PERBEDAAN SIKAP WANITA MENIKAH TERHADAP POLIGAMI DITINJAU DARI TINGKAT PENDIDIKAN
Skripsi
Diajukan Untuk Memenuhi Salah Satu Syarat
Memperoleh Gelar Sarjana Psikologi
Program Studi Psikologi
Oleh:
PRISCILIA THEA NOVENA 029114015
JURUSAN PSIKOLOGI PROGRAM STUDI PSIKOLOGI FAKULTAS PSIKOLOGI
UNIVERSITAS SANATA DHARMA YOGYAKARTA
PERNYATAAN KEASLIAN KARYA
Saya menyatakan dengan sesungguhnya bahwa skripsi yang saya tulis
ini tidak memuat karya atau bagian karya orang lain kecuali yang telah disebutkan
dalam kutipan dan daftar pustaka, sebagaimana layaknya karya ilmiah.
Yogyakarta,
Penulis
Kau membentuk hidupku dari dalam rahim ibuku Kau mengenal hatiku
lebih dari yang aku tahu
Kau siapkan diriku Tuhan
Tuk nyatakan sgala rancanganMu bagiku….
Kunyanyikan…keindahanMu Tuhan atas kebaikanMu dalam hidupku… Kunantikan…keajaibanMu Tuhan
yang pasti kan terjadi di dalam hidupku
Sbab itu ku memuji namaMU…..
“ Tetapi aku mau menyanyikan kekuatanMu
Pada waktu pagi aku mau bersorak sorai
Sssh……suatu bisikan
Gema yang lembut, tetapi….. Oh…, begitu jelas
Perempuan itu berkata
Hari-hari yang berirama pun… Berhenti lalu mendengarkan Dalam nalurinya…
Menjadi kehidupan….. Ibuku,…….
Saudara perempuanku,…. Diriku sendiri,…..
Perempuan penuh misteri dan kelembutan Perempuan itu memasuki
Keberadaan yang satu dan yang lain sama Yang membuat utuh dan penuh
Jiwa yang bijak
“Damn..!!” laki-laki berkata “Kelembutan pergilah..!!
Layanilah,…kebutuhanku yang menggebu… Masaklah dan cucilah pakaianku
Tetapi jangan sampai orang lain tahu.. Bohonglah….dan cintailah aku saja…!!” Laki-laki itu tertidur
Kebenaran mengalir…..dari bibirnya,..ia berkata… “Kekuasaanku dapat menutupi kelemahanku”
“Kekerasanku dapat menyembunyikan rasa maluku” Suatu kedipan atau cahaya,….
Sebuah tangisan..? Sebuah senyuman…? Perempuan itu tahu dan membawa,.. Kedamaian…!!!
Karya kecil ini
kupersembahkan untuk..
¤ Tuhan Yesus Kristus…Terang dari segala terang
¤ Bunda Maria…yang selalu setia mendampingi dan
menguatkan aku
¤ Papa dan mama…cinta terbesar dalam hidup aku
¤ Mba Lia & de Theo…Kasih terindah dalam hidup aku
¤ Wedhasmara…partner sejati dalam setiap proses menuju cita &
cinta
dan untuk semua perempuan di dunia ini…..
LEMBAR PERNYATAAN PERSETUJUAN
PUBLIKASI KARYA ILMIAH UNTUK KEPENTINGAN AKADEMIS
Yang bertanda tangan di bawah ini, saya mahasiswa Universitas Sanata Dharma : Nama : Priscilia Thea Novena
Nomor Mahasiswa : 029114015
Demi pengembangan ilmu pengetahuan, saya memberikan kepada Perpustakaan Universitas Sanata Dharma karya ilmiah saya yang berjudul:
Perbedaan Sikap Wanita Menikah Terhadap Poligami Ditinjau Dari Tingkat Pendidikan beserta perangkat yang diperlukan (bila ada). Dengan demikian saya memberikan kepada Perpustakaan Universitas Sanata Dharma hak untuk menyimpan, mengalihkan dalam bentuk media lain, mengelolanya dalam bentuk pangkalan data, mendistribusikan secara terbatas, dan mempublikasikannya di Internet atau media lain untuk kepentingan akademis tanpa perlu meminta ijin dari saya maupun memberikan royalti kepada saya selama tetap mencantumkan nama saya sebagai penulis.
Demikian pernyataan ini yang saya buat dengan sebenarnya. Dibuat di Yogyakarta
Pada tanggal : 28 Februari 2008 Yang menyatakan
PERBEDAAN SIKAP WANITA MENIKAH TERHADAP
POLIGAMI DITINJAU DARI TINGKAT PENDIDIKAN
Priscilia Thea Novena 029114015 Fakultas Psikologi Universitas Sanata Dharma
Yogyakarta
Tujuan dari penelitian ini adalah untuk melihat perbedaan sikap wanita menikah terhadap poligami ditinjau dari tingkat pendidikan. Penelitian ini merupakan penelitian perbandingan. Hipotesis yang diajukan dalam penelitian ini adalah ada perbedaan sikap yang signifikan pada wanita menikah terhadap poligami ditinjau dari tingkat pendidikan, dimana wanita menikah dengan tingkat pendidikan lebih tinggi cenderung memiliki sikap yang lebih negatif terhadap poligami, demikian sebaliknya.
Subjek dalam penelitian ini terdiri dari 20 wanita menikah dengan tingkat pendidikan tinggi, 20 wanita menikah dengan tingkat pendidikan menengah, dan 20 wanita menikah dengan tingkat pendidikan dasar. Data diperoleh dengan menggunakan skala sikap terhadap poligami. Daya diskriminasi skala menggunakan batas nilai ≥ 0,3 dengan koefisien reliabilitas sebesar 0,978. Data penelitian dianalisis menggunakan One Way Anova, dan dalam menentukan diterima atau ditolaknya hipotesis, dilakukan dengan cara melihat besar F hitung dan signifikansinya.
THE ATTITUDE DIFFERENCES OF MARRIED WOMEN TO
POLYGAMY AS OBSERVED FROM EDUCATIONAL LEVEL
Priscilia Thea Novena 029114015 Faculty of Psychology Sanata Dharma University
Yogyakarta
The purpose of this research was to see the differences of attitude of married women to polygamy as observed from educational level. This research was a comparison research. The Hypothesis of this research was there were some significant differences on the attitude of married women to polygamy as observed from educational level, where the high educated married women tend had more negative sense of attitude to polygamy, vice versa.
The subject in this research contains of 20 married women with high education, 20 married women with medium-education, and 20 married women with low education. The data were collected using attitude to polygamy scale. Discrimination scale power was limited in ≥ 0,3 with the reliability coefficient 0,978. The research data is measured using One Way Anova, and to determine whether hypothesis could be accepted or unaccepted, it was done by sawing the value of F-count and its significance.
KATA PENGANTAR
Puji syukur pada Tuhan Yesus Kristus yang telah memberikan
tuntunan, penyertaan, dan kasihNya kepada penulis sehingga penulis dapat
menyelesaikan tugas akhir ini. Skripsi ini disusun untuk memenuhi salah satu
syarat untuk memperoleh gelas sarjana Psikologi Universitas Sanata Dharma
Yogyakarta.
Penulis menyadari keterbatasan yang dimiliki penulis, sehingga
dengan bantuan dari berbagai pihaklah penulis dapat menyelesaikan penyusunan
skripsi ini. Oleh karena itu, penulis ingin mengucapkan terima kasih yang
sebesar-besarnya kepada :
1. Tuhan Yesus Kristus yang agung dan ajaib, terima kasih Yesus untuk
setiap langkah dan proses yang aku lalui. Jesus you are savior of my
soul !!... “Saat sinar kasihMu bertemu dengan derai kesedihanKu,
muncullah pelangi janjiMu ya Yesus”
2. Bapak Edy Suhartanto, S.Psi., M.Si selaku Dekan Fakultas Psikologi.
3. Ibu Sylvia Carolina MYM, S.Psi, M.Psi selaku Kepala Program Studi
Psikologi.
4. Ibu Titik Kristiyani, S.Psi selaku dosen pembimbing akademik. Terima
kasih atas bimbingan ibu selama saya menjadi mahasiswa di fakultas
psikologi Universitas Sanata Dharma.
5. Bapak C. Wijoyo Adinugroho, S.Psi & Ibu Tanti Arini, S.Psi M.Psi
6. Ibu Nimas Eki S, S.Psi, M.Si selaku dosen pembimbing skripsi.
Terima kasih atas kesabaran, perhatian, serta arahan yang senantiasa
ibu berikan sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi ini.
7. Bapak Y. Heri Widodo, S.Psi, M.Psi & Bapak Agung Santoso, S.Psi
yang selalu memberi kritikan, koreksi dan masukan sehingga penulis
mampu menyelesaikan skripsi dengan baik.
8. Mas Gandung, Mas Muji, Mas Doni & Mba Nanik yang telah
membantu dalam banyak hal dan memberi kemudahan bagi penulis
selama penulis belajar di fakultas psikologi ini.
9. Pak Gi…terima kasih banyak atas senyuman, ketulusan dan semangat
yang selalu bapak pancarkan di fakultas psikologi ini.
10. Bapak Budi Wiyono, selaku Kepala Desa Argomulyo, Kecamatan
Cangkringan, Sleman Yogyakarta, yang telah banyak membantu
penulis selama proses penulisan skripsi ini.
11. Ibu-ibu di Pedukuhan Kebur Lor dan Kidul Cangkringan Argomulyo
Sleman Yogyakarta, yang telah bersedia mengisi skala penelitian ini.
terima kasih banyak….
12. Papa & mama…terima kasih banyak untuk kasih sayang, cinta,
dukungan, pengertian…semuaanya…Bangga, seneng, puji syukur thea
bisa tumbuh di tengah keluarga ini.. Kasih mama papa banyak
mengajarkan thea untuk menerima tanpa syarat..Cintaaaa banget sama
13. Mbak Lia...terima kasih sudah menjadi kakak terbaikku! Bersama
kamu mengajarkan aku untuk melihat betapa kedewasaan dan
ketulusan hanya suatu pilihan dan kesadaran penuh untuk
belajar..Sayaang kamu mbak! muaach…
14. Adekku yang tampan…Theo…Makasiih banget udah jadi adek
sekaligus kakak untukku..Kedewasaanmu terkadang membuat aku
terperangah!! ☺ seriuss….Bersama kamu, kadang aku berasa jadi
kakak..tapi terkadang juga berasa jadi adek??...Proud of u!! muach…
15. Wedhasmara..sahabatku..saudaraku..partnerku..kekasihku..cintaku
(atau apalah namanya..buat aku ga penting..) makasiiiih bangeth!!
Hon, makasiiiih bangeth buat kebersamaan, pengertian, dukungan,
kritikan, masukan, koreksi, kasih, cinta,..semua..semuaanya..Hon,
kebersamaan kita mengajarkan aku untuk terus berusaha mencintai
dengan kebebasan..i ♥ u so much bujelku!! ☺
16. Bapak & Ibu Bambang Widjokongko…terima kasih banyak untuk
sambutan yang hangat, dukungan, doa serta perhatian om &
tante…Mengenal om & tante mengajarkan thea untuk selalu berusaha
menjadi lebih baik lagi…terima kasih …
17. Mas Uki Sadewa…terima kasih banyak atas persahabatan, doa dan
kasih yang hangat…Terima kasih sudah menunjukkan bahwa
psikologi adalah sebuah seni…Mengenal mas, membuat aku sadar
bahwa belajar psikologi bukan hanya memindahkan informasi dari satu
tersentuh...sistematis...ga berseni….Yang ada cuma hafalan lalu hilang
setelah tujuan didapat..(ups ??..) Yang jelas mengenal mas membuat
aku bergairah setiap bertemu individu dengan segala
keunikannya…Yah, ternyata hanya dengan hati yang penuh kasih kita
mampu memahami semua…Terima kasih banyak mas…sudah
mengajarkan thea banyak hal…Kasih Yesus beserta kita semua…
18. Saudara-saudaraku di Asta Mistika…Bujelku, Djenking, Nopex,
Aning, Wiwin, Mz.Nano’, Mz.Budi & Mz.Usman…Makasih banget
buat dukungan, kebersamaan juga doanya…Jangan pernah lelah untuk
selalu menengadah dan bersyukur... Nice to have friends like you !!
19. Sahabat-sahabatku yang cute2…Fista, Adjenk, Lita, Nopex, Mita,
Uciex, Ntrie, Lisna, Tanti, Lia juga Triza…
Makasih…makasiih…banget. Mengenal kalian, menyadarkan aku
untuk terus berproses..Semua sesi pertemuan yang kita lalui bareng
menyentuh & mendewasakan... Buat keceriaan, kegilaan, keluhan,
tangisan..ugh, full of colour bgt!! LoveUallGuys
20. Buat teman-teman seperjuangan…Fika, Galih, Cahya, Dewi, Echa,
dkk smua..teman-temanku satu bimbingan…hihihi…ada banyak rasa
yang kita alami yaa..Makasih buat support dan masukannya teman..
21. Ga lupa & ga kalah puenting…Mz. Harry ‘kiting’… Ga ada dirimu,
skripsi gw nggatung mas… Tengkyu banggets… Upahmu besar di
22. The last but not the least…semua teman2 angkatan 2002…( suka deh
sama kalian semua… ☻)
Penulis menyadari bahwa skripsi ini jauh dari kesempurnaan, oleh
karena itu dengan segenap kerendahan hati penulis menerima kritik dan saran
yang membangun untu menunjang kesempurnaan skripsi ini.
Yogyakarta,
Penulis
DAFTAR ISI
Halaman Judul... i
Halaman Persetujuan... ii
Halaman Pengesahan ... iii
Pernyataan Keaslian Karya ... iv
Halaman Motto ... v
Halaman Persembahan ... vii
Abstrak ... viii
Abstract ... ix
Kata Pengantar ... x
Daftar Isi ... xv
Daftar Tabel ... xix
Daftar Bagan ... xx
Daftar Lampiran ... xxi
BAB I. PENDAHULUAN ... 1
A. LATAR BELAKANG ... 1
B. RUMUSAN MASALAH ... 11
C. TUJUAN PENELITIAN... 11
D. MANFAAT PENELITIAN... 11
BAB II. KAJIAN PUSTAKA ... 13
1. Sikap... 13
a. Pengertian Sikap... 13
b. Komponen Sikap... 14
c. Faktor Pembentuk Sikap ... 16
2. Poligami ... 19
a. Pengertian Poligami ... 19
b. Motivasi dan Tujuan Poligami ... 20
c. Dampak Poligami terhadap Wanita... 22
d. Poligami dari Sudut Pandang Islam ... 24
3. Sikap Terhadap Poligami ... 26
B. WANITA MENIKAH... 26
1. Pengertian Wanita Menikah... 26
2. Konsep Peranan dalam Pernikahan... 27
3. Perubahan-perubahan pada Wanita Menikah... 30
C. TINGKAT PENDIDIKAN ... 32
1. Pengertian Tingkat Pendidikan ... 32
2. Peranan Tingkat Pendidikan ... 35
D. SIKAP WANITA MENIKAH TERHADAP POLIGAMI DITINJAU DARI TINGKAT PENDIDIKAN... 38
E. HIPOTESIS... 43
BAB III. METODOLOGI PENELITIAN ... 45
A. JENIS PENELITIAN ... 45
C. DEFINISI OPERASIONAL ... 45
1. Tingkat Pendidikan ... 45
2. Sikap terhadap Poligami ... 47
D. SUBJEK PENELITIAN... 48
E. METODE DAN TEKNIK PENGUMPULAN DATA ... 48
F. PENGUJIAN INSTRUMEN PENELITIAN ... 51
1. Uji Validitas ... 51
2. Daya Beda Item... 52
3. Uji Reliabilitas ... 54
G. PROSEDUR PENELITIAN... 56
H. TEKNIK ANALISIS DATA ... 57
1. Uji Asumsi ... 57
2. Uji Hipotesis Penelitian ... 57
BAB IV. HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN ... 58
A. PELAKSANAAN PENELITIAN... 58
B. HASIL PENELITIAN... 59
1. Deskripsi Subjek Penelitian ... 59
2. Hasil Analisis Data... 60
a. Deskripsi Data ... 60
b. Hasil Uji Asumsi ... 60
1) Normalitas... 60
2) Homogenitas ... 62
d. Hasil Analisis Data Tambahan... 63
C. PEMBAHASAN ... 64
BAB V. KESIMPULAN DAN SARAN... 73
A. KESIMPULAN ... 73
B. SARAN ... 73
C. KETERBATASAN PENELITIAN... 74
Daftar Pustaka ... 76
DAFTAR TABEL
Tabel 1 Spesifikasi & Distribusi Item Skala Sikap Terhadap
Poligami Sebelum Uji Coba... 49
Tabel 2 Spesifikasi Item Skala Sikap terhadap Poligami Setelah Uji Coba ... 53
Tabel 3 Spesifikasi & Distribusi Item Skala Sikap Terhadap Poligami Untuk Penelitian ... 54
Tabel 4 Deskripsi Subjek Penelitian ... 59
Tabel 5 Analisis Statistik Deskriptif ... 60
Tabel 6 Hasil Perhitungan Uji Normalitas ... 61
DAFTAR BAGAN
Bagan 1 Bagan Perbedaan Sikap Wanita Menikah Terhadap Poligami
DAFTAR LAMPIRAN
Lampiran A Skala Sikap Uji Coba Penelitian
Lampiran B Skala Sikap Penelitian
Lampiran C Data Uji Coba Penelitian
Lampiran D Hasil Uji Reliabilitas dan Validitas
Lampiran E Data Penelitian
Lampiran F Hasil Uji Asumsi
Lampiran G Hasil Uji Hipotesis
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Suatu bentuk pernikahan yang umum terjadi dan dipandang ideal
oleh masyarakat adalah pernikahan yang terdiri dari satu orang suami dan satu
orang istri, walaupun sebenarnya ada berbagai macam bentuk pernikahan.
Salah satunya adalah bentuk pernikahan dimana terdapat satu orang suami dan
beberapa orang istri. Bentuk pernikahan ini biasa disebut dengan pernikahan
poligami. Pernikahan poligami sudah terjadi sejak zaman dahulu, yaitu sejak
zaman raja-raja. Ada banyak raja yang memiliki istri lebih dari satu. Hal itu
dilakukan untuk menjaga martabat raja dan untuk memperkuat kedudukan
raja. Seperti halnya yang dialami oleh Raden Ajeng Kartini, ia menjadi istri
keempat Bupati Rembang, Raden Adipati Djojo Adiningrat (Soeprapto, 1990).
Pernikahan poligami terus berlanjut pada masa-masa awal
kemerdekaan. Diawali dari masa pemerintahan Ir. Soekarno. Dunia mengenal
Bung Karno sebagai seorang figur yang berpoligami, ketika ia menikahi
Hartini dan Ratna Sari Dewi. Kemudian pada masa Orde Baru, yaitu masa
pemerintahan Presiden Soeharto. Banyak pemimpin di pemerintahan saat itu
yang memiliki istri lebih dari satu. Begitu juga pada masa reformasi,
pernikahan poligami masih marak terjadi, seperti yang dilakukan oleh mantan
terus berlangsung hingga saat ini. Ada banyak kasus selebriti yang melakukan
praktik poligami, seperti aktor Ray Sahetapy. Kasus poligami yang sempat
sangat marak dibicarakan, yaitu kasus seorang ulama ternama K.H.Abdullah
Gymnastiar atau lebih dikenal dengan nama Aa Gym, yang juga melakukan
praktik poligami.
Dari banyak kasus praktik poligami yang terjadi, dapat diketahui
ternyata poligami bukan hanya dilakukan oleh pejabat pemerintahan saja,
tetapi juga oleh para selebritis bahkan oleh ulama atau pemuka agama yang
seharusnya menjadi panutan bagi masyarakat. Namun sesungguhnya
pernikahan poligami selalu diwarnai oleh permasalahan, yaitu munculnya pro
dan kontra. Pertama kali tercatat dalam sejarah modern adalah perjuangan
yang dilakukan oleh Raden Ajeng Kartini, yang mengupayakan perubahan
pada kaum wanita. Kartini tidak menginginkan wanita terus-menerus
diinjak-injak dan dihina. Menurut Kartini, pernikahan poligami merupakan salah satu
bentuk kekerasan terhadap wanita., walaupun pada akhirnya Kartini sendiri
harus kalah dan mengalami pernikahan poligami, ketika ia dipaksa menjadi
istri keempat Bupati Rembang oleh ayahnya (Arivia, 2006).
Tidak sampai disitu, pro dan kontra terhadap pernikahan poligami
terjadi kembali pada zaman mantan Presiden Soekarno. Saat presiden pertama
RI ini ingin menikah lagi dengan Hartini, walau masih mempertistri Ibu Fat
yang berstatus Ibu Negara, masyarakat pada saat itu bersikap tegas terhadap
tindakan yang diambil Bung Karno. Para wanita yang bergabung dalam
protes keras terhadap tindakan poligami yang dilakukan oleh Bung Karno. Ibu
Fat pun menunjukkan sikap tegas, menolak dimadu, lalu hengkang dari Istana
Negara (www.femina-online.com). Namun ternyata respon yang muncul saat
itu bukan hanya penolakan dan protes keras terhadap praktik poligami. Ada
banyak dukungan terhadap praktik poligami yang muncul dari fraksi Islam,
seperti Partai Tarbiyah Indonesia (Perti), tokoh-tokoh dari Masyumi (Majlis
Syuro Muslimin Inndonesia), dan GPII (Gerakan Pemuda Islam Indonesia).
Mereka menolak keras RUU yang diusulkan oleh banyak fraksi wanita di
parlemen pada saat itu, yang di dalamnya tercantum butir pelanggaran praktik
poligami (Arivia, 2006).
Pro dan kontra terhadap pernikahan poligami masih terus berlanjut
sampai pada masa mantan Presiden Soeharto. Banyaknya praktik poligami
yang terjadi pada saat itu, mengundang protes keras dari banyak lembaga
wanita. Akhirnya kompromi terhadap tuntutan kaum wanita itu tercapai
dengan munculnya UU Perkawinan No.1/1974, dimana poligami tetap boleh
dilakukan tetapi dengan syarat-syarat tertentu. Khusus untuk pegawai negeri
sipil, juga diterbitkan Peraturan Pemerintah (PP) No.10/1983, yang mengatur
izin perkawinan dan perceraian, termasuk syarat-syarat berpoligami
(Soeprapto, 1990).
Namun ternyata munculnya UU Perkawinan No.1/1974 dan PP
No.10/1983, tidak mampu menyelesaikan permasalahan yang timbul akibat
praktik poligami. Pro dan kontra masih terus mewarnai pernikahan poligami.
Aa Gym. Keadaan tersebut semakin mengundang protes keras dari banyak
pihak, terutama dari sejumlah LSM perempuan, antara lain Jurnal Perempuan,
Koalisi Perempuan Indonesia, LBH-APIK, Solidaritas Perempuan, dan masih
banyak lagi. Mereka mendeklarasikan pernyataan ‘Perempuan Menolak
Praktik Poligami’, karena poligami merupakan bentuk kekerasan terhadap
perempuan (Baswardono, 2006). Ternyata protes keras terhadap praktik
poligami tidak hanya sampai disitu. Ada ribuan ungkapan kekecewaan kaum
wanita yang disampaikan langsung lewat SMS ke ponsel Presiden Susilo
Bambang Yudhoyono dan istrinya, Ani Yudhoyono. Akhirnya Menteri Negara
Pemberdayaan Perempuan, Meutia Hatta Swasono, melakukan revisi
Undang-Undang Perkawinan, terutama pasal-pasal yang menyangkut izin berpoligami
(Femina, 2006).
Namun ternyata semakin keras protes terhadap pernikahan
poligami, semakin keras pula penolakan terhadap revisi UU Perkawinan,
menyangkut izin berpoligami. Di Yogyakarta sendiri, sempat terjadi
demonstrasi yang dilakukan oleh beberapa organisasi massa. Mereka menolak
pemerintah campur tangan terhadap praktik poligami. Ada banyak spanduk
yang diantaranya bertuliskan ‘Kalau presiden tidak mau berpoligami, itu hak
pribadi beliau. Tapi tak perlu mencampuri wilayah pribadi orang lain’
(Kompas, 2006). Itulah salah satu bentuk dukungan terhadap praktik poligami.
Demikianlah pernikahan poligami selalu menjadi hal yang
kontroversial, selalu diwarnai dan diakhiri oleh pro dan kontra dari masyarakat
alasan sendiri-sendiri. Ada beberapa alasan mengapa seseorang setuju atau pro
terhadap pernikahan poligami, yaitu adanya keadaan istri yang mandul (steril)
sedangkan suaminya subur (fertil), anggapan bahwa jumlah wanita lebih
banyak dari laki-laki, dan adanya anggapan umum yang memaklumi bahwa
laki-laki lebih “bermata keranjang” dibanding wanita, juga pandangan bahwa
poligami adalah benar di mata Al-Quran dan Hadis Nabi (Soeprapto, 1990 &
Femina, 2006).
Sedangkan mereka yang tidak setuju atau kontra terhadap poligami
juga memiliki beberapa alasan, yaitu mereka menganggap poligami
menyebabkan perzinaan dan keretakan suatu rumah tangga, selain itu poligami
adalah bentuk ketidak adilan pria terhadap wanita. Sangat mustahil pria
mampu membagi perhatian dan kasih sayangnya kepada istri-istrinya secara
adil. Poligami juga menyebabkan perhatian seorang ayah menjadi berkurang
kepada anak-anaknya. Singkat kata, pernikahan poligami dapat dikategorikan
sebagai tindakan kekerasan dalam rumah tangga. Seperti diketahui, definisi
kekerasan dalam rumah tangga meliputi kekerasan fisik, psikis, seksual dan
juga ekonomi (Soeprapto, 1990 & Femina, 2006).
Melihat penjelasan di atas, maka dapat diketahui ada banyak alasan
untuk seseorang memilih pro atau kontra terhadap pernikahan poligami. Pro
dan kontra ini merupakan cerminan dari sikap seseorang terhadap poligami.
Ada beberapa faktor yang mempengaruhi pembentukan sikap pro dan kontra
faktor lingkungan, dan juga latar belakang agama maupun pendidikan (Azwar,
2000).
Pada penelitian ini, peneliti tertarik untuk mengetahui adakah
perbedaan sikap wanita menikah pada khususnya terhadap pernikahan
poligami, ditinjau dari tingkat pendidikan. Hal ini dikarenakan faktor
pendidikan masih belum begitu dibahas dalam penentuan sikap terhadap
poligami. Disamping itu, lembaga pendidikan turut menentukan dalam proses
pembentukan sikap seseorang terhadap suatu objek, dengan memberikan dasar
pengertian dan konsep moral dalam diri seseorang. Lemaga pendidikan
membantu seseorang untuk melihat segi positif atau negative dari suatu objek,
mengetahui dan memahami konsekuensi dari suatu sikap dan tindakan, dan
mengevaluasi suatu kejadian. Dengan memiliki latar belakang pendidikan,
seseorang akan lebih mampu melihat suatu permasalahan dengan lebih
kompleks ( Azwar, 2000 ).
Disamping itu, permasalahan ini menjadi semakin menarik karena
seiring dengan berkembangnya ilmu pengetahuan pada kaum wanita, maka
tingkat kesadaran maupun kekritisan kaum wanita juga semakin meningkat
(Baswardono, 2006). Wanita dengan tingkat pendidikan lebih tinggi dapat
melihat dengan lebih jelas bentuk-bentuk ketidakadilan yang bias gender
dalam masyarakat. Mereka semakin sadar akan adanya ketimpangan struktur
sosial budaya masyarakat yang merugikan wanita. Wanita seperti ini biasanya
mereka akan menyikapi poligami secara lebih kritis, dan mampu
memandangnya dalam banyak perspektif (Prabasmoro, 2006).
Berbeda dengan wanita yang memiliki tingkat pendidikan lebih
tinggi, wanita menikah dengan tingkat pendidikan yang lebih rendah biasanya
lebih mudah untuk terperangkap dalam pengaruh dogma dan kepercayaan.
Saat suatu nilai sudah tertanam kuat, mereka akan berjuang mati-matian dalam
membela nilai tersebut, tanpa menyadari bahwa nilai tersebut sebenarnya
merupakan suatu opresi terhadap diri mereka. Semakin rendah tingkat
pendidikan seseorang mengakibatkan semakin sempitnya wawasan, sehingga
wanita dengan tingkat pendidikan lebih rendah tidak akan mempunyai banyak
referensi dalam memandang suatu permasalahan. Dengan demikian persepsi
dan tingkah laku mereka akan sangat mudah dikendalikan oleh pihak-pihak di
luar diri mereka, untuk mengambil keuntungan pribadi dengan memanfaatkan
ketidaktahuan mereka (Prabasmoro, 2006).
Melihat keadaan tersebut, maka dapat diketahui bahwa semakin
tinggi tingkat pendidikan wanita, maka wanita semakin kritis dan mampu
melihat melampaui batas-batas dogma dan kepercayaan. Disamping itu,
mereka juga semakin mengenal dan memahami nilai-nilai kesetaraan gender.
Hal tersebut menyadarkan mereka akan opresi yang dialaminya, seperti yang
terjadi dalam pernikahan poligami. Semakin tinggi tingkat pendidikan wanita,
maka akan membuat mereka semakin mewujudkan kesetaraan gender dan
Bertolak dari penjelasan diatas, maka dapat diketahui bagaimana
tingkat pendidikan mempengaruhi proses pembentukan sikap seseorang. Hal
ini juga didukung dengan adanya jurnal penelitian yang mengatakan bahwa
tingkat pendidikan mempengaruhi perkembangan pribadi dan sikap seseorang
meliputi aspek kognitif, afektif dan konatif mereka ( Ghazali, 2003 ). Melihat
penjelasan diatas, maka yang seharusnya terjadi adalah semakin tinggi tingkat
pendidikan wanita, maka semakin mereka menolak poligami dan semakin
rendah tingkat pendidikan wanita, maka akan semakin besar kemungkinan
mereka menjadi korban praktik poligami. Fenomena inilah yang menarik
minat peneliti untuk melihat apakah benar ada perbedaan sikap wanita
menikah pada khususnya, terhadap poligami bila ditinjau dari latar belakang
tingkat pendidikannya.
Peneliti memilih subjek wanita menikah karena wanita menikah
memiliki permasalahan yang lebih kompleks. Ada perbedaan dalam
menanggapi permasalahan dalam rumah tangga pada wanita yang sudah
menikah dengan wanita yang belum menikah. Seorang yang belum menikah
hanya akan menanggapi permasalahan dalam rumah tangga secara idealis,
tanpa mengerti secara pasti bagaimana kompleksnya suatu pernikahan.
Sedangkan mereka yang sudah menikah, akan lebih mengerti dan bersikap
hati-hati dalam menyikapi suatu permasalahan dalam rumah tangga. Hal ini
karena permasalah dalam suatu pernikahan tidak hanya menyangkut dua orang
pernikahan yang juga harus diperhatikan dan dijaga keberadaan dan
perasaannya (Kartono, 1977).
B. Rumusan Masalah
Dari latar belakang yang telah diuraikan di atas, peneliti tertarik
untuk mengetahui apakah ada perbedaan sikap terhadap poligami pada wanita
menikah ditinjau dari tingkat pendidikan.
C. Tujuan Penelitian
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui adakah perbedaan sikap
terhadap poligami pada wanita menikah ditinjau dari tingkat pendidikan.
D. Manfaat Penelitian 1. Manfaat Teoritis
Penelitian ini diharapkan dapat memberikan sumbangan informasi secara
luas dan jelas bagi perkembangan ilmu pengetahuan, khususnya pada ilmu
Psikologi Sosial dan Psikologi Wanita.
2. Manfaat Praktis
a. Bagi Dunia Pendidikan
Penelitian ini diharapkan mampu memberikan gambaran dan evaluasi
seberapa besar peranan pendidikan dalam proses pembentukan sikap
b. Bagi Wanita Menikah ( Subjek Penelitian )
Penelitian ini diharapkan dapat memacu wanita menikah untuk terus
mengoptimalkan diri mereka melalui pendidikan, sehingga mempu
menentukan sikap yang terbaik bagi mereka.
c. Bagi Peneliti
Penelitian ini merupakan kesempatan untuk menganalisis,
mengembangkan pengetahuan dan keterampilan penulis di bidang
BAB II
KAJIAN PUSTAKA
A. Sikap Terhadap Poligami
1. Sikap
a. Pengertian Sikap
Secara historis, istilah sikap digunakan pertama kali oleh Herbert
Spencer pada tahun 1862, dimana pada masa itu sikap diartikan sebagai
status mental seseorang (Azwar, 1995).
Istilah sikap masih terus digunakan hingga saat ini. Menurut
Sarwono (1993), sikap merupakan kecenderungan untuk merespon
terhadap suatu objek, orang atau situasi tertentu secara positif atau negatif.
Sikap mengandung suatu penilaian emosional atau afektif, komponen
kognitif atau pengetahuan tentang objek itu, serta konatif atau
kecenderungan untuk bertindak (Sarwono, dalam Dayakisni & Hudaniah,
2006).
Gerungan (1996) juga memiliki pendapat yang sama dengan
Sarwono mengenai sikap, namun lebih mengarahkan sikap pada suatu
kecenderungan untuk bertindak terhadap suatu hal atau objek.
Sedangkan Walgito (1991) memberikan definisi sikap secara
yang memberikan dasar kepada individu tersebut untuk merespon atau
berperilaku sesuai dengan cara yang dipilihnya.
Berdasarkan definisi diatas, dapat disimpulkan bahwa sikap
adalah keadaan mental yang meliputi perasaan (afeksi), pemikiran
(kognisi) dan predisposisi tindakan (konasi) yang dimiliki seseorang
melalui proses sosialisasi serta memiliki pengaruh terhadap respon
individu pada obyek atau situasi yang berkaitan dengannya.
b. Komponen Sikap
Komponen sikap terdiri dari tiga komponen yang saling
menunjang, yaitu komponen kognitif, komponen afektif, dan komponen
konatif (Azwar, 1995).
Komponen kognitif tersusun atas dasar pengetahuan atau
informasi yang dimiliki seseorang mengenai objek sikap tertentu. Dari
pengetahuan ini kemudian akan terbentuk suatu keyakinan atau
kepercayaan tertentu mengenai objek sikap tersebut. Kepercayaan timbul
dari apa yang telah kita lihat atau apa yang telah kita ketahui. Berdasarkan
apa yang telah kita lihat, ada kemungkinan terbentuk suatu ide mengenai
sifat atau objek, dan berdasarkan ide itu kepercayaan akan terus
berkembang. Pengalaman pribadi, hal-hal yang diceritakan orang, dan
kebutuhan emosional kita sendiri merupakan determinan utama dalam
terbentuknya kepercayaan seseorang.
Komponen afektif menyangkut masalah emosional subjektif
dapat disebut sebagai perasaan yang dimiliki individu terhadap sesuatu.
Reaksi emosional ini banyak dipengaruhi oleh kepercayaan yang ada
dalam diri seseorang terhadap suatu objek tertentu, dan bersifat evaluatif.
Sedangkan komponen konatif menunjukkan bagaimana
kecenderungan perilaku individu berkaitan dengan objek sikap yang
dihadapinya. Bagaimana seseorang berperilaku dalam situasi tertentu dan
bagaimana kepercayaan dan perasaan seseorang terhadap stimulus
tertentu. Kecenderungan berperilaku secara konsisten dan selaras dengan
kepercayaan dan perasaan yang ada dalam diri individu akan membentuk
sikap individual.
Berdasarkan uraian diatas dapat disimpulkan bahwa sikap
mempunyai tiga komponen yaitu komponen kognitif, komponen afektif,
dan komponen perilaku. Komponen kognitif berisi persepsi, kepercayaan
dan stereotipe yang dimiliki individu mengenai sesuatu. Komponen afektif
merupakan perasaan individu terhadap objek sikap dan perasaan
menyangkut masalah emosional dan bersifat evaluatif, sedangkan
komponen perilaku berisi tendensi atau kecenderungan bertindak atau
bereaksi terhadap sesuatu dengan cara-cara tertentu.
c. Faktor-faktor Pembentuk Sikap
Sikap terbentuk dari adanya interaksi sosial yang dialami oleh
individu. Interaksi sosial itu meliputi hubungan antara individu dengan
lingkungan fisik maupun lingkungan psikologis di sekelilingnya. Dalam
terhadap berbagai objek psikologis yang dihadapinya. Berbagai faktor
yang mempengaruhi pembentukan sikap adalah :
1. Pengalaman Pribadi
Tanggapan akan menjadi salah satu dasar terbentuknya
sikap. Untuk dapat mempunyai tanggapan atau penghayatan,
seseorang harus mempunyai pengalaman yang berkaitan dengan
objek psikologis. Sehubungan dengan hal ini, Middlebrook (1974)
mengatakan bahwa tidak adanya pengalaman sama sekali dengan
suatu objek psikologis, seseorang cenderung akan membentuk
sikap negatif terhadap objek tersebut.
Pembentukan kesan atau tanggapan terhadap objek
merupakan proses kompleks dalam diri individu yang melibatkan
individu yang bersangkutan, situasi dimana tanggapan itu
terbentuk, dan atribut atau ciri-ciri objektif yang dimiliki oleh
stimulus. Untuk menjadi dasar pembentukan sikap, pengalaman
pribadi haruslah meninggalkan kesan yang kuat.
2. Pengaruh Orang lain yang Dianggap Penting
Orang lain di sekitar merupakan salah satu diantara
komponen sosial yang ikut mempengaruhi sikap seseorang.
Seseorang yang dianggap penting, seseorang yang diharapkan
persetujuannya, seseorang yang tidak ingin dikecewakan, atau
seseorang yang berarti akan banyak mempengaruhi pembentukan
3. Pengaruh Kebudayaan
Seorang ahli psikologi yang terkenal, Skinner menekankan
pengaruh lingkungan dalam membentuk pribadi seseorang.
Kebudayaan telah mewarnai sikap anggota masyarakatnya, karena
kebudayaan pulalah yang memberi corak pengalaman
individu-individu yang menjadi anggota kelompok masyarakat asuhannya.
4. Media Massa
Sebagai sarana komunikasi, berbagai bentuk media massa
mempunyai pengaruh besar dalam pembentukan opini dan
kepercayaan orang. Dalam menyampaikan informasi, media massa
membawa pesan-pesan yang bersifat sugesti yang dapat
mengarahkan opini seseorang. Pesan-pesan sugestif yang dibawa
oleh informasi tersebut, apabila cukup kuat, akan memberi dasar
afektif dalam menilai sesuatu hal sehingga terbentuklah arah sikap
tertentu.
5. Lembaga Pendidikan dan Lembaga Agama
Lembaga pendidikan serta lembaga agama sebagai suatu
sistem mempunyai pengaruh dalam pembentukan sikap, hal ini
dikerenakan keduanya meletakkan dasar pengertian dan konsep
moral dalam diri individu. Pemahaman akan baik dan buruk, garis
pemisah antara yang boleh dan tidak boleh dilakukan diperoleh
dari pendidikan dan dari pusat keagamaan serta ajaran-ajarannya.
ikut berperan dalam menentukan sikap individu terhadap segala
sesuatu.
6. Pengaruh Faktor Emosional
Tidak semua bentuk sikap ditentukan oleh situasi
lingkungan dan pengalaman pribadi seseorang. Kadang suatu
bentuk sikap merupakan pernyataan yang didasari oleh emosi yang
berfungsi sebagai mekanisme pertahanan ego. Sikap demikian
dapat merupakan sikap yang sementara, namun dapat pula sebagai
sikap yang bertahan lama.
Berdasarkan uraian di atas dapat disimpulkan bahwa ada banyak
faktor yang mempengaruhi pembentukan sikap seseorang, yaitu melalui
pengalaman pribadi yang dialami sehari-hari, pengaruh orang lain yang
dianggap penting, pengaruh kebudayaan yang ada, juga media massa yang
memberikan berbagai informasi sehingga menimbulkan ide untuk
bersikap. Disamping itu lembaga pendidikan dan lembaga agama serta
pengaruh faktor emosional individu juga ikut mempengaruhi terbentuknya
sikap seseorang terhadap suatu objek.
2. Poligami
a. Pengertian Poligami
Kata poligami berasal dari bahasa Yunani, dari kata “Poly”
berarti banyak dan “Gamein” berarti kawin atau menikah. Dalam
menikah beberapa kali dalam waktu yang bersamaan, bisa seorang pria
menikah dengan banyak wanita atau seorang wanita menikah dengan
banyak pria, atau juga banyak pria menikah dengan banyak wanita
(Suprapto, 1990).
Menurut tinjauan Antropologi Sosial (Sosio Antropologi),
poligami mempunyai pengertian seorang pria menikah dengan banyak
wanita, atau sebaliknya. Pada dasarnya poligami dapat dibedakan
menjadi dua, yaitu :
1. Polyandri, yaitu pernikahan antara seorang wanita dengan beberapa
orang pria.
2. Poligini, yaitu pernikahan antara seorang pria dengan banyak
wanita.
Namun dalam perkembangannya, istilah poligini jarang
sekali digunakan, bahkan bisa dikatakan istilah ini tidak dipakai lagi di
kalangan masyarakat, kecuali dikalangan antropolog saja. Maka istilah
poligami secara langsung menggantikan istilah poligini.
Dengan melihat penjelasan di atas, maka dapat diketahui
bahwa pengertian dari poligami yaitu pernikahan antara seorang pria
dengan beberapa orang wanita.
b. Motivasi dan Tujuan Poligami
Melihat pengertian dari poligami, yaitu pernikahan antara
seorang pria dengan beberapa orang wanita, maka tentu ada motivasi
Motivasi dan tujuan dari poligami dilakukan antara lain
adalah (Suprapto, 1990) :
1. Motivasi seksual, yaitu motivasi yang digunakan untuk
memberikan kepuasan seksual bagi yang bersangkutan.
2. Motivasi ekonomi, yaitu motivasi yang menyangkut kebutuhan
materi. Seseorang melakukan poligami untuk memperbesar
usahanya. Biasanya mereka menikah lagi dengan seseorang yang
sudah sukses.
3. Motivasi politik, yaitu motivasi yang menyangkut kekuasaan
politik atau pertimbangan politis demi keuntungan pribadi yang
bersangkutan.
4. Motivasi perjuangan, yaitu baik perjuangan politik, perjuangan
keagamaan, perjuangan ideologi dan sebagainya.
5. Motivasi generasi, yaitu motivasi untuk mendapatkan keturunan.
6. Motivasi kebanggaan diri, yaitu seseorang yang melakukan
poligami beranggapan bahwa mereka yang dapat melaksanakan
poligami bukanlah sembarang orang, karena hanya orang-orang
pilihan yang dapat melaksanakannya.
7. Motivasi keagamaan dan menalurikan sosial budaya tertentu, yaitu
motivasi untuk menjalankan hal-hal yang dianjurkan atau
diperbolehkan oleh agama dan motivasi untuk terus menghidupkan
budaya tertentu yang sudah ada sejak zaman nenek moyang
Ternyata pernikahan poligami memiliki beberapa motivasi
dan tujuan, diantaranya yaitu motivasi seksual, motivasi ekonomi,
motivasi politik, motivasi perjuangan, motivasi generasi, motivasi
kebanggaan diri dan motivasi keagamaan.
c. Dampak Poligami terhadap Wanita
Dampak yang umum dialami oleh istri atau wanita yang
suaminya melakukan pernikahan poligami sangat beragam. Ada
dampak positif dan dampak negatif yang muncul pada diri wanita.
Adapun dampak negatif pada diri wanita yang suaminya melakukan
pernikahan poligami yaitu (Setiati, 2007) :
1. Dalam diri istri akan muncul perasaan inferior, menyalahkan diri
sendiri, istri merasa tindakan suaminya berpoligami adalah akibat
ketidakmampuan dirinya memenuhi kebutuhan biologis suaminya.
2. Istri akan merasa terlantar secara ekonomi, sehingga sangat
kesulitan memenuhi kebutuhan sehari-hari. Hal ini dikarenakan
selama pernikahan, istri sudah mengalami ketergantungan secara
ekonomi kepada suami.
3. Sering terjadi tindak kekerasan terhadap wanita dan anak-anak,
baik kekerasan fisik, ekonomi, seksual maupun psikologis.
4. Muncul perasaan tidak aman pada wanita, karena pada umumnya
ada banyak laki-laki yang memiliki istri lebih dari satu akan secara
diam-diam melakukan pernikahan dengan wanita lain di bawah
5. Kemungkinan terkena penyakit HIV atau AIDS lebih besar karena
dikawatirkan poligami memunculkan praktek porstitusi dengan
berhubungan seks lebih dari satu pasangan.
Selain dampak negatif, adapun dampak positif yang dialami
wanita atau istri, yaitu (Setiati, 2007) :
1. Melatih sabar, yaitu berusaha memandang poligami sebagai bagian
dari tujuan Tuhan untuk menguji tingkat kesabaran dan kesolehan
sebagai seorang wanita, istri, dan ibu dalam mengendalikan
amarah, cemburu dan hal-hal lain yang bersifat duniawi.
2. Melatih ikhlas dalam berbagi kebahagiaan dengan wanita lain,
yaitu berusaha memandang bahwa segala sesuatu di dunia ini
hanya bersifat sementara, dan lebih baik melatih diri untuk
mengikhlaskan segala sesuatu sehingga kelak mendapat pahala
dimata Tuhan.
3. Melatih berpasrah hati semata-mata karena Tuhan.
4. Melatih hidup sehat dan bersih, yaitu dengan berpoligami istri
menjaga agar suami terhindar dari hubungan seks bebas dan hidup
sehat juga bersih dimata Tuhan.
5. Melatih diri untuk selalu meningkatkan kualitas, yaitu dengan
berpoligami akan membuat setiap istri termotivasi untuk selalu
menjaga dan memperbaiki kualitas diri sehingga suami tidak lagi
6. Melatih untuk tidak memiliki sifat dengki, karena dengan dengki
istri akan semakin depresi dan tidak akan menarik dimata suami
maupun orang banyak. Maka dengan berpoligami, istri berlatih
untuk semakin mendekatkan diri pada Tuhan.
Demikianlah telah diuraikan dampak positif dari poligami
yaitu, melatih kesabaran istri, melatih ikhlas, melatih berpasrah pada
Tuhan, melatih hidup sehat dan bersih, dan juga melatih untuk tidak
memiliki sifat dengki dengan terus meningkatkan kualitas diri.
Disamping itu juga dampak negatif dari poligami pada wanita, yaitu
munculnya perasaan inferior, tidak aman, kemungkinan terkena
penyakit kelamin, dan muncul tindak kekerasan baik kekerasan fisik,
ekonomi, seksual maupun psikologis. Poligami akan membawa
dampak positif atau negatif, hal itu tergantung dari bagaimana wanita
menikah memandang poligami.
d. Poligami dari Sudut Pandang Islam
Umat Islam mengenal poligami sejak zaman Nabi
Muhammad. Ketika itu, poligami tidak menjadi perdebatan orang.
Keputusan Nabi untuk melakukan poligami dengan wanita-wanita
(diantaranya ada wanita janda dan perawan) dilandasi oleh satu tujuan
mulia, yaitu untuk melindungi, menjaga harkat dan martabat mereka
sebagai wanita di mata masyarakat (Suprapto, 1990).
Poligami dalam Islam adalah mubah (boleh) dan halal. Islam
kelonggaran dengan diperbolehkannya poligami terbatas. Islam tidak
menutup rapat-rapat kemungkinan adanya laki-laki tertentu untuk
poligami, tetapi tidak semua laki-laki harus berbuat demikian, karena
tidak semua memilki kemampuan untuk berpoligami (Hamidy, 1983).
Dikatakan poligami terbatas karena poligami menurut Islam
bukanlah poligami mutlak (sebebas-bebasnya), tetapi dibatasi oleh
syarat-syarat tertentu sebagai berikut (Hamidy, 1983) :
1. Jumlah istri yang dipoligami paling banyak empat orang wanita.
Seandainya salah satu diantaranya ada yang meninggal atau
dicerai, laki-laki tersebut bisa mencari ganti asalkan jumlahnya
tidak melebihi empat orang pada waktu yang sama.
2. Laki-laki harus mampu berbuat adil pada istri-istrinya, lebih baik
jika laki-laki tersebut mampu dari segi ekonomi.
Dengan adanya dua syarat diatas untuk dapat melaksanakan
poligami, maka dapat diketahui bahwa konsekuensi terberat adalah
konsekuensi keadilan. Bersikap adil dalam poligami sesungguhnya
adalah hal yang tidak mudah. Hal ini karena bentuk perkawinan
poligami tidak seperti dalam perkawinan monogamy, dimana suami
hanya memiliki satu orang istri dan hak-hak dalam tali perkawinan
otomatis hanya menjadi milik istri seorang (Hakeem, 2005).
Dalam perkawinan poligami, syarat mutlak yang harus
dimiliki laki-laki / suami adalah ia harus memiliki sikap adil yang
tidak hanya pemerataan dalam pembagian waktu terhadap anak dan
istri-istri secara bergilir, tetapi juga sesuai dengan yang diajarkan Nabi,
yaitu seorang suami harus bisa bersikap adil dalam pemberian materi,
cinta, perhatian, kasih sayang, dan komunikasi (Hakeem, 2005).
3. Sikap terhadap Poligami
Setelah mengetahui definisi dari sikap juga poligami, maka dapat
diketahui sikap terhadap poligami, yaitu keadaan mental yang meliputi
perasaan atau afeksi, pemikiran atau kognisi dan predisposisi tindakan atau
konasi, yang dimiliki seseorang terhadap pernikahan poligami.
B. Wanita Menikah
1. Pengertian Wanita Menikah
Sebelum masuk ke dalam pengertian wanita menikah, akan
diketahui terlebih dahulu definisi dari nikah. Nikah menurut Kartono
merupakan menifestasi dari ikatan janji setia antara pria dan wanita, yang
memberikan pembatasan-pembatasan dan pertanggungan jawab tertentu,
baik pada sang suami maupun pada sang istri (Kartono, 1992). Pernikahan
dikatakan sah apabila pernikahan itu dilakukan menurut hukum
masyarakat atau agama dan kepercayaan (Hamidy, 1983).
Seorang wanita menikah biasanya berada pada tahap usia dewasa
seseorang mengawali perubahan dalam hidupnya dengan melakukan
pernikahan. Pengertian wanita menikah menurut Undang-Undang Pokok
Perkawinan Nomor 1 / 1974, adalah seorang wanita yang telah melakukan
proses pernikahan baik melalui jalur hukum maupun agama (setiati, 2007).
Dari beberapa definisi diatas, maka dapat disimpulkan, bahwa
wanita menikah adalah seorang wanita yang telah melakukan proses
pernikahan baik melalui jalur hukum maupun agama, yaitu memiliki
ikatan janji setia dengan suaminya yang masing-masing memiliki batasan
dan pertanggungan jawab tertentu
2. Konsep Peranan dalam Pernikahan
Konsep-konsep tentang peranan pria dan wanita dalam
pernikahan menurut Mappiare (1983) dapat dibedakan menjadi tiga, yaitu :
a. Konsep Tradisional
Konsep tradisional mengutamakan adanya pola perilaku yang
memberikan perintah dan adanya penghargaan tinggi terhadap kaum
pria. Menurut konsep ini, wanita menjalankan pekerjaannya dengan
sadar dan kuasa penuh untuk melayani keperluan suami dan
anak-anak. Sebagai ibu rumah tangga, wanita memberikan waktunya untuk
memelihara dan melatih anak-anak, mengasuh anak sesuai dengan pola
masyarakat disekitarnya.
Konsep ini bukanlah konsep yang ekstrim tradisional dan
ekstrim perkembangan, namun berada ditengah-tengah. Konsep
moderat mengakui juga adanya individualitas seseorang yang
mempunyai hak untuk mengembangkannya sendiri, namun tidaklah
mengutamakannya. Dengan begitu, wanita mempunyai hak untuk
bekerja diluar rumah, akan tetapi peranan dan tugas pokoknya tetaplah
berpegang pada nilai luhur naluri kewanitaannya.
c. Konsep Perkembangan
Konsep ini menekankan pada individualitas seseorang baik
suami maupun istri. Pada konsep ini, pria mengambil bagian dalam
memelihara anak dan dalam tugas-tugas rumah tangga yang lain. Bagi
istri dan anak-anak tidak ada larangan untuk memperoleh penghasilan
tambahan maupun pengembangan hobi di luar rumah. Wanita dalam
konsep ini mempunyai tugas dan kerja tersendiri dalam
mengembangkan potensi-potensi mereka. Di rumah, mereka
mempunyai peranan sama dengan suami mereka. Ibu rumah tangga
dalam konsep ini membimbing anak sesuai dengan kemampuan anak.
Demikianlah konsep peranan dalam pernikahan, yaitu konsep
tradisional, konsep moderat, dan konsep perkembangan. Sedangkan
menurut Kartono (1992), wanita dalam pernikahan memiliki beberapa
peranan, yaitu :
Meliputi sikap hidup yang mantap, bisa mendampingi suami
dalam berbagai situasi disertai rasa kasih sayang, kecintaan, loyalitas
dan kesetiaan, dan mendorong suami dalam karirnya.
b. Peranan sebagai partner seks
Mendukung terciptanya hubungan seks yang memuaskan tanpa
adanya gangguan dan didasari oleh kehidupan psikis yang stabil dan
adanya kesediaan untuk memahami partnernya.
c. Peranan sebagai ibu dan pendidik
Dapat memenuhi perannya dengan menciptakan iklim yang
gembira dan bebas sehingga suasana rumah tangga menjadi semarak
dan dapat memberikan rasa aman, bebas, hangat, menyenangkan, serta
penuh kasih sayang.
d. Peranan sebagai pengatur rumah tangga
Terdapat relasi formal dan pembagian kerja dimana suami
sebagai pencari nafkah dan istri pengurus rumah tangga namun juga
dapat berperan serta dalam mencari nafkah.
e. Peranan sebagai partner hidup
Menjadi seorang yang bijaksana, mampu berpikiran luas, dan
sanggup mengikuti karir suami. Dengan demikian, akan terdapat
persamaan pandangan, perasaan, dan latar belakang kultural yang
sesuai dan sederajat, sehingga dapat mengurangi berbagai salah paham
Melihat penjelasan diatas, dapat disimpulkan bahwa ada
beberapa peranan wanita dalam pernikahan menurut Kartono, yaitu
peranan sebagai istri, partner seks, ibu dan pendidik, pengatur rumah
tangga, dan sebagai partner hidup.
3. Perubahan-perubahan pada Wanita Menikah
Wanita, terutama para istri, banyak menghadapi masalah
psikologis karena adanya berbagai perubahan yang dialami saat menikah,
antara lain perubahan peran sebagai istri dan ibu rumah tangga, bahkan
juga sebagai ibu bekerja atau berperan ganda.
Bernard (dalam Abbott, 1992) menyebutkan bahwa wanita
menikah memiliki kesehatan mental yang lebih rendah dan dilaporkan
mengalami kecemasan, fobia, serta depresi jika dibandingkan dengan pria.
Ia menjelaskan adanya tiga perubahan besar dalam kehidupan
wanita yang telah menikah, yang dikenal sebagai The Shock Theory of
Marriage, yaitu :
a. Perubahan yang menimbulkan dependensi pada wanita.
Setelah menikah biasanya seorang wanita akan kehilangan
sebagian identitas pribadinya serta lebih mengutamakan mengikuti
suaminya. Hal ini menimbulkan ketergantungan pada suami, yang
pada tingkat tertentu dapat mengakibatkan berkurangnya kemampuan
kontrol diri serta rasa percaya dirinya, sehingga lebih mudah
b. Perubahan yang mempengaruhi harga diri.
Wanita yang telah menikah menyadari bahwa norma
masyarakat lebih menganggap istri sebagai pendamping suami semata,
sehingga cenderung mengalah, mengikuti dan menyesuaikan diri
dengan pola perilaku dan kebiasaan suami. Pergaulan dan kontak
sosial mereka juga menjadi lebih terbatas dibanding sebelum menikah.
Hal ini turut mempengaruhi pula pada harga diri mereka.
c. Perubahan peran sebagai ibu rumah tangga.
Seorang istri yang tidak bekerja dapat menjadi frustasi akibat
perannya sebagai ibu rumah tangga. Pada umumnya pekerjaan
mengurus rumah tangga adalah pekerjaan tanpa upah, terus-menerus
tiada hentinya serta melelahkan. Tidak jarang rutinitas yang ada
menimbulkan kejenuhan dan rasa kesepian, terlebih lagi kerena
lingkup sosial yang terbatas. Akibatnya ia menjadi makin tergantung
pada suami untuk mendapatkan dukungan finansial, emosional, dan
perhatian, termasuk teman bertukar pikiran. Apabila kebutuhan
tersebut tidak terpenuhi, dapat membawa pada kondisi depresi.
Setelah melihat penjelasan pada The Shock Theory of Marriage,
maka dapat diketahui bahwa ada tiga perubahan besar dalam kehidupan
wanita yang telah menikah, yaitu perubahan yang menimbulkan
dependensi pada wanita, perubahan yang mempengaruhi harga diri, dan
C. Tingkat Pendidikan
1. Pengertian Tingkat Pendidikan
Sebelum membahas tingkat pendidikan, perlu untuk mengetahui
pengertian dari pendidikan itu sendiri. Pengertian pendidikan menurut
Kamus Besar Bahasa Indonesia adalah perubahan sikap dan tata laku
seseorang atau sekelompok orang dalam usaha mendewasakan manusia
melalui upaya pengajaran dan pelatihan (Kamus Besar Bahasa Indonesia,
1991:232). Sedangkan menurut Drs. Sumadi Suryabrata (2002), pendidikan
adalah usaha manusia (pendidik) untuk dengan penuh tanggung jawab
membimbing anak-anak didik ke kedewasaan. Melalui proses ini maka
seseorang akan memperoleh pengertian tentang dirinya dan lingkungannya.
Melihat beberapa pengertian dari pendidikan, maka dapat
dikatakan bahwa pendidikan merupakan suatu usaha yang dilaksanakan
dengan sadar untuk mengubah tingkah laku manusia ke arah yang lebih baik,
bertujuan untuk meningkatkan kualitas hidup manusia. Kualitas ini
menentukan daya pikir, kreativitas, dan sikap dalam menghadapi setiap
permasalahan.
Disamping itu perlu diketahui pula tujuan dari pendidikan. Salah
satunya adalah Benjamin S. Bloom dan kawan-kawan (dalam Supratiknya,
2005) yang mengungkapkan bahwa tujuan dari pendidikan mencakup bidang
kognitif (kecerdasan, pengetahuan), afektif (nilai, sikap, budi pekerti) dan
Setelah mengetahui definisi dari pendidikan beserta tujuannya,
maka diketahui pula bahwa dalam proses pendidikan terdapat sebuah
tingkatan, dimana setiap individu dituntut untuk melewati setiap
tingkatan-tingkatannya. Menurut UU Republik Indonesia No.20 tahun 2003 bab I
pasal 1, definisi tingkat pendidikan yaitu tahapan pendidikan yang
ditetapkan berdasarkan tingkat perkembangan peserta didik, tujuan yang
akan dicapai, dan kemampuan yang dikembangkan. Tingkat pendidikan
terdiri atas pendidikan dasar, pendidikan menengah dan pendidikan tinggi
(BabVI pasal 14), berikut penjelasan dari masing-masing tingkat pendidikan
:
a. Pendidikan Dasar
Pendidikan dasar merupakan jenjang pendidikan yang melandasi
jenjang pendidikan menengah. Pendidikan dasar berbentuk Sekolah
Dasar (SD) dan Madrasah Ibtidaiyah (MI) atau bentuk lain yang
sederajat, serta Sekolah Menengah Pertama (SMP) dan Madrasah
Tsanawiyah (MTs), atau bentuk lain yang sederajat (Pasal 17).
b. Pendidikan Menengah
Pendidikan menengah merupakan lanjutan pendidikan dasar, yang
terdiri atas pendidikan menengah umum dan pendidikan menengah
kejuruan. Pendidikan menengah berbentuk Sekolah Menengah Atas
(SMA), Madrasah Aliyah (MA), Sekolah Menengah Kejuruan (SMK),
dan Madrasah Aliyah Kejuruan (MAK), atau bentuk lain yang sederajat
c. Pendidikan Tinggi
Pendidikan tinggi merupakan jenjang pendidikan setelah
pendidikan menengah yang mencakup program pendidikan diploma,
sarjana, magister, spesialis, dan doktor yang diselenggarakan oleh
perguruan tinggi. Perguruan tinggi dapat berbentuk akademi, politeknik,
sekolah tinggi, institut, atau universitas (Pasal 19 & 20).
Setelah melihat penjelasan mengenai tingkat-tingkat
pendidikan, maka dapat diketahui ada beberapa jenjang pendidikan,
yaitu Pendidikan Dasar, Pendidikan Menengah, dan Pendidikan Tinggi.
2. Peranan Tingkat Pendidikan
Tingkat pendidikan memiliki peranan yang cukup besar dalam
pembentukan pribadi seseorang. Diketahui dari tingkat pendidikan yang
berbeda akan menghasilkan pribadi seseorang yang berbeda pula (Monks
dkk, 2001). Bertolak dari tujuan pendidikan yang mencakup bidang
kognitif, afektif, dan psikomotorik yang dikemukakan oleh Benjamin S.
Bloom dkk (dalam Supratiknya, 2005), tingkat pendidikan juga
memberikan peranan dalam diri peserta didik mencakup ketiga bidang
tersebut.
Tingkat pendidikan memberi pengaruh dalam bidang kognitif
pada diri seseorang. Seperti dalam jurnal penelitian yang dilakukan oleh
Nurina Hakim & Nuryoto mengenai memori lanjut usia ditinjau dari
semakin tinggi tingkat pendidikan seseorang akan semakin banyak
pengalaman, sehingga akan berbeda dalam cara berfikir, bersikap dan
bertingkah laku bila dibandingkan dengan individu yang lebih rendah
tingkat pendidikannya (Nurina Hakim & Nuryoto, 2005). Seseorang
dengan tingkat pendidikan lebih tinggi cenderung memiliki pengetahuan
yang lebih luas dan mampu berfokus pada informasi yang paling relevan
untuk mengevaluasi kekuatan dan kelemahan alternatif jawaban dari setiap
permasalahan yang sedang mereka hadapi. Hal ini juga sejalan dengan
pendapat UNESCO (Kompas, 8 Februari 2000) yang mengatakan bahwa
dengan tingkat pendidikan yang lebih tinggi, seseorang akan lebih mampu
untuk menumbuhkan rasionalitas dan lebih berfikir kritis.
Tingkat pendidikan juga turut mempengaruhi perkembangan
emosional anak-anak didiknya. Sesuai dengan penelitian yang dilakukan
oleh Ratriana Yuliastuti dengan jurnalnya ‘Perbedaan Sikap Pria Terhadap
Pelecehan Seksual Ditinjau dari Tingkat Pendidikan’, mengatakan bahwa
seseorang dengan tingkat pendidikan yang lebih tinggi akan memiliki
pertimbangan emosional, seperti memiliki nilai atau budi pekerti dan sikap
yang lebih matang dibandingkan mereka dengan tingkat pendidikan yang
lebih rendah (Yuliastuti, 2001). Hal ini sejalan dengan pendapat UNESCO
(Kompas, 8 Februari 2000) yang mengatakan bahwa dengan pendidikan
yang lebih tinggi seseorang akan lebih mampu belajar secara emosional,
yaitu mereka mampu membentuk kesadaran bahwa mereka hidup bersama
penghormatan terhadap hak asasi manusia. Disamping itu, masih menurut
UNESCO, seseorang dengan tingkat pendidikan yang lebih tinggi akan
lebih mampu berkembang sebagai pribadi mandiri, berani untuk bersikap
kritis dan penuh rasa harga diri.
Disamping bidang kognitif dan emosional, tingkat pendidikan
juga mempengaruhi perilaku seseorang. Sesuai dengan jurnal penelitian
yang dilakukan oleh Muh. Ghazali (2003) mengenai perilaku memilih
produk pembalut ditinjau dari tingkat pendidikan, mengatakan bahwa
perilaku muncul melalui proses mental yang terfokus dalam pembelajaran
kognitif yaitu melalui tingkat-tingkat pendidikan. Hal ini sejalan dengan
pendapat Arivia yang mengatakan bahwa semakin tinggi tingkat
pendidikan yang ditempuh seseorang, maka seseorang akan semakin sadar
akan otoritas dirinya, seperti mampu mengambil keputusan sendiri dan
berani menyatakan pemikiran atau pendapat yang berbeda, serta mampu
bertanggung jawab atas dirinya sendiri (Arivia, 2006). Dengan demikian,
seseorang dengan tingkat pendidikan yang lebih tinggi akan lebih mampu
menerobos setiap aturan yang bersifat dogmatis dalam masyarakat.
Disamping itu menurut UNESCO, seseorang dengan tingkat pendidikan
lebih tinggi juga akan lebih memiliki keterampilan dalam keseharian hidup
mereka yaitu dalam memecahkan setiap permasalahan yang mereka hadapi
D. Sikap Wanita Menikah terhadap Poligami Ditinjau dari Tingkat Pendidikan
Wanita menikah adalah seorang wanita yang telah melakukan proses
pernikahan baik melalui jalur hukum maupun agama, serta memiliki ikatan
janji setia dengan suaminya dan memiliki batasan juga pertanggungan jawab
tertentu. Berkaitan dengan batasan dan pertanggungan jawab yang baru,
seorang wanita menikah akan mengalami banyak perubahan peranan
(Kartono, 1992). Mereka akan memiliki beberapa peranan baru, seperti
peranan sebagai istri yang mampu mendampingi suami dalam berbagai situasi,
peranan sebagai partner sex sehingga mampu terciptanya hubungan seksual
dalam perkawinan, peranan sebagai ibu dan pendidik yang mampu
menciptakan suasana keluarga yang hangat dan nyaman, peranan sebagai
pengatur rumah tangga dan peranan sebagai partner hidup (Kartono, 1992).
Semua peranan baru yang harus dilalui tersebut terkadang dirasa
berat oleh wanita menikah, sehingga banyak dari wanita menikah yang
mengalami perubahan mental. Perubahan-perubahan yang muncul yaitu
mereka cenderung menjadi tergantung pada suaminya untuk mendapatkan
dukungan finansial dan emosional. Ketergantungan pada wanita menikah
muncul akibat pergaulan dan lingkup sosial mereka yang terbatas. Disamping
itu, perubahan juga muncul akibat adanya norma dalam masyarakat yang
memandang istri hanya sebagai pendamping suami semata, sehingga mereka
perilaku dan kebiasaan suami. Hal ini pada akhirnya juga akan mempengaruhi
harga diri atau konsep diri wanita menikah (Bernard, dalam Abbott, 1992).
Dinamika perubahan pada wanita menikah diatas akan sangat
mempengaruhi sikap wanita ketika memandang berbagai hal dalam
pernikahan, dan juga sikapnya terhadap pernikahan poligami. Dinamika
perubahan tersebut juga memungkinkan munculnya perbedaan sikap terhadap
poligami pada wanita menikah dengan wanita yang belum menikah. Bertolak
dari dinamika perubahan yang dialami wanita menikah, maka ada
kemungkinan wanita menikah akan cenderung lebih menerima atau bersikap
positif terhadap pernikahan poligami.
Namun pembentukan sikap seseorang juga sangat dipengaruhi oleh
tingkat pendidikan seseorang tersebut. Diketahui bahwa dari tingkat
pendidikan yang berbeda akan menghasilkan individu yang berbeda pula
(Monks dkk, 2001). Disamping itu pendidikan juga diberikan untuk mengubah
tingkah laku manusia ke arah yang lebih baik, dan bertujuan meningkatkan
kualitas hidup manusia yang meliputi daya pikir, kreativitas, dan sikap dalam
menghadapi setiap permasalahan. Dengan demikian dapat diketahui bahwa
pendidikan akan sangat mempengaruhi perkembangan pribadi seseorang.
Bertolak dari penjelasan di atas, maka dapat diketahui bahwa tingkat
pendidikan mempengaruhi perkembangan pribadi dan sikap wanita menikah
terhadap poligami yang meliputi aspek kognitif, afektif dan konatif. Wanita
memiliki sikap yang berbeda dengan wanita menikah dengan tingkat
pendidikan yang lebih rendah
Wanita menikah dengan tingkat pendidikan yang lebih tinggi
cenderung memiliki karakteristik sebagai berikut : mereka memiliki
pengetahuan yang lebih luas, lebih kompleks dalam berfikir sehingga mampu
mengevaluasi kekuatan dan kelemahan alternatif jawaban dari setiap
permasalahan yang sedang mereka hadapi. Disamping itu, mereka akan lebih
mampu menerobos hal-hal yang bersifat dogmatis. Wanita menikah dengan
tingkat pendidikan yang lebih tinggi juga akan lebih mandiri, karena mereka
memiliki keterampilan dalam kehidupan sehari-hari. Selain itu wanita
menikah dengan tingkat pendidikan lebih tinggi akan lebih memiliki toleransi
terhadap orang lain, karena mereka memiliki tingkat emosional yang lebih
matang. Mereka juga lebih berani menyatakan pemikiran dan pendapat yang
berbeda atau mampu membuat keputusan sendiri, dan lebih bertanggung
jawab.
Dari uraian diatas, dapat diketahui bahwa tingkat pendidikan
mempengaruhi perkembangan pribadi dan sikap wanita menikah yang
meliputi tingkat kognitif, afektif dan konatif mereka. Dengan demikian,
tingkat pendidikan juga mempengaruhi pembentukan sikap wanita menikah
terhadap pernikahan poligami. Pada wanita menikah dengan tingkat
pendidikan yang lebih tinggi, mereka memandang poligami secara lebih
kompleks. Bertolak pada karakteristik wanita menikah dengan tingkat
menikah dengan tingkat pendidikan yang lebih tinggi dimungkinkan
cenderung menolak poligami, atau bersikap negatif terhadap pernikahan
poligami. Hal ini salah-satunya karena mereka lebih mampu berfikir kritis dan
melampaui dogma agama atau tradisi dalam masyarakat, sehingga mereka
mampu mengevaluasi kekuatan dan kelemahan dari pernikahan poligami.
Berbeda dengan sikap wanita menikah berpendidikan lebih tinggi,
sikap wanita menikah dengan tingkat pendidikan yang lebih rendah
dimungkinkan cenderung lebih menerima atau memiliki sikap yang positif
terhadap poligami. Hal ini dipengaruhi oleh karakteristik wanita menikah
dengan tingkat pendidikan yang lebih rendah.
Karakteristik wanita menikah dengan tingkat pendidikan yang lebih
rendah adalah sebagai berikut : mereka kurang memiliki wawasan atau
pengetahuan, sehingga mereka cenderung terpenjara dalam dogma yang ada
dalam masyarakat dimana mereka tinggal. Disamping itu, wanita menikah
dengan tingkat pendidikan yang lebih rendah cenderung mudah terpengaruh
orang lain disekitar mereka, terutama dengan orang yang mereka anggap
penting. Selain itu mereka juga cenderung statis dan tergantung pada orang
lain disekitarnya. Dengan sifat yang tergantung pada orang lain tersebut,
membuat wanita menikah dengan tingkat pendidikan yang lebih rendah
cenderung takut dalam membuat keputusan sendiri.
Melihat karakteristik wanita menikah dengan tingkat pendidikan
yang lebih rendah, maka dapat diketahui bagaimana proses pembentukan
dengan tingkat pendidikan yang lebih rendah memiliki kemungkinan untuk
cenderung menerima poligami atau bersikap positif terhadap pernikahan
poligami. Hal ini salah satunya karena wanita menikah dengan tingkat
pendidikan yang lebih rendah cenderung dogmatis dan mengikuti anjuran dari
orang-orang yang berpengaruh, terutama suami. Disamping itu mereka kurang
kompleks dalam melihat permasalahan mereka.
Dari uraian diatas, maka dapat diketahui bagaimana tingkat
pendidikan mempengaruhi pembentukan sikap wanita menikah terhadap
poligami, yang akhirnya mungkin menghasilkan perbedaan sikap wanita
menikah terhadap poligami. Yaitu antara wanita menikah dengan tingkat
pendidikan yang lebih tinggi dengan wanita menikah dengan tingkat
pendidikan yang lebih rendah.
E. Hipotesis
Berdasarkan kerangka kajian teori yang ada, maka hipotesis yang
muncul adalah : Ada perbedaan sikap terhadap poligami pada wanita menikah
ditinjau dari tingkat pendidikan. Wanita menikah dengan tingkat pendidikan
lebih tinggi cenderung memiliki sikap yang lebih negatif terhadap poligami,
sedangkan wanita menikah dengan tingkat pendidikan lebih rendah memiliki
BAB III
METODOLOGI PENELITIAN
A. Jenis Penelitian
Pada penelitian ini, peneliti memilih untuk menggunakan jenis
penelitian kuantitatif, dengan desain penelitian komparatif. Desain penelitian
komparatif yaitu penelitian untuk membandingkan dua atau lebih sampel
penelitian dan untuk melihat perbedaan dari kedua atau lebih sampel tersebut
(Azwar, 2005). Dalam penelitian ini, peneliti akan melihat adakah perbedaan
sikap wanita menikah terhadap poligami ditinjau dari tingkat pendidikan.
B. Variabel Penelitian
1. Variabel bebas : Tingkat pendidikan
2. Variabel tergantung : Sikap terhadap poligami
C. Definisi Operasional 1. Tingkat Pendidikan
Tingkat pendidikan terdiri atas pendidikan dasar, pendidikan
tingkat pendidikan berdasar UU Republik Indonesia No. 20 tahun 2003 Bab
VI pasal 17, 18 & 19 sebagai berikut :
a. Pendidikan Dasar
Pendidikan dasar merupakan jenjang pendidikan yang melandasi
jenjang pendidikan menengah. Pendidikan dasar berbentuk Sekolah
Dasar (SD) dan Madrasah Ibtidaiyah (MI) atau bentuk lain yang
sederajat, serta Sekolah Menengah Pertama (SMP) dan Madrasah
Tsanawiyah (MTs), atau bentik lain yang sederajat.
b. Pendidikan Menengah
Pendidikan menengah merupakan lanjutan pendidikan dasar, yang
terdiri atas pendidikan menengah umum dan pendidikan menengah
kejuruan. Pendidikan menengah berbentuk Sekolah Menengah Atas
(SMA), Madrasah Aliyah (MA), Sekolah Menengah Kejuruan (SMK),
dan Madrasah Aliyah Kejuruan (MAK), atau bentuk lain yang sederajat.
c. Pendidikan Tinggi
Pendidikan tinggi merupakan jenjang pendidikan setelah
pendidikan menengah yang mencakup program pendidikan diploma,
sarjana, magister, spesialis, dan doktor yang diselenggarakan oleh
perguruan tunggi. Perguruan tinggi dapat berbentuk akademi, politeknik,
Tingkat pendidikan subjek dapat diketahui dari pertanyaan
mengenai tingkat pendidikan yang telah disediakan pada skala penelitian.
2. Sikap terhadap poligami
Sikap terhadap poligami yaitu keadaan m