1 “MAKNA PERKAWINAN BAGI GENERASI MUDA JEPANG DEWASA INI”
Sonia Fransisca1, Oslan Amril2, Irma2 1
Mahasiswa Prodi Sastra Jepang, Fakultas Ilmu Budaya Universitas Bung Hatta E-mail : fransiscasonia@gmail.com
2
Dosen Jurusan Sastra Asia Timur, Fakultas Ilmu Budaya Universitas Bung Hatta
Abstract
Nowadays in Japan, the concept of traditional Japanese family began to experience a shift in the meaning and value, of the large family of systems that preserve and sustainability through the line of descent according to the father of the eldest son to the nuclear family. The meaning and value of marriage is no longer a necessity to do. Young people who are well educated and have good jobs tend to postpone marriage due to the routine of work and economic circumstances that have not been established. This study focuses on young people who tend not to marry or delayed marriage based on real cases. How do young people of Japan to the institution of marriage today and what the meaning of marriage for young people of Japan today. This study uses library research using writing materials such as books, articles, and internet. This study also uses descriptive method. This study uses the concept of a traditional Japanese young generation shift into a modern young people and shift the meaning and value of marriage in Japan. From these results, it can be known about the purpose of marriage today's young generation, which has children as a form of love, emotional support from spouse and economic cooperation to build a happy family.
Keywords: Young generation, Marriage.
PENDAHULUAN
Pernikahan merupakan salah satu
kejadian terbesar dalam kehidupan
manusia, begitu juga bagi masyarakat Jepang. Menururt Hiroshi (1987:322),
pernikahan merupakan rencana
meneruskan keturunan yang diberitakan pada masyarakat umum, diakui oleh masyarakat sebagai penyatuan seksual yang berdasarkan janji pernikahan. Tujuan masyarakat Jepang melakukan perkawinan adalah untuk menjaga kesinambungan ie
dan mempertahankannya. Seperti yang diungkapkan Nakane (1978:3) perkawinan
merupakan rencana untuk meneruskan kelangsungan keturunan (pewaris), yaitu
untuk menjaga kesinambungan satu
keluarga. Dalam masyarakat Jepang
perkawinan dilakukan agar ie dapat bertahan.
Sejak berakhirnya PD II struktur sosial masyarakat Jepang banyak mengalami perubahan, khususnya pada perubahan keluarga besar Jepang yaitu ie menjadi keluarga inti atau nuclear family. Goode,
(1991:209) menambahkan majunya
industrialisasi juga berpengaruh terhadap bentuk keluarga Jepang bahwa kemajuan
2 industri dan perkembangan teknologi
adalah faktor utama penyebab terjadinya perubahan keluarga.
Saat ini daya tarik dari pernikahan nampaknya mulai meredup sehingga tidak lagi memikat para generasi muda Jepang untuk melangsungkan pernikahan (Sodei, 1999:11). Oleh karena itu, di Jepang muncul masalah yang cukup serius, yaitu generasi muda yang memiliki pendidikan dan pekerjaan yang bagus cenderung tidak menikah. Menurut hasil survei yang diadakan oleh National Institute of Population and Social Security Research
tahun 2007, memperlihatkan perubahan
keinginan anak muda Jepang tidak
menikah usia 18-34 tahun yang
merupakan rentan usia untuk menikah dalam kehidupan mereka, pada laki-laki memperlihatkan keinginannya untuk tidak menikah meningkat tiga kali lipat dari 2,3% menjadi 7,1%, sedangkan pada perempuan dari 4,1% menjadi 5,6%. Ini membuktikan keingginan untuk tidak menikah meningkat lebih besar pada laki-laki dibandingkan perempuan.
Namun, ketika mereka sudah memasuki usia yang matang mereka berniat untuk
menikah suatu hari nanti. Menurut
Tachibanaki (2008:98), tujuan terbesar
masyarakat Jepang melangsungkan
pernikahan adalah untuk mendapatkan dukungan emosi dari orang terdekat sebanyak 36% dan bisa membangun
sebuah keluarga sebanyak 33% merupakan tujuan dari sebagian besar masyarkat Jepang dalam melangsungkan pernikahan.
Berdasarkan data tersebut penulis tertarik melakukan penelitian tentang makna perkawinan bagi generasi muda Jepang dewasa ini, khususnya pada generasi muda Jepang yang memiliki pendidikan tinggi serta pekerjaan yang baik. Tujuannya ingin menjelaskan bahwa
walaupun memiliki pendidikan dan
pekerjaan yang baik mereka menganggap masih ada perkawinan untuk mendapatkan dukungan emosional dan kemapanan dalam ekonomi.
METODOLOGI
Penelitian ini bersifat deskriptif. Menurut Sudaryanto, (1992:62) metode deskriptif yaitu penelitian yang dilakukan hanya berdasarkan fakta yang ada.
Sumber data berasal dari buku-buku tentang kebudayaan, perubahan sosial, keluarga tradisional ie, psikologi generasi muda dan pernikahan Jepang merupakan sumber data primer. Artikel, jurnal, skripsi, dan internet adalah sumber data sekunder dengan tujuan memperoleh sebanyak mungkin informasi yang sesuai dengan topik penelitian.
Data yang diperoleh dari buku-buku dan
internet dideskripsikan. Kemudian
dianalisa untuk mendapatkan sebuah
3 contoh dan pendapat ahli yang sesuai
dengan penelitian yang dilakukan yaitu tentang makna perkawinan bagi generasi muda Jepang dewasa ini.
HASIL DAN PEMBAHASAN
1. Generasi muda Jepang dewasa ini. a.Defenisi generasi muda.
Generasi adalah jangka waktu
kehidupan sosial manusia yang didasarkan pada dorongan keterikatan pada pokok-pokok pikiran yang asasi (Auguste, 2015:2). Pengertian generasi muda erat hubungannya dengan arti generasi muda sebagai generasi penerus. Dalam pola pembinaan dan pengembangan generasi muda diartikan sebagai golongan manusia yang berusia muda. Sedangkan dalam
pengertian GBHN 1993 (tentang
pendidikan) telah dijelaskan menjadi anak, remaja, dan pemuda, sedangkan ditinjau dari segi usia adalah usia 0-5 tahun (balita), usia 5-12 tahun (anak usia sekolah), usia 12-15 tahun (remaja), usia 15-30 tahun (pemuda), usia 0-30 tahun (generasi muda). Jadi generasi muda yaitu beralihnya seseorang dari masa kanak-kanak menuju masa remaja atau muda dengan disertai fisik dan nonfisik (jasmani, emosi, pola pikiran dan lain sebagainya). Sesuai dengan obyek penelitian tentang generasi muda penulis mengambil sample usia 18-34 tahun tentang pandangan
generasi muda terhadap perkawinan.
Dimana perkembangan atau kemajuan suatu negara dapat mempengaruhi pola pikiran generasi muda yang beranjak dewasa yaitu dalam memandang suatu perubahan-perubahan yang terjadi didalam struktur masyarakat sosialnya.
b. Generasi muda dan pendidikan.
Pendidikan di Jepang mulai mengalami kemajuan sejak dilakukannya reformasi pendidikan pada masa restorasi meiji (meiji Ishin) dan bertambah pesat setelah kependudukan Amerika Serikat yang pada saat itu Jepang kalah dalam PD II. Setelah PD II Jepang melakukan perbaikan-perbaikan undang-undang mengenai hak asasi manusia juga mengenai
undang-undang pendidikan, yaitu School
Education Law dan Fundamental Law of Education pada tahun 1947. Perbaikan ini
memungkinkan wanita mendapatkan
kesempatan yang sama dengan pria dalam mengejar pendidikan.
Presentase pria dan wanita memasuki SMA tahun 1955-1980 yaitu pada tahun 1955 pria yang masuk SMA 56% dan wanita sebanyak 47%. Namun tahun 1980 terjadi peningkatan pada wanita menjadi 95% dan pria 93%. Disini terlihat jelas
terjadi peningkatan pada tingkat
pendidikan wanita untuk menyaingi pria semakin meningkat. Kemudian undang-undang 1 April 1986 berisikan tentang melarang diskriminasi berdasarkan jenis
4 kelamin dalam pendidikan dan penataran
pegawai, tunjangan kesejahteraan,
penerimaan gaji, pensiun wajib, dan pemutusan hubungan kerja (Jepang dewasa ini, 1989:83). Sejak berlakunya undang-undang persamaan kesempatan kerja mulai April 1989, maka kesempatan kerja yang sama serta perlakuan tidak berbeda antara wanita dan pria telah berjalan dibeberapa
sektor adanya. Hal tersebut telah
mendorong para wanita Jepang untuk
melanjutkan pendidikan ke tingkat
universitas karena perusahaan-perusahaan mulai memperkerjakan wanita lulusan universitas (Kompas, 1989:64). Saat ini wanita bisa sejajar dengan pria dalam mengenyam pendidikan.
Menurut survei yang diadakan Ministry Education, Culture, Sports, Science and Technology bahwa jumlah pria yang masuk universitas lebih banyak ketimbang wanita. Pria dari tahun ke tahun mencapai 47.8% dalam tahun 2003, namun wanita dari tahun 1990 sampai 2003 sepanjang tahunnya semakin meningkat dari 15.2% menjadi 34.4%.
c. Generasi muda dan peluang kerja. Perkembangan Jepang menjadi negara industri di mulai pada era Meiji
(1868-1912). Awalnya masyarakat Jepang
bekerja di bidang agrikultur, namun dewasa ini perkembangan negara Jepang
menjadi negara industri membuat
masyarakat Jepang khususnya generasi muda Jepang berbondong-bondong pindah ke kota untuk mendapatkan pekerjaan bergaji. Pekerjaan populer pada era 1950-an yaitu sarariman, yaitu pekerja kantoran di Jepang. Hampir 80% penduduknya berprofesi sebagai sarariman. Selain itu,
sarariman merupakan sistem kerja seumur hidup, mendapatkan jaminan keamanan
dari pemecatan kerja, mendapatkan
kestabilan pendapatan, dan kesejahteraan di masa depan. Namun, di awal tahun 1990-an Jepang mengalami pergeseran krisis ekonomi akibat jatuhnya bubble economy, perusahaan pun melakukan pemecatan kerja dan sistem kerja seumur hidup mulai berkurang. Munculah Furitaa
(pekerja bebas) yaitu anak-anak muda yang berusia 15-30 tahun melakukan pekerjaan paruh waktu atau pekerjaan tidak tetap. Pekerja furitaa tidak mendapatkan jaminan sosial, bonus, biaya tunjangan dan perusahaan bisa melakukan pemecatan kapanpun.
Sejak tahun 1990-an Jepang mengalami
perubahan dalam menejemennya
disebabkan oleh krisis ekonomi yang panjang dan mengakibatkan perubahan
dalam pola ketenagakerjaan Jepang,
akibatnya jumlah anak muda menganggur (NEET) semakin banyak pada tahun 1993 sekitar 5,1%, dan pada tahun 2003 jumlahnya mencapai 10,1% dikarenakan jumlah pekerjaan yang ditawarkan sedikit,
5 sementara jumlah generasi muda yang
mencari pekerjaan semakin meningkat. Saat ini wanita dapat memperoleh kesempatan yang sama dalam peluang pekerjaan. Presentase wanita dan pria mencari kerja lulusan universitas tahun 1997-2005 telah terjadi peningkatan jumlah pria dan wanita mencari kerja. Pada tahun 1997 wanita sebanyak 3.300dan pria sebanyak 10.717, sedangkan pada tahun 2005 wanita sebanyak 8.732, pria sebanyak 17.156, tetapi dalam hal ini pria tetap
tinggi dari tahun ke tahun.
(http://www.womenwork.co/jp/sye/17juni2 006).
Seiring kemajuan teknologi dan
perkembangan ekonomi di Jepang maka perubahan dalam pola ketenagakerjaan Jepang membuat generasi muda beralih ke pekerjaan lain seperti nonreguler yaitu pekerja yang bekerja dengan jaminan kerja yang lebih rendah, dan diluar kategori pekerja reguler. Paato, arubaito, haken rodosha. Haken rodosha yaitu pekerja temporer yang dikirim dari sebuah agen penyalur tenaga kerja kepada perusahaan. Dalam hal ini haken rodosha adalah pekerja tidak standar. Disamping itu pekerjaan gaji reguler seperti sarariman
dan nonreguler haken rodosha cukup jauh. Menurut data dari kousei rodosho pada tahun 2002, perbedaan jumlah gaji pekerja nonreguler dibandingkan pekerja reguler
adalah 55,7% di tahun 1989 dan 50,7% di
tahun 2001. Jumlah pekerja haken
kebanyakan didominasi oleh wanita dan bekerja di perusahaan kecil seperti mengoperasikan peralatan perkantoran dan administrasi merupakan pekerjaan paling diminati wanita, sedangkan pada pekerja haken pria pekerjaan yang banyak dipilih adalah mengembangkan sofware dan mendesain mesin.
2. Makna perkawinan bagi generasi muda Jepang dewasa ini.
a. Defenisi perkawinan bagi masyarakat Jepang.
Perkawinan menurut Lebra (1984:77) merupakan kerangka struktural sosial
tradisional yang diperlukan untuk
kelangsungan ie. Sedangkan Fukushima (1993:46) perkawinan adalah perkawinan antara ie dengan ie. Dimana sistem ie
merupakan sistem yang mengatur
kehidupan keluarga di Jepang.
Kesinambungan ie dapat berlangsung
melalui perkawinan anak laki-laki
(chonan) atau anak perempuan (choojyo)
yang bersuamikan dari ie lain
(mukoyooshi) menantu laki-laki yang diadopsi. Untuk kelangsungan ie, kepala ie
yang disebut kachoo, memungkinkan bagi suatu keluarga yang tidak memiliki anak sama sekali untuk mengadopsi dari keluarga lain (Nakane, 1984:259). Fukuchi (1972:269) menambahkan bahwa sistem
6 perkawinan di Jepang setelah tahun 1946
hal-hal yang berhubungan dengan ie,
hukum harus menetapkan berdiri pada persamaan (kedudukan) yang berdasar bagi pria dan wanita dan menghormati individu. Masyarakat tradisional Jepang hidup dalam keluarga besar ie. Keluarga besar ie
terdiri dari dua atau lebih keluarga inti, yaitu keluarga yang hidup dalam satu rumah yang berisikan dua (2) atau tiga (3) generasi yaitu anak yang mewarisi ie,
orangtua, serta kakek dan nenek yang semuanya hidup di bawah naungan atap yang sama. Dalam masyarakat Jepang, perkawinan dilakukan agar ie dapat bertahan, wanita sangat diharapkan dapat memberikan keturunan, sehingga ie dapat dipertahankan dan dapat meneruskan nama baik keluarga merupakan tujuan dari
sebuah perkawinan. Namun, setelah
Perang Dunia II bentuk keluarga
tradisional ie mengalami perubahan bentuk menjadi keluarga kecil atau nuclear family
yang terdiri dari ayah ibu dan anak-anak saja.
Seiring dengan perubahan struktur keluarga terjadi pula pada perubahan pandangan terhadap nilai atau arti dari
sebuah perkawinan. Dewasa ini,
perkawinan tidak menjadi tujuan hidup bagi pasangan muda saat ini. Dimana generasi muda saat ini bisa mencapai keperguruan tinggi dan mendapatkan pekerjaan yang bagus cenderung tidak
menikah atau menunda pernikahannya dikarenakan fokus dalam meniti karir.
b. Keinginan menikah atau menunda
pernikahan pada masyarakat jepang dewasa ini.
Pandangan pada generasi muda Jepang tentang pernikahan dewasa ini tidak dipandang lagi sebagai keharusan dan menjadi campur tangan keluarga besar mereka, namun saat ini menjadi urusan individual. Generasi muda yang memiliki pendidikan tinggi dan pekerjaan yang bagus cenderung tidak menikah atau menunda untuk menikah karena saat ini rata-rata generasi muda Jepang lebih
tertarik meniti karir dibandingkan
menikah. Menurut hasil survei yang
diadakan oleh Institut Nasional
Kependudukan dan Penelitian Keamanan Sosial pada usia 18-34 tahun pada generasi muda Jepang, untuk menikah sampai batas umur yang layak dan menunggu pasangan ideal sebanyak 2,759% pada wanita dan 2,732% pada pria. Dalam hal ini wanita lebih cenderung menunda menikah sampai
menemukan pasangan yang cocok
walaupun harus menunggu di usia yang matang sedangkan pada pria lebih baik mereka menikah sampai batas umur yang layak daripada menikah di usia muda.
Menurut Lembaga Keamanan atau
7 Lembaga Riset Masalah Jumlah Penduduk
tahun 2010, alasan tidak menikah pada generasi muda Jepang adalah kebebasan bertindak dan cara hidup pada pria 65% wanita 71% dan memiliki kemapanan ekonomi pada pria 28% sedangkan wanita 18% merupakan alasan mereka tidak
melakukan pernikahan. Kasus pada
Takatsu 26 tahun yang tidak ingin menikah diusia muda dia merasa lebih baik mendedikasikan diri untuk pebekerjaan dan memiliki penghasilan yang cukup. Jika semua hal yang diinginkan sudah ia miliki maka tidak alasan bagi Takatsu untuk tidak menikah.
c. Makna perkawinan bagi generasi
muda Jepang dewasa ini.
Umumnya pernikahan dilakukan
dengan suatu tujuan. Menurut Sodei, (1999:14) salah satu tujuan seseorang
menikah adalah untuk mendapatkan
pengakuan di masyarakat dan kehidupan pernikahan selanjutnya. Generasi muda di usia matang yang ingin menikah suatu hari nanti, tujuan terhadap menikah suatu hari nanti yaitu untuk membangun keluarga, tinggal selamanya dengan orang yang dicintai, mendapatkan keamanan ekonomi yang cukup, dan juga bisa mandiri atau bebas dari orang tua. Dengan demikian dapat diketahui bahwa generasi muda
Jepang saat ini masih memandang
pernikahan adalah sesuatu hal yang baik
dilakukan oleh manusia. Selain itu, menurut hasil survei yang diadakan oleh Lembaga Jaminan Masyarat atau Lembaga Riset Masalah Jumlah Penduduk tahun 2010, harapan atau keinginan masyarakat dalam pernikahan adalah untuk dapat membangun keluarga dan memiliki anak
sebanyak 82% dan memeperoleh
ketenangan emosional sebanyak 62% pada pria dan wanita.
Dapat diketahui bahwa keinginan
membangun keluarga dan memperoleh ketenangan emosional merupakan harapan dan keinginan dari sebagian besar generasi muda atau masyarakat Jepang dalam melangsungkan pernikahan.
KESIMPULAN
Generasi muda Jepang saat ini melihat pernikahan merupakan sesuatu yang baik, sehingga mereka ingin menikah suatu hari nanti walaupun di usia yang matang.
Mereka memiliki tujuan terhadap
pernikahan, dan mengetahui adanya
keuntungan yang di dapat jika mereka menikah nantinya. Tujuan mereka menikah suatu hari nanti adalah ingin membangun keluarga dan memiliki anak, agar tidak kesepian dan juga menjadikan keluarga sebagai motivasi baru bagi mereka dalam menjalani hidup. Lalu harapan dan keinginan yang didapat ketika menikah adalah akan ada yang mengurus dirinya, bisa mendapatkan dukungan emosional
8 yaitu kenyamanan hidup, bisa berbagi
banyak hal dengan orang yang dicintai
selamanya. dan juga mendapatkan
dukungan emosional dengan pasangan
mereka merupakan hal yang
membahagiakan.
Selain itu dunia pekerjaan yang sangat keras dan tidak memungkinkan pria dan wanita untuk menikah tidaklah terbukti. Konsep generasi muda Jepang dewasa ini menjelaskan bahwa bagi mereka pekerjaan adalah hidupnya dan satu-satunya aktivitas yang hanya ingin dilakukan oleh para generasi muda Jepang sepanjang hidupnya juga tidak terbukti kebenarannya. Pada akhirnya bisa ditarik kesimpulan, bahwa menurut mereka, mereka perlu untuk menikah dan menikah merupakan sesuatu
hal yang baik dilakukan. Dengan
pendidikan yang tinggi serta pekerjaan yang bagus, menyebabkan kecenderungan menikah atau menunda pernikahannya di karenakan fokus dalam pekerjaan dan karir.
DAFTAR PUSTAKA Buku.
Adam dan Jessica Kuper. 1996.
Ensiklopedi Ilmu-Ilmu Sosial.
Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada.
Ardan, Lelemappuji. 2012. Generasi Muda. Jakarta.
Citra, Dewi. 2002. “Penundaan
Pernikahan (Bankonka)”. Thesis. Jakarta: Universitas Indonesia.
Departemen Pendidikan Nasional.
2005. Kamus Besar Bahasa
Indonesia. Jakarta: Balai Pustaka. Fukutake, Tadashi. 1988. Masyarakat
Jepang Dewasa Ini. Jakarta: Gramedia
Goode, William J. 1991. Sosiologi Keluarga. Jakarta : Bumi Aksara. Hilma, Hanum. 2009. Makna Perkawinan
Bagi Wanita Pekerja Jepang Dewasa Ini. Skripsi. Padang : Universitas Bung Hatta
Irma. 2000. Makna Lembaga Keluarga
Dalam Masyarakat Jepang
Dewasa Ini (Dampak Sosialisasi
Wanita). Thesis. Jakarta :
Universitas Indonesia
Iwao, Sumiko Japanese Women:
Tradisional Image and Changing Reality, 1993, New York: The Free Press
Kanbara, Fumiko. 1997. Gendai no
Kekkon to Fuufu Kankei. Jepang : Baifuukan
Kooki Kanno, 1983. Marriage Law. Kondansha Encyclopedia Of Japan, Tokyo: Kondansha Ltd, vol 5 Kodansha. 1983. Ensiclopedianof Japan. Tokyo
Mayumi, Mizuno dkk. 2012. Kekkon Teikireki no Otoko Gokoto ga
Omoshiroi Hodo Yoku Wakaru.
Jepang : Kabushiki Gaisha Shinjinbutsu Ouraisha
Mowry, Dorothy Robins. 1983. The Hidden Sun : Women of Modern Japan. Colorado : Westview Press, Inc
Naka, Hisao. 1983. Kaum Muda
JepangDalam Masa Perubahan.
9 Press
Nakane Chie, “ Ie” (1984), Kodansha Encyclopaedia of Japan, Tokyo: Kodansha Ltd.Vol 4.
Nakane, Chie. 1981. Masyarakat Jepang,
Jakarta : Sinar Agepe Press
Nazir, M. 1985. Metode Penelitian.
Jakarta : Ghalia Indonesia Peursen, Van CA. 1978. Strategi
Kebudayaan. Yogyakarta: Kani
Sius
Ono, Hiroshi (2006). Divorce in Japan : Why It Happens, Why It
Doesn’tSweden.
Okamura, Masu. 1983. Peranan Wanita Jepang. Jakarta : Gadjah Mada. University Press
Soemarjan. 1982. “Social Change” dalam
Sosiologi Suatu Pengantar diedit oleh Soerjono Soekanto. Jakarta: CV Rajawali Pers
Sudaryanto. 1992. Metode Linguistik.
Jakarta : Gadjah Mada University Press
Sudikan, Setia Yuana. 2001. Metode Penelitian Budaya. Surabaya: Citra Wahana
Sumaatmadja. 2005. Manusia Dalam Konteks Sosial Budaya Dan Lingkungan Hidup. Jakarta: Alfhabete
Takako, Sodei. 1999. Changing Families (Children, Gender and The Elderly). Japan : Kenpakusha Toshiaki, Tachibanaki. (2010). The New
Paradox for Japanese Women:
Greater Choice, Greater
Inequality. Tokyo : LTCB
International Library Trust/International House of Japan.
Yoshizumi, Kyoko. 1995. Marriage and
Family, dalam Japanese Woman
diedit oleh Kumiko Fujiwara Fanselow and Atsuko Kameda. New York : University of New York. Internet. http://pernikahan.iklankecil.com/arti-pernikahan.htm http://carapedia.com/pengertian_definisi_p erkawinan_info2156.html http://id.shvoong.com/lifestyle/family-and- relations/2018516-keluarga-modern-indonesia/ http://observer.guardian.co.uk/internasiona l/story/0,6903,1499544,00html. http://www.kcn.ne.jp/~ca001/122.htm. http://www.washingtonpost.com/wp-siv/WPcap/200002/10/101r021000idx.html ) http://jin.jcic.or.jp/insight/html/focus04/the _decision/the_decision.html.. http://www.womenwork.co/jp/sye/17juni2 006. http://en.wikipedia.org/wiki/Salaryman http://dunia.news.viva.co.id/news/read/470466 -2013--rekor-baru-penurunan-populasi-jepang (diakses tanggal 15 januari 2015)
10 http://en.rocketnews24.com/2013/01/16/m
arried-men-dont-look-happy-wives-unnecessary-an-increasing-number-of
japanese-men-opting-for-bachelorhood/