• Tidak ada hasil yang ditemukan

MAKNA PERKAWINAN BAGI GENERASI MUDA JEPANG DEWASA INI.

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "MAKNA PERKAWINAN BAGI GENERASI MUDA JEPANG DEWASA INI."

Copied!
10
0
0

Teks penuh

(1)

1 “MAKNA PERKAWINAN BAGI GENERASI MUDA JEPANG DEWASA INI”

Sonia Fransisca1, Oslan Amril2, Irma2 1

Mahasiswa Prodi Sastra Jepang, Fakultas Ilmu Budaya Universitas Bung Hatta E-mail : fransiscasonia@gmail.com

2

Dosen Jurusan Sastra Asia Timur, Fakultas Ilmu Budaya Universitas Bung Hatta

Abstract

Nowadays in Japan, the concept of traditional Japanese family began to experience a shift in the meaning and value, of the large family of systems that preserve and sustainability through the line of descent according to the father of the eldest son to the nuclear family. The meaning and value of marriage is no longer a necessity to do. Young people who are well educated and have good jobs tend to postpone marriage due to the routine of work and economic circumstances that have not been established. This study focuses on young people who tend not to marry or delayed marriage based on real cases. How do young people of Japan to the institution of marriage today and what the meaning of marriage for young people of Japan today. This study uses library research using writing materials such as books, articles, and internet. This study also uses descriptive method. This study uses the concept of a traditional Japanese young generation shift into a modern young people and shift the meaning and value of marriage in Japan. From these results, it can be known about the purpose of marriage today's young generation, which has children as a form of love, emotional support from spouse and economic cooperation to build a happy family.

Keywords: Young generation, Marriage.

PENDAHULUAN

Pernikahan merupakan salah satu

kejadian terbesar dalam kehidupan

manusia, begitu juga bagi masyarakat Jepang. Menururt Hiroshi (1987:322),

pernikahan merupakan rencana

meneruskan keturunan yang diberitakan pada masyarakat umum, diakui oleh masyarakat sebagai penyatuan seksual yang berdasarkan janji pernikahan. Tujuan masyarakat Jepang melakukan perkawinan adalah untuk menjaga kesinambungan ie

dan mempertahankannya. Seperti yang diungkapkan Nakane (1978:3) perkawinan

merupakan rencana untuk meneruskan kelangsungan keturunan (pewaris), yaitu

untuk menjaga kesinambungan satu

keluarga. Dalam masyarakat Jepang

perkawinan dilakukan agar ie dapat bertahan.

Sejak berakhirnya PD II struktur sosial masyarakat Jepang banyak mengalami perubahan, khususnya pada perubahan keluarga besar Jepang yaitu ie menjadi keluarga inti atau nuclear family. Goode,

(1991:209) menambahkan majunya

industrialisasi juga berpengaruh terhadap bentuk keluarga Jepang bahwa kemajuan

(2)

2 industri dan perkembangan teknologi

adalah faktor utama penyebab terjadinya perubahan keluarga.

Saat ini daya tarik dari pernikahan nampaknya mulai meredup sehingga tidak lagi memikat para generasi muda Jepang untuk melangsungkan pernikahan (Sodei, 1999:11). Oleh karena itu, di Jepang muncul masalah yang cukup serius, yaitu generasi muda yang memiliki pendidikan dan pekerjaan yang bagus cenderung tidak menikah. Menurut hasil survei yang diadakan oleh National Institute of Population and Social Security Research

tahun 2007, memperlihatkan perubahan

keinginan anak muda Jepang tidak

menikah usia 18-34 tahun yang

merupakan rentan usia untuk menikah dalam kehidupan mereka, pada laki-laki memperlihatkan keinginannya untuk tidak menikah meningkat tiga kali lipat dari 2,3% menjadi 7,1%, sedangkan pada perempuan dari 4,1% menjadi 5,6%. Ini membuktikan keingginan untuk tidak menikah meningkat lebih besar pada laki-laki dibandingkan perempuan.

Namun, ketika mereka sudah memasuki usia yang matang mereka berniat untuk

menikah suatu hari nanti. Menurut

Tachibanaki (2008:98), tujuan terbesar

masyarakat Jepang melangsungkan

pernikahan adalah untuk mendapatkan dukungan emosi dari orang terdekat sebanyak 36% dan bisa membangun

sebuah keluarga sebanyak 33% merupakan tujuan dari sebagian besar masyarkat Jepang dalam melangsungkan pernikahan.

Berdasarkan data tersebut penulis tertarik melakukan penelitian tentang makna perkawinan bagi generasi muda Jepang dewasa ini, khususnya pada generasi muda Jepang yang memiliki pendidikan tinggi serta pekerjaan yang baik. Tujuannya ingin menjelaskan bahwa

walaupun memiliki pendidikan dan

pekerjaan yang baik mereka menganggap masih ada perkawinan untuk mendapatkan dukungan emosional dan kemapanan dalam ekonomi.

METODOLOGI

Penelitian ini bersifat deskriptif. Menurut Sudaryanto, (1992:62) metode deskriptif yaitu penelitian yang dilakukan hanya berdasarkan fakta yang ada.

Sumber data berasal dari buku-buku tentang kebudayaan, perubahan sosial, keluarga tradisional ie, psikologi generasi muda dan pernikahan Jepang merupakan sumber data primer. Artikel, jurnal, skripsi, dan internet adalah sumber data sekunder dengan tujuan memperoleh sebanyak mungkin informasi yang sesuai dengan topik penelitian.

Data yang diperoleh dari buku-buku dan

internet dideskripsikan. Kemudian

dianalisa untuk mendapatkan sebuah

(3)

3 contoh dan pendapat ahli yang sesuai

dengan penelitian yang dilakukan yaitu tentang makna perkawinan bagi generasi muda Jepang dewasa ini.

HASIL DAN PEMBAHASAN

1. Generasi muda Jepang dewasa ini. a.Defenisi generasi muda.

Generasi adalah jangka waktu

kehidupan sosial manusia yang didasarkan pada dorongan keterikatan pada pokok-pokok pikiran yang asasi (Auguste, 2015:2). Pengertian generasi muda erat hubungannya dengan arti generasi muda sebagai generasi penerus. Dalam pola pembinaan dan pengembangan generasi muda diartikan sebagai golongan manusia yang berusia muda. Sedangkan dalam

pengertian GBHN 1993 (tentang

pendidikan) telah dijelaskan menjadi anak, remaja, dan pemuda, sedangkan ditinjau dari segi usia adalah usia 0-5 tahun (balita), usia 5-12 tahun (anak usia sekolah), usia 12-15 tahun (remaja), usia 15-30 tahun (pemuda), usia 0-30 tahun (generasi muda). Jadi generasi muda yaitu beralihnya seseorang dari masa kanak-kanak menuju masa remaja atau muda dengan disertai fisik dan nonfisik (jasmani, emosi, pola pikiran dan lain sebagainya). Sesuai dengan obyek penelitian tentang generasi muda penulis mengambil sample usia 18-34 tahun tentang pandangan

generasi muda terhadap perkawinan.

Dimana perkembangan atau kemajuan suatu negara dapat mempengaruhi pola pikiran generasi muda yang beranjak dewasa yaitu dalam memandang suatu perubahan-perubahan yang terjadi didalam struktur masyarakat sosialnya.

b. Generasi muda dan pendidikan.

Pendidikan di Jepang mulai mengalami kemajuan sejak dilakukannya reformasi pendidikan pada masa restorasi meiji (meiji Ishin) dan bertambah pesat setelah kependudukan Amerika Serikat yang pada saat itu Jepang kalah dalam PD II. Setelah PD II Jepang melakukan perbaikan-perbaikan undang-undang mengenai hak asasi manusia juga mengenai

undang-undang pendidikan, yaitu School

Education Law dan Fundamental Law of Education pada tahun 1947. Perbaikan ini

memungkinkan wanita mendapatkan

kesempatan yang sama dengan pria dalam mengejar pendidikan.

Presentase pria dan wanita memasuki SMA tahun 1955-1980 yaitu pada tahun 1955 pria yang masuk SMA 56% dan wanita sebanyak 47%. Namun tahun 1980 terjadi peningkatan pada wanita menjadi 95% dan pria 93%. Disini terlihat jelas

terjadi peningkatan pada tingkat

pendidikan wanita untuk menyaingi pria semakin meningkat. Kemudian undang-undang 1 April 1986 berisikan tentang melarang diskriminasi berdasarkan jenis

(4)

4 kelamin dalam pendidikan dan penataran

pegawai, tunjangan kesejahteraan,

penerimaan gaji, pensiun wajib, dan pemutusan hubungan kerja (Jepang dewasa ini, 1989:83). Sejak berlakunya undang-undang persamaan kesempatan kerja mulai April 1989, maka kesempatan kerja yang sama serta perlakuan tidak berbeda antara wanita dan pria telah berjalan dibeberapa

sektor adanya. Hal tersebut telah

mendorong para wanita Jepang untuk

melanjutkan pendidikan ke tingkat

universitas karena perusahaan-perusahaan mulai memperkerjakan wanita lulusan universitas (Kompas, 1989:64). Saat ini wanita bisa sejajar dengan pria dalam mengenyam pendidikan.

Menurut survei yang diadakan Ministry Education, Culture, Sports, Science and Technology bahwa jumlah pria yang masuk universitas lebih banyak ketimbang wanita. Pria dari tahun ke tahun mencapai 47.8% dalam tahun 2003, namun wanita dari tahun 1990 sampai 2003 sepanjang tahunnya semakin meningkat dari 15.2% menjadi 34.4%.

c. Generasi muda dan peluang kerja. Perkembangan Jepang menjadi negara industri di mulai pada era Meiji

(1868-1912). Awalnya masyarakat Jepang

bekerja di bidang agrikultur, namun dewasa ini perkembangan negara Jepang

menjadi negara industri membuat

masyarakat Jepang khususnya generasi muda Jepang berbondong-bondong pindah ke kota untuk mendapatkan pekerjaan bergaji. Pekerjaan populer pada era 1950-an yaitu sarariman, yaitu pekerja kantoran di Jepang. Hampir 80% penduduknya berprofesi sebagai sarariman. Selain itu,

sarariman merupakan sistem kerja seumur hidup, mendapatkan jaminan keamanan

dari pemecatan kerja, mendapatkan

kestabilan pendapatan, dan kesejahteraan di masa depan. Namun, di awal tahun 1990-an Jepang mengalami pergeseran krisis ekonomi akibat jatuhnya bubble economy, perusahaan pun melakukan pemecatan kerja dan sistem kerja seumur hidup mulai berkurang. Munculah Furitaa

(pekerja bebas) yaitu anak-anak muda yang berusia 15-30 tahun melakukan pekerjaan paruh waktu atau pekerjaan tidak tetap. Pekerja furitaa tidak mendapatkan jaminan sosial, bonus, biaya tunjangan dan perusahaan bisa melakukan pemecatan kapanpun.

Sejak tahun 1990-an Jepang mengalami

perubahan dalam menejemennya

disebabkan oleh krisis ekonomi yang panjang dan mengakibatkan perubahan

dalam pola ketenagakerjaan Jepang,

akibatnya jumlah anak muda menganggur (NEET) semakin banyak pada tahun 1993 sekitar 5,1%, dan pada tahun 2003 jumlahnya mencapai 10,1% dikarenakan jumlah pekerjaan yang ditawarkan sedikit,

(5)

5 sementara jumlah generasi muda yang

mencari pekerjaan semakin meningkat. Saat ini wanita dapat memperoleh kesempatan yang sama dalam peluang pekerjaan. Presentase wanita dan pria mencari kerja lulusan universitas tahun 1997-2005 telah terjadi peningkatan jumlah pria dan wanita mencari kerja. Pada tahun 1997 wanita sebanyak 3.300dan pria sebanyak 10.717, sedangkan pada tahun 2005 wanita sebanyak 8.732, pria sebanyak 17.156, tetapi dalam hal ini pria tetap

tinggi dari tahun ke tahun.

(http://www.womenwork.co/jp/sye/17juni2 006).

Seiring kemajuan teknologi dan

perkembangan ekonomi di Jepang maka perubahan dalam pola ketenagakerjaan Jepang membuat generasi muda beralih ke pekerjaan lain seperti nonreguler yaitu pekerja yang bekerja dengan jaminan kerja yang lebih rendah, dan diluar kategori pekerja reguler. Paato, arubaito, haken rodosha. Haken rodosha yaitu pekerja temporer yang dikirim dari sebuah agen penyalur tenaga kerja kepada perusahaan. Dalam hal ini haken rodosha adalah pekerja tidak standar. Disamping itu pekerjaan gaji reguler seperti sarariman

dan nonreguler haken rodosha cukup jauh. Menurut data dari kousei rodosho pada tahun 2002, perbedaan jumlah gaji pekerja nonreguler dibandingkan pekerja reguler

adalah 55,7% di tahun 1989 dan 50,7% di

tahun 2001. Jumlah pekerja haken

kebanyakan didominasi oleh wanita dan bekerja di perusahaan kecil seperti mengoperasikan peralatan perkantoran dan administrasi merupakan pekerjaan paling diminati wanita, sedangkan pada pekerja haken pria pekerjaan yang banyak dipilih adalah mengembangkan sofware dan mendesain mesin.

2. Makna perkawinan bagi generasi muda Jepang dewasa ini.

a. Defenisi perkawinan bagi masyarakat Jepang.

Perkawinan menurut Lebra (1984:77) merupakan kerangka struktural sosial

tradisional yang diperlukan untuk

kelangsungan ie. Sedangkan Fukushima (1993:46) perkawinan adalah perkawinan antara ie dengan ie. Dimana sistem ie

merupakan sistem yang mengatur

kehidupan keluarga di Jepang.

Kesinambungan ie dapat berlangsung

melalui perkawinan anak laki-laki

(chonan) atau anak perempuan (choojyo)

yang bersuamikan dari ie lain

(mukoyooshi) menantu laki-laki yang diadopsi. Untuk kelangsungan ie, kepala ie

yang disebut kachoo, memungkinkan bagi suatu keluarga yang tidak memiliki anak sama sekali untuk mengadopsi dari keluarga lain (Nakane, 1984:259). Fukuchi (1972:269) menambahkan bahwa sistem

(6)

6 perkawinan di Jepang setelah tahun 1946

hal-hal yang berhubungan dengan ie,

hukum harus menetapkan berdiri pada persamaan (kedudukan) yang berdasar bagi pria dan wanita dan menghormati individu. Masyarakat tradisional Jepang hidup dalam keluarga besar ie. Keluarga besar ie

terdiri dari dua atau lebih keluarga inti, yaitu keluarga yang hidup dalam satu rumah yang berisikan dua (2) atau tiga (3) generasi yaitu anak yang mewarisi ie,

orangtua, serta kakek dan nenek yang semuanya hidup di bawah naungan atap yang sama. Dalam masyarakat Jepang, perkawinan dilakukan agar ie dapat bertahan, wanita sangat diharapkan dapat memberikan keturunan, sehingga ie dapat dipertahankan dan dapat meneruskan nama baik keluarga merupakan tujuan dari

sebuah perkawinan. Namun, setelah

Perang Dunia II bentuk keluarga

tradisional ie mengalami perubahan bentuk menjadi keluarga kecil atau nuclear family

yang terdiri dari ayah ibu dan anak-anak saja.

Seiring dengan perubahan struktur keluarga terjadi pula pada perubahan pandangan terhadap nilai atau arti dari

sebuah perkawinan. Dewasa ini,

perkawinan tidak menjadi tujuan hidup bagi pasangan muda saat ini. Dimana generasi muda saat ini bisa mencapai keperguruan tinggi dan mendapatkan pekerjaan yang bagus cenderung tidak

menikah atau menunda pernikahannya dikarenakan fokus dalam meniti karir.

b. Keinginan menikah atau menunda

pernikahan pada masyarakat jepang dewasa ini.

Pandangan pada generasi muda Jepang tentang pernikahan dewasa ini tidak dipandang lagi sebagai keharusan dan menjadi campur tangan keluarga besar mereka, namun saat ini menjadi urusan individual. Generasi muda yang memiliki pendidikan tinggi dan pekerjaan yang bagus cenderung tidak menikah atau menunda untuk menikah karena saat ini rata-rata generasi muda Jepang lebih

tertarik meniti karir dibandingkan

menikah. Menurut hasil survei yang

diadakan oleh Institut Nasional

Kependudukan dan Penelitian Keamanan Sosial pada usia 18-34 tahun pada generasi muda Jepang, untuk menikah sampai batas umur yang layak dan menunggu pasangan ideal sebanyak 2,759% pada wanita dan 2,732% pada pria. Dalam hal ini wanita lebih cenderung menunda menikah sampai

menemukan pasangan yang cocok

walaupun harus menunggu di usia yang matang sedangkan pada pria lebih baik mereka menikah sampai batas umur yang layak daripada menikah di usia muda.

Menurut Lembaga Keamanan atau

(7)

7 Lembaga Riset Masalah Jumlah Penduduk

tahun 2010, alasan tidak menikah pada generasi muda Jepang adalah kebebasan bertindak dan cara hidup pada pria 65% wanita 71% dan memiliki kemapanan ekonomi pada pria 28% sedangkan wanita 18% merupakan alasan mereka tidak

melakukan pernikahan. Kasus pada

Takatsu 26 tahun yang tidak ingin menikah diusia muda dia merasa lebih baik mendedikasikan diri untuk pebekerjaan dan memiliki penghasilan yang cukup. Jika semua hal yang diinginkan sudah ia miliki maka tidak alasan bagi Takatsu untuk tidak menikah.

c. Makna perkawinan bagi generasi

muda Jepang dewasa ini.

Umumnya pernikahan dilakukan

dengan suatu tujuan. Menurut Sodei, (1999:14) salah satu tujuan seseorang

menikah adalah untuk mendapatkan

pengakuan di masyarakat dan kehidupan pernikahan selanjutnya. Generasi muda di usia matang yang ingin menikah suatu hari nanti, tujuan terhadap menikah suatu hari nanti yaitu untuk membangun keluarga, tinggal selamanya dengan orang yang dicintai, mendapatkan keamanan ekonomi yang cukup, dan juga bisa mandiri atau bebas dari orang tua. Dengan demikian dapat diketahui bahwa generasi muda

Jepang saat ini masih memandang

pernikahan adalah sesuatu hal yang baik

dilakukan oleh manusia. Selain itu, menurut hasil survei yang diadakan oleh Lembaga Jaminan Masyarat atau Lembaga Riset Masalah Jumlah Penduduk tahun 2010, harapan atau keinginan masyarakat dalam pernikahan adalah untuk dapat membangun keluarga dan memiliki anak

sebanyak 82% dan memeperoleh

ketenangan emosional sebanyak 62% pada pria dan wanita.

Dapat diketahui bahwa keinginan

membangun keluarga dan memperoleh ketenangan emosional merupakan harapan dan keinginan dari sebagian besar generasi muda atau masyarakat Jepang dalam melangsungkan pernikahan.

KESIMPULAN

Generasi muda Jepang saat ini melihat pernikahan merupakan sesuatu yang baik, sehingga mereka ingin menikah suatu hari nanti walaupun di usia yang matang.

Mereka memiliki tujuan terhadap

pernikahan, dan mengetahui adanya

keuntungan yang di dapat jika mereka menikah nantinya. Tujuan mereka menikah suatu hari nanti adalah ingin membangun keluarga dan memiliki anak, agar tidak kesepian dan juga menjadikan keluarga sebagai motivasi baru bagi mereka dalam menjalani hidup. Lalu harapan dan keinginan yang didapat ketika menikah adalah akan ada yang mengurus dirinya, bisa mendapatkan dukungan emosional

(8)

8 yaitu kenyamanan hidup, bisa berbagi

banyak hal dengan orang yang dicintai

selamanya. dan juga mendapatkan

dukungan emosional dengan pasangan

mereka merupakan hal yang

membahagiakan.

Selain itu dunia pekerjaan yang sangat keras dan tidak memungkinkan pria dan wanita untuk menikah tidaklah terbukti. Konsep generasi muda Jepang dewasa ini menjelaskan bahwa bagi mereka pekerjaan adalah hidupnya dan satu-satunya aktivitas yang hanya ingin dilakukan oleh para generasi muda Jepang sepanjang hidupnya juga tidak terbukti kebenarannya. Pada akhirnya bisa ditarik kesimpulan, bahwa menurut mereka, mereka perlu untuk menikah dan menikah merupakan sesuatu

hal yang baik dilakukan. Dengan

pendidikan yang tinggi serta pekerjaan yang bagus, menyebabkan kecenderungan menikah atau menunda pernikahannya di karenakan fokus dalam pekerjaan dan karir.

DAFTAR PUSTAKA Buku.

Adam dan Jessica Kuper. 1996.

Ensiklopedi Ilmu-Ilmu Sosial.

Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada.

Ardan, Lelemappuji. 2012. Generasi Muda. Jakarta.

Citra, Dewi. 2002. “Penundaan

Pernikahan (Bankonka)”. Thesis. Jakarta: Universitas Indonesia.

Departemen Pendidikan Nasional.

2005. Kamus Besar Bahasa

Indonesia. Jakarta: Balai Pustaka. Fukutake, Tadashi. 1988. Masyarakat

Jepang Dewasa Ini. Jakarta: Gramedia

Goode, William J. 1991. Sosiologi Keluarga. Jakarta : Bumi Aksara. Hilma, Hanum. 2009. Makna Perkawinan

Bagi Wanita Pekerja Jepang Dewasa Ini. Skripsi. Padang : Universitas Bung Hatta

Irma. 2000. Makna Lembaga Keluarga

Dalam Masyarakat Jepang

Dewasa Ini (Dampak Sosialisasi

Wanita). Thesis. Jakarta :

Universitas Indonesia

Iwao, Sumiko Japanese Women:

Tradisional Image and Changing Reality, 1993, New York: The Free Press

Kanbara, Fumiko. 1997. Gendai no

Kekkon to Fuufu Kankei. Jepang : Baifuukan

Kooki Kanno, 1983. Marriage Law. Kondansha Encyclopedia Of Japan, Tokyo: Kondansha Ltd, vol 5 Kodansha. 1983. Ensiclopedianof Japan. Tokyo

Mayumi, Mizuno dkk. 2012. Kekkon Teikireki no Otoko Gokoto ga

Omoshiroi Hodo Yoku Wakaru.

Jepang : Kabushiki Gaisha Shinjinbutsu Ouraisha

Mowry, Dorothy Robins. 1983. The Hidden Sun : Women of Modern Japan. Colorado : Westview Press, Inc

Naka, Hisao. 1983. Kaum Muda

JepangDalam Masa Perubahan.

(9)

9 Press

Nakane Chie, “ Ie” (1984), Kodansha Encyclopaedia of Japan, Tokyo: Kodansha Ltd.Vol 4.

Nakane, Chie. 1981. Masyarakat Jepang,

Jakarta : Sinar Agepe Press

Nazir, M. 1985. Metode Penelitian.

Jakarta : Ghalia Indonesia Peursen, Van CA. 1978. Strategi

Kebudayaan. Yogyakarta: Kani

Sius

Ono, Hiroshi (2006). Divorce in Japan : Why It Happens, Why It

Doesn’tSweden.

Okamura, Masu. 1983. Peranan Wanita Jepang. Jakarta : Gadjah Mada. University Press

Soemarjan. 1982. “Social Change” dalam

Sosiologi Suatu Pengantar diedit oleh Soerjono Soekanto. Jakarta: CV Rajawali Pers

Sudaryanto. 1992. Metode Linguistik.

Jakarta : Gadjah Mada University Press

Sudikan, Setia Yuana. 2001. Metode Penelitian Budaya. Surabaya: Citra Wahana

Sumaatmadja. 2005. Manusia Dalam Konteks Sosial Budaya Dan Lingkungan Hidup. Jakarta: Alfhabete

Takako, Sodei. 1999. Changing Families (Children, Gender and The Elderly). Japan : Kenpakusha Toshiaki, Tachibanaki. (2010). The New

Paradox for Japanese Women:

Greater Choice, Greater

Inequality. Tokyo : LTCB

International Library Trust/International House of Japan.

Yoshizumi, Kyoko. 1995. Marriage and

Family, dalam Japanese Woman

diedit oleh Kumiko Fujiwara Fanselow and Atsuko Kameda. New York : University of New York. Internet. http://pernikahan.iklankecil.com/arti-pernikahan.htm http://carapedia.com/pengertian_definisi_p erkawinan_info2156.html http://id.shvoong.com/lifestyle/family-and- relations/2018516-keluarga-modern-indonesia/ http://observer.guardian.co.uk/internasiona l/story/0,6903,1499544,00html. http://www.kcn.ne.jp/~ca001/122.htm. http://www.washingtonpost.com/wp-siv/WPcap/200002/10/101r021000idx.html ) http://jin.jcic.or.jp/insight/html/focus04/the _decision/the_decision.html.. http://www.womenwork.co/jp/sye/17juni2 006. http://en.wikipedia.org/wiki/Salaryman http://dunia.news.viva.co.id/news/read/470466 -2013--rekor-baru-penurunan-populasi-jepang (diakses tanggal 15 januari 2015)

(10)

10 http://en.rocketnews24.com/2013/01/16/m

arried-men-dont-look-happy-wives-unnecessary-an-increasing-number-of

japanese-men-opting-for-bachelorhood/

Referensi

Dokumen terkait

Tujuan dari kegiatan ini adalah untuk meningkatkan mutu sirup pala yang dijual oleh DP Segar Sari dengan cara memperpanjang umur simpan sirup pala dan menurunkan

Wanita dianggap tidak layak untuk menjadi top leader karena mengalami kekurangan fisik dalam arti: tidak sekuat laki-laki (tenaganya), maka laki-laki yang tidak

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui jenis-jenis jamur antagonis isolat lokal yang berasal dari isolasi tanah di daerah lahan pertanaman kentang Kecamatan

Peningkatan kemampuan memberi penjelasan pada siswa kelas eksperimen terbukti secara signifikan lebih tinggi di banding kontrol, hal ini menunjukkan bahwa pembelajaran

OM Berasal dari Kata AUM atau singkatan dari kata ANG UNG dan MANG yang merupakan aksara suci dari Tuhan yang Maha Esa dalam wujud Dewa Trimurti (Brahma = Ang, Wisnu = Ung, dan Siwa

Dengan demikian dampak dari pelaksanaan program Kependudukan dan KB dari sisi guru akan mampu memperkuat fungsi dan peran guru sebagai role models sehingga guru

Pada Tanggal 15 Agustus 2008, Prita Mulyasari atau setidak-tidaknya pada waktu lain dalam bulan Agustus 2008, bertempat di Rumah Sakit Internasional Bintaro Tangerang

Semua kegiatan yang dilaksanakan sesuai dengan arah kebijakan yang telah ditetapkan oleh Kepala BATAN bersama dengan para Deputi/Sestama untuk membangun kinerja dan