• Tidak ada hasil yang ditemukan

KIPRAH SHOLIHAH WAHID HASYIM DALAM PERPOLITIKAN DI INDONESIA 1950-1987.

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "KIPRAH SHOLIHAH WAHID HASYIM DALAM PERPOLITIKAN DI INDONESIA 1950-1987."

Copied!
93
0
0

Teks penuh

(1)

KIPRAH SHOLIHAH WAHID HASYIM DALAM

PERPOLITIKAN DI INDONESIA 1950-1987

SKRIPSI

Diajukan Untuk Memenuhi Sebagian Syarat Memperoleh Gelar Sarjana Dalam Program Strata Satu (S-1) Pada Jurusan Sejarah dan Kebudayaan Islam (SKI)

oleh :

Iin Nur Zulaili

NIM : A0.22.12.057

FAKULTAS ADAB DAN HUMANIORA

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI (UIN)

(2)
(3)
(4)
(5)

ABSTRAK

Skripsi ini berjudul, Kiprah Sholihah Wahid Hasyim dalam Perpolitikan di Indonesia (1950-1987). Adapun penelitian ini difokuskan pada, (1) Bagaimana biografi Sholihah Wahid Hasyim? (2) Bagaimana perjuangannya dalam berbagai organisasi sosial dan keagamaan (1950-1987)? (3) Bagaimana peran Sholihah Wahid Hasyim dalam perpolitikan di Indonesia 1950-1987?.

Untuk menjawab permasalahan di atas penulis menggunakan metode sejarah (historis), yaitu suatu langkah merekonstruksi masa lampau secara sistematis dan objektif dengan cara mengumpulkan, mengkritik, menafsirkan dan mensintesiskan data dalam rangka menegakkan fakta serta kesimpulan yang kuat. Dalam teori penelitian ini menggunakan teori politik dan teori kepemimpinan milik Max Weber yakni teori genetik dan teori sosial.

(6)

ABSTACT

This thesis titled, Gait Sholihah Wahid Hasyim in Politics in Indonesia (1950-1987). As this study focused on: (1) How Sholihah biography Wahid Hasyim? (2) How to struggle in various social and religious organizations (1950-1987)? (3) How Wahid Hasyim Sholihah role in politics in Indonesia from 1950 to 1987 ?.

To answer the above problems the author uses historical method (historical), which is a step in reconstructing the past systematically and objectively by collecting, criticize, interpret and synthesize data in order to establish the facts and conclusions. In this study using the theory of political theory and theories of leadership belongs to Max Weber that the genetic theory and social theory.

(7)

DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL ... i

PERNYATAAN KEASLIAN ... ii

PERSETUJUAN PEMBIMBING ...iii

PENGESAHAN TIM PENGUJI ... iv

PEDOMAN TRANSLITERASI ... v

MOTTO ... vi

PERSEMBAHAN ... vii

ABSTRAK ...viii

KATA PENGANTAR ... x

DAFTAR ISI ... xii

BAB I: PENDAHULUAN A.Latar Belakang Masalah ... 1

B.Rumusan Masalah ... 8

C.Tujuan Penelitian ... 8

D.Kegunaan Penelitian ... 8

E. Pendekatan dan Kerangka Teori ... 9

F. Penelitian Terdahulu ... 10

G.Metode Penelitian ... 12

H.Sistematika Pembahasan ... 15

(8)

B. Masa Kecil ... 19

C. Masa Pendidikan ... 20

D. Masa Pernikahan ... 22

E. Masa Berumah tangga ... 24

F. Membantu Pejuang... 30

G. Pindah ke Jakarta... 32

H. Karir ... 34

I. Wafatnya ... 37

BAB III: PERJUANGAN DAN KONTRIBUSI SHOLIHAH WAHID HASYIM DALAM ORGANISASI SOSIAL DAN KEAGAMAAN (1950-1987) A.Aktivitas di Muslimat NU ... 38

B. Pejuang Pergerakan Wanita ... 46

C.Aktivitas di Lembaga Sosial ... 49

D.Aktivitas di Lembaga Keagamaan ... 55

BAB IV: SHOLIHAH WAHID HASYIM DALAM PERPOLITIKAN DI INDONESIA (1950-1987) A. Sholihah Wahid Hasyim pada masa Orde Lama... 59

1. Sholihah dan Demokrasi Terpimpin ... 60

2. Sholihah dan KAP Gestapu... 65

B. Sholihah pada masa Orde Baru ... 72

(9)

B. Saran ... 81

DAFTAR PUSTAKA.

(10)

BAB I

PENDAHULUAN

A.Latar Belakang Masalah

Seiring dengan berkembangnya zaman dan peradaban manusia,

perempuan selalu termarjinalkan. Hal ini terbukti peran perempuan sangat

dibatasi hanya bisa berkiprah dalam ranah domestik. Perempuan dianggap tidak

mampu masuk dalam dunia politik berbeda dengan laki-laki, laki-laki

dianggap mampu untuk memegang kekuasaan.1

Sebagian orang beranggapan bahwa wanita tidak mempunyai keahlian

untuk ikut serta dalam kegiatan politik, sedangkan sebagian yang lain mengatakan

bahwa wanita memiliki keahlian untuk itu. Walaupun peranan penting dari wanita

itu hanya ada dalam keluarga, janganlah kita lupa bahwa justru rumah tangga

itulah merupakan inti terpentinga daripada masyarakat.2

Dalam hal ini realitas sosial menunjukkan bahwa pada zaman Nabi

terlihat tentang kesetaraan antara laki-laki dan perempuan sama. Di karenakan

pada zaman ini laki-laki dan perempuan di bebaskan dalam berkiprah di

bidang bisnis, pemerintahan dan politik. Sehingga tidak ada perbedaan antara

laki-laki dan perempuan. Agar tidak ada diskriminasi terhadap perempuan

1

Muhammad Anis Qosim Ja’far, Perempuan dan Kekuasaan Menelusuri Hak Politik dan Persoalan Gender dalam Islam, Terj, Irwan Kurniawan dan Abu Muhammad (Jakarta: Zaman Wacana Mulia, 1998), 11.

2

(11)

untuk terjun ke dunia politik, yang selama ini menjadi bentuk penindasan

ideologi dan kultural kepada kaum perempuan.3

Minimnya partisipasi perempuan dalam sektor publik dan banyaknya

kendala perempuan untuk berkecimpung di wilayah politik disebabkan karena

tidak sedikit kaum laki-laki yang beranggapan bahwa kaum perempuan tidak

pantas untuk menduduki wilayah publik. Sebagian laki -laki mengatakan bahwa

politik adalah wilayah yang keras dan hanya layak untuk dimiliki oleh

kaum laki-laki masyarakat pada umumnya juga masih sangat kental

menempatkan laki-laki sebagai pusat kekuasaan sehingga kaum perempuan tidak

diberi kesempatan untuk menempati wilayah publik tersebut.4 Perempuan dan

politik merupakan dua hal yang sangat sulit untuk dibayangkan terutama

untuk negara berkembang. Hal ini disebabkan karena manusia telah dibentuk

oleh budayanya masing-masing bahwa laki-laki berperan di sektor publik dan

perempuan mengambil peran di sektor domestik.5

Selanjutnya, zaman kaum perempuan bergerak di Indonesia dibuka oleh

pikiran Kartini sampai terbangunnya organisasi-organisasi perempuan tahun 1912.

Kegiatan mereka pada awalnya menekankan pendidikan yang membuka

cakrawala kaum perempuan misalnya, memasak, merawat anak, melayani suami,

menjahit dan lain-lain. Lebih jauh dari itu, mereka memberikan pula kesadaran

3

Mansur Faqih, Analisis Gender dan Transformasi Sosial (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1947), 149.

4

Fatima Mernissi dan Riffat Hasan, Setara di Hadapan Allah, Terj. Tim LSPPA (Yogyakarta: LSPPA, 1999), 199.

5

(12)

3

yang belakangan disebut sebagai “emansipasi wanita”, bahwa kaum perempuan

sederajat dengan laki-laki.6

Dikatakan juga oleh Musdah Mulia yang menunjukkan bagaimana

perempuan bisa bergerak dari posisinya sebagai perempuan yang tidak hanya

berkiprah dalam kegiatan rumah tangga, tetapi juga dapat ditunjukkan dengan

keikut sertaan kaum perempuan untuk ikut berkecimpung di wilayah publik

yang mana sampai saat ini dikuasai oleh kaum laki-laki.7

Partisipasi perempuan dalam kegiatan politik di Indonesia secara umum

dapat dilihat dari dua indikator. Pertama, keterlibatan perempuan dalam lembaga

legislatif (DPR dan DPRD). Kedua, kehadiran perempuan sebagai pengambil

keputusan (decision maker) dalam lembaga eksekutif, baik dalam struktur pemerintahan (mulai pemerintahan pusat sampai dengan pemerintahan daerah).

Lembaga legislatif di Indonesia menurut Miriam Budiardjo telah ada sejak

masa pra-kemerdekaan yaitu dibentuknya Volksraad pada tahun 1918.8 Namun demikian, partisipasi politik perempuan di lembaga legislatif baru dimulai pada

tahun 50-an. Untuk memudahkan melihat tingkat partisipasi perempuan dalam

lembaga legislatif, penulis membaginya menjadi dua periode besar, yaitu sebelum

era reformasi dan setelah era reformasi. Partisipasi perempuan dalam lembaga

legislatif sebelum era reformasi meliputi: masa pemerintahan Presiden Soekarno

(Orde Lama: 1955-1959) dan masa pemerintahan Presiden Soeharto atau lebih

dikenal dengan masa Orde Baru (1971-1998).

6

Liza Hadiz, Perempuan dalam Wacana Politik Orde Baru (Jakarta:LP3ES, 2004), 421.

7

Siti Musdah Mulia, Islam Menggugat Poligami (Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 2000), 15.

8

(13)

Partisipasi perempuan Indonesia dalam lembaga legislatif baru dimulai

pada tahun 50-an. Pada saat itu, perempuan yang berhasil menduduki kursi di

DPR periode tahun 1955-1956 baru berjumlah 17 orang atau 6,3% dari total 289

orang Anggota DPR. Jumlah ini secara kuantitas meningkat menjadi 25 orang

pada periode berikutnya, yaitu pada masa Konstituante (1956-1959), tetapi

sebenarnya persentasenya lebih kecil dibanding dengan periode sebelumnya

(5,1%), mengingat pada masa ini jumlah anggota DPR meningkat hampir dua kali

lipat menjadi 513 orang.9

Dalam hal ini penulis kaitkan dengan partisipasi politik perempuan yaitu

dari istri tokoh nasional K.H Wahid Hasyim, Sholihah Wahid Hasyim10 yang

mendobrak anggapan negatif mengenai pandangan bahwa perempuan pesantren

hanya bisa menjadi konco wingking (teman pelengkap) bagi laki-laki saja, termasuk di dunia politik. Ia ingin menyampaikan bahwa perempuan pesantren

tidak kalah bersaing dengan perempuan kota bahkan dengan laki-laki sekalipun.

Keterlibatan seorang perempuan yang terjun ke perpolitikan di Indonesia

membuat penulis sangat tertarik untuk mengakajinya. Seorang perempuan yang

aktif dalam dunia politik pada tahun 1950-an bisa dikatakan seorang pejuang,

pejuang untuk keluarga, masyarakat dan juga negara. Hal ini sebagai bukti sejarah

bahwa seorang perempuan bisa ikut andil berjuang dalam perpolitikan. Salah satu

pejuang aktivis perempuan tersebut adalah Sholihah Wahid Hasyim. Memang

tidak begitu banyak orang yang mengetahui bahwa sebenarnya dahulu Sholihah

(biasa dipanggil Bu Wahid) ini cukup panjang berkecimpung dalam dunia politik.

9

Ibid.,329-330.

10

(14)

5

Nama asli Sholihah adalah Munawwaroh. Beliau lahir di Jombang 11

Oktober 1922.11 Ayahnya adalah Bisri Syansuri dan ibunya bernama Nur

Chadijah. Sholihah adalah salah seorang anak yang sayang disayangi oleh

ayahnya. Sejak kecil beliau dididik dan diberi pengajaran-pengajaran agama dan

bahasa Arab. Memang kelihatan ia seorang gadis yang cakap dan cerdas dan

mempunyai sifat-sifat pemimpin. Cara berfikirnya pun luas dan maju, tertutama

sesudah ia turut memimpin juga di pesantren bagian wanita, yang terdapat di

pesantren Denanyar dalam asuhan ayahnya. Beliau menikah dengan K.H Wahid

hasyim kira-kira berumur 15 tahun.12

Pada tanggal 10 Syawal 1356 H / 1938 M ia dinikahkan dengan Abdul

Wahid Hasyim, putera sulung KH Hasyim Asy’ari dan diboyong ke Tebuireng.

Sejak itulah kehidupan Munawwaroh menapak babak baru dan lebih dikenal

sebagai Ibu Sholihah, atau nyonya Wahid Hasyim. Dalam situasi perang, Sholihah

membantu mendirikan dapur umum di dekat Pabrik Gula Cukir, juga

menyelamatkan dokumen rahasia ketika suaminya dikejar Belanda, termasuk

menyamar menjadi pembantu.

Kemudian sejak Januari 1950, ketika penyerahan kedaulatan kepada

pemerintah RI, Sholihah meninggalkan Jombang mengikuti suaminya yang

dipercaya sebagai Menteri Agama. Namun tiga tahun kemudian, Abdul Wahid

Hasyim meninggal dalam sebuah kecelakaan mobil di Jawa Barat, sementara ia

baru berumur tiga puluh tahun.

11

Muhammad Dahlan, et al, Sholihah A Wahid Hasyim: Muslimah di Garis Depan Sebuah Biografi (Jakarta: Yayasan K.H.A Wahid Hasyim, 2001), 5.

12

(15)

Setelah kepergian Wahid Hasyim, Sholihah tidak mau pulang ke Jombang

karena wasiat dari suaminya beliau disuruh untuk melanjutkan perjuangan dengan

membesarkan Muslimat NU Jakarta. Pada tahun 1950 ia terpilih sebagai anggota

DPRD mewakili NU hingga berfusi ke dalam PPP. Ia juga menjadi anggota

Muslimat NU Gambir (1950), Ketua Muslimat NU Matraman (1954), Ketua

Muslimat NU DKI Jaya (1956), hingga Ketua I Pimpinan Pusat Muslimat NU

tahun 1959 sampai meninggal. Saat NU berfusi dalam PPP, ia menjadi anggota

legislatif (1978-1987). Selain itu, beliau juga aktif dalam beberapa kegiatan sosial

kemasyarakatan yaitu Yayasan Dana Bantuan sejak 1958 sampai akhir hayat.

Mendirikan Ikatan Keluarga Pahlawan Nasional (1974), serta Panti Harapan

Remaja di Jakarta Timur (1976).

Dalam bidang kegiatan keagamaan, Sholihah mendirikan Yayasan

Kesejahteraan Muslimat NU (1963), Lembaga Kemaslahatan Keluarga NU

(1978), pengajian Al-Islah (1963), Lembaga Penyantun Lanjut Usia (1976) yang

kemudian diubah menjadi Pusat Santunan dalam Keluarga (Pusaka), serta Majelis

Taklim Masjid Jami Matraman.

Sholihah juga aktif bersama Ibu Mahmudah Mawardi dan Asmah

Syahroni, mendirikan Rumah Bersalin Muslimat, BKIA Muslimat, Panti Asuhan

Muslimat, Klinik KB dan memberikan beasiswa kepada putera-puteri NU

terlantar, serta mengunjungi panti sosial. Sholihah juga aktif di perkumpulan

“Bunga Kemboja”, sebuah organisasi sosial yang menangani jenazah dan

penguburan dengan mengajak Ibu Lasmidjah Hardi (dari kalangan nasionalis), Ibu

(16)

7

sejak 1957 Ibu Sholihah terpilih menjadi Anggota DPRD DKI Jakarta,

DPR-GR/MPRS (1960) DPR/MPR (1971-1987).

Dari sini penulis ingin mengkaji tentang perjuangan Sholihah Wahid

Hasyim yang berjudul: KIPRAH SHOLIHAH WAHID HASYIM DALAM

PERPOLITIKAN DI INDONESIA (1950-1987). Penelitian tentang studi tokoh

memang sudah lama menarik minat banyak kaum terpelajar karena kepentingan

dan relevansi studi tokoh yang sangat penting untuk dilakukan setiap zaman.13

Diantara alasan penulis mengetahui relevansi pentingnnya penelitian ini adalah

sebagai berikut:

Pertama, karena dengan meneliti mengenai studi tokoh seorang yang memliki peran penting dalam perpolitikan dapat menambah wawasan penulis

untuk bisa terjun ke ranah politik walaupun seorang perempuan.

Kedua, Sholihah Wahid Hasyim dalam perjalanan politiknya di Indonesia

adalah salah satu seorang perempuan yang ikut menandatangani resolusi

pembubaran PKI pada tanggal 30 Oktober 1965 dan menyampaikan kepada

pemegang kekuasaan secara langsung. Hal ini sangat menarik bagi penulis untuk

mengakaji keberanian beliau yang walapun seorang perempuan tetapi sangat

berani menyatakan pendapat kepada seorang penguasa pun. Dari sini juga dapat

dijadikan tempat berpijak untuk memulai gagasan yang lebih besar di masa depan

dari apa yang pernah dipikirkan dan digagaskan tokoh-tokoh terdahulu.

Ketiga, sebagai seleksi validitas perkembangan berbagai penemuan.

Artinya dengan melakukan studi terhadap tokoh-tokoh terdahulu dan

13

(17)

gagasannya, maka di sini peneliti akan dapat mengukur apakah yang dipikirkan

atau digagaskan pemikir kemudian dapat dijadikan sebagai penemuan baru, atau

pun sebagai contoh yang baik bagi generasi selanjutnya.

B.Rumusan Masalah

1. Bagaimana biografi Sholihah Wahid Hasyim?

2. Bagaimana perjuangan Sholihah Wahid Hasyim dalam organisasi sosial dan

keagamaan di Indonesia (1950-1987)?

3. Bagaimana peran dan kontribusi Sholihah Wahid Hasyim dalam perpolitikan di

Indonesia (1957-1987)?

C.Tujuan Penelitian

1. Untuk mengetahui biografi aktivis perempuan Sholihah Wachid Hasyim.

2. Untuk mengetahui perjuangan dan kontribusi Sholihah Wachid Hasyim

dalam perpolitikan di Indonesia pada tahun 1957-1987.

3. Untuk mengetahui faktor Sholihah Wahid Hasyim terjun ke politik.

D.Kegunaan Penelitian

Kegunaan penelitian yang hendak dicapai dari penulisan ini adalah sebagai

berikut:

1. Untuk mengetahui persyaratan meraih gelar strata satu di Fakultas Adab dan

Humaniora jurusan Sejarah dan Kebudayaan Islam.

2. Untuk memberikan informasi mengenai perjuangan partisipasi perempuan

dalam perpolitikan di Indonesia.

3. Untuk tambahan refrensi dan bahan koleksi di perpustakan bagi mahasiswa

(18)

9

E.Pendekatan dan Kerangka Teoritik

Untuk menjelaskan dan menjawab persoalan-persoalan yang menjadi

fokus kajian penelitian skripsi ini, penulis menggunakan pendekatan historis yang

disertai dengan teori kepemimpinan dan teori politik.

Dalam hal ini penulis berusaha mengungkapkan bagaimana riwayat hidup

Sholihah Wahid Hasyim, meliputi pendidikannya, serta posisi dan perannya baik

dalam bidang keagamaan, sosial dan politik. Untuk melengkapi analisis, penulis

juga menggunakan pendekatan sosiologis sebagai alat bantu. Pendekatan sosiologi

dalam hal ini untuk menganalisis segi-segi sosial peristiwa yang dikaji, misalnya

golongan sosial mana yang berperan, serta nilai-nilainya, hubungan dengan

golongan lain, konflik berdasarkan kepentingan, ideologi dan sebagainya.14

Secara umum penelitian ini adalah penelitian historis yang mencoba

menarasikan sejarah Sholihah Wahid Hasyim, yang mana menurut Sartono

Kartodirjo, Naratif adalah sejarah yang mendiskripsikan tentang masa lampau

dengan merekontruksi apa yang terjadi, serta diuraikan sebagai cerita, dengan

perkataan lain, kejadian-kejadian penting diseleksi dan diatur menurut poros

waktu sedemikian sehingga tersusun sebagai cerita.15

Dalam boiografi tersebut dijelaskan secara lengkap kehidupan seorang

tokoh sejak kecil sampai tua, bahkan sampai meninggal dunia. Semua jasa, karya

dan segala hal yang dihasilkan atau dilalukan oleh seorang tokoh.16 Selain itu

14

Sartono Kartodirjo, Pendekatan Ilmu Sosial dalam Metodologi Sejarah (Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 1992), 4.

15

Ibid., 9.

16Bonaditya, “Biografi”, dalam

(19)

penulis juga menggunakan teori kepemimpinan Max Weber seperti dikutip oleh

Sunidhia, yaitu Teori Genetik dan teori Sosial, yaitu:

1. Teori genetik yang menyatakan bahwa pemimpin itu dilahirkan dari keturunan,

tetapi lahir jadi pemimpin oleh bakat-bakat alami yang hebat dan ditakdirkan

menjadi pemimpin dalam situasi dan kondisi apapun.

2. Teori sosial yang menyatakan setiap orang bisa menjadi pemimpin melalui

usaha penyiapan, pendidikan dan pembentukan serta didorong oleh kemajuan

sendiri dan tidak lahir begitu saja atau takdir dari Tuhan semestinya.17

Kemudian penulis juga menggunakan teori politik dimana jika seseorang

menduduki posisi sosial tinggi, memiliki status tinggi, bagi dia ada kesempatan

dan keleluasan memperoleh bagian dari kekuasaan. Tidak hanya itu, bahkan dia

lebih mudah mengambil peranan sebagai pemimpin dan juga menyebarkan

pengaruhnya jika ada sumber sosial budaya untuk melakukan peranannya sebagai

pemimpin.

F. Penelitian Terdahulu

Dalam penelitian terdahulu dari berbagai penelusuran yang telah penulis

lakukan terhadap literature, telah ditemukan berbagai buku dan karya ilmiah yang

terkait dengan pembahasan mengenai peran perempuan berpolitik. Di antaranya

sebagai berikut;

1. Buku Muhammad Dahlan, Sholihah A.Wahid Hasyim: Muslimah di Garis Depan (sebuah Biografi), buku ini membahas tentang seluruh sepak terjang

17

(20)

11

Sholihah Wahid Hasyim yakni mengenai diri, pemikiran, dan langkah kaki

Sholihah dalam menjalankan kehidupannya sejak lahir hingga wafat.

2. Buku Sholahuddin Wahid, Ibuku Inspirasiku (Ibunda Gus Dur dan Gus Sholah), buku ini membahas tentang peranan seorang ibu dalam keluarga khususnya kepada anak-anaknya.

3. Buku Ali Yahya, Sama Tapi Berbeda:Potret Keluarga Besar KH. A. Wahid Hasyim. Jakarta:Yayasan KH. A Wachid Hasyim Pustaka IKAPETE. Buku ini membahas tentang keseluruhan keluarga besar KH. A. Wahid Hasyim.

4. Buku Abdussalam Shohib, Kiai Bisri Syansuri: Tegas Berfikih, Lentur Bersikap, buku ini membahas tentang biografi Kiai Bisri Syansuri beserta semua keturunannya. Tetapi yang spesifik Sholihah hanya sebatas biografi

singkat waktu kecil hingga remaja.

5. Buku Muhammad Rifa’i, Wahid Hasyim, buku ini membahas tentang biografi

Wahid Hasyim, tetapi hanya sedikit dijelaskan juga tentang Sholihah.

6. Buku Sholahuddin Wahid, Ibu Indonesia dalam Kenangan, buku ini membahas tentang perjuangan Sholihah Wahid Hasyim dalam hidupnya dan sukses

mendidik anak-anaknya sesuai bidangnya masing-masing.

Sepanjang yang saya telusuri, skripsi atau tesis atau disertasi yang menulis

tentang Nyai Sholihah Wahid Hasyim belum ada, karya ini baru pertama.

Beberapa judul buku di atas dengan judul skripsi yang peneliti tulis ini berbeda.

Adapun titik fokus yang akan penulis teliti pada penelitian ini adalah tentang

perjuangan dan kontribusi yang berikan oleh Sholihah Wachid Hasyim dalam

(21)

politik Sholihah melewati beberapa aktivitas organisasi sehingga dalam kiprahnya

tersebut beliau masuk dalam perpolitikan di Indonesia yaitu sebagai anggota

legislatif dari tingkat daerah ke tingkat nasional.

Dengan demikian penulis disini tidak akan mengulang kembali seperti

apa yang ditulis oleh Muhammad Dahlan. Tetapi memperjelas dan menguatkan

kembali apa yang telah ditulis oleh Dahlan mengenai Sholihah Wahid Hasyim di

bidang politik dengan memadukan sumber-sumber yang lain termasuk dari tulisan

putranya Sholihah yaitu Sholahuddin Wahid.

G.Metode Penelitian

Untuk tujuan, peneliti menggunakan langkah-langkah sebagai berikut:

1. Heuristik (Pengumpulan Data)

Teknik yang digunakan dalam penulisan ini ialah teknik mencari

dan mengumpulkan data.18 Yaitu suatu proses yang dilakukan oleh peneliti

untuk mengumpulkan sumber-sumber, data-data atau jejak sejarah. Data

yang digunakan berasal dari tiga kategori sumber.19 Yaitu:

a. Sumber Primer:

1) Sumber Tertulis: antara lain adalah karya Nyai Sholihah Wahid Hasyim

sendiri yang di peroleh di Museum NU dalam buku yang berjudul Ibu Kartini Seratus Tahun dan beberapa sumber arsip yang menjelaskan bahwa Sholihah Wahid Hasyim adalah seorang anggota legislatif pada

tahun 1957-1987. Sumber ini diperoleh di dalam beberapa buku

18

Dudung Abdurrahman, Metode Penelitian Sejarah (Jakarta: Logos Wacana Ilmu, 1999), 55.

19

(22)

13

Muhammad Dahlan yang berjudul Sholihah A. Wahid Hasyim

(Muslimah di Garis Depan) Sebuah Biografi.

2) Wawancara: wawancara dengan orang yang sezaman yaitu

putra-putrinya antara lain: Sholahuddin Wahid, Aisyah Hamid Baidlowi,

Umar Wahid, Lily Chodidjah Wahid, sebagian tokoh yang sezaman

seperti Khofifah Indar Parawangsa, dan beberapa teman di anggota

legislatif yang pernah berjuang bersama Sholihah dalam perpolitikan di

Indonesia khususnya pada tahun 1957-1987. Selain itu foto dari rumah

Sholihah bersama suaminya Wahid Hasyim yang ada di Tebuireng

Jombang, rumah yang ada di Denanyar Jombang dan foto rumah yang

ada di Jakarta yaitu Jalan Taman Amir Hamzah No.8 yang sekarang

menjadi The Wahid Institute (Kantor Wahid Hasyim).

b. Sumber Sekunder

Sumber sekunder adalah sumber yang dihasilkan oleh orang yang

tidak terlibat atau menyaksikan secara langsung peristiwa yang ditulis.

Diantara beberapa buku yang dijadikan penulis sebagai acuan adalah buku

Muhammad Dahlan, dkk. Sholihah Wahid Hasyim (Muslimah di Garis Depan, Sebuah Biografi), Buku Ali Yahya, Sama Tapi Berbeda.

Jakarta:Yayasan KH. A Wachid Hasyim Pustaka IKAPETE. Buku

(23)

Pembahasan mengenai biografi Sholihah yang ada di bukunya

Mohammad Dahlan cukup lengkap, dimana dalam buku tersebut

mengungkapkan sepak terjang Sholihah yang khusus diterbitkan dalam

rangka haul (peringatan wafat) ketujuh Sholihah Wahid Hasyim. Sedangkan dalam penelitian ini lebih ditekankan pada kiprah Sholihah

dalam perpolitikan di Indonesia pada tahun 1957-1987 yang mana

pembahasannya lebih difokuskan pada peran Sholihah dalam perpolitikan

di Indonesia.

c. Sumber Tersier

Yang terdiri dari benda-benda peninggalan masa lalu oleh tokoh

yang bersangkutan yang dapat dijadikan sumber pendukung kegiatan

tokoh dalam perpolitikan. Diantara beberapa sumber yang mendukung

yaitu Surat Keterangan (SK) Sholihah Wahid Hasyim terlibat dalam

perpolitikan pada tahun 1957-1987, Sertifikat-sertifikat Sholihah Wahid

Hasyim, piagam penghargaan yang diberikan kepada Sholihah dan

Foto-foto Sholihah Wahid Hasyim.

2. Kritik Sumber

Yaitu suatu kegiatan untuk meneliti sumber-sumber yang

diperoleh agar memperoleh kejelasan mengenai keabsahan data. Dalam hal

ini ada dua kritik yaitu Kritik intern dan Kritik Ekstern. Mengenai Kritik

Intern adalah suatu upaya yang dilakukan oleh sejarawan untuk melihat

(24)

15

adalah kegiatan sejarawan untuk melihat apakah sumber yang didapatkan

autentik atau tidak.20

3. Interpretasi (Penafsiran Data)

Adalah suatu upaya sejarawan untuk melihat kembali tentang

sumber-sumber yang didapatkan apakah sumber-sumber yang didapatkan dan

yang telah diuji autentisitasnya terdapat saling hubungan atau yang satu

dengan yang lain. Dengan demikian sejarawan memberikan penafsiran

terhadap sumber yang telah didapatkan.

4. Historiografi (Penulisan)

Adalah penyusunan atau merekontruksi fakta-fakta yang telah

tersusun yang didapatkan dari penafsiran sejarawan terhadap sumber-sumber

sejarah dalam bentuk tertulis.21

H.Sistematika Pembahasan

Sistematika penulisan dalam penelitan ini disusun untuk mempermudah

pemahaman sehingga dapat menghasilkan pembahasan yang sistematis. Penulisan

penelitian ini dibagi menjadi lima bab, tiap bab terbagi menjadi beberapa sub bab.

Bab I dipaparkan tentang pendahuluan yang berisi latar belakang, rumusan

masalah, tujuan penelitian, manfaat penelitian, pendekatan dan kerangka teori,

penelitian terdahulu, metode penelitian dan sistematika penulisan.

Bab II menjelaskan tentang biografi Sholihah Wachid Hasyim yang

meliputi Geneologi, masa pendidikan, masa membangun rumah tangga, karir

sampai akhir hayat Sholihah Wachid Hasyim.

20

Lilik Zulaicha, Metodologi Sejarah (Surabaya: IAIN Sunan Ampel Surabaya, 2005), 16.

21

(25)

Bab III membahas tentang perjuangan Sholihah Wahid Hasyim dalam

perpolitikan di Indonesia 1957-1987. Dalam bab ini meliputi beberapa aktivitas

Sholihah di Muslimat NU, organisasi Sosial sampai organisasi Keagamaan.

Kemudian pembahasan pada Bab IV difokuskan pada kontribusi Sholihah

Wahid Hasyim dalam perpolitikan di Indonesia 1957-1957. Adapun

pembahasannya tentang bagaimana kontribusi Sholihah pada saat menjadi

anggota legislatif daerah tahun 1957-1978 dan anggota legislatif pusat tahun

1978-1987.

Bab V penutup, dalam bab ini berisi kesimpulan hasil penelitian yang

penulis paparkan mulai dari bab II sampai bab IV serta berisi saran-saran penulis

(26)

BAB II

BIOGRAFI SHOLIHAH WAHID HASYIM

A.Silsilah

Sholihah Wahid Hasyim adalah salah satu tokoh perempuan yang aktif

dalam politik di Indonesia pada tahun 1950-an. Nama aslinya adalah

Munawwaroh, lahir di Denanyar, Jombang pada 11 Oktober 1922.1 Tetapi

menurut pendapat Abdussalam Shohib, anak ketiga Kiai Bisri dan Nyai Chodijah

tahun dengan kakanya Moeasshomah.2 Sholihah berperan aktif pada masa Ir.

Soekarno dan juga salah satu tokoh perempuan pertama yang berani

membubuhkan tanda tangan untuk pembubaran PKI tahun 1965.

Jika dirinci dari pihak ayah adalah Sholihah binti Syansuri bin Abdul

Shomad.3 Ayah Sholihah, Bisri Syansuri menikah dengan Nur Chodijah (adik dari

kiai Wahab Hasbullah). Dari silsilah di atas dapat dilihat bahwa Sholihah

merupakan campuran darah biru, kalangan priyayi dan darah putih, kalangan kiai.

Dalam hal ini wajar jika Sholihah memiliki bakat, mental, dan perjuangan

orang-orang besar, selain besar perjuangannya juga besar hatinya.

Letak desa kelahiran Sholihah yaitu desa Denanyar berada pada garis

perbatasan antara Jombang dan daerah pedalaman sebelah barat laut.4 Jombang

adalah kota agraris. Sebagian besar penghasilan atau mata pencaharian

1

Muhammad Dahlan, et al, Sholihah A Wahid Hasyim: Muslimah di Garis Depan Sebuah Biografi

(Jakarta: Yayasan K.H.A Wahid Hasyim, 2001), 5.

2

Abdussalam Shohib, Kiai Bisri Syansuri: Tegas Berfiqih, Lentur Bersikap (Jombang: Yayasan

Mamba’ul Ma’arif Pustaka Idea, 2015), 31.

3

Aziz Masyhuri, Al-Maghfurlah K.H.M. Bisri Syansuri: Cita-Cita dan Pengabdiannya

(Surabaya:Al-Ikhlas, 1983), 21.

4

(27)

18

penduduknya adalah bertani, khususnya padi. Pada tahun 2002, komoditas padi

digeluti oleh sedikitnya 154.900 orang atau 31 persen dari penduduk usia kerja.

Kondisi alamnya yang subur menjadikan para petani bisa bertahan mencukupi

kebutuhan sehari-harinya dan menempatkan populasi terbesar dan jenis pekerjaan

terbesar di kota tersebut.

Tak kurang dari 42% tanah Jombang dipergunakan untuk areal

persawahan. Letaknya di bagian tengah kabupaten dengan ketinggian 25-100

meter di atas permukaan laut. Lokasi itu ditanami padi dan palawija seperti

jagung, kedelai, kacang tanah, dan kacang hijau. Sebagian tanah di Jombang

adalah perbukitan. Di bagian utara merupakan sentra buah-buahan seperti

mangga, pisang, jambu biji, sawo, pepaya, nangka, dan sirsak. Sementara di

sebelah selatan banyak ditanami tebu, kelapa, kapuk randu, dan jambu mente.

Berdasarkan cerita, kesuburan tanah di Jombang dipengaruhi oleh material

letusan Gunung Kelud yang terbawa arus deras Sungai Brantas dan Sungai

Konton serta sungai-sungai lain yang jumlahnya mencapai 39 buah. Sarana

pengairan pun tergolong memadai. Dari total pengairan yang ada 83,3% adalah

irigasi teknis.5

Kota Jombang dikenal sebagai kota santri atau kota pesantren. Dari kota

inilah lahir dan muncul beberapa kiai dan pesantren yang terkenal. Seperti

pesantren KH. Hasyim Asy’ari, KH. Wahid Hasyim dengan Pesantren Tebuireng,

KH. Wahab Hasbullah dengan Pesantren Tambakberas, KH. Bisri Syansuri

5

(28)

19

dengan Pesantren Denanyar, dan Kiai Romli Tamim sebagai tokoh tarekat

Naqsabandiyah.

B. Masa Kecil

Kelahiran Sholihah diliputi oleh suasana perjuangan yang membingkai

alam pikiran rakyat untuk melepaskan diri dari cengkraman penjajah. Sebagai

putri seorang kiai, Sholihah kecil lebih sering berinteraksi dengan warga

pesantren dan orang tuanya. Ia juga telah belajar makna status sosial dari dimensi

prestige (kewibawaan)yang melekat dan diwarisi sejak dilahirkan.6

Sholihah dibesarkan di lingkungan santri pada sebuah keluarga ulama

besar di Jombang. Dia merupakan anak kelima dari 10 bersaudara keluarga KH.

Bisri Syansuri yang beristrikan Nur Chadijah. Ayahnya Bisri Syansuri adalah

seorang ulama besar dan pengasuh pertama Pondok Pesantren Denanyar Jombang,

sedangkan ibunya Nur Chadijah anak dari ulama besar KH. Chasbullah dan juga

merupakan pengasuh pondok putri Pesantren Denanyar milik suaminya Bisri

Syansuri.

Sebagai anak dari pengasuh pondok pesantren, masa kecil Sholihah

mendapatkan pendidikan yang ketat, termasuk keluar pesantren harus ditemani

oleh saudara-saudaranya dan tidak boleh sendirian. Dalam hal pendidikan agama,

seperti membaca Alquran, pengajaran diberikan langsung oleh ayahnya.

Metodologi pemberian pengajaran kiai Bisri kepada anak-anaknya pun relatif

lebih “human. Sementara sang ibu nyai Chadijah dalam menerapkan pengajaran

pengetahuan diterapkan lebih keras seperti mencubit dan membentak.

6

(29)

20

Dalam banyak hal, rasa keingintahuan dan kemauan yang dimiliki

Sholihah sungguh besar dibandingkan dengan saudara-saudara puterinya.7 Hal

inilah yang menyebabkan dirinya tidak jarang melanggar aturan orang tuanya

untuk tidak meninggalkan rumah, keluar dari lokasi pesantren tanpa meminta izin

dan memberitahukan terlebih dahulu maksudnya.

Namun demikian, bukan berarti Munawwaroh selalu pergi setiap hari

untuk keluar dari pesantren, tetapi dia hanya pergi jika memang ada kepentingan

atau ada persoalan yang menurutnya penting untuk dikerjakan. Misalnya, dia

sudah berjanji untuk membuat suatu kegiatan dengan teman-teman perempuannya

yaitu ingin mengahadiri suatu pengajian di luar pesantren, ataupun mau ke pasar

membeli kerudung untuk dibordil, lalu jalan bersama teman-temannya. Untuk

melakukan itu semua, jika harus menunggu izin dari orang tuanya, dalam

pandangan Sholihah akan memakan waktu cukup lama bahkan bisa jadi akan

terlambat atau juga tidak diperbolehkan.

C. Masa Pendidikan

Pendidikan Munawwaroh (Sholihah) kecil betul-betul tidak jauh dari

pesantren. Secara formal ia didik di Madrasah Ibtidaiyah di Pesantren Denanyar

milik ayahnya. Materi-materi yang diajarkan juga tidak jauh dari khazanah Islam

tradisional seperti: Alquran dan Al-Hadits, Tajwid, Nahwu Shorf, Fiqh, ‘Uqud A l-Lujayn, Adab Al-Mar’ah, Nadhom Al-Sullam Al-Saakinah yang semuanya dipelajari dengan menggunakan metode hafalan. Diluar pendidikan formal,

Sholihah juga belajar pelajaran ekstra dari ayahnya, yaitu mengajarkan kembali

7

(30)

21

kepada santri-santri putri pada pagi hari materi yang diberikan oleh kiai Bisri

ketika siang hari setelah dhuhur dan malam hari setelah Isya’. Hal ini untuk

mempersiapkan agar bisa menjadi guru bagi santri-santri puteri ditingkat

bawahnya.8

Sejak kecil dalam diri Sholihah sudah tampak tanda-tanda bahwa kelak ia

akan menjadi tokoh yang menonjol dikalangannya, misalnya dalam bakat

kepemimpinan mengatur saudara-saudaranya untuk melakukan pekerjaan tertentu.

Dalam hal ini tidak jarang banyak gagasan yang dimilikinya, diterapkan dan

disosialisasikan kepada teman-teman dan para santri di lingkungan pesantren

milik ayahnya.9

Pada masa Sholihah menginjak remaja, situasi kehidupan masyarakat

diliputi kecemasan. Sebagai seorang remaja yang ruang interaksi sosialnya

semakin meluas menjangkau masyarakat di luar pesantren, Sholihah remaja

mengalami transfer of learning (pandangan hidup yang ditransmisikan) oleh generasi remaja, terutama remaja perempuan kaum santri harus dijauhkan dari

gaya hidup kaum kolonial.

Dalam lingkungan Pesantren Denanyar, keseharian Sholihah juga

memiliki selera budaya, khususnya kepada kesenian. Hal ini berbeda dengan gaya

hidup kaum kolonial maupun yang digemari oleh para penyanyi. Pada saat itu

Sholihah menerima transmisi nilai-nilai budaya masyarakatnya yang terbingkai

oleh pola pemilihan dua pandangan dunia yang antagonistik.

8

Dahlan, et al, Sholihah A Wahid Hasyim: Muslimah di Garis Depan Sebuah Biografi, 14.

9

(31)

22

D.Masa Pernikahan

Untuk dasar pertimbangan urusan perjodohan dalam dunia pesantren juga

tidak memiliki kebebasan dalam memilih calon suami. Begitu juga dengan

Sholihah yang dijodohkan dengan seorang laki-laki pilihan KH. Hasyim Asy’ari,

ulama besar pendiri Nahdlatul „Ulama dari Pondok Pesantren Tebuireng. Seorang

Gus yang terpilih adalah Abdurrohim, putra kiai Cholil dari Singosari. Namun,

usia perkawinan mereka tidak lebih dari satu tahun karena Abdurrahim dipanggil

Yang Maha Kuasa.10 Pada saat itu usia Sholihah adalah 14 tahun.11

Pada tahun 1936 M, tepatnya hari Jum’at, 10 Syawal 1356 H, Sholihah

menikah dengan Kiai Wahid Hasyim di Denanyar, Jombang.12 Dalam pernikahan

mereka, ada peristiwa menarik, baik sebelumnya maupun pada saat

pelaksanaannya. Walaupun Sholihah dan Wahid Hasyim tidak pernah bertemu

sebelumnya, namun mereka sudah saling mengetahui. Tentu hal ini wajar karena

masing-masing merupakan anak dari tokoh terkenal, sehingga setidaknya mereka

pernah mendengar nama masing-masing.

Pada suatu acara, Sholihah dan Wahid bertemu secara tak sengaja dan

dengan kejadian yang lucu. Ketika itu Wahid Hasyim bersama ibunya datang ke

tempat salah satu keluarga KH. Hasyim Asy’ari yang mendapat musibah

kematian. Kebetulan Sholihah juga hadir bersama saudaranya mewakili ibunya

yang tidak bisa hadir. Setelah jenazah dimakamkan, Wahid menunggu ibunya di

mobil untuk pulang ke rumah. Pada saat bersamaan Sholihah juga hendak pulang,

10

Shohib, Kiai Bisri Syansur: Tegas Berfiqih, Lentur Bersikap, 119.

11

Yahya, Sama Tapi Berbeda: Potret Keluarga Besar K.H. A. Wachid Hasyim, 52.

12

(32)

23

menyangka bahwa mobil yang ada di depannya adalah milik kakeknya, Kiai

Chasbullah, padahal mobil tersebut adalah mobil Wahid Hasyim beserta keluarga.

Sholihah mengira bahwa orang yang duduk di dalam mobil adalah Jayus, sopir

kakeknya. Sholihah memanggil-manggil nama Jayus dan memintanya untuk

mengantarnya pulang. Betapa terkejutnya Sholihah ketika menyadari bahwa ia

memanggil orang yang salah. Seketika itu juga ia berlari menjauhi mobil itu.

Beberapa saat kemudian, Wahid menanyakan kepada Jayus identitas Sholihah

yang pergi menjauhinya. Jayus menjelaskan bahwa perempuan itu adalah

Sholihah, anak Kiai Bisri Syansuri.13

Tetapi dalam bukunya Nugroho Dewanto, awal pertemuan antara Sholihah

dengan Wahid Hasyim dimulai pada saat Wahid menyaksikan Sholihah

membekap tempayan berisi air dipinggangnya. Sholihah ketika itu sedang

membantu para perempuan dewasa mencuci piring di dapur. Dari sana pesona

kebersahajaan Sholihah memikat Wahid Hasyim.14 Wahid Hasyim pertama kali

melihat Sholihah dari kejauhan. Sholihah sebetulnya tak cantik tetapi seperti ada

dalam diri Sholihah yang membuat Wahid terpesona. Keesokan harinya, Wahid

Hasyim menemui Bisri Syansuri dan melamar Sholihah. Waktu itu usia Sholihah

belum genap 16 tahun, tetapi pada masa itu, gadis seusia Sholihah sudah pantas

naik pelaminan.

Pernikahan antara Sholihah dan Wahid Hasyim tidak bisa dilangsungkan

segera. Secara kebetulan ketika Wahid melakukan lamaran, waktunya bersamaan

datangnya bulan Ramadhan. Pernikahan mereka kemudian diselenggarakan pada

13

Yahya, Sama Tapi Berbeda: Potret Keluarga Besar K.H. A. Wachid Hasyim, 52-53.

14

(33)

24

10 Syawal 1356 H.15 Kemudian, pada saat prosesi pernikahan, Kiai Wahid

Hasyim (mempelai lelaki) berangkat sendiri ke Denanyar, Kiai Wahid datang

hanya berlengan pendek dan bersarung. Tidak ada yang mengiringinya. Hal ini

bukan karena tidak ada yang mau mengantar, akan tetapi Kiai Wahid sendiri yang

meninggalkan pengiringnya di belakang.16 Ketika pengiring sampai di tempat

acara, para undangan yang hadir telah menyelesaikan makannya. Wahid Hasyim

tidak terpengaruh dengan “gonjang-ganjing” yang menimpa orang tua dan

saudara-saudaranya di Tebuireng. Sikapnya menunjukkan seolah-olah tidak

terjadi apa-apa.

E.Masa Berumah Tangga

Setelah menikah, Sholihah dan Wahid Hasyim hanya tinggal 10 hari di

Denanyar, lalu tahun itu juga (1356 H atau 1938 M) pindah ke Tebuireng, dan

menetap di sana sampai tahun 1942 dalam zaman pendudukan Jepang.17 Namun,

sesekali ia menyempatkan diri pulang ke Denanyar. Hal itu biasanya ia lakukan

pada hari Jumat, baik diantar oleh suaminya ataupun pembantunya. Jika pulang, ia

bahkan masih meluangkan waktunya untuk mengajar para santri Denanyar

maupun adik-adiknya sendiri. Kepindahan Sholihah ke Tebuireng tampaknya

menjadi awal baginya untuk menapaki kehidupan dunianya yang baru.

Di Tebuireng, waktu yang dimiliki Sholihah banyak dihabiskan oleh

keluarga. Ia tidak mengajar sebagaimana yang dilakukannya di Denanyar, karena

pesantren Tebuireng hanya menerima santri laki-laki. Selain untuk keluarganya,

15

Yahya, Sama Tapi Berbeda: Potret Keluarga Besar K.H. A. Wachid Hasyim, 53.

16

A. Mubarok Yasin dan Fathurrahman Karyadi, Profil Pesantren Tebuireng (Jombang:Pustaka Tebuireng, 2011), 71.

17

(34)

25

waktu sehari-harinya digunakan untuk membantu mertuanya dan juga

mengembangkan ilmunya dengan mengaji kepada suaminya. Menikah dengan

Wahid Hasyim, bagi Sholihah seperti membuka jendela untuk melihat pesona

kehidupan. Ia semula hanya mengenal perlengkapan sederhana untuk

membersihkan gigi, kemudian bisa menikmati enaknya pasta gigi karena

diajarkan oleh suaminya.18

Sebagai menantu dari pengasuh pesantren dan tokoh yang sangat dikenal,

yaitu KH. Hasyim Asy’ari dan juga karena Sholihah dan Wahid tinggal satu atap

bersama dengan mertuanya di Tebuireng maka kewajiban Sholihah adalah

membantu melayani para tamu seperti menghidangkan makan dan minum. Tetapi

hal itu dilakukan Sholihah jika tenaga pembantu yang ada masih kurang untuk

melayani kebutuhan mereka.

Seperti yang banyak terjadi pada masalah berumah tangga, hidup bersama

mertua tampaknya juga menjadi persoalan tersendiri bagi Sholihah. Ia mengalami

banyak kesukaran-kesukaran. Kepada teman akrabnya Asmah Sjahruni, ia pernah

bercerita bahwa apa yang pernah dialaminya selama hidup bersama mertuanya

hampir dipastikan tidak bisa ditanggung oleh anak-anak sekarang.19 Katanya,

mereka tidak mungkin, bahkan bisa jadi melarikan diri. Apa saja yang dilakukan

oleh Sholihah tidak pernah lepas dari perhatian dan pengawasan mertuanya.

Semua urusan berada dalam kendali mertuanya, termasuk dalam hal makanan.

18

Dahlan, et al, Sholihah A Wahid Hasyim: Muslimah di Garis Depan Sebuah Biografi, 94.

19

(35)

26

Apa yang dimasak oleh Sholihah harus dicicipi terlebih dahulu oleh Mbah Tri

(Ibu dari Wahid Hasyim).20

Untuk kenyamanan Sholihah dalam penyesuaiannya di Tebuireng, maka

Wahid Hasyim mencarikan teman bagi Sholihah, kemudian dipilihnya Abidah21

yang waktu itu sudah memiliki seorang anak. Setiap hari Abidah selalu datang

untuk menemani Sholihah, baik ketika dipanggil ataupun tidak. Tidak lupa juga

Abidah membawa serta anaknya. Dalam perkembangannya kemudian, Abidah

tidak hanya menemani Sholihah saja, tetapi dia juga menjadi teman bertukar

pikiran Sholihah dan juga teman mengajinya kepada Wahid Hasyim.

Selain mendalami kitab-kitab yang berisikan materi-materi Islam

tradisional, sejak di Tebuireng ini Sholihah mulai belajar membaca dan menulis

hurup latin. Dalam hal pengembangan kemampuan ini, dorongan yang diberikan

oleh suaminya sangat besar. Wahid Hasyim tidak hanya mengajarkan bagaimana

membaca dan menulis huruf latin, melainkan selalu membawakan buku-buku dan

majalah bertuliskan huruf latin jika pulang dari bepergian. Selain yang berbahasa

Indonesia, juga bacaan-bacaan dalam bahasa Inggris dan Belanda. Tak jarang juga

majalah dan buku yang berbahasa Jepang ketika kemudian hari Jepang menjajah

Indonesia.

Berkat bimbingan suami tercinta, Sholihah memperoleh kemajuan di

berbagai bidang. Sebelum menikah, ia buta huruf tulisan latin, tetapi sesudah

berumah tangga, ia berubah menjadi seorang yang gemar membaca. Salah satu

majalah yang menjadi kegemaran Sholihah adalah Penyebar Semangat, yaitu

20

Yahya, Sama Tapi Berbeda: Potret Keluarga Besar K.H. A. Wachid Hasyim, 55.

21

(36)

27

sebuah majalah yang berbahasa Jawa. Sholihah tergolong otodidak dalam

memahami bidang sosial, politik, dan ekonomi dengan belajar sendiri. Untuk

menambah wawasannya sebagai seorang aktivis, maka beliau menyempatkan diri

mengikuti kursus bahasa Belanda dan Inggris.22

Berbeda ketika di Denanyar, Sholihah tidak punya kesempatan untuk

mengembangkan keterampilannya dalam hal membaca dan menulis huruf latin.

Hal ini dikarenakan semua materi pelajaran yang diajarkan di Denanyar ditulis

dengan bahasa Arab, tidak ada yang memakai huruf latin. Tampaknya ada

kekhawatiran mengapa baca-tulis huruf latin tidak diajarkan di Pesantren

Denanyar waktu itu, yakni karena ada perasaan takut bahwa para santri nantinya

akan menggunakan pengetahuannya tersebut untuk berhubungan dengan lain

jenis. Bahasa terma sekarang, pengasuh Pondok Pesantren Denanyar takut jika

para santrinya pacaran.23

Sholihah dan Wahid Hasyim dikaruniai enam putra, anak pertamanya yaitu

Abdurrahman Wahid Ad-Dakhil atau akrab dipanggil dengan Gus Dur (mantan

Ketua PBNU, mantan Presiden RI ke-4), Aisyah (Ketua Umum PP Muslimat NU

1995-2000), Shalahuddin Al-Ayyubi (Insinyur lulusan ITB, Pengasuh PP

Tebuireng Jombang sesudah Gus Yusuf Hasyim), Umar Wahid (Dokter lulusan

UI), Khadijah (Lyli, sekarang masuk Pengurus Dewan Syuro PKB Pimpinan

Muhaimin Iskandar), dan Hasyim Wahid (Gus Im). Anak pertama Sholihah ini

lahir pada tahun pertama perkawinannya. Wahid Hasyim sebagai ayah, sangat

gembira dengan kehadiran anak pertamanya ini. Hal itu dibuktikan dengan

22

Yahya, Sama Tapi Berbeda: Potret Keluarga Besar K.H. A. Wachid Hasyim, 56.

23

(37)

28

memberi nama anaknya Abdurrahman Ad-Dakhil.24 Sebagaimana kita ketahui

bersama, Ad-Dakhil yang diambil dari nama tokoh pahlawan dari dinasti

Umayyah, yang secara harfiah berarti „sang penakluk’. Dalam keterangan sejarah

peradaban Islam, Ad-Dakhil adalah tokoh yang membawa Islam ke Spanyol dan

mendirikan peradaban yang berlangsung di sana selama berabad-abad.

Beberapa bulan setelah kelahiran putera pertamanya di Denanyar,

Sholihah dan Wahid Hasyim pindah dari nDalem Kesepuhan ke nDalem Kulon.25

Kepindahan tersebut membawa pengaruh tersendiri bagi Sholihah. Paling tidak,

kesempatannya untuk melakukan aktivitas diluar rumah tidak mendapatkan

“hambatan moral”. Itulah sebabnya, selama di nDalem Kulon, selain mengurus

kehidupan keluarga dan mengasuh pendidikan anaknya, Sholihah semakin aktif

dalam pengajian-pengajian Muslimat NU yang waktu itu masih bernama NOM

(Nahdlotul Oelama Muslimat).26

Di luar semua kegiatan di atas, Sholihah masih punya waktu untuk

membuka warung yang terletak di bagian belakang rumahnya. Warung tersebut

berfungsi sebagaimana layaknya kantin yang banyak berdiri pada saat ini. Adapun

konsumennya adalah para santri Pondok Pesantren Tebuireng. Keuntungan yang

didapatkan dari menjual tersebut digunakan untuk menghidupi keluarganya.

Bahkan ia masih bisa menyisakan hasil labanya untuk membeli sawah dan

kebutuhan keluarga lainnya. Selain itu, Sholihah juga masih tetap meluangkan

waktunya untuk melayani kebutuhan para tamu, seperti menyiapkan makanan dan

24

Rifa’i, Gus Dur KH. Abdurrahman Wahid: Biografi Singkat (1940-2009), 27.

25

nDalem Kulon adalah salah satu bangunan di kompleks Pesantren tebuireng yang ditempati

keluarga Hasyim Asy’ari. Ia terletak di sebelah Barat (Jawa; Kulon) dalam Dahlan, et al, Sholihah A Wahid Hasyim: Muslimah di Garis Depan Sebuah Biografi, 95-96.

26

(38)

29

minuman untuk mertuanya yang datang, jika ia sowan ke nDalem Kesepuhan.

Terutama jika tenaga pembantu yang ada dipandang kurang untuk melayani

kebutuhan mereka.

Sebelum pindah dari nDalem Kesepuhan ke nDalem Kulon, perasaan Sholihah banyak mendapat tekanan dari mertuanya. Namun hal itu segera hilang

ketika ia melahirkan seorang anak laki-laki. Dalam tradisi yang berkembang

waktu itu, melahirkan anak laki-laki yang pertama merupakan suatu kebanggaan

tersendiri. Hati Sholihah sangat senang, terutama ketika ia mengetahui bahwa

mertuanya juga sangat berharap bisa memiliki cucu laki-laki dari anak laki-laki

pertamanya.27

Dari sinilah Sholihah merasa puas karena bisa memenuhi harapan dan baru

diewongke mertuanya. Saat itu Mbah Tri sangat gembira mendengar kabar bahwa isteri putera pertamanya telah melahirkan anak laki-laki. Sekitar pukul 22.00

malam, ia menangis ingin melihat cucunya di Denanyar. Pada malam itu juga

Mbah Tri dibopong oleh Wahid Hasyim untuk naik mobil bersama Aisyah kakak Wahid Hasyim untuk pergi ke Denanyar. Kemudian pada tahun 1939 Nyai

Hasyim (Mbah Tri) meninggal dunia. Dari sini maka tugas-tugas Mbah Tri

diambil alih oleh Sholihah. Tetapi ia hanya melakukan tugas itu selama beberapa

minggu, karena tidak lama kemudian Mbah Nom datang.

27

Waktu itu Mbah Kong (Mbah Hasyim)dan Mbah Tri (Nyai Hasyim) sebenarnya sudah punya cucu laki-laki tetapi dari anak perempuannya. Wahid Hasyim adalah anak laki-laki pertama mereka. Dan memang keduanya berharap bahwa cucu yang kelak akan lahir sebagai anak pertama adalah seorang laki-laki. Harapan tersebut dilatarbelakangi oleh suatu keyakinan bahwa jika kelak anak yang lahir adalah laki-laki, “darah biru” mereka bisa terselamatkan, dalam Dahlan, et al,

(39)

30

Selanjutnya, secara berturut-turut adiknya Abdurrahman lahir, seorang

perempuan Aisyah lahir pada Juni 1941, seorang anak laki-laki, Shalahuddin lahir

pada September 1942. Lalu, pada akhir 1944, ketika Gus Dur baru berusia 4

tahun, ia diajak ayahnya, Wahid Hasyim ke Jakarta, adik laki-lakinya, Umar

Wahid lahir pada Januari tahun itu. Sementara, Khodijah (Lyli) dilahirkan pada

bulan Maret 1948. Terakhir, Hasyim Wahid atau Gus Im dilahirkan di Jakarta

pada Oktober 1953.28

F. Membantu Pejuang

Menyinggung beberapa aktivitas yang dilakukan oleh Sholihah ketika

Jepang datang di Indonesia pada tahun 1950 -an untuk mengambil alih kekuasaan

Belanda, ia aktif terlibat dalam Fujinkai antara lain belajar menyanyi, belajar bahasa Jepang, membuat perban dari gedebog untuk P3K (Pertolongan Pertama pada Kecelakaan), membuat obat nyamuk, menanam cabe dan jarak. Selain itu, ia juga aktif membuka ranting-ranting NOM baru di lingkungan Tebuireng, yakni di

Kecamatan Diwek.

Aktivitas Sholihah dalam berbagai kegiatan di atas tidak menjadi halangan

untuk memperhatikan kehidupan keluarganya. Meskipun pada saat yang sama ia

juga sering ditinggal pergi suaminya, namun perhatiannya terhadap

perkembangan anak-anaknya tidak terabaikan. Selain menerapkan jiwa pesantren,

ia juga sangat disiplin mendidik putera-puterinya. Misalnya, ia tidak segan-segan

untuk memukul anak-anaknya dengan sisir ataupun penggaris, jika mereka tidak

28

(40)

31

mau belajar, terutama sekali belajar membaca alquran. Demikian juga akan

dilakukan jika anak-anaknya meninggalkan kewajiban shalat.29

Sebagai istri seorang tokoh nasional, Sholihah ikut memainkan peran yang

sangat penting. Ketika suatu hari suaminya datang membawa setumpuk dokumen

rahasia dan dalam keadaan dikejar Belanda, Sholihah segera mengambilnya.

Untuk menghindari kecurigaan, ia membawa dokumennya ke tempat pencucian

pakaian, lalu mendudukinya sambil mencuci. Ia bahkan harus berpura-pura

menjadi babu (pembantu).

Bersuamikan seorang pejuang menjadikan Sholihah (Ibu Wahid) memiliki

jiwa pejuang. Semasa perang mempertahankan kemerdekaan (1945-1949), ia

ambil bagian kurir yang bertugas mengirimkan bahan makanan atau pesan-pesan

ke garis depan di Mojokerto, Krian dan Jombang. Sholihah sangat lincah dalam

hal menyusup ke kancah pertempuran yang berbahaya. Maka dari itu tidak heran

jika pada masa tuanya beliau sangat gesit melakukan berbagai aktivitas.30

Dalam bukunya Muhammad Rifa’i dijelaskan bahwa karena kesibukan

dalam dunia politik, tak jarang sholihah menggerutu karena kehidupan keluarga

menjadi terbengkalai. Hal ini berkaitan dengan ekonomi penopang hidup keluarga

saat itu. Dari sini kemudian Sholihah berinisiatif berjualan kue-kue kecil dan

permen di depan rumahnya di Jombang untuk mendapat uang dan dapat

mencukupi kebutuhan sehari-hari.

Kehidupan rumah tangga Sholihah saat di rumah juga seperti halnya

rumah tangga orang lainnya yaitu tak jarang terjadi cekcok antara Sholihah dan

29

Dahlan, et al, Sholihah A Wahid Hasyim: Muslimah di Garis Depan Sebuah Biografi, 32.

30

(41)

32

Wahid, terutama karena aktivitas politik. Akibatnya, banyak waktu untuk keluarga

tersita. Pada saat itu, biasanya Wahid Hasyim sering mengajak anak-anaknya

untuk berekreasi.31

G. Pindah ke Jakarta

Pada tahun 1944, Ibu Wahid pindah ke Jakarta, mengikuti suaminya yang

menjadi anggota legislatif. Akan tetapi ia di sana hanya bertahan enam bulan.

Karena panggilan Hasyim Asy’ari keduanya kembali ke Jombang untuk mengurus

pesantren Tebuireng. Namun, tahun 1950 untuk kedua kalinya Sholihah ke Jakarta

mengikuti Wahid Hasyim yang diangkat menjadi menteri agama. Meskipun

demikian, aktivitas Sholihah di Muslimat tidak berhenti. Bahkan, ia menjadi salah

seorang tokoh yang membesarkan Muslimat di Jakarta. Aktivitas Sholihah inilah

yang menjadi faktor dirinya terpilih menjadi anggota DPRD mewakili NU, dan

terus berlanjut ketika ia terpilih sebagai anggota DPR Gotong Royong mewakili

partai yang sama.

Pada awal 1950-an, meskipun sudah tinggal di Jakarta, Sholihah tidak

melupakan kampung halamannya. Dalam waktu tertentu ia menyempatkan diri

pulang kampung. Jika berada di Jombang, ia masih meluangkan waktu untuk

memberikan ceramah dalam pengajian.

Kehidupan yang harmonis dan bahagia yang dijalani Sholihah bersama

suami dan anak-anaknya ternyata tidak berlangsung lama. Suasana kebersamaan

dalam keluarga Wahid Hasyim itu hanya berlangsung tiga tahun, karena pada

tahun 1953 suaminya wafat dalam kecelakaan lalu lintas di daerah Cimindi, suatu

31

(42)

33

tempat antara Bandung dan Cimahi, Jawa Barat. Ketika peristiwa itu terjadi,

Sholihah berumur 30 tahun, telah memiliki 5 orang anak yang masih kecil-kecil

dan tengah mengandung anaknya yang nomor enam. Usia kandungannya saat itu

baru berusia 3 bulan. Kelima anaknya yang masih kecil-kecil antara lain:

Abdurrahman yang berusia 14 tahun dan baru tamat SD, Aisyah 12 tahun kelas 5

SD, Salahuddin 10 tahun kelas 3 SD, kemudian Umar Faruq 8 tahun kelas 2 SD,

dan Lily Chadijah 5 tahun yang masih duduk di TK.32

Sepeninggal suaminya, Sholihah tetap gigih dan bersemangat dalam

mempertahankan keutuhan keluarganya dan mendidik anak-anaknya. Semangat

dan kegigihan Sholihah inilah yang sangat menentukan perjalanan kehidupan

anak pertamanya, Abdurrahman Wahid, hingga berhasil menjadi seorang

presiden. Walaupun ayahnya Bisri Syansuri menginginkan agar Sholihah dan

anak-anaknya kembali ke Jombang, tetapi Sholihah bertekad kuat untuk

mempertahankan keutuhan keluarganya dan merawat anak-anaknya di Jakarta.

Sampai ia bertekad “Kalau perlu, jualan gado-gado”, tutur Sholihah untuk tetap

mempertahankan hidup di Jakarta.33

Karena belum mendapatkan penghasilan, maka Sholihah terpaksa harus

menjual barang-barang miliknya peninggalan dari almarhum suaminya. Langkah

selanjutnya yang dilakukan Sholihah adalah berbisnis. Sholihah memasok

kebutuhan beras para pegawai Departemen Agama. Jual beli mobil juga

dilakukannya. Selain itu, ia juga berbisnis batu, pasir, dan bambu di Tanjung

Priok. Hal ini dilakukannya karena waktu itu tidak banyak kalangan dari pribumi

32

Yahya, Sama Tapi Berbeda, 59.

33

(43)

34

yang mau jadi pedagang. Saat berbisnis Sholihah juag tidak menggunakan nama

besar suaminya, istilah sekarang adalah melakukan kolusi dan nepotisme.

Sebagai seorang ibu yang juga berbisnis, tetapi Sholihah tidak melupakan

tanggung jawabnya kepada anak-anaknya. Ia sangat disiplin menerapkan

pendidikan kepada mereka. Jika salah seorang dari anaknya mengabaikan

kewajiban mereka seperti Shalat dan ngaji maka Sholihah tidak segan-segan akan

memukul mereka dengan penggaris ataupun sisir.

Walaupun Ibu Wahid dalam hal-hal tertentu berlaku keras, namun ia

memperlakukan anak-anaknya dengan penuh kasih sayang, kehangatan dan

egaliter. Pendidikan yang ditanam kepada anak-anaknya seperti kemandirian,

tidak menggantungkan diri pada orang lain, berusaha keras serta berjuang sendiri

bertujuan agar mereka menjadi orang-orang besar yang besar hati tetapi tidak

sombong. Maka dari itu, mereka harus dibekali ilmu pengetahuan yang cukup.34

H. Karir

Setelah kepergian Wahid Hasyim, Sholihah tidak mau pulang ke Jombang

karena wasiat dari suaminya beliau disuruh untuk melanjutkan perjuangan dengan

membesarkan Muslimat NU Jakarta. Ia pernah menjadi anggota Muslimat NU

Gambir (1950), Ketua Muslimat NU Matraman (1954), Ketua Muslimat NU DKI

Jaya (1956), hingga Ketua I Pimpinan Pusat Muslimat NU tahun 1959 sampai

meninggal. Saat NU berfusi dalam PPP, ia menjadi anggota legislatif

(1978-1987). Selain itu, beliau juga aktif dalam beberapa kegiatan sosial kemasyarakatan

yaitu Yayasan Dana Bantuan sejak 1958 sampai akhir hayat. Mendirikan Ikatan

34

(44)

35

Keluarga Pahlawan Nasional (1974), serta Panti Harapan Remaja di Jakarta Timur

(1976).35

Dalam bidang kegiatan keagamaan, Nyai Sholihah mendirikan Yayasan

Kesejahteraan Muslimat NU (1963), Lembaga Kemaslahatan Keluarga NU

(1978), pengajian Al-Islah (1963), Lembaga Penyantun Lanjut Usia (1976) yang

kemudian diubah menjadi Pusat Santunan dalam Keluarga (Pusaka), serta Majelis

Taklim Masjid Jami Matraman.

Sholihah juga aktif bersama Ibu Mahmudah Mawardi dan Asmah

Syahroni, mendirikan Rumah Bersalin Muslimat (RBM), Balai Kesejahteraan Ibu

dan Anak (BKIA) Muslimat, Panti Asuhan Muslimat, Klinik Keluarga Berencana

(KB) dan memberikan beasiswa kepada putera-puteri NU terlantar, serta

mengunjungi panti sosial. Sholihah juga aktif di perkumpulan Yayasan Bunga

Kamboja tahun 1960,36 sebuah organisasi sosial yang menangani jenazah dan

penguburan dengan mengajak Ibu Lasmidjah Hardi (dari kalangan nasionalis), Ibu

Anie Walandaoe (Kristen) dan Mr Hamid Algadri (sosialis). Karena kiprahnya,

sejak 1957 Ibu Sholihah terpilih menjadi Anggota DPRD DKI Jakarta,

DPR-GR/MPRS (1960) DPR/MPR (1971-1987).

Ketika DPR hasil Pemilu 1955 dibubarkan dan diganti DPRGR 1960, Ibu

Wahid mewakili Muslimat NU, ia ditunjuk menjadi salah seorang anggota

DPRGR. Itulah untuk pertama kalinya beliau terlibat dalam kegiatan politik

praktis tingkat nasional. Selanjutnya ia terpilih menjadi anggota DPR tahun 1971

mewakili NU, lalu tahun 1877 dan 1982 mewakili PPP. Selama menjadi anggota

35

Dahlan, et al, Sholihah A Wahid Hasyim: Muslimah di Garis Depan Sebuah Biografi), 50-51.

36

(45)

36

dewan, Ibu Wahid tidak termasuk anggota yang hanya datang, duduk, dengar, dan

duit. Sebagai wakil rakyat, ia bekerja dengan penuh kesungguhan dan aktif

memperjuangkan aspirasi konstituennya. Salahuddin Wahid dalam salah satu

tulisannya menuturkan bahwa ibundanya ini sering memintanya mengetik

pandangan-pandangan tentang berbagai hal yang akan disampaikan dalam rapat

dan sidang DPR.

Sebagai anggota legislatif di tingkat pusat, Ibu Wahid punya banyak waktu

untuk berkujung ke darerah-daerah jika DPR sedang reses. Sebelum NU berfusi

ke dalam Partai Persatuan Pembangunan (PPP) dan masih merupakan partai,

teman-temannya di partai sangat homogen, semuanya dari NU. Meskipun Ibu

Wahid merupakan kader PPP dan duduk di DPR mewakili PPP, namun

kehidupannya dalam permainan politik hampir tidak tampak. Ia sering tidak

memperlihatkan sosoknya sebagai seorang „politisi’.37

Keberadaannya di organisasi politik justru lebih banyak memperlihatkan

sosoknya sebagai seorang muslimat yang memegang teguh komitmen moral

keagamaan. Misalnya, saat ia melakukan walk out (meninggalkan rapat sidang) ketika dalam sidang DPR terjadi perbedaan interpretasi terhadap Pasal 29 ayat

1UUD 1945 mengenai aliran kepercayaan. Menurut Ibu Wahid dan

teman-temannya di PPP, agama dan aliran kepercayaan adalah hal yang sama sekali

berbeda substansinya. Agama merupakan ajaran Tuhan yang diturunkan ke dunisa

untuk kesejahteraan manusia, sedangkan aliran kepercayaan adalah produk

37

(46)

37

kebudayaan manusia. Satu dan lainnya tak dapat disandingkan dalam satu

kategori.

I. Wafatnya

Ibu Wahid adalah seorang yang memiliki sifat kemandirian dan juga

terbuka, serta berani menyatakan pendapat, pemikiran dan perasaannya.

Terkadang karena terlalu bersemangatnya mengekspresikan dirinya, ia terkesan

kelihatan emosional. Kesan demikian dipengaruhi oleh sikapnya yang tegas dan

keras dalam mempertahankan prinsip. Meskipun demikian, ia juga menghargai

pendapat orang lain, tidak memaksakan kehendak, dan tidak meremehkan siapa

pun.Sampai menjelang wafat, Ibu Wahid tetap aktif dalam kegiatan Muslimat NU

dan aktivitas lain di masyarakat. Ia tetap kelihatan segar dan penuh semangat.

Meskipun harus menggunakan tongkat dan dikawal oleh seorang perawat yang

melayaninya setiap saat, ia tetap menghadiri rapat-rapat organisasi.

Sholihah Wahid Hasyim meninggal dunia pada hari Jum’at tanggal 29

Juli 1994 sekitar pukul 23.00 WIB di Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo Jakarta,

dalam usia 72 tahun, setelah menjalani rawat tinggal selama 17 hari akibat sakit

jantung dan guaa. Dua puluh empat jam menjelang ajal menjemputnya, Ibu Wahid

tidak sadarkan diri karena ada pembuluh darah yang pecah. Ia berada dalam

keadaan koma. Jenazahnya dimakamkan esok harinya sekitar pukul 17.00 di

kompleks pemakaman Tebuireng Jombang.38

38

(47)

BAB III

PERJUANGAN DAN KONTRIBUSI SHOLIHAH WAHID HASYIM

DALAM ORGANISASI SOSIAL DAN KEAGAMAAN (1946-1987)

A. Aktivitas di Muslimat NU

Abad ke-20 M (Masehi) adalah abad kebangkitan bangsa-bangsa di dunia.

Bangkitnya bangsa Timur melahirkan pergerakan-pergerakan kemerdekaan di

Indonesia. Gerakan-gerakan kemerdekaan lahir karena kekuasaan Barat yang

masuk sejak awal abad ke-19, mulai mengadakan pembaharuan politik. Kemudian

pada akhir abad ke-19 dan ke-20, kebangkitan yang bersifat perlawanan terhadap

keadaan dan penderitaan, baru bersifat gerakan-gerakan sosial, perkumpulan kecil

serta perkumpulan kedaerahan. Maka abad ke-20 yakni tahun 1908 lahirlah

perkumpulan yang teratur dengan nama Budi Utomo dan tahun 1912 dengan

nama Syarikat Islam.1

Perlawanan tidak hanya diberikan oleh gerakan politisi saja, tetapi yang

terbesar adalah pada kalangan pemimpin agama Islam (alim „ulama). Gema tauhid

dalam pesantren laksana bara yang menyalakan api kebencian terhadap penjajah,

bahkan terhadap apa yang dipakai dan dimakan oleh penjajah. Percikan api dari

pesantren-pesantren ini kemudian hari melahirkan berbagai organisasi sosial

keagamaan, sosial pendidikan, da’wah bahkan perkumpulan ekonomi.

Dalam hal ini, kalangan Ulama memiliki Motto “Kekuatan terdapat dalam

Persatuan”. Dengan motto ini kemudian menjadi sebuah manifestasi kelahiran

organisasi perserikatan alim „ulama yang dipelopori oleh KH. Hasyim Asyari dan

1

Referensi

Dokumen terkait

Kenyataan permasalahan yang dialami guru terkait pemanfaatan media pembelajaran dalam pembelajaran IPA Biologi di SMP adalah minimnya pemahaman guru dan

An-Nisa’ ayat 3 dengan Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 45 Tahun 1990 perubahan atas Peraturan Pemerintah Nomor 10 Tahun 1983 tentang Perkawinan

Berkenaan dengan pemulihan aset secara khusus, artikel menyediakan antara lain bahwa "Dalam hal kerjasama internasional, setiap kali kriminalitas ganda dianggap

$EVWUDN 3HQHOLWLDQ LQL EHUWXMXDQ XQWXN PHQJNDML GDQ PHQGHVNULSVLNDQ SUDNWLN - SUDNWLN NHZLUDXVDKDDQ JHUHMD EHUDOLUDQ SHQWDNRVWDO GDODP PHQJHQWDVNDQ NHPLVNLQDQ GL .RWD :DPHQD

Hal ini menunjukkan bahwa pemberian FMA dapat meningkatkan ketahanan tanaman terhadap penyakit secara terinduksi, sehingga perkembangan penyakit hawar daun bakteri pada

Prosedur Tetap Cara Pelaksanaan Penyehatan Lingkungan RSU Bunda Thamrin Medan Tahun 2012 Berdasarkan Keputusan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 1204/

7 Tingkat panduan atau Diagnostic Reference Level (DRL) pertimbangan disain modalitas yang digunakan pertimbangan operasi Kalibrasi dosimetri pasien (perhitungan atau

DASAR TEORI PERKEMBANGAN PENGELUARAN DASAR TEORI PERKEMBANGAN PENGELUARAN..