana Dalam Program Strata Satu (S-1) Pada Jurusan Sejarah dan Kebudayaan Islam (SKI)
oleh :
Iin Nur Zulaili
NIM : A0.22.12.057
FAKULTAS ADAB DAN HUMANIORA
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI (UIN)
ABSTRAK
Skripsi ini berjudul, Kiprah Sholihah Wahid Hasyim dalam Perpolitikan di Indonesia (1950-1987). Adapun penelitian ini difokuskan pada, (1) Bagaimana biografi Sholihah Wahid Hasyim? (2) Bagaimana perjuangannya dalam berbagai organisasi sosial dan keagamaan (1950-1987)? (3) Bagaimana peran Sholihah Wahid Hasyim dalam perpolitikan di Indonesia 1950-1987?.
Untuk menjawab permasalahan di atas penulis menggunakan metode sejarah (historis), yaitu suatu langkah merekonstruksi masa lampau secara sistematis dan objektif dengan cara mengumpulkan, mengkritik, menafsirkan dan mensintesiskan data dalam rangka menegakkan fakta serta kesimpulan yang kuat. Dalam teori penelitian ini menggunakan teori politik dan teori kepemimpinan milik Max Weber yakni teori genetik dan teori sosial.
ABSTACT
This thesis titled, Gait Sholihah Wahid Hasyim in Politics in Indonesia (1950-1987). As this study focused on: (1) How Sholihah biography Wahid Hasyim? (2) How to struggle in various social and religious organizations (1950-1987)? (3) How Wahid Hasyim Sholihah role in politics in Indonesia from 1950 to 1987 ?.
To answer the above problems the author uses historical method (historical), which is a step in reconstructing the past systematically and objectively by collecting, criticize, interpret and synthesize data in order to establish the facts and conclusions. In this study using the theory of political theory and theories of leadership belongs to Max Weber that the genetic theory and social theory.
DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL ... i
PERNYATAAN KEASLIAN ... ii
PERSETUJUAN PEMBIMBING ...iii
PENGESAHAN TIM PENGUJI ... iv
PEDOMAN TRANSLITERASI ... v
MOTTO ... vi
PERSEMBAHAN ... vii
ABSTRAK ...viii
KATA PENGANTAR ... x
DAFTAR ISI ... xii
BAB I: PENDAHULUAN A.Latar Belakang Masalah ... 1
B.Rumusan Masalah ... 8
C.Tujuan Penelitian ... 8
D.Kegunaan Penelitian ... 8
E. Pendekatan dan Kerangka Teori ... 9
F. Penelitian Terdahulu ... 10
G.Metode Penelitian ... 12
H.Sistematika Pembahasan ... 15
B. Masa Kecil ... 19
C. Masa Pendidikan ... 20
D. Masa Pernikahan ... 22
E. Masa Berumah tangga ... 24
F. Membantu Pejuang... 30
G. Pindah ke Jakarta... 32
H. Karir ... 34
I. Wafatnya ... 37
BAB III: PERJUANGAN DAN KONTRIBUSI SHOLIHAH WAHID HASYIM DALAM ORGANISASI SOSIAL DAN KEAGAMAAN (1950-1987) A.Aktivitas di Muslimat NU ... 38
B. Pejuang Pergerakan Wanita ... 46
C.Aktivitas di Lembaga Sosial ... 49
D.Aktivitas di Lembaga Keagamaan ... 55
BAB IV: SHOLIHAH WAHID HASYIM DALAM PERPOLITIKAN DI INDONESIA (1950-1987) A. Sholihah Wahid Hasyim pada masa Orde Lama... 59
1. Sholihah dan Demokrasi Terpimpin ... 60
2. Sholihah dan KAP Gestapu... 65
B. Sholihah pada masa Orde Baru ... 72
B. Saran ... 81
DAFTAR PUSTAKA.
BAB I
PENDAHULUAN
A.Latar Belakang Masalah
Seiring dengan berkembangnya zaman dan peradaban manusia,
perempuan selalu termarjinalkan. Hal ini terbukti peran perempuan sangat
dibatasi hanya bisa berkiprah dalam ranah domestik. Perempuan dianggap tidak
mampu masuk dalam dunia politik berbeda dengan laki-laki, laki-laki
dianggap mampu untuk memegang kekuasaan.1
Sebagian orang beranggapan bahwa wanita tidak mempunyai keahlian
untuk ikut serta dalam kegiatan politik, sedangkan sebagian yang lain mengatakan
bahwa wanita memiliki keahlian untuk itu. Walaupun peranan penting dari wanita
itu hanya ada dalam keluarga, janganlah kita lupa bahwa justru rumah tangga
itulah merupakan inti terpentinga daripada masyarakat.2
Dalam hal ini realitas sosial menunjukkan bahwa pada zaman Nabi
terlihat tentang kesetaraan antara laki-laki dan perempuan sama. Di karenakan
pada zaman ini laki-laki dan perempuan di bebaskan dalam berkiprah di
bidang bisnis, pemerintahan dan politik. Sehingga tidak ada perbedaan antara
laki-laki dan perempuan. Agar tidak ada diskriminasi terhadap perempuan
1
Muhammad Anis Qosim Ja’far, Perempuan dan Kekuasaan Menelusuri Hak Politik dan Persoalan Gender dalam Islam, Terj, Irwan Kurniawan dan Abu Muhammad (Jakarta: Zaman Wacana Mulia, 1998), 11.
2
untuk terjun ke dunia politik, yang selama ini menjadi bentuk penindasan
ideologi dan kultural kepada kaum perempuan.3
Minimnya partisipasi perempuan dalam sektor publik dan banyaknya
kendala perempuan untuk berkecimpung di wilayah politik disebabkan karena
tidak sedikit kaum laki-laki yang beranggapan bahwa kaum perempuan tidak
pantas untuk menduduki wilayah publik. Sebagian laki -laki mengatakan bahwa
politik adalah wilayah yang keras dan hanya layak untuk dimiliki oleh
kaum laki-laki masyarakat pada umumnya juga masih sangat kental
menempatkan laki-laki sebagai pusat kekuasaan sehingga kaum perempuan tidak
diberi kesempatan untuk menempati wilayah publik tersebut.4 Perempuan dan
politik merupakan dua hal yang sangat sulit untuk dibayangkan terutama
untuk negara berkembang. Hal ini disebabkan karena manusia telah dibentuk
oleh budayanya masing-masing bahwa laki-laki berperan di sektor publik dan
perempuan mengambil peran di sektor domestik.5
Selanjutnya, zaman kaum perempuan bergerak di Indonesia dibuka oleh
pikiran Kartini sampai terbangunnya organisasi-organisasi perempuan tahun 1912.
Kegiatan mereka pada awalnya menekankan pendidikan yang membuka
cakrawala kaum perempuan misalnya, memasak, merawat anak, melayani suami,
menjahit dan lain-lain. Lebih jauh dari itu, mereka memberikan pula kesadaran
3
Mansur Faqih, Analisis Gender dan Transformasi Sosial (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1947), 149.
4
Fatima Mernissi dan Riffat Hasan, Setara di Hadapan Allah, Terj. Tim LSPPA (Yogyakarta: LSPPA, 1999), 199.
5
3
yang belakangan disebut sebagai “emansipasi wanita”, bahwa kaum perempuan
sederajat dengan laki-laki.6
Dikatakan juga oleh Musdah Mulia yang menunjukkan bagaimana
perempuan bisa bergerak dari posisinya sebagai perempuan yang tidak hanya
berkiprah dalam kegiatan rumah tangga, tetapi juga dapat ditunjukkan dengan
keikut sertaan kaum perempuan untuk ikut berkecimpung di wilayah publik
yang mana sampai saat ini dikuasai oleh kaum laki-laki.7
Partisipasi perempuan dalam kegiatan politik di Indonesia secara umum
dapat dilihat dari dua indikator. Pertama, keterlibatan perempuan dalam lembaga
legislatif (DPR dan DPRD). Kedua, kehadiran perempuan sebagai pengambil
keputusan (decision maker) dalam lembaga eksekutif, baik dalam struktur pemerintahan (mulai pemerintahan pusat sampai dengan pemerintahan daerah).
Lembaga legislatif di Indonesia menurut Miriam Budiardjo telah ada sejak
masa pra-kemerdekaan yaitu dibentuknya Volksraad pada tahun 1918.8 Namun demikian, partisipasi politik perempuan di lembaga legislatif baru dimulai pada
tahun 50-an. Untuk memudahkan melihat tingkat partisipasi perempuan dalam
lembaga legislatif, penulis membaginya menjadi dua periode besar, yaitu sebelum
era reformasi dan setelah era reformasi. Partisipasi perempuan dalam lembaga
legislatif sebelum era reformasi meliputi: masa pemerintahan Presiden Soekarno
(Orde Lama: 1955-1959) dan masa pemerintahan Presiden Soeharto atau lebih
dikenal dengan masa Orde Baru (1971-1998).
6
Liza Hadiz, Perempuan dalam Wacana Politik Orde Baru (Jakarta:LP3ES, 2004), 421.
7
Siti Musdah Mulia, Islam Menggugat Poligami (Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 2000), 15.
8
Partisipasi perempuan Indonesia dalam lembaga legislatif baru dimulai
pada tahun 50-an. Pada saat itu, perempuan yang berhasil menduduki kursi di
DPR periode tahun 1955-1956 baru berjumlah 17 orang atau 6,3% dari total 289
orang Anggota DPR. Jumlah ini secara kuantitas meningkat menjadi 25 orang
pada periode berikutnya, yaitu pada masa Konstituante (1956-1959), tetapi
sebenarnya persentasenya lebih kecil dibanding dengan periode sebelumnya
(5,1%), mengingat pada masa ini jumlah anggota DPR meningkat hampir dua kali
lipat menjadi 513 orang.9
Dalam hal ini penulis kaitkan dengan partisipasi politik perempuan yaitu
dari istri tokoh nasional K.H Wahid Hasyim, Sholihah Wahid Hasyim10 yang
mendobrak anggapan negatif mengenai pandangan bahwa perempuan pesantren
hanya bisa menjadi konco wingking (teman pelengkap) bagi laki-laki saja, termasuk di dunia politik. Ia ingin menyampaikan bahwa perempuan pesantren
tidak kalah bersaing dengan perempuan kota bahkan dengan laki-laki sekalipun.
Keterlibatan seorang perempuan yang terjun ke perpolitikan di Indonesia
membuat penulis sangat tertarik untuk mengakajinya. Seorang perempuan yang
aktif dalam dunia politik pada tahun 1950-an bisa dikatakan seorang pejuang,
pejuang untuk keluarga, masyarakat dan juga negara. Hal ini sebagai bukti sejarah
bahwa seorang perempuan bisa ikut andil berjuang dalam perpolitikan. Salah satu
pejuang aktivis perempuan tersebut adalah Sholihah Wahid Hasyim. Memang
tidak begitu banyak orang yang mengetahui bahwa sebenarnya dahulu Sholihah
(biasa dipanggil Bu Wahid) ini cukup panjang berkecimpung dalam dunia politik.
9
Ibid.,329-330.
10
5
Nama asli Sholihah adalah Munawwaroh. Beliau lahir di Jombang 11
Oktober 1922.11 Ayahnya adalah Bisri Syansuri dan ibunya bernama Nur
Chadijah. Sholihah adalah salah seorang anak yang sayang disayangi oleh
ayahnya. Sejak kecil beliau dididik dan diberi pengajaran-pengajaran agama dan
bahasa Arab. Memang kelihatan ia seorang gadis yang cakap dan cerdas dan
mempunyai sifat-sifat pemimpin. Cara berfikirnya pun luas dan maju, tertutama
sesudah ia turut memimpin juga di pesantren bagian wanita, yang terdapat di
pesantren Denanyar dalam asuhan ayahnya. Beliau menikah dengan K.H Wahid
hasyim kira-kira berumur 15 tahun.12
Pada tanggal 10 Syawal 1356 H / 1938 M ia dinikahkan dengan Abdul
Wahid Hasyim, putera sulung KH Hasyim Asy’ari dan diboyong ke Tebuireng.
Sejak itulah kehidupan Munawwaroh menapak babak baru dan lebih dikenal
sebagai Ibu Sholihah, atau nyonya Wahid Hasyim. Dalam situasi perang, Sholihah
membantu mendirikan dapur umum di dekat Pabrik Gula Cukir, juga
menyelamatkan dokumen rahasia ketika suaminya dikejar Belanda, termasuk
menyamar menjadi pembantu.
Kemudian sejak Januari 1950, ketika penyerahan kedaulatan kepada
pemerintah RI, Sholihah meninggalkan Jombang mengikuti suaminya yang
dipercaya sebagai Menteri Agama. Namun tiga tahun kemudian, Abdul Wahid
Hasyim meninggal dalam sebuah kecelakaan mobil di Jawa Barat, sementara ia
baru berumur tiga puluh tahun.
11
Muhammad Dahlan, et al, Sholihah A Wahid Hasyim: Muslimah di Garis Depan Sebuah Biografi (Jakarta: Yayasan K.H.A Wahid Hasyim, 2001), 5.
12
Setelah kepergian Wahid Hasyim, Sholihah tidak mau pulang ke Jombang
karena wasiat dari suaminya beliau disuruh untuk melanjutkan perjuangan dengan
membesarkan Muslimat NU Jakarta. Pada tahun 1950 ia terpilih sebagai anggota
DPRD mewakili NU hingga berfusi ke dalam PPP. Ia juga menjadi anggota
Muslimat NU Gambir (1950), Ketua Muslimat NU Matraman (1954), Ketua
Muslimat NU DKI Jaya (1956), hingga Ketua I Pimpinan Pusat Muslimat NU
tahun 1959 sampai meninggal. Saat NU berfusi dalam PPP, ia menjadi anggota
legislatif (1978-1987). Selain itu, beliau juga aktif dalam beberapa kegiatan sosial
kemasyarakatan yaitu Yayasan Dana Bantuan sejak 1958 sampai akhir hayat.
Mendirikan Ikatan Keluarga Pahlawan Nasional (1974), serta Panti Harapan
Remaja di Jakarta Timur (1976).
Dalam bidang kegiatan keagamaan, Sholihah mendirikan Yayasan
Kesejahteraan Muslimat NU (1963), Lembaga Kemaslahatan Keluarga NU
(1978), pengajian Al-Islah (1963), Lembaga Penyantun Lanjut Usia (1976) yang
kemudian diubah menjadi Pusat Santunan dalam Keluarga (Pusaka), serta Majelis
Taklim Masjid Jami Matraman.
Sholihah juga aktif bersama Ibu Mahmudah Mawardi dan Asmah
Syahroni, mendirikan Rumah Bersalin Muslimat, BKIA Muslimat, Panti Asuhan
Muslimat, Klinik KB dan memberikan beasiswa kepada putera-puteri NU
terlantar, serta mengunjungi panti sosial. Sholihah juga aktif di perkumpulan
“Bunga Kemboja”, sebuah organisasi sosial yang menangani jenazah dan
penguburan dengan mengajak Ibu Lasmidjah Hardi (dari kalangan nasionalis), Ibu
7
sejak 1957 Ibu Sholihah terpilih menjadi Anggota DPRD DKI Jakarta,
DPR-GR/MPRS (1960) DPR/MPR (1971-1987).
Dari sini penulis ingin mengkaji tentang perjuangan Sholihah Wahid
Hasyim yang berjudul: KIPRAH SHOLIHAH WAHID HASYIM DALAM
PERPOLITIKAN DI INDONESIA (1950-1987). Penelitian tentang studi tokoh
memang sudah lama menarik minat banyak kaum terpelajar karena kepentingan
dan relevansi studi tokoh yang sangat penting untuk dilakukan setiap zaman.13
Diantara alasan penulis mengetahui relevansi pentingnnya penelitian ini adalah
sebagai berikut:
Pertama, karena dengan meneliti mengenai studi tokoh seorang yang memliki peran penting dalam perpolitikan dapat menambah wawasan penulis
untuk bisa terjun ke ranah politik walaupun seorang perempuan.
Kedua, Sholihah Wahid Hasyim dalam perjalanan politiknya di Indonesia
adalah salah satu seorang perempuan yang ikut menandatangani resolusi
pembubaran PKI pada tanggal 30 Oktober 1965 dan menyampaikan kepada
pemegang kekuasaan secara langsung. Hal ini sangat menarik bagi penulis untuk
mengakaji keberanian beliau yang walapun seorang perempuan tetapi sangat
berani menyatakan pendapat kepada seorang penguasa pun. Dari sini juga dapat
dijadikan tempat berpijak untuk memulai gagasan yang lebih besar di masa depan
dari apa yang pernah dipikirkan dan digagaskan tokoh-tokoh terdahulu.
Ketiga, sebagai seleksi validitas perkembangan berbagai penemuan.
Artinya dengan melakukan studi terhadap tokoh-tokoh terdahulu dan
13
gagasannya, maka di sini peneliti akan dapat mengukur apakah yang dipikirkan
atau digagaskan pemikir kemudian dapat dijadikan sebagai penemuan baru, atau
pun sebagai contoh yang baik bagi generasi selanjutnya.
B.Rumusan Masalah
1. Bagaimana biografi Sholihah Wahid Hasyim?
2. Bagaimana perjuangan Sholihah Wahid Hasyim dalam organisasi sosial dan
keagamaan di Indonesia (1950-1987)?
3. Bagaimana peran dan kontribusi Sholihah Wahid Hasyim dalam perpolitikan di
Indonesia (1957-1987)?
C.Tujuan Penelitian
1. Untuk mengetahui biografi aktivis perempuan Sholihah Wachid Hasyim.
2. Untuk mengetahui perjuangan dan kontribusi Sholihah Wachid Hasyim
dalam perpolitikan di Indonesia pada tahun 1957-1987.
3. Untuk mengetahui faktor Sholihah Wahid Hasyim terjun ke politik.
D.Kegunaan Penelitian
Kegunaan penelitian yang hendak dicapai dari penulisan ini adalah sebagai
berikut:
1. Untuk mengetahui persyaratan meraih gelar strata satu di Fakultas Adab dan
Humaniora jurusan Sejarah dan Kebudayaan Islam.
2. Untuk memberikan informasi mengenai perjuangan partisipasi perempuan
dalam perpolitikan di Indonesia.
3. Untuk tambahan refrensi dan bahan koleksi di perpustakan bagi mahasiswa
9
E.Pendekatan dan Kerangka Teoritik
Untuk menjelaskan dan menjawab persoalan-persoalan yang menjadi
fokus kajian penelitian skripsi ini, penulis menggunakan pendekatan historis yang
disertai dengan teori kepemimpinan dan teori politik.
Dalam hal ini penulis berusaha mengungkapkan bagaimana riwayat hidup
Sholihah Wahid Hasyim, meliputi pendidikannya, serta posisi dan perannya baik
dalam bidang keagamaan, sosial dan politik. Untuk melengkapi analisis, penulis
juga menggunakan pendekatan sosiologis sebagai alat bantu. Pendekatan sosiologi
dalam hal ini untuk menganalisis segi-segi sosial peristiwa yang dikaji, misalnya
golongan sosial mana yang berperan, serta nilai-nilainya, hubungan dengan
golongan lain, konflik berdasarkan kepentingan, ideologi dan sebagainya.14
Secara umum penelitian ini adalah penelitian historis yang mencoba
menarasikan sejarah Sholihah Wahid Hasyim, yang mana menurut Sartono
Kartodirjo, Naratif adalah sejarah yang mendiskripsikan tentang masa lampau
dengan merekontruksi apa yang terjadi, serta diuraikan sebagai cerita, dengan
perkataan lain, kejadian-kejadian penting diseleksi dan diatur menurut poros
waktu sedemikian sehingga tersusun sebagai cerita.15
Dalam boiografi tersebut dijelaskan secara lengkap kehidupan seorang
tokoh sejak kecil sampai tua, bahkan sampai meninggal dunia. Semua jasa, karya
dan segala hal yang dihasilkan atau dilalukan oleh seorang tokoh.16 Selain itu
14
Sartono Kartodirjo, Pendekatan Ilmu Sosial dalam Metodologi Sejarah (Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 1992), 4.
15
Ibid., 9.
16Bonaditya, “Biografi”, dalam
penulis juga menggunakan teori kepemimpinan Max Weber seperti dikutip oleh
Sunidhia, yaitu Teori Genetik dan teori Sosial, yaitu:
1. Teori genetik yang menyatakan bahwa pemimpin itu dilahirkan dari keturunan,
tetapi lahir jadi pemimpin oleh bakat-bakat alami yang hebat dan ditakdirkan
menjadi pemimpin dalam situasi dan kondisi apapun.
2. Teori sosial yang menyatakan setiap orang bisa menjadi pemimpin melalui
usaha penyiapan, pendidikan dan pembentukan serta didorong oleh kemajuan
sendiri dan tidak lahir begitu saja atau takdir dari Tuhan semestinya.17
Kemudian penulis juga menggunakan teori politik dimana jika seseorang
menduduki posisi sosial tinggi, memiliki status tinggi, bagi dia ada kesempatan
dan keleluasan memperoleh bagian dari kekuasaan. Tidak hanya itu, bahkan dia
lebih mudah mengambil peranan sebagai pemimpin dan juga menyebarkan
pengaruhnya jika ada sumber sosial budaya untuk melakukan peranannya sebagai
pemimpin.
F. Penelitian Terdahulu
Dalam penelitian terdahulu dari berbagai penelusuran yang telah penulis
lakukan terhadap literature, telah ditemukan berbagai buku dan karya ilmiah yang
terkait dengan pembahasan mengenai peran perempuan berpolitik. Di antaranya
sebagai berikut;
1. Buku Muhammad Dahlan, Sholihah A.Wahid Hasyim: Muslimah di Garis Depan (sebuah Biografi), buku ini membahas tentang seluruh sepak terjang
17
11
Sholihah Wahid Hasyim yakni mengenai diri, pemikiran, dan langkah kaki
Sholihah dalam menjalankan kehidupannya sejak lahir hingga wafat.
2. Buku Sholahuddin Wahid, Ibuku Inspirasiku (Ibunda Gus Dur dan Gus Sholah), buku ini membahas tentang peranan seorang ibu dalam keluarga khususnya kepada anak-anaknya.
3. Buku Ali Yahya, Sama Tapi Berbeda:Potret Keluarga Besar KH. A. Wahid Hasyim. Jakarta:Yayasan KH. A Wachid Hasyim Pustaka IKAPETE. Buku ini membahas tentang keseluruhan keluarga besar KH. A. Wahid Hasyim.
4. Buku Abdussalam Shohib, Kiai Bisri Syansuri: Tegas Berfikih, Lentur Bersikap, buku ini membahas tentang biografi Kiai Bisri Syansuri beserta semua keturunannya. Tetapi yang spesifik Sholihah hanya sebatas biografi
singkat waktu kecil hingga remaja.
5. Buku Muhammad Rifa’i, Wahid Hasyim, buku ini membahas tentang biografi
Wahid Hasyim, tetapi hanya sedikit dijelaskan juga tentang Sholihah.
6. Buku Sholahuddin Wahid, Ibu Indonesia dalam Kenangan, buku ini membahas tentang perjuangan Sholihah Wahid Hasyim dalam hidupnya dan sukses
mendidik anak-anaknya sesuai bidangnya masing-masing.
Sepanjang yang saya telusuri, skripsi atau tesis atau disertasi yang menulis
tentang Nyai Sholihah Wahid Hasyim belum ada, karya ini baru pertama.
Beberapa judul buku di atas dengan judul skripsi yang peneliti tulis ini berbeda.
Adapun titik fokus yang akan penulis teliti pada penelitian ini adalah tentang
perjuangan dan kontribusi yang berikan oleh Sholihah Wachid Hasyim dalam
politik Sholihah melewati beberapa aktivitas organisasi sehingga dalam kiprahnya
tersebut beliau masuk dalam perpolitikan di Indonesia yaitu sebagai anggota
legislatif dari tingkat daerah ke tingkat nasional.
Dengan demikian penulis disini tidak akan mengulang kembali seperti
apa yang ditulis oleh Muhammad Dahlan. Tetapi memperjelas dan menguatkan
kembali apa yang telah ditulis oleh Dahlan mengenai Sholihah Wahid Hasyim di
bidang politik dengan memadukan sumber-sumber yang lain termasuk dari tulisan
putranya Sholihah yaitu Sholahuddin Wahid.
G.Metode Penelitian
Untuk tujuan, peneliti menggunakan langkah-langkah sebagai berikut:
1. Heuristik (Pengumpulan Data)
Teknik yang digunakan dalam penulisan ini ialah teknik mencari
dan mengumpulkan data.18 Yaitu suatu proses yang dilakukan oleh peneliti
untuk mengumpulkan sumber-sumber, data-data atau jejak sejarah. Data
yang digunakan berasal dari tiga kategori sumber.19 Yaitu:
a. Sumber Primer:
1) Sumber Tertulis: antara lain adalah karya Nyai Sholihah Wahid Hasyim
sendiri yang di peroleh di Museum NU dalam buku yang berjudul Ibu Kartini Seratus Tahun dan beberapa sumber arsip yang menjelaskan bahwa Sholihah Wahid Hasyim adalah seorang anggota legislatif pada
tahun 1957-1987. Sumber ini diperoleh di dalam beberapa buku
18
Dudung Abdurrahman, Metode Penelitian Sejarah (Jakarta: Logos Wacana Ilmu, 1999), 55.
19
13
Muhammad Dahlan yang berjudul Sholihah A. Wahid Hasyim
(Muslimah di Garis Depan) Sebuah Biografi.
2) Wawancara: wawancara dengan orang yang sezaman yaitu
putra-putrinya antara lain: Sholahuddin Wahid, Aisyah Hamid Baidlowi,
Umar Wahid, Lily Chodidjah Wahid, sebagian tokoh yang sezaman
seperti Khofifah Indar Parawangsa, dan beberapa teman di anggota
legislatif yang pernah berjuang bersama Sholihah dalam perpolitikan di
Indonesia khususnya pada tahun 1957-1987. Selain itu foto dari rumah
Sholihah bersama suaminya Wahid Hasyim yang ada di Tebuireng
Jombang, rumah yang ada di Denanyar Jombang dan foto rumah yang
ada di Jakarta yaitu Jalan Taman Amir Hamzah No.8 yang sekarang
menjadi The Wahid Institute (Kantor Wahid Hasyim).
b. Sumber Sekunder
Sumber sekunder adalah sumber yang dihasilkan oleh orang yang
tidak terlibat atau menyaksikan secara langsung peristiwa yang ditulis.
Diantara beberapa buku yang dijadikan penulis sebagai acuan adalah buku
Muhammad Dahlan, dkk. Sholihah Wahid Hasyim (Muslimah di Garis Depan, Sebuah Biografi), Buku Ali Yahya, Sama Tapi Berbeda.
Jakarta:Yayasan KH. A Wachid Hasyim Pustaka IKAPETE. Buku
Pembahasan mengenai biografi Sholihah yang ada di bukunya
Mohammad Dahlan cukup lengkap, dimana dalam buku tersebut
mengungkapkan sepak terjang Sholihah yang khusus diterbitkan dalam
rangka haul (peringatan wafat) ketujuh Sholihah Wahid Hasyim. Sedangkan dalam penelitian ini lebih ditekankan pada kiprah Sholihah
dalam perpolitikan di Indonesia pada tahun 1957-1987 yang mana
pembahasannya lebih difokuskan pada peran Sholihah dalam perpolitikan
di Indonesia.
c. Sumber Tersier
Yang terdiri dari benda-benda peninggalan masa lalu oleh tokoh
yang bersangkutan yang dapat dijadikan sumber pendukung kegiatan
tokoh dalam perpolitikan. Diantara beberapa sumber yang mendukung
yaitu Surat Keterangan (SK) Sholihah Wahid Hasyim terlibat dalam
perpolitikan pada tahun 1957-1987, Sertifikat-sertifikat Sholihah Wahid
Hasyim, piagam penghargaan yang diberikan kepada Sholihah dan
Foto-foto Sholihah Wahid Hasyim.
2. Kritik Sumber
Yaitu suatu kegiatan untuk meneliti sumber-sumber yang
diperoleh agar memperoleh kejelasan mengenai keabsahan data. Dalam hal
ini ada dua kritik yaitu Kritik intern dan Kritik Ekstern. Mengenai Kritik
Intern adalah suatu upaya yang dilakukan oleh sejarawan untuk melihat
15
adalah kegiatan sejarawan untuk melihat apakah sumber yang didapatkan
autentik atau tidak.20
3. Interpretasi (Penafsiran Data)
Adalah suatu upaya sejarawan untuk melihat kembali tentang
sumber-sumber yang didapatkan apakah sumber-sumber yang didapatkan dan
yang telah diuji autentisitasnya terdapat saling hubungan atau yang satu
dengan yang lain. Dengan demikian sejarawan memberikan penafsiran
terhadap sumber yang telah didapatkan.
4. Historiografi (Penulisan)
Adalah penyusunan atau merekontruksi fakta-fakta yang telah
tersusun yang didapatkan dari penafsiran sejarawan terhadap sumber-sumber
sejarah dalam bentuk tertulis.21
H.Sistematika Pembahasan
Sistematika penulisan dalam penelitan ini disusun untuk mempermudah
pemahaman sehingga dapat menghasilkan pembahasan yang sistematis. Penulisan
penelitian ini dibagi menjadi lima bab, tiap bab terbagi menjadi beberapa sub bab.
Bab I dipaparkan tentang pendahuluan yang berisi latar belakang, rumusan
masalah, tujuan penelitian, manfaat penelitian, pendekatan dan kerangka teori,
penelitian terdahulu, metode penelitian dan sistematika penulisan.
Bab II menjelaskan tentang biografi Sholihah Wachid Hasyim yang
meliputi Geneologi, masa pendidikan, masa membangun rumah tangga, karir
sampai akhir hayat Sholihah Wachid Hasyim.
20
Lilik Zulaicha, Metodologi Sejarah (Surabaya: IAIN Sunan Ampel Surabaya, 2005), 16.
21
Bab III membahas tentang perjuangan Sholihah Wahid Hasyim dalam
perpolitikan di Indonesia 1957-1987. Dalam bab ini meliputi beberapa aktivitas
Sholihah di Muslimat NU, organisasi Sosial sampai organisasi Keagamaan.
Kemudian pembahasan pada Bab IV difokuskan pada kontribusi Sholihah
Wahid Hasyim dalam perpolitikan di Indonesia 1957-1957. Adapun
pembahasannya tentang bagaimana kontribusi Sholihah pada saat menjadi
anggota legislatif daerah tahun 1957-1978 dan anggota legislatif pusat tahun
1978-1987.
Bab V penutup, dalam bab ini berisi kesimpulan hasil penelitian yang
penulis paparkan mulai dari bab II sampai bab IV serta berisi saran-saran penulis
BAB II
BIOGRAFI SHOLIHAH WAHID HASYIM
A.Silsilah
Sholihah Wahid Hasyim adalah salah satu tokoh perempuan yang aktif
dalam politik di Indonesia pada tahun 1950-an. Nama aslinya adalah
Munawwaroh, lahir di Denanyar, Jombang pada 11 Oktober 1922.1 Tetapi
menurut pendapat Abdussalam Shohib, anak ketiga Kiai Bisri dan Nyai Chodijah
tahun dengan kakanya Moeasshomah.2 Sholihah berperan aktif pada masa Ir.
Soekarno dan juga salah satu tokoh perempuan pertama yang berani
membubuhkan tanda tangan untuk pembubaran PKI tahun 1965.
Jika dirinci dari pihak ayah adalah Sholihah binti Syansuri bin Abdul
Shomad.3 Ayah Sholihah, Bisri Syansuri menikah dengan Nur Chodijah (adik dari
kiai Wahab Hasbullah). Dari silsilah di atas dapat dilihat bahwa Sholihah
merupakan campuran darah biru, kalangan priyayi dan darah putih, kalangan kiai.
Dalam hal ini wajar jika Sholihah memiliki bakat, mental, dan perjuangan
orang-orang besar, selain besar perjuangannya juga besar hatinya.
Letak desa kelahiran Sholihah yaitu desa Denanyar berada pada garis
perbatasan antara Jombang dan daerah pedalaman sebelah barat laut.4 Jombang
adalah kota agraris. Sebagian besar penghasilan atau mata pencaharian
1
Muhammad Dahlan, et al, Sholihah A Wahid Hasyim: Muslimah di Garis Depan Sebuah Biografi
(Jakarta: Yayasan K.H.A Wahid Hasyim, 2001), 5.
2
Abdussalam Shohib, Kiai Bisri Syansuri: Tegas Berfiqih, Lentur Bersikap (Jombang: Yayasan
Mamba’ul Ma’arif Pustaka Idea, 2015), 31.
3
Aziz Masyhuri, Al-Maghfurlah K.H.M. Bisri Syansuri: Cita-Cita dan Pengabdiannya
(Surabaya:Al-Ikhlas, 1983), 21.
4
18
penduduknya adalah bertani, khususnya padi. Pada tahun 2002, komoditas padi
digeluti oleh sedikitnya 154.900 orang atau 31 persen dari penduduk usia kerja.
Kondisi alamnya yang subur menjadikan para petani bisa bertahan mencukupi
kebutuhan sehari-harinya dan menempatkan populasi terbesar dan jenis pekerjaan
terbesar di kota tersebut.
Tak kurang dari 42% tanah Jombang dipergunakan untuk areal
persawahan. Letaknya di bagian tengah kabupaten dengan ketinggian 25-100
meter di atas permukaan laut. Lokasi itu ditanami padi dan palawija seperti
jagung, kedelai, kacang tanah, dan kacang hijau. Sebagian tanah di Jombang
adalah perbukitan. Di bagian utara merupakan sentra buah-buahan seperti
mangga, pisang, jambu biji, sawo, pepaya, nangka, dan sirsak. Sementara di
sebelah selatan banyak ditanami tebu, kelapa, kapuk randu, dan jambu mente.
Berdasarkan cerita, kesuburan tanah di Jombang dipengaruhi oleh material
letusan Gunung Kelud yang terbawa arus deras Sungai Brantas dan Sungai
Konton serta sungai-sungai lain yang jumlahnya mencapai 39 buah. Sarana
pengairan pun tergolong memadai. Dari total pengairan yang ada 83,3% adalah
irigasi teknis.5
Kota Jombang dikenal sebagai kota santri atau kota pesantren. Dari kota
inilah lahir dan muncul beberapa kiai dan pesantren yang terkenal. Seperti
pesantren KH. Hasyim Asy’ari, KH. Wahid Hasyim dengan Pesantren Tebuireng,
KH. Wahab Hasbullah dengan Pesantren Tambakberas, KH. Bisri Syansuri
5
19
dengan Pesantren Denanyar, dan Kiai Romli Tamim sebagai tokoh tarekat
Naqsabandiyah.
B. Masa Kecil
Kelahiran Sholihah diliputi oleh suasana perjuangan yang membingkai
alam pikiran rakyat untuk melepaskan diri dari cengkraman penjajah. Sebagai
putri seorang kiai, Sholihah kecil lebih sering berinteraksi dengan warga
pesantren dan orang tuanya. Ia juga telah belajar makna status sosial dari dimensi
prestige (kewibawaan)yang melekat dan diwarisi sejak dilahirkan.6
Sholihah dibesarkan di lingkungan santri pada sebuah keluarga ulama
besar di Jombang. Dia merupakan anak kelima dari 10 bersaudara keluarga KH.
Bisri Syansuri yang beristrikan Nur Chadijah. Ayahnya Bisri Syansuri adalah
seorang ulama besar dan pengasuh pertama Pondok Pesantren Denanyar Jombang,
sedangkan ibunya Nur Chadijah anak dari ulama besar KH. Chasbullah dan juga
merupakan pengasuh pondok putri Pesantren Denanyar milik suaminya Bisri
Syansuri.
Sebagai anak dari pengasuh pondok pesantren, masa kecil Sholihah
mendapatkan pendidikan yang ketat, termasuk keluar pesantren harus ditemani
oleh saudara-saudaranya dan tidak boleh sendirian. Dalam hal pendidikan agama,
seperti membaca Alquran, pengajaran diberikan langsung oleh ayahnya.
Metodologi pemberian pengajaran kiai Bisri kepada anak-anaknya pun relatif
lebih “human”. Sementara sang ibu nyai Chadijah dalam menerapkan pengajaran
pengetahuan diterapkan lebih keras seperti mencubit dan membentak.
6
20
Dalam banyak hal, rasa keingintahuan dan kemauan yang dimiliki
Sholihah sungguh besar dibandingkan dengan saudara-saudara puterinya.7 Hal
inilah yang menyebabkan dirinya tidak jarang melanggar aturan orang tuanya
untuk tidak meninggalkan rumah, keluar dari lokasi pesantren tanpa meminta izin
dan memberitahukan terlebih dahulu maksudnya.
Namun demikian, bukan berarti Munawwaroh selalu pergi setiap hari
untuk keluar dari pesantren, tetapi dia hanya pergi jika memang ada kepentingan
atau ada persoalan yang menurutnya penting untuk dikerjakan. Misalnya, dia
sudah berjanji untuk membuat suatu kegiatan dengan teman-teman perempuannya
yaitu ingin mengahadiri suatu pengajian di luar pesantren, ataupun mau ke pasar
membeli kerudung untuk dibordil, lalu jalan bersama teman-temannya. Untuk
melakukan itu semua, jika harus menunggu izin dari orang tuanya, dalam
pandangan Sholihah akan memakan waktu cukup lama bahkan bisa jadi akan
terlambat atau juga tidak diperbolehkan.
C. Masa Pendidikan
Pendidikan Munawwaroh (Sholihah) kecil betul-betul tidak jauh dari
pesantren. Secara formal ia didik di Madrasah Ibtidaiyah di Pesantren Denanyar
milik ayahnya. Materi-materi yang diajarkan juga tidak jauh dari khazanah Islam
tradisional seperti: Alquran dan Al-Hadits, Tajwid, Nahwu Shorf, Fiqh, ‘Uqud A l-Lujayn, Adab Al-Mar’ah, Nadhom Al-Sullam Al-Saakinah yang semuanya dipelajari dengan menggunakan metode hafalan. Diluar pendidikan formal,
Sholihah juga belajar pelajaran ekstra dari ayahnya, yaitu mengajarkan kembali
7
21
kepada santri-santri putri pada pagi hari materi yang diberikan oleh kiai Bisri
ketika siang hari setelah dhuhur dan malam hari setelah Isya’. Hal ini untuk
mempersiapkan agar bisa menjadi guru bagi santri-santri puteri ditingkat
bawahnya.8
Sejak kecil dalam diri Sholihah sudah tampak tanda-tanda bahwa kelak ia
akan menjadi tokoh yang menonjol dikalangannya, misalnya dalam bakat
kepemimpinan mengatur saudara-saudaranya untuk melakukan pekerjaan tertentu.
Dalam hal ini tidak jarang banyak gagasan yang dimilikinya, diterapkan dan
disosialisasikan kepada teman-teman dan para santri di lingkungan pesantren
milik ayahnya.9
Pada masa Sholihah menginjak remaja, situasi kehidupan masyarakat
diliputi kecemasan. Sebagai seorang remaja yang ruang interaksi sosialnya
semakin meluas menjangkau masyarakat di luar pesantren, Sholihah remaja
mengalami transfer of learning (pandangan hidup yang ditransmisikan) oleh generasi remaja, terutama remaja perempuan kaum santri harus dijauhkan dari
gaya hidup kaum kolonial.
Dalam lingkungan Pesantren Denanyar, keseharian Sholihah juga
memiliki selera budaya, khususnya kepada kesenian. Hal ini berbeda dengan gaya
hidup kaum kolonial maupun yang digemari oleh para penyanyi. Pada saat itu
Sholihah menerima transmisi nilai-nilai budaya masyarakatnya yang terbingkai
oleh pola pemilihan dua pandangan dunia yang antagonistik.
8
Dahlan, et al, Sholihah A Wahid Hasyim: Muslimah di Garis Depan Sebuah Biografi, 14.
9
22
D.Masa Pernikahan
Untuk dasar pertimbangan urusan perjodohan dalam dunia pesantren juga
tidak memiliki kebebasan dalam memilih calon suami. Begitu juga dengan
Sholihah yang dijodohkan dengan seorang laki-laki pilihan KH. Hasyim Asy’ari,
ulama besar pendiri Nahdlatul „Ulama dari Pondok Pesantren Tebuireng. Seorang
Gus yang terpilih adalah Abdurrohim, putra kiai Cholil dari Singosari. Namun,
usia perkawinan mereka tidak lebih dari satu tahun karena Abdurrahim dipanggil
Yang Maha Kuasa.10 Pada saat itu usia Sholihah adalah 14 tahun.11
Pada tahun 1936 M, tepatnya hari Jum’at, 10 Syawal 1356 H, Sholihah
menikah dengan Kiai Wahid Hasyim di Denanyar, Jombang.12 Dalam pernikahan
mereka, ada peristiwa menarik, baik sebelumnya maupun pada saat
pelaksanaannya. Walaupun Sholihah dan Wahid Hasyim tidak pernah bertemu
sebelumnya, namun mereka sudah saling mengetahui. Tentu hal ini wajar karena
masing-masing merupakan anak dari tokoh terkenal, sehingga setidaknya mereka
pernah mendengar nama masing-masing.
Pada suatu acara, Sholihah dan Wahid bertemu secara tak sengaja dan
dengan kejadian yang lucu. Ketika itu Wahid Hasyim bersama ibunya datang ke
tempat salah satu keluarga KH. Hasyim Asy’ari yang mendapat musibah
kematian. Kebetulan Sholihah juga hadir bersama saudaranya mewakili ibunya
yang tidak bisa hadir. Setelah jenazah dimakamkan, Wahid menunggu ibunya di
mobil untuk pulang ke rumah. Pada saat bersamaan Sholihah juga hendak pulang,
10
Shohib, Kiai Bisri Syansur: Tegas Berfiqih, Lentur Bersikap, 119.
11
Yahya, Sama Tapi Berbeda: Potret Keluarga Besar K.H. A. Wachid Hasyim, 52.
12
23
menyangka bahwa mobil yang ada di depannya adalah milik kakeknya, Kiai
Chasbullah, padahal mobil tersebut adalah mobil Wahid Hasyim beserta keluarga.
Sholihah mengira bahwa orang yang duduk di dalam mobil adalah Jayus, sopir
kakeknya. Sholihah memanggil-manggil nama Jayus dan memintanya untuk
mengantarnya pulang. Betapa terkejutnya Sholihah ketika menyadari bahwa ia
memanggil orang yang salah. Seketika itu juga ia berlari menjauhi mobil itu.
Beberapa saat kemudian, Wahid menanyakan kepada Jayus identitas Sholihah
yang pergi menjauhinya. Jayus menjelaskan bahwa perempuan itu adalah
Sholihah, anak Kiai Bisri Syansuri.13
Tetapi dalam bukunya Nugroho Dewanto, awal pertemuan antara Sholihah
dengan Wahid Hasyim dimulai pada saat Wahid menyaksikan Sholihah
membekap tempayan berisi air dipinggangnya. Sholihah ketika itu sedang
membantu para perempuan dewasa mencuci piring di dapur. Dari sana pesona
kebersahajaan Sholihah memikat Wahid Hasyim.14 Wahid Hasyim pertama kali
melihat Sholihah dari kejauhan. Sholihah sebetulnya tak cantik tetapi seperti ada
dalam diri Sholihah yang membuat Wahid terpesona. Keesokan harinya, Wahid
Hasyim menemui Bisri Syansuri dan melamar Sholihah. Waktu itu usia Sholihah
belum genap 16 tahun, tetapi pada masa itu, gadis seusia Sholihah sudah pantas
naik pelaminan.
Pernikahan antara Sholihah dan Wahid Hasyim tidak bisa dilangsungkan
segera. Secara kebetulan ketika Wahid melakukan lamaran, waktunya bersamaan
datangnya bulan Ramadhan. Pernikahan mereka kemudian diselenggarakan pada
13
Yahya, Sama Tapi Berbeda: Potret Keluarga Besar K.H. A. Wachid Hasyim, 52-53.
14
24
10 Syawal 1356 H.15 Kemudian, pada saat prosesi pernikahan, Kiai Wahid
Hasyim (mempelai lelaki) berangkat sendiri ke Denanyar, Kiai Wahid datang
hanya berlengan pendek dan bersarung. Tidak ada yang mengiringinya. Hal ini
bukan karena tidak ada yang mau mengantar, akan tetapi Kiai Wahid sendiri yang
meninggalkan pengiringnya di belakang.16 Ketika pengiring sampai di tempat
acara, para undangan yang hadir telah menyelesaikan makannya. Wahid Hasyim
tidak terpengaruh dengan “gonjang-ganjing” yang menimpa orang tua dan
saudara-saudaranya di Tebuireng. Sikapnya menunjukkan seolah-olah tidak
terjadi apa-apa.
E.Masa Berumah Tangga
Setelah menikah, Sholihah dan Wahid Hasyim hanya tinggal 10 hari di
Denanyar, lalu tahun itu juga (1356 H atau 1938 M) pindah ke Tebuireng, dan
menetap di sana sampai tahun 1942 dalam zaman pendudukan Jepang.17 Namun,
sesekali ia menyempatkan diri pulang ke Denanyar. Hal itu biasanya ia lakukan
pada hari Jumat, baik diantar oleh suaminya ataupun pembantunya. Jika pulang, ia
bahkan masih meluangkan waktunya untuk mengajar para santri Denanyar
maupun adik-adiknya sendiri. Kepindahan Sholihah ke Tebuireng tampaknya
menjadi awal baginya untuk menapaki kehidupan dunianya yang baru.
Di Tebuireng, waktu yang dimiliki Sholihah banyak dihabiskan oleh
keluarga. Ia tidak mengajar sebagaimana yang dilakukannya di Denanyar, karena
pesantren Tebuireng hanya menerima santri laki-laki. Selain untuk keluarganya,
15
Yahya, Sama Tapi Berbeda: Potret Keluarga Besar K.H. A. Wachid Hasyim, 53.
16
A. Mubarok Yasin dan Fathurrahman Karyadi, Profil Pesantren Tebuireng (Jombang:Pustaka Tebuireng, 2011), 71.
17
25
waktu sehari-harinya digunakan untuk membantu mertuanya dan juga
mengembangkan ilmunya dengan mengaji kepada suaminya. Menikah dengan
Wahid Hasyim, bagi Sholihah seperti membuka jendela untuk melihat pesona
kehidupan. Ia semula hanya mengenal perlengkapan sederhana untuk
membersihkan gigi, kemudian bisa menikmati enaknya pasta gigi karena
diajarkan oleh suaminya.18
Sebagai menantu dari pengasuh pesantren dan tokoh yang sangat dikenal,
yaitu KH. Hasyim Asy’ari dan juga karena Sholihah dan Wahid tinggal satu atap
bersama dengan mertuanya di Tebuireng maka kewajiban Sholihah adalah
membantu melayani para tamu seperti menghidangkan makan dan minum. Tetapi
hal itu dilakukan Sholihah jika tenaga pembantu yang ada masih kurang untuk
melayani kebutuhan mereka.
Seperti yang banyak terjadi pada masalah berumah tangga, hidup bersama
mertua tampaknya juga menjadi persoalan tersendiri bagi Sholihah. Ia mengalami
banyak kesukaran-kesukaran. Kepada teman akrabnya Asmah Sjahruni, ia pernah
bercerita bahwa apa yang pernah dialaminya selama hidup bersama mertuanya
hampir dipastikan tidak bisa ditanggung oleh anak-anak sekarang.19 Katanya,
mereka tidak mungkin, bahkan bisa jadi melarikan diri. Apa saja yang dilakukan
oleh Sholihah tidak pernah lepas dari perhatian dan pengawasan mertuanya.
Semua urusan berada dalam kendali mertuanya, termasuk dalam hal makanan.
18
Dahlan, et al, Sholihah A Wahid Hasyim: Muslimah di Garis Depan Sebuah Biografi, 94.
19
26
Apa yang dimasak oleh Sholihah harus dicicipi terlebih dahulu oleh Mbah Tri
(Ibu dari Wahid Hasyim).20
Untuk kenyamanan Sholihah dalam penyesuaiannya di Tebuireng, maka
Wahid Hasyim mencarikan teman bagi Sholihah, kemudian dipilihnya Abidah21
yang waktu itu sudah memiliki seorang anak. Setiap hari Abidah selalu datang
untuk menemani Sholihah, baik ketika dipanggil ataupun tidak. Tidak lupa juga
Abidah membawa serta anaknya. Dalam perkembangannya kemudian, Abidah
tidak hanya menemani Sholihah saja, tetapi dia juga menjadi teman bertukar
pikiran Sholihah dan juga teman mengajinya kepada Wahid Hasyim.
Selain mendalami kitab-kitab yang berisikan materi-materi Islam
tradisional, sejak di Tebuireng ini Sholihah mulai belajar membaca dan menulis
hurup latin. Dalam hal pengembangan kemampuan ini, dorongan yang diberikan
oleh suaminya sangat besar. Wahid Hasyim tidak hanya mengajarkan bagaimana
membaca dan menulis huruf latin, melainkan selalu membawakan buku-buku dan
majalah bertuliskan huruf latin jika pulang dari bepergian. Selain yang berbahasa
Indonesia, juga bacaan-bacaan dalam bahasa Inggris dan Belanda. Tak jarang juga
majalah dan buku yang berbahasa Jepang ketika kemudian hari Jepang menjajah
Indonesia.
Berkat bimbingan suami tercinta, Sholihah memperoleh kemajuan di
berbagai bidang. Sebelum menikah, ia buta huruf tulisan latin, tetapi sesudah
berumah tangga, ia berubah menjadi seorang yang gemar membaca. Salah satu
majalah yang menjadi kegemaran Sholihah adalah Penyebar Semangat, yaitu
20
Yahya, Sama Tapi Berbeda: Potret Keluarga Besar K.H. A. Wachid Hasyim, 55.
21
27
sebuah majalah yang berbahasa Jawa. Sholihah tergolong otodidak dalam
memahami bidang sosial, politik, dan ekonomi dengan belajar sendiri. Untuk
menambah wawasannya sebagai seorang aktivis, maka beliau menyempatkan diri
mengikuti kursus bahasa Belanda dan Inggris.22
Berbeda ketika di Denanyar, Sholihah tidak punya kesempatan untuk
mengembangkan keterampilannya dalam hal membaca dan menulis huruf latin.
Hal ini dikarenakan semua materi pelajaran yang diajarkan di Denanyar ditulis
dengan bahasa Arab, tidak ada yang memakai huruf latin. Tampaknya ada
kekhawatiran mengapa baca-tulis huruf latin tidak diajarkan di Pesantren
Denanyar waktu itu, yakni karena ada perasaan takut bahwa para santri nantinya
akan menggunakan pengetahuannya tersebut untuk berhubungan dengan lain
jenis. Bahasa terma sekarang, pengasuh Pondok Pesantren Denanyar takut jika
para santrinya pacaran.23
Sholihah dan Wahid Hasyim dikaruniai enam putra, anak pertamanya yaitu
Abdurrahman Wahid Ad-Dakhil atau akrab dipanggil dengan Gus Dur (mantan
Ketua PBNU, mantan Presiden RI ke-4), Aisyah (Ketua Umum PP Muslimat NU
1995-2000), Shalahuddin Al-Ayyubi (Insinyur lulusan ITB, Pengasuh PP
Tebuireng Jombang sesudah Gus Yusuf Hasyim), Umar Wahid (Dokter lulusan
UI), Khadijah (Lyli, sekarang masuk Pengurus Dewan Syuro PKB Pimpinan
Muhaimin Iskandar), dan Hasyim Wahid (Gus Im). Anak pertama Sholihah ini
lahir pada tahun pertama perkawinannya. Wahid Hasyim sebagai ayah, sangat
gembira dengan kehadiran anak pertamanya ini. Hal itu dibuktikan dengan
22
Yahya, Sama Tapi Berbeda: Potret Keluarga Besar K.H. A. Wachid Hasyim, 56.
23
28
memberi nama anaknya Abdurrahman Ad-Dakhil.24 Sebagaimana kita ketahui
bersama, Ad-Dakhil yang diambil dari nama tokoh pahlawan dari dinasti
Umayyah, yang secara harfiah berarti „sang penakluk’. Dalam keterangan sejarah
peradaban Islam, Ad-Dakhil adalah tokoh yang membawa Islam ke Spanyol dan
mendirikan peradaban yang berlangsung di sana selama berabad-abad.
Beberapa bulan setelah kelahiran putera pertamanya di Denanyar,
Sholihah dan Wahid Hasyim pindah dari nDalem Kesepuhan ke nDalem Kulon.25
Kepindahan tersebut membawa pengaruh tersendiri bagi Sholihah. Paling tidak,
kesempatannya untuk melakukan aktivitas diluar rumah tidak mendapatkan
“hambatan moral”. Itulah sebabnya, selama di nDalem Kulon, selain mengurus
kehidupan keluarga dan mengasuh pendidikan anaknya, Sholihah semakin aktif
dalam pengajian-pengajian Muslimat NU yang waktu itu masih bernama NOM
(Nahdlotul Oelama Muslimat).26
Di luar semua kegiatan di atas, Sholihah masih punya waktu untuk
membuka warung yang terletak di bagian belakang rumahnya. Warung tersebut
berfungsi sebagaimana layaknya kantin yang banyak berdiri pada saat ini. Adapun
konsumennya adalah para santri Pondok Pesantren Tebuireng. Keuntungan yang
didapatkan dari menjual tersebut digunakan untuk menghidupi keluarganya.
Bahkan ia masih bisa menyisakan hasil labanya untuk membeli sawah dan
kebutuhan keluarga lainnya. Selain itu, Sholihah juga masih tetap meluangkan
waktunya untuk melayani kebutuhan para tamu, seperti menyiapkan makanan dan
24
Rifa’i, Gus Dur KH. Abdurrahman Wahid: Biografi Singkat (1940-2009), 27.
25
nDalem Kulon adalah salah satu bangunan di kompleks Pesantren tebuireng yang ditempati
keluarga Hasyim Asy’ari. Ia terletak di sebelah Barat (Jawa; Kulon) dalam Dahlan, et al, Sholihah A Wahid Hasyim: Muslimah di Garis Depan Sebuah Biografi, 95-96.
26
29
minuman untuk mertuanya yang datang, jika ia sowan ke nDalem Kesepuhan.
Terutama jika tenaga pembantu yang ada dipandang kurang untuk melayani
kebutuhan mereka.
Sebelum pindah dari nDalem Kesepuhan ke nDalem Kulon, perasaan Sholihah banyak mendapat tekanan dari mertuanya. Namun hal itu segera hilang
ketika ia melahirkan seorang anak laki-laki. Dalam tradisi yang berkembang
waktu itu, melahirkan anak laki-laki yang pertama merupakan suatu kebanggaan
tersendiri. Hati Sholihah sangat senang, terutama ketika ia mengetahui bahwa
mertuanya juga sangat berharap bisa memiliki cucu laki-laki dari anak laki-laki
pertamanya.27
Dari sinilah Sholihah merasa puas karena bisa memenuhi harapan dan baru
diewongke mertuanya. Saat itu Mbah Tri sangat gembira mendengar kabar bahwa isteri putera pertamanya telah melahirkan anak laki-laki. Sekitar pukul 22.00
malam, ia menangis ingin melihat cucunya di Denanyar. Pada malam itu juga
Mbah Tri dibopong oleh Wahid Hasyim untuk naik mobil bersama Aisyah kakak Wahid Hasyim untuk pergi ke Denanyar. Kemudian pada tahun 1939 Nyai
Hasyim (Mbah Tri) meninggal dunia. Dari sini maka tugas-tugas Mbah Tri
diambil alih oleh Sholihah. Tetapi ia hanya melakukan tugas itu selama beberapa
minggu, karena tidak lama kemudian Mbah Nom datang.
27
Waktu itu Mbah Kong (Mbah Hasyim)dan Mbah Tri (Nyai Hasyim) sebenarnya sudah punya cucu laki-laki tetapi dari anak perempuannya. Wahid Hasyim adalah anak laki-laki pertama mereka. Dan memang keduanya berharap bahwa cucu yang kelak akan lahir sebagai anak pertama adalah seorang laki-laki. Harapan tersebut dilatarbelakangi oleh suatu keyakinan bahwa jika kelak anak yang lahir adalah laki-laki, “darah biru” mereka bisa terselamatkan, dalam Dahlan, et al,
30
Selanjutnya, secara berturut-turut adiknya Abdurrahman lahir, seorang
perempuan Aisyah lahir pada Juni 1941, seorang anak laki-laki, Shalahuddin lahir
pada September 1942. Lalu, pada akhir 1944, ketika Gus Dur baru berusia 4
tahun, ia diajak ayahnya, Wahid Hasyim ke Jakarta, adik laki-lakinya, Umar
Wahid lahir pada Januari tahun itu. Sementara, Khodijah (Lyli) dilahirkan pada
bulan Maret 1948. Terakhir, Hasyim Wahid atau Gus Im dilahirkan di Jakarta
pada Oktober 1953.28
F. Membantu Pejuang
Menyinggung beberapa aktivitas yang dilakukan oleh Sholihah ketika
Jepang datang di Indonesia pada tahun 1950 -an untuk mengambil alih kekuasaan
Belanda, ia aktif terlibat dalam Fujinkai antara lain belajar menyanyi, belajar bahasa Jepang, membuat perban dari gedebog untuk P3K (Pertolongan Pertama pada Kecelakaan), membuat obat nyamuk, menanam cabe dan jarak. Selain itu, ia juga aktif membuka ranting-ranting NOM baru di lingkungan Tebuireng, yakni di
Kecamatan Diwek.
Aktivitas Sholihah dalam berbagai kegiatan di atas tidak menjadi halangan
untuk memperhatikan kehidupan keluarganya. Meskipun pada saat yang sama ia
juga sering ditinggal pergi suaminya, namun perhatiannya terhadap
perkembangan anak-anaknya tidak terabaikan. Selain menerapkan jiwa pesantren,
ia juga sangat disiplin mendidik putera-puterinya. Misalnya, ia tidak segan-segan
untuk memukul anak-anaknya dengan sisir ataupun penggaris, jika mereka tidak
28
31
mau belajar, terutama sekali belajar membaca alquran. Demikian juga akan
dilakukan jika anak-anaknya meninggalkan kewajiban shalat.29
Sebagai istri seorang tokoh nasional, Sholihah ikut memainkan peran yang
sangat penting. Ketika suatu hari suaminya datang membawa setumpuk dokumen
rahasia dan dalam keadaan dikejar Belanda, Sholihah segera mengambilnya.
Untuk menghindari kecurigaan, ia membawa dokumennya ke tempat pencucian
pakaian, lalu mendudukinya sambil mencuci. Ia bahkan harus berpura-pura
menjadi babu (pembantu).
Bersuamikan seorang pejuang menjadikan Sholihah (Ibu Wahid) memiliki
jiwa pejuang. Semasa perang mempertahankan kemerdekaan (1945-1949), ia
ambil bagian kurir yang bertugas mengirimkan bahan makanan atau pesan-pesan
ke garis depan di Mojokerto, Krian dan Jombang. Sholihah sangat lincah dalam
hal menyusup ke kancah pertempuran yang berbahaya. Maka dari itu tidak heran
jika pada masa tuanya beliau sangat gesit melakukan berbagai aktivitas.30
Dalam bukunya Muhammad Rifa’i dijelaskan bahwa karena kesibukan
dalam dunia politik, tak jarang sholihah menggerutu karena kehidupan keluarga
menjadi terbengkalai. Hal ini berkaitan dengan ekonomi penopang hidup keluarga
saat itu. Dari sini kemudian Sholihah berinisiatif berjualan kue-kue kecil dan
permen di depan rumahnya di Jombang untuk mendapat uang dan dapat
mencukupi kebutuhan sehari-hari.
Kehidupan rumah tangga Sholihah saat di rumah juga seperti halnya
rumah tangga orang lainnya yaitu tak jarang terjadi cekcok antara Sholihah dan
29
Dahlan, et al, Sholihah A Wahid Hasyim: Muslimah di Garis Depan Sebuah Biografi, 32.
30
32
Wahid, terutama karena aktivitas politik. Akibatnya, banyak waktu untuk keluarga
tersita. Pada saat itu, biasanya Wahid Hasyim sering mengajak anak-anaknya
untuk berekreasi.31
G. Pindah ke Jakarta
Pada tahun 1944, Ibu Wahid pindah ke Jakarta, mengikuti suaminya yang
menjadi anggota legislatif. Akan tetapi ia di sana hanya bertahan enam bulan.
Karena panggilan Hasyim Asy’ari keduanya kembali ke Jombang untuk mengurus
pesantren Tebuireng. Namun, tahun 1950 untuk kedua kalinya Sholihah ke Jakarta
mengikuti Wahid Hasyim yang diangkat menjadi menteri agama. Meskipun
demikian, aktivitas Sholihah di Muslimat tidak berhenti. Bahkan, ia menjadi salah
seorang tokoh yang membesarkan Muslimat di Jakarta. Aktivitas Sholihah inilah
yang menjadi faktor dirinya terpilih menjadi anggota DPRD mewakili NU, dan
terus berlanjut ketika ia terpilih sebagai anggota DPR Gotong Royong mewakili
partai yang sama.
Pada awal 1950-an, meskipun sudah tinggal di Jakarta, Sholihah tidak
melupakan kampung halamannya. Dalam waktu tertentu ia menyempatkan diri
pulang kampung. Jika berada di Jombang, ia masih meluangkan waktu untuk
memberikan ceramah dalam pengajian.
Kehidupan yang harmonis dan bahagia yang dijalani Sholihah bersama
suami dan anak-anaknya ternyata tidak berlangsung lama. Suasana kebersamaan
dalam keluarga Wahid Hasyim itu hanya berlangsung tiga tahun, karena pada
tahun 1953 suaminya wafat dalam kecelakaan lalu lintas di daerah Cimindi, suatu
31
33
tempat antara Bandung dan Cimahi, Jawa Barat. Ketika peristiwa itu terjadi,
Sholihah berumur 30 tahun, telah memiliki 5 orang anak yang masih kecil-kecil
dan tengah mengandung anaknya yang nomor enam. Usia kandungannya saat itu
baru berusia 3 bulan. Kelima anaknya yang masih kecil-kecil antara lain:
Abdurrahman yang berusia 14 tahun dan baru tamat SD, Aisyah 12 tahun kelas 5
SD, Salahuddin 10 tahun kelas 3 SD, kemudian Umar Faruq 8 tahun kelas 2 SD,
dan Lily Chadijah 5 tahun yang masih duduk di TK.32
Sepeninggal suaminya, Sholihah tetap gigih dan bersemangat dalam
mempertahankan keutuhan keluarganya dan mendidik anak-anaknya. Semangat
dan kegigihan Sholihah inilah yang sangat menentukan perjalanan kehidupan
anak pertamanya, Abdurrahman Wahid, hingga berhasil menjadi seorang
presiden. Walaupun ayahnya Bisri Syansuri menginginkan agar Sholihah dan
anak-anaknya kembali ke Jombang, tetapi Sholihah bertekad kuat untuk
mempertahankan keutuhan keluarganya dan merawat anak-anaknya di Jakarta.
Sampai ia bertekad “Kalau perlu, jualan gado-gado”, tutur Sholihah untuk tetap
mempertahankan hidup di Jakarta.33
Karena belum mendapatkan penghasilan, maka Sholihah terpaksa harus
menjual barang-barang miliknya peninggalan dari almarhum suaminya. Langkah
selanjutnya yang dilakukan Sholihah adalah berbisnis. Sholihah memasok
kebutuhan beras para pegawai Departemen Agama. Jual beli mobil juga
dilakukannya. Selain itu, ia juga berbisnis batu, pasir, dan bambu di Tanjung
Priok. Hal ini dilakukannya karena waktu itu tidak banyak kalangan dari pribumi
32
Yahya, Sama Tapi Berbeda, 59.
33
34
yang mau jadi pedagang. Saat berbisnis Sholihah juag tidak menggunakan nama
besar suaminya, istilah sekarang adalah melakukan kolusi dan nepotisme.
Sebagai seorang ibu yang juga berbisnis, tetapi Sholihah tidak melupakan
tanggung jawabnya kepada anak-anaknya. Ia sangat disiplin menerapkan
pendidikan kepada mereka. Jika salah seorang dari anaknya mengabaikan
kewajiban mereka seperti Shalat dan ngaji maka Sholihah tidak segan-segan akan
memukul mereka dengan penggaris ataupun sisir.
Walaupun Ibu Wahid dalam hal-hal tertentu berlaku keras, namun ia
memperlakukan anak-anaknya dengan penuh kasih sayang, kehangatan dan
egaliter. Pendidikan yang ditanam kepada anak-anaknya seperti kemandirian,
tidak menggantungkan diri pada orang lain, berusaha keras serta berjuang sendiri
bertujuan agar mereka menjadi orang-orang besar yang besar hati tetapi tidak
sombong. Maka dari itu, mereka harus dibekali ilmu pengetahuan yang cukup.34
H. Karir
Setelah kepergian Wahid Hasyim, Sholihah tidak mau pulang ke Jombang
karena wasiat dari suaminya beliau disuruh untuk melanjutkan perjuangan dengan
membesarkan Muslimat NU Jakarta. Ia pernah menjadi anggota Muslimat NU
Gambir (1950), Ketua Muslimat NU Matraman (1954), Ketua Muslimat NU DKI
Jaya (1956), hingga Ketua I Pimpinan Pusat Muslimat NU tahun 1959 sampai
meninggal. Saat NU berfusi dalam PPP, ia menjadi anggota legislatif
(1978-1987). Selain itu, beliau juga aktif dalam beberapa kegiatan sosial kemasyarakatan
yaitu Yayasan Dana Bantuan sejak 1958 sampai akhir hayat. Mendirikan Ikatan
34
35
Keluarga Pahlawan Nasional (1974), serta Panti Harapan Remaja di Jakarta Timur
(1976).35
Dalam bidang kegiatan keagamaan, Nyai Sholihah mendirikan Yayasan
Kesejahteraan Muslimat NU (1963), Lembaga Kemaslahatan Keluarga NU
(1978), pengajian Al-Islah (1963), Lembaga Penyantun Lanjut Usia (1976) yang
kemudian diubah menjadi Pusat Santunan dalam Keluarga (Pusaka), serta Majelis
Taklim Masjid Jami Matraman.
Sholihah juga aktif bersama Ibu Mahmudah Mawardi dan Asmah
Syahroni, mendirikan Rumah Bersalin Muslimat (RBM), Balai Kesejahteraan Ibu
dan Anak (BKIA) Muslimat, Panti Asuhan Muslimat, Klinik Keluarga Berencana
(KB) dan memberikan beasiswa kepada putera-puteri NU terlantar, serta
mengunjungi panti sosial. Sholihah juga aktif di perkumpulan Yayasan Bunga
Kamboja tahun 1960,36 sebuah organisasi sosial yang menangani jenazah dan
penguburan dengan mengajak Ibu Lasmidjah Hardi (dari kalangan nasionalis), Ibu
Anie Walandaoe (Kristen) dan Mr Hamid Algadri (sosialis). Karena kiprahnya,
sejak 1957 Ibu Sholihah terpilih menjadi Anggota DPRD DKI Jakarta,
DPR-GR/MPRS (1960) DPR/MPR (1971-1987).
Ketika DPR hasil Pemilu 1955 dibubarkan dan diganti DPRGR 1960, Ibu
Wahid mewakili Muslimat NU, ia ditunjuk menjadi salah seorang anggota
DPRGR. Itulah untuk pertama kalinya beliau terlibat dalam kegiatan politik
praktis tingkat nasional. Selanjutnya ia terpilih menjadi anggota DPR tahun 1971
mewakili NU, lalu tahun 1877 dan 1982 mewakili PPP. Selama menjadi anggota
35
Dahlan, et al, Sholihah A Wahid Hasyim: Muslimah di Garis Depan Sebuah Biografi), 50-51.
36
36
dewan, Ibu Wahid tidak termasuk anggota yang hanya datang, duduk, dengar, dan
duit. Sebagai wakil rakyat, ia bekerja dengan penuh kesungguhan dan aktif
memperjuangkan aspirasi konstituennya. Salahuddin Wahid dalam salah satu
tulisannya menuturkan bahwa ibundanya ini sering memintanya mengetik
pandangan-pandangan tentang berbagai hal yang akan disampaikan dalam rapat
dan sidang DPR.
Sebagai anggota legislatif di tingkat pusat, Ibu Wahid punya banyak waktu
untuk berkujung ke darerah-daerah jika DPR sedang reses. Sebelum NU berfusi
ke dalam Partai Persatuan Pembangunan (PPP) dan masih merupakan partai,
teman-temannya di partai sangat homogen, semuanya dari NU. Meskipun Ibu
Wahid merupakan kader PPP dan duduk di DPR mewakili PPP, namun
kehidupannya dalam permainan politik hampir tidak tampak. Ia sering tidak
memperlihatkan sosoknya sebagai seorang „politisi’.37
Keberadaannya di organisasi politik justru lebih banyak memperlihatkan
sosoknya sebagai seorang muslimat yang memegang teguh komitmen moral
keagamaan. Misalnya, saat ia melakukan walk out (meninggalkan rapat sidang) ketika dalam sidang DPR terjadi perbedaan interpretasi terhadap Pasal 29 ayat
1UUD 1945 mengenai aliran kepercayaan. Menurut Ibu Wahid dan
teman-temannya di PPP, agama dan aliran kepercayaan adalah hal yang sama sekali
berbeda substansinya. Agama merupakan ajaran Tuhan yang diturunkan ke dunisa
untuk kesejahteraan manusia, sedangkan aliran kepercayaan adalah produk
37
37
kebudayaan manusia. Satu dan lainnya tak dapat disandingkan dalam satu
kategori.
I. Wafatnya
Ibu Wahid adalah seorang yang memiliki sifat kemandirian dan juga
terbuka, serta berani menyatakan pendapat, pemikiran dan perasaannya.
Terkadang karena terlalu bersemangatnya mengekspresikan dirinya, ia terkesan
kelihatan emosional. Kesan demikian dipengaruhi oleh sikapnya yang tegas dan
keras dalam mempertahankan prinsip. Meskipun demikian, ia juga menghargai
pendapat orang lain, tidak memaksakan kehendak, dan tidak meremehkan siapa
pun.Sampai menjelang wafat, Ibu Wahid tetap aktif dalam kegiatan Muslimat NU
dan aktivitas lain di masyarakat. Ia tetap kelihatan segar dan penuh semangat.
Meskipun harus menggunakan tongkat dan dikawal oleh seorang perawat yang
melayaninya setiap saat, ia tetap menghadiri rapat-rapat organisasi.
Sholihah Wahid Hasyim meninggal dunia pada hari Jum’at tanggal 29
Juli 1994 sekitar pukul 23.00 WIB di Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo Jakarta,
dalam usia 72 tahun, setelah menjalani rawat tinggal selama 17 hari akibat sakit
jantung dan guaa. Dua puluh empat jam menjelang ajal menjemputnya, Ibu Wahid
tidak sadarkan diri karena ada pembuluh darah yang pecah. Ia berada dalam
keadaan koma. Jenazahnya dimakamkan esok harinya sekitar pukul 17.00 di
kompleks pemakaman Tebuireng Jombang.38
38
BAB III
PERJUANGAN DAN KONTRIBUSI SHOLIHAH WAHID HASYIM
DALAM ORGANISASI SOSIAL DAN KEAGAMAAN (1946-1987)
A. Aktivitas di Muslimat NU
Abad ke-20 M (Masehi) adalah abad kebangkitan bangsa-bangsa di dunia.
Bangkitnya bangsa Timur melahirkan pergerakan-pergerakan kemerdekaan di
Indonesia. Gerakan-gerakan kemerdekaan lahir karena kekuasaan Barat yang
masuk sejak awal abad ke-19, mulai mengadakan pembaharuan politik. Kemudian
pada akhir abad ke-19 dan ke-20, kebangkitan yang bersifat perlawanan terhadap
keadaan dan penderitaan, baru bersifat gerakan-gerakan sosial, perkumpulan kecil
serta perkumpulan kedaerahan. Maka abad ke-20 yakni tahun 1908 lahirlah
perkumpulan yang teratur dengan nama Budi Utomo dan tahun 1912 dengan
nama Syarikat Islam.1
Perlawanan tidak hanya diberikan oleh gerakan politisi saja, tetapi yang
terbesar adalah pada kalangan pemimpin agama Islam (alim „ulama). Gema tauhid
dalam pesantren laksana bara yang menyalakan api kebencian terhadap penjajah,
bahkan terhadap apa yang dipakai dan dimakan oleh penjajah. Percikan api dari
pesantren-pesantren ini kemudian hari melahirkan berbagai organisasi sosial
keagamaan, sosial pendidikan, da’wah bahkan perkumpulan ekonomi.
Dalam hal ini, kalangan Ulama memiliki Motto “Kekuatan terdapat dalam
Persatuan”. Dengan motto ini kemudian menjadi sebuah manifestasi kelahiran
organisasi perserikatan alim „ulama yang dipelopori oleh KH. Hasyim Asyari dan
1