• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB I PENDAHULUAN. merupakan penghasil devisa dari perdagangan ekspor. kinerja Industri Kecil dan Menengah (IKM) dilaporkan oleh Orpha Jane dan Arie

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "BAB I PENDAHULUAN. merupakan penghasil devisa dari perdagangan ekspor. kinerja Industri Kecil dan Menengah (IKM) dilaporkan oleh Orpha Jane dan Arie"

Copied!
15
0
0

Teks penuh

(1)

1

BAB I PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Daya saing produk industri ber-orientasi ekspor yang dihasilkan oleh pengusaha ekonomi menengah dan kecil di Indonesia telah banyak dilakukan pengkajian tidak saja karena banyak menyerap lapangan perja, tetapi juga merupakan penghasil devisa dari perdagangan ekspor. Hasil kajian tentang kinerja Industri Kecil dan Menengah (IKM) dilaporkan oleh Orpha Jane dan Arie Indra Chandra (2012), Badrudin Rudy(2012), serta Jaka Sriyana (2010). Kajian secara lebih spesifik dilaporkan oleh Jamaluddin (2005) tentang daya saing produk lokal, serta Endang Sri Rahayu (2010) tentang pentingnya kemitraan dalam upaya meningkatkan daya saing IKM yang diangkat dari profile perkampungan industri kecil Jakarta Timur.

Laporan hasil penelitian yang disampaikan oleh para peneliti sebagaimana disebutkan di atas pada umumnya memberikan gambaran tentang kendala permodalan, jaringan pemasaran yang terbatas, serta permasalahan sumber daya yang kurang terampil. Penelitian Jesika (2012) menemukan adanya peran yang positif dalam rangka peningkatan daya saing IKM ber-orientasi ekspor di wilayah DKI Jakarta dari sejumlah variabel seperti keunggulan produk, inovasi yang dilakukan pengusaha, sumber daya manusia serta pemasaran dengan memanfaatkan teknologi.

(2)

2

Kendala yang dihadapi IKM di Bali adalah permasalahan bahan baku dan teknologi, sehingga mengurangi daya saing IKM di Bali. Kajian yang dilakukan oleh Asep A Saefuloh (2007) untuk IKM di Provinsi Bali menunjukkan bahwa peranan pemerintah dilaksanakan dalam rangka terwujudnya fondasi ekonomi kerakyatan. Kebijakan pemerintah Provinsi Bali dilaksanakan melalui pembinaan IKM untuk mendorong peningkatan daya saing ekspor khususnya kerajinan di Bali.

Pendekatan pembinaan IKM juga dilakukan pemerintah pusat melalui Departemen Koperasi dan IKM bekerjasama dengan Pemerintah Kabupaten Badung yang sukses dalam pengembangan model One Village One Product (OVOP) (Laporan Bappeda Kabupaten Badung, 2012). Demikian pula terhadap Adanya kesesuaian kompetensi sumber daya yang semakin tersedia secara mencukupi, adanya pengetahuan kelembagaan ekonomi baru, adanya dukungan lingkungan (budaya) dalam meningkatkan keunggulan kompetensi dan adanya pengetahuan (kreativitas) sebagai pembangkit ekonomi (Badrudin Rudy, 2012).

Penelitian Sujadi (2008) tentang sinergi produk IKM berbasis ekspor di Klaten Jawa Tengah menyimpulkan adanya keterkaitan yang erat antara penyedia bahan baku dengan kinerja pertumbuhan ekspor produk IKM tersebut. Studi yang telah dilaksanakan oleh sejumlah peneliti tersebut di atas pada umumnya lebih banyak menyajikan profile tentang kinerja IKM dengan sangat terbatas memperkenalkan adanya kemungkinan penggunaan strategi usaha yang tepat guna dalam mempertahankan produk mereka menjadi tetap ajeg dan berkelanjutan.

(3)

3

Porter (1995) telah merumuskan empat komponen yang harus diperhatikan organisasi perusahaan dalam mendapatkan pangsa pasar dari produk yang mereka produksi. Pertama, adalah company strategy, struktur usaha dan posisi pesaing. Kedua, adalah factor conditions, yaitu kondisi internal perusahaan dengan sumber daya yang mereka miliki dalam upaya menghasilkan produk yang low cost. Ketiga adalah demand conditions, dimana produk yang dihasilkan akan menemukan pembeli potensial. Ke empat adalah supporting industries, dimana perusahaan dalam menghasilkan produk barang dan jasa dapat memelihara ketersediaan bahan baku melalui jaringan supplier yang semakin mapan.

Persaingan pasar produk berbasis ekspor pada era tahun 1990-an semakin tajam, sehingga mengharuskan banyak perusahaan menata kembali strategi usaha yang lebih sesuai dalam menghadapi arah persaingan usaha dalam arena pasar internasional. Dalam rangka menyikapi arah persaingan tersebut, Barney, J. B., & Wright, P.M. (1998) dapat menjadi sumber inspirasi baru tentang gagasan mereka yang berkaitan dengan pendekatan Resources Base View (RBV) yaitu pandangan yang lebih memfokuskan diri pada persoalan inward looking dari perumusan strategi dan kebijakan pengelolaan usaha menjadi lebih tajam dalam menata low cost untuk mampu bersaing. Pada tahun 1990-an, gagasan tentang RBV menjadi lebih mengemuka untuk kemudian dikaitkan dengan kemungkinan dapat memiliki nilai tambah berkelanjutan, yaitu arah pengembangan strategi usaha resources based approach yang dikaitkan dengan sustainable competitive advantage (Spanos dan Lioukas, 2001).

(4)

4

Premis dari pendekatan RBV adalah bahwa perusahaan bersaing dari sumber daya yang mereka miliki dengan mengoptimalkan pada kapabilitas sumber daya agar bisa berproduksi pada nilai tambah pelanggan yang lebih besar (Margaret A.Peteraf dan Mark E. Bergen, 2003). Produk yang berdaya saing tinggi adalah pencerminan dari kemampuan usaha dalam mengkombinasikan resources berbasis kompetensi sumber daya yang akan mendorong terbentuknya keunggulan kompetitif produk dari usaha bersangkutan. Dengan demikian, keunggulan sumber daya adalah focus strategi dalam mencapai sasaran akhir.

Berdasarkan laporan hasil penelitian yang telah disampaikan di sejumlah tempat di Indonesia, menunjukkan bahwa pendekatan RBV yang memfokuskan kepada strategi inward looking adalah mungkin diterapkan, tetapi menjadi relative

terkendala apabila tidak diperhitungkan lingkungan budaya, kondisi

kemasyarakatan serta arah kelembagaan politik. Hal tersebut ikut serta membentuk dan sekaligus dapat menjadi hambatan bagi pengembangan konsep RBV dalam rangka menghasilkan produk yang berdaya saing.

DiMaggio and Powell (2001) menggagas keterpaduan antara konsep RBV dengan konsep teori new institutional yang memfokuskan kepada peranan kelembagaan dalam membentuk perilaku kemasyarakatan. Cara pandang ini menjadi relevan dengan kondisi IKM di Indonesia, karena perubahan yang terjadi atas kinerja usaha mereka tidak dapat dilepaskan kaitannya dengan kondisi budaya, kepentingan politik dan kondisi dinamis sosial kemasyarakatan.

Provinsi Bali terkenal di dunia dengan wisata budaya, sehingga Bali menjadi target kunjungan wisatawan baik domestik maupun manca negara.

(5)

5

Kondisi ini berdampak terhadap IKM sebagai industri yang mendorong pariwisata di Bali. Kondisi ini menunjukkan bahwa IKM di Provinsi Bali sangat potensial dikembangkan untuk menopang perekonomian Bali sebagai daerah pariwisata.

Gambar 1.1 Daerah Penelitian

Bali merupakan kawasan yang dibagi menjadi 4 wilayah pengembangan potensi produksi meliputi Bali Selatan, Bali Utara, Bali Timur dan Bali Barat. (lihat Gambar 1.1). Meskipun dibagi menjadi 4 wilayah, namun dilihat dari wilayah pertumbuhan ekonomi, maka Bali dibagi menjadi wilayah Sarbagita dan wilayah Non Sarbagita. Sarbagita meliputi Kota Denpasar, Kabupaten Badung, Kabupaten Gianyar, dan Kabupaten Tabanan, serta non Sarbagita meliputi Kabupaten Buleleng, Bangli, Jembrana, Karangasem, dan Klungkung.

(6)

6

Tabel 1.1

Potensi Industri Kerajinan Kayu Wilayah Sarbagita Tahun 2013 No. Kabupate n/Kota Jml. Unit Usaha (unit) Tenaga Kerja (orang) Nilai Investasi (Rp 000) Nilai Produksi (Rp 000) 1 Tabanan 53 350 14.231.133 69.842.525 2 Denpasar 316 2.134 33.386.444 152.364.554 3 Badung 235 2.636 10.439.728 83.600.113 4 Gianyar 286 5.335 388.210.040 195.738.265 Total 890 10.455 446.267.345 501.545.457 Sumber : Dinas Perindustrian dan Perdagangan Provinsi Bali Tahun 2013

Berdasarkan data Dinas Perindustrian dan Perdagangan Provinsi Bali tahun 2013, jumlah unit usaha di wilayah Sarbagita Provinsi Bali yang terbanyak ada di Kota Denpasar, kemudian disusul Kabupaten Gianyar, Kabupaten Badung, dan yang paling sedikit ada pada Kabupaten Tabanan. Penyerapan tenaga kerja paling banyak di Kabupaten Gianyar, dan paling sedikit ada di Kabupaten Tabanan. Nilai investasi terbesar ada pada Kabupaten Gianyar, dan terendah di Kabupaten Badung. Nilai produksi terbesar ada di Kabupaten Gianyar, disusul Kota Denpasar, kemudian Kabupaten Badung, dan yang terendah nilai produksinya adalah Kabupaten Tabanan. Total produksi industri kerajinan kayu di wilayah Sarbagita Tahun 2013 senilai Rp. 501.545.457.000.

Industri yang ada di Bali sebagian besar tergolong IKM, dimana produk industri kecil dan kerajinan yang terdiri dari kerajinan kayu dan tekstil. Ekspor daerah Bali digolongkan atas beberapa komoditas, yaitu hasil kerajinan, hasil industri, hasil pertanian, hasil perkebunan, dan lain-lain. Pada Tabel 1.2 dapat

(7)

7

dilihat bahwa total ekspor daerah Bali dari tahun 2008 hingga tahun 2012 rata-rata mengalami penurunan sebesar 3,32 persen.

Berdasarkan Tabel 1.2, ternyata produk kerajinan kayu mengalami fluktuasi, artinya mengalami penurunan dan peningkatan ekspor. Bahkan terdapat arah dimana produk ekspor tertentu tidak lagi menjadi mata dagangan pada negara bersangkutan, tetapi kemudian beralih ke negara tujuan lainnya. Komoditas ekspor hasil kerajinan yang di dalamnya termasuk kerajinan kayu realisasi ekspor Daerah Bali periode 2008 – 2012 rata-rata mengalami perubahan dengan penurunan sebesar 6,42 persen. Demikian pula untuk hasil industri realisasi ekspornya untuk periode yang sama juga mengalami penurunan rata-rata 3,93 persen. Hasil pertanian dan perkebunan realisasi ekspor periode 2008 – 2012 rata-rata mengalami kenaikan, dimana untuk hasil pertanian sebesar 5,23 persen, dan untuk perkebunan sebesar 6,45 persen. Sedangkan realisasi ekspor di luar hasil kerajinan, hasil industri, hasil pertanian dan hasil perkebunan dalam periode 2008 – 2012 rata-rata mengalami kenaikan sebesar 39,83 persen.

Tabel 1.2

Realisasi Ekspor Daerah Bali Per Komoditi Periode 2008 – 2012

Komoditas Ekspor

Tahun (Rp juta) Rata-rata

Perubahan 2008 2009 2010 2011 2012 Hasil Kerajinan 266,21 224,10 215,29 197,46 202,07 - 6,42% Hasil Industri 188,93 170,47 180,22 192,13 157,03 -3,93% Hasil Pertanian 96,17 104,54 119,77 102,56 114,89 5,23% Hasil Perkebunan 0,64 0,96 0,89 0,90 0,74 6,45% Lain-lain 1,88 2,47 3,75 4,82 7,11 39,83% Total 553,83 502,54 519,91 497,86 481,84 -3,32%

(8)

8

Fenomena kinerja IKM di Provinsi Bali dapat dilihat dari perdagangan ekspor produk kerajinan yang selama ini telah diekspor ke berbagai negara tujuan, antara lain negara ASEAN, negara Pasifik, Uni Eropa, Timur Tengah Eropa Timur, Afrika, Amerika Tengah, Amerika Selatan, Asia Selatan, dan negara lainnya. Realisasi ekspor per negara tujuan tahun 2008– 2012 untuk negara tujuan Uni Eropa mengalami penurunan yang sangat tinggi dengan rata-rata 11,11 persen. Sedangkan untuk negara tujuan Amerika Tengah realisasi ekspor tahun 2008 – 2012 mengalami kenaikan yang sangat tinggi dengan rata-rata 16,45 persen, dengan rincian sebagaimana disajikan pada Tabel 1.3

Tabel 1.3

Realisasi Ekspor Per Negara Tujuan Tahun 2008 – 2012

Negara Tujuan

Realisasi Ekspor (Rp juta) Rata-rata

Perubahan 2008 2009 2010 2011 2012 Negara ASEAN 13,38 10,65 12,47 12,77 13,03 0,27% Negara Pasific 248,03 256,26 270,92 263,19 273,62 2,54% Uni Eropa 198,77 171,03 163,38 147,52 123,46 -11,11% Timur Tengah 5,40 2,45 3,85 4,14 4,27 3,33% Eropa Timur 2,31 1,51 1,14 1,65 2,06 2,66% Afrika 14,99 16,29 14,65 14,81 17,30 4,13% Amerika Tengah 2,27 2,16 2,43 4,40 3,39 16,45% Amerika Selatan 7,55 5,76 6,42 7,34 7,81 2,12% Asia Selatan 1,99 2,22 2,58 3,39 3,11 12,71% Negara Lainnya 59,14 34,21 42,07 38,65 33,79 -9,97% Total 553,83 502,54 519,91 497,86 481,84 -3,32%

(9)

9

Berdasarkan fenomena tersebut, serta sejumlah riset yang terkait dengan IKM sebagaimana telah dinyatakan sebelumnya, maka konstruksi permasalahan kinerja IKM dapat dirumuskan sebagai pokok permasalahan penelitian ini. Pertama, keberadaan IKM tidak dapat dilepaskan dari faktor-faktor yang mempengaruhi kinerja IKM, termasuk permasalahan bagaimana mewujudkan daya saing berkelanjutan sebagaimana telah dirumuskan sebagai strategi bersaing oleh Barney (1998). Kedua, kemungkinan dapat dipadukan konsep DiMagio dan Powell (2001). Ketiga, memadukan konsep strategi daya saing Barney (1998) dan pendekatan modal sosial (DiMagio dan Powell, 2001) diharapkan dapat menjadi kerangka dalam memecahkan permasalahan kinerja IKM yang berdaya saing di Bali.

Darwanto, (2010), menyatakan bahwa pemerintah memiliki peran strategis dalam memberdayakan IKM di Indonesia. Hal yang senada disampaikan oleh Etty Puji Lestari (2002) dan Badrudin Rudy (2010). Peranan pemerintah ternyata sebagian besar diarahkan kepada upaya pemberdayaan dan pendampingan dalam rangka meningkatkan kompetensi usaha IKM. (Orpha Jane, Arie Indra Chandra, 2012). Peran yang lain dari pemerintah adalah memberikan fasilitas pendanaan (Sujadi, 2008), dan Irene Ferguson Laing (2009). Pemerintah juga berperan dalam membantu dalam kerjasama kemitraan usaha. (Christiana et al, 2011), dan Nunuy Nur Afiah (2009).

Jonathan Q. Morgan (2009), dan juga sejalan dengan Jose G. Vargas Hernandez (2010), menyatakan bahwa pembinaan dan pemberdayaan pemerintah dalam jangka panjang dapat berperan dalam rangka meningkatkan daya saing

(10)

10

IKM secara berkelanjutan. Mohammed Bin Rashid Establishment (2011), dan Atul Mishra (2012) lebih menekankan kepada pendampingan pemerintah dalam rangka kemitraan usaha sehingga menjadi fondasi bagi pengembangan usaha berdaya saing dalam jangka panjang.

Kualitas sumber daya IKM yang diberdayakan secara konsisten dan berkelanjutan akan meningkatkan daya saing IKM dalam mendapatkan segmen pasar yang lebih luas, Elnaga (2013). Hal yang senada juga dikemukakan oleh Okereke (2011), Onuka (2012),danMabel Oyitso (2012).

Atul Mishra (2013), Aziz Sunje (2000), dan Jonathan Q. Morgan (2009) juga menyatakan hal yang tidak berbeda dengan peneliti sebelumnya, yaitu bahwa penataan sumber daya IKM yang semakin trampil akan meningkatkan kompetensi mereka dalam rangka membangun kinerja produksi dan perluasan pasar. Stimson, et al (2003) menyatakan perlunya memperhatikan lingkungan social. Paldam, at al (1999) menyatakan peranan adat tradisi dan budaya masyarakat sebagai dinamika yang hidup berkembang dan memberikan dorongan bagi peningkatan prestasi dalam berproduksi. Meningkatnya produksi secara stabil pada gilirannya dapat menciptakan daya saing usaha secara berkelanjutan (Stephenson, et al (2004), Farrell, et al (2003). Michael Woolcock (2000) menyatakan pentingnya kinerja produksi dalam rangka mendorong perluasan pasar.

Kevin, et al (2008), melaporkan kajian tentang peranan social capital dalam membangun daya saing usaha IKM. Hal yang senada disampaikan oleh Robert M. Grant (2001). Dan juga Oystein Gjerde et al (2009). Peranan sosial

(11)

11

kapital dalam membangun daya saing disampaikan oleh Gelinas, Orams, dan Wiggins (1997), Thomas C. Powell (2001). Bahwa peranan social capital dimaksud adalah proses kebersamaan dalam pengambilan keputusan (Nham, et al (2010), dan Arif Dwi Hartanto et al (2013).

Newbert (2008), menyatakan bahwa kebersamaan untuk mencapai tujuan dapat dilakukan dengan menghindarkan adanya konflik kepentingan antar sesama pengusaha IKM. Roger J. Best (2008), Porter (1995),danBruce Dehning, Theophanis Stratopoulos (2002), menyatakan bahwa motivasi kerja dalam semangat kebersamaan dinyatakan sebagai kunci keberhasilan dalam membangun kinerja usaha.

Y. Sri Susilo (2010), dan juga Setiarso (2006), menyatakan bahwa kebersamaan akan membangun fondasi perusahaan menjadi lebih kuat. (Jesika, 2012), dan (Julianto Didik Eko, 2008), serta (Endang Sri Rahayu, 2010) memperkuat pernyataan Susilo dan Setiarso berdasarkan penelitian kinerja usaha yang dilakukan di DKI Jakarta.

Sriyana, (2010), dan Maurice Berns, et al (2009) mendukung pernyataan di atas dengan mengemukakan bahwa kebersamaan tidak saja membangun fondasi usaha yang kuat tetapi juga dapat meningkatkan struktur permodalan usaha melalui penguatan kebersamaan.

Keterbaruan dari penelitian ini adalah menyertakan peranan modal sosial melalui pendekatan budaya lokal dalam rangka membangun peningkatan daya saing IKM di wilayah Sarbagita Provinsi Bali. Peranan modal sosial sebagai kekuatan dalam membangun daya saing merujuk pada DiMagio (2001). Modal

(12)

12

sosial dalam penelitian ini diartikan sebagai potensi yang terdapat pada Budaya Lokal. Setiap budaya memiliki potensi kebersamaan (Putnam, 1978).

1.2 Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang penelitian maka dapat dirumuskan beberapa pokok masalah sebagai berikut :

1) Bagaimana pengaruh pemerintah terhadap kinerja IKM (usaha industri kerajinan kayu) di wilayah Sarbagita Provinsi Bali?

2) Bagaimana pengaruh pemerintah terhadap kompetensi IKM (usaha industri kerajinan kayu) di wilayah Sarbagita Provinsi Bali?

3) Bagaimana pengaruh pemerintah terhadap daya saing berkelanjutan IKM (usaha industri kerajinan kayu) di wilayah Sarbagita Provinsi Bali?

4) Bagaimana pengaruh kompetensi IKM terhadap kinerja IKM (usaha industri kerajinan kayu) di wilayah Sarbagita Provinsi Bali?

5) Bagaimana pengaruh kompetensi IKM terhadap daya saing berkelanjutan pada IKM (usaha industri kerajinan kayu) di wilayah Sarbagita Provinsi Bali? 6) Bagaimana pengaruh budaya lokal terhadap kinerja IKM (usaha industri

kerajinan kayu) di wilayah Sarbagita Provinsi Bali?

7) Bagaimana pengaruh budaya lokal terhadap daya saing berkelanjutan pada IKM (usaha industri kerajinan kayu) di wilayah Sarbagita Provinsi Bali? 8) Bagaimana pengaruh kinerja IKM terhadap daya saing berkelanjutan pada

IKM (usaha industri kerajinan kayu) di wilayah Sarbagita Provinsi Bali? 9) Bagaimana pengaruh kebijakan pemerintah terhadap kinerja usaha industri

(13)

13

10) Bagaimana pengaruh kebijakan pemerintah terhadap daya saing usaha industri kerajinan kayu melalui mediasi kinerja usaha?

11) Bagaimana pengaruh kompetensi usaha industri kerajinan kayu terhadap daya saing usaha melalui mediasi kinerja usaha?

12) Bagaimana pengaruh budaya lokal terhadap daya saing usaha industri kerajinan kayu melalui mediasi kinerja usaha?

1.3 Tujuan Penelitian

1) Untuk menguji signifikansi dan menganalisis pengaruh pemerintah terhadap kinerja IKM (usaha industri kerajinan kayu) di wilayah Sarbagita Provinsi Bali

2) Untuk menguji signifikansi dan menganalisis pengaruh pemerintah terhadap kompetensi IKM (industri kerajinan kayu) di wilayah Sarbagita Provinsi Bali 3) Untuk menguji signifikansi dan menganalisis pengaruh pemerintah terhadap

daya saing berkelanjutan IKM (industri kerajinan kayu) di wilayah Sarbagita Provinsi Bali

4) Untuk menguji signifikansi dan menganalisis pengaruh kompetensi IKM terhadap kinerja IKM (usaha kerajinan kayu di wilayah Sarbagita Provinsi Bali

5) Untuk menguji signifikansi dan menganalisis pengaruh kompetensi IKM terhadap daya saing berkelanjutan pada IKM (industri kerajinan kayu) di wilayah Sarbagita Provinsi Bali

(14)

14

6) Untuk menguji signifikansi dan menganalisis pengaruh budaya lokal terhadap kinerja IKM (usaha industri kerajinan kayu) di wilayah Sarbagita Provinsi Bali?

7) Untuk menguji signifikansi dan menganalisis pengaruh budaya lokal terhadap daya saing berkelanjutan pada IKM (industri kerajinan kayu) di wilayah Sarbagita Provinsi Bali

8) Untuk menguji signifikansi dan menganalisis pengaruh kinerja IKM terhadap daya saing berkelanjutan pada IKM (industri kerajinan kayu) di wilayah Sarbagita Provinsi Bali

9) Untuk menganalisis pengaruh signifikansi kebijakan pemerintah terhadap kinerja usaha melalui mediasi kompetensi usaha

10) Untuk menganalisis pengaruh signifikansi kebijakan pemerintah terhadap daya saing usaha melalui mediasi kinerja usaha.

11) Untuk menganalisis pengaruh signifikansi kompetensi usaha terhadap daya saing usaha melalui mediasi kinerja usaha.

12) Untuk menganalisis pengaruh signifikansi budaya lokal terhadap daya saing usaha melalui mediasi kinerja usaha.

1.4 Manfaat Penelitian 1.4.1 Manfaat Praktis

Berdasarkan latar belakang dan rumusan masalah, maka manfaat praktis penelitian ini adalah sebagai berikut :

(15)

15

1) Memberikan kontribusi/masukan bagi Pemerintah dalam menyusun acuan kebijakan pemberdayaan industri kerajinan kayu di Bali pada khususnya dan IKM yang lain pada umumnya;

2) Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberi sumbangan ilmu pengetahuan dengan memberikan bukti empiris yang menunjukkan bahwa melalui analisis ini, IKM dapat dijadikan sebagai barometer kekuatan perdagangan daerah dalam persaingan global.

1.4.2 Manfaat Teoritis

Hasil penelitian ini diharapkan dapat menambah khazanah penelitian khususnya dalam kajian ilmu pengetahuan ekonomi dengan mengoptimalkan peran Budaya Lokal dalam mendukung daya saing dan kinerja usaha. Disamping itu, penelitian ini juga dapat digunakan sebagai referensi bagi peneliti lain yang melakukan penelitian dibidang pemberdayaan IKM dalam pembangunan daerah sesuai dengan kondisi dan potensi daerah.

Gambar

Gambar 1.1  Daerah Penelitian

Referensi

Dokumen terkait

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui sensitifitas dan spesifisitas uji capture -ELISA dengan menggunakan antibodi poliklonal untuk diagnosa infeksi Fasciola gigantica pada

Dalam Pasal 34 ayat (1) Undang-undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan sebagaimana telah diubah dengan Undang-undang Nomor 10 Tahun 1998, ditetapkan bahwa Bank umum termasuk

Penelitian foklor pada permainan rakyat dipilih di wilayah kebudayaan Sunda dengan lokasi kampung Cikondang Pangalengan Jawa Barat. Lokasi ini dipilih karena secara

Tetapi program kerja P4TK yang berbasis mata pelajaran hanya membentuk Tim Pengembang Materi Pem- belajaran, bekerjasama dengan Perguruan Tinggi, dan tugasnya

Vuonna 1995 naisten välisen yhteisyyden teemat ovat väistyneet HALUN kehyksestä sekä Suomessa että Ranskassa. Muilta osin kehys eriytyy suomalaisessa ja ranskalaisessa

Air sebagai salah satu faktor yang mempengaruhi pertumbuhan dan keberhasilan peningkatan produksi pertanian, ketersediaanya mutlak diperlukan, baik secara jumlah maupun

Demikian juga halnya dengan bahasa Indonesia walaupun bersumber daripada bahasa Melayu, tetapi bahasa ini mempunyai aturan dan norma yang tersendiri, termasuklah pilihan leksikal

tivitas fisik berpengaruh terhadap kualitas hidup dengan nilai koefisien yaitu sebesar -0.369 artinya bahwa jika aktivitas fisik mengalami kenaikan satu poin ke arah yang