• Tidak ada hasil yang ditemukan

PERATURAN DAERAH KABUPATEN KONAWE SELATAN NOMOR: 8 TAHUN 2012 TENTANG PENGELOLAAN PERTAMBANGAN MINERAL DAN BATU BARA

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "PERATURAN DAERAH KABUPATEN KONAWE SELATAN NOMOR: 8 TAHUN 2012 TENTANG PENGELOLAAN PERTAMBANGAN MINERAL DAN BATU BARA"

Copied!
107
0
0

Teks penuh

(1)

PERATURAN DAERAH KABUPATEN KONAWE SELATAN

NOMOR: 8 TAHUN 2012

TENTANG

PENGELOLAAN PERTAMBANGAN

MINERAL DAN BATU BARA

DITERBITKAN OLEH

BAGIAN HUKUM SEKRETARIAT DAERAH

KABUPATEN KONAWE SELATAN

(2)

PERATURAN DAERAH

KABUPATEN KONAWE SELATAN

NOMOR

S

TAHUN 2012

TENTANG

PENGELOLAAN PERTAMBANGAN MINERAL DAN

BATUBARA

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

BUPATI KONAWE SELATAN,

Menimbang : a. bahwa Kabupaten Konawe Selatan memiliki

kekayaan dan potensi mineral, batubara dan batuan yang bernilai ekonomis dan strategis sehingga perlu dikelola secara optimal, mandiri,

andal, transparan, berdaya saing, efisien,

berwawasan lingkungan dan berkelanjutan guna menjamin pembangunan nasional dan daerah

Konawe Selatan untuk kesejahteraan

masyarakat;

b. bahwa pengelolaan mineral dan batubara

mempunyai keterkaitan dengan sektor-sektor

lainnya, sehingga perlu dikendalikan dan

dikelola secara komprehensif dan holistik;

c. bahwa dengan ditetapkannya Undang-undang Nomor 4 tahun 2009 tentang Pertambangan

Mineral dan Batubara, pengelolaan

pertambangan di Daerah Kabupaten Konawe Selatan perlu disesuaikan dan diatur lebih lanjut;

(3)

Mengingat

d. bahwa untuk menindaklanjuti Pasal 7 ayat (1) huruf a Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara, perlu dibentak Peraturan Daerah di bidang pertambangan mineral dan batubara;

e. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud dalam huruf a, huruf b, huruf c dan huruf d perlu ditetapkan dengan Peraturan Daerah Kabupaten Konawe Selatan tentang

Pengelolaan Pertambangan Mineral dan

Batubara;

1. Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1981 Nomor 76, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3209);

2. Undang-Undang Nomor 19 Tahun 1997 tentang Penagihan Pajak Dengan Surat Paksa (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1997 Nomor

41, Tambahan Lembaran Negara Republik

Indonesia Nomor 3686); sebagaimana telah

diubah dengan Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2000 (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2000 Nomor 129, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3987);

3. Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2003 tentang Pembentukan Kabupaten Konawe Selatan di Provinsi Sulawesi Tenggara (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2003 Nomor 24, Tambahan Lembaran Negara Nomor 4267)

4. Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1999 Nomor 167; Tambahan Lembaran WpCTorQ PpnnhliV TnHnnpfiiii Nnmnr

(4)

5. Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang

Pemerintahan Daerah (Lembaran Negara

Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor 125; Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4437), sebagaimana telah diubah dengan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2005 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang

Pemerintahan Daerah (Lembaran Negara

Republik Indonesia Tahun 2005 Nomor 38; Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4439) yang telah ditetapkan menjadi Undang-undang dengan Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2005 (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2005 Nomor 108; Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2005 Nomor 4548);

6. Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan Antara Pemerintah Pusat dan Pemerintahan Daerah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor 126; Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4438);

7. Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 4; Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4959);

8. Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2009 tentang Pajak dan Retribusi Daerah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 130; Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5049);

(5)

9. Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 140; Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5059);

10. Peraturan Pemerintah Nomor 27 Tahun 1983

tentang Pelaksanaan Kitab Undang-Undang

Hukum Acara Pidana (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1983 Nomor 36, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor

3258); sebagaimana telah diubah dengan

Peraturan Pemerintah Nomor 58 Tahun 2010 tentang Perubahan atas Peraturan Pemerintah Nomor 27 Tahun 1983 tentang Pelaksanaan Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2010 Nomor

90, Tambahan Lembaran Negara Republik

Indonesia Nomor 5145);

11. Peraturan Pemerintah Nomor 45 Tahun 2003 tentang Tarif Atas Jenis Penerimaan Negara Bukan Pajak yang Berlaku Pada Departemen Energi dan Sumber Daya Mineral (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2003 Nomor

96; Tambahan Lembaran Negara Republik

Indonesia Nomor 4314);

12. Peraturan Pemerintah Nomor 79 Tahun 2005 tentang Pedoman Pembinaan dan Pengawasan,

Penyelenggaraan Pemerintahan Daerah

(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2005 Nomor 165, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4593);

(6)

13. Peraturan Pemerintah Nomor 38 Tahun 2007 tentang Pembagian Urusan Pemerintahan Antara Pemerintah, Pemerintahan Daerah Provinsi dan

Pemerintahan Daerah Kabupaten/Kota

(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2007 Nomor 82; Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4737);

14. Peraturan Pemerintah Nomor 41 Tahun 2007 tentang pedoman organisasi perangkat daerah ((Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2007 Nomor 39, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4741);

15. Peraturan Pemerintah Nomor 22 Tahun 2010 tentang Wilayah Pertambangan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2010 Nomor 28; Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia

Nomor 5110);

16. Peraturan Pemerintah Nomor 23 Tahun 2010

tentang Pelaksanaan Kegiatan Usaha

Pertambangan Mineral dan Batubara (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2010 Nomor

29; Tambahan Lembaran Negara Republik

Indonesia Nomor 5111);

17. Peraturan Pemerintah Nomor 55 Tahun 2010

tentang Pembinaan dan Pengawasan

Penyelenggaraan Pengelolaan Usaha

Pertambangan Mineral dan Batubara (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2010 Nomor

85; Tambahan Lembaran Negara Republik

(7)

18. Peraturan Daerah Kabupaten Konawe Selatan Nomor 1 Tahun 2009 tentang Pokok-pokok

pengelolaan Keuangan Daerah Kabhupaten

Konawe Selatan (Lembaran Daerah Kabupaten Konawe Selatan Tahun 2009 Nomor 1);

19. Peraturan Daerah Kabupaten Konawe Selatan Nomor 5 Tahun 2010 tentang Perubahan Kedua

atas Peraturan Daerah Kabupaten Konawe

Selatan Nomor 13 Tahun 2007 tentang

Pembentukan Organisasi dan Tata Kerja Dinas Daerah Kabupaten Konawe Selatan (Lembaran Daerah Kabupaten Konawe Selatan Tahun 2010 Nomor 5).

Dengan Persetujuan Bersama

DEWAN PERWAKILAN RAKYAT DAERAH KABUPATEN KONAWE SELATAN

dan

BUPATI KONAWE SELATAN MEMUTUSKAN :

Menetapkan : PERATURAN DAERAH TENTANG PENGELOLAAN PERTAMBANGAN MINERAL DAN BATUBARA

BAB I

KETENTUAN UMUM Pasal 1

Dalam Peraturan Daerah ini yang dimaksud dengan : 1. Daerah adalah Kabupaten Konawe Selatan.

2. Pemerintah Daerah Kabupaten adalah Pemerintah Kabupaten Konawe Selatan.

3. Bupati adalah Bupati Konawe Selatan.

(8)

5. Menteri adalah menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang pertambangan mineral dan batubara. 6. Dinas adalah Dinas Pertambangan dan Energi Kabupaten

Konawe Selatan

7. Kepala Dinas adalah Kepala Dinas Pertambangan dan Energi Kabupaten Konawe Selatan

8. Instansi Terkait adalah instansi pemerintah lingkup Pemerintah Kabupaten Konawe Selatan dan Pemerintah Pemerintah Provinsi Sulawesi Tenggara.

9. Pertambangan adalah sebagian atau seluruh tahapan kegiatan dalam rangka penelitian, pengelolaan dan pengusahaan mineral atau batubara yang meliputi penyelidikan umum, eksplorasi,

studi kelayakan, konstruksi, penambangan, pengolahan dan

pemurnian, pengangkutan dan penjualan, serta kegiatan pasca

tambang. 1

10. Pengelolaan pertambangan mineral dan batubara adalah

optimalisasi pemanfaatan bahan galian mineral dan batubara yang dilakukan secara terpadu dan terintegrasi meliputi aspek

perencanaan, pelaksanaan, pengendalian dan pengembangan. 11. Penambangan adalah bagian kegiatan usaha pertambangan

untuk memproduksi mineral dan/atau batubara dan mineral ikutannya.

12. Mineral adalah senyawa anorganik yang terbentuk di alam, yang memiliki sifat fisik dan kimia tertentu serta susunan kristal teratur atau gabungannya yang membentuk batuan, baik dalam bentuk lepas atau padu.

13. Batubara adalah endapan senyawa organik karbonan yang membentuk secara alamiah dari sisa tumbuh-tumbuhan.

14. Pertambangan mineral adalah pertambangan kumpulan mineral yang berupa bijih atau batuan, di luar panas bumi, serta air

tanah.

15. Pertambangan batubara adalah pertambangan endapan karbon yang terdapat di dalam bumi, termasuk bitumen padat, gambut dan batuan aspal.

(9)

16. Usaha pertambangan adalah kegiatan dalam rangka pengusahaan mineral atau batubara yang meliputi tahapan kegiatan penyelidikan umum, eksplorasi, studi kelayakan,

konstruksi, penambangan, pengolahan dan pemurnian,

pengangkutan dan penjualan, serta pascatambang.

17. Izin Usaha Pertambangan yang selanjutnya disebut IUP, adalah izin untuk melaksanakan usaha pertambangan.

18. IUP Eksplorasi adalah izin usaha yang diberikan untuk melakukan tahapan kegiatan penyelidikan umum, eksplorasi dan studi kelayakan.

19. IUP Operasi Produksi adalah izin usaha yang diberikan setelah selesai pelaksanaan IUP Eksplorasi untuk melakukan tahapan kegiatan operasi produksi.

20. Izin Pertambangan Rakyat yang selanjutnya disebut IPR, adalah izin untuk melaksanakan usaha pertambangan dalam wilayah pertambangan rakyat dengan luas wilayah dan investasi terbatas. 21. Penyelidikan Umum adalah tahapan kegiatan pertambangan

untuk mengetahui kondisi geologi regional dan indikasi adanya mineralisasi.

22. Eksplorasi adalah tahapan kegiatan usaha pertambangan untuk memperoleh informasi secara terperinci dan teliti tentang lokasi, bentuk, dimensi, sebaran kualitas, dan sumberdaya terukur dari bahan galian, serta informasi mengenai lingkungan sosial dan lingkungan hidup

23. Studi Kelayakan adalah tahapan kegiatan usaha pertambangan untuk memperoleh informasi secara rinci seluruh aspek yang berkaitan untuk menentukan kelayakan ekonomis dan teknis usaha pertambangan, termasuk analisis mengenai dampak lingkungan serta perencanaan pascatambang.

(10)

24. Operasi Produksi adalah tahapan kegiatan usaha pertambangan

yang meliputi konstruksi, penambangan, pengolahan,

pemurnian, termasuk pengangkutan dan penjualan, serta sarana pengendalian dampak lingkungan sesuai dengan hasil studi kelayakan.

25. Konstruksi adalah kegiatan usaha pertambangan untuk

melakukan pembangunan seluruh fasilitas operasi produksi, termasuk pengendalian dampak lingkungan.

26. Badan Usaha adalah setiap badan hukum yang bergerak di bidang pertambangan yang didirikan berdasarkan hukum Indonersia dan berkedudukan dalam wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia.

27. Analisis Mengenai Dampak Lingkungan, yang selanjutnya disebut AMDAL, adalah kajian mengenai dampak besar dan penting suatu usaha dan/atau kegiatan yang direncanakan pada lingkungan hidup yang diperlukan bagi proses pengambilan keputusan tentang penyelenggaraan usaha dan/atau kegiatan. 28. Upaya Pengelolaan Lingkungan yang selanjutnya disebut UKL

dan Upaya Pemantauan Lingkungan yang selanjutnya disebut UPL adalah upaya yang dilakukan dalam pengelolaan dan pemantauan lingkungan hidup oleh penanggungjawab usaha dan/atau kegiatan yang tidak wajib melakukan AMDAL.

29. Reklamasi adalah kegiatan yang dilakukan sepanjang tahapan

usaha pertambangan untuk menata, memulihkan, dan

memperbaiki kualitas lingkungan dan ekosistem agar dapat berfungsi kembali sesuai peruntukannya.

30. Kegiatan pascatambang, yang selanjutnya disebut pascatambang adalah kegiatan terencana, sistematis, dan berlanjut setelah akhir sebagian atau seluruh kegiatan usaha pertambangan untuk memulihkan fungsi lingkungan alam dan fungsi sosial menurut kondisi lokal di seluruh wilayah penambangan.

31. Jaminan Reklamasi adalah dana yang disediakan oleh

(11)

32. Jasa Pertambangan adalah jasa penunjang yang berkaitan dengan kegiatan usaha pertambangan mineral dan batubara. 33. Usaha Jasa Pertambangan adalah usaha jasa yang kegiatannya

berkaitan dengan tahapan dan/atau bagian kegiatan usaha pertambangan.

34. Izin Usaha Jasa Pertambangan,” yang selanjutnya disebut “IUJP,” adalah izin yang diberikan kepada Pelaku Usaha Jasa

Pertambangan untuk melakukan kegiatan usaha jasa

pertambangan.

35. Pemberdayaan Masyarakat adalah usaha untuk meningkatkan kemampuan masyarakat, baik secara individual maupun kolektif, agar menjadi lebih baik tingkat kehidupannya.

36. Masyarakat adalah masyarakat yang berada di wilayah

kabupaten yang sama dengan WIUP dan/atau yang barada di sekitar WIUP.

37. Wilayah Pertambangan, yang selanjutnya disebut WP, adalah wilayah yang mempunyai potensi mineral dan/atau batubara dan tidak terikat dengan batasan administrasi pemerintahan yang merupakan bagian dari tata ruang nasional.

38. Wilayah Usaha Pertambangan, yang selanjutnya disebut WUP, adalah bagian dari WP yang memiliki ketersediaan data, potensi dan/atau informasi geologi.

39. Wilayah Pertambangan Rakyat, yang selanjutnya disebut WPR adalah bagian dari WP tempat dilakukan kegiatan usaha pertambangan rakyat.

40. Wilayah Pencadangan Negara, yang selanjutnya disebut WPN, adalah bagian dari WP yang dicadangkan untuk kepentingan strategis nasional.

41. Wilayah Izin Usaha Pertambangan, yang selanjutnya disebut WIUP, adalah Wilayah yang diberikan kepada pemegang Izin Usaha Pertambangan.

42. Wilayah Usaha Pertambangan Khusus yang selanjutnya disebut WUPK, adalah bagian dari WPN yang dapat diusahakan.

(12)

43. WIUP Eksplorasi adalah wilayah yang diberikan kepada pemegang IUP Eksplorasi.

44. WIUP Operasi Produksi adalah wilayah yang diberikan kepada pemegang IUP Operasi Produksi.

45. Pengolahan dan pemurnian adalah kegiatan usaha pertambangan untuk meningkatkan mutu mineral dan/atau batubara serta untuk memanfaatkan dan memperoleh mineral ikutan.

46. Pengangkutan adalah kegiatan usaha pertambangan untuk memindahkan mineral dan/atau batubara dari daerah tambang dan atau tempat pengolahan dan pemurnian sampai tempat penyerahan.

47. Penjualan adalah kegiatan usaha pertambangan untuk menjual hasil pertambangan mineral atau batubara.

48. Pembinaan terhadap penyelenggaraan pengelolaan usaha

pertambangan adalah upaya yang dilakukan oleh Menteri dan/atau Gubernur selaku wakil pemerintah di daerah untuk mewujudkan tercapainya tujuan penyelenggaraan kegiatan usaha pertambangan.

49. Pengawasan terhadap penyelenggaraan pengelolaan usaha

pertambangan adalah proses kegiatan yang ditujukan untuk menjamin agar pengelolaan usaha pertambangan beijalan secara efisien dan efektif sesuai dengan rencana dan ketentuan peraturan perundang-undangan.

50. Peningkatan Nilai Tambah adalah kegiatan pengolahan mineral dan batubara untuk mempertinggi harga mineral dan batubara yang bersangkutan sehingga dapat memberikan pendapatan yang

lebih tinggi bagi negara dan meningkatkan kegiatan

perekonomian.

51. Kegiatan Usaha Pertambangan Eksplorasi adalah Kegiatan Usaha Pertambangan Eksplorasi mineral dan batubara yang wilayahnya lintas Kab/Kota dan/atau kegiatan Ekaplorasi yang wilayah operasinya berada pada 4 mil laut sampai 12 mil laut dan/atau berdampak lingkungan langsung lintas kabupaten/kota

(13)

52. Kegiatan Usaha Pertambangan Operasi Produksi adalah Kegiatan Usaha Pertambangan Operasi Produksi mineral, batubara dan

batuan yang lokasi pengambilan mineral dan/atau batubara

berbeda wilayah/lokasi secara administratif dengan lokasi pengolahan dan/atau pemurnian serta pelabuhan berada di dalam wilayah administratif yang berbeda dan/atau kegiatan usaha pertambangan yang wilayah operasinya berada pada 4 mil laut sampai 12 mil laut dan/atau berdampak lingkungan langsung lintas kabupaten/kota.

BAB II

ASAS DAN TUJUAN Pasal 2

Pertambangan mineral dan/atau batubara di daerah dikelola berasaskan:

a. Manfaat, keadilan, dan keseimbangan;

b. Keberpihakan kepada kepentingan bangsa dan daerah; c. Partisipatif, transparansi, dan akuntabilitas;

d. Berkelanjutan dan berwawasan lingkungan. Pasal 3

Tujuan pengelolaan mineral dan batubara di daerah adalah:

a. Menjamin efektifitas pelaksanaan dan pengendalian kegiatan usaha pertambangan secara berdaya guna, berhasil guna, dan berdaya saing;

b. Menjamin manfaat pertambangan mineral dan batubara secara berkelanjutan dan berwawasan lingkungan hidup;

c. Menjamin tersedianya mineral dan batubara sebagai bahan baku dan/atau sebagai sumber energi untuk kebutuhan dalam negeri; d. Mendukung dan menumbuhkembangkan kemampuan nasional

dan daerah agar lebih mampu bersaing di tingkat nasional, regional, dan internasional;

(14)

e. Menjamin kepastian hukum dalam penyelenggaraan kegiatan usaha pertambangan mineral dan batubara di kabupaten konawe selatan;

f. Meningkatkan pendapatan masyarakat lokal, daerah dan negara

serta menciptakan lapangan keija untuk sebesar-besar

kesejahteraan rakyat konawe selatan; BAB UI

OBJEK DAN RUANG LINGKUP Pasal 4

(1). Objek pengelolaan mineral dan batubara meliputi jenis: mineral logam, mineral bukan logam, batuan dan batubara;

(2). Ruang lingkup pengelolaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi :

a. Pemberian izin Usaha Pertambangan; b. Pembinaan, pengawasan, pengendalian; c. Pemberian izin jasa usaha pertambangan; d. Pengembangan usaha pertambangan daerah;

e. Perlindungan dan pemberdayaan masyarakat disekitar area

pertambangan;

-f. Reklamasi dan pasca tambang g. Pendapatan daerah.

BAB IV

WILAYAH PERTAMBANGAN DAN WILAYAH IZIN USAHA PERTAMBANGAN

Bagian Kesatu Wilayah Pertambangan

Pasal 5

(1) Wilayah pertambangan terdiri atas WUP, WPR dan WPN. (2) Wilayah usaha pertambangan terdiri d a ri:

a. Wilayah usaha pertambangan radioaktif;

(15)

c. Wilayah usaha pertambangan mineral bukan logam dan batuan.

(3) Bupati menetapkan WPR

Pasal 6

(1) Bupati dapat mengusulkan perubahan wilayah pertambangan sebagaimana dimaksud dalam pasal 5 ayat (1) apabila :

a. Ditemukannya bahan galian mineral dan batubara yang bernilai ekonomis di luar wilayah pertambangan yang telah ditetapkan.

b. Teijadi perubahan peruntukan lahan untuk kepentingan pembangunan yang diakibatkan oleh pengaruh lingkungan, ekonomi dan sosial masyarakat.

(2) Pengusulan perubahan Wilayah Pertambangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a, dilampiri dengan :

a. Dokumen Wilayah Pertambangan yang telah ditetapkan b. Peta usulan perubahan

c. Data penemuan dan hasil penyelidikan bahan galian mineral dan batubara.

(3) Pengusulan perubahan Wilayah Pertambangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b, dilampiri dengan :

a. Dokumen Wilayah Pertambangan yang telah ditetapkan b. Peta usulan perubahan

c. Dokumen hasil kajian yang meliputi aspek teknis, lingkungan, ekonomi dan sosial masyarakat.

Bagian Kedua

Wilayah Izin Usaha Pertambangan Pasal 7

(1) Pemberian WIUP terdiri atas: a. WIUP radioaktif;

i

b. WIUP mineral logam dan batubara; c. WIUP mineral bukan logam dan batuan.

(2) WIUP sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b dan huruf c ditetapkan oleh bupati;

(16)

(3) WIUP mineral logam dan batubara sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b diperoleh dengan cara lelang;

(4) WIUP mineral bukan logam dan batuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf c diperoleh dengan cara mengajukan permohonan wilayah;

Pasal 8

(1) Dalam 1 (satu) WUP dapat terdiri atas 1 (satu) atau beberapa WIUP;

(2) Setiap pemohon yang diajukan oleh badan usaha, koperasi dan perseorangan hanya dapat diberikan 1 (satu) WIUP;

(3) Dalam hal pemohon sebagaimana dimaksud pada ayat (2) merupakan badan usaha yang telah terbuka (go public),dapat diberikan lebih dari 1 (satu) WIUP;

Paragraf 1 Tata Cara Pemberian

WIUP Mineral Logam dan Batubara Pasal 9

Sebelum dilakukan pelelangan WIUP mineral logam atau batubara sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 ayat (1) huruf b, Bupati mengumumkan secara terbuka WIUP yang akan dilelang kepada badan usaha, koperasi, atau perseorangan dalam jangka waktu paling lambat 3 (tiga) bulan sebelum pelaksanaan lelang.

Pasal 10

(1) Dalam pelaksanaan pelelangan WIUP mineral logam dan/atau batubara sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 ayat (1) dibentuk panitia lelang.

(2) Panitia lelang WIUP sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditetapkan oleh Bupati, beranggotakan gasal dan paling sedikit 5 (lima) orang yang memiliki kompetensi di bidang pertambangan mineral dan/atau batubara;

(17)

(3) Dalam panitia lelang sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dapat mengikutsertakan unsur dari Pemerintah, dan/atau pemerintah provinsi.

Pasal 11

Tugas, wewenang dan tanggungjawab Panitia Lelang WIUP meliputi: a. Menyiapkan lelang WIUP;

b. Menyiapkan dokumen lelang WIUP; c. Menyusun jadwal lelang WIUP;

d. Mengumumkan waktu pelaksanaan lelang WIUP;

e. Melaksanakan pengumuman ulang paling banyak 2 (dua) kali, apabila peserta lelang WIUP hanya 1 (satu);

f. Menilai kualifikasi peserta lelang WIUP;

g. Melakukan evaluasi terhadap penawaran yang masuk; h. Melaksanakan lelang WIUP; dan

i. Membuat berita acara hasil pelaksanaan lelang dan mengusulkan pemenang lelang WIUP.

Pasal 12

(1) Peserta lelang WIUP dapat diikuti oleh badan usaha, koperasi dan perseorangan;

(2) Peserta lelang sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus memenuhi persyaratan :

a. Administratif; b. Teknis; dan c. Finansial.

(3) Persyaratan administratif sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf a untuk:

a. Badan usaha, paling sedikit meliputi:

1. Mengisi formulir yang sudah disiapkan panitia lelang; 2. Profil badan usaha;

3. Akte pendirian badan usaha yang bergerak di bidang usaha pertambangan yang telah disahkan oleh pejabat yang berwenang; dan

(18)

b. Koperasi, paling sedikit meliputi:

1. Mengisi formulir yang sudah disiapkan panitia lelang; 2. Profil koperasi;

3. Akte pendirian koperasi yang bergerak di bidang usaha pertambangan yang telah disahkan oleh pejabat yang berwenang; dan

4. Nomor Pokok Wajib Pajak (NPWP).

c. Orang perseorangan paling sedikit meliputi:

1. Mengisi formulir yang sudah disiapkan panitia lelang; 2. Kartu Tanda Penduduk; dan

3. Nomor Pokok Wajib Pajak (NPWP).

d. Perusahaan firma dan perusahaan komanditer paling sedikit meliputi:

1. Mengisi formulir yang sudah disiapkan panitia lelang; 2. Profil perusahaan;

3. Akte pendirian perusahaan yang bergerak di bidang usaha pertambangan; dan

4. Nomor Pokok Wajib Pajak (NPWP).

(4) Persyaratan teknis sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf b paling sedikit meliputi:

a. Pengalaman badan usaha, koperasi, atau perseorangan

dibidang pertambangan mineral atau batubara paling sedikit 3 (tiga) tahun, atau bagi perusahaan baru harus mendapat dukungan dari perusahaan induk, mitra keija, atau afiliasinya yang bergerak di bidang pertambangan;

b. Mempunyai paling sedikit 1 (satu) orang tenaga ahli dalam bidang pertambangan dan/atau geologi yang berpengalaman paling sedikit 3 (tiga) tahun; dan

c. Rencana keija dan anggaran biaya untuk kegiatan 4 (empat) tahun eksplorasi.

(5) Persyaratan finansial sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf c meliputi:

(19)

a. Laporan keuangan tahun terakhir yang sudah diaudit akuntan publik;

b. Menempatkan jaminan kesungguhan lelang dalam bentuk uang tunai di bank pemerintah sebesar 10% (sepuluh persen) dari nilai kompensasi data informasi atau dari total biaya pengganti investasi untuk lelang wiup yang telah berakhir; dan c. Pernyataan bersedia membayar nilai lelang wiup dalam jangka

waktu paling lambat 5 (lima) hari kerja, setelah pengumuman pemenang lelang ke bank pembangunan daerah (bpd) sulawesi tenggara dengan kode rekening yang telah ditetapkan

d. Pengembalian jaminan kesungguhan lelang bagi peserta yang dinyatakan tidak menang lelang dilaksanakan dalam jangka waktu paling lambat 5 (lima) hari kerja setelah pengumuman pemenang lelang.

Pasal 13 (1) Prosedur lelang meliputi tahap:

a. Pengumuman prakualifikasi;

b. Pengambilan dokumen prakualifikasi; c. Pemasukan dokumen prakualifikasi; d. Evaluasi prakualifikasi;

e. Klarifikasi dan konfirmasi terhadap dokumen prakualifikasi; f. Penetapan hasil prakualifikasi;

g. Pengumuman hasil prakualifikasi;

h. Undangan kepada peserta yang lulus prakualifikasi; i. Pengambilan dokumen lelang;

j. Penjelasan lelang;

k. Pemasukan penawaran harga; 1. Pembukaan sampul;

m. Penetapan peringkat;

n. Penetapan/pengumuman pemenang lelang yang dilakukan berdasarkan penawaran harga dan pertimbangan teknis; dan o. Memberi kesempatan adanya sanggahan atas keputusan

(20)

(2) Penjelasan lelang sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf j wajib dilakukan oleh panitia lelang WIUP kepada peserta lelang WIUP yang lulus prakualifikasi untuk menjelaskan data teknis berupa:

a. Lokasi; b. Koordinat;

c. Jenis mineral, termasuk mineral ikutannya, dan batubara; d. Ringkasan hasil penelitian dan penyelidikan;

e. Ringkasan hasil eksplorasi pendahuluan apabila ada; dan f. Status lahan.

Pasal 14

(1) Panitia lelang dapat memberikan kesempatan kepada peserta lelang WIUP yang lulus prakualifikasi untuk melakukan kunjungan lapangan dalam jangka waktu yang disesuaikan dengan jarak lokasi yang akan dilelang setelah mendapatkan penjelasan lelang.

(2) Dalam hal peserta lelang WIUP yang akan melakukan kunjungan lapangan dan mengikutsertakan warga negara asing wajib memenuhi persyaratan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.

(3) Biaya yang diperlukan untuk melakukan kunjungan lapangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) dibebankan kepada peserta lelang WIUP

Pasal 15

(1) Jangka waktu prosedur lelang ditetapkan dalam jangka waktu paling lama 35 (tiga puluh lima) hari keija sejak pemasukan penawaran harga sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13 ayat (1) huruf k.

|2) Hasil pelaksanaan lelang WIUP dilaporkan oleh panitia lelang kepada Bupati untuk ditetapkan pemenang lelang WIUP.

(21)

(3) Bupati berdasarkan usulan panitia lelang WIUP menetapkan pemenang lelang WIUP dalam jangka waktu paling lama 7 (tujuh) hari keija dan menyampaikan pemberitahuan secara tertulis termasuk persyaratan untuk mendapat IUP eksplorasi kepada pemenang lelang.

Pasal 16

(1) Dalam hal badan usaha, koperasi atau perseorangan pemenang lelang WIUP tidak memenuhi kewajibannya sebagaimana dimaksud dalam Pasal 12 ayat (2), badan usaha, koperasi atau perseorangan peringkat berikutnya menjadi pemenang lelang. (2) Badan usaha, koperasi atau perseorangan pemenang lelang

peringkat berikutnya sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib memenuhi kewajiban sebagaimana dimaksud dalam Pasal 12 ayat (5).

Pasal 17

(1) Apabila peserta lelang yang memasukan penawaran harga sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13 ayat (1) huruf k hanya terdapat 1 (satu) peserta lelang, dilakukan lelang ulang.

(2) Dalam hal peserta lelang ulang sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tetap hanya 1 (satu) peserta, ditetapkan sebagai pemenang dengan ketentuan harga penawaran harus sama atau lebih tinggi dari harga dasar lelang yang telah ditetapkan.

Paragraf 2

WIUP Mineral Bukan Logam dan Batuan Pasal 18

(1) Setiap kegiatan usaha pertambangan mineral bukan logam dan batuan hanya dapat dilaksanakan pada WIUP yang diberikan oleh bupati kepada badan usaha, koperasi, atau perseorangan dengan cara permohonan wilayah.

(22)

(2) Permohonan WIUP mineral bukan logam dan/atau batuan yang terlebih dahulu telah memenuhi persyaratan koordinat geografis lintang dan bujur sesuai dengan ketentuan sistem informasi geografi yang berlaku secara nasional dan membayar biaya percadangan wilayah dan pencetakan peta, memperoleh prioritas pertama untuk mendapatkan WIUP.

(3) Pelaksanaan pelayanan permohonan WIUP wajib menerapkan sistem permohonan pertama yang telah memenuhi persyaratan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) mendapat prioritas pertama untuk mendapatkan WIUP.

(4) Besarnya biaya pencadangan wilayah dan pencetakan peta sebagaimana dimaksud pada ayat (2) diatur lebih lanjut dengan Peraturan Bupati.

(5) Bupati dalam jangka waktu paling lama 10 (sepuluh) hari keija setelah diterima permohonan wajib memberikan keputusan menerima atau menolak atas permohonan WIUP sebagaimana dimaksud pada ayat (1).

(6) Keputusan menerima sebagaimana dimaksud pada ayat (5) disampaikan kepada pemohon WIUP disertai dengan penyerahan peta WIUP berikut batas dan koordinat WIUP.

(7) Keputusan menolak sebagaimana dimaksud pada ayat (5) harus disampaikan secara tertulis kepada pemohon WIUP disertai dengan alasan penolakan.

BAB V

JENIS USAHA PERTAMBANGAN, PERSYARATAN DAN PEMBERIAN IZIN USAHA PERTAMBANGAN

Bagian Kesatu

Jenis Usaha Pertambangan Pasal 19

(1) Usaha pertambangan mineral dan batubara terdiri dari :

a. Usaha Pertambangan Eksplorasi meliputi: Penyelidikan

(23)

b. Usaha Pertambangan Operasi Produksi meliputi: Konstruksi, Penambangan, Pengolahan, Pemurnian, Pengangkutan dan Penjualan.

(2) Usaha pertambangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat dilaksanakan setelah mendapat Izin Usaha Pertambangan yang terdiri dari :

a. Izin usaha pertambangan eksplorasi;

b. Izin usaha pertambangan operasi produksi.

(3) Izin Usaha Pertambangan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf a dan huruf b diberikan oleh Bupati kepada badan usaha, koperasi atau perseorangan yang telah memperoleh penetapan WIUP.

Pasal 20

(1) Izin Usaha Pertambangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 19 ayat (2) huruf a dan huruf b diberikan untuk 1 (satu) jenis komoditas tambang bahan galian mineral dan batubara.

(2) Jenis komoditas tambang sebagaimana dimaksud pada ayat (1) yaitu:

a. Mineral/unsur logam antara lain: litium, berlium,

magnesium/monasit, kalium, kalsium, emas, tembaga, perak, timbal, seng, nikel, mangan, platina, bismuth, molibdenum, bauksit, air raksa, wolfram, titanium, barit, vanadium, kromit, antimoni, kobalt, tantalum, cadmium, galium, indium, yitrium, magnetit dan besi;

b. Mineral/unsur bukan logam antara lain: intan, korundum, grafit, arsen, kuarsa, fluorspar, kriolit, yodium, brom, klor, belerang, fosfat, halit, asbes, talk, mika, magnesit, yarosit, oker, fluorit, ball clay, fire clay, zeolit, kaolin, feldspar, bentonit, gipsum, dolomit, kalsit, oniks, rijang, pirofilit, kuarsit, zirkon, wolastonit, krisopras dan kalsedon;

(24)

c. Batuan antara lain: pumice, tras, toseki, absidian, marmer, perlit, tanah diatomae, tanah serap (fullers earth), slate, granit dan granodiorit, andesit, gabro dan peridotit, basait, trakhit, leusit, tanah liat, opal, batukapur, pasir sepanjang tidak mengandung unsur-unsur mineral logam, bukan logam dalam jumlah yang berarti ditinjau dari segi ekonomi pertambangan; d. Batubara antara lain: bitumen padat, batuan aspal, batubara

dan gambut.

Bagian Kedua

Persyaratan Izin Usaha Pertambangan Pasal 21

Badan usaha, koperasi atau perseorangan yang telah memperoleh penetapan WIUP, wajib memenuhi persyaratan IUP Eksplorasi dan IUP Operasi Produksi meliputi :

a. Administratif; b. Teknis;

c. Lingkungan; dan d. Finansial.

Pasal 22

( 1) Persyaratan administratif sebagaimana dimaksud dalam Pasal 21 huruf a untuk badan usaha meliputi:

a. Untuk IUP Eksplorasi dan IUP Operasi Produksi mineral logam dan batubara:

1. Surat permohonan;

2. Susunan direksi dan daftar pemegang saham; dan 3. Surat keterangan domisili.

b. Untuk IUP Eksplorasi dan IUP Operasi Produksi mineral bukan logam dan batuan:

1. Surat permohonan; 2. Profil badan usaha;

3. Akte pendirian badan usaha yang bergerak di bidang usaha pertambangan yang telah disahkan oleh pejabat yang berwenang;

(25)

5. Susunan direksi dan daftar pemegang saham; dan 6. Surat keterangan domisili.

(2) Persyaratan administratif sebagaimana dimaksud dalam Pasal 21 huruf a untuk koperasi meliputi:

a. Untuk IUP Eksplorasi dan IUP Operasi Produksi mineral logam dan batubara:

1. Surat permohonan; 2. Susunan pengurus; dan 3. Surat keterangan domisili.

b. Untuk IUP Eksplorasi dan IUP Operasi Produksi mineral bukan logam dan batuan:

1. Surat permohonan; 2. Profil koperasi;

3. Akte pendirian koperasi yang bergerak di bidang usaha pertambangan yang telah disahkan oleh pejabat yang berwenang;

4. Nomor Pokok Wajib Pajak (NPWP); 5. Susunan pengurus; dan

6. Surat keterangan domisili.

(3) Persyaratan administratif sebagaimana dimaksud dalam Pasal 21 huruf a untuk orang perseorangan meliputi:

a. Untuk IUP Eksplorasi dan IUP Operasi Produksi mineral logam dan batubara:

1. Surat permohonan; dan 2. Surat keterangan domisili.

b. Untuk IUP Eksplorasi dan IUP Operasi Produksi mineral bukan logam dan batuan:

1. Surat permohonan; 2. Kartu tanda penduduk;

3. Nomor Pokok Wajib Pajak (NPWP); dan 4. Surat keterangan domisili.

(26)

(4) Persyaratan administratif sebagaimana dimaksud dalam Pasal 21 huruf a untuk perusahaan firma dan perusahaan komanditer meliputi:

a. Untuk IUP Eksplorasi dan IUP Operasi Produksi mineral logam dan batubara:

1. Surat permohonan;

2. Susunan pengurus dan daftar pemegang saham; dan 3. Surat keterangan domisili.

b. Untuk IUP Eksplorasi dan IUP Operasi Produksi mineral bukan logam dan batuan:

1. surat permohonan; 2. profil perusahaan;

3. akte pendirian perusahaan yang bergerak di bidang usaha pertambangan;

4. Nomor Pokok Wajib Pajak (NPWP);

5. susunan pengurus dan daftar pemegang saham; dan 6. surat keterangan domisili.

Pasal 23

Persyaratan teknis sebagaimana dimaksud dalam Pasal 21 huruf b untuk:

a. IUP Eksplorasi, meliputi:

1. Daftar riwayat hidup dan surat pernyataan tenaga ahli pertambangan dan/atau geologi yang berpengalaman paling sedikit 3 (tiga) tahun;

2. Peta wiup yang dilengkapi dengan batas koordinat geografis lintang dan bujur sesuai dengan ketentuan sistem informasi geografi yang berlaku secara nasional.

b. IUP operasi produksi, meliputi:

1. Peta wilayah dilengkapi dengan batas koordinat geografis lintang dan bujur sesuai dengan ketentuan system informasi geografi yang berlaku secara nasional;

2. Laporan lengkap eksplorasi; 3. Laporan studi kelayakan;

(27)

4. Rencana reklamasi dan pascatambang; 5. Rencana keija dan anggaran biaya;

6. Rencana pembangunan sarana dan prasarana penunjang kegiatan operasi produksi; dan

7. Tersedianya tenaga ahli pertambangan dan/atau geologi yang berpengalaman paling sedikit 3 (tiga) tahun.

Pasal 24

Persyaratan lingkungan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 21 huruf c meliputi:

a. Untuk IUP Eksplorasi meliputi pernyataan untuk mematuhi

ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang

perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup. b. Untuk IUP Operasi Produksi meliputi:

1. Pernyataan kesanggupan untuk mematuhi ketentuan

peraturan perundang-undangan di bidang perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup; dan

2. Persetujuan dokumen lingkungan hidup sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.

Pasal 25

Persyaratan finansial sebagaimana dimaksud dalam Pasal 21 huruf d untuk:

a. IUP Eksplorasi, meliputi:

1. Bukti penempatan jaminan kesungguhan pelaksanaan

kegiatan eksplorasi dari Bank Pembangunan Daerah (BPD)

Sulawesi Tenggara dengan kode rekening yang telah

ditetapkan; dan

2. Bukti pembayaran harga nilai kompensasi data informasi hasil lelang WIUP mineral logam atau batubara sesuai dengan nilai penawaran lelang atau bukti pembayaran biaya pencadangan wilayah dan pembayaran pencetakan peta WIUP mineral bukan logam atau batuan atas permohonan wilayah.

(28)

b. IUP Operasi Produksi, meliputi:

1. Laporan keuangan tahun terakhir yang telah diaudit oleh akuntan publik;

2. Bukti pembayaran iuran tetap 3 (tiga) tahun terakhir; dan

3. Bukti pembayaran pengganti investasi sesuai dengan nilai penawaran lelang bagi pemenang lelang wiup yang telah berakhir.

Bagian Ketiga

Pemberian Izin Usaha Pertambangan Paragraf 1

Izin Usaha Pertambangan Eksplorasi Pasal 26

(1) Pemegang WIUP mengajukan permohonan IUP eksplorasi mineral logam atau batubara kepada Bupati dalam jangka waktu paling lambat 5 (lima) hari kerja setelah penetapan pengumuman pemenang lelang WIUP.

(2) Permohonan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib memenuhi persyaratan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 21. (3) Apabila pemenang lelang WIUP sebagaimana dimaksud pada ayat

(1) dalam jangka waktu 5 (lima) hari kerja tidak menyampaikan permohonan IUP, dianggap mengundurkan diri dan uang jaminan

kesungguhan lelang menjadi milik Pemerintah Daerah

Kabupaten.

(4) Dalam hal pemenang lelang WIUP sebagaimana dimaksud pada ayat (3) telah dianggap mengundurkan diri, WIUP ditawarkan kepada peserta lelang urutan berikutnya secara berjenjang dengan syarat nilai harga kompensasi data informasi sama dengan harga yang ditawarkan oleh pemenang pertama.

(5) Bupati melakukan lelang ulang WIUP apabila peserta lelang sebagaimana dimaksud pada ayat (4) tidak ada yang berminat. (6) Bupati memberikan IUP eksplorasi mineral logam atau batubara

kepada badan usaha, koperasi, atau perseorangan pemenang lelang WIUP.

(29)

(1) Badan usaha, koperasi, atau perseorangan yang telah mendapatkan peta WIUP beserta batas dan koordinatnya dalam jangka waktu paling lambat 5 (lima) hari keija setelah penerbitan peta WIUP mineral bukan logam dan/atau batuan harus menyampaikan permohonan IUP Eksplorasi kepada bupati.

(2) Permohonan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib memenuhi persyaratan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 21. (3) Apabila badan usaha, koperasi, atau perseorangan sebagaimana

dimaksud pada ayat (1) dalam jangka waktu 5 (lima) hari keija tidak menyampaikan permohonan IUP, dianggap mengundurkan diri dan uang pencadangan wilayah menjadi milik Pemerintah Daerah Kabupaten.

(4) Dalam hal badan usaha, koperasi, atau perseorangan

sebagaimana dimaksud pada ayat (3) telah dianggap

mengundurkan diri maka WIUP menjadi wilayah terbuka.

(5) Bupati memberikan IUP eksplorasi mineral bukan logam atau batuan kepada badan usaha, koperasi, atau perseorangan yang telah memenuhi persyaratan permohonan WIUP.

t

Pasal 28

Pemegang IUP Eksplorasi dapat mengajukan permohonan wilayah di luar WIUP kepada bupati untuk menunjang usaha kegiatan pertambangannya.

Pasal 29

(1) IUP eksplorasi untuk pertambangan mineral logam dapat diberikan dalam jangka waktu paling lama 8 (delapan) tahun dan tidak dapat diperpanjang meliputi :

a. Penyelidikan umum 1 (satu) tahun;

b. Eksplorasi 3(tiga) tahun dan dapat diperpanjang 2(dua) kali masing-masing l(satu) tahun;

(30)

c. Studi kelayakan 1 (satu) tahun dan dapat diperpanjang 1 (satu) kali 1 (satu) tahun.

d. Jangka waktu studi kelayakan berlaku paling lama 2 (dua) tahun;

(2) IUP eksplorasi untuk pertambangan mineral bukan logam dapat diberikan paling lama dalam jangka waktu 3 (tiga) tahun dan tidak dapat diperpanjang meliputi :

a. Penyelidikan umumi (satu) tahun b. Eksplorasi 1 (satu) tahun

c. Studi kelayakan 1 (satu) tahun

(3) IUP eksplorasi untuk pertambangan mineral bukan logam jenis tertentu dapat diberikan dalam jangka waktu paling lama 7 (tujuh) tahun dan tidak dapat diperpanjang meliputi :

a. Penyelidikan umum 1 (satu) tahun:

b. Eksplorasi 2 (dua) tahun dan dapat diperpanjang 2 (dua) kali masing-masing i (satu) tahun;

c. Studi kelayakan 2 (dua) tahun.

(4) IUP eksplorasi untuk pertambangan batuan dapat diberikan dalam jangka waktu paling lama 3 (tiga) tahun dan tidak dapat diperpanjang meliputi :

a. Penyelidikan umumi (satu) tahun b. Eksplorasi 1 (satu) tahun

c. Studi kelayakan 1 (satu) tahun

(5) IUP Eksplorasi untuk pertambangan batubara dapat diberikan dalam jangka waktu paling lama 7 (tujuh) tahun dan tidak dapat diperpanjang meliputi:

a. Penyelidikan umum l(satu) tahun:

b. Eksplorasi 2 (dua) tahun dan dapat diperpanjang 2 (dua) kali masing-masing i (satu) tahun;

(31)

Pasal 30

(1) Dalam jangka waktu 180 (seratus delapan puluh ) hari sejak tanggal efektif berlakunya IUP Eksplorasi, pemegang IUP wajib memulai kegiatannya;

(2) Bupati dapat mencabut IUP Eksplorasi dalam hal pemegang IUP Eksplorasi tidak melaksanakan kegiatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1).

Pasal 31

(1) Sebelum dimulainya tahun takwin, pemegang IUP wajib menyusun dan menyampaikan kepada Bupati, tentang Rencana Keija Jangka Panjang Eksplorasi selambat-lambatnya 3 (tiga) bulan sejak Tahap Eksplorasi dimulai.

(2) Rencana Keija Jangka Panjang Eksplorasi sebagaimana

dimaksud pada ayat (1) untuk jangka waktu paling lama 8 (delapan) tahun.

Pasal 32

(1) Penyesuaian terhadap Rencana Keija Jangka Panjang Eksplorasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 31 dapat dilakukan dari tahun ke tahun sesuai kondisi yang dihadapi melalui Rencana Keija dan Anggaran Belanja (RKAB) tahunan.

(2) RKAB tahunan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diajukan kepada Bupati selambat-lambatnya 2 (dua) bulan sebelum RKAB tahunan beijalan;

(3) Bupati melakukan evaluasi teknis terhadap RKAB sebagaimana dimaksud pada ayat (1).

Pasal 33

(1) Apabila telah selesai melaksanakan eksplorasi, pemegang IUP Eksplorasi wajib mengajukan rencana Studi Kelayakan kepada Bupati paling lambat l(satu) bulan sebelum berakhirnya eksplorasi dengan melampirkan laporan kegiatan eksplorasi.

(2) Bupati melakukan evaluasi laporan kegiatan eksplorasi

(32)

(3) Pelaksanaan evaluasi sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dilakukan oleh Kepala Dinas.

Pasal 34

(1) Pemegang IUP Eksplorasi mineral logam diberi WIUP dengan luas paling sedikit 5.000 (lima ribu) hektar dan paling banyak 100.000 (seratus ribu) hektar.

(2) Pemegang IUP Eksplorasi mineral bukan logam diberi WIUP dengan luas paling sedikit 500 (lima ratus) hektar dan paling banyak 25.000 (dua puluh lima ribu) hektar.

(3) Pemegang IUP Eksplorasi batuan diberi WIUP dengan luas paling sedikit 5 (lima) hektar dan paling banyak 5.000 (lima ribu) hektar. (4) Pemegang IUP Eksplorasi batubara diberi WIUP dengan luas

paling sedikit 5.000 (lima ribu) hektar dan paling banyak 50.000 (lima puluh ribu) hektar.

Pasal 35

Pemegang IUP Eksplorasi mempunyai hak untuk melakukan kegiatan usaha pertambangan eksplorasi menurut ketentuan sebagaimana tercantum dalam IUP.

Pasal 36

(1) Pemegang IUP Eksplorasi sewaktu-waktu dapat mengajukan permohonan kepada Bupati untuk melepaskan seluruh atau suatu bagian dari WIUP selama jangka waktu berlakunya IUP Eksplorasi;

(2) Permohonan pelepasan seluruh atau suatu bagian dari WIUP sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib dilampiri dengan laporan pelepasan yang memuat:

a. Semua penemuan teknis dan geologis yang diperoleh di WIUP yang akan dilepas;

b. Alasan-alasan pelepasan;

c. Data kegiatan lapangan di WIUP yang akan dilepas.

(3) Pelepasan batas WIUP sebagaimana dimaksud pada ayat (1) mengacu pada sistem koordinat;

(33)

Paragraf 2

Izin Usaha Pertambangan Operasi Produksi Pasal 37

(1) Setiap pemegang IUP ekplorasi mineral logam, batubara, mineral bukan logam dan batuan diberikan IUP operasi produksi setelah laporan studi kelayakan dinyatakan layak secara teknis, ekonomis, lingkungan, dan sosial oleh Bupati dalam bentuk tertulis.

(2) Pemegang IUP eksplorasi mineral logam, batubara, mineral bukan logam dan batuan mengajukan permohonan IUP operasi produksi secara tertulis kepada Bupati paling lambat 3 (tiga) bulan sebelum berakhirnya IUP Eksplorasi.

(3) Bupati memberikan IUP operasi produksi setelah memenuhi kelayakan sebagaimana dimaksud pada ayat (1).

(4) Bupati memberikan persetujuan atau penolakan atas

permohonan IUP operasi produksi paling lama 15 (lima belas) hari keija sejak diberikannya tanda terima bukti permohonan IUP operasi produksi.

Pasal 38

(1) IUP operasi produksi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 37 ayat (1) diberikan kepada badan usaha, koperasi, dan perseorangan sebagai peningkatan dari kegiatan eksplorasi.

(2) Pemegang IUP eksplorasi dijamin untuk memperoleh IUP operasi produksi sebagai peningkatan dengan mengajukan permohonan dan memenuhi persyaratan IUP peningkatan operasi produksi.

(3) IUP operasi produksi meliputi kegiatan konstruksi,

penambangan, pengolahan dan pemurnian, serta pengangkutan dan penjualan.

(4) IUP operasi produksi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diberikan kepada badan usaha, koperasi, dan perseorangan yang memenuhi persyaratan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 21.

(34)

Pasal 39

(1) IUP operasi produksi diberikan oleh bupati, apabila lokasi

penambangan, lokasi pengolahan dan pemurnian, serta

pelabuhan berada di dalam 1 (satu) wilayah kabupaten/kota atau wilayah laut sampai dengan 4 (empat) mil dari garis pantai;

(2) Dalam hal lokasi penambangan, lokasi pengolahan dan

pemurnian serta pelabuhan berada di dalam wilayah yang berbeda serta kepemilikannya juga berbeda pada 1 (satu) wilayah kabupaten atau wilayah laut sampai dengan 4 (empat) mil dari garis pantai, IUP operasi produksi diberikan oleh bupati.

Pasal 40

Dalam hal pemegang IUP operasi produksi tidak melakukan sendiri kegiatan pengangkutan dan penjualan dan/atau pengolahan dan

pemurnian, kegiatan pengangkutan dan penjualan dan/atau

pengolahan dan pemurnian dapat dilakukan oleh pihak lain yang memiliki:

a. IUP Operasi Produksi khusus untuk pengangkutan dan penjualan; b. IUP Operasi Produksi khusus untuk pengolahan dan pemurnian.

Pasal 41

(1) IUP Operasi Produksi khusus sebagaimana dimaksud dalam Pasal 40 huruf a diberikan oleh bupati apabila kegiatan pengangkutan dan penjualan dalam 1 (satu) kabupaten; atau (2) IUP Operasi Produksi khusus sebagaimana dimaksud dalam

Pasal 40 huruf b diberikan oleh bupati, apabila komoditas tambang yang akan diolah berasal dari beberapa pada 1 (satu) wilayah kabupaten atau wilayah laut sampai dengan 4 (empat) mil dari garis pantai;

(3) Ketentuan lebih lanjut tentang tata cara penerbitan, pembinaan dan pengawasan IUP Operasi Produksi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 41 huruf a dan huruf b akan diatur dalam Peraturan Bupati.

(35)

Pasal 46

Luas Wilayah Izin Usaha Pertambangan untuk IUP operasi produksi yaitu:

a. Pemegang IUP operasi produksi mineral logam diberi WIUP dengan luas paling banyak 25.000 (dua puluh ribu) hektar.

b. Pemegang IUP operasi produksi batubara diberi WIUP dengan luas paling banyak 15.000 (lima belas ribu) hektar.

c. Pemegang IUP operasi produksi mineral bukan logam diberi WIUP dengan luas paling banyak 5.000 (lima ribu) hektar.

d. Pemegang IUP operasi produksi batuan diberi WIUP dengan luas paling banyak 1.000 (seribu) hektar.

Paragraf 3

Komoditas Tambang Lain dalam WIUP Pasal 47

{1) Dalam hal pada lokasi WIUP ditemukan komoditas tambang lainnya yang bukan asosiasi mineral yang diberikan dalam IUP, pemegang IUP eksplorasi dan IUP operasi produksi memperoleh prioritas dalam mengusahakan komoditas tambang lainnya yang ditemukan.

(2) Dalam mengusahakan komoditas tambang lainnya sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus membentuk badan usaha baru. (3) Apabila pemegang IUP eksplorasi dan IUP operasi produksi tidak

berminat atas komoditas tambang lainnya sebagaimana

dimaksud pada ayat (1), kesempatan pengusahaannya dapat diberikan kepada pihak lain dan diselenggarakan dengan cara lelang atau permohonan wilayah.

(4) Pihak lain yang mendapatkan IUP berdasarkan lelang atau permohonan wilayah harus berkoordinasi dengan pemegang IUP eksplorasi dan IUP operasi produksi pertama.

(36)

Paragraf 4

Perpanjangan IUP Operasi Produksi Pasal 48

(1) Permohonan perpanjangan IUP operasi produksi diajukan kepada bupati paling cepat dalam jangka waktu 2 (dua) tahun dan paling lambat dalam jangka waktu 6 (enam) bulan sebelum berakhirnya jangka waktu IUP.

(2) Permohonan perpanjangan IUP operasi produksi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) paling sedikit harus dilengkapi:

a. Peta dan batas koordinat wilayah;

b. Bukti pelunasan iuran tetap dan iuran produksi 3 (tiga) tahun terakhir;

c. Laporan akhir kegiatan operasi produksi; d. Laporan pelaksanaan pengelolaan lingkungan; e. rencana keija dan anggaran biaya; dan

f. neraca sumber daya dan cadangan.

(3) Bupati dapat menolak permohonan perpanjangan IUP operasi produksi apabila pemegang IUP operasi produksi berdasarkan

hasil evaluasi, pemegang IUP operasi produksi tidak

menunjukkan kineija operasi produksi yang baik.

(4) Penolakan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) harus

disampaikan kepada pemegang IUP operasi produksi paling lambat sebelum berakhirnya IUP operasi produksi.

(5) Pemegang IUP operasi produksi hanya dapat diberikan

perpanjangan sebanyak 2 (dua) kali.

(6) Pemegang IUP operasi produksi yang telah memperoleh perpanjangan IUP operasi produksi sebanyak 2 (dua) kali, harus

mengembalikan WIUP operasi produksi kepada bupati

berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku.

(37)

(1) Pemegang IUP operasi produksi yang telah memperoleh perpanjangan IUP operasi produksi sebanyak 2 (dua) kali sebagaimana dimaksud dalam Pasal 48 ayat (6), dalam jangka waktu 3 (tiga) tahun sebelum jangka waktu masa berlakunya IUP

berakhir, harus menyampaikan kepada bupati mengenai

keberadaan potensi dan cadangan mineral atau batubara pada WlUP-nya.

(2) WIUP yang IUP-nya akan berakhir sebagaimana dimaksud pada ayat (1) sepanjang masih berpotensi untuk diusahakan, WIUP- nya dapat ditawarkan kembali melalui mekanisme lelang atau permohonan wilayah sesuai dengan ketentuan dalam peraturan ini.

(3) Dalam pelaksanaan lelang WIUP sebagaimana dimaksud pada ayat (2) pemegang IUP sebelumnya mendapat hak menyamai.

Paragraf 5

Wilayah Pertambangan Rakyat Pasal 50

Kegiatan pertambangan Rakyat dilaksanakan dalam suatu WPR Pasal 51

WPR sebagaimana dimaksud dalam pasal 50 ditetapkan oleh Bupati setelah berkonsultasi dengan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Kabupaten Konawe Selatan.

Pasal 52

Kriteria untuk menetapkan WPR adalah sebagai berikut:

a. Mempunyai cadangan mineral sekunder yang terdapat disungai dan/ atau diantara tepi dan tepi sungai;

b. Mempunyai cadangan Primer Logam atau batubara dengan kedalaman maksimal 25 (dua puluh lima) meter;

c. Endapan teras, dataran banjir, dan endapan sungai Purba;

H. L u a s m a k sim a l W P R aH alah 2S fHua n n ln h limai h e k t a r

(38)

e. Menyebutkan Jenis komoditas yang akan ditambang; dan/atau f. Merupakan wilayah atau tempat kegiatan tambang rakyat yang

sudah dikerjakan sekurang-kurangnya 15 (lima belas ) tahun. Pasal 53

Dalam menetapkan WPR sebagaimana dimaksud dalam Pasal 51, Bupati melalui Dinas berkewajiban melakukan pengumuman mengenai rencana WPR kepada masyarakat secara terbuka.

Pasal 54

Wilayah atau tempat kegiatan tambang rakyat yang sudah dikerjakan

tetapi belum ditetapkan sebagai WPR diprioritaskan untuk

ditetapkan sebagai WPR

Paragraf 6

Izin Pertambangan Rakyat Pasal 55

Kegiatan Pertambangan rakyat sebagaimana dimaksud dalam pasal 50 dikelompokkan sebagai berikut:

a. Petambangan mineral logam;

b. Pertambangan mineral bukan logam; c. Pertambangan batuan; dan/atau d. Pertambangan batubara.

Pasal 56

(1) Bupati memberikan IPR terutama kepada penduduk setempat, baik perseorangan maupun kelompok masyarakat dan/atau koperasi.

(2) Untuk memperoleh IPR sebagaimana pada ayat (1), pemohon wajib menyampaikan surat permohonan kepada Bupati.

(39)

Pasal 57

(1) Luas wilayah untuk l(satu) IPR yang dapat diberikan kepada : a. Perseorangan paling banyak 1 (satu) hektare;

b. Kelompok perseorangan paling banyak 5 (lima) hectare; dan/atau

c. Koperasi paling banyak 10 (sepuluh) hektare.

(2) IPR diberikan untuk jangka waktu paling lama 5 (lima) tahun dan dapat diperpanjang.

Pasal 58 Pemegang IPR berhak :

a. Mendapatkan Pembinaan dan Pengawasan di bidang keselamatan dan kesehatan keija, lingkungan, teknis pertambangan dan manajemen dari pemerintah dan/atau pemerintah daerah; dan b. Mendapat bantuan modal sesuai dengan ketentuan perundang-

undangan.

Pasal 59 Pemegang IPR wajib :

a. Melakukan kegiatan penambangan paling lambat 3 (tiga) bulan setelah IPR diterbitkan.

b. Memenuhi peraturan perundang-undangan di bidang keselamatan dan kesehatan keija pertambangan, pengelolaan lingkungan, dan memenuhi standar yang belaku;

c. Mengelola llingkungan hidup bersama Pemerintah Daerah; d. Membayar iuran tetap dan iuran produksi , dan

e. Menyampaikan laporan pelaksanaa kegiatan usaha pertambangan rakyat secara berkala kepada pemberi IPR

Pasal 60

Selain kewajiban sebagaimana dimaksud dalam pasal 59, pemegang IPR dalam melakukan kegiatan pertambangan rakyat sebagaiamana dimaksud dalam pasal 55 wajib mentaati ketentuan persyaratan teknis pertambangan.

(40)

Pasal 61

(1) IPR diberikan oleh Bupati berdasarkan permohonan yang diajukan oleh penduduk setempat, baik orang perseorangan maupun kelompok masyarakat dan/atau koperasi.

(2) IPR diberikan setelah ditetapkan WPR oleh Bupati.

(3) Dalam 1 (satu) WPR dapat diberikan 1 (satu) atau beberapa IPR. Pasal 62

(1) Setiap usaha pertambangan rakyat pada WPR dapat

dilaksanakan apabila telah mendapatkan IPR.

(2) Untuk mendapatkan IPR, pemohon harus memenuhi: a. persyaratan administratif;

b. persyaratan teknis; dan c. persyaratan iinasial.

(3) Persyaratan administratif sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf a untuk :

a. Orang perseorangan, paling sedikit meliputi : 1. Surat permohonan;

2. Kartu tanda penduduk;

3. Komoditas tambang yang dimohon; dan

4. Surat keterangan dari Kelurahan/Desa setempat. b. Kelompok masyrakat, paling sedikit meliputi :

1. Surat permohonan;

2. Komoditas tambang yang dimohon; dan

3. Surat keterangan dari Kelurahan/Desa setempat. c. Koperasi setempat, paling sedikit meliputi:

1. Surat permohonan;

2. Nomor pokok wajib pajak;

3. Akte pendirian koperasi yang telah disahkan oleh pejabat yang berwenang;

4. Komoditas tambang yang dimohon; dan

(41)

(4) Persyaratan teknis sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf b berupa surat pernyataan yang yang memuat paling sedikit menenai:

a. Sumuran pada IPR paling dalam 25 (dua puluh lima) meter;

b. Menggunakan pompa mekanik, pengglundungan atau

permesinan dengan jumlah tenaga maksimal 25 (dua puluh lima) horse power untuk 1 (satu) IPR; dan

c. Tidak menggunakan alat berat dan bahan peledak.

(5) Persyaratan finasial sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf c berupa laporan keuangan 1 (satu) tahun terakhir dan hanya dipersyaratkan bagi koperasi setempat.

Pasal 63

(1) Dinas melaksanakan pembinaan di bidang pengusahaan, teknologi pertambangan, serta permodalan dan pemasaran dalam usaha meningkatkan kemampuan usaha pertambangan rakyat. (2) Dinas bertanggung jawab terhadap pengamanan teknis pada

usaha pertambangan rakyat yang meliputi: a. Keselamatan dan kesehatan keija;

b. Pengelolaan lingkungan hidup; dan c. Pascatambang.

(3) Untuk melaksanakan pengamanan teknis sebagaimana dimaksud pada ayat (2), Bupati mengangkat pejabat fungsional inspektur tambang sesuai dengan ketentuan peraturan perundang- undangan.

(4) Dinas wajib mencatat hasil produksi dari seluruh kegiatan usaha pertambangan rakyat yang berada dalam wilayahnya dan melaporkannya secara berkala kepada Menteri dan Gubernur melalui Bupati.

(42)

Bagian Keempat

Penciutan Wilayah Izin Usaha Pertambangan Pasal 64

(1) Pemegang IUP eksplorasi sewaktu-waktu dapat mengajukan

permohonan kepada bupatii untuk menciutkan sebagian atau mengembalikan seluruh WIUP.

(2) Pemegang IUP sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dalam melaksanakan penciutan atau pengembalian WIUP sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus menyerahkan:

a. Laporan, data dan informasi penciutan atau pengembalian yang berisikan semua penemuan teknis dan geologis yang diperoleh pada wilayah yang akan diciutkan dan alasan penciutan atau pengembalian serta data lapangan hasil kegiatan;

b. Peta wilayah penciutan atau pengembalian beserta

koordinatnya;

c. Bukti pembayaran kewajiban keuangan;

d. Laporan kegiatan sesuai status tahapan terakhir; dan

e. Laporan pelaksanaan reklamasi pada wilayah yang diciutkan atau dilepaskan.

Pasal 65

(1) Pemegang IUP eksplorasi mempunyai kewajiban untuk

melepaskan WIUP dengan ketentuan: a. Untuk IUP mineral logam:

1. Pada tahun keempat wilayah eksplorasi yang dapat dipertahankan paling banyak 50.000 (lima puluh ribu) hektar; dan

2. Pada tahun kedelapan atau pada akhir iup eksplorasi saat peningkatan menjadi iup operasi produksi wilayah yang dipertahankan paling banyak 25.000 (dua puluh lima ribu) hektar.

(43)

b. Untuk IUP batubara:

1. Pada tahun keempat wilayah eksplorasi yang dapat dipertahankan paling banyak 25.000 (dua puluh lima ribu) hektar; dan

2. Pada tahun ketujuh atau pada akhir iup eksplorasi saat peningkatan menjadi iup operasi produksi wilayah yang dipertahankan paling banyak 15.000 (lima belas ribu) hektar.

c. Untuk IUP mineral bukan logam:

1. Pada tahun kedua wilayah eksplorasi yang dapat

dipertahankan paling banyak 12.500 (dua belas ribu lima ratus) hektar; dan

2. Pada tahun ketiga atau pada akhir iup eksplorasi saat peningkatan menjadi iup operasi produksi wilayah yang dipertahankan paling banyak 5.000 (lima ribu) hektar.

d. Untuk IUP mineral bukan logam jenis tertentu:

1. Pada tahun ketiga wilayah eksplorasi yang dapat

dipertahankan paling banyak 12.500 (dua belas ribu lima ratus) hektar; dan

2. Pada tahun ketujuh atau pada akhir iup eksplorasi saat peningkatan menjadi iup operasi produksi wilayah yang dipertahankan paling banyak 5.000 (lima ribu) hektar.

e. untuk IUP batuan:

1. Pada tahun kedua wilayah eksplorasi yang dapat

dipertahankan paling banyak 2.500 (dua ribu lima ratus) hektar; dan

2. Pada tahun ketiga atau pada akhir tahap eksplorasi saat peningkatan menjadi IUP operasi produksi wilayah yang dipertahankan paling banyak 1.000 (seribu) hektar.

Apabila luas wilayah maksimum yang dipertahankan sudah dicapai sebagaimana dimaksud pada ayat (1), pemegang IUP eksplorasi tidak diwajibkan lagi menciutkan wilayah.

(44)

Bagian Kelima

Penghentian Sementara Kegiatan Usaha Pertambangan Pasal 66

(1) Kegiatan usaha pertambangan dapat dilakukan penghentian sementara apabila terjadi:

a. Keadaan kahar;

b. Keadaan yang menghalangi; dan/atau c. Kondisi daya dukung lingkungan.

(2) Penghentian sementara kegiatan usaha pertambangan

sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak mengurangi masa berlaku IUP.

(3) Dalam hal terjadi keadaan sebagaimana dimaksud pada a yat (1) huruf a dan huruf b, penghentian sementara dilakukan oleh Bupati berdasarkan permohonan dari pemegang IUP.

(4) Dalam hal terjadi keadaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf c, penghentian sementara dilakukan oleh :

a. Inspektur tambang;

b. Bupati berdasarkan permohonan dari masyarakat. Pasal 67

(1) Penghentian sementara karena keadaan kahar sebagaimana

dimaksud dalam Pasal 53 ayat (1) huruf a harus diajukan oleh pemegang IUP dalam jangka waktu paling lambat 14 (empat belas) hari kalender sejak terjadinya keadaan kahar kepada bupati untuk memperoleh persetujuan.

(2) Penghentian sementara sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diberikan untuk jangka waktu paling lama 1 (satu) tahun dan dapat diperpanjang 1 (satu) kali.

(3) Penghentian sementara karena keadaan yang menghalangi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 53 ayat (1) huruf b diberikan 1 (satu) kali dengan jangka waktu 1 (satu) tahun dan dapat diperpanjang 1 (satu) kali dengan jangka waktu 1 (satu) tahun pada setiap tahapan kegiatan dengan persetujuan bupati.

(45)

(4) Apabila jangka waktu penghentian sementara sebagaimana dimaksud pada ayat (3) telah berakhir, dapat diberikan perpanjangan jangka waktu penghentian sementara dalam hal terkait perizinan dari instansi lain.

Pasal 68

Permohonan perpanjangan penghentian sementara sebagaimana dimaksud dalam Pasal 54 ayat {3) diajukan secara tertulis dalam jangka waktu paling lambat 30 (tiga puluh) hari kalender sebelum

berakhirnya izin penghentian sementara. Pasal 69

(1) Pemegang IUP yang telah diberikan persetujuan penghentian sementara dikarenakan keadaan kahar sebagaimana dimaksud dalam Pasal 53 ayat (1) huruf a, tidak mempunyai kewajiban untuk memenuhi kewajiban keuangan sesuai dengan ketentuan peraturan perundangundangan.

(2) Pemegang IUP yang telah diberikan persetujuan penghentian sementara dikarenakan keadaan yang menghalangi dan/atau kondisi daya dukung lingkungan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 53 ayat (1) huruf b, dan huruf c wajib:

a. Menyampaikan laporan kepada Bupati; b. Memenuhi kewajiban keuangan; dan

c. Tetap melaksanakan pengelolaan lingkungan, keselamatan dan kesehatan kerja, serta pemantauan lingkungan.

Pasal 70

4

Persetujuan penghentian sementara berakhir karena: a. Habis masa berlakunya; atau

(46)

Pasal 71

Dalam hal jangka waktu yang ditentukan dalam pemberian persetujuan penghentian sementara telah habis dan tidak diajukan permohonan perpanjangan atau permohonan perpanjangan tidak disetujui, penghentian sementara tersebut berakhir.

Pasal 72

/J) Apabila kurun waktu penghentian sementara belum berakhir dan pemegang IUP sudah siap untuk melakukan kegiatan operasinya

kembali, dapat mengajukan permohonan pencabutan

penghentian sementara kepada bupati.

(2) Berdasarkan permohonan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) bupati menyatakan pengakhiran penghentian sementara.

Pasal 73

Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara penghentian sementara kegiatan usaha pertambangan diatur dalam peraturan perundang- undangan yang berlaku.

Bagian Keenam

Berakhirnya Izin Usaha Pertambangan Pasal 74

(1) Izin Usaha Pertambangan berakhir karena: a. Dikembalikan;

b. Dicabut; atau

c. Habis masa berlakunya.

(2) Pemegang IUP dapat menyerahkan kembali IUP secara tertulis kepada bupati disertai dengan alasan yang jelas.

(3) Pengembalian IUP sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dinyatakan sah setelah disetujui bupati.

(4) IUP dicabut apabila pemegang IUP:

a. Pemegang IUP tidak memenuhi kewajiban yang ditetapkan dalam IUP dan peraturan perundang- undangan;

(47)

b. Pemegang IUP melakukan tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2009 dan/atau Peraturan Daerah ini; atau

c. Pemegang IUP dinyatakan pailit.

(5) Pemegang IUP yang IUP-nya berakhir karena alasan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf c, wajib memenuhi dan menyelesaikan kewajiban sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.

(6) Kewajiban pemegang IUP sebagaimana dimaksud pada ayat (5) dianggap telah dipenuhi setelah mendapat persetujuan dari Bupati.

Pasal 75

IUP dinyatakan berakhir apabila pemegang IUP tidak mengajukan

permohonan peningkatan atau perpanjangan tahap kegiatan

dan/atau permohonan peningkatan atau perpanjangan tidak memenuhi persyaratan;

BAB VI

HAK DAN KEWAJIBAN PEMEGANG IZIN USAHA PERTAMBANGAN Bagian Kesatu

Hak Pemegang IUP Pasal 76

(1) Pemegang IUP berhak untuk melakukan sebagian atau seluruh tahapan usaha pertambangan, baik kegiatan eksplorasi maupun kegiatan operasi produksi sesuai dengan IUP yang dimiliki.

(2) Pemegang IUP dapat memanfaatkan prasarana dan sarana umum untuk keperluan pertambangan setelah memenuhi ketentuan peraturan perundang-undangan.

(3) Pemegang IUP berhak memiliki mineral, termasuk mineral ikutannya atau batubara yang telah diproduksi apabila telah memenuhi iuran eksplorasi atau iuran produksi, kecuali mineral ikutan radioaktif.

Referensi

Dokumen terkait

1) Timbulnya suatu penyakit menular tertentu yang sebelumnya tidak ada atau tidak dikenal pada suatu daerah 2) Peningkatan kejadian kesakitan terus-menerus selama 3

Selain itu, hasil diameter zona hambat pada kelompok perlakuan yang belum dapat melampaui kontrol positif pada penelitian ini kemungkinan juga disebabkan karena

Karena di dalam Pasal 28D ayat (2) dan (3) UUD 1945 bahwa setiap warga negara mempunyai hak untuk bekerja serta mendapatkan imbalan dan perlakuan adil dan layak dalam

Walaupun asas kajian yang dilakukan adalah tertumpu kepada pengusaha penjaja makanan ( hawker ), namun secara tidak langsung ia mempunyai perkaitan dalam industri makanan di

Sedangkan cakupan KB baru paling tinggi pada Kelurahan Tebet Timur yakni 9 % dari PUS dan yang paling rendah pada Kelurahan Kebon Baru yakni 3,6 % dari PUS.. Sebagaimana diketahui

Abstrak: Tujuan dari penelitian ini, adalah untuk meninjau efektivitas penggunaan model pembelajaran CUPs (Conceptual Understanding Procedures) terhadap kemampuan

6 keputusan pembelian yang rendah; (e) Pengaruh kualitas produk terhadap keputusan pembelian berdasarkan penelitian menunjukkan bahwa kedua variabel tersebut terdapat

yang tua ke muda, adalah Satuan Batulempung sisipan Batupasir (Formasi Subang) yang berumur Miosen Akhir (N15– N17) dan di endapkan pada lingkungan laut dangkal