• Tidak ada hasil yang ditemukan

UJI SIFAT FISIK DAN PALATABILITAS RANSUM KOMPLIT WAFER PUCUK DAN AMPAS TEBU UNTUK PEDET SAPI FRIES HOLLAND SKRIPSI WENY WIDIARTI

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "UJI SIFAT FISIK DAN PALATABILITAS RANSUM KOMPLIT WAFER PUCUK DAN AMPAS TEBU UNTUK PEDET SAPI FRIES HOLLAND SKRIPSI WENY WIDIARTI"

Copied!
55
0
0

Teks penuh

(1)

UJI SIFAT FISIK DAN PALATABILITAS RANSUM KOMPLIT

WAFER PUCUK DAN AMPAS TEBU UNTUK PEDET

SAPI FRIES HOLLAND

SKRIPSI WENY WIDIARTI

PROGRAM STUDI ILMU NUTRISI DAN MAKANAN TERNAK FAKULTAS PETERNAKAN

INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2008

(2)

RINGKASAN

WENY WIDIARTI. D24103043. 2008. Uji Sifat Fisik dan Palatabilitas Ransum Komplit Wafer Pucuk dan Ampas Tebu untuk Ternak Pedet Sapi Fries Holland. Skripsi. Departemen Ilmu Nutrisi Teknologi Pakan, Fakultas Peternakan, Institut Pertanian Bogor.

Pembimbing Utama : Dr. Ir. Yuli Retnani, M.Sc Pembimbing Anggota : Ir. Kukuh B, Satoto, MS

Hijauan pakan ternak yang tersedia dalam jumlah yang cukup dengan kualitas baik merupakan syarat pokok di dalam mengembangkan peternakan, khususnya ternak ruminansia. Hijauan pakan yang biasa diberikan berupa rerumputan yang berasal dari pematang, tegalan, lapang. Pada saat keadaan langka hijauan, ternak hanya diberi hasil limbah seperti jerami jagung, jerami kedele, pucuk tebu dan ampas tebu (Saccharum officianarum L.).

Pucuk dan ampas tebu merupakan hasil samping PT. Pabrik Gula Rajawali II Cirebon, Unit PG. Jatitujuh, namun rendahnya nilai pakan yaitu rendahnya kadar protein dan kecernaan bahan kering merupakan faktor pembatas di dalam menggunakan pucuk dan ampas tebu, sehingga perlu dicari upaya pemecahannya. Upaya peningkatan nilai pakan pucuk dan ampas tebu sebagai pakan sapi potong antara lain dengan penambahan pakan konsentrat sebagai sumber protein. Sasaran utama pemanfaatan pucuk dan ampas tebu sebagai pakan ternak secara optimal, adalah limbah yang tersisa di lahan dengan cara mengubah bentuknya menjadi hijauan awetan bentuk wafer.

Rancangan yang digunakan adalah metode T-Test yaitu dengan cara membandingkan antara ransum satu dengan lainnya, guna mengetahui ransum mana yang lebih disukai oleh ternak, ransum yang digunakan ialah ransum R0 VS R1 R2 R3, ransum R1 VS R2, ransum R0 VS R3, ransum R3 VS R2. Perlakuan yang diberikan adalah berupa wafer ransum komplit dengan level sumber serat yang berbeda yaitu R0 (Ransum kontrol) = 20 % Rumput Lapang + 80 % Konsentrat; R1 = Ampas Tebu 20 % + 80 % Konsentrat; R2 = Pucuk Tebu 10 % + Ampas Tebu 10 % + 80 % Konsentrat; R3 = Pucuk Tebu 10 %. Peubah yang diamati meliputi kadar air, kerapatan, pengembangan tebal, daya serap dan palatabilitas dengan sistem kafetaria feeding.

Hasil penelitian berdasarkan sifat fisik menunjukkan bahwa ransum yang mengandung pucuk tebu mempunyai sifat fisik yang lebih baik, hal ini ditinjau dari kadar air rendah, kerapatan wafer tertinggi, aktivitas air rendah dan berat jenis tinggi. Palatabilitas ransum wafer yang mengandung rumput lapang dan pucuk tebu lebih disukai dari pada ampas tebu dan kombinasi pucuk dan ampas tebu. Rataan konsumsi ransum wafer pedet Fries Holland sebesar: R0 44 – 48 %, R1 6 – 10 %, R2 13 – 16 % dan R3 30 – 33 %.

Kata-kata Kunci : wafer ransum komplit, cafetaria feeding, bagasse, Saccharum officianarum L.

(3)

ii

7B

ABSTRACT

Physical Quality Test and Palatability of Wafer Complete Ration Based on Sugar Cane Sprout and Bagasse for Calf Fries Holland

W. Widiarti, Y. Retnani and K. B. Satoto

Sprout sugar cane and bagasse (Saccharum officianarum L.) represent result from other side PT. Pabrik Gula Rajawali II Cirebon, Unit PG. Jatitujuh, but lower assess feed that is lowering of protein rate and dry materials digesting represent constrictor factor in using sprout sugar cane and bagasse, so that require to look for its resolving effort. Effort of is make-up of sprout feed value and bagasse as crosscut ox feed for example with addition of concentrate feed as source of protein. Sugar cane sprout exploiting as livestock feed in an optimal performance, especial target is waste which remain farm by transforming it become green preserved form wafer that is wafer complete ration. Data were analysed by using T-Test method. Comparing between ration one otherly, utilize to know which is more prefer like to by livestock, follow the example of R0 ration with R1, R0 ration with R2, R0 ration with R3, R1 ration with R2, R1 ration with R3, R2 ration with R3. given Treatment is in the form of complete ration wafer with level of is source of different fibre that is R0 (Control ration = 20 % Spacious Grass + 80 % concentrate; R1 = Bagasse 20 + 80 % concentrate; R2 = Sprout Sugar cane 10 + Bagasse 10 + 80 % concentrate; R3 = Sprout Sugar cane 10 %. This Result of research pursuant to nature of physical indicated that pregnant ration of sugar cane sprout had the nature of better physical, this matter is evaluated from low water rate, closeness of highest wafer, low water activity and specific gravity highly. Pregnant ration wafer Palatability of spacious grass and sugar cane sprout prefer from sprout combination and bagasse and bagasse. Mean consume Fries Holland calf wafer complete ration equal to: R0 44 - 48 %, R1 6 - 10 %, R2 13 - 16 % and R3 30 - 33 %.

Key words : Wafer complete ration, feeding cafeteria system, bagasse, Saccharum officianarum L.

(4)

UJI SIFAT FISIK DAN PALATABILITAS RANSUM KOMPLIT

WAFER PUCUK DAN AMPAS TEBU UNTUK PEDET

SAPI FRIES HOLLAND

8B

WENY WIDIARTI D24103043

Skripsi ini merupakan salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Peternakan pada

Fakultas Peternakan Institut Pertanian Bogor

PROGRAM STUDI ILMU NUTRISI DAN MAKANAN TERNAK FAKULTAS PETERNAKAN

INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2008

(5)

iv

UJI SIFAT FISIK DAN PALATABILITAS RANSUM KOMPLIT

WAFER PUCUK DAN AMPAS TEBU UNTUK PEDET

SAPI FRIES HOLLAND

9B

Oleh

10B

WENY WIDIARTI D24103043

Skripsi ini telah disetujui dan disidangkan di hadapan Komisi Ujian Lisan pada tanggal 29 Juli 2008

Pembimbing Utama Pembimbing Anggota

Dr. Ir. Yuli Retnani, M.Sc Ir. Kukuh B, Satoto, MS

NIP. 131 878 943 NIP. 130 540 382

Dekan Fakultas Peternakan Institut Pertanian Bogor

Dr. Ir. Luki Abdullah, M.Sc. Agr NIP. 131 473 998

(6)

11B

RIWAYAT HIDUP

Penulis dilahirkan di Cirebon pada tanggal 17 November 1984, penulis adalah anak kesatu dari tiga bersaudara dengan dua orang adik dari pasangan bapak H. R. Daja Suhardja dan ibu Hj. Aam Animah, S.Pd.

Pendidikan penulis diawali dengan memasuki jenjang Sekolah Dasar Negeri (SDN) Kebon Baru IV Cirebon pada tahun 1991 dan lulus tahun 1997, kemudian melanjutkan ke Sekolah Lanjutan tingkat Pertama Negeri (SLTPN) I Cirebon dan lulus pada tahun 2000. Setelah itu penulis melanjutkan ke Sekolah Menengah Umum Negeri (SMUN) 9 Cirebon lulus tahun 2003.

Penulis diterima sebagai mahasiswa Program Studi Ilmu Nutrisi dan Makanan Ternak, Departemen Ilmu Nutrisi dan Teknologi Pakan, Fakultas Peternakan, Institut Pertanian Bogor pada tahun 2003 melalui USMI (Ujian Seleksi Masuk IPB). Selama kuliah penulis aktif dalam organisasi kemahasiswaan yaitu Paduan Suara “Graziono Simphony” Fakultas Peternakan periode 2004-2006 sebagai sekretaris dan pada tahun 2007-2008 sebagai pelatih Paduan Suara “Graziono Simphony” Fakultas Peternakan.

(7)

vi

12B

KATA PENGANTAR

Alhamdulillah, segala puji dan syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT yang telah melimpahkan rahmat dan hidayah-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan penelitian dan penyusunan skripsi ini. Salawat serta salam semoga tercurah kepada Nabi Besar Muhammad SAW, keluarga, sahabat dan para pengikutnya hingga akhir zaman.

Skripsi ini berjudul “Uji Sifat Fisik dan Palatabilitas Ransum Komplit Wafer Pucuk dan Ampas Tebu untuk Ternak Pedet Sapi Fries Holland” sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Peternakan, Fakultas Peternakan, Institut Pertanian Bogor. Penyusunan skripsi ini merupakan wujud peran aktif dan kontribusi dalam industri pakan dan dunia peternakan. Skripsi ini disusun dengan harapan dapat memberikan informasi pentingnya meningkatkan sifat fisik dan palatabilitas ransum komplit wafer pucuk dan ampas tebu untuk pedet sapi Fries Holland, oleh karena itu pucuk tebu dapat dipergunakan sebagai pengganti sumber serat hijauan untuk pedet sapi FH.

Penulis menyadari bahwa dalam penulisan skripsi ini masih jauh dari sempurna, oleh sebab itu penulis sangat mengharapkan kritik dan saran sehingga skripsi ini menjadi lebih baik. Semoga skripsi ini bermanfaat dalam dunia pendidikan dan peternakan serta menjadi catatan amal shaleh. Amin.

Tidak lupa ucapan terima kasih penulis sampaikan pada semua pihak yang turut membantu penyusunan skripsi ini, hanya Allah Yang Maha Pemurah dan Penyayang yang akan membalasnya.

Bogor, Juli 2008

(8)

DAFTAR ISI

Halaman

RINGKASAN ... i

ABSTRACT ... ii

RIWAYAT HIDUP ... iii

0B KATA PENGANTAR ... iv

DAFTAR ISI ... vii

DAFTAR TABEL ... ix 1B DAFTAR GAMBAR ... x 2B DAFTAR LAMPIRAN ... xi 3B PENDAHULUAN Latar Belakang ... 1 Perumusan Masalah ... 2 Tujuan ... 2 4B TINJAUAN PUSTAKA Tanaman Tebu (Saccharum officianarum). ... 3

Botani dan Morfologi Tebu ... 3

Pucuk Tebu ... 4 Ampas Tebu ... 6 Molases ... 7 Rumput Lapang ... 7 Ransum Komplit ... 8 Wafer ... 9

Wafer Ransum Komplit ... 10

Sifat Fisik ... 10

Kadar Air ... 11

Aktivitas Air ... 12

Kerapatan ... 12

Berat Jenis ... 13

Sapi Fries Holland ... 13

Palatabilitas ... 14

5B METODE Lokasi dan Waktu ... 15

Materi ... 15

Peralatan Percobaan ... 15

Bahan Baku Ransum Komplit ... 15

Rancangan Percobaan ... 16

Formulasi Ransum ... 16

Prosedur ... 18

(9)

viii

Pengujian Wafer ... 18

Peubah yang diamati ... 19

6B HASIL DAN PEMBAHASAN Wafer Ransum Komplit ... 22

Sifat Fisik Wafer Ransum Komplit ... 25

Kadar Air ... 25

Aktivitas Air ... 26

Kerapatan ... 26

Berat Jenis ... 27

Palatabilitas Ransum Wafer ... 28

Konsumsi Ransum Wafer ... 28

Konsumsi Zat Makanan ... 29

Kondisi Ternak ... 30

KESIMPULAN DAN SARAN Kesimpulan ... 32

Saran ... 32

UCAPAN TERIMA KASIH ... 33

DAFTAR PUSTAKA ... 34

(10)

13B

DAFTAR TABEL

Nomor Halaman

1. Komposisi Nutrisi Rumput Lapang ... 8 2. Komposisi Zat Makanan Bahan Baku Ransum Komplit Wafer Pucuk dan

Ampas Tebu ... 16 3. Susunan dan Kandungan Zat Makanan dalam Ransum Komplit

Wafer Pucuk dan Ampas Tebu ... 17 4. Komposisi Zat Makan Berdasarkan Bahan Kering (100 %) ... 22 5. Hasil Analisis Kimia Ampas dan Pucuk Tebu... 24 6. Rataan Hasil Uji Sifat Fisik Ransum Komplit Wafer Pucuk

Dan Ampas Tebu... 25 7. Rataan Konsumsi Ransum Wafer (dalam bentuk segar atau bahan

kering) selama Periode Prelime dan Pengujian Palatabilitas... 28 8. Rataan Konsumsi Protein Kasar, Lemak Kasar, Serat Kasar, BETN

dan TDN ... 29 9. Rataan Bobot Badan Pedet selama Penelitian... 30

(11)

x

14B

DAFTAR GAMBAR

Nomor Halaman

1. Bentuk Pucuk Tebu ... 4 2. Tahapan Proses Pembuatan Ransum Komplit Wafer Pucuk

dan Ampas Tebu ... 19 3. Bentuk Fisik Ransum Komplit Wafer Pucuk dan Ampas Tebu ... 23

(12)

15B

DAFTAR LAMPIRAN

Nomor Halaman

1. Produksi PG Jatitujuh Perubahan Konsentrasi NH3 Perlakuan ... 39

2. Data Statistik Produksi PG. Jatitujuh dari Tahun 1998 - 2002 ... 39

3. Produksi Gula Dunia dan Posisi Indonesia ... 40

4. Luas Areal Tebu dan Produksi Tebu Nasional 1990 - 2004 ... 40

5. Konsumsi Bahan Kering Ransum Sapi Pedet FH selama penelitian (g/e/hari) ... 41

6. Rata – rata Konsumsi Harian Ransum Sapi Pedet FH (Bahan Kering) Selama Sepuluh Hari Pengamatan ... 41

7. Hasil Uji T Bahan Segar dan Bahan Kering pada Prelime dan Uji Palatabilitas ... 42

8. Hasil Uji T BO, PK, LK, SK, BETN dan TDN pada Prelime dan Uji Palatabilitas ... 43

(13)

PENDAHULUAN

Latar Belakang

Hijauan pakan ternak yang tersedia dalam jumlah yang cukup dengan kualitas baik merupakan syarat pokok di dalam mengembangkan peternakan, khususnya ternak ruminansia. Hijauan pakan yang biasa diberikan berupa rerumputan yang berasal dari pematang, tegalan dan lapangan. Ketersediaan hijauan pakan ternak pada musim kemarau terbatas, oleh karena itu perlu dicari bahan pakan alternatif pengganti hijauan. Salah satu pakan alternatif pengganti hijauan adalah limbah pertanian seperti jerami padi, jerami jagung, jerami kedele, pucuk tebu dan ampas tebu.

Pucuk tebu (produksi per tahun 1000 ton) dan ampas tebu merupakan hasil samping PT. Pabrik Gula Rajawali II Cirebon Unit PG. Jatitujuh, dengan luas areal lahan perkebunan tebu sebesar 1263 Ha (Risbang PG Jatitujuh, 2007). Menurut Musofie et al., 1983 limbah perkebunan tebu yang memegang peranan penting dalam penyediaan hijauan pakan ternak adalah pucuk tebu, ampas tebu, dan molases, karena limbah yang dihasilkan ± 90 % dari pengolahan gula. Hasil samping tersebut juga banyak dihasilkan pada musim kemarau. Penggunaan pucuk tebu segar dapat digunakan sebagai pengganti hijauan segar. Rendahnya kadar protein dan kecernaan bahan kering pucuk dan ampas tebu merupakan faktor pembatas penggunaan pucuk tebu dan ampas tebu, sehingga perlu dicari upaya pemecahannya. Salah satu upaya pemecahan untuk mengolah penggunaan pucuk dan ampas tebu sebagai pakan ternak ruminansia antara lain dengan menambahkan pakan konsentrat sumber protein, energi, vitamin, mineral.

Penggunaan pucuk dan ampas tebu sebagai pakan ternak dapat digunakan secara optimal dan menambahkan zat makanan sesuai dengan kebutuhan menjadi ransum komplit yang berbentuk wafer. Bentuk wafer selain dapat meningkatkan kandungan gizi juga memberi keuntungan dan mempermudah penyimpanan, transportasi dan diharapkan dapat meningkatkan palatabilitas konsumsi wafer ransum komplit yang mengandung pucuk dan ampas tebu.

(14)

Perumusan Masalah

Ampas dan pucuk tebu yang diolah menjadi ransum komplit berbentuk wafer dapat dijadikan sebagai pakan alternatif sumber serat kasar untuk ternak pedet khususnya Fries Holland.

Tujuan

Penelitian ini bertujuan untuk membandingkan sifat fisik dan palatabilitas wafer ransum komplit yang mengandung pucuk dan ampas tebu sebagai sumber serat kasar pada pakan ternak ruminansia besar, khususnya pedet sapi Fries Holland.

(15)

TINJAUAN PUSTAKA Botani dan Morfologi Tebu

Tanaman tebu (Saccharum officinarum) merupakan tanaman perkebunan semusim yang di dalam batangnya terdapat gula dan merupakan keluarga rumput-rumputan (graminae) seperti halnya padi, jagung dan bamboo. Jenis tanaman tebu yang telah dikenal, seperti POJ-3016, POJ-2878 dan POJ-2976, pada umumnya merupakan hasil pemuliaan antara tebu liar (Saccharum spontaneum atau glagah) dan tebu tanam (Saccharum officinarum) atau hasil berbagai jenis tebu tanam

Klasifikasi botani tanaman tebu adalah sebagai berikut: Divisio : Spermatophyta

Sub division : Angiospermae Kelas : Monocotyledonae Famili : Poeccae

Genus : Saccharum

Spesies : Saccharum officinarum

Tebu dapat ditanam di dataran rendah sampai di dataran tinggi yang tidak lebih dari 1400 meter di atas permukaan laut. Tanaman tebu membutuhkan curah hujan yang tinggi pada fase pertumbuhan vegetatif. Curah hujan yang tinggi setelah fase vegetatif akan menurunkan rendemen gula. Batang tebu mengandung serat dan kulit batang (12,5 %), dan nira yang terdiri dari air, gula, mineral dan bahan-bahan non gula lainnya (87,5 %) (Purnama, 2006).

Purwono (2003) menjelaskan bahwa tujuan utama penanaman tebu adalah untuk memperoleh hablur yang tinggi. Hablur adalah gula sukrosa yang dikristalisasikan. Dalam sistem produksi gula, pembentukan gula terjadi di dalam proses metabolisme tanaman dan proses ini terjadi di lapangan (on farm). Pabrik gula berfungsi sebagai alat ekstraksi untuk mengelurkan nira dari batang tebu dan mengolahnya menjadi gula krisal.

Hablur yang dihasilkan mencerminkan rendemen tebu. Dalam prosesnya, ternyata rendemen yang dihasilkan oleh tanaman dipengaruhi oleh keadaan tanaman dan proses penggilingan di pabrik. Untuk mendapatkan rendemen yang tinggi, tanaman harus bermutu baik dan ditebang pada saat yang tepat. Namun sebaik apapun mutu tebu, jika pabrik sebagai sarana pengolahan tidak baik, hablur yang

(16)

didapat akan berbeda dengan kandungan sukrosa yang ada di batang (Purwono, 2003).

Tebu yang telah ditebang harus segera mungkin dibawa ke pabrik untuk digiling dalam waktu 24 jam. Apabila lebih lama ditahan, kualitas nira akan turun karena proses respirasi berjalan terus atau terjadi penguraian sukrosa yang dapat menurunkan kandungan gulanya. Nira merupakan cairan yang keluar dari batang tebu (Moerdokusumo, 1993). Nira tebu merupakan campuran dari berbagai komponen, yaitu: (1) air (77-88 %), (2) sukrosa (8-21 %), (3) gula reduksi (0,3-3 %), (4) zat anorganik (0,2-0,6 %) (Purnama, 2006).

Pucuk Tebu

Limbah perkebunan termasuk pucuk tebu mudah rusak dan kering sehingga kurang disukai oleh ternak (terutama pucuk tebu), oleh karena itu perlu usaha pengawetan (Musofie et al. 1983). Pada waktu panen pucuk tebu tersedia cukup banyak dalam waktu yang singkat melebihi kebutuhan ternak. Untuk itu dipandang perlu mengolah pucuk tebu sebagai hijauan awetan tanpa menyebabkan turunnya kualitas dan masih tetap palatable yaitu sebagai hijauan wafer atau pellet (Rahman, 1991). Pucuk tebu yang dimaksud disini adalah ujung atas batang tebu berikut 5 – 7 helai daun yang dipotong dari tebu yang dipanen untuk tebu bibit atau tebu giling (Musofie dan Wardhani, 1987). Bentuk pucuk tebu dapat dilihat pada Gambar 1.

(17)

Limbah perkebunan pucuk tebu dihasilkan jauh dari daerah ternak merupakan permasalahan pemanfaatan pucuk tebu. Hal ini dapat dimengerti karena limbah yang berserat kasar tinggi bersifat bulky, sehingga membutuhkan tempat yang lebih banyak untuk satuan berat tertentu dibandingkan bahan berserat kasar rendah (Tohamat dkk. 1993).

Pucuk tebu adalah limbah perkebunan yang mempunyai kadar protein dan kecernaan yang rendah sehingga tidak cocok untuk makanan tunggal (Huitema, 1985). Menurut Lebdosukoyo (1983) penggunaan pucuk tebu hanya mungkin apabila diberikan suplemen dan disusun menjadi ransum yang serasi. Suplemen ini berasal dari limbah industri pertanian, leguminosa atau urea, tetapi bila pucuk tebu digunakan sebagai bahan baku pakan akan memberikan keuntungan. Keuntungan yang dapat diperoleh adalah : (1) pucuk tebu sebagai hasil sampingan akan memiliki nilai ekonomis karena dapat menghasilkan berbagai produk yang berguna bagi masyarakat, (2) keuntungan petani dan produsen berbagai produk akan lebih besar, dan (3) membantu mengurangi masalah pencemaran lingkungan akibat hasil sampingan (Judoamidjojo et al. 1989). Pucuk tebu dapat dipergunakan sebagai hijauan pakan ternak dalam bentuk segar, silase, wafer atau pellet (Tedjowahjono, 1985).

Beberapa penelitian telah dilakukan di Indonesia dengan tujuan mencari cara untuk memanfaatkan limbah perkebunan sebagai pakan. Upaya ini meliputi penggunaan langsung dalam pakan, pengolahan untuk mempertinggi nilai pakannya, dan pengawetan agar dapat mengatasi fluktuasi penyediaan (Lebdosukoyo, 1993)

Selama ini pucuk tebu dibuat dalam bentuk cubing yaitu pucuk tebu dikeringkan dan dibuat dalam bentuk balok pada saat ketersediaan pucuk tebu melimpah pada waktu musim panen (Parakkasi, 1995). Salah satu bentuk pengolahan limbah pucuk tebu pada penelitian ini adalah memanfaatkan pucuk tebu sebagai sumber serat dalam ransum komplit yang dibuat dalam bentuk wafer. Adapun keuntungan wafer ransum komplit menurut Trisyulianti (1998) adalah : (1) kualitas nitrisi lengkap, (2) mempunyai bahan baku bukan hanya dari hijauan makanan ternak seperti rumput dan legum, tapi juga dapat memanfaatkan limbah pertanian, perkebunan, atau limbah pabrik pangan, (3) tidak mudah rusak oleh faktor biologis karena mempuyai kadar air kurang dari 14%, (4) ketersediaannya

(18)

berkesinambungan karena sifatnya yang awet dapat bertahan cukup lama sehingga dapat mengantisipasi ketersediaan pakan pada musim kemarau serta dapat dibuat pada saat musim hujan dimana hasil hijauan makanan ternak dan produk pertanian melimpah, (5) memudahkan dalam penanganan karena bentuknya padat kompak sehingga memudahkan dalam penyimpanan dan transportasi.

Ampas Tebu

Salah satu limbah berserat hasil tanaman pangan yang potensial tetapi belum maksimal dimanfaatkan sebagai pakan ternak ruminansia adalah limbah industri pengolahan tebu. Limbah yang dihasilkan dalam industri pengolahan tebu yang potensial sebagai pakan ternak ruminansia adalah pucuk tebu, ampas tebu, dan tetes. Menurut Preston (1991) ada beberapa keuntungan jika limbah tebu menjadi pilihan sumber pakan bagi pengembangan ternak ruminansia, yakni merupakan salah satu

tanaman yang efisien dalam menangkap CO2 (karbon dioksida) dan

mentransformasikan menjadi biomassa, mudah membedakan hasilnya mana sebagai pangan dan pakan, sangat toleran terhadap musim panas dan tahan terhadap hama dan penyakit, teknologi kultivasi dan prosesing menjadi gula telah dikuasai di negeri ini, mudah tersedia di musim kemarau saat pakan hijauan yang lain kurang tersedia.

Proses pembuatan gula, batang tebu yang sudah dipanen diperas dengan

mesin pemeras (mesin press) di pabrik gula. Sesudah itu, nira atau air perasan tebu

tersebut disaring, dimasak, dan diputihkan sehingga menjadi gula pasir yang kita kenal. Dari proses pembuatan tebu tersebut akan dihasilkan gula 5%, ampas tebu

90% dan sisanya berupa tetes (molasse) dan air. Menurut Ensminger et al. (1990),

ampas tebu mempunyai kadar serat kasar dan kadar lignin sangat tinggi, yaitu masing - masing sebesar 46,5 % dan 14 % dengan kadar protein kasar rendah (28%). Ampas tebu di Negara Indonesia digunakan untuk bahan bakar pembangkit ketel uap pada pabrik gula dan bahan dasar pembuatan kertas. Ampas tebu belum memiliki nilai ekonomi yang tinggi sehingga sangat berpotensi digunakan untuk bahan pakan ternak (Prihandana, 2005).

(19)

Molases

Molases merupakan hasil dari proses penggilingan tebu menjadi gula. Menurut Sutardi (1981), molasses dalam ransum komersial untuk ternak digunakan 15 %, domba 8 %, babi 15 % dan unggas 5 %. Komposisi molasses terdiri dari 82,4 % bahan kering; 11,8 % abu; 3,24 % protein kasar; 0,3 % lemak; 0,4 % serat kasar; 84,8 % Beta-N dan 70,7 % TDN (Sutardi, 1981). Keuntungan penggunaan molases untuk makanan ternak adalah: kadar karbohidratnya yang tinggi (48-60 % sebagai gula), kadar mineralnya cukup dan disukai ternak. Molases juga mengandung vitamin B kompleks serta unsur-unsur mikro yang penting bagi ternak, seperti kobalt, boron, yodium, tembaga, mangan, seng. Sedangkan keuntungannya ialah kadar kaliumnya yang tinggi, dapat menyebabkan diare jika terlalu banyak dikonsumsinya (Mochtar et al., 1983). Molases kaya akan kandungan berbagai asam amino seperti aspartat, glutamat, lignin dan alanin (Somaatmadja, 1981).

Molases banyak dimanfaatkan dan dipergunakan secara langsung sebagai pupuk, pakan ternak dan bahan baku industri fermentasi. Ada beberapa cara penggunaan molases untuk makanan ternak antara lain, diberikan komponen secara terpisah dari komponen lain, diberikan dengan campuran urea atau amoniak, diberikan bersama-sama dengan campuran komponen lainnya seperti biji-bijian, ampas, tongkol jagung dan sebagainya (Paturau, 1982).

Rumput Lapang

Rumput lapang merupakan campuran dari berbagai jenis rumput lokal yang umumnya tumbuh secara alami dengan daya produksi dan kualitas nutrisinya yang rendah. Walaupun demikian rumput lapang merupakan hijauan yang mudah didapat dan jumlah pengeluaran untuk pengolahannya sangat minim (Wiradarya, 1989). Kualitas rumput lapang sangat beragam karena tergantung pada kesuburan tanah, iklim, komposisi spesies, waktu pemotongan dan cara pemberiannya, akan tetapi secara umum kualitasnya dapat dikatakan rendah (Pulungan, 1988).

(20)

Tabel 1. Komposisi Nutrisi Rumput Lapang

Kandungan Nutrisi Komposisi

Bahan Kering (%) 24,48 Abu (%) 14,5 Protein Kasar (%) 8,2 Lemak (%) 1,44 Serat Kasar (%) 31,7 BETN (%) 44,2 TDN (%) 51,00 DE (Mkal/kg) 1,82 NEM (Mkal/kg) 1,00 NEG (Mkal/kg) 0,45 HEL (Mkal/kg) 1,13 Selulosa (%) 31,03 Lignin (%) 7,80 ADF (%) 40,32 NDF (%) 63,61 Kalsium (%) 0,366 Pospor (%) 0,230 Sumber: Suharto (2004) Ransum Komplit

Ransum adalah makanan yang terdiri atas beberapa jenis bahan makanan yang diberikan kepada hewan untuk kebutuhan 24 jam, yang mengandung semua zat-zat makanan yang diperlukan hewan dalam keadaan serba cukup dan seimbang (Lubis, 1952).

Ransum komplit adalah pakan yang cukup tinggi gizi untuk hewan tertentu dalam tingkat fisiologis, dibentuk atau dicampur untuk diberikan sebagai satu-satunya makanan dan memenuhi kebutuhan hidup pokok atau produksi, atau keduanya tanpa tambahan bahan atau substansi lain kecuali air (Hartadi et al., 1997). Menurut Chuzaemi (2002) ransum komplit merupakan salah satu metode yang dapat digunakan untuk meningkatkan pemanfaatan limbah pertanian yaitu dengan cara

(21)

mempertimbangkan kebutuhan nutrisi ternak baik kebutuhan serat maupun zat makanan lainnya.

Konsentrat adalah suatu bahan makanan yang dipergunakan bersama bahan untuk disatukan dan dicampur sebagai suplemen (pelengkap) atau makanan lengkap (Hartadi et al., 1990). Umumnya, bahan pakan konsentrat mempunyai nilai palatabilitas (rasa enak) dan aseptabilitas (penerimaan ternak untuk dikonsumsi) yang lebih tinggi.

Wafer

Wafer merupakan suatu bahan yang mempunyai dimensi (panjang, lebar, dan tinggi) dengan komposisi terdiri dari beberapa serat yang sama atau seragam (ASAE, 1994). Menurut Mc Bride et al. (1997), material serat yang mendapat tekanan sehingga mempunyai bentuk diagonal yang lebih besar daripada panjangnya, berdimensi dan mempunyai bulk density.

Menurut Trisyulianti (1998) pembuatan wafer merupakan salah satu alternatif bentuk penyimpanan yang efektif dan diharapkan dapat menjaga keseimbangan ketersediaan bahan hijauan pakan, karena dapat mengumpulkan hijauan makanan ternak pada musim hujan dan menyimpannya untuk persediaan di musim kemarau.

Bentuk wafer yang padat dan cukup ringkas diharapkan dapat: (1) meningkatkan palatabilitas ternak karena bentuknya yang padat, (2) memudahkan dalam penanganan, pengawetan, penyimpanan, transportasi, dan penanganan hijauan lainnya, (3) memberikan nilai tambah karena selain memanfaatkan limbah hijauan, juga dapat memanfaatkan limbah pertanian dan perkebunan, dan (4) menggunakan teknologi sederhana dengan energi yang relatif rendah (Trisyulianti, 1998).

Sing and Mehra (1990) menyatakan bahwa di India dan negara berkembang lainnya pembuatan pakan blok komplit merupakan teknologi yang sangat potensial untuk memanfaatkan limbah pertanian dan limbah agro-industri dimana termasuk limbah yang murah dan siap untuk digunakan sebagai pakan ternak ruminansia terutama pada saat kondisi kekurangan, yang diperburuk dengan sering terjadinya banjir dan musim kemarau.

(22)

Wafer Ransum Komplit

Wafer ransum komplit adalah suatu produk pengolahan pakan ternak yang terdiri atas pakan sumber serat yaitu hijauan dan konsentrat dengan komposisi yang disusun berdasarkan kebutuhan nutrisi ternak dan dalam proses pembuatannya mengalami pemadatan dengan tekanan 12 kg/cm2 dan pemanasan dalam suhu 1200 C selama 10 menit (Noviagama, 2002). Prinsip pembuatan wafer mengikuti prinsip pembuatan papan partikel. Proses pembuatan wafer membutuhkan perekat yang mampu mengikat partikel-partikel bahan sehingga dihasilkan wafer yang kompak dan padat sesuai dengan densitas yang diinginkan. Menurut Sutigno (1994) perekat adalah suatu bahan yang dapat menahan dua buah benda berdasarkan ikatan permukaan.

Keuntungan wafer ransum komplit menurut Tisyulianti (1998) adalah : (1) kualitas nutrisi lengkap, (2) mempunyai bahan baku bukan hanya dari hijauan makanan ternak seperti rumput dan legum, tapi juga dapat memanfaatkan limbah pertanian, perkebunan, atau limbah pabrik pangan, (3) tidak mudah rusak oleh faktor biologis karena mempuyai kadar air kurang dari 14%, (4) ketersediaannya berkesinambungan karena sifatnya yang awet dapat bertahan cukup lama sehingga dapat mengantisipasi ketersediaan pakan pada musim kemarau serta dapat dibuat pada saat musim hujan dimana hasil-hasil hijauan makanan ternak dan produk pertanian melimpah, (5) memudahkan dalam penanganan karena bentuknya padat kompak sehingga memudahkan dalam penyimpanan dan transpotasi.

Sifat Fisik

Sifat fisik merupakan sifat dasar dari suatu bahan. Menurut Noviagama (2002), pengujian sifat fisik wafer digunakan untuk merancang suatu alat pengolahan dan penyimpanan serta transportasi industri pengolahan. Pada penelitian ini sifat fisik yang diuji adalah kadar air, kerapatan, daya serap dan pengembangan tebal.

Kadar air adalah jumlah air yang terkandung di dalam suatu bahan pakan. Kadar air wafer akan meningkat jika disimpan pada ruang yang lembab dimana mikroorganisme mudah tumbuh dan menyebabkan perubahan sifat fisik serta kimia wafer ransum komplit (Jayusmar, 2000).

(23)

Menurut Jayusmar (2000), faktor utama yang mempengaruhi kerapatan adalah jenis bahan baku dan pemadatan hamparan pada mesin pengempaan. Menurut Prabowo (2003) kerapatan wafer sebesar 0,6 g/cm3.

Daya serap air adalah kemampuan suatu benda untuk menyerap air dari lingkungan sekitarnya. Daya serap air dan pengembangan tebal merupakan indikator stabilitas dimensi wafer ransum komplit terhadap penyerapan air dan kelembaban. Wafer ransum komplit yang memiliki daya serap air yang tinggi akan membuat stabilitas dimensi wafer menjadi lunak dan cepat hancur jika terkena air sehingga disinyalir tidak tahan terhadap penyimpanan dalam kurun waktu yang lama. Umumnya kadar air ransum pakan ternak akan meningkat seiring dengan semakin lamanya waktu penyimpanan (Prabowo, 2003).

Pengembangan tebal adalah perubahan suatu benda menjadi lebih tebal dibandingkan keadaan semula, disebabkan karena benda tersebut menyerap air. Wafer dengan kemampuan penyerapan air yang tinggi akan meningkatkan nilai pengembangan tebal, karena semakin banyak volume air hasil penyerapan yang tersimpan dalam wafer ransum komplit akan diikuti peningkatan perubahan pengembangan (Prabowo, 2003).

Kadar Air

Kerusakan bahan pakan dapat disebabkan oleh faktor-faktor sebagai berikut: pertumbuhan dan aktivitas mikroba terutama bakteri, ragi dan kapang; aktivitas-aktivitas enzim di dalam pakan; serangga, parasit dan tikus; suhu termasuk suhu pemanasan dan pendinginan; kadar air, udara; dan jangka waktu penyimpanan. Kadar air pada permukaan bahan pakan dipengaruhi oleh kelembaban nisbi (RH) udara disekitarnya. Bila kadar air bahan rendah sedangkan RH sekitarnya tinggi, maka akan terjadi penyerapan uap air dari udara sehingga bahan menjadi lembab atau kadar airnya menjadi lebih tinggi (Williamson dan Payne, 1993).

Kadar air suatu bahan dapat diukur dengan berbagai cara. Metode pengukuran yang umum dilakukan di laboratorium adalah dengan pemanasan di dalam oven atau dengan cara destilasi. Kadar air bahan merupakan pengukuran jumlah air total yang terkandung dalam bahan pakan, tanpa memperlihatkan kondisi atau derajat keterikatan air (Syarif dan Halid, 1993).

(24)

Aktivitas air

Aktivitas air (Aw) bahan pakan adalah air bebas yang terkandung dalam bahan pakan yang dapat digunakan oleh mikroba untuk pertumbuhannya (Syarif dan Halid, 1993). Pertumbuhan mikroba pada bahan pangan sangat erat hubungannya dengan jumlah kandungan air. Pertumbuhan mikroba tidak pernah terjadi tanpa adanya air tertentu, bahan yang mempunyai aktivitas air 0,70 sudah dianggap cukup baik dan tahan selama penyimpanan (Winarno et al., 1980).

Pengukuran Aw akan mencerminkan air bebas yang ada dalam bahan pangan, atau kelembaban relatif kesetimbangan (RHs) ruang tempat penyimpanan bahan pangan (Syarief dan Halid, 1993). Aw meter sebelum digunakan terlebih dahulu dikalibrasi menggunakan larutan Barium Klorida (BaCl2). Larutan dibiarkan selama 3 jam setelah jarum Aw meter ditera sampai menunjukkan angka 0,9 karena BaCl2 mempunyai kelembapan garam jenuh sebesar 90%. Pengukuran aktivitas air dilakukan dengan cara memasukkan wafer berukuran 5x5 cm ke dalam Aw meter dan biarkan selama 1 jam, setelah itu pembacaan dilakukan.

Kerapatan

Kerapatan adalah suatu ukuran kekompakan ukuran partikel dalam lembaran dan sangat tergantung pada kerapatan bahan baku yang digunakan dan besarnya tekanan kempa yang diberikan selama proses pembuatan lembaran. Wafer pakan yang mempunyai kerapatan tinggi akan memberikan tekstur yang padat dan keras sehingga mudah dalam penanganan baik penyimpanan dan goncangan pada saat transportasi dan diperkirakan akan lebih lama dalam penyimpanan (Trisyulianti, 1998). Sebaliknya pakan yang kerapatan rendah akan memperlihatkan bentuk wafer pakan yang tidak terlalu padat dan tekstur yang lebih lunak serta porous (berongga), sehingga diperkirakan hanya dapat bertahan dalam penyimpanan beberapa waktu saja.

Menurut Jayusmar (2000), kerapatan wafer ransum komplit dapat mempengaruhi tingkat palatabilitas wafer oleh ternak. Wafer dengan nilai kerapatan yang tinggi tidak begitu disukai oleh ternak, karena terlalu padat sehingga sulit untuk dikonsumsi ternak.

(25)

Berat jenis

Berat Jenis (BJ) juga disebut berat spesifik (specific gravity), merupakan perbandingan antara berat bahan terhadap volumenya, satuannya adalah kg/m3. Berat jenis diukur dengan menggunakan prinsip hukum Archimedes, yaitu dengan melihat perubahan volume aquades padas gelas ukur (100 ml) setelah dimasukkan bahan – bahan yang masanya telah diketahui ke dalam gelas tersebut, kemudian dilakukan pengadukan untuk mempercepat keluarnya udara antar partikel ranusm selama pengukuran. Perubahan volume aquades merupakan volume bahan yang sesungguhnya (Khalil,1999a).

Menurut Kling dan Wohlbier (1983), BJ memegang peranan penting dalam berbagai proses pengolahan, penanganan, dan penyimpanan. Pertama, BJ merupakan faktor penentu dari kerapatan tumpukan. Kedua, BJ memberikan pengaruh besar terhadap daya ambang dari partikel. Ketiga, BJ bersama dengan ukuran partikel dan stabilitasnya dalam suatu campuran pakan. Ransum yang terdiri dari partikel yang berbeda BJ-nya cukup besar, maka campuran ini tidak stabil dan cenderung mudah terpisah kembali. Keempat, BJ sangat menentukan tingkat ketelitian dalam proses penakaran secara otomatis pada pabrik pakan, seperti dalam proses pengemasan dan pengeluaran bahan dari dalam silo untuk dicampur atau digiling.

Sapi Fries Holland

Sapi Friesh Holland (FH) merupakan salah satu bangsa sapi perah penghasil susu. Sapi FH adalah sapi yang berasal dari Provinsi Belanda Utara dan Provinsi Friesland Barat. Peternakan di Indonesia biasanya memelihara sapi perah pada bangsa FH dan PFH. Kebutuhan sapi perah akan zat makanan terdiri atas kebutuhan hidup pokok dan kebutuhan produksi. Kebutuhan hidup pokok diterjemahkan ke dalam bahasa yang pengertiannya sederhana dan mudah diukur, yaitu kebutuhan untuk mempertahankan bobot hidup. Jika sapi memperoleh makanan lebih dari kebutuhan hidup pokok, sebagian kelebihan makanan itu akan dapat dirubah menjadi bentuk-bentuk produksi misalnya pertumbuhan atau kenaikan bobot badan, produksi air susu atau produksi tenaga (Sutardi, 1981).

(26)

Palatabilitas

Palatabilitas didefinisikan sebagai respon yang diberikan oleh ternak terhadap pakan yang diberikan dan hal ini tidak hanya dilakukan oleh ternak ruminansia tetapi juga dilakukan oleh hewan mamalia lainnya terutama dalam memilih pakan yang diberikan (Chruch dan Pond, 1988). Pemberian ransum atau pakan disamping harus memenuhi zat-zat nutrisi yang dibutuhkan dengan jumlah yang tepat, pakan tersebut harus memenuhi syarat-syarat seperti aman untuk dikonsumsi, palatabel ekonomis dan berkadar gizi yang cukup untuk memenuhi kebutuhan ternak (Afriyanti, 2002).

Salah satu indikasi wafer yang baik adalah adanya tingkat palatabilitas yang tinggi. Palatabilitas merupakan hasil keseluruhan dari faktor – faktor yang menentukan apakah dan sampai dimana suatau pakan menarik bagi ternak. Faktor – faktor tersebut adalah bau, rasa, bentuk dan temperatur pakan (Lawrence in Wiscman, 1990). Pond et al. (1995) mendefinisikan palatabilitas sebagai daya tarik suatu pakan atau bahan pakan untuk menimbulkan selera makan dan langsung dimakan oleh ternak. Palatabilitas biasanya diukur dengan cara memberikan dua atau lebih pakan kepada ternak sehingga ternak dapat memilih dan memakan pakan mana yang lebih disukai. Palatabilitas ransum merupakan faktor penting dalam sistem cafeteria feeding. Palatabilitas dapat diuji dengan cafeteria feeding yaitu dengan cara memberi kesempatan pada ternak untuk memilih sendiri makanan atau bahan ransum yang ada untuk dikonsumsi lebih banyak, agar kebutuhan zat – zat makanan terpenuhi (Patrick dan Schaible, 1980). Bahan ransum yang mempunyai palatabilitas tinggi akan dikonsumsi lebih banyak (Ewing,1963). Penentuan tingkat palatabilitas ini dinyatakan dalam jumlah konsumsi total bahan kering per hari oleh suatu ternak (Apriati, 1989).

(27)

METODE

Lokasi dan Waktu

Penelitian ini dilaksanakan dari bulan November 2007 sampai bulan Januari 2008, serta dilakukan di beberapa tempat sesuai dengan tahapan kegiatan, yaitu : (1.) Persiapan, pencampuran dan pembuatan wafer ransum komplit dilakukan di Laboratorium Industri Makanan Ternak, Fakulas Peternakan, IPB. (2.) Uji kadar air dilakukan di Laboratorium Ilmu dan Teknologi Pakan, Fakultas Peternakan, IPB. (3.) Uji palatabilitas di Kandang Sapi Daging dan Tenaga Kerja, Fakultas Peternakan, IPB.

Materi

Peralatan Pecobaan

Peralatan yang digunakan dalam penelitian ini adalah mesin giling, wadah tempat mencampur, kantong plastik (30 cm x 50 cm dan 10 cm x 15 cm), timbangan analitik, gergaji, mesin kempa wafer, cetakan wafer, gelas ukur, Aw meter, jangka sorong, Higrometer, thermometer bahan, karung, tempat pakan sapi (45 cm x 35 cm). Bahan Baku Ransum Komplit

Ransum yang digunakan dalam penelitian ini berupa wafer ransum komplit dengan sumber hijauan berasal dari pucuk dan ampas tebu yang diperoleh dari PG. Jatitujuh terletak di Desa Sumber, Kecamatan Jatitujuh, Kabupaten Majalengka, Provinsi Jawa Barat serta rumput lapang yang diperoleh di sekitar kandang A, Laboratorium Lapang Fakultas Peternakan, Institut Pertanian Bogor. Kandungan nutrisi dari bahan baku penyusun ransum komplit dapat dilihat pada Tabel 2.

(28)

Tabel 2. Komposisi Zat Makanan Bahan Baku Ransum Komplit Wafer Pucuk dan Ampas Tebu Bahan Baku BK (%) Abu (%) PK (%) SK (%) LK (%) Beta-N (%) Ca (%) P (%) TDN (%) Bkl. Kelapa a 88,9 8,1 21,41 15,6 10,75 43,5 0,26 0,67 75,45 Rumput 23,5 14,3 8,82 32,5 1,46 42,8 0,40 0,25 56 Jagung a 86,8 2,2 10,78 2,7 4,33 80,0 0,21 0,4 86,42 Molases a 82,40 11,0 3,95 0,4 0,3 84,4 0,89 0,14 70,7 Pucuk Tebu a 25,5 8,22 5,24 34,4 1,98 50,2 0,47 0,34 51,4 Bagas tebu b 91,0 3,0 1,00 49,0 0,70 59,0 29,8 0,00 45,00 Pollard a 88,5 5,93 18,5 9,78 3,86 61,9 0,23 1,1 68,00 CaCO3 c 100 - - - - Urea c 100 - 288 - - - -

Sumber: a = Sutardi (1980) b = Parakkasi (1995) c = Tilman dkk (1990)

Rancangan Percobaan

Rancangan percobaan yang digunakan adalah metode T-Test menurut Steel and Torrie (1981). Membandingkan antara ransum satu dengan lainnya, guna mengetahui ransum mana yang lebih dusukai oleh ternak.

Formulasi Ransum

Formulasi ransum dibuat dengan mnggunakan metode trial and error (coba-coba). Ransum terdiri dari empat perlakuan, yaitu :

R0 = ransum (20% rumput lapang + 80% konsentrat) R1 = ransum (20% ampas tebu + 80% konsentrat)

R2 = ransum (10% pucuk tebu + 10% ampas tebu + 80%konsentrat) R3 = ransum (20% pucuk tebu + 80% konsentrat)

Formulasi ransum disusun dengan tingkat ampas tebu, pucuk tebu dan rumput lapang yang sama, yang dikombinasikan dengan konsentrat yang terdiri dari bungkil kelapa, jagung kuning, pollard, bungil kedele, CaCO3 serta urea. Susunan formula ransum dapat dilihat pada Tabel 3.

(29)

Tabel 3. Susunan dan Kandungan Zat Makanan dalam Ransum Komplit Wafer Pucuk dan Ampas Tebu

Bahan makanan R0 R1 R2 R3 ...(%)... Pucuk tebu - - 10 20 Ampas tebu - 20 10 - Rumput lapang 20 - - - Pollard 29 30 29 29 Jagung 24 23 24 24 Bungkil kelapa 20 20 20 20 Molases 5 5 5 5 Vitamin 0,5 0,5 0,5 0,5 Urea 0,5 0,5 0,5 0,5 Mineral 1 1 1 1 Jumlah 100 100 100 100

Kandungan Zat Makanan Wafer Ransum Komplit (Menurut Perhitungan)

Protein Kasar (%) 13,24 12,61 13,05 13,10

Serat kasar (%) 7,51 14,58 11,32 7,73

TDN (%) 58,17 59,82 60,94 58,18

Keterangan : R0 = Ransum kontrol; R1 = Ransum yang mengandung Pucuk Tebu 20 %; R2= Ransum yang mengandung Bagas Tebu 10 % dan pucuk tebu 10 % ; R3 = ransum yang mengandung pucuk tebu 20%

(30)

Prosedur

Proses Pembuatan Wafer

Cara pembuatan ransum komplit wafer pucuk dan ampas tebu, yaitu:

a. Semua bahan baku sumber hijauan (rumput lapang, ampas dan pucuk tebu) dicacah dengan ukuran 2-5 cm, kemudian dijemur kering udara bantuan sinar matahari selama 7 hari.

b. Semua bahan baku konsentrat digiling menggunakan hammer mill.

c. Pencampuran sumber hijauan (100 g) dengan bahan perekat molasses (30 g) sampai rata, setelah rata dicampur dengan konsentrat (504,2 g) hingga menjadi ransum komplit secara manual.

d. Ransum komplit dimasukkan dalam cetakan berbentuk persegi berukuran 20 cm x 20 cm x 1 cm. Setelah itu dilakukan pengempaan panas pada suhu 100oC dengan tekanan 200-300 kg/cm2 selama 20 menit. Pendinginan lembaran wafer dilakukan dengan menempatkan wafer di udara terbuka selama minimal 24 jam sampai kadar air dan beratnya konstan, kemudian dimasukan ke dalam karung.

Pengujian Wafer

Pengujian wafer diantaranya:

a. Wafer yang telah dibuat dipotong - potong dengan ukuran 5 cm x 5 cm x 1 cm selanjutnya diambil contoh guna dianalisis proksimat (protein, serat kasar dan TDN) dan uji sifat fisik (kadar air, kerapatan, aktivitas air, berat jenis), dan sisanya untuk uji palatabilitas sistem cafeteria feeding pada 4 ekor pedet yang berumur 3-4 bulan guna mengetahui ransum mana yang lebih banyak dikonsumsi. Masing – masing sapi mendapat 4 macam ransum ad libitum sebanyak 3 % BB dengan ukuran kandang 1,5 – 2 m.

(31)

Bahan Pakan Hijauan

Pencacahan dengan ukuran 2-3 cm

Penjemuran (KA ± 12 %)

Formulasi Ransum Komplit 100 % Sumber Hijauan + Konsentrat

Pemadatan dengan Kempa Panas

Suhu 1000C Tekanan 200-300 kg/cm2 selama 20 menit

Pemotongan Contoh Uji dan Palatabilitas dengan Ukuran 5 cm x 5 cm x 1 cm

Pengkondisian pada Suhu Kamar selama 24 jam Pencetakan 20 cm x 20 cm x 1 cm

Pencampuran sampai Homogen

Penggilingan Konsentrat

Gambar 2. Tahapan Proses Pembuatan Ransum Komplit Wafer Pucuk dan Ampas Tebu

Peubah yang Diamati

Pengujian sifat fisik dan palatabilitas wafer ransum komplit terdiri atas: 1. Kadar air (AOAC, 1984)

Penentuan kadar air wafer ransum komplit dilakukan dengan menimbang contoh uji berukuran 10 x 10 x 1,5 cm3 untuk menentukan berat awal, kemudian contoh uji tersebut dikeringkan dalam oven pada temperatur 1030 C sampai beratnya konstan. Nilai kadar air dihitung dengan rumus:

(32)

Ba -BKo

KA = X 100 % BA

Keterangan:

KA = kadar air wafer ransum komplit (%) B A = berat awal (g)

B Ko = berat kering oven (g) 2. Aktivitas air (Syarief dan Halid, 1993)

Aw meter sebelum digunakan terlebih dahulu dikalibrasi menggunakan larutan Barium Klorida (BaCl2). Larutan dibiarkan selama 3 jam setelah jarum Aw meter ditera sampai menunjukkan angka 0,9 karena BaCl2 mempunyai kelembapan garam jenuh sebesar 90%. Pengukuran aktivitas air dilakukan dengan cara memasukkan wafer berukuran 5x5 cm ke dalam Aw meter dan biarkan selama 1 jam, setelah itu pembacaan dilakukan.

3. Kerapatan Wafer (SNI, 1996)

Kerapatan merupakan faktor penting pada sifat fisik wafer sebagai pedoman untuk memperoleh gambaran tentang kekuatan wafer yang diinginkan. Perhitungan kerapatan dihitung dengan rumus:

W K =

(P x T x L) Keterangan:

W = berat uji contoh (g) P = panjang contoh uji (cm) L = lebar contoh uji (cm) T = tebal contoh uji (cm) 4. Berat jenis (Khalil,1999a)

Berat jenis diukur dengan menggunakan prinsip hukum Archimedes, yaitu dengan melihat perubahan volume aquades padas gelas ukur (100 ml) setelah dimasukkan bahan – bahan yang masanya telah diketahui ke dalam gelas tersebut, kemudian dilakukan pengadukan untuk mempercepat keluarnya udara antar partikel

(33)

ranusm selama pengukuran. Perubahan volume aquades merupakan volume bahan yang sesungguhnya (Khalil,1999a). Berat Jenis dapat dihitung dengan humus:

BJ = ) ( ) ( ml es olumeAquad PerubahanV gr BeratWafer

5. Palatabilitas (Patrick dan Schaible,1980)

Pengujian palatabilitas ini menggunakan pedet sapi Fries Holland dengan bobot badan awal 72 - 96 kg berjumlah 4 ekor di Kandang Sapi Daging dan Tenaga Kerja. Pakan diberikan sebanyak 3 % bobot badan (Kg/ekor/hari). Tingkat palatabilitasnya dapat diketahui dengan menghitung selisih antara jumlah pakan yang diberikan dengan sisa pakan yang dikonsunsi oleh pedet sapi Fries Holland selama 7 hari prelime dan 3 hari uji palatabilitas dengan sistem cafetaria feeding. Masing-masing ternak, diberi empat macam ransum perlakuan sehingga ternak dapat memilih dengan bebas keempat macam ransum tersebut. Penghitungan Uji kesukaan ternak menggunakan rumus: Konsumsi Bahan Kering (g/e/h) = % bahan Kering x konsumsi (g)

(34)

HASIL DAN PEMBAHASAN Wafer Ransum Komplit

Wafer ransum komplit adalah suatu produk pengolahan pakan ternak yang terdiri dari pakan sumber serat yaitu hijauan dan konsentrat dengan komposisi yang disusun berdasarkan kebutuhan nutrisi ternak dan dalam proses pembuatannya mengalami pemadatan dengan tekanan 200 - 300 kg/cm2 dan pemanasan dalam suhu 1000 C selama 20 menit. Berdasarkan pengamatan di lapangan setelah ransum komplit wafer pucuk dan ampas tebu dianalisa, terjadi perbedaan dari komposisi zat makanan dari setiap perlakuan yang tercantum pada Tabel 4.

Tabel 4. Komposisi Zat Makanan Berdasarkan Bahan Kering (100 %) Zat Makanan Ransum Total Rataan R0 R1 R2 R3 BK 85,01 85,33 85,55 87,00 342,89 85,72 ± 0,88 BO 94,67 95,80 95,30 94,87 380,64 95,16 ± 0,50 Abu 5,33 4,20 4,70 5,13 19,36 19,36 ± 4,84 PK 16,36 16,03 16,84 17,26 66,49 16,62 ± 0,54 LK 4,62 5,66 4,08 4,07 18,43 4,61 ± 0,75 SK 15,33 13,08 14,19 14,39 56,99 14,25 ± 0,92 BeTN 58,36 61,03 60,19 59,15 238,73 59,68 ± 1,17 TDN 72,72 76,97 74,14 73,72 297,55 74,39 ± 1,82

Keterangan: TDN (Sutardi, 1980) = 2,79 + 1,17 PK + 1,74 LK – 0,295 SK + 0,810 BeTN

Kandungan zat makanan hasil analisa pada Tabel 4 lebih tinggi jika dibandingkan dengan hasil perhitungan pada Tabel 3 dapat terlihat pada nilai PK dan SK jauh lebih baik dari hasil perhitungan. Hal ini diduga karena bahan yang digunakan pada pembuatan ransum komplit lebih baik nilai nutrisinya dibandingkan pada bahan perhitungan, dan dikarenakan komposisi bahan pakan yang digunakan tidak sama dengan komposisi pakan (Hartadi et al., 1990). Faktor yang mempengaruhi perbedaan nilai nutrisi pada hijauan ialah variasi genetik, kesuburan, masa potong tanaman dan faktor tanah.

Kandungan zat makanan ransum percobaan hasil analisa lebih rendah dari standar pemberian makan sapi perah (NRC,1989) yaitu pedet pada periode pertumbuhan (umur 2-6 bulan), dengan bobot 100 - 150 kg dan PBB sekitar 1,0 - 1,3 kg/hari memerlukan: konsumsi BK 2,0 – 2,7 kg/hari (1,8 – 2 % BB), PK: 21 – 22 %,

(35)

TDN: 79 %, Ca: 0,8 – 1,0 %, P: 0,55 %, Vitamin A: 4200 – 8400 IU/e/hari, Vitamin D: 660 – 990 IU/e/hari.

Bentuk fisik ransum komplit wafer pucuk dan ampas tebu dalam penelitian ini memperlihatkan bentuk wafer persegi yang padat. Bentuk ini sangat menguntungkan karena mempermudah dalam transportasi, penyimpanan, dan penanganan pemberian ke ternak sehingga dapat meningkatkan tingkat konsumsi. Bentuk fisik ransum komplit wafer pucuk dan ampas tebu R0 remah, R1 sangat padat dan kompak, R2 padat kompak dan R3 remah dan kompak. Bentuk fisik wafer dapat dilihat pada Gambar 3.

Gambar 3. Bentuk Fisik Ransum Komplit Wafer Pucuk dan Ampas Tebu

Tekstur wafer pada tiap perlakuan sangat beragam. Tekstur wafer komplit pada Gambar 3 menunjukkan bahwa R0 sangat kasar, R1 kasar, R2 halus dan R3 sangat halus. Warna pada wafer ransum penelitian R0 cokelat kehijauan karena banyak mengandung rumput lapang sebesar 20 %, R1 terlihat berwarna cokelat muda karena banyak mengandung 20 % ampas tebu, R2 terlihat berwarna cokelat sedikit kehijauan karena mengandung kombinasi 10 % ampas tebu dan 10 % pucuk tebu dan R3 berwarna cokelat kehijauan karena banyak mengandung 20 % pucuk tebu. Permukaan wafer R0 lebih kasar bila dibanding R1, R2 serta R3.

Wafer yang dihasilkan dalam penelitian beraroma khas karamel dan berwarna kecokelatan menurut Winarno (1992) hal ini disebabkan oleh reaksi browning non enzimatik yaitu reaksi antara karbohidrat yang dapat menghasilkan bahan berwarna cokelat. Beberapa faktor yang dapat mempengaruhi reaksi tersebut adalah terjadinya

(36)

penurunan jumlah kadar gula, waktu dan lama pemanasan saat proses pengempaan serta kadar air dan pH bahan.

Ampas dan pucuk tebu dalam penelitian ini memiliki kandungan komposisi kimia sebagai tertera pada Tabel 5.

Tabel 5. Hasil Analisis Kimia Van Soest Ampas dan Pucuk Tebu

Bahan NDF ADF H Sellullosa

Ampas Tebua 83,04 45,75 37,29

Pucuk Tebua 72,33 49,60 22,73

Rumput Lapangb 63,61 40,32 23,29

Keterangan: a : Hasil analisis Laboratorium Ilmu dan Teknologi Pakan, Fakultas Peternakan, IPB (2008)

b : Suharto (2004)

NDF (Neutral Detergent Fibre) yaitu fraksi yang tidak terlarut di dalam larutan deterjen dari Van Soest, merupakan komponen dinding sel, sedangkan ADF (Acid Detergent Fibre) merupakan fraksi dinding sel yang paling tidak mudah dicerna dan terdiri dari lignin, cutin, selulosa, nitrogen tak tercerna dan silikan (Reksohadiprodjo, 1996). Kandungan protein kasar pucuk tebu adalah rendah yaitu 5,33% dari bahan kering, serat kasar 35,48%, BETN 48,60%, NDF 77,06%, ADF 48,89%, dan dari analisa serat yang dilakukan ternyata didapatkan bahwa fraksi serat tersusun atas hemiselulosa sekitar 28,17% dan selulosa sekitar 31,96% (Musofie et al, 1981; Wardhani et al, 1985 yang disitasi oleh Pangestu et al, 1992). Nilai ampas dan pucuk tebu yang digunakan saat penelitian telah dianalisa mempunyai nilai sebagai berikut ampas tebu memiliki nilai NDF paling tinggi yaitu 83,04 jika dibandingkan dengan pucuk tebu yaitu 72,33 dan kandungan ADF pada pucuk tebu 49,60 lebih tinggi dibandingkan dengan ampas tebu 45,75. Menurut Rayburn (1998) bahwa apabila kandungan ADF hijauan rendah maka daya cerna akan meningkat. Sedangkan kandungan H Selulosa pada ampas tebu 37,29 jauh lebih tinggi dibandingkan dengan pucuk tebu 22,73. Menurut Suharto (2004) rumput lapang memiliki NDF dan ADF yang lebih rendah jika dibandingkan dengan pucuk dan ampas tebu yaitu masing – masing sebesar 63,61% dan 40,32%, sehingga memiliki nilai H Selulosa 23,29%, Lignin 7,80% dan Selulosa 31,03%. Pada penelitian ini sapi pedet sangat menyukai wafer yang mengandung rumput lapang 44 – 48 % jika

(37)

dibandingkan dengan wafer yang mengandung ampas, kombinasi pucuk dan ampas maupun pucuk tebu.

Sifat Fisik Wafer Ransum Komplit

Sifat fisik yang diuji dalam penelitian ini meliputi kadar air wafer, kerapatan wafer, aktivitas air, berat jenis serta tingkat palatabilitas sapi pedet dengan sistem kafetaria feeding. Nilai rataan hasil uji sifat fisik pada penelitian ini dapat dilihat pada Tabel 6.

Tabel 6. Rataan Hasil Uji sifat Fisik Ransum Komplit Wafer Pucuk dan Ampas Tebu

Peubah Ransum Rataan

R0 R1 R2 R3 Kadar Air 14,90 14,67 14,45 13,00 14,26 Kerapatan 0,59 0,77 0,55 0,70 0,65 Aktivitas Air 0,79 0,80 0,81 0,79 0,79 Berat Jenis 1,20 1,20 1,17 1,43 1,38 Kadar Air

Kadar air wafer adalah jumlah air yang masih tinggal di dalam rongga sel intra seluler dan antar partikel selama proses pengerasan perekat dengan kempa panas. Kadar air merupakan faktor yang sangat penting dalam penentuan kualitas pakan, karena semakin tinggi kadar air suatu bahan pakan, maka presentase nilai nutrisinya semakin rendah. Kadar air tinggi menyebabkan bahan pakan lebih cepat terserang jamur, sehingga kualitas pakan akan menurun dan dapat mengakibatkan keracunan pada ternak.

Kadar air wafer juga tergantung pada kelembaban udara sekeliling karena adanya lignoselulosa yang bersifat higroskopis yang menyerap air dari lingkungan. Kadar air akan berkurang pada suhu dan tekanan kempa yang meningkat. Pada penelitian ini nilai kadar air berkisar antara 8,99-7,52 persen dengan nilai rata-rata 8,39 persen lebih disebabkan oleh kondisi kadar air awal partikel. Kadar air ini masih dalam toleransi kondisi dimana mikroorganisme masih sulit tumbuh untuk waktu beberapa lama.

Rumput lapang memiliki kadar air yang lebih tinggi, sedangkan pucuk tebu memiliki kadar air yang sangat rendah. Wafer dengan komposisi serat rumput lapang memilki rongga yang lebih sedikit sehingga penguapan yang terjadi lebih

(38)

lambat, sedangkan pada wafer dengan sumber serat pucuk tebu memiliki rongga yang lebih banyak dan besar sehingga penguapan berjalan cepat. Maka yang akan terserang jamur lebih cepat jika disimpan yang memiliki kadar air lebih tinggi.

Aktivitas Air

Syarif dan Halid (1993) menyatakan bahwa air dalam bahan pangan merupakan salah satu faktor yang mempengaruhi aktivitas metabolisme seperti aktivitas metabolisme seperti aktivitas enzim, aktivitas kimia yaitu terjadinya ketengikan dan reaksi-reaksi enzimatis sehingga menimbulkan perubahan cita rasa serta nilai gizinya. Aktivitas air bahan pakan adalah air bebas yang terkandung dalam bahan pakan yang dapat digunakan oleh mikroba untuk pertumbuhannya (Syarif dan Halid, 1993). Aktivitas air (aw) disyaratkan oleh Mesu, et al (2007) dikarenakan apabila produk mempunyai aktivitas air di bawah 0,99 maka bakteri tidak dapat hidup dengan baik. Winarno (1997), menyatakan berbagai mikroorganisme mempunyai aw minimum agar dapat tumbuh dengan baik, misalnya bakteri dapat tumbuh pada aw 0,90; khamir pada aw 0,80 – 0,90 dan kapang pada aw 0,60 – 0,70.

Aktivitas air pada ampas dan kombinasi pucuk dan ampas bernilai tinggi sehingga memicu untuk tumbuhnya jamur lebih tinggi. Aktivitas air rendah mencegah pertumbuhan dan perpanjangan hidup mikroba. Aktivitas air hubungannya berkaitan dengan kadar air, wafer dengan komposisi serat rumput lapang memiliki rongga yang lebih sedikit, akibatnya penguapan yang terjadi lebih lambat. Sedangkan pada pucuk tebu memiliki rongga yang lebih banyak dan besar sehingga jalannya penguapan terjadi lebih cepat.

Kerapatan

Kerapatan adalah suatu ukuran kekompakan ukuran partikel dalam lembaran dan sangat tergantung pada kerapatan bahan baku yang digunakan dan besarnya tekanan kempa yang diberikan selama proses pembuatan lembaran. Kerapatan menentukan stabilitas dimensi dan penampilan fisik wafer ransum komplit, selain itu juga dapat mengefisienkan ruang penyimpanan dan memudahkan transportasi (Jayusmar et al., 2002).

(39)

Kerapatan sumber serat rumput lapang sama dengan kerapatan sumber serat kombinasi pucuk dan ampas tebu. Kerapatan sumber serat ampas tebu sama dengan kerapatan sumber serat pucuk tebu. Tetapi kerapatan sumber serat ampas dan pucuk tebu lebih tinggi jika dibandingkan dengan sumber serat rumput lapang ataupun kombinasi dari pucuk dan ampas tebu. Kerapatan ransum sumber serat rumput lapang memperlihatkan bentuk wafer pakan yang tidak terlalu padat dan tekstur yang sangat rapuh serta porous (berongga), sehingga diperkirakan hanya dapat bertahan dalam penyimpanan beberapa waktu saja. Wafer pakan kerapatan tinggi tekstur padat dan keras sehingga mudah dalam penanganan baik penyimpanan dan goncangan pada saat transportasi dan diperkirakan akan lebih lama dalam penyimpanan (Trisyulianti, 1998).

Kerapatan wafer ransum komplit dapat mempengaruhi palatabilitas. Menurut Elita (2002), pada umumnya ternak tidak menyukai pakan yang terlalu keras atau wafer ransum komplit dengan kerapatan tinggi, namun ternak lebih memilih wafer ransum komplit yang tidak terlalu keras atau padat. Menurut Trisyulianti (1998) kerapatan yang tinggi akan menyebabkan sulitnya ternak dalam mengkonsumsi wafer ransum komplit secara langsung.

Berat Jenis

Berat jenis merupakan perbandingan antara berat bahan terhadap volumenya dengan satuan kg/m3(Kling dan Wohlbier, 1983). Berat jenis memiliki peranan penting dalam pengolahan, penanganan dan penyimpanan, selain itu berat jenis mempunyai peranan penting dalam kerapatan. Berat jenis pada R3 yang bersumber serat pucuk tebu lebih tinggi jika dibandingkan dengan ransum lainnya, hal ini karena memiliki nilai kerapatan dan kadar air yang tinggi. Semakin tinggi nilai kadar air, kerapatan dan berat jenis maka semakin baik bentuk wafer pakan dalam penyimpanan. Meskipun memiliki berat jenis yang tinggi, tetapi tekstur dari R3 yang bersumber serat pucuk tebu remah dan kompak sehingga lebih disukai oleh ternak pedet sapi FH.

(40)

Palatabilitas Ransum Wafer

Konsumsi Ransum Wafer

Hasil cafetaria feeding pada ransum komplit wafer (5 cm x 5 cm x 1 cm) selama penelitian tercantum pada Tabel 7.

Tabel 7. Rataan Konsumsi Ransum Wafer (dalam bentuk segar/bahan kering) selama Periode Prelime dan Pengujian Palatabilitas Periode

pengamatan Konsumsi Ransum Total

Konsumsi Masing-Masing Ransum Perlukan R0 R1 R2 R3 Periode Prelime Segar: (g/ekor/hari) (% dari Ransum) % BB (g K/98 kg) 3953 1768a 378b 615 b 1192b (100) (45) (10) (15) (30) (4.0) (1.8) (0.4) (0.6) (1.2) Bahan Kering: (g/ekor/hari) (% dari Ransum) % BB (g K/98 kg) 3388 1503a 322b 526 b 1037b (100) (44) (9) (16) (31) (3.5) (1.5) (0.3) (0.5) (1.2) Periode Uji Palatabilitas Segar: (g/ekor/hari) (% dari Ransum) % BB (g K/98 kg) 4383 2082a 284c 575 c 1442b (100) (48) (6) (13) (33) (4.5) (2.1) (0.3) (0.6) (1.5) Bahan Kering: (g/ekor/hari) (% dari Ransum) % BB (g K/98 kg) 3759 1771a 242c 492 c 1254b (100) (47) (7) (13) (33) (3.9) (1.9) (0.2) (0.5) (1.3)

Keterangan : 1. Ransum penelitian:

R0 = ransum (20% rumput lapang + 80% konsentrat) R1 = ransum (20% ampas tebu + 80% konsentrat)

R2 = ransum (10% pucuk tebu + 10% ampas tebu + 80%konsentrat) R3 = ransum (20% pucuk tebu + 80% konsentrat)

2. Huruf superskrip yang tidak sama pada setiap baris, menunjukkan bahwa hasil Uji T, berbeda nyata (P<0,05)

Pada Tabel 7 menunjukkan bahwa konsumsi total ransum segar dan bahan kering selama prelime adalah 3953 g/e/h (4,0 % BB) dan 3388 g/e/h (3,5 % BB) .Sedangkan pada pengujian palatabilitas adalah 4383 g/e/h (4,5 % BB) dan 3759 g/e/h (3,9 % BB). Hal ini menunjukkan bahwa terjadi perubahan jumlah konsumsi total selama periode prelime dan periode uji palatabilitas. Konsumsi ransum R0 meningkat 15% (dari 1768 g/e/h/segar menjadi 2082 g/e/h/segar dan 1503 g/e/h/bahan kering menjadi 1771 g/e/h/bahan kering) dan konsumsi total ransum R3 meningkat 17% (dari 1192 g/e/h/segar menjadi 1442 g/e/h/segar dan 1037

(41)

g/e/h/bahan kering menjadi 1254 g/e/h/bahan kering). Sedangkan konsumsi R1 dan R2 mengalami penurunan yaitu konsumsi ransum R1 sebesar 24,8% (dari 378 g/e/h/segar menjadi 284 g/e/h/segar dan 322 g/e/h/bahan kering menjadi 242 g/e/h/bahan kering) dan konsumsi ransum R2 sebesar 6,5% (dari 615 g/e/h/segar menjadi 575 g/e/h/segar dan 526 g/e/h/bahan kering menjadi 492 g/e/h/bahan kering). Dari hasil Uji T menurut Steel and Torrie (1981) terutama untuk konsumsi bahan kering (pada Lampiran 7) bahwa ransum wafer R0 paling nyata (p<0,05) disukai 44 – 48 % dari ransum, diikuti oleh ransum wafer R3 yaitu 30 – 33 % dari ransum. Ransum wafer R1 dan R2 adalah yang paling rendah dikonsumsi yaitu sekitar 6 – 16 % dari ransum.

Konsumsi ransum secara umum, ternyata lebih tinggi dari NRC (1989) untuk pedet bobot badan 100 – 150 kg dengan PBB 1,1 – 1,3 kg/hari adalah 2,0 – 2,7 % BB.

Konsumsi Zat Makanan

Rataan konsumsi zat makanan (PK, Lemak, BeTN, SK dan TDN) tercantum pada Tabel 8. Konsumsi zat makanan (terutama nilai PK dan TDN) selama penelitian sekitar 566 – 628 dan 2496 – 2809 g/ekor/hari lebih tinggi dari NRC (1989) yaitu untuk pedet adalah 440 – 598 g PK dan 1580 – 2150 g TDN.

Tabel 8. Rataan Konsumsi Protein Kasar, Lemak Kasar, Serat Kasar, BETN dan TDN

Periode

pengamatan Konsumsi Total

Konsumsi Masing-Masing Ransum Perlakuan

R0 R1 R2 R3 Periode

Prelime

Protein Kasar (g/ekor/hari) 566 246a

52 b 89 b 179 b Lemak Kasar (g/ekor/hari) 150 69a 18b 21 b 42b Serat Kasar (g/ekor/hari) 496 230a 42b 75 b 149b BeTn (g/ekor/hari) 2004 877a 197b 316 b 614b TDN (g/ekor/hari) 2496 1093a 248b 390 b 765b Periode Uji

Palatabilitas

Protein Kasar (g/ekor/hari) 628 290 a

39 c 83 b 216 b Lemak Kasar (g/ekor/hari) 167 82a 14c 20 b 51b Serat Kasar (g/ekor/hari) 553 271a 32c 70 b 180b BeTn (g/ekor/hari) 2219 1053a 148c 296 b 742b TDN (g/ekor/hari) 2809 1288a 194c 402 b 925b

Keterangan : 1. Ransum penelitian:

R0 = ransum (20% rumput lapang + 80% konsentrat) R1 = ransum (20% ampas tebu + 80% konsentrat)

(42)

R2 = ransum (10% pucuk tebu + 10% ampas tebu + 80%konsentrat) R3 = ransum (20% pucuk tebu + 80% konsentrat)

2. Huruf superskrip yang tidak sama pada setiap baris, menunjukkan bahwa hasil Uji T, berbeda nyata (P<0,05)

Kondisi Ternak

Selama penelitian kondisi ternak secara umum mengalami peningkatan bobot badan seperti yang tercantum pada Tabel 9. Bobot awal ternak percobaan 72 – 96 kg sedangkan bobot akhir adalah 96 – 120 kg. Hal ini menunjukkan bahwa pada kisaran bobot awal tersebut adaptasi rumen lebih siap sehingga terjadi peningkatan bobot badan (selama 10 hari penelitian) sekitar 17 – 24 kg atau 1,70 – 2,40 kg/e/h. PBB yang terjadi jauh lebih tinggi dari rekomendasi NRC (1989) PBB 1,1 – 1,3 kg/hari. PBB yang tinggi kemungkinan disebabkan adanya pertumbuhan kompensasi dan kelebihan konsumsi PK dan TDN yang melebihi standar NRC (1989).

Tabel 9. Rataan Bobot Badan Pedet selama Penelitian

Hal yang diamati Pedet

A B C D Bobot awal (hari ke-1), (kg) 92,00 93,00 96,00 72,00

Bobot akhir (hari ke-10), (kg) 112,00 120,00 114,00 96,00 PBB Total (kg) 20,00 17,00 18,00 24,00 PBB (kg/hari) 2,00 1,70 1,80 2,40

Pertumbuhan kompensasi, menurut Parakkasi (1999) ialah pertumbuhan yang cepat pada hewan yang mengalami kekurangan makan (under nutrition) atau diberi pakan marginal/kurang pada periode sebelumnya, setelah hewan diberi kesempatan kembali untuk mendapatkan pakan gizi yang lebih baik/realimentasi (setelah hewan mendapat/diberi pakan dalam jumlah yang cukup dengan kwalitas kandungan zat makanan yang lebih baik). Pertumbuhan kompensasi disebabkan oleh dua hal diantaranya: (1) Penurunan kebutuhan hidup pokok. Ternak yang diberi pakan yang kurang dari kebutuhan akan mempunyai bobot badan yang lebih rendah sehingga kebutuhan untuk hidup pokoknya akan lebih kecil pada waktu realimentasi, sehingga banyak energi yang dapat digunakan untuk produk atau pertumbuhan pada tingkat konsumsi yang sama. (2) Peningkatan konsumsi makanan, sehingga isi saluran pencernaan bertambah dan pertumbuhan jaringan yang lebih cepat. Ternak yang memiliki bobot badan yang sama, ternak yang sebelumnya mengalami kekurangan makanan akan makan lebih banyak selama proses realimentasi, pada periode

(43)

karena sebelum penelitian ternak dipakai untuk praktikum yang pemberian makanannya kurang terkontrol dengan baik.

(44)

KESIMPULAN DAN SARAN Kesimpulan

1. Berdasarkan sifat fisik bahwa ransum yang mengandung pucuk tebu mempunyai sifat fisik yang lebih baik, hal ini ditinjau dari kadar air rendah, kerapatan wafer tertinggi, aktivitas air rendah dan berat jenis tinggi.

2. Palatabilitas ransum wafer yang mengandung rumput lapang dan pucuk tebu lebih disukai dari pada ampas tebu dan kombinasi pucuk dan ampas tebu. 3. Rataan konsumsi ransum wafer pedet sebesar: R0 44 – 48 %, R1 6 – 10 %, R2

13 – 16 % dan R3 30 – 33 %.

Saran

1. Pucuk tebu dapat dipergunakan sebagai pengganti sumber serat hijauan untuk sapi pedet FH.

2. Perlu dilakukan penelitian lanjut untuk mengetahui tingkat konsumsi daya cerna ransum yang mengandung pucuk dan ampas tebu pada sapi pedet.

(45)

UCAPAN TERIMA KASIH

Alhamdulillah, segala puji dan syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT yang telah melimpahkan rahmat dan hidayah-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan penelitian dan penyusunan skripsi ini. Salawat serta salam semoga tercurah kepada Nabi Besar Muhammad SAW, keluarga, sahabat dan para pengikutnya hingga akhir zaman. Skripsi ini adalah salah satu syarat untuk memperoleh gelar sarjana peternakan.

Skripsi ini berjudul “Uji Sifat Fisik dan Palatabilitas Ransum Komplit Wafer Pucuk dan Ampas Tebu untuk Ternak Pedet Sapi Fries Holland”. Pada kesempatan ini penulis mengucapkan terima kasih yang tak terhingga kepada Dr. Ir. Yuli Retnani, M.Sc sebagai pembimbing utama dan kepada Ir. Kukuh B, Satoto, MS sebagai pembimbing anggota dan sebagai pembimbing akademik yang telah memberikan masukan, pengarahan, bimbingan, saran dan semangat selama kuliah, persiapan penelitian hingga selesainya penulisan skripsi ini.

Ucapan terima kasih penulis sampaikan pula kepada Ibunda Hj. Aam Animah, S.Pd dan Ayahanda H. R. Daya Suhardja tercinta atas perhatian, kasih sayang, doa dan dukungan baik secara spiritual dan material yang telah diberikan kepada penulis selama ini. Serta adik-adikku (Cepi dan Tria), Ir. Lidy Herawati,M.S, Direksi PT. PG. Rajawali II Cirebon, Unit PG. Jatitujuh, Om Dedy, Tante Yeni, Bi Yayah, Om Dodo, Michelia, Kel. Umi Nyai atas segala bentuk dukungan yang telah diberikan, kepada Iis, Edo, Subhan, Aryono selaku teman sepenelitian atas pengertian, kerjasama selama waktu penelitian, hingga penulisan skripsi ini. Kepada Yosef Rizal atas segala perhatian, doa dan semangat yang selalu diberikan kepada penulis selama ini, serta kepada Mba Anis, Pa Atip, Pa Wardi, Pa Hadi, Pa Jaja, Pa Edi serta kepada semua pihak yang telah membantu, yang tidak dapat penulis sebutkan satu persatu. Penulis berharap semoga skripsi ini dapat memberikan manfaat bagi orang-orang yang membutuhkan.

Bogor, Juli 2008

Penulis

(46)

DAFTAR PUSTAKA

AOAC. 1984. Official Methodes of Analysis Association of Official Analytical Chemistry. The 4th Ed. Arlington, Virginia.

Apriati, L. 1989. Palatabilitas dan kecernaan berbagai straw mix dari rumput gajah (Pennisetum purpureum) pada sapi peranakan Fries Holland. Karya Ilmiah. Institut Pertanian Bogor, Bogor.

ASAE Standard. 1994. Wafer, Pellet, and Crumbles-Definitions and Method for Determaining Specific Weight, Durability and Moisture Content. Mc Ellhiney, R. R (ed). Feed Manufacturing Tech IV. American Feed Industry Association, Inc., Arlington.

Risbang, PG. Jatitujuh. 2007. Company Profile PT PG Rajawali II Unit PG Jatitujuh. Cirebon.

Elita, M. 2002. Upaya pemanfaatan hijauan dan sumber serat limbah pertanian dalam pembuatan wafer ransum komplit. Skripsi. Fakultas Peternakan. Institut Pertanian Bogor, Bogor.

Ensminger, M. E., J. E., Oldfield and Heinemann, W. W. 1990. Feed and Nutrition. The Ensminger Publishing Company, California.

Erbersdobler, J. Hartkopt, H. Keyser and A. Ruttkat. 1995. Chemical markers for the protein quality of the heated and storage foods. Lee, T.C. and H. J Kim (Eds). Chemical Markers for Processed and Storage Foods. ACS Symposium Series. American Chemical Society, Washington. DC.

Huitema, H. 1985. Peternakan di Daerah Tropis Arti Ekonomi dan Kemampuannya. Seri Pembangunan Pedesaan. Penerbit PT. Gramedia, Jakarta.

Jayusmar. 2000. Pengaruh suhu dan tekanan pengempaan terhadap sifat fisik wafer ransum komplit dari limbah pertanian sumber serat dan leguminosa untuk ternak ruminansia. Skripsi. Fakultas Peternakan. Institut Pertanian Bogor, Bogor.

Jayusmar, E. Trisyulianti dan J. Jacja. 2002. Pengaruh suhu dan tekanan pengempaan terhadap sifat fisik wafer ransum dari limbah pertanian sumber serat dan leguminosa untuk ternak ruminansia. Media Peternakan 24 (3) : 76 – 80. Judoamidjojo, R. M., G. E., Said dan L. Hartato. 1989. Biokonversi. Dirjen

Pendidikan Tinggi, PAU. Institut Pertanian Bogor, Bogor.

Khalil. 1999a. Pengaruh kandungan air dan ukuran partikel terhadap sifat fisik pakan lokal: Kerapatan tumpukan, kerapatan pemadatan tumpukan dan berat jenis. Media Peternakan 22 (1). 1 – 11.

Kling, M. Dan W. Wohlbier. 1983. Handelsfuttermittel, Band 2A. Verlag Eugen Ulmer, Stuttgart.

Lawrence, T. L. J. 1990. Influence of Palatability on Diet Asimilation in Non Ruminants in Wiseman, J dan P. J. A Cole (Editor). 1990. Feedstuff Evaluation. University Press. Canbridge: 115 – 141.

Gambar

Gambar 1. Bentuk Pucuk Tebu
Tabel 1. Komposisi Nutrisi Rumput Lapang
Tabel 2.  Komposisi Zat Makanan Bahan Baku Ransum Komplit Wafer Pucuk dan  Ampas Tebu  Bahan Baku  BK  (%)  Abu (%)  PK  (%)  SK  (%)  LK  (%)  Beta-N (%)  Ca  (%)  P (%)  TDN (%)  Bkl
Tabel 3.  Susunan dan Kandungan Zat Makanan dalam Ransum Komplit  Wafer Pucuk dan Ampas Tebu
+7

Referensi

Dokumen terkait

Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui pengaruh economic value added, komposisi dewan komisaris independen dan return on assets terhadap nilai perusahaan pada

Bab keempat akan dilakukan analisis terhadap ayat-ayat yang terkait kesetaraan gender dalam al-Huda&gt; Tafsir Basa Jawi, serta konsistensi yang dimiliki Bakri

Tigaraksa Satria memandang penggunaan sistem manual sudah tidak tepat lagi, mengingat jumlah transaksi yang harus dikerjakan terus mengalami peningkatan, dengan data dan

Dari percobaan di atas bisa kita lihat pada gambar 4.2 bahwa dengan menggunakan beban yang sama yaitu 500 gram dan dengan sudut yang sama yaitu 42 o , dengan

Berdasarkan analisis hasil penelitian dan pembahasan tentang “Pengaruh Pemanfaatan Perpustakaan dan Motivasi Belajar Terhadap Prestasi Belajar IPS Siswa Di

(3) Pemberhentian sementara sebagaimana dimaksud pada ayat (2) Pasal ini, diberitahukan secara tertulis oleh Bupati kepada anggota Direksi yang bersangkutan, Badan

Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 11 Tahun 1975 tentang Contoh-contoh Cara Penyusunan Anggaran belanja Daerah, Pelaksanaan Tata Usaha Keuangan Daerah dan Penyusunan

Dalam penelitian ini Personal Relationship yang mendapat kepuasan tertinggi berarti, Majalah SCG dapat digunakan untuk mencari topik untuk berdiskusi, serta