PEMANFAATAN PETA HARI TANPA HUJAN GUNA
DETEKSI DINI KEBAKARAN HUTAN
DI OGAN KOMERING ILIR, SUMATERA SELATAN
Dyni Frina Meisda(1), Widada Sulistya(2), Dede Tarmana(3)Sekolah Tinggi Meteorologi Klimatologi dan Geofisika(1) Badan Meteorologi Klimatologi dan Geofisika(2,3)
Email: dynifm08@gmail.com
Abstrak
Kebakaran hutan di Indonesia terjadi hampir setiap tahun. Di Provinsi Sumatera Selatan kebakaran hutan terjadi selama periode kering. HTH (Hari Tanpa Hujan) erat kaitannya dengan kejadian kekeringan, mengingat kekeringan biasanya terjadi karena tidak adanya hujan atau kurangnya curah hujan di suatu wilayah. Penelitian ini bertujuan untuk melakukan kajian mengenai deteksi dini kebakaran hutan menggunakan peta HTH. Data yang digunakan adalah data curah hujan harian setiap kabupaten Ogan Komering Ilir (OKI) dan data titik panas MODIS Aqua– Terra selama periode tahun 2005–2014. Batasan HTH yang digunakan yaitu curah hujan <1 mm, <5 mm, <10 mm, dan <15 mm. Analisis dilakukan dengan mencari karakteristik HTH dan titik panas di setiap kabupaten/kota. Selanjutnya dengan metode regresi logistik biner dapat ditentukan peluang kemunculan titik panas dengan suatu nilai ambang batas jumlah HTH. Hasil yang diperoleh bahwa kriteria HTH dan kriteria titik panas di kabupaten OKI terjadi pada waktu yang bersamaan, yaitu bulan September. Batasan peluang yang digunakan sebagai penentuan nilai ambang batas hari tanpa hujan terhadap kemunculan titik panas sebesar 0,8 dengan batasan curah hujan yang didefinisikan sebagai HTH adalah curah hujan kurang dari 1 mm. Di kabupaten OKI, kemunculan titik panas terjadi ketika jumlah HTH berkisar antara 25-30 hari. Dapat diartikan bahwa saat jumlah HTH di kabupaten OKI mencapai nilai di atas 25 hari, maka perlu diwaspadai kemunculan titik panas di wilayah tersebut.
Kata Kunci: HTH, titik panas, peluang, regresi logistik biner
Abstract
Forest fires occur in Indonesia almost every year. In the province of South Sumatera, forest fires occur during dry periods. CDD (Consecutive Dry Days) is closely related to the incidence of drought, given the drought usually occurs in the absence of rain or the lack of rainfall in a region. This research aimed to conduct a study on the threshold of CDD to the occurrence of hot spot. The data used are daily rainfall data each district/city in the Province of South Sumatera and hot spot data MODIS Aqua–Terra during the period 2005–2014. CDD limitations used are precipitation <1 mm, <5 mm, <10 mm and <15 mm. The analysis is conducted by looking for CDD characteristics and hot spots in each district/city. Furthermore, the method can be specified by binary logistic regression odds emergence of hot spots with a threshold value CDD number. The results show that the criteria of CDD achieve maximum value in the period of the dry season, that is July to September. CDD criteria and criteria of hot spots in the district of Ogan Komering Ilir (OKI) occur at the similar time, the month of September. Limits the opportunities which are used as a determination threshold value days without rain to the emergence of hot spots at 0.8 with restrictions rainfall is defined as rainfall HTH is less than 1 mm. In the district of OIC, the emergence of hot spots occur when the amount of HTH ranges from 25-30 days. It is able to mean
that the current number of CDD in OKI regency reached a value above 25 days, it is necessary to watch out for the appearance of hot spots in the region.
Keywords: CDD, hot spots, odds, binary logistic regression
1. PENDAHULUAN
Kebakaran hutan menurut Keputusan Menteri Kehutanan No. 195/Kpts˗II/1986 adalah suatu keadaan di mana hutan dilanda api sehingga mengakibatkan kerusakan hutan dan/atau hasil hutan yang menimbulkan kerugian ekonomis dan/atau nilai lingkungan. Menurut Rasyid (2014), kebakaran hutan dan lahan terjadi disebabkan oleh 2 (dua) faktor utama yaitu faktor alami dan faktor kegiatan manusia yang tidak terkontrol. Faktor alami antara lain oleh pengaruh El˗Nino yang menyebabkan kemarau berkepanjangan dan faktor kegiatan manusia yaitu pembukaan lahan dengan cara tebang˗tebas˗bakar yang tidak terkontrol dan pembakaran secara disengaja untuk mendapatkan tempat berburu.
Provinsi Sumatera Selatan dalam skala nasional merupakan salah satu daerah yang sangat rawan terjadi kebakaran hutan dan lahan, karena selalu dipastikan terjadi kebakaran yang sangat parah pada setiap tahun˗tahun kritis kebakaran lahan dan hutan yang terjadi Indonesia (Hasanuddin, 2004). Anderson et. al., (1999) dalam Solichin (2004) melakukan analisa data NOAA hotspot periode tahun 1996-1999 dan mengidentifikasi 7 zona kebakaran di Sumatera. Dua zona kebakaran terletak di Propinsi Sumatera Selatan, yaitu di Kecamatan Tulung Selapan Kabupaten Ogan komering Ilir dan di Kecamatan Muara Rumpit Kabupaten Musi Rawas.
Curah hujan berpengaruh terhadap kelembaban bahan bakar. Septicorini (2006) memaparkan bahwa apabila curah hujan tinggi maka kelembaban bahan bakar di dalam hutan juga akan tinggi sehingga menyulitkan terjadinya kebakaran. Soares dan Sampaio dalam Susanty (2009) menjelaskan bahwa curah hujan merupakan
unsur iklim yang memiliki korelasi yang tinggi dengan kejadian kebakan hutan dan merupakan faktor yang paling penting dalam menentukan akumulasi bahan bakar rerumputan. Raharja (2014) menjelaskan bahwa puncak curah hujan tertinggi (maksimum) di Provinsi Sumatera Selatan terjadi pada bulan Desember di beberapa wilayah serta pada bulan Januari dan Maret di wilayah lainnya sedangkan curah hujan terendah (minimum) biasa terjadi pada bulan Juni dibeberapa wilayah dan pada bulan Juli hingga September di beberapa wilayah lain di Provinsi Sumatera Selatan.
Titik panas atau hotspot merupakan indikator kebakaran hutan yang mendeteksi suatu lokasi yang memiliki suhu relatif tinggi dibandingkan suhu disekitarnya (Pasal 1 angka 9 Permenhut No. P 12/Menhut˗II/ 2009). Pada awalnya titik panas diidentikan dengan titik api, namun kenyataannya tidak semua titik panas mengiidikasikan adanya titik api. Cara untuk mendeteksi kebakaran hutan dan lahan adalah dengan melakukan pengamatan terhadap jumlah dan sebaran titik panas.
Musim kemarau yang diketahui dengan rendahnya rata˗rata curah hujan bulanan berpengaruh terhadap jumlah titik panas. Semakin kering suatu daerah maka titik panas akan meningkat dan sebaliknya (Solichin, 2004). Tingginya jumlah titik panas pada musim kering dapat menunjukkan adanya hubungan bahwa pada bulan–bulan kering memiliki potensi sebagai penghasil titik panas. Pada bulan–bulan itu juga biasanya kebakaran hutan dan lahan sering terjadi (Septicorini, 2006).
Hari Tanpa Hujan (HTH) adalah panjang maksimum dari hari tanpa hujan berturut˗turut dengan RR<1mm, di mana
RRij adalah jumlah presipitasi/curah hujan per hari˗i dalam periode˗j, kemudian dihitung jumlah terbesar hari tanpa hujan berturut˗turut.
Tujuan penelitian ini adalah dapat mengetahui kriteria titik panas yang terjadi di
kabupaten OKI dan kriteria hari tanpa hujan serta mencari nilai ambang baas hari tanpa hujan guna deteksi dini kebakaran hutan di wilayah tetsebut.
2. DATA DAN METODE
Ada 5 (lima) metode dalam analisis penelitian ini, metode yang digunakan diantaranya adalah sebagai berikut:
1) Penentuan Hari Tanpa Hujan (HTH) Penentuan HTH dilakukan dengan mencari jumlah kejadian HTH sebagai berikut:
a. Menentukan batasan curah hujan yang didefinisikan sebagai Hari Tanpa Hujan menjadi 4 kriteria yaitu, curah hujan <1 milimeter, curah hujan <5 milimeter, curah hujan <10 milimeter dan curah hujan <15 milimeter.
b. Menghitung jumlah HTH tiap dasarian setiap tahunnya berdasarkan 4 model HTH di atas dan mencari median dari jumlah HTH sepanjang periode data sepuluh tahun setiap titik pos hujan utama. 𝑀𝑒𝑑𝑖𝑎𝑛 =1 2(𝑥(𝑛 2) + 𝑥(𝑛 2+1) ) Keterangan: x = nilai data
n = jumlah data (10 Tahun) 2) Penentuan Titik Panas
Analisis titik panas dilakukan dengan cara menjumlahkan kejadian titik panas yang terjadi pada setiap bagian wilayah di Provinsi Sumatera Selatan selama periode 10 tahun. Nilai titik panas yang digunakan adalah titik panas dengan tingkat kepercayaan ≥80. Penelitian sebelumnya yang dilakukan Zubaidah, dkk (2014) menggunakan tingkat kepercayaan 80% pada data MODIS dari
Indofire.
𝑇𝑖𝑡𝑖𝑘 𝑃𝑎𝑛𝑎𝑠 = ∑ 𝑇𝑖𝑡𝑖𝑘 𝑃𝑎𝑛𝑎𝑠𝑖 𝑛
𝑖 =1 Keterangan:
n = jumlah titik panas tiap tahun 3) Penentuan Nilai Ambang Batas
Metode regresi logistik biner dilakukan untuk melihat nilai ambang batas HTH terhadap kejadian kebakaran hutan yang diinterpretasikan dengan jumlah titik panas yang terjadi di kabupaten OKI. Dari hasil regresi logistik biner akan terlihat peluang kemunculan titik panas berdasarkan jumlah HTH pada suatu nilai batas yang pada akhirnya dapat dijadikan nilai ambang batas.
Regresi logistik biner merupakan suatu metode analisis data yang digunakan untuk mencari hubungan antara variabel respon (y) yang bersifat biner atau dikotomus dengan variabel prediktor (x) yang bersifat
polikotomus (Hosmer dan Lemeshow, 2000). Persamaan logistik adalah:
𝑃̂ = exp(𝑏0+ 𝑏1𝑥) 1 + exp(𝑏0+ 𝑏1𝑥) Keterangan:
𝑃̂ = peluang regresi logistik
x = prediktor
𝑏0, 𝑏1 = koefisien regresi 4) Verifikasi
Verifikasi dilakukan dengan tujuan memastikan bahwa produksi seperti hasil prakiraan akurat dari sudut pandang teknis (WMO, 2000). Metode yang digunakan adalah metode dikotomi menggunakan Tabel Kontingensi. Nilai akurasi suatu prakiraan dinyatakan dalam presentase istilah “Sesuai Prakiraan” dan “Menyimpang Prakiraan”. Misal 𝑥𝑖 dan 𝑦𝑖 adalah pasangan prakiraan
dan observasi untuk i = 1, 2, …, k dan k = banyak kategori. Jika {𝑥𝑖, 𝑦𝑖} adalah series pasangan prediksi dan observasi maka dapat dibentuk tabel kontingensi untuk setiap pasangan 𝑥𝑖, 𝑦𝑖. Jumlah pasangan 𝑥𝑖, 𝑦𝑖 dinyatakan dalam notasi 𝑛𝑖𝑗 (BMKG, 2012).
Diagram alir kerja menjelaskan proses yang dilakukan dalam penelitian mulai dari proses awal hingga memperoleh kesimpulan. Adapun penjelasan secara rinci sebagai berikut:
1) Data curah hujan harian tiap kabupaten selama periode tahun 2005˗2014 diolah untuk mendapatkan kriteria HTH dengan
batasan curah hujan <1 mm, <5 mm, <10 mm dan <15 mm,.
2) Menghitung jumlah data titik panas yang terdapat di kabupaten OKI selama periode tahun 2005˗2014. Data titik panas yang dihitung yaitu titik panas dengan tingkat kepercayaan ≥80.
3) Mencari hubungan HTH dengan jumlah titik panas dengan beberapa model peluang yang dihasilkan oleh metode regresi logistik biner.
4) Melakukan verifikasi terhadap nilai ambang batas HTH terhadap kejadian kemunculan titik panas di kabupaten OKI.
5) Mencari nilai ambang batas nilai HTH terhadap jumlah titik panas. 3. HASIL DAN PEMBAHASAN
a. Kriteria Titik Panas
Selama periode 10 tahun (2005-2014) diperoleh data titik panas di kabupaten OKI yang diindikasikan sebagai kebakaran hutan. Selama periode tersebut, dapat dihitung jumlah titik panas dan kriteria kemunculan titik panas di wilayah tersebut.
Jumlah titik panas di kabupaten OKI mengalami fluktuasi setiap dasariannya. Pada
bulan Januari hingga Juli, jumlah titik panas sangat sedikit dan meningkat secara signifikan pada bulan Agustus. Jumlah titik panas mencapai puncaknya pada bulan September dasarian 3 dan mengalami penurunan jumlah secara signifikan pada bulan November dasarian 3 (Gambar 1)
b. Kriteria Hari Tanpa Hujan
Kriteria HTH di kabupaten OKI selama periode tahun 2005-2014 mengalami fluktuasi setiap dasariannya. Kriteria HTH diperoleh dengan mencari median dari hari tanpa hujan setiap dasarian selama periode pengamatan.
Kriteria HTH di kabupaten OKI mengalami fluktuasi pada setiap dasarian. Pada bulan November hingga April, HTH cenderung berada pada klasifikasi sangat
pendek (1-5 hari). Pada bulan Mei dan Juni, klasifikasi HTH meningkat menjadi pendek (6-10 hari). Memasuki bulan Juli hingga September, kriteria HTH berada dalam klasifikasi menegah (11-20 hari) dan mencapai puncaknya pada September dasarian 1 yaitu selama 20 hari dan kembali menurun pada bulan Oktober dengan klasifikasi pendek seperti terlihat pada gambar 2.
Gambar 2. Klasifikasi Hari Tanpa Hujan di Kabupaten OKI Tahun 2005-2014
Merujuk paparan pada poin a dan poin b, dapat diketahui bahwa kriteria HTH dan kriteria titik panas di kabupaten OKI mencapai nilai tertinggi terjadi pada waktu yang bersamaan, yaitu bulan September. Hal ini dapat diartikan bahwa terdapat hubungan antara HTH dan titik panas.
Periode kering di kabupaten OKI dapat diidentifikasi melalui jumlah HTH yang semakin besar dan juga periode kering memiliki potensi untuk menghasilkan titik panas. Selain itu pada periode kering, bulan Juli hingga September merupakan bulan yang biasa terjadi kebakaran hutan dan lahan setiap tahunnya hal ini sejalan dengan teori yang dikemukakan Chen, dkk (2014) bahwa semakin panjang periode hari tanpa hujan, semakin kering pula bahan bakar dan
semakin mempercepat proses kebakaran bahan bakar tersebut.
c. Penentuan Nilai Ambang Batas Penentuan nilai ambang batas hari tanpa hujan terhadap kemunculan titik panas dimulai dengan menghitung peluang kemunculan titik panas yang dihasilkan melalui metode regresi logistik biner pada setiap kriteria HTH berdasarkan batasan curah hujan minimum. Nilai verifikasi terbaik yang dihitung pada 12 kabupaten/kota di Provinsi Sumatera Selatan terdapat pada model peluang 0,8 dengan nilai verifikasi selalu diatas 40%. Batasan curah hujan yang didefinisikan sebagai HTH adalah curah hujan <1 mm. Selanjutnya nilai ambang batas peluang 0,8 tersebut
dijadikan batasan penentuan kemunculan titik panas pada kabupaten OKI kemudian dihubungkan dengan jumlah
HTH untuk menentukan nilai ambang HTH-nya.
Tabel 1. Nilai Verifikasi
HTH Peluang 0.5 0.6 0.7 0.8 <1 mm 19% 24% 13% 44% <5 mm 25% 17% 16% 42% <10 mm 26% 19% 13% 41% <15 mm 21% 19% 14% 46%
Pada kabupaten OKI, hubungan yang linear antara peluang kemunculan titik panas dengan jumlah HTH dapat di jelaskan melalui Gambar 3. Gambar di bawah dapat menunjukan bahwa peluang maksimum muculnya titik panas sebesar 0.99 terjadi saat HTH berjumlah di atas 60 hari sedangkan
untuk peluang kemunculan titik panas pada nilai ambang batas terjadi ketika jumlah HTH berkisar antara 25–30 hari. Dapat diartikan bahwa saat jumlah HTH di kabupaten OKI mencapai nilai di atas 25 hari, maka perlu diwaspadai kemunculan titik panas di wilayah tersebut.
Gambar 4. Hubungan Peluang Titik Panas dengan HTH di Kabupaten OKI
4. KESIMPULAN
Kriteria titik panas dan kriteria HTH di kabupaten OKI mencapai nilai maksimum terjadi pada waktu yang bersamaan yaitu pada bulan September (periode kering). Hal ini dapat menunjukan adanya hubungan antara kemunculan titik panas dengan jumlah HTH di suatu wilayah.
Batasan peluang yang digunakan sebagai penentuan nilai ambang batas hari
tanpa hujan terhadap kemunculan titik panas sebesar 0,8 dengan batasan curah hujan yang didefinisikan sebagai HTH adalah curah hujan kurang dari 1 mm. Di kabupaten OKI, kemunculan titik panas terjadi ketika jumlah HTH berkisar antara 25-30 hari. Dapat diartikan bahwa saat jumlah HTH di kabupaten OKI mencapai nilai di atas 25 hari, maka perlu diwaspadai kemunculan titik panas di wilayah tersebut.
Badan Meteorologi Klimatologi dan Geofisika. 2012. Buku Verifikasi Prakiraan Iklim Indonesia. BMKG, Jakarta.
Chen, F., Fan, Zhaofei., Niu, S., dan Zheng, J., 2014, The Influence of Precipitation and Consecutive Dry Days on Burned Areas in Yunnan Province, Southwestern China,
Advances in Meteorology, Hindawi Publishing Corporation.
Hasanuddin, 2004, Perspektif Pemerintah
terhadap Masalah Kebakaran
Berkaitan dengan Kehidupan
Masyarakat di Areal Rawa/Gambut,
Prosiding Semiloka, Center for
International Forestry Research, Bogor.
Hosmer, D.W. dan Lemeshow, S, 2000, Applied Logistic Regression, John Wiley and Sons, New York.
Kementrian Kehutanan, Keputusan Menteri Kehutanan No.195/Kpts˗II/1986 tentang Petunjuk tentang Pemadaman Kebakaran Hutan dipandang perlu untuk menetapkan Petunjuk Teknis Pemadaman Kebakaran Hutan.
Kementrian Kehutanan, Peraturan Menteri Kehutanan No. P.12/Menhut˗II/2009 Tentang Pengendalian Kebakaran Hutan. Kementrian Kehutanan, 2013, Profil
Kehutanan 33 Provinsi, Kemenhut, Jakarta.
Mathugama, S.C. Peiris, 2011, Critical Evaluation of Dry Spell Research,
International Journal of Basic & Applied Sciences IJBAS˗IJENS,
Vol. 11 No. 06. IJENS Haider Road, Pakistan.
Raharja, Adyaksa B., 2014, Analisis Curah Hujan Bulanan Di Sumatera Selatan dan Kaitannya Dengan Indeks Monsun Indonesia, Skripsi,
Klimatologi, STMKG, Tangerang. Rasyid, Fachmi, 2014, Permasalahan dan
Dampak Kebakaran Hutan, Jurnal Lingkar Widyaiswara, Edisi 1 No.4 PP 47˗59, Pusdiklat Lingkungan Hidup, Banten.
Septicorini, E.P., 2006, Studi Penentuan Tingkat Kerawanan Kebakaran Hutan di Kabupaten Ogan Komering Ilir Provinsi Sumatera Selatan, Skripsi, Departemen Manajemen Hutan Fakultas Kehutanan, Institut Pertanian Bogor, Bogor.
Solichin, 2004, Hotspot Tidak Selalu Titik Kebakaran (Mengenal Hotspot Bagian 1), South Sumatera Forest Fire Management Project
(SSFFMP) Newsletters Hotspot, Palembang.
Susanty, S.C., 2009, Potensi Kebakaran Hutan Di Taman Nasional Gunung Gede Pangrango Berdasarkan Curah Hujan Dan Sumber Api, Skripsi, Departemen Silvikultur Fakultas Kehutanan, Institut Pertanian Bogor, Bogor.
World Meteorological Organization. 2000.
Guidelines on Performance Assessment of Public Weather Services. WMO/TD No. 1023. Geneva.