BAB I PENDAHULUAN
A. LATAR BELAKANG
Salatiga merupakan kota kecil yang berada di lereng gunung Merbabu.
Letaknya yang di kelilingi oleh pegunungan selalu memberikan suasana yang
sejuk. Secara astronomis wilayah Salatiga terbentang pada posisi antara
110.2.28’.37.79”– 11.32.39.79” BT dan antara 7.17’.4”-7.23”.48” LS yang
diperhitungkan dari Meridian 0 Grennwich dan Equator. Posisi semacam ini dan
ditunjang oleh morfologi yang berupa pegunungan, menyebabkan Salatiga
beriklim tropis yang mempunyai suhu rata-rata 23o-24o C. Secara geomorfologis
Salatiga yang terletak di daerah pedalaman Jawa Tengah, berada di kaki gunung
Merbabu dimana, di sebelah Utara berpadu dengan pegunungan Telomoyo dan
Gajah Mungkur. Di sebelah utara kota Salatiga terdapat pegunungan Payung dan
Rong. Sedangkan di sebelah Barat Laut berbatasan dengan Rawa Pening. Adanya
kombinasi lereng dan kaki gunung itulah menyebabkan Salatiga terletak pada
dataran yang nampak miring ke arah Barat. Tingkat kemiringannya berkisar 5-10
derajad, sehingga dapat dikatakan Salatiga merupakan dataran dan sekaligus
lereng dari gunung dan pegunungan yang mengelilinginya itu (Sukarto Karto
Atmodjo,dkk,1995:13).
Secara Geografis wilayah Salatiga berada pada daerah vulkanisme
Merapi-Merbabu. Kegiatan vulkan Gunung Merbabu pada masa lalu dan Erupsi Gunung
baik yang bersifat negatif maupun positif. Sebaran abu gunung-gunung tadi secara
positif adalah bagaikan pemupukan bagi tanah di sekitar gunung tersebut.
Ditambah dengan faktor curah hujan yang cukup, akan menyebabkan makin
tingginya tingkat kesuburan tanah daerah tersebut. Sedangkan kesuburan tanah
akan mengundang kelompok-kelompok manusia untuk bermukim di situ, yang
kemudian menyatu menjadi kelompok besar masyarakat yang mampu
menciptakan karya budaya. Karya budaya manusia akan tercipta apabila
masyarakat pendukungnya terjamin kesejahteraan hidupnya. Dari kondisi
geografis yang demikian maka jelas bahwa daerah Salatiga dan sekitarnya sudah
sejak jaman dahulu merupakan daerah yang tanahnya subur, sehingga menjadi
tempat konsentrasi masyarakat manusia dari abad ke abad yang ternyata juga
menghasilkan karya budaya yang tinggi (Sukarto Karto Atmodjo,dkk, 1995 : 17).
Jauh sebelum kedatangan bangsa Belanda di kepulauan Indonesia, di Pulau
Jawa telah ada pendatang asal India, Cina, Arab, dan Portugis. Mula- mula orang
Belanda itu hanya datang untuk berdagang, tetapi kedatangan bangsa Belanda itu
berujung menguasai Indonesia. Pada awalnya mereka membangun
gudang-gudang untuk menimbun rempah-rempah. Dengan modal kuat Vereenigde Oost
Indische Compagnie (VOC) mendirikan gudang penyimpanan dan kantor dagang.
Sekelilingnya diperkuat benteng pertahanan, sekaligus digunakan sebagai tempat
tinggal. Benteng semacam ini menjadi hunian pada masa-masa awal orang
Belanda di Pulau Jawa. Segala kesibukan perdagangan dan kehidupan sehari-hari
Salatiga yang letaknya berada diantara kota Semarang, Solo dan Magelang
dipandang sangat strategis oleh VOC. Itu sebabnya Salatiga dijadikan kota Militer
atau kota Garnisium. Salatiga menjadi markas besar pasukan kaveleri artileri dari
tentara kerajaan Hindia Belanda Koninklijke Nederlands Indische Leger (KNIL)
yang membangun kompleks militer disisi Selatan Salatiga. Meskipun menjadi
kota Garnisium namun Salatiga tidak sepenuhnya menampakkan wajah seram.
Bahkan di sudut-sudut tertentu wajah Salatiga justru tampak lebih anggun dengan
bangunan-bangunan rumah dinas para perwira Belanda yang artistik dan dikenal
dengan istilah kompleks militer daerah tropis. Adanya Sistem Tanam Paksa
mengakibatkan pertumbuhan hasil perkebunan meningkat, sehingga banyak orang
kulit putih masuk ke Salatiga.
Orang-orang Cina masuk ke Salatiga sekitar abad ke-18, ini dibuktikan
dengan adanya klenteng Amurvabhumi atau biasa disebut Klenteng Hok Tiek Bio
yang berada di Jalan Letjen Sukowati merupakan saksi sejarah masuknya ajaran
agama Budha di Kota Salatiga. Dalam perjalanannya, Klenteng Hok Tiek Bio ini
pun menjadi simbol dari keberadaan penganut Tri Dharma, yaitu kombinasi antara
agama Budha, Khong Hu Cu dan Taoisme. Berdirinya klenteng ini sekaligus
menandakan masuknya pengaruh Tionghoa ke Kota Hati Beriman ini. Tak
diketahui secara persis kapan pengaruh kaum warga keturunan ini masuk ke
Salatiga yang dulunya merupakan tanah perdikan ini. Namun dari hasil
identifikasi sejumlah ahli sejarah, masuknya pengaruh Tionghoa ke Kota Salatiga
diprediksi terjadi seiring dengan pergerakan Tionghoa ke Surakarta (Solo) pada
Menurut Lany, seorang pengurus Institut Roncalli, bangunan yang
ditempati ole bruder-bruder FIC tersebut adalah Kompleks Istana Djoen Eng.
Istana Djoen Eng yang dibangun pada tahun 1921 adalah rumah pribadi seorang
saudagar kaya asal Cina. Kompleks Istana Djoen Eng sendiri dibangun oleh
seorang saudagar Cina yang bernama Kwik Djoen Eng. Perusahaan yang
didirikannya pada tahun 1877 di Semarang, yaitu N.V. Kwik Hoo Tong Handel
Maatschappij yang bergerak di bidang ekspor impor hasil bumi. Sekitar tahun
1920 telah berkembang menjadi salah satu firma Hindia Belanda yang tersebar
dengan cabang-cabangnya di seluruh Indonesia dan luar negeri (Cina, Taiwan,
Eropa, dan Amerika).
Seiring berjalannya waktu perusahaan tersebut jatuh, sehingga memaksa
saudagar kaya itu menjual ‘istana’ megahnya tersebut. Istana yang megah itu
kosong selama beberapa tahun dan sempat ditempati oleh Gubernemen Hindia
Belanda untuk dijadikan kamp tawanan. Hingga akhirnya Bruder-bruder Fratres
Immaculatae Conceptionis (FIC) itu menetap di bangunan tersebut. Hingga
sekarang bangunan tersebut dijadikan kawasan para Bruder dan Suster mendalami
ilmu keagamaan atau sekarang sering disebut Institut Roncalli (Eddy Supangkat,
2000: 148).
Untuk itu perlu dilakukan penelitian tentang perkembangan fungsi Istana
Djoen Eng di Salatiga hingga dijadikan sebagai Institut Roncalli. Dalam skripsi
ini penulis mengambil tahun 1921-1968 karena kompleks istana milik Kwik
Djoen Eng itu mulai dibangun pada tahun 1921 dan baru selesai empat tahun
bangunannya itu sendiri yang sangat besar. Pada tahun 1925, Djoen Eng beserta
keluarganya mulai menempati Istana tersebut sampai terjadinya krisis ekonomi
yang melanda dunia dan membuat perusahaan menjadi bangkrut. Yang berakibat
kompleks istana Djoen Eng disita oleh Javasche Bank. Pada bulan April 1940
kompleks istana Djoen Eng ini dibeli oleh gereja Katolik dari kongregasi FIC dan
harga yang rendah, dan untuk sementara bangunan ini dibiarkan kosong. Ketika
tentara Jepang masuk ke Salatiga, gedung megah itu berubah fungsi menjadi
kamp interniran bangsa Belanda. Setelah itu dijadikan markas polisi dan tentara
Indonesia.
Antara tahun 1946-1949 gedung tersebut berubah fungsi lagi sebagai
tangsi tentara Belanda. Pada bulan Mei 1949 barulah Bruder-bruder FIC
menempatinya. Tepat pada tanggal 12 Mei 1968, istana tersebut beralih fungsi
menjadi Institut Roncalli hingga sekarang.
B. Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang yang telah diuraikan diatas, maka dapat
dirumuskan masalah: Bagaimana perkembangan Fungsi Bangunan Istana Djoen
Eng antara tahun 1921 – 1968?
C. Tujuan Penelitian
Berdasarkan uraian latar belakang dan rumusan masalah di atas maka
penelitian ini bertujuan untuk mendeskripsikan perkembangan fungsi bangunan
D. Manfaat Penelitian
Skripsi ini diharapkan dapat memberikan banyak manfaat atau kegunaan
antara lain.
1. Manfaat Akademis
a. Dapat memberikan sumbangan dalam pengembangan materi sejarah
kebudayaan di Indonesia.
b. Dapat digunakan sebagai referensi bagi peneliti–peneliti lainnya
yang meneliti tentang perkembangan bangunan di Salatiga tempo
dulu.
2. Secara Signifikasi Praktis
a. Dapat mengenalkan kepada masyarakat mengenai perkembangan
bangunan Cina di Salatiga.
b. Memberi wawasan dan pengetahuan kepada mahasiswa dan