BAB V
HASIL DAN PEMBAHASAN
A. Implementasi dari Keputusan Menteri Keuangan No.575/KMK.04/2000 tanggal 26 Desember 2000.
Berdasarkan pasal 2 ayat 1 Keputusan Menteri Keuangan nomor 575 (selanjutnya disebut KMK 575) mengatur bahwa bagi Pengusaha Kena Pajak (selanjutnya disebut PKP) yang:
a. Melakukan kegiatan usaha terpadu (integrated) yang terdiri dari unit atau kegiatan yang menghasilkan barang yang atas penyerahannya tidak terutang PPN dan unit atau kegiatan yang menghasilkan barang yang atas penyerahannya terutang PPN; atau
b. Melakukan kegiatan usaha yang atas penyerahannya terdapat penyerahan yang tidak terutang PPN dan yang terutang PPN; atau
c. Melakukan kegiatan menghasilkan atau memperdagangkan barang dan usaha jasa yang atas penyerahannya terutang PPN dan yang tidak terutang PPN; atau d. Melakukan kegiatan usaha yang atas penyerahannya sebagian terutang PPN
dan sebagian lainnya dibebaskan dari pengenaan PPN;
Maka Pajak Masukan yang dibayar atas perolehan Barang Kena Pajak (selanjutnya disebut BKP) dan atau JKP (selanjutnya disebut JKP) yang:
2. Digunakan baik untuk unit atau kegiatan yang atas penyerahan hasil dari unit atau kegiatan tersebut tidak terutang PPN atau dibebaskan dari pengenaan PPN, maupun untuk unit kegiatan yang atas penyerahan hasil dari unit atau kegiatan tersebut terutang PPN, dapat dikreditkan sebanding dengan jumlah peredaran yang terutang PPN terhadap peredaran seluruhnya;
3. Nyata-nyata digunakan untuk unit kegiatan yang atas penyerahan hasil dari unit atau kegiatan tersebut terutang PPN, dapat dikreditkan.
Contoh dari penerapan peraturan tersebut pada perusahaan perkebunan sawit adalah perusahaan perkebunan sawit merupakan PKP yang menghasilkan TBS, dimana TBS termasuk ke dalam Barang Strategis (bukan BKP) seperti yang diatur dalam Peraturan Pemerintah No.31 tahun 2007. KMK 575 itu adalah pedoman penghitungan pengkreditan Pajak Masukan bagi perusahaan terpadu (integrated), dimana perusahaan tersebut selain mempunyai kebun juga sekaligus mempunyai pabrik sebagai tempat perusahaan tersebut mengolah hasil kebunnya menjadi barang siap jual maka penghitungan pengkreditan Pajak Masukan dihitung menurut KMK 575 itu. Berdasarkan penjelasan peraturan tersebut dikatakan bahwa Pajak Masukan untuk pembelian traktor dan pupuk yang digunakan untuk perkebunan sawit tidak dapat dikreditkan karena TBS bukan merupakan BKP yang atas penyerahannya tidak terutang PPN. Pertanyaan berikutnya yang muncul adalah jika perusahaan sawit tersebut tidak melakukan penyerahan TBS tetapi mereka melakukan jasa olah kepada perusahaan lain untuk mengolah TBS milik mereka menjadi CPO dan pada akhirnya yang mereka jual
adalah CPO dan bukan TBS, apakah Pajak Masukan yang terkait dengan perkebunan sawit menjadi bisa dikreditkan?
A.1 Proses Pemeriksaan
Berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan Nomor 17/PMK.03/2013 tanggal 7 Januari 2013 tentang tata cara pemeriksaan (selanjutnya disebut PMK 17), Direktur Jenderal Pajak (selanjutnya disebut DJP) berwenang melakukan Pemeriksaan dengan tujuan untuk menguji kepatuhan pemenuhan kewajiban perpajakan dan/atau untuk tujuan lain dalam rangka melaksanakan ketentuan peraturan perundangan-undangan perpajakan. Pemeriksaan untuk menguji kepatuhan pemenuhan kewajiban perpajakan dapat dilakukan dalam hal salah satunya memenuhi kriteria bahwa Wajib Pajak menyampaikan Surat Pemberitahuan yang menyatakan lebih bayar. Peneliti melakukan penelitian terhadap Putusan Banding atas 2 perusahaan dimana kedua-duanya melaporkan Surat Pemberitahuan Lebih Bayar di tahun 2009 sehingga untuk menguji kepatuhan pemenuhan kewajiban perpajakan terhadap ke-2 perusahaan tersebut maka DJP mengeluarkan Surat Perintah Pemeriksaan Pajak atas ke-2 perusahaan tersebut. Surat Perintah Pemeriksaan Pajak diterbitkan DJP untuk menguji kepatuhan pemenuhan kewajiban perpajakan atas semua kewajiban perpajakan yang dipunyai ke-2 perusahaan tersebut, termasuk PPN. Selama proses pemeriksaan terjadi, PT.A dan PT.B sudah melaksanakan kewajibannya untuk: 1. Memenuhi panggilan untuk datang menghadiri pemeriksaan sesuai dengan
2. Memperlihatkan dan/atau meminjamkan buku, catatan, dan/atau dokumen yang menjadi dasar pembukuan atau pencatatan, dan dokumen lain;
3. Memberi bantuan guna kelancaran pemeriksaan;
4. Memberikan laporan keuangan yang dbuat oleh Akuntan Publik; 5. Memberikan keterangan lisan dan/atau tertulis yang diperlukan.
Proses Pemeriksaan untuk menguji kepatuhan pemenuhan kewajiban perpajakan salah satunya adalah menerbitkan Pemberitahuan Hasil Pemeriksaan (selanjutnya disebut PHP) yang berisi tentang temuan Pemeriksaan yang meliputi pos-pos yang dikoreksi, nilai koreksi, dasar koreksi, perhitungan sementara dari jumlah pokok pajak terutang dan perhitungan sementara dari sanksi administrasi. Wajib Pajak berkewajiban untuk menerima PHP dan menanggapi PHP tersebut secara tertulis dalam jangka waktu 7 hari sejak diterimanya PHP itu dan menghadiri pembahasan akhir hasil pemeriksaan. Apabila Wajib Pajak tidak menyampaikan tanggapan secara tertulis atas hasil pemeriksaan dan tidak hadir dalam rangka pembahasan akhir hasil pemeriksaan dalam jangka waktu tersebut, maka hasil pemeriksaan dianggap telah disetujui oleh Wajib Pajak setujui seluruhnya dan pembahasan akhir hasil pemeriksaan dianggap telah dilaksanakan serta kewajiban pajak dari Wajib Pajak akan dihitung sesuai dengan hasil pemeriksaan tersebut. Wajib Pajak bisa memberikan permohonan tertulis kepada Pemeriksa Pajak untuk menunda waktu pemberian tanggapan dan pembahasan akhir hasil pemeriksaan apabila Wajib Pajak tidak dapat memenuhi jangka waktu yang telah diberikan. Tanggapan atas PHP dilaporkan oleh Wajib Pajak ke tempat penerimaan surat di Kantor Pelayanan Pajak tempat WP terdaftar dilampirkan
dengan bukti – bukti pendukung untuk melakukan sanggahan terhadap temuan dari Pemeriksa Pajak.
PT.A dan PT.B telah dilakukan pemeriksaan oleh Pemeriksa Pajak dan atas proses pemeriksaan tersebut telah diterbitkan PHP yang harus ditanggapi oleh PT.A dan PT.B. PHP yang diterbitkan oleh Pemeriksa Pajak atas PT.A dan PT.B sama-sama mengkoreksi pengkreditan Pajak Masukan dalam negeri yang dilakukan oleh PT.A dan PT.B. Alasan Pemeriksa Pajak melakukan koreksi tersebut adalah karena berdasarkan gambaran kegiatan usaha Wajib Pajak diketahui bahwa Wajib Pajak hanya mempunyai kebun kelapa sawit dimana seharusnya produk akhir dari perkebunan hanya menjual TBS. Akan tetapi pada kenyataannya produk akhir yang dijual adalah CPO dan Palm Kernel. TBS diolah terlebih dahulu di pabrik perusahaan lain menjadi CPO dan Palm Kernel dan disimpan di tangki penyimpanan sebelum dikirim ke konsumen. Terkadang Wajib Pajak juga melakukan pembelian berupa RBD Olein, Crude Palm Olein, CPO, ataupun Palm Kernel untuk kebutuhan konsumennya. Berdasarkan KMK 575, Pemeriksa melakukan koreksi terhadap Pajak Masukan yang berhubungan dengan aktivitas perkebunan sampai dengan produk akhir TBS tidak dapat dikreditkan karena tidak terutang PPN sedangkan Pajak Masukan yang sehubungan dengan produk akhir CPO dan PK yang terutang PPN, dapat dikreditkan.
PT.A dan PT.B memberikan tanggapan atas PHP yang diterbitkan oleh Pemeriksa Pajak dengan alasan bahwa koreksi Pemeriksa tidak berdasar karena kegiatan bisnis Wajib Pajak adalah industri penghasil minyak kelapa sawit (CPO) yang mengolah TBS sebagai bahan baku dari hasil kebun sendiri menjadi CPO
sebagai hasil dari akhir pabrikasi. TBS yang dihasilkan oleh kebun sendiri yang dimiliki PT.A dan PT.B seluruhnya kemudian diolah lebih lanjut untuk menghasilkan CPO. Hasil produksi dari industri penghasil CPO ini merupakan Barang Kena Pajak (BKP) yang pada saat penyerahanya kepada pihak pembeli dikenakan PPN. Semua Faktur Pajak (FP) yang kami kreditkan sudah sesuai dengan peraturan perpajakan yang berlaku dan sangat jelas terkait erat dengan kegiatan usaha kami sebagai penghasil CPO. Hal ini sesuai dengan Pasal 9 ayat (5) UU No. 6 Tahun 1983 sebagaimana diubah dengan Undang-Undang No. 18 Tahun 2000 yang isinya sebagai berikut:
Apabila dalam suatu Masa Pajak, Perusahaan Kena Pajak selain melakukan penyerahan yang terutang pajak juga melakukan penyerahan yang tidak terutang pajak, sepanjang bagian penyerahan yang terutang pajak dapat diketahui dengan pasti dari pembukuannya, maka jumlah Pajak Masukkan yang dapat dikreditkan adalah Pajak Masukan yang berkenaan dengan penyerahan yang terutang pajak.”
PT.A dan PT.B mengolah semua TBS yang dihasilkan oleh kebun mereka sendiri untuk menghasilkan CPO di pabrik milik pihak lain, yang berarti tidak pernah ada penjualan atau penyerahan TBS kepada pihak luar. Sesuai penjelasan yang diberikan oleh PT.A dan PT.B maka mereka berpendapat bahwa tidak lah tepat jika perusahaan mereka dikategorikan sebagai PKP yang melakukan penyerahan yang terutang pajak dan penyerahan yang tidak terutang pajak seperti yang dimaksud dalam KMK 575. Hal ini disebabkan karena isi KMK 575 tersebut sama sekali tidak berkaitan dengan pengkreditan Pajak Masukan bagi PKP yang melakukan usaha yang bersifat terpadu (integrated) yang hanya melakukan penyerahan BKP seperti perusahaan PT.A dan PT.B. Pendapat PT.A dan PT.B
didasarkan pada kenyataan bahwa hasil akhir produk perusahaan yang seluruhnya adalah CPO merupakan BKP. Oleh karena itu, semua Pajak Masukan yang terkait dengan penyerahan BKP, seperti atas pembelian pupuk untuk kebun, sudah seharusnya dapat dikreditkan.
Pemeriksa menerima tanggapan atas PHP dari Wajib Pajak dan mengundang Wajib Pajak untuk melakukan pembahasan akhir hasil pemeriksaan. Dari pembahasan akhir hasil pemeriksaan, koreksi Pajak Masukan yang dikoreksi oleh Pemeriksa tetap dipertahankan. Pemeriksa tetap berpendapat bahwa Pajak Masukan atas yang berhubungan dengan aktivitas perkebunan sampai dengan produk akhir TBS tidak dapat dikreditkan karena tidak terutang PPN. Berdasarkan hasil pemeriksaan itu, DJP menerbitkan Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar (SKPKB) PPN selama 12 masa, dari masa Januari sampai dengan masa Desember, tahun 2009. Jumlah pajak yang kurang dibayar berdasarkan SKPKB PPN yang diterbitkan oleh DJP ditambah dengan sanksi administrasi.
A.2 Proses Keberatan
Upaya hukum Wajib Pajak untuk mencari keadilan berlanjut ke tingkat keberatan. PT.A dan PT.B mengajukan keberatan atas SKPKB PPN yang diterbitkan oleh DJP. PT.A dan PT.B mengajukan keberatan secara tertulis dalam bahasa Indonesia dengan mengemukakan jumlah pajak yang terutang, jumlah pajak yang dipotong atau dipungut, atau jumlah rugi menurut perhitungan Wajib Pajak dengan disertai alasan yang menjadi dasar perhitungan. Untuk memenuhi syarat pengajuan keberatan maka PT.A dan PT.B mengajukan surat keberatan
dalam jangka waktu 3 bulan sejak tanggal dikirim SKPKB. Wajib Pajak wajib melunasi pajak yang masih harus dibayar paling sedikit sejumlah yang disetujui Wajib Pajak dalam pembahasan akhir pemeriksaan sebelum surat keberatan disampaikan, namun karena tidak ada jumlah koreksi yang disetujui oleh PT.A dan PT.B pada saat pembasahan akhir maka PT.A dan PT.B tidak harus melakukan pembayaran sama sekali.
Jangka waktu pelunasan pajak, dalam hal Wajib Pajak mengajukan keberatan, yang kurang dibayar yang terdapat di dalam SKPKB tertangguh sampai dengan 1 bulan sejak tanggal penerbitan Surat Keputusan Keberatan. Jika keberatan Wajib Pajak ditolak atau dikabulkan sebagian maka Wajib Pajak dikenai sanksi administrasi berupa denda sebesar 50% dari jumlah pajak berdasarkan keputusan keberatan dikurangi dengan pajak yang telah dibayar sebelum mengajukan keberatan. Untuk menghindari sanksi administrasi tersebut apabila nanti ternyata pengajuan keberatan Wajib Pajak ditolak oleh penelaah keberatan maka PT.A dan PT.B melakukan pembayaran 100% atas pajak yang kurang dibayar berdasarkan SKPKB. Pengenaan sanksi 50% dari jumlah pajak berdasarkan surat keputusan keberatan dikurangi dengan pajak yang telah dibayar sebelum mengajukan keberatan membuat Wajib Pajak harus mempersiapkan betul-betul pengajuan keberatannya karena jika keputusan keberatan tidak sesuai dengan yang diharapkan maka Wajib Pajak harus menanggung sanksi administrasi tersebut.
Wajib Pajak mengajukan keberatan dengan alasan kegiatan bisnis Wajib Pajak adalah industri penghasil minyak kelapa sawit (CPO) yang mengolah TBS
sebagai bahan baku dari hasil kebun sendiri menjadi CPO sebagai hasil dari akhir pabrikasi. TBS yang dihasilkan oleh kebun sendiri yang dimiliki PT.A dan PT.B seluruhnya kemudian diolah lebih lanjut untuk menghasilkan CPO. Hasil produksi dari industri penghasil CPO ini merupakan Barang Kena Pajak (BKP) yang pada saat penyerahanya kepada pihak pembeli dikenakan PPN. Semua Faktur Pajak (FP) yang kami kreditkan sudah sesuai dengan peraturan perpajakan yang berlaku dan sangat jelas terkait erat dengan kegiatan usaha kami sebagai penghasil CPO. Hal ini sesuai dengan Pasal 9 ayat (5) UU No. 6 Tahun 1983 sebagaimana diubah dengan Undang-Undang No. 18 Tahun 2000 yang isinya sebagai berikut:
Apabila dalam suatu Masa Pajak, Perusahaan Kena Pajak selain melakukan penyerahan yang terutang pajak juga melakukan penyerahan yang tidak terutang pajak, sepanjang bagian penyerahan yang terutang pajak dapat diketahui dengan pasti dari pembukuannya, maka jumlah Pajak Masukkan yang dapat dikreditkan adalah Pajak Masukan yang berkenaan dengan penyerahan yang terutang pajak.”
PT.A dan PT.B mengolah semua TBS yang dihasilkan oleh kebun mereka sendiri untuk menghasilkan CPO di pabrik milik pihak lain, yang berarti tidak pernah ada penjualan atau penyerahan TBS kepada pihak luar. Sesuai penjelasan yang diberikan oleh PT.A dan PT.B maka mereka berpendapat bahwa tidak lah tepat jika perusahaan mereka dikategorikan sebagai PKP yang melakukan penyerahan yang terutang pajak dan penyerahan yang tidak terutang pajak seperti yang dimaksud dalam KMK 575. Hal ini disebabkan karena isi KMK 575 tersebut sama sekali tidak berkaitan dengan pengkreditan Pajak Masukan bagi PKP yang melakukan usaha yang bersifat terpadu (integrated) yang hanya melakukan penyerahan BKP seperti perusahaan PT.A dan PT.B. Pendapat PT.A dan PT.B
didasarkan pada kenyataan bahwa hasil akhir produk perusahaan yang seluruhnya adalah CPO merupakan BKP. Oleh karena itu, semua Pajak Masukan yang terkait dengan penyerahan BKP, seperti atas pembelian pupuk untuk kebun, sudah seharusnya dapat dikreditkan.
Ketentuan Pasal 9 ayat (2) dan ayat (8) Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1983 sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2000 antara lain diatur bahwa:
Ayat (2) : Pajak Masukan dalam suatu Masa Pajak dikreditkan dengan Pajak Keluaran untuk Masa Pajak yang sama.
Ayat (8) : Pajak Masukan tidak dapat dikreditkan menurut cara sebagaimana diatur dalam ayat (2) bagi pengeluaran untuk:
a. Perolehan Barang Kena Pajak atau Jasa Kena Pajak sebelum Pengusaha dikukuhkan sebagai Pengusaha Kena Pajak;
b. Perolehan Barang Kena Pajak atau Jasa Kena Pajak yang tidak mempunyai hubungan langsung dengan kegiatan usaha;
c. Perolehan dan pemeliharaan kendaraan bermotor sedan, jeep, station wagon, van, dan kombi kecuali merupakan barang dagangan atau disewakan;
d. Pemanfaatan Barang Kena Pajak tidak berwujud atau pemanfaatan Jasa Kena Pajak dari luar Daerah Pabean sebelum Pengusaha dikukuhkan sebagai Pengusaha Kena Pajak;
e. Perolehan Barang Kena Pajak atau Jasa Kena Pajak yang bukti pungutannya berupa Faktur Pajak Sederhana;
f. Perolehan Barang Kena Pajak atau Jasa Kena Pajak yang Faktur Pajaknya tidak memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13 ayat (5);
g. Pemanfaatan Barang Kena Pajak tidak berwujud atau pemanfaatan Jasa Kena Pajak dari luar Daerah Pabean yang Faktur Pajaknya tidak memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13 ayat (6);
h. Perolehan Barang Kena Pajak atau Jasa Kena Pajak yang Pajak Masukannya ditagih dengan penerbitan ketetapan pajak;
i. Perolehan Barang Kena Pajak atau Jasa Kena Pajak yang Pajak Masukannya tidak dilaporkan dalam Surat pemberitahuan Masa Pajak Pertambahan Nilai, yang diketemukan pada waktu dilakukan pemeriksaan.
Berdasarkan ketentuan di atas, Pajak Masukan yang dapat dikreditkan adalah yang nyata-nyata digunakan untuk kegiatan yang atas penyerahan hasilnya terutang Pajak Pertambahan Nilai, kecuali Pajak Masukan seperti yang telah diuraikan dalam Pasal 9 ayat (8) UU PPN. Lebih lanjut, Penjelasan Pasal 9 ayat (8) huruf b Undang-Undang yang sama menyebutkan bahwa Yang dimaksud dengan pengeluaran yang langsung berhubungan dengan kegiatan usaha adalah pengeluaran untuk kegiatan produksi, distribusi, pemasaran, dan manajemen. Ketentuan ini berlaku untuk semua bidang usaha. Berdasarkan ketentuan-ketentuan di atas dapat kami simpulkan bahwa pembelian pupuk dan perlengkapan perkebunan yang dilakukan oleh Wajib Pajak adalah nyata-nyata
merupakan kegiatan yang berhubungan langsung dalam memproduksi atau menghasilkan BKP berupa CPO, oleh karena itu sudah sewajarnya dan seharusnya PPN Masukan tersebut dapat dikreditkan sebagai Pajak Masukan.
Pada saat proses keberatan, Wajib Pajak memberikan dokumen-dokumen pendukung, misalnya seperti Faktur Pajak Masukan yang dikoreksi oleh Pemeriksa Pajak disertai dengan arus uang atas pembelian BKP. Selama proses keberatan, penelaah keberatan tidak meminta data lagi kepada Wajib Pajak karena penelaah keberatan beranggapan bahwa pengajuan keberatan oleh Wajib Pajak bukan berdasarkan perbedaan penentuan pajak yang kurang bayar melainkan sengketa yang diajukan keberatan lebih disebabkan karena masalah yuridis. Masalah yuridis ini disebabkan karena adanya perbedaan penafsiran peraturan oleh Wajib Pajak dan pihak DJP. Dalam batas waktu 12 bulan sejak tanggal surat keberatan diterima, pihak DJP harus memberikan keputusan atas keberatan yang diajukan oleh WP. Apabila dalam jangka waktu 12 bulan tersebut telah terlewati maka pengajuan keberatan Wajib Pajak dianggap dikabulkan.
Sebelum jangka waktu penyelesaian keberatan terlewati, pihak DJP mengeluarkan Surat Pemberitahuan Untuk Hadir (selanjutanya disebut SPUH) beserta pemberitahuan daftar hasil penelitian keberatan. Atas pemberitahuan hasil penelitian keberatan itu, Wajib Pajak diberi kesempatan untuk menanggapi secara tertulis disertai dengan data, bukti, dan dokumen yang mendukung uraian dalam tanggapan tertulis tersebut dalam jangka waktu paling lama 10 hari kerja sejak tanggal SPUH. Selain memberikan tanggapan secara tertulis, Wajib Pajak juga diberi kesempatan untuk hadir memberikan keterangan kepada penelaah
keberatan. Apabila Wajib Pajak tidak hadir maka pengajuan keberatan akan diselesaikan sesuai dengan data yang telah ada pada penelaah keberatan.
Berdasarkan pemberitahuan daftar hasil penelitian keberatan diketahui bahwa penelaah keberatan menolak keberatan Wajib Pajak dan tetap mempertahankan koreksi dari Pemeriksa Pajak. Alasan penealaah keberatan mempertahankan koreksi Pemeriksa Pajak adalah karena Pajak Masukan atas perkebunan kelapa sawit tersebut nyata-nyata digunakan untuk unit atau kegiatan yang atas penyerahannya dibebaskan dari pengenaan PPN sehingga tidak dapat dikreditkan, hal ini telah sesuai dengan ketentuan Pasal 2 KMK 575. Penelaah keberatan juga beralasan bahwa perlakuan KMK 575 diberlakukan dan diterapkan sama terhadap semua Wajib Pajak, baik bagi usaha kelapa sawit terpadu (integrated) maupun bagi usaha kelapa sawit yang tidak terpadu (non integrated). Perlakuan KMK 575 juga telah sesuai dengan prinsip perlakuan yang sama (equal treatment) sebagaimana diatur dalam penjelasan Pasal 16B ayat (1) Undang-Undang PPN, sehingga tercipta adanya keadilan pembebanan. Namun usaha PT.A dan PT.B tidak hanya sampai di tingkat keberatan, demi mencari keadilan, PT.A dan PT.B melanjutkan upaya hukum ke tingkat banding.
A. Analisis Putusan Banding Atas Implementasi dari Keputusan Menteri Keuangan No.575/KMK.04/2000 tanggal 26 Desember 2000.
Upaya hukum selanjutnya yang ditempuh PT.A dan PT.B untuk mendapatkan keadilan adalah melalui banding ke Pengadilan Pajak. Pengajuan banding ke Pengadilan Pajak harus memenuhi beberapa syarat sehingga surat banding Pemohon Banding bisa dipertimbangkan. Syarat-syarat pengajuan Banding adalah:
1. Wajib Pajak dapat mengajukan permohonan Banding hanya kepada badan Peradilan Pajak atas Surat Keputusan Keberatan;
2. Permohonan Banding diajukan secara tertulis dalam bahasa Indonesia dengan alasan yang jelas;
3. Permohonan Banding diajukan paling lama 3 bulan sejak Surat Keputusan Keberatan diterima dan dilampiri dengan Salinan Keputusan Keberatan tersebut;
Sama halnya dengan proses keberatan, Wajib Pajak tidak diwajibkan terlebih dahulu untuk membayar jumlah pajak yang masih harus dibayar berdasarkan Surat Keputusan Keberatan. Jumlah pajak yang masih belum dibayar pada saat pengajuan keberatan tertangguh sampai dengan 1 bulan sejak tanggal penerbitan Putusan Banding. Jumlah pajak yang belum dibayar pada saat pengajuan permohonan banding belum merupakan pajak yang terutang sampai dengan Putusan Banding diterbitkan. Dalam hal permohonan banding ditolak atau dikabulkan sebagian, Wajib Pajak dikenai sanksi administrasi berupa denda
sebesar 100% dari jumlah pajak berdasarkan Putusan Banding dikurangi dengan pembayaran pajak yang telah dibayar sebelum mengajukan keberatan.
B.1 Banding PT.A (Banding Masa Pajak Oktober 2009) Pendapat Pemohon Banding (PT.A):
1. Bahwa ketentuan Pasal 9 ayat (5) dan ayat (6) UU Nomor: 8/1983 sebagaimana terakhir diubah dengan UU No.42/2009 tentang PPN, nyata-nyata menggunakan kata "penyerahan", dan disebutkan juga maksud "penyerahan" dalam Pasal 1 angka 4 UU PPN yang berbunyi:
"4. Penyerahan Barang Kena Pajak adalah setiap kegiatan penyerahan Barang Kena Pajak"
2. Bahwa dalam Pasal 1A ayat (1) UU No.8/1983 sebagaimana terakhir diubah dengan UU No.42/2009 tentang PPN, yang berbunyi:
"Pasal 1A
(1) Yang termasuk dalam pengertian penyerahan Barang Kena Pajak adalah:
a. Penyerahan hak atas Barang Kena Pajak karena suatu perjanjlan;" 3. Bahwa dalam memori penjelasan Pasal 16B ayat 3 UU PPN dengan jelas
menyebutkan kalimat "Pajak Masukan yang berkaitan dengan penyerahan BKP/JKP" sebagai berikut:
Berbeda dengan ketentuan pada ayat (2), adanya perlakuan khusus berupa pembebasan dari pengenaan Pajak Pertambahan Nilai mengakibatkan tidak adanya Pajak Keluaran sehingga Pajak Masukan yang berkaitan dengan penyerahan Barang Kena Pajak dan/atau Jasa Kena Pajak yang memperoleh pembebasan tersebut tidak dapat
4. Bahwa dalam Pasal 1 angka 5 Nomor. 8/1983 sebagaimana terakhir diubah dengan UU No.42/2009 tentang PPN, yang berbunyi:
Jasa adalah setiap kegiatan pelayanan yang berdasarkan suatu perikatan atau perbuatan hukum yang menyebabkan suatu barang, fasilitas, kemudahan atau hak tersedia untuk dipakai, termasuk jasa yang dilakukan untuk menghasilkan barang karena pesanan atau permintaan dengan bahan dan atas petunjuk dari pemesan
5. Bahwa dalam Pasal 1 angka 3 Nomor: 30/PMK.03/2011 tentang perubahan atas PMK Nomor: 70/PMK03/2010 tentang balasan kegiatan dan jenis jasa kena Pajak yang atas ekpornya dikenai PPN:
Jasa Maklon adalah pemberian jasa dalam rangka proses penyelesaian suatu barang tertentu yang proses pengerjaannya dilakukan oleh pihak pemberi jasa (disubkontrakkan), dan pengguna jasa menetapkan spesifikasi, sena menyediakan bahan baku dan/atau barang setengah jadi dan/atau bahan penolong/pembantu yang akan diproses sebagian atau seluruhnya, dengan kepemilikan atas barang jadi berada pada pengguna jasa
6. Berdasarkan Peraturan Perpajakan di atas, Pemohon Banding berpendapat bahwa saat penyerahan produk akhir berupa CPO dan Palm Kernel merupakan "penyerahan BKP" yang dimaksud dalam UU PPN, oleh karena itu PPN masukan atas pembelian pupuk dan, bahan kimia seharusnya dapat dikreditkan, sedangkan pengiriman TBS dari kebun Pemohon Banding untuk dititip olahkan ke Pabrik Pengolahan Minyak Kelapa Sawit (PMKS) milik PT.H bukan sebagai "penyerahan BKP" sebagaimana yang dimaksud dalam UU PPN;
7. Pemohon Banding juga memberikan yurispudensi Putusan Pengadilan Pajak atas perusahaan perkebunan Kelapa Sawit lain dimana mereka juga melakukan jasa titip olah untuk mengolah lebih lanjut TBS yang dimilikinya menjadi CPO dan Kernel. Majelis hakim berkesimpulan koreksi Pajak Masukan yang dilakukan terbanding tidak tepat dan harus dibatalkan.
Pendapat Terbanding (DJP): 1 Pasal 9 ayat (5) UU PPN
Apabila dalam suatu Masa Pajak, Pengusaha Kena Pajak selain melakukan penyerahan yang terutang pajak juga melakukan penyerahan yang tidak terutang pajak, sepanjang bagian penyerahan yang terutang pajak dapat diketahui dengan pasti dari pembukuannya, maka jumlah Pajak Masukan yang dapat dikreditkan adalah Pajak Masukan yang berkenaan dengan penyerahan yang terutang pajak
2 Pasal 16B ayat (3) UU PPN
"Pajak Masukan yang dibayar untuk perolehan Barang Kena Pajak dan atau perolehan Jasa Kena Pajak yang atas penyerahannya dibebaskan dari pengenaan Pajak Pertambahan Nilai, tidak dapat dikreditkan."
3 Pasal 2 ayat (2) huruf c dan Pasal 1 angka 2 huruf a PP Nomor 12 Tahun 2001 tentang Impor dan atau Penyerahan Barang Kena Pajak tertentu yang bersifat Strategis yang Dibebaskan dari Pengenaan Pajak Pertambahan Nilai sebagaimana telah diubah dengan PP Nomor 31 Tahun 2007.
Pendapat Majelis:
1. Pada tahun 2009, Pemohon Banding belum dapat dikatakan melakukan kegiatan usaha terpadu (integrated) industri pengolahan minyak sawit karena belum mempunyai unit/pabrik yang dapat mengolah TBS menjadi CPO;
2. Pemohon Banding melakukan perjanjian jasa titip olah TBS menjadi CPO dan PK kepada PT.H;
3. Berdasarkan kelaziman dalam bisnis dengan perjanjian maklon, barang yang prosesnya telah selesai, hasilnya akan dikembalikan pada pihak yang memberikan pekerjaan, namun dalam proses maklon antara Pemohon Banding dengan PT.H, hasil olah berupa CPO dan PK tidak dikembalikan kepada Pemohon Banding melainkan tetap berada di tangki PT.H dan berdasarkan penjelasan pemohon Banding tidak terdapat biaya sewa tangki. Hal ini menguatkan keyakinan Majelis bahwa Pemohon Banding menyerahkan TBS pada PT.H;
4. Berdasarkan hal tersebut Majelis berkesimpulan bahwa pada dasarnya penyerahan yang dilakukan oleh Pemohon Banding adalah penyerahan Tandan Buah Segar (TBS) karena Pemohon Banding tidak mempunyai pabrik pengolahan tandan buah segar yang dapat menghasilkan Crude Palm Oil (CPO) dan Palm Karnel (PK) sehingga sesuai dengan ketentuan yang berlaku penyerahan Tandan Buah Segar milik Pemohon Banding yang dimaklonkan kepada perusahaan jasa tolling dibebaskan dari pengenaan PPN dan Pajak Masukan tidak dapat dikreditkan sesuai Pasal 16B UU PPN;
5. Keputusan Menteri Keuangan Republik Indonesia Nomor 575/KMK.04/2000 tanggal tanggal 26 Desember 2000 tentang Pedoman Penghitungan Pengkreditan Pajak Masukan Bagi Pengusaha Kena Pajak Yang Melakukan Penyerahan Yang Terutang Pajak Dan Penyerahan Yang Tidak Terutang Pajak Pasal 2 ayat 1 (a) menyebutkan :
Bagi Pengusaha Kena Pajak yang:
a. Melakukan kegiatan usaha terpadu (integrated) yang terdiri dari unit atau kegiatan yang menghasilkan barang yang atas penyerahannya tidak terutang Pajak Pertambahan Nilai dan unit atau kegiatan yang menghasilkan barang yang atas penyerahannya terutang Pajak Pertambahan Nilai; atau
maka Pajak Masukan yang dibayar atas perolehan Barang Kena Pajak dan atau Jasa Kena Pajak yang :
1) nyata-nyata digunakan untuk unit atau kegiatan yang atas penyerahannya tidak terutang Pajak Pertambahan Nilai atau dibebaskan dari pengenaan Pajak Pertambahan Nilai, tidak dapat dikreditkan;
6. Bahwa sesuai dengan Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 31 Tahun 2007 tentang Perubahan Keempat Atas Peraturan Pemerintah Nomor 12 Tahun 2001 Tentang Impor dan atau Penyerahan Barang Kena Pajak Tertentu Yang Bersifat Strategis yang Dibebaskan Dari Pengenaan Pajak Pertambahan Nilai disebutkan dalam Pasal 1 angka 1 menyebutkan
Barang Kena Pajak Tertentu yang bersifat strategis adalah : a. …
b. …
c. barang hasil pertanian; d. d s t
bahwa selanjutnya pada Pasal 1 angka 2 pada peraturan yang sama disebutkan: Barang hasil pertanian adalah barang yang dihasilkan dari kegiatan usaha di bidang :
a. pertanian, perkebunan dan kehutanan; b. …
c. …;
bahwa selanjutnya pada Pasal 2 angka 2 pada peraturan yang sama disebutkan:
Atas penyerahan Barang Kena Pajak yang bersifat strategis berupa : a. …;
b. …;
c. barang pertanian sebagaimana dimaksud dalam pasal 1 angka 1 huruf c;
d. ...dst
dibebaskan dari pengenaan Pajak Pertambahan Nilai;
7. Bahwa Pasal 16B ayat (1) Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 18 Tahun 2000 Tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1983 Tentang Pajak Pertambahan Nilai Barang Dan Jasa Dan Pajak Penjualan Atas Barang Mewah disebutkan:
Dengan Peraturan Pemerintah dapat ditetapkan bahwa pajak terutang tidak dipungut sebagian atau seluruhnya, balk untuk sementara waktu atau selamanya, atau dibebaskan dari pengenaan pajak, untuk:
a. kegiatan di kawasan tertentu atau tempat tertentu di dalam Daerah Pabean;
b. penyerahan Barang Kena Pajak tertentu atau penyerahan Jasa Kena Pajak tertentu;
c. impor Barang Kena Pajak tertentu;
d. pemanfaatan Barang Kena Pajak tidak berwujud tertentu dari luar Daerah Pabean di dalam Daerah Pabean;
e. pemanfaatan Jasa Kena Pajak tertentu dari luar Daerah Pabean di dalam Daerah Pabean;
8. Bahwa Pasal 16B ayat (3) Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 18 Tahun 2000 Tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor 8 Tahun
1983 Tentang Pajak Pertambahan Nilai Barang Dan Jasa Dan Pajak Penjualan Atas Barang Mewah disebutkan :
"Pajak Masukan yang dibayar untuk perolehan Barang Kena Pajak dan atau perolehan Jasa Kena Pajak yang atas penyerahannya dibebaskan dari pengenaan Pajak Pertambahan Nilai, tidak dapat dikreditkan.”
9. Bahwa berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor 12 Tahun 2001 tanggal 22 Maret 2001 tentang Impor Dan Atau Penyerahan Barang Kena Pajak Tertentu Yang Bersifat Strategis Yang Dibebaskan Dari Pengenaan Pajak Pertambahan Nilai sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan Peraturan Pemerintah Nomor 31 Tahun 2007 tanggal 1 Mei 2007 tentang Perubahan Keempat Atas Peraturan Pemerintah Nomor 12 Tahun 2001 tentang Impor Dan Atau Penyerahan Barang Kena Pajak Tertentu Yang Bersifat Strategis Yang Dibebaskan Dari Pengenaan Pajak Pertambahan Nilai, Tandan Buah Segar (TBS) telah ditetapkan sebagai Barang Kena Pajak yang bersifat strategis (BKP strategis) yang atas penyerahannya dibebaskan dari pengenaan PPN.
B.2 Banding PT.B (Banding Masa Pajak Maret 2009) Pendapat Pemohon Banding (PT.B):
a. Bahwa Perusahaan Pemohon Banding hanya melakukan penyerahan CPO yang merupakan Barang Kena Pajak yang telah dipungut PPN. Untuk memproduksi CPO diperlukan bahan baku berupa TBS yang berasal dari kebun perusahaan Pemohon Banding sendiri. Penyerahan produk
perkebunan ke pabrik bukan merupakan penyerahan kena pajak. Sehingga sesuai dengan peraturan di atas, seluruh Pajak Masukan atas pupuk dan perlengkapan perkebunan lainnya yang berhubungan langsung dalam memproduksi CPO tersebut seharusnya dapat dikreditkan seluruhnya; b. Bahwa penegasan tentang penyerahan antar unit (intern) perusahaan yang
menjalankan kegiatan usaha terpadu telah ada sejak lama yaitu dalam Surat Edaran Nomor SE-03/PJ.3/1985 tertanggal 28 Januari 1985 tentang PPN dalam Perusahaan Terpadu yang Menghasilkan Baik BKP maupun Bukan BKP (Seri PPN-24) yang berbunyi:
1.2 Agraria-industri: Sebagai contoh, Perkebunan yang mengusahakan kelapa sawit (tidak diproses) dan pabrik/kilang minyak kelapa sawit melalui proses produksi, baik untuk dual di dalam negeri maupun ekspor. Pada dasarnya penyerahan antar unit (intern) perusahaan, bukan merupakan Penyerahan Kena Pajak dan karenanya tidak terutang Pajak Pertambahan Nilai, tergantung dari barang yang dihasilkan oleh unit-unit yang bersangkutan yaitu berupa Barang Kena Pajak atau bukan Barang Kena Pajak.
c. Bahwa ketentuan Pasal 9 ayat (2) dan ayat (8) Undang-undang Nomor 8 Tahun 1983 sebagaimana telah diubah dengan Undang-undang Nomor 18 Tahun 2000 antara lain diatur bahwa:
Ayat (2) : Pajak Masukan dalam suatu Masa Pajak dikreditkan dengan Pajak Keluaran untuk Masa Pajak yang sama.
Ayat (8) Pajak Masukan tidak dapat dikreditkan menurut cara sebagaimana diatur dalam ayat (2) bagi pengeluaran untuk:
a. Perolehan Barang Kena Pajak atau Jasa Kena Pajak sebelum Pengusaha dikukuhkan sebagai Pengusaha Kena Pajak;
b. Perolehan Barang Kena Pajak atau Jasa Kena Pajak yang tidak mempunyai hubungan langsung dengan kegiatan usaha;
c. Perolehan dan pemeliharaan kendaraan bermotor sedan, jeep, station wagon, van, dan kombi kecuali mei upakan barang dagangan atau disewakan;
d. Pemanfaatan Barang Kena Pajak tidak berwujud atau pemanfaatan Jasa Kena Pajak dari luar Daerah Pabean sebelum Pengusaha dikukuhkan sebagai Pengusaha Kena Pajak;
e. Perolehan Barang Kena Pajak atau Jasa Kena Pajak yang bukti pungutannya berupa Faktur Pajak Sederhana;
f. Perolehan Barang Kena Pajak atau Jasa Kena Pajak yang Faktur Pajaknya tidak memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13 ayat (5);
g. Pemanfaatan Barang Kena Pajak tidak berwujud atau pemanfaatan Jasa Kena Pajak dari luar Daerah Pabean yang Faktur Pajaknya tidak memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13 ayat (6);
h. Perolehan Barang Kena Pajak atau Jasa Kena Pajak yang Pajak Masukannya ditagih dengan penerbitan ketetapan pajak;
i. Perolehan Barang Kena Pajak atau Jasa Kena Pajak yang Pajak Masukannya tidak dilaporkan dalam Swat pemberitahuan Masa Pajak Pertambahan Nilai, yang diketemukan pada waktu dilalcukan pemeriksaan.
Bahwa berdasarkan ketentuan di atas, Pajak Masukan yang dapat dikreditkan adalah yang nyata-nyata digunakan untuk kegiatan yang atas penyerahan hasilnya terutang Pajak Pertambahan Nilai, kecuali Pajak Masukan seperti yang telah diuraikan dalam Pasal 9 ayat (8) UU PPN. Bahwa lebih lanjut, Penjelasan Pasal 9 ayat (8) huruf b Undang-undang yang sama menyebutkan bahwa Yang dimaksud dengan pengeluaran yang langsung berhubungan dengan kegiatan usaha adalah pengeluaran untuk kegiatan produksi, distribusi, pemasaran, dan manajemen. Ketentuan ini berlaku untuk semua bidang usaha. Pemohon Banding juga menyampaikan bahwa pernah terdapat sengketa pajak yang hampir sama dengan kasus Pemohon Banding tersebut yang telah diterbitkan Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia Reg. No. 541/B/PK/PJK/2011. Dimana dalam kasus tersebut Mahkamah Agung menolak Permohonan Peninjauan Kembali dari Direktur Jenderal Pajak dengan pertimbangan bahwa alasan-alasan Peninjauan Kembali
koreksi Terbanding/Pemohon Peninjauan Kembali atas Pajak Masukan atas usaha integrated di bidang industri pengolahan bubur kertas (Pulp) sehingga dapat dikreditkan sudah tepat dan benar sesuai ketentuan perpajakan yang berlaku. Bahwa berdasarkan ketentuan tersebut di atas maka dapat Pemohon Banding simpulkan bahwa pembelian pupuk dan perlengkapan perkebunan yang dilakukan oleh Pemohon Banding adalah
nyata-nyata merupakan kegiatan yang berhubungan langsung dalam
memproduksi/menghasilkan BKP berupa CPO, oleh karena itu sudah sewajarnya dan seharusnya PPN Masukan tersebut dapat dikreditkan sebagai Pajak Masukan.
Pendapat Terbanding:
a. Pajak Masukan atas perkebunan kelapa sawit tersebut nyata-nyata digunakan untuk unit atau kegiatan yang atas penyerahannya dibebaskan dari pengenaan Pajak Pertambahan Nilai sehingga tidak dapat dikreditkan, hal ini telah sesuai dengan ketentuan Pasal 2 Keputusan Menteri Keuangan Nomor : 575/KMK.04/2000 tanggal 26 Desember 2000;
b. diberlakukan dan diterapkannya perlakuan yang sama terhadap semua Wajib Pajak, baik bagi usaha kelapa sawit terpadu (integrated) maupun bagi usaha kelapa sawit yang tidak terpadu (non integrated);
c. Bahwa telah sesuai dengan prinsip perlakuan yang sama (equal treatment) sebagaimana diatur dalam penjelasan Pasal 16B ayat (1) Undang-undang PPN, sehingga tercipta adanya keadilan pembebanan pajak.
Pendapat Majelis:
a. TBS yang dihasilkan oleh Unit Perkebunan Pemohon Banding yang selanjutnya dipergunakan/dipakai sebagai bahan baku di Unit Pengolahan Pemohon Banding, pada dasarnya bukanlah (belumlah) merupakan penyerahan BKP berupa TBS. Karena, TBS ini :
a. Dipergunakan/dipakai dalam satu entitas Perusahaan (Badan Usaha) yang sama;
b. Dipergunakan/dipakai untuk tujuan produktif dalam rangka menghasilkan barang jadi berupa CPO.
b. Bahwa sesuai dengan Pasal 2 dari Keputusan Direktur Jenderal Pajak Nomor : KEP-87/PJ./2002 tanggal 18 Februari 2002 tentang Pengenaan Pajak Pertambahan Nilai dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah atas Pemakaian Sendiri dan atau Pemberian Cuma-Cuma Barang Kena Pajak dan atau Jasa Kena Pajak, secara lengkap dinyatakan sebagai berikut :
"Pemakaian Barang Kena Pajak dan atau pemanfaatan Jasa Kena Pajak untuk tujuan produktif belum merupakan penyerahan Barang Kena Pajak dan atau Jasa Kena Pajak sehingga tidak terutang Pajak Pertambahaan Nilai dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah."
c. Bahwa pengertian dari `tujuan produktif' tercermin pada Pasal 1 Angka 5 dari Keputusan Direktur Jenderal Pajak Nomor : KEP-87/PJ./2002 tanggal 18 Februari 2002 tersebut, yang secara lengkap berbunyi sebagai berikut :
Pemakaian sendiri Barang Kena Pajak dan atau pemanfaatan Jasa Kena Pajak untuk tujuan produktif adalah pemakaian Barang Kena Pajak dan atau pemanfaatan Jasa Kena Pajak yang nyata-nyata digunakan untuk
kegiatan produksi selanjutnya atau untuk kegiatan yang hubungan langsung dengan kegiatan usaha pengusaha yang bersangkutan.
d. Bahwa dengan demikian, merupakan hal yang tidak tepat apabila Terbanding menganggap bahwa telah terjadi penyerahan TBS dari Unit Perkebunan (Kelapa Sawit) Pemohon Banding kepada Unit Pengolahan (Kelapa Sawit) Pemohon Banding, dan atas penyerahan ini dibebaskan dari pengenaan PPN sesuai dengan Peraturan Pemerintah Nomor 12 Tahun 2001 sebagaimana telah diubah terakhir dengan Peraturan Pemerintah Nomor 31 Tahun 2007;
e. Bahwa Pasal 9 Ayat (6) dari Undang-undang Nomor 8 Tahun 1983 tentang Pajak Pertambahan Nilai Barang dan Jasa dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah sebagaimana telah diubah beberapa kali terakhir dengan Undang-undang Nomor 18 Tahun 2000 (UU PPN), secara lengkap berbunyi sebagai berikut :
Apabila dalam suatu Masa Pajak, Pengusaha Kena Pajak selain melakukan penyerahan yang terutang pajak juga melakukan penyerahan yang tidak terutang pajak, sedangkan Pajak Masukan untuk penyerahan yang terutang pajak tidak dapat diketahui dengan pasti, maka jumlah Pajak Masukan yang dapat dikreditkan untuk penyerahan yang terutang pajak dihitung dengan menggunakan pedoman yang diatur dengan Keputusan Menteri Keuangan.
f. Bahwa dalam persidangan terbukti bahwa Pemohon Banding tidak melakukan penyerahan TBS kepada pihak lain (tidak ada penyerahan BKP/JKP yang tidak terutang PPN dan/atau penyerahan BKP/JKP yang dibebaskan dari pengenaan PPN yang Pemohon Banding lakukan), sementara disisi lain pihak Terbanding tidak dapat membuktikan adanya penyerahan TBS yang dilakukan oleh
g. Bahwa dengan demikian, merupakan hal yang tidak berdasar apabila Terbanding berkesimpulan bahwa Pajak Masukan atas pembelian Pupuk yang dilakukan oleh Pemohon Banding, tidak dapat dikreditkan.
B.3 Perbandingan Pendapat Majelis Hakim PT.A dan PT.B
Berdasarkan pendapat Majelis Hakim yang menangani PT.A dan PT.B, bisa dilihat perbandingan pendapat antara kedua majelis tersebut pada tabel berikut:
Tabel.5.1. Perbandingan Pendapat Majelis PT.A Dan PT.B
No
Pendapat Majelis
PT.A PT.B
1.
Wajib Pajak tidak memiliki pabirk untuk mengolah TBS yang dihasilkannya, oleh karena itu TBS tersebut dimaklonkan untuk diolah lebih lanjut menjadi CPO. Penyerahan TBS kepada perusahaan jasa titip olah sudah termasuk ke dalam penyerahan
Wajib Pajak tidak memiliki pabirk untuk mengolah TBS yang dihasilkannya, oleh karena itu TBS tersebut dimaklonkan untuk diolah lebih lanjut menjadi CPO. Penyerahan TBS kepada perusahaan jasa titip olah belum termasuk ke dalam penyerahan
2. Majelis tidak berpendapat mengenai pemakaian sendiri TBS untuk tujuan produktif
Majelis berpendapat bahwa TBS yang dititip olahkan termasuk ke dalam pemakaian sendiri untuk tujuan produktif, dan menurut Keputusan Direktur Jenderal
Pajak, pemakaian sendiri untuk tujuan produktif itu belum dikatakan penyerahan selama pemakaian sendiri tersebut berkaitan dengan kegiatan usaha
Wajib Pajak yang melakukannya
3.
CPO hasil titip olah tetap berada di perusahaan jasa titip olah sehingga memberikan kesimpulan bahwa
memang TBS yang dititip olahkan diserahkan kepada perusahaan jasa titip olah
CPO hasil titip olah tetap berada di perusahaan jasa titip olah namun Wajib Pajak dapat membuktikan bahwa tidak ada penyerahan TBS kepada perusahaan
jasa tersebut (Sumber: Putusan Pengadilan Pajak terhadap Banding PT.A dan PT.B)
C. Analisis Sengketa
Sengketa Pajak adalah sengketa yang timbul dalam bidang perpajakan antara Wajib Pajak atau Penanggung Pajak dengan pejabat yang berwenang sebagai akibat dikeluarkannya keputusan yang dapat diajukan Banding atau Gugatan kepada Pengadilan Pajak berdasarkan peraturan perundang-undangan perpajakan, termasuk Gugatan atas pelaksanaan penagihan berdasarkan Undang-Undang Penagihan Pajak dengan Surat Paksa. Sengketa pajak dalam penelitian ini adalah dikeluarkannya Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar (selanjutnya disebut SKPKB) atas koreksi Pajak Masukan yang terkait dengan penyerahan yang dibebaskan dari pengenaan PPN oleh Fiskus. Wajib Pajak melaporkan SPT PPh Badan tahun 2009 dengan status lebih bayar sehingga sebelum Direktorat Jenderal Pajak mengembalikan kelebihan pembayaran, harus dilakukan pemeriksaan terlebih dahulu, dan hasil pemeriksaan tersebut adalah Surat Ketetapan Pajak Lebih Bayar (selanjutnya disebut SKPLB) untuk PPh Badan dan SKPKB untuk PPN, SKPKB PPN ini terbit karena tidak sependapatnya antara Wajib Pajak dengan Fiskus terkait penerapan KMK 575 pada pengkreditan Pajak Masukan yang terkait dengan penyerahan yang dibebaskan dari PPN. Salah satu hak Wajib Pajak adalah dapat mengajukan keberatan apabila Wajib Pajak tidak sependapat dengan SKPKB PPN yang diterbitkan oleh Fiskus, dan apabila Wajib Pajak masih tidak puas dengan hasil keputusan keberatan, maka Wajib Pajak dapat mengajukan Banding ke Pengadilan Pajak. Keputusan Pengadilan Pajak atas Banding yang diajukan Wajib Pajak masih tidak sesuai dengan keinginan dari
Wajib Pajak maka langkah hukum selanjutnya yang bisa dilakukan oleh Wajib Pajak adalah mengajukan peninjauan kembali ke Mahkamah Agung.
Penerapan KMK 575 pada perusahaan perkebunan sawit menyebabkan adanya penafsiran ganda menurut Wajib Pajak dan menurut pemeriksa. Menurut pemeriksa, perusahaan perkebunan sawit merupakan PKP yang menghasilkan TBS, dimana TBS termasuk ke dalam Barang Strategis (bukan BKP) seperti yang diatur dalam Peraturan Pemerintah No.31 tahun 2007 sehingga atas penyerahan TBS dibebaskan dari pengenaan PPN, oleh sebab itu Pajak Masukan yang terkait dengan penyerahaan TBS tidak dapat dikreditkan. Menurut Wajib Pajak, penyerahan yang dilakukannya adalah penyerahan yang terutang PPN karena yang mereka serahkan adalah CPO yang merupakan BPK, oleh sebab itu sudah seharusnya semua Pajak Masukan yang terkait dengan penyerahan yang terutang PPN tersebut dapat dikreditkan. Menurut penulis, penentuan apakah Pajak Masukan dapat dikreditkan atau tidak terletak pada penyerahan yang dilakukan oleh Wajib Pajak, sepanjang Wajib Pajak melakukan penyerahan BKP maka Pajak Masukannya dapat dikreditkan. Jika suatu perusahaan perkebunan sawit melakukan penyerahan yang terutang PPN maka sudah seharusnya semua Pajak Masukan yang terkait dengan penyerahan tersebut dapat dikreditkan.
Perbedaan penafsiran antara Wajib Pajak dengan pemeriksa bisa disimpulkan terjadi pada saat menentukan apakah terjadi penyerahan atau tidak atas TBS yang dihasilkan oleh perusahaan perkebunan sawit. Perusahaan perkebunan sawit sudah tentu tidak mempunyai pabrik pengolahan untuk mengolah TBS yang dihasilkannya menjadi CPO sehingga mereka melakukan
jasa titip olah ke perusahaan lain. Menurut pemeriksa, jasa titip olah yang dilakukan oleh perusahaan perkebunan sawit merupakan penyerahaan TBS dari perusahaan perkebunan ke perusahaan pengolahan sehingga atas penyerahan yang dibebaskan dari pengenaan PPN tersebut, Pajak Masukan yang terkait atas penyerahaan tersebut tidak dapat dikreditkan. Berbeda pendapat dengan pemeriksa, Wajib Pajak menganggap tidak ada penyerahan TBS kepada perusahaan pengolahan karena memang TBS yang di titip olahkan tersebut tetap menjadi hak milik dari perusaahaan perkebunan sawit. Selain itu, perusahaan perkebunan dipungut PPN dan memotong Pajak Penghasilan (selanjutnya disebut PPh) 23 atas jasa titip olah tersebut dan bukan atas penyerahan TBS.
Termasuk ke dalam pengertian penyerahan Barang Kena Pajak menurut Pasal 1A ayat 1 UU PPN adalah:
a. Penyerahan hak atas Barang Kena Pajak karena suatu perjanjian;
b. Pengalihan Barang Kena Pajak oleh karena suatu perjanjian sewa beli dan perjanjian leasing;
c. Penyerahan Barang Kena Pajak kepada pedagang perantara atau melalui juru lelang;
d. Pemakaian sendiri dan atau pemberian cuma-cuma atas Barang Kena Pajak; e. Persediaan Barang Kena Pajak dan aktiva yang menurut tujuan semula tidak
untuk diperjualbelikan, yang masih tersisa pada saat pembubaran perusahaan, sepanjang PPN atas perolehan aktiva tersebut menurut ketentuan dapat dikreditkan;
f. Penyerahan Barang Kena Pajak dari pusat ke cabang atau sebaliknya dan penyerahan Barang Kena Pajak antar cabang;
g. Penyerahan Barang Kena Pajak secara konsinyasi.
Termasuk ke dalam pengertian yang bukan merupakan penyerahan Barang Kena Pajak menurut Pasal 1A ayat 2 UU PPN adalah:
a. Penyerahan Barang Kena Pajak kepada makelar sebagaimana dimaksud dalam kitab Undang-Undang Hukum Dagang;
b. Penyerahan Barang Kena Pajak untuk jaminan utang piutang;
c. Penyerahan Barang Kena Pajak sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) huruf f dalam hal Pengusaha Kena Pajak memperoleh ijin pemusatan tempat pajak terutang.
Pasal 2 ayat 1 huruf a KMK 575 menyebutkan bahwa bagi PKP yang melakukan kegiatan usaha terpadu (integrated) yang terdiri dari unit atau kegiatan yang menghasilkan barang yang atas penyerahannya tidak terutang PPN dan unit atau kegiatan yang menghasilkan barang yang atas penyerahannya terutang PPN, maka Pajak Masukan yang dibayar atas perolehan BKP dan atau JKP yang:
1. Nyata-nyata digunakan untuk unit atau kegiatan yang atas penyerahannya tidak terutang PPN atau dibebaskan dari pengenaan PPN, tidak dapat dikreditkan; 2. Digunakan baik untuk unit atau kegiatan yang atas penyerahan hasil dari unit
atau kegiatan tersebut tidak terutang PPN atau dibebaskan dari pengenaan PPN, maupun untuk unit kegiatan yang atas penyerahan hasil dari unit atau kegiatan tersebut terutang PPN, dapat dikreditkan sebanding dengan jumlah peredaran yang terutang PPN terhadap peredaran seluruhnya.
Penjelasan pasal ini memberikan contoh bahwa PKP yang melakukan usaha terpadu (integrated) yang menghasilkan jagung tetapi juga memiliki pabrik pengolahan minyak jagung mempunyai beberapa kriteria Pajak Masukan yang tidak dapat dikreditkan, Pajak Masukan yang dapat dikreditkan seluruhnya terlebih dahulu namun kemudian harus diperhitungkan kembali, dan Pajak Masukan yang dapat dikreditkan seluruhnya. Contoh Pajak Masukan yang tidak dapat dikreditkan adalah Pajak Masukan untuk pembelian traktor dan pupuk yang digunakan untuk perkebunan jagung karena jagung adalah BKP yang atas penyerahannya tidak terutang PPN, contoh Pajak Masukan yang dapat dikreditkan seluruhnya terlebih dahulu namun kemudian harus diperhitungkan kembali adalah Pajak Masukan untuk perolehan truck yang digunakan baik untuk perkebunan jagung maupun untuk pabrik minyak jagung, sedangkan contoh Pajak Masukan yang dapat dikreditkan seluruhnya adalah Pajak Masukan untuk perolehan mesin-mesin yang digunakan untuk memproduksi minyak jagung.
Menurut penulis, apa yang tertuang di dalam KMK 575 ini bertentangan dengan apa yang diatur di dalam Pasal 1A ayat 2 UU PPN, seharusnya suatu Keputusan Menteri Keuangan tidak boleh bertentangan dengan Undang-Undang melainkan hanya menjadi penjelas maksud Undang karena Undang-Undang secara hierarki berada di atas Keputusan Menteri Keuangan. Pasal 1A ayat 2 huruf c mengatakan bahwa penyerahan BKP dari pusat ke cabang atau sebaliknya dan penyerahan BKP antar cabang bukan pengertian dari penyerahan BKP dalam hal PKP memperoleh ijin pemusatan tempat pajak terutang. Contoh yang diberikan di dalam KMK 575 adalah perusahaan minyak jagung yang selain
memiliki pabrik pengolahan tetapi juga memilik kebun untuk menghasilkan jagungnya. Kalau ditinjau dari UU PPN, penyerahan jagung dari unit perkebunan ke unit pabrik tidak termasuk ke dalam pengertian penyerahan BKP, dan yang merupakan pengertian penyerahan BKP adalah pada saat minyak jagung tersebut diserahkan kepada pihak pembeli, dan apabila yang diserahkan merupakan BKP yang terutang PPN maka Pajak Masukan yang terkait dengan penyerahan itu bisa dikreditkan seluruhnya. Berbeda kalau ditinjau dari KMK 575, menurut KMK tersebut, penyerahan jagung dari unit perkebunan kepada unit pabrik termasuk ke dalam pengertian penyerahan namun penyerahan tersebut tidak terutang PPN karena jagung bukan merupakan BKP sehingga Pajak Masukan atas pembelian traktor dan pupuk yang digunakan untuk perkebunan jagung yang terkait dengan penyerahan jagung tersebut tidak dapat dikreditkan. KMK 575 sudah menyebutkan juga mengenai PKP yang melakukan usaha terpadu (integrated), seharusnya usaha terpadu ini merupakan sistem kerja terpadu dimana hasil produk dari suatu unit produksi menjadi bahan baku bagi unit produksi lain yang menghasilkan produk baru yang memiliki nilai tambah. Kasus yang dicontohkan oleh KMK 575 adalah jagung merupakan bahan baku dari pabrik minyak jagung, dengan demikian perpindahan jagung dari unit kebun ke unit pabrik bukan merupakan penyerahan karena memang hal tersebut manjadi satu kesatuan di dalam suatu perusahaan. Jika dikatakan bahwa penyerahan yang dilakukan oleh perusahaan terpadu adalah minyak jagung (BKP) maka sudah tentu Pajak Masukan yang terkait dengan penyerahan BKP tersebut semuanya dapat dikreditkan.
Pengambilan keputusan oleh hakim Pengadilan Pajak salah satunya dipengaruhi oleh adanya pemakaian sendiri BKP untuk tujuan produktif. Pemakaian untuk tujuan produktif belum merupakan penyerahan BKP seperti yang tercantum di dalam Pasal 2 Keputusan Direktur Jenderal Pajak Nomor KEP-87/PJ./2002 (selanjutnya disebut KEP 87) dimana Pemakaian BKP dan atau pemanfaatan JKP untuk tujuan produktif belum merupakan penyerahan BKP dan atau JKP sehingga tidak terutang PPN dan PPnBM. Sama halnya dengan yang diatur dalam Pasal 2 KEP 87, di dalam Pasal 1 KEP 87 juga memberikan pengertian dari pemakaian sendiri BKP dan atau pemanfaatan JKP untuk tujuan produktif adalah pemakaian BKP dan atau JKP yang nyata-nyata digunakan untuk kegiatan produksi selanjutnya atau untuk kegiatan yang mempunyai hubungan langsung dengan kegiatan usaha pengusaha yang bersangkutan. Dalam mengartikan pemakaian sendiri untuk tujuan produktif, masih juga terdapat perbedaan pendapat antara Pemeriksa Pajak dengan WP dimana menurut Pemeriksa Pajak, pemakaian sendiri untuk tujuan produktif termasuk penyerahan sehingga atas penyerahan tersebut harus dipungut PPN. Berbeda dengan pendapat WP dan Hakim Pengadilan Pajak dimana menurut mereka, pemakaian sendiri untuk tujuan produktif bukan merupakan penyerahan yang terutang pajak selama pemakaian sendiri tersebut mempunyai hubungan langsung dengan kegiatan usaha dari pengusaha yang melalukan pemakaian sendiri tersebut.
Pembahasan bisa tidaknya Pajak Masukan yang terkait dengan penyerahan yang atas penyerahannya dibebaskan dari pengenaan PPN bagi pengusaha industri sawit terkait juga dengan pemakaian sendiri untuk tujuan produktif, pemakaian
sendiri untuk tujuan produktif tentunya tidak masalah lagi bagi pengusaha yang memiliki izin pemusatan usaha karena penyerahan antar cabang bukan merupakan penyerahan yang terutang PPN. Bagi pengusaha industri sawit yang hanya memiliki kebun tetapi tidak memiliki pabrik, namun kegiatan usaha dari pengusaha tersebut adalah melakukan penjualan CPO, apakah jasa titip olah yang dilakukan oleh pengusaha tersebut termasuk ke dalam pengertian pemakaian sendiri untuk tujuan produktif? Jelas bahwa jasa titip olah TBS menjadi CPO yang dilakukan oleh pengusaha tersebut termasuk ke dalam kategori pemakaian sendiri untuk tujuan produktif karena memang pengusaha tersebut usahanya adalah melakukan penjualan CPO dan bukan TBS. Menjadi pertimbangan oleh pemeriksa pajak, pada saat pengusaha menyerahkan TBS kepada perusahaan lain untuk dititipolahkan, penyerahan tersebut dianggap terutang PPN karena sudah terjadi perpindahan hak atas TBS tersebut dari pengusaha ke perusahaan titip olah. Dalam persidangan, WP bisa membuktikan kepada majelis dan pemeriksa pajak bahwa tidak ada perpindahan hak atas TBS dari pengusaha industri sawit ke perusahaan tempat melakukan jasa titip olah karena memang nanti hasil dari pengolahan TBS tersebut tetap menjadi milik dari pengusaha industri sawit. Jasa titip olah ini sama saja dengan kalau kita melakukan jasa jahit baju, dimana kita memberikan kain kepada tukang jahit untuk dibuatkan menjadi baju, disitu terlihat bahwa kain tersebut tetap menjadi milik kita hanya kita minta tolong dibuatkan menjadi baju, nanti baju tersebut akan dikembalikan kepada kita. Masalah timbul pada saat hasil olahan CPO yang sudah selesai tidak dikembalikan kepada pengusaha industri sawit tetapi dititipkan di tangki perusahaan tempat titip olah
karena pengusaha industri sawit tidak memiliki tangki penyimpanan, karena penitipan tersebut Pemeriksa Pajak semakin yakin bahwa sebenarnya TBS sudah diserahkan dari pengusaha ke perusahaan titip olah, namun yang terjadi sebenarnya adalah penjual CPO tersebut tetap si pengusaha industri sawit dan pembeli nantinya akan mengambil langsung CPO yang dibelinya di tempat perusahaan jasa titip olah.
Arus uang yang terjadi juga tidak menunjukkan adanya aliran uang dari perusahaan jasa titip olah kepada pengusaha industri sawit terkait pembelian TBS. Arus uang yang terjadi hanya pembayaran jasa titip olah yang dilakukan oleh pengusaha industri sawit kepada perusahaan jasa, dan atas pembayaran jasa tersebut dipotong PPh 23 dan dipungut PPN. Jika pemanfaatan jasa dianggap merupakan penyerahan TBS maka seharusnya atas pemanfaatan jasa tersebut tidak dipotong PPh 23, kurang tepat jika pemeriksa menganggap pemanfaatan jasa tersebut merupakan penyerahan TBS yang terutang PPN. Arus uang yang terjadi pada saat penjualan CPO juga tidak menunjukkan adanya pemasukan uang dari pembeli ke perusahaan jasa titip olah karena yang terjadi justru sebaliknya, pemasukan uang dari pembeli terjadi kepada pengusaha industri sawit, hal ini membuktikan bahwa yang memiliki hak atas CPO tersebut tetap di tangan pengusaha industri sawit dan bukan perusahaan jasa titip olah. Yang melibatkan pihak perusahaan jasa titip olah hanya arus barang karena CPO yang dibeli akan dikeluarkan dari pabrik perusahaan jasa titip olah kepada pihak pembeli berdasarkan surat perintah pengeluaran barang yang dikeluarkan oleh pengusaha industri sawit.
Pemeriksa Pajak juga melakukan koreksi Pajak Masukan ini dengan alasan equal treatment yakni perlakuan yang sama pada mekanisme pengkreditan Pajak Masukan, baik bagi perusahaan kelapa sawit yang terpadu maupun bagi perusahaan kelapa sawit yang tidak terpadu. Namun equal treatment ini bisa dilakukan bila perusahaan kelapa sawit memiliki kesamaan dalam karakteristik usahanya, tentunya tidak bisa disamakan karakteristik usaha perusahaan kelapa sawit yang terpadu dengan perusahaan kepala sawit yang tidak terpadu. Sepanjang masih ada perbedaan karakteristik usaha maka equal treatment terhadap suatu peraturan perpajakan tidak bisa dilakukan karena akan merugikan salah satu pihak. Oleh karena itu, equal treatment yang dilakukan Pemeriksa Pajak terhadap pedoman pengkreditan Pajak Masukan, bagi perusahaan kelapa sawit terpadu dengan perusahaan kelapa sawit yang tidak terpadu, dianggap kurang tepat. Equal treatment antara sesama perusahaan kelapa sawit yang tidak terpadu saja belum bisa dicapai, hal itu bisa dilihat dari adanya 2 keputusan Pengadilan Pajak dimana Majelis Hakim Pengadilan Pajak ada yang memenangkan permohonan banding WP dan ada yang menolak permohonan banding WP.
WP yang permohonan Bandingnya ditolak oleh Majelis Hakim mengajukan permohonan peninjauan kembali ke Mahkamah Agung begitu pun sebaliknya, DJP yang kalah dalam proses Banding, mengajukan permohonan peninjauan kembali ke Mahkamah Agung. Permohonan peninjauan kembali yang dilakukan oleh WP dan DJP, prosesnya belum selesai sampai dengan penulis melakukan penelitian ini sehingga penulis tidak mengetahui hasil dari sengketa
pengkreditan Pajak Masukan ini di tingkat Peninjauan Kembali, apakah akan sama putusan peninjauan kembalinya atau tetap berbeda seperti putusan Banding.
Penulis menggunakan teori argumentasi hukum ini karena penulis berpendapat bahwa dalam proses Banding, Wajib Pajak memberikan alasan-alasan kepada Majelis Hakim mengenai penjelasan secara logis terhadap peraturan hukum, dalam hal ini Keputusan Menteri Keuangan Nomor 575 tahun 2000, untuk memperkuat pendapat Wajib Pajak atas sengketa pengkreditan Pajak Masukan atas penyerahan Tandan Buah Segar pada perusahaan kelapa sawit dimana penyerahan Tandan Buah Segar termasuk ke dalam penyerahan yang dibebaskan dari pemungutan PPN. Pihak Wajib Pajak dan Fiskus saling berargumen atau menyampaikan pendapat dalam proses persidangan untuk menyakinkan Majelis Hakim untuk membenarkan pendapat salah satu pihak yang bersengketa. Berdasarkan argumentasi-argumentasi yang dikemukakan baik oleh Wajib Pajak maupun oleh Fiskus, Majelis memiliki perbedaan pendapat dimana ada yang memenangkan Banding Wajib Pajak dan ada yang mengalahkan Banding Wajib Pajak. Saat ini, PT.A sedang mengajukan Peninjauan Kembali ke Mahkamah Agung atas putusan Pengadilan Pajak yang mengalahkan PT.A, dan sebaliknya DJP juga sedang mengajukan Peninjauan Kembali ke Mahkamah Agung atas putusan Pengadilan Pajak yang memenangkan PT.B. Namun proses Peninjauan Kembali atas kedua kasus tersebut diatas masih belum ada putusannya sampai dengan sekarang.