• Tidak ada hasil yang ditemukan

ACCEPTANCE AND COMMITMENT THERAPY (ACT) UNTUK PENINGKATAN PENERIMAAN DIRI NARAPIDANA DENGAN VONIS HUKUMAN PERTAMA KALI - UMBY repository

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2019

Membagikan "ACCEPTANCE AND COMMITMENT THERAPY (ACT) UNTUK PENINGKATAN PENERIMAAN DIRI NARAPIDANA DENGAN VONIS HUKUMAN PERTAMA KALI - UMBY repository"

Copied!
36
0
0

Teks penuh

(1)

19 BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A. Penerimaan Diri 1. Definisi Penerimaan Diri

Berdasarkan kamus lengkap psikologi yang disusun oleh Chaplin (2000), penerimaan diri diartikan sebagai sikap seseorang yang merasa puas dengan diri sendiri, kualitas-kualitas, dan bakat-bakatnya sendiri, serta pengakuan akan keterbatasan diri. Ada dua hal penting dalam arti penerimaan diri tersebut, pertama adanya perasaan puas terhadap apa yang telah dimiliki; kedua, adanya pengakuan akan keterbatasan yang dimilikinya.

Penerimaan diri sebagai suatu keadaan yang disadari oleh diri sendiri untuk menerima begitu saja kondisi diri tanpa berusaha mengembangkan diri lebih lanjut (Santrock, 2002). Sikap menerima diri adalah kemampuan seseorang untuk mengakui kenyataan diri secara apa adanya termasuk juga menerima semua pengalaman hidup, sejarah hidup, latar belakang hidup, dan lingkungan pergaulan (Riyanto, 2006).

(2)

Penerimaan diri menurut Jersild (Pancawati, 2013) adalah seseorang yang menerima dirinya, sesorang yang menghormati dirinya serta hidup nyaman dengan keadaan dirinya, dia mampu mengenali harapan, keinginan, rasa takut serta permusuhan-permusuhannya dan menerima kecenderungan-kecenderungan emosinya bukan dalam arti puas dengan diri sendiri, tetapi memiliki kebebasan untuk menyadari sifat dari perasaan-perasaann yang ada pada dirinya. Penerimaan diri tidak berarti bahwa seseorang sebagai objek dapat menerima begitu saja kondisi yang ada tanpa berusaha mengembangkan diri, objek yang dapat menerima diri berarti telah mengenali dimana dan bagaimana dirnya saat ini, serta memunyai keinginan untuk mengembangkan diri lebih lanjut (Pancawati, 2013).

Menurut Prihadi (2004), menerima diri apa adanya berarti pasrah dan jujur terhadap kondisi yang dimiliki, tidak ada yang ditutup-tutupi, baik itu kekuatan maupun kelemahan, kelebihan maupun kekurangan, yang mendorong maupun yang menghambat perkembangan diri. Semua diterima apa adanya. Kemudian menurut Cronbach (Badaria & Astuti, 2004), penerimaan diri adalah sikap individu untuk menerima kenyataan pada dirinya berupa kekurangan atau kelebihannya, serta mampu mengaktualisasikan kehidupannya di masyarakat dan berusaha untuk melakukan hal-hal yang terbaik untuk dirinya.

Berdasarkan teori-teori di atas dapat disimpulkan bahwa penerimaan diri adalah kemampuan menerima kondisi diri sendiri secara jujur dan terbuka serta

(3)

2. Aspek Penerimaan Diri

Tentunya orang yang memiliki self acceptance dan tidak memiliki self acceptance berbeda dalam tingkah lakunya. Seseorang dikatakan memiliki self acceptance yang baik dapat dilihat dari perkataan dan perilakunya sehari-hari. Pada umumnya perilaku yang dimunculkannya lebih cenderung positif dan senang melakukan kegiatan yang berhubungan dengan banyak orang. Hal ini akan berdampak positif terhadap kematangan diri.

Menurut Sheerer (Praptomojati, 2015) aspek-aspek penerimaan diri, yaitu:

a. Adanya keyakinan akan kemampuan diri dalam menghadapi persoalan. b. Adanya anggapan berharga terhadap diri sendiri sebagai manusia dan

sederajat dengan orang lain.

c. Tidak ada anggapan aneh atau abnormal terhadap diri sendiri dan tidak ada harapan untuk ditolak orang lain.

d. Tidak adanya rasa malu atau tidak hanya memperhatikan diri sendiri. e. Ada keberanian memikul tanggung jawab atas perilaku sendiri. f. Adanya objektivitas dalam menerima pujian atau celaan.

g. Tidak adanya penyangkalan atas keterbatasan yang ada, ataupun pengingkaran kelebihan.

Sedangkan karakteristik seseorang yang memiliki penerimaan diri menurut Jersild (Nurviana, 2011) yaitu:

(4)

c. Memiliki spontanitas dan tanggung jawab terhadap perilakunya.

b. Mereka menerima kualitas-kualitas kemanusiaan mereka tanpa menyalahkan diri mereka terhadap keadaan-keadaan di luar kendali mereka

Hal terpenting ketika seseorang mampu menerima dirinya adalah ketika seseorang tersebut dapat menerima segala potensi yang ada pada dirinya, baik itu yang berkaitan dengan kelebihan maupun kelemahan/kekurangan orang tersebut. Dengan demikian, seseorang akan dapat berinteraksi dengan baik karena orang tersebut dapat menerima kritik ataupun penolakan dari orang lain secara positif. Juga seperti diungkapkan Allport (Wrastari, 2003), ciri-ciri seseorang yang mau menerima diri sendiri yaitu sebagai berikut :

a. Memiliki gambaran yang positif tentang dirinya.

b. Dapat mengatur dan dapat bertoleransi dengan rasa frustasi dan kemarahannya.

c. Dapat berinteraksi dengan orang lain tanpa memusuhi mereka apabila orang lain beri kritik.

d. Dapat mengatur keadaan emosi mereka (kesedihan, kemarahan).

Cronbach (1986) menjelaskan lebih lanjut mengenai individu yang dapat menerima dirinya, yaitu:

(5)

b. Individu menganggap dirinya berharga sebagai seorang manusia dan sederajat dengan orang lain. Individu ini memunyai keyakinan bahwa ia dapat berarti atau berguna bagi orang lain dan tidak memiliki rasa rendah diri karena merasa sama dengan orang lain yang masing-masing memiliki kelebihan dan kekurangan.

c. Individu tidak menganggap dirinya aneh atau abnormal dan tidak ada harapan ditolak orang lain. Ini berarti individu tersebut tidak merasa sebagai orang yang menyimpang dan berbeda dengan orang lain, sehingga mampu menyesuaikan dirinya dengan baik dan tidak merasa bahwa ia akan ditolak oleh orang lain.

d. Individu tidak malu atau hanya memerhatikan dirinya sendiri. Artinya, individu ini lebih memunyai orientasi keluar dirinya sehingga mampu menuntun langkahnya untuk dapat bersosialisasi dan menolong sesamanya tanpa melihat atau mengutamakan dirinya sendiri.

e. Individu berani memikul tanggung jawab terhadap perilakunya, berarti individu memiliki keberanian untuk menghadapi dan menyelesaikan segala resiko yang timbul akibat perilakunya.

f. Individu dapat menerima pujian atau celaan secara objektif. Sifat ini tampak dari perilaku individu yang mau menerima pujian, saran dan kritikan dari orang lain untuk pengembangan kepribadiannya lebih lanjut.

(6)

dan bukan seperti yang diinginkan. Individu juga dapat mengompensasikan keterbatasannya dengan memerbaiki dan meningkatkan karakter dirinya yang dianggap kuat, sehingga pengelolaan potensi dan keterbatasan dirinya dapat berjalan dengan baik tanpa harus melarikan diri dari kenyataan yang ada.

Jadi kesimpulan penerimaan diri dari pendapat beberapa tokoh di atas adalah seseorang yang mau menerima keadaan dirinya sendiri, yakin akan kemampuannya untuk menghadapi kehidupannya, menganggap dirinya berharga sebagai seseorang manusia yang sederajat dengan orang lain, berani memikul tanggung jawab terhadap perilakunya, dapat menerima pujian dan celaan secara objektif. Selain itu individu dapat berinteraksi dengan orang lain tanpa memusuhi mereka apabila orang lain beri kritik, dapat mengatur keadaan emosi mereka (kesedihan, kemarahan), dapat menerima keadaan diri atau yang telah mengembangkan sikap penerimaan terhadap keadaannya dan menghargai diri sendiri.

(7)

3. Faktor-Faktor yang Memengaruhi Penerimaan Diri

Menurut Hurlock (2007), faktor-faktor yang memengaruhi seseorang menerima dirinya adalah sebagai berikut:

a. Pemahaman diri, merupakan persepsi yang murni terhadap dirinya sendiri dan merupkan persepsi terhadap diri secara realistik. Rendahnya pemahaman diri berawal dari ketidaktahuan individu dalam mengenali diri. Pemahaman dan penerimaan diri merupakan dua aspek yang tidak dapat dipisahkan. Individu yang memiliki pemahaman diri baik akan memiliki penerimaan diri yang baik, sebaliknya individu yang memiliki pemahaman diri rendah akan memiliki penerimaan diri yang rendah pula.

b. Harapan-harapan yang realistik. Harapan-harapan yang realistik akan membawa rasa puas pada diri seseorang dan berlanjut pada penerimaan diri. Seseorang yang mengalahkan dirinya sendiri dengan ambisi dan standar prestasi yang tidak masuk akal berarti seorang tersebut kurang dapat menerima dirinya.

c. Bebas dari hambatan lingkungan. Harapan individu yang tidak tercapai banyak yang berawal dari lingkungan yang tidak mendukung dan tidak terkontrol oleh individu. Hambatan lingkungan ini bisa berasal dari orang tua, guru, teman, maupun orang dekat lainnya. Penerimaan diri akan dapat terwujud dengan mudah apabila lingkungan dimana individu berada memberikan dukungan penuh.

(8)

yang baik pada individu, maka individu akan cenderung untuk senang dan menerima dirinya.

e. Ada tidaknya tekanan berat. Tekanan emosi yang berat dan terus menerus seperti di rumah maupan di lingkungan kerja akan mengganggu seseorang dan menyebabkan ketidakseimbangan fisik dan psikologis. Secara fisik akan memengaruhi kegiatannya dan secara psikis akan mengakibatkan individu malas, kurang bersemangat, dan kurang bereaksi terhadap orang lain. Dengan tidak adanya tekanan berarti pada individu, akan memungkinkan anak yang lemah mental untuk bersikap santai pada saat tegang. Kondisi yang demikian akan memberikan kontribusi bagi terwujudnya penerimaan diri.

f. Frekuensi keberhasilan. Setiap orang pasti akan mengalami kegagalan, hanya saja frekuensi kegagalan antara satu orang dengan orang lain berbeda-beda. Semakin banyak keberhasilan yang dicapai akan menyebabkan individu bersangkutan menerima dirinya dengan baik.

g. Ada tidaknya figur identifikasi. Pengenalan terhadap orang-orang dengan mempunyai penyesuaian diri yang baik akan memungkinkan berkembangnya sikap positif terhadap dirinya, serta memunyai contoh atau metode yang baik bagaimana harus berperilaku.

(9)

perspektif diri obyektif dan sesuai dengan kenyataan yang sebenarnya akan memudahkan dalam penerimaan diri.

i. Latihan pada masa kanak. Pelatihan yang diterima pada masa kanak-kanak akan memengaruhi pola-pola kepribadian anak selanjutnya. Latihan yang baik pada masa kanak-kanak akan memberikan pengaruh positif pada penerimaan diri, sebaliknya penerimaan diri yang tidak baik akan memberikan pengaruh negatif, yaitu sikap penolakan terhadap diri sendiri. j. Konsep diri yang stabil. Konsep diri yang stabil bagi seseorang akan

memudahkan dalam usaha menerima diri. Apabila konsep diri selalu berubah-ubah, maka seseorang akan kesulitan memahami diri dan menerimanya, sehingga terjadi penolakan pada dirinya sendiri. Hal ini terjadi karena individu memandang dirinya selalu berubah-ubah.

Jadi kesimpulan faktor-faktor yang mempengaruhi penerimaan diri adalah adanya pemahaman tentang diri, adanya harapan-harapan yang realistik, adanya kebebasan dari hambatan lingkungan, bagaimana individu bersikap terhadap lingkungannya, ada tidaknya tekanan emosi yang berat, frekuensi keberhasilan, ada tidaknya figur identifikasi, adanya perspektif terhadap diri, adanya latihan pada masa kanak-kanak dan memiliki konsep diri yang stabil yang akan membuat seseorang memiliki penerimaan diri yang baik.

4. Intervensi Peningkatkan Penerimaan Diri

(10)

a. Konseling Realita

Konseling realita merupakan konsep konseling yang menekankan pada tanggung jawab konseli dalam menyikapi keadaannya sekarang. Pendekatan konseling realita tidak terpaku pada kejadian-kejadian di masa lalu, namun lebih mendorong konseli untuk menghadapi realitanya dengan menekankan pada pengubahan tingkah laku yang lebih bertanggungjawab dengan merencanakan dan melakukan tindakan-tindakan tersebut. Corey (2007) mengatakan inti dari konseling realitas adalah penerimaan tanggung jawab pribadi yang dipersamakan dengan kesehatan mental. Konseling realita didasarkan pada pencegahan terhadap konseli yang mengasumsikan tanggung jawab pribadi bagi kesuksesan dirinya sendiri. Glasser (Gibson, 2011) mengatakan terapi realitas berfokus pada masa kini dan berusaha membuat klien paham kalau pada esensinya semua tindakan adalah pilihan untuk memenuhi kebutuhan dasar. Penerimaan tanggung jawab ini mampu membantu konseli mencapai kematangan dirinya dengan mengandalkan dukungan internal. Konseling realita menitikberatkan kepentingannya dalam membuat perencanaan agar konseli dapat terdorong memperbaiki perilakunya sendiri.

b.Cognitive Behavioural Therapy

(11)

individu mengubah pikiran maladaptifnya (maladaptive thought) maka secara langsung juga mengubah tingkah lakunya yang tampak (overt action). CBT bertujuan membantu pasien untuk dapat mengubah sistem keyakinan yang negatif, irasional dan mengalami penyimpangan (distorsi) menjadi positif dan rasional sehingga secara bertahap memunyai reaksi somatik dan perilaku yang lebih sehat dan normal (Hepple, 2004). Dalam CBT, terapis berperan sebagai guru dan pasien sebagai murid. Dalam hubungan ini diharapkan terapis dapat secara efektif mengajarkan kepada pasien mekanisme koping baru yang lebih positif dan rasional, menggantikan struktur kognitif lama yang negatif, irasional dan mengalami distorsi (Sudiyanto, 2007).

c. Acceptance And Commitment Therapy (ACT)

Terapi ACT merupakan generasi baru dari terapi CBT yang memanfaatkan strategi penerimaan dan kesadaran dalam menghadapi suatu perubahan (Freeman, Arthur, Reinecke, Mark, Kazantzis, 2010). Menurut Hayes (2010), Acceptance And Commitment Therapy (ACT) merupakan suatu terapi yang bertujuan untuk meningkatkan aspek psikologi yang lebih fleksibel atau kemampuan untuk menjalani perubahan yang terjadi saat ini dengan lebih baik.

(12)

stabil diri sebagai pengamat pengalaman psikologis); berada pada saat sekarang dengan kesadaran diri; mengartikulasikan nilai secara jelas (memilih secara pribadi, cara yang diinginkan dalam berprilaku); dan berkomitment dalam bertindak (berpartisipasi dalam kegiatan yang konsisten dengan nilai, bahkan ketika ada tantangan psikologis) (Smout, 2012).

ACT adalah suatu terapi menggunakan konsep penerimaan, kesadaran, dan penggunaan nilai-nilai pribadi untuk menghadapi stresor internal jangka panjang, yang dapat menolong seseorang untuk mengidentifikasi pikiran dan perasaannya, kemudian menerima kondisi itu untuk melakukan perubahan, kemudian berkomitment terhadap diri sendiri meskipun dalam perjuangannya harus menemui pengalaman tidak menyenangkan.

Berdasarkan penjelasan diatas maka beberapa intervensi yang diyakini dapat meningkatkan penerimaan diri seseorang diantaranya adalah Konseling Realita, Cognitive Behavioral Therapy, Dan Acceptance And Commitment Therapy.

(13)

dimana dalam prosesnya ACT membuat seseorang mampu menerima setiap pengalaman dan peristiwa yang telah terjadi dan kembali berfungsi dengan normal dalam menjalani kehidupan sehari-hari sesuai dengan tujuan hidupnya. Pada umumnya tujuan dari sebuah terapi adalah untuk melakukan kontrol emosional, dimana proses untuk menghilangkan perasaan depresi, kecemasan, memori traumatik, ketakuatan akan penolakan, perasaan marah, berduka dan lain-lain. Dalam penerapannya ACT tidak ada usaha percobaan untuk mengurangi, mengubah, menghindari atau mengontrol pengalaman pribadi tetapi dengan mengajarkan teknik penerimaan dan komitmen terhadap pengalaman dan perasaan mereka (Hayes, Bach & Boyd, 2011). Dari proses terapi yang terjadi diharapkan akan meningkatkan aspek psikologis agar lebih fleksibel atau berkemampuan untuk menjalani perubahan yang terjadi saat ini dengan lebih baik (Hayes et al, 2006). Oleh sebab itu ACT dipilih dan diyakini mampu untuk peningkatan penerimaan diri pada narapidana dengan vonis hukuman pertama kali.

B. Acceptance And Commitment Therapy (ACT) 1. Definisi Acceptance And Commitment Therapy (ACT)

Acceptance and Commitment Therapy (ACT) pertama kali diciptakan oleh seorang psikolog Amerika yaitu Steven C. Hayes pada awal tahun 1980 (Harris, 2009). ACT secara benar diucapkan dengan “act” dan bukan dieja A

(14)

sekarang. di dalam ACT, individu umumnya tidak tertarik dengan kedua pemikiran benar atau salah, melainkan individu jauh lebih tertarik pada apakah hal itu sangat membantu untuk dipertahankan atau justru terjebak di dalamnya (Harris, 2009).

ACT adalah intervensi psikologis yang unik dan teruji secara empiris menggunakan strategi penerimaan dan mindfulness bersama dengan strategi perubahan perilaku dan komitment untuk meningkatkan fleksibilitas psikologis (Hayes, 2005).

Menurut Hayes (Widuri, 2012), terapi ACT merupakan suatu terapi yang berlandaskan filosofi analisis fungsi hubungan perilaku dan lingkungan, termasuk bahasa di dalamnya. Terapi ACT merupakan generasi baru dari terapi CBT yang memanfaatkan strategi penerimaan dan kesadaran dalam menghadapi suatu perubahan (Freeman, Arthur, Reinecke, Kazantzis, 2010). Sejumlah peneliti/penulis terbaru telah membandingkan ACT dengan metode tradisional CBT. Dalam artikel terkini menjelaskan ACT sebagai sesuatu yang berbeda dan merupakan bagian dari model perubahan perilaku, berhubungan dengan strategi spesifik dari perkembangan ilmiah, yang di istilahkan dengan “contextual behavioral science”. ACT bukan lawan dari CBT tradisional, dan

bukan juga secara langsung menopang manakala terjadi kelemahan dari CBT tradisional (Hayes dkk, 2010).

(15)

pemberian intervensi mengatasi masalah ketidakberdayaan. Menurut Hayes (2010), Acceptance And Commitment Therapy (ACT) merupakan suatu terapi yang bertujuan untuk meningkatkan aspek psikologis yang lebih fleksibel atau kemampuan untuk menjalani perubahan yang terjadi saat ini dengan lebih baik. Dalam ACT klien diajak untuk tidak menghindari tujuan hidupnya, meskipun dalam upaya untuk mencapainya akan ditemukan pengalaman-pengalaman yang tidak menyenangkan (Dewi, 2013).

Model ACT memprediksi, orang akan paling efektif bila mampu menerima pikiran-pikiran, sensasi dan dorongan otomatis, meredakan dari pemikiran (Amati atau observasi pikiran tanpa mempercayai dan mengikuti arahan mereka); pengalaman pribadi sebagai konteks (terus menerus, rasa stabil diri sebagai pengamat pengalaman psikologis); berada pada saat sekarang dengan kesadaran diri; mengartikulasikan nilai secara jelas (memilih secara pribadi, cara yang diinginkan dalam berprilaku); dan berkomitment dalam bertindak (berpartisipasi dalam kegiatan yang konsisten dengan nilai, bahkan ketika ada tantangan psikologis) (Smout, 2012).

(16)

perilaku dapat eksis secara bersama-sama atau secara mandiri dari satu sama lain (Hayes, steven., Jason, Frank, Jason, 2006). Oleh karena itu terapis mengarahkan klien langsung terhadap penerimaan emosi dan pengalaman mereka dan untuk hadir dalam menghadapi emosi yang kuat yang mungkin mereka hindari.

Menurut Strosahl (2002) tujuan ACT adalah: (1) membantu klien untuk dapat menggunakan pengalaman langsung untuk mendapatkan respon yang lebih efektif untuk dapat tetap bertahan dalam hidup, (2) mampu mengontrol penderitaan yang dialaminya, (3) menyadari bahwa penerimaan dan kesadaran merupakan upaya alternatif untuk tetap bertahan dalam kondisi yang dihadapinya, (4) menyadari bahwa penerimaan akan terbentuk oleh karena adanya pikiran dan apa yang diucapkan, (5) menyadari bahwa diri sendiri sebagai tempat penerimaan dan berkomitmen melakukan tindakan yang akan dihadapi, (6) memahami bahwa tujuan dari suatu perjalanan hidup adalah memilih nilai dalam mencapai hidup yang lebih berharga.

ACT tidak bertujuan untuk mereduksi simtom dari permasalahan akan tetapi hal tersebut biasanya tereduksi dengan sendirinya ketika terapi sedang dijalankan (Forman, 2005). Terapi ACT dapat digunakan dalam menangani masalah (Hayes, 2010): (1) kecemasan, (2) menangani masalah penyakit kronik, (3) depresi, (4) gangguan pola kebiasaan, (5) masalah psikotik dan beberapa peneliti lainnya.

(17)

penggunaan nilai-nilai pribadi untuk menghadapi stresor internal jangka panjang, yang dapat menolong seseorang untuk dapat mengidentifikasi pikiran dan persaannya, kemudian menerima kondisi untuk melakukan perubahan yang terjadi tersebut, kemudian berkomitmen terhadap diri sendiri meskipun dalam perjuangannya harus menemui pengalaman yang tidak menyenangkan.

2. Prinsip Penatalaksana ACT

Teknik pelaksanaan ACT dilakukan dalam 6 sesi yang terdiri dari Acceptance, cognitif defusion, being present, self as a contex, values, and committed action (Hayes et al, 2006).

a. Acceptance (penerimaan)

Menerima pikiran dan perasaan meskipun terdapat hal yang tidak diinginkan/ tidak menyenangkan seperti rasa bersalah, rasa malu, rasa cemas dan lainnya. Klien berusaha menerima apa yang mereka punya dan miliki dengan maksud untuk mengakhiri penderitaan jangka panjang yang dialami tanpa mengubah atau membuang pikiran tidak dinginkan, tetapi dengan melakukan berbagai cara latihan untuk mencapai kesadaran. Klien belajar untuk dapat hidup dengan menjadikan stresor sebagai bagian dari hidupnya. b. Cognitive defusion

(18)

c. Being present

Klien dibantu untuk mendapatkan pengalaman yang lebih terarah sehingga perilaku yang ditunjukkan menjadi lebih fleksibel dan kegiatan yang dilakukan menjadi lebih konsisten sesuai dengan nilai yang dianutnya. Klien dibantu untuk memilih arah hidup mereka dengan cara mengidentifikasi dan fokus pada apa yang mereka inginkan dan nilai apa yang akan mereka pilih untuk hidup mereka, sehingga dapat mencapai tujuan hidup yang lebih berharga.

d. Self as a contex

Klien melihat dirinya sebagai pribadi tanpa harus menghakimi dengan nilai benar atau salah. Klien dibantu untuk lebih fokus pada dirinya dengan cara latihan pikiran dan pengalaman.

e. Values

Klien dibantu untuk menetapkan nilai-nilai dan mampu mengambil keputusan untuk melakukan tindakan yang sesuai dengan tujuan hidupnya. f. Commited Action

Klien berkomitmen secara verbal dan tindakan terhadap kegiatan yang akan dipilih termasuk langkah yang diambil untuk mencapai tujuan hidup yang lebih berharga.

(19)

diinginkan), self as a contex (membuat klien melihat diri sebagai pribadi yang tidak menghakimi diri sendiri), values (klien mampu mengambil keputusan untuk tujuan hidupnya, and committed action (berkomitment untuk mencapai tujuan yang dinginkan). Berikut ini penjabaran dari masing-masing sesi yaitu:

Sesi 1: Mengidentifikasi kejadian, pikiran, dan perasaan yang muncul serta dampak perilaku akibat pikiran dan perasaan yang muncul serta menerima pengalaman tersebut. Sesi ini bertujuan: (1) Klien mampu membina hubungan saling percaya dengan terapis. (2) Klien mengetahui tentang permasalahan yang berkaitan dengan penerimaan diri. (3) Klien dapat mengidentifikasi kejadian buruk/tidak menyenangkan yang dialami sampai saat ini. (4) Klien mampu mengidentifikasi pikiran yang muncul dari kejadian tersebut. (5) Klien mampu mengidentifikasi respon yang timbul dari kejadian tersebut. (6) Klien mampu mengidentifikasi upaya/perilaku yang muncul dari pikiran dan perasaan yang ada terkait kejadian. (7) Klien menerima pengalaman internal dalam dirinya yang meliputi pikiran, perasaan, memori, dan sensasi tubuh yang tidak menyenangkan. (8) Klien menyadari sensasi ketidaknyamanan yang dirasakan selama ini dan belajar untuk berdamai dengan sensasi tersebut. Klien belajar untuk menurunkan ketegangan dan menciptakan kenyamanan di dalam dirinya sendiri.

(20)

mengidentifikasi kejadian buruk/tidak menyenangkan yang terjadi. (2) Klien mampu menceritakan tentang upaya yang dilakukan terkait dengan kejadian tersebut berdasarkan pengalaman klien baik yang konstruktif maupun destruktif. (3) Klien menyadari bahwa dirinya berkuasa atas pikirannya, bukan pemikiran terhadap tubuhnya. (4) Membantu klien untuk terlepas dari evaluasi negatif yang tidak berguna mengenai diri dan kehidupannya. (5) Klien memiliki ketrampilan untuk dapat menenangkan pikiran negatif yang muncul tanpa perlu menghabiskan waktu dan tenaga untuk melawan atau mengontrolnya.

(21)

Sesi 4: Membantu untuk lebih fokus pada dirinya dengan cara latihan pikiran dan pengalaman. Pada sesi ini bertujuan : (1) Klien mampu berfokus pada diri tanpa harus menghakimi dengan nilai benar dan salah. (2) Klien diajarkan lebih fokus pada dirinya dengan cara latihan pikiran dan pengalaman. (3) Mendiskusikan tentang apa yang akan dilakukan untuk menghindari berulangnya perilaku buruk yang terjadi. (4) Klien mampu mengidentifikasi rencana yang akan dilakukan klien untuk mempertahankan perilaku yang baik. (5) Klien mampu mengidentifikasi apa yang akan dilakukan oleh klien untuk meningkatkan kemampuan berperilaku baik. (6) Menyebutkan keuntungan dari terapi ACT. (7) Mampu menyebutkan akibat bila stres tidak ditangani segera.

Sesi 5: Menetapkan nilai-nilai dan mampu mengambil keputusan untuk melakukan tindakan yang sesuai dengan tujuan hidupnya. Pada sesi ini bertujuan: (1) Klien menemukan dan menyadari nilai-nilai yang dianggap penting olehnya akan tetapi selama ini terabaikan karena pemikiran-pemikirannya. (2) Klien mengetahui konsisten perilakunya selama ini terhadap nilai-nilai yang ia anggap penting. Sesi 6: Berkomitmen secara verbal dan tindakan terhadap kegiatan yang

(22)

klien dengan orang lain dan penguasaannya terhadap lingkungan baik itu keluarga maupun sosial. (2) Klien berkomitment nyata untuk tetap melakukan hal yang sudah klien tetapkan walaupun menghadapi banyak kesulitan atau hambatan yang muncul dalam pencapaian tujuannya.

C. Pengaruh ACT Terhadap Penerimaan Diri

Rendahnya penerimaan diri merupakan suatu hal yang bisa menimpa semua orang dalam waktu tertentu kehidupannya. Banyak orang lebih mudah memandang dan menerima kelebihan dalam dirinya dibandingkan dengan kekurangan yang ada pada dirinya sendiri, sehingga mereka merasakan suatu ketidaknyamanan yang luar biasa. Kondisi tersebut ditandai dengan gejala menarik diri dari pergaulan karena malu/ minder atas keadaan atau kekurangan yang dimilikinya. Kurangnya penerimaan diri menunjukkan adanya kepribadian menyimpang yang ditunjukkan oleh seorang yang mengalami kesulitan dalam bersosialisasi. Menurut Hurlock (2004), penerimaan diri adalah suatu tingkat kemampuan atau keinginan individu dengan segala karakteristik dirinya. Hal ini menunjukkan bahwa penerimaan diri sangatlah diperlukan bagi narapidana untuk menunjukkan dirinya memunyai kekuatan.

(23)

kemungkinan mengalami gangguan psikologis yang dapat menjadi tertekan, sehingga membutuhkan penyesuaian baru meliputi fisik, psikis, dan sosial (Cooke & David, 2008). Sedangkan menurut Sanusi (1997) mengatakan, seorang pelanggar hukum yang baru pertama kali menginjakkan kaki ke dalam tembok penjara pada umumnya akan terjadi suatu moment kritis dan akan menonjol sikap kegagalan, rasa rendah diri dan perasaan menolak. Status baru yang disandang sebagai narapidana berdampak pada munculnya stigma negatif di masyarakat membuat seorang narapidana mengalami penerimaan diri rendah. Keadaan tersebut diperkuat adanya persepsi negatif dari masyarakat tentang seorang narapidana, sehingga persepsi narapidana tentang diri mereka pun akan cenderung negatif, sehingga muncul perasaan rendah diri, kecenderungan autistik dan berusaha melarikan diri dari realitas yang traumatik. Hal ini menjadikan penerimaan diri cenderung rendah dari narapidana yang baru pertama kali mendapatkan vonis hukuman. Kemampuan penerimaan diri rendah berdampak terhadap munculnya permasalahan-permasalahan psikologis, seperti depresi, kecemasan, phobia, dan anti sosial (Ardilla & Herdiana, 2013).

(24)

jalani. Narapidana merasa resah dan tidak tenang karena kesalahan yang telah diperbuat, banyak berdiam diri, kurang terbuka dan kurang menyadari perasaan-perasaan yang sesungguhnya, selalu menyalahkan oranglain, kurang adanya keyakinan terhadap diri sendiri, dan merasa rendah diri dan tidak berharga karena telah bersatus sebagai narapidana. Melihat kondisi tersebut, perlunya dilakukan penelitian sehubungan dengan tingkat penerimaan diri dari para narapidana. Hal ini dilakukan guna membantu mereka agar tetap tegar dalam menjalani kehidupannya di penjara, salah satunya adalah dengan memberikan terapi bagi narapidana tersebut. Pada penelitian ini dilakukan dengan terapi ACT yang diyakini mampu meningkatkan penerimaan diri pada narapidana. Penelitian Heriyadi (2013) tentang penerimaan diri hasilnya menunjukkan bahwa self acceptance siswa sebelum mendapatkan konseling individu realita termasuk dalam kriteria rendah dengan persentase 48%,setelah mendapatkan konseling individu realita mengalami peningkatan menjadi 64% dengan kriteria sedang, yang memerlihatkan perubahan positif sebesar 16%. Hasil pengujian statistik menyimpulkan bahwa konseling individu realita dapat mengubah self acceptance rendah menjadi tinggi.

(25)

menyimpulkan bahwa terdapat perbedaan penerimaan diri yang signifikan setelah diberikan terapi Cognitif Behavioural Therapy. Terapi CBT kemudian dikembangkan lebih lanjut menjadi terapi ACT

Acceptance and Commitment Therapy (ACT) merupakan salah satu bentuk Cognitive Behavior Therapy (CBT) yang cukup efektif dalam mengurangi kecemasan, meningkatkan aspek psikologis yang lebih fleksibel atau kemampuan untuk menjalani perubahan yang dialami agar menjadi lebih baik (Forman dalam Hayes, 2006).

Terapi ACT adalah suatu terapi yang menggunakan konsep penerimaan, kesadaran, dan penggunaan nilai-nilai pribadi untuk menghadapi stresor internal jangka panjang, yang dapat menolong seseorang untuk dapat mengidentifikasi pikiran dan perasaannya, kemudian menerima kondisi untuk melakukan perubahan yang terjadi tersebut, kemudian berkomitmen terhadap diri sendiri meskipun dalam perjuangannya harus menemui pengalaman yang tidak menyenangkan (Hayes et al, 2006). ACT diharapkan dapat meningkatkan penerimaan diri dan gambaran diri pada narapidana. Seperti dikatakan oleh Johada (Ardilla & Ike 2013) bahwa seseorang yang dapat menerima dirinya adalah individu yang sudah mampu belajar untuk dapat hidup dengan dirinya sendiri, dalam arti individu dapat menerima kelebihan dan kekurangan dirinya.

(26)

diinginkan/ tidak menyenangkan seperti rasa bersalah, rasa malu, rasa cemas dan lainnya. Peserta berusaha menerima apa yang mereka punya dan miliki dengan maksud untuk mengakhiri penderitaan jangka panjang yang dialami tanpa mengubah atau membuang pikiran tidak dinginkan, tetapi dengan melakukan berbagai cara latihan untuk mencapai kesadaran.

Pada sesi cognitive defusion peserta diajak untuk mengurangi penolakan terhadap pikiran atau pengalaman tidak menyenangkan sehingga memunculkan penerimaan diri yang tinggi pada peserta. Hayes (2006) mengungkapkan bahwa cognitive defusion merupakan usaha untuk menemukan jalan bagaimana mengaitkan sebuah pemikiran dengan menata ulang kognisi dan mengurangi fungsi yang tidak berguna, yang bertujuan untuk mengurangi penolakan secara emosi dimana dapat terjadi saat seseorang menolak untuk mengalami pengalaman buruk. Proses cognitive defusion ini membuat peserta mampu mengidentifikasi kejadian buruk/tidak menyenangkan yang terjadi selama ini sehingga peserta mampu menyadari bahwa dirinya berkuasa atas pikirannya, bukan pikiran terhadap tubuhnya.

(27)

mengidentifikasi serta menjelaskan pikiran/ perasaan agar peserta dapat mengerti dirinya. Hayes (2006) mengungkapkan bahwa kontak dengan keadaan sekarang melibatkan kesadaran dari psikologi dan lingkungan fisik. Peserta dibantu untuk mendapatkan pengalaman yang lebih terarah sehingga perilaku yang ditunjukkan menjadi lebih konsisten sesuai dengan nilai yang dianutnya.

Sesi self as a contex bertujuan membantu peserta melihat dirinya sendiri tanpa harus menghakimi/menghubungkan peserta dengan nilai benar ataupun salah. Menurut Hayes (2006) mengamati diri atau diri sebagai kontek mengacu pada sebuah persepsi diri tentang dunia dan terlepas dari perilaku saat ini dan pengalaman pribadi. Haris (2009) mendiskripsikan self as a contex sebagai poin yang mana individu mengamati pengalaman pribadinya sendiri. ACT membantu peserta untuk menjadi lebih fokus pada dirinya sendiri dengan cara latihan pikiran, dan latihan pengalaman.

Sesi values bertujuan untuk membantu peserta mengklarifikasi nilai yang ada dalam hidupnya dan membantu peserta untuk mengambil keputusan atau tindakan yang mendukung nilai-nilai hidup yang sudah ada. Menurut Hayes (2006) di ACT, nilai menunjukkan kualitas bentuk dari latar belakang hidup peserta dan dapat menjadi gambaran hidup di masa sekarang. Peserta dibantu untuk menggunakan nilai yang sudah ada untuk mengatasi masalahnya saat ini. Dengan mengklarifikasi nilai-nilai tersebut, akan membantu peserta meningkatkan keinginan untuk melakukan perilaku baru yang adaptif.

(28)

tindakan dari komitmen peserta. Pada verbal dan tindakan, terhadap kegiatan yang akan dipilih, termasuk langkah yang diambil untuk mencapai tujuan hidup yang lebih berharga. Peserta siap untuk keluar dari permasalahan yang dihadapinya dengan berkomitmen terhadap dirinya dan melaksanakan berbagai kegiatan yang dapat mengembangkan dirinya dengan nilai-nilai yang sudah ada pada diri.

Dalam hal ini terapis tidak berusaha untuk membuat klien mengubah pikiran dan perasaan mereka, sebaliknya tujuannya adalah untuk mengubah tanggapan mereka terhadap pikiran dan perasaan mereka sendiri. ACT percaya bahwa emosi dan perilaku dapat eksis secara bersama-sama atau secara mandiri dari satu sama lain (Hayes, steven., Jason, Frank, Jason, 2006). Oleh karena itu terapis mengarahkan klien langsung terhadap penerimaan emosi dan pengalaman mereka dan untuk hadir dalam menghadapi emosi yang kuat yang mungkin mereka hindari. Setiap sesi akan mengulas dan menyasar ke 6 dimensi ACT dengan menggunakan metafora, imajinasi dan materi lainnya serta di dalam ACT peserta akan diberikan pekerjaan rumah berupa pencatatan buku harian yang dilakukan setiap hari selama satu minggu, dan setiap minggunya terapis akan membahas buku harian dan memantau setiap perubahan-perubahan yang terjadi pada peserta. Acceptance and Commitment Therapy idealnya dilaksanakan dalam 6-8 sesi pertemuan dengan lamanya waktu antara 60 sampai dengan 120 menit dan dilakukan 1 minggu sekali untuk memaksimalkan waktu dan pekerjaan rumah peserta (Hayes & Rowse, 2008).

(29)

komitmen untuk bertindak juga sangat penting. Komitmen melibatkan membuat keputusan secara sadar tentang apa yang penting dalam hidup dan apa yang bersedia dilakukan agar hidupnya dihargai. ACT memanfaatkan pekerjaan rumah dan latihan perilaku sebagai cara untuk menciptakan pola-pola yang lebih besar dari tindakan efektif yang akan membantu klien hidup dengan nilai-nilai mereka. Focus dari ACT adalah memungkinkan pengalaman untuk datang dan pergi sambil mengejar kehidupan yang bermakna (Corey, 2009).

ACT diharapkan dapat membuat penerimaan diri dan penghormatan diri individu dalam ke 6 sesi menjadi lebih baik sehingga kemampuan flesibilitas psikologis tercapai. Fleksibilitas psikologis yaitu kemampuan sepenuhnya untuk menghubungkan saat ini dan reaksi psikologis yang dihasilkan orang dalam keadaan sadar dan mampu bertahan atau mengubah perilaku dalam situasi dan melayani nilai-nilai yang sudah dipilih (Hayes & Flecher, 2005).

(30)

pada respon adaptif terhadap masalah, kemampuan dalam menyelesaikan masalah, tercapainya tujuan hidup dan tercipta kepuasan batin (Eilenberg, T., Konstrad, I & Frostholm, 2013).

Menurut Maslow (Ardilla & Ike 2013) seorang yang dapat menerima dirinya adalah individu yang dapat dengan tenang, bebas dari rasa bersalah, malu dan rendah diri atas keterbatasan dirinya sendiri, dan tidak merasakan kecemasan oleh orang lain terhadap dirinya. Individu yang dapat menerima keadaan dirinya dapat menghormati diri mereka sendiri, dapat menyadari sisi negatif dalam dirinya, dan mengetahui bagaimana untuk hidup bahagia dengan sisi negatif yang dimilikinya. Selain itu individu yang dapat menerima dirinya memiliki kepribadian yang sehat dan kuat. Sebaliknya, orang yang mengalami kesulitan dalam penerimaan diri tidak menyukai karakteristik mereka sendiri, merasa diri mereka tidak berguna dan tidak percaya diri (Ceyhan & Ceyhan, 2011).

Sehubungan dengan uraian di atas, maka dapat disimpulkan bahwa terapi ACT mampu menjadikan seseorang dapat menerima dan berkomitmen besar atas permasalahan yang dialami, sehingga tingkat penerimaan dirinya menjadi tinggi.

D. Landasan Teori

(31)

dipengaruhi oleh beberapa aspek yaitu, adanya keyakinan akan kemampuan diri dalam menghadapi persoalan, adanya anggapan berharga terhadap diri sendiri sebagai manusia dan sederajat dengan orang lain, tidak ada anggapan aneh atau abnormal terhadap diri sendiri dan tidak ada harapan untuk ditolak orang lain, tidak adanya rasa malu atau tidak hanya memperhatikan diri sendiri, ada keberanian memikul tanggung jawab atas perilaku sendiri, adanya objektivitas dalam menerima pujian atau celaan, dan tidak adanya penyangkalan atas keterbatasan yang ada, ataupun pengingkaran kelebihan.

Hal terpenting ketika seseorang mampu menerima dirinya adalah ketika seseorang tersebut dapat menerima segala potensi yang ada pada dirinya, baik itu yang berkaitan dengan kelebihan maupun kelemahan/kekurangan orang tersebut. Dengan demikian, seseorang akan dapat berinteraksi dengan baik karena orang tersebut dapat menerima kritik ataupun penolakan dari orang lain secara positif. Sebaliknya individu yang memunyai penerimaan diri rendah akan mudah putus asa, selalu menyalahkan dirinya, malu, rendah diri akan keadaannya, merasa tidak berarti, merasa iri terhadap keadaan orang lain, akan sulit membangun hubungan positif dengan orang lain, dan tidak bahagia (Husniyati, 2009).

(32)

dengan menempatkan diri sesuai dengan nilai yang dianut sehingga ia akan menerima kondisi yang ada (Hayes, 2006).

Penerimaan/acceptance memiliki arti menerima, sehingga disini ditekankan bahwa seseorang harus terlebih dahulu mengerti mengenai keadaannya, setelah itu barulah ia bisa menerima dengan kondisinya (Varcarolis, 2006). Komitmen memunyai arti perjanjian (keterikatan) untuk melakukan sesuatu. Narapidana berkomitmen terhadap keputusan dan tujuan yang ingin dicapainya melalui proses komunikasi yang terapeutik antara terapis dan klien, sehingga klien harus bisa bertahan dengan apa dipilih karena sudah berkomitmen (Stuart, 2009). ACT dikatakan sangat efektif dalam menciptakan penerimaan, perhatian dan lebih terbuka dalam mengembangkan kemampuan yang dimiliki beberapa kasus pada klien dengan depresi, ansietas, penyalahgunaan narkoba, nyeri kronik, PTSD, anoreksia dan skizofrenia (Hayes, 2005).

(33)

menciptakan pola-pola yang lebih besar dari tindakan efektif yang akan membantu klien hidup dengan nilai-nilai mereka. Focus dari ACT adalah memungkinkan pengalaman untuk datang dan pergi sambil mengejar kehidupan yang bermakna (Corey G, 2009).

Pelaksanaan ACT dilakukan dalam 6 sesi yang mengacu pada 6 prinsip dasar yaitu Acceptance, cognitif defusion, being present, self as a contex, values, and committed action (Hayes et al, 2006). Dari 6 sesi yang dilakukan pada intervensi ACT maka diharapkan dapat membuat penerimaan diri dan penghormatan diri individu menjadi lebih baik sehingga membantu untuk meningkatkan pemfungsian dan quality of life dengan meningkatkan psychological flexibility, atau kemampuan bertindak secara efektif sesuai dengan nilai-nilai personal meskipun terjadi gangguan terhadap pikiran (interfering thought), emosi dan sensasi tubuh (Hayes et al, 2006).

Menurut Harris (2009) psychological flexibility adalah kemampuan untuk berada pada saat sekarang dengan penuh kesadaran dan keterbukaan terhadap pengalaman, dan dapat mengambil tindakan yang berdasarkan nilai kehidupan yang dianut. Lebih sederhanyanya, psychological flexibility adalah kemampuan untuk „berada pada saat ini, terbuka, dan melakukan apa yang ada. Kemampuan

untuk berada dalam kondisi sadar secara penuh, terbuka pada pengalaman, dan untuk bertindak sesuai dengan nilai.

(34)

pendapat secara efektif. Sedangkan perubahan yang terjadi secara kognitif berupa positive thinking, respon emosi yang stabil, pemecahan masalah secara positif, dukungan sosial yang baik antar individu dalam kelompok, penerimaan yang baik dan komitmen dalam menjalankan tugas dengan baik. Selain itu quality of life meningkat terlihat pada respon adaptif terhadap masalah, kemampuan dalam menyelesaikan masalah, tercapainya tujuan hidup dan tercipta kepuasan batin (Eilenberg, T., Konstrad, I & Frostholm, 2013). Dengan penerapan terapi ACT diharapkan narapidana akan menerima kondisinya dan dapat menentukan apa yang terbaik untuk dirinya dan berkomitmen untuk melakukan apa yang sudah dipilihnya (Heyes, 2005). Melihat proses terapi yang diterapkan oleh ACT, maka ACT diharapkan mampu untuk meningkatkan penerimaan diri pada narapida dengan vonis hukuman pertama kali.

(35)

Keterangan :

: Diberi intervensi

: Indikator keberhasilan Intervensi

Gambar 1.

(36)

F. Hipotesis

Gambar

Gambar 1.

Referensi

Dokumen terkait