Sengketa Pajak adalah sengketa yang timbul dalam bidang perpajakan antara Wajib Pajak atau Penanggung Pajak dengan pejabat yang berwenang sebagai akibat dikeluarkannya keputusan yang dapat diajukan Banding atau Gugatan kepada Pengadilan Pajak berdasarkan peraturan perundang-undangan perpajakan, termasuk Gugatan atas pelaksanaan penagihan berdasarkan Undang-Undang Penagihan Pajak dengan Surat Paksa. Sengketa pajak dalam penelitian ini adalah dikeluarkannya Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar (selanjutnya disebut SKPKB) atas koreksi Pajak Masukan yang terkait dengan penyerahan yang dibebaskan dari pengenaan PPN oleh Fiskus. Wajib Pajak melaporkan SPT PPh Badan tahun 2009 dengan status lebih bayar sehingga sebelum Direktorat Jenderal Pajak mengembalikan kelebihan pembayaran, harus dilakukan pemeriksaan terlebih dahulu, dan hasil pemeriksaan tersebut adalah Surat Ketetapan Pajak Lebih Bayar (selanjutnya disebut SKPLB) untuk PPh Badan dan SKPKB untuk PPN, SKPKB PPN ini terbit karena tidak sependapatnya antara Wajib Pajak dengan Fiskus terkait penerapan KMK 575 pada pengkreditan Pajak Masukan yang terkait dengan penyerahan yang dibebaskan dari PPN. Salah satu hak Wajib Pajak adalah dapat mengajukan keberatan apabila Wajib Pajak tidak sependapat dengan SKPKB PPN yang diterbitkan oleh Fiskus, dan apabila Wajib Pajak masih tidak puas dengan hasil keputusan keberatan, maka Wajib Pajak dapat mengajukan Banding ke Pengadilan Pajak. Keputusan Pengadilan Pajak atas Banding yang diajukan Wajib Pajak masih tidak sesuai dengan keinginan dari
Wajib Pajak maka langkah hukum selanjutnya yang bisa dilakukan oleh Wajib Pajak adalah mengajukan peninjauan kembali ke Mahkamah Agung.
Penerapan KMK 575 pada perusahaan perkebunan sawit menyebabkan adanya penafsiran ganda menurut Wajib Pajak dan menurut pemeriksa. Menurut pemeriksa, perusahaan perkebunan sawit merupakan PKP yang menghasilkan TBS, dimana TBS termasuk ke dalam Barang Strategis (bukan BKP) seperti yang diatur dalam Peraturan Pemerintah No.31 tahun 2007 sehingga atas penyerahan TBS dibebaskan dari pengenaan PPN, oleh sebab itu Pajak Masukan yang terkait dengan penyerahaan TBS tidak dapat dikreditkan. Menurut Wajib Pajak, penyerahan yang dilakukannya adalah penyerahan yang terutang PPN karena yang mereka serahkan adalah CPO yang merupakan BPK, oleh sebab itu sudah seharusnya semua Pajak Masukan yang terkait dengan penyerahan yang terutang PPN tersebut dapat dikreditkan. Menurut penulis, penentuan apakah Pajak Masukan dapat dikreditkan atau tidak terletak pada penyerahan yang dilakukan oleh Wajib Pajak, sepanjang Wajib Pajak melakukan penyerahan BKP maka Pajak Masukannya dapat dikreditkan. Jika suatu perusahaan perkebunan sawit melakukan penyerahan yang terutang PPN maka sudah seharusnya semua Pajak Masukan yang terkait dengan penyerahan tersebut dapat dikreditkan.
Perbedaan penafsiran antara Wajib Pajak dengan pemeriksa bisa disimpulkan terjadi pada saat menentukan apakah terjadi penyerahan atau tidak atas TBS yang dihasilkan oleh perusahaan perkebunan sawit. Perusahaan perkebunan sawit sudah tentu tidak mempunyai pabrik pengolahan untuk mengolah TBS yang dihasilkannya menjadi CPO sehingga mereka melakukan
jasa titip olah ke perusahaan lain. Menurut pemeriksa, jasa titip olah yang dilakukan oleh perusahaan perkebunan sawit merupakan penyerahaan TBS dari perusahaan perkebunan ke perusahaan pengolahan sehingga atas penyerahan yang dibebaskan dari pengenaan PPN tersebut, Pajak Masukan yang terkait atas penyerahaan tersebut tidak dapat dikreditkan. Berbeda pendapat dengan pemeriksa, Wajib Pajak menganggap tidak ada penyerahan TBS kepada perusahaan pengolahan karena memang TBS yang di titip olahkan tersebut tetap menjadi hak milik dari perusaahaan perkebunan sawit. Selain itu, perusahaan perkebunan dipungut PPN dan memotong Pajak Penghasilan (selanjutnya disebut PPh) 23 atas jasa titip olah tersebut dan bukan atas penyerahan TBS.
Termasuk ke dalam pengertian penyerahan Barang Kena Pajak menurut Pasal 1A ayat 1 UU PPN adalah:
a. Penyerahan hak atas Barang Kena Pajak karena suatu perjanjian;
b. Pengalihan Barang Kena Pajak oleh karena suatu perjanjian sewa beli dan perjanjian leasing;
c. Penyerahan Barang Kena Pajak kepada pedagang perantara atau melalui juru lelang;
d. Pemakaian sendiri dan atau pemberian cuma-cuma atas Barang Kena Pajak; e. Persediaan Barang Kena Pajak dan aktiva yang menurut tujuan semula tidak
untuk diperjualbelikan, yang masih tersisa pada saat pembubaran perusahaan, sepanjang PPN atas perolehan aktiva tersebut menurut ketentuan dapat dikreditkan;
f. Penyerahan Barang Kena Pajak dari pusat ke cabang atau sebaliknya dan penyerahan Barang Kena Pajak antar cabang;
g. Penyerahan Barang Kena Pajak secara konsinyasi.
Termasuk ke dalam pengertian yang bukan merupakan penyerahan Barang Kena Pajak menurut Pasal 1A ayat 2 UU PPN adalah:
a. Penyerahan Barang Kena Pajak kepada makelar sebagaimana dimaksud dalam kitab Undang-Undang Hukum Dagang;
b. Penyerahan Barang Kena Pajak untuk jaminan utang piutang;
c. Penyerahan Barang Kena Pajak sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) huruf f dalam hal Pengusaha Kena Pajak memperoleh ijin pemusatan tempat pajak terutang.
Pasal 2 ayat 1 huruf a KMK 575 menyebutkan bahwa bagi PKP yang melakukan kegiatan usaha terpadu (integrated) yang terdiri dari unit atau kegiatan yang menghasilkan barang yang atas penyerahannya tidak terutang PPN dan unit atau kegiatan yang menghasilkan barang yang atas penyerahannya terutang PPN, maka Pajak Masukan yang dibayar atas perolehan BKP dan atau JKP yang:
1. Nyata-nyata digunakan untuk unit atau kegiatan yang atas penyerahannya tidak terutang PPN atau dibebaskan dari pengenaan PPN, tidak dapat dikreditkan; 2. Digunakan baik untuk unit atau kegiatan yang atas penyerahan hasil dari unit
atau kegiatan tersebut tidak terutang PPN atau dibebaskan dari pengenaan PPN, maupun untuk unit kegiatan yang atas penyerahan hasil dari unit atau kegiatan tersebut terutang PPN, dapat dikreditkan sebanding dengan jumlah peredaran yang terutang PPN terhadap peredaran seluruhnya.
Penjelasan pasal ini memberikan contoh bahwa PKP yang melakukan usaha terpadu (integrated) yang menghasilkan jagung tetapi juga memiliki pabrik pengolahan minyak jagung mempunyai beberapa kriteria Pajak Masukan yang tidak dapat dikreditkan, Pajak Masukan yang dapat dikreditkan seluruhnya terlebih dahulu namun kemudian harus diperhitungkan kembali, dan Pajak Masukan yang dapat dikreditkan seluruhnya. Contoh Pajak Masukan yang tidak dapat dikreditkan adalah Pajak Masukan untuk pembelian traktor dan pupuk yang digunakan untuk perkebunan jagung karena jagung adalah BKP yang atas penyerahannya tidak terutang PPN, contoh Pajak Masukan yang dapat dikreditkan seluruhnya terlebih dahulu namun kemudian harus diperhitungkan kembali adalah Pajak Masukan untuk perolehan truck yang digunakan baik untuk perkebunan jagung maupun untuk pabrik minyak jagung, sedangkan contoh Pajak Masukan yang dapat dikreditkan seluruhnya adalah Pajak Masukan untuk perolehan mesin-mesin yang digunakan untuk memproduksi minyak jagung.
Menurut penulis, apa yang tertuang di dalam KMK 575 ini bertentangan dengan apa yang diatur di dalam Pasal 1A ayat 2 UU PPN, seharusnya suatu Keputusan Menteri Keuangan tidak boleh bertentangan dengan Undang-Undang melainkan hanya menjadi penjelas maksud Undang karena Undang-Undang secara hierarki berada di atas Keputusan Menteri Keuangan. Pasal 1A ayat 2 huruf c mengatakan bahwa penyerahan BKP dari pusat ke cabang atau sebaliknya dan penyerahan BKP antar cabang bukan pengertian dari penyerahan BKP dalam hal PKP memperoleh ijin pemusatan tempat pajak terutang. Contoh yang diberikan di dalam KMK 575 adalah perusahaan minyak jagung yang selain
memiliki pabrik pengolahan tetapi juga memilik kebun untuk menghasilkan jagungnya. Kalau ditinjau dari UU PPN, penyerahan jagung dari unit perkebunan ke unit pabrik tidak termasuk ke dalam pengertian penyerahan BKP, dan yang merupakan pengertian penyerahan BKP adalah pada saat minyak jagung tersebut diserahkan kepada pihak pembeli, dan apabila yang diserahkan merupakan BKP yang terutang PPN maka Pajak Masukan yang terkait dengan penyerahan itu bisa dikreditkan seluruhnya. Berbeda kalau ditinjau dari KMK 575, menurut KMK tersebut, penyerahan jagung dari unit perkebunan kepada unit pabrik termasuk ke dalam pengertian penyerahan namun penyerahan tersebut tidak terutang PPN karena jagung bukan merupakan BKP sehingga Pajak Masukan atas pembelian traktor dan pupuk yang digunakan untuk perkebunan jagung yang terkait dengan penyerahan jagung tersebut tidak dapat dikreditkan. KMK 575 sudah menyebutkan juga mengenai PKP yang melakukan usaha terpadu (integrated), seharusnya usaha terpadu ini merupakan sistem kerja terpadu dimana hasil produk dari suatu unit produksi menjadi bahan baku bagi unit produksi lain yang menghasilkan produk baru yang memiliki nilai tambah. Kasus yang dicontohkan oleh KMK 575 adalah jagung merupakan bahan baku dari pabrik minyak jagung, dengan demikian perpindahan jagung dari unit kebun ke unit pabrik bukan merupakan penyerahan karena memang hal tersebut manjadi satu kesatuan di dalam suatu perusahaan. Jika dikatakan bahwa penyerahan yang dilakukan oleh perusahaan terpadu adalah minyak jagung (BKP) maka sudah tentu Pajak Masukan yang terkait dengan penyerahan BKP tersebut semuanya dapat dikreditkan.
Pengambilan keputusan oleh hakim Pengadilan Pajak salah satunya dipengaruhi oleh adanya pemakaian sendiri BKP untuk tujuan produktif. Pemakaian untuk tujuan produktif belum merupakan penyerahan BKP seperti yang tercantum di dalam Pasal 2 Keputusan Direktur Jenderal Pajak Nomor KEP-87/PJ./2002 (selanjutnya disebut KEP 87) dimana Pemakaian BKP dan atau pemanfaatan JKP untuk tujuan produktif belum merupakan penyerahan BKP dan atau JKP sehingga tidak terutang PPN dan PPnBM. Sama halnya dengan yang diatur dalam Pasal 2 KEP 87, di dalam Pasal 1 KEP 87 juga memberikan pengertian dari pemakaian sendiri BKP dan atau pemanfaatan JKP untuk tujuan produktif adalah pemakaian BKP dan atau JKP yang nyata-nyata digunakan untuk kegiatan produksi selanjutnya atau untuk kegiatan yang mempunyai hubungan langsung dengan kegiatan usaha pengusaha yang bersangkutan. Dalam mengartikan pemakaian sendiri untuk tujuan produktif, masih juga terdapat perbedaan pendapat antara Pemeriksa Pajak dengan WP dimana menurut Pemeriksa Pajak, pemakaian sendiri untuk tujuan produktif termasuk penyerahan sehingga atas penyerahan tersebut harus dipungut PPN. Berbeda dengan pendapat WP dan Hakim Pengadilan Pajak dimana menurut mereka, pemakaian sendiri untuk tujuan produktif bukan merupakan penyerahan yang terutang pajak selama pemakaian sendiri tersebut mempunyai hubungan langsung dengan kegiatan usaha dari pengusaha yang melalukan pemakaian sendiri tersebut.
Pembahasan bisa tidaknya Pajak Masukan yang terkait dengan penyerahan yang atas penyerahannya dibebaskan dari pengenaan PPN bagi pengusaha industri sawit terkait juga dengan pemakaian sendiri untuk tujuan produktif, pemakaian
sendiri untuk tujuan produktif tentunya tidak masalah lagi bagi pengusaha yang memiliki izin pemusatan usaha karena penyerahan antar cabang bukan merupakan penyerahan yang terutang PPN. Bagi pengusaha industri sawit yang hanya memiliki kebun tetapi tidak memiliki pabrik, namun kegiatan usaha dari pengusaha tersebut adalah melakukan penjualan CPO, apakah jasa titip olah yang dilakukan oleh pengusaha tersebut termasuk ke dalam pengertian pemakaian sendiri untuk tujuan produktif? Jelas bahwa jasa titip olah TBS menjadi CPO yang dilakukan oleh pengusaha tersebut termasuk ke dalam kategori pemakaian sendiri untuk tujuan produktif karena memang pengusaha tersebut usahanya adalah melakukan penjualan CPO dan bukan TBS. Menjadi pertimbangan oleh pemeriksa pajak, pada saat pengusaha menyerahkan TBS kepada perusahaan lain untuk dititipolahkan, penyerahan tersebut dianggap terutang PPN karena sudah terjadi perpindahan hak atas TBS tersebut dari pengusaha ke perusahaan titip olah. Dalam persidangan, WP bisa membuktikan kepada majelis dan pemeriksa pajak bahwa tidak ada perpindahan hak atas TBS dari pengusaha industri sawit ke perusahaan tempat melakukan jasa titip olah karena memang nanti hasil dari pengolahan TBS tersebut tetap menjadi milik dari pengusaha industri sawit. Jasa titip olah ini sama saja dengan kalau kita melakukan jasa jahit baju, dimana kita memberikan kain kepada tukang jahit untuk dibuatkan menjadi baju, disitu terlihat bahwa kain tersebut tetap menjadi milik kita hanya kita minta tolong dibuatkan menjadi baju, nanti baju tersebut akan dikembalikan kepada kita. Masalah timbul pada saat hasil olahan CPO yang sudah selesai tidak dikembalikan kepada pengusaha industri sawit tetapi dititipkan di tangki perusahaan tempat titip olah
karena pengusaha industri sawit tidak memiliki tangki penyimpanan, karena penitipan tersebut Pemeriksa Pajak semakin yakin bahwa sebenarnya TBS sudah diserahkan dari pengusaha ke perusahaan titip olah, namun yang terjadi sebenarnya adalah penjual CPO tersebut tetap si pengusaha industri sawit dan pembeli nantinya akan mengambil langsung CPO yang dibelinya di tempat perusahaan jasa titip olah.
Arus uang yang terjadi juga tidak menunjukkan adanya aliran uang dari perusahaan jasa titip olah kepada pengusaha industri sawit terkait pembelian TBS. Arus uang yang terjadi hanya pembayaran jasa titip olah yang dilakukan oleh pengusaha industri sawit kepada perusahaan jasa, dan atas pembayaran jasa tersebut dipotong PPh 23 dan dipungut PPN. Jika pemanfaatan jasa dianggap merupakan penyerahan TBS maka seharusnya atas pemanfaatan jasa tersebut tidak dipotong PPh 23, kurang tepat jika pemeriksa menganggap pemanfaatan jasa tersebut merupakan penyerahan TBS yang terutang PPN. Arus uang yang terjadi pada saat penjualan CPO juga tidak menunjukkan adanya pemasukan uang dari pembeli ke perusahaan jasa titip olah karena yang terjadi justru sebaliknya, pemasukan uang dari pembeli terjadi kepada pengusaha industri sawit, hal ini membuktikan bahwa yang memiliki hak atas CPO tersebut tetap di tangan pengusaha industri sawit dan bukan perusahaan jasa titip olah. Yang melibatkan pihak perusahaan jasa titip olah hanya arus barang karena CPO yang dibeli akan dikeluarkan dari pabrik perusahaan jasa titip olah kepada pihak pembeli berdasarkan surat perintah pengeluaran barang yang dikeluarkan oleh pengusaha industri sawit.
Pemeriksa Pajak juga melakukan koreksi Pajak Masukan ini dengan alasan equal treatment yakni perlakuan yang sama pada mekanisme pengkreditan Pajak Masukan, baik bagi perusahaan kelapa sawit yang terpadu maupun bagi perusahaan kelapa sawit yang tidak terpadu. Namun equal treatment ini bisa dilakukan bila perusahaan kelapa sawit memiliki kesamaan dalam karakteristik usahanya, tentunya tidak bisa disamakan karakteristik usaha perusahaan kelapa sawit yang terpadu dengan perusahaan kepala sawit yang tidak terpadu. Sepanjang masih ada perbedaan karakteristik usaha maka equal treatment terhadap suatu peraturan perpajakan tidak bisa dilakukan karena akan merugikan salah satu pihak. Oleh karena itu, equal treatment yang dilakukan Pemeriksa Pajak terhadap pedoman pengkreditan Pajak Masukan, bagi perusahaan kelapa sawit terpadu dengan perusahaan kelapa sawit yang tidak terpadu, dianggap kurang tepat. Equal treatment antara sesama perusahaan kelapa sawit yang tidak terpadu saja belum bisa dicapai, hal itu bisa dilihat dari adanya 2 keputusan Pengadilan Pajak dimana Majelis Hakim Pengadilan Pajak ada yang memenangkan permohonan banding WP dan ada yang menolak permohonan banding WP.
WP yang permohonan Bandingnya ditolak oleh Majelis Hakim mengajukan permohonan peninjauan kembali ke Mahkamah Agung begitu pun sebaliknya, DJP yang kalah dalam proses Banding, mengajukan permohonan peninjauan kembali ke Mahkamah Agung. Permohonan peninjauan kembali yang dilakukan oleh WP dan DJP, prosesnya belum selesai sampai dengan penulis melakukan penelitian ini sehingga penulis tidak mengetahui hasil dari sengketa
pengkreditan Pajak Masukan ini di tingkat Peninjauan Kembali, apakah akan sama putusan peninjauan kembalinya atau tetap berbeda seperti putusan Banding.
Penulis menggunakan teori argumentasi hukum ini karena penulis berpendapat bahwa dalam proses Banding, Wajib Pajak memberikan alasan-alasan kepada Majelis Hakim mengenai penjelasan secara logis terhadap peraturan hukum, dalam hal ini Keputusan Menteri Keuangan Nomor 575 tahun 2000, untuk memperkuat pendapat Wajib Pajak atas sengketa pengkreditan Pajak Masukan atas penyerahan Tandan Buah Segar pada perusahaan kelapa sawit dimana penyerahan Tandan Buah Segar termasuk ke dalam penyerahan yang dibebaskan dari pemungutan PPN. Pihak Wajib Pajak dan Fiskus saling berargumen atau menyampaikan pendapat dalam proses persidangan untuk menyakinkan Majelis Hakim untuk membenarkan pendapat salah satu pihak yang bersengketa. Berdasarkan argumentasi-argumentasi yang dikemukakan baik oleh Wajib Pajak maupun oleh Fiskus, Majelis memiliki perbedaan pendapat dimana ada yang memenangkan Banding Wajib Pajak dan ada yang mengalahkan Banding Wajib Pajak. Saat ini, PT.A sedang mengajukan Peninjauan Kembali ke Mahkamah Agung atas putusan Pengadilan Pajak yang mengalahkan PT.A, dan sebaliknya DJP juga sedang mengajukan Peninjauan Kembali ke Mahkamah Agung atas putusan Pengadilan Pajak yang memenangkan PT.B. Namun proses Peninjauan Kembali atas kedua kasus tersebut diatas masih belum ada putusannya sampai dengan sekarang.