• Tidak ada hasil yang ditemukan

Penerimaan diri merupakan suatu keadaan dengan seseorang memiliki sikap positif terhadap diri sendiri, mengakui dan menerima berbagai aspek diri termasuk kualitas baik dan buruk yang ada pada diri dan memandang positif kehidupan yang telah dijalani (Santrock, 2002). Selanjutnya Sheerer (Praptomojati, 2015) menyebutkan penerimaan diri pada diri seseorang

dipengaruhi oleh beberapa aspek yaitu, adanya keyakinan akan kemampuan diri dalam menghadapi persoalan, adanya anggapan berharga terhadap diri sendiri sebagai manusia dan sederajat dengan orang lain, tidak ada anggapan aneh atau abnormal terhadap diri sendiri dan tidak ada harapan untuk ditolak orang lain, tidak adanya rasa malu atau tidak hanya memperhatikan diri sendiri, ada keberanian memikul tanggung jawab atas perilaku sendiri, adanya objektivitas dalam menerima pujian atau celaan, dan tidak adanya penyangkalan atas keterbatasan yang ada, ataupun pengingkaran kelebihan.

Hal terpenting ketika seseorang mampu menerima dirinya adalah ketika seseorang tersebut dapat menerima segala potensi yang ada pada dirinya, baik itu yang berkaitan dengan kelebihan maupun kelemahan/kekurangan orang tersebut. Dengan demikian, seseorang akan dapat berinteraksi dengan baik karena orang tersebut dapat menerima kritik ataupun penolakan dari orang lain secara positif. Sebaliknya individu yang memunyai penerimaan diri rendah akan mudah putus asa, selalu menyalahkan dirinya, malu, rendah diri akan keadaannya, merasa tidak berarti, merasa iri terhadap keadaan orang lain, akan sulit membangun hubungan positif dengan orang lain, dan tidak bahagia (Husniyati, 2009).

Penerimaan diri yang rendah dapat diupayakan meningkat salah satunya dengan memberikan intervensi ACT yang merupakan salah satu terapi yang popular saat ini dan dianggap lebih fleksibel dan lebih efektif dalam menangani berbagai kasus (Montgomery, Kim, & Franklin, 2011). Terapi ini mengajarkan untuk menerima pikiran yang mengganggu dan dianggap tidak menyenangkan

dengan menempatkan diri sesuai dengan nilai yang dianut sehingga ia akan menerima kondisi yang ada (Hayes, 2006).

Penerimaan/acceptance memiliki arti menerima, sehingga disini ditekankan bahwa seseorang harus terlebih dahulu mengerti mengenai keadaannya, setelah itu barulah ia bisa menerima dengan kondisinya (Varcarolis, 2006). Komitmen memunyai arti perjanjian (keterikatan) untuk melakukan sesuatu. Narapidana berkomitmen terhadap keputusan dan tujuan yang ingin dicapainya melalui proses komunikasi yang terapeutik antara terapis dan klien, sehingga klien harus bisa bertahan dengan apa dipilih karena sudah berkomitmen (Stuart, 2009). ACT dikatakan sangat efektif dalam menciptakan penerimaan, perhatian dan lebih terbuka dalam mengembangkan kemampuan yang dimiliki beberapa kasus pada klien dengan depresi, ansietas, penyalahgunaan narkoba, nyeri kronik, PTSD, anoreksia dan skizofrenia (Hayes, 2005).

Pendekatan ini melibatkan sepenuhnya penerimaan pengalaman sekarang dan penuh kesadaran untuk melepaskan hambatan. Penerimaan dalam pendekatan ini adalah tidak sekedar mentoleransi melainkan tidak menghakimi serta aktif merangkul pengalaman saat ini. Berbeda dengan pendekatan CBT dimana kognisi ditantang atau diperdebatkan, di ACT kognisi yang diterima. Klien belajar bagaimana menerima pikiran dan perasaan mereka yang mungkin dicoba untuk ditolak. Selain penerimaan, komitmen untuk bertindak juga sangat penting. Komitmen melibatkan membuat keputusan secara sadar tentang apa yang penting dalam hidup dan apa yang bersedia dilakukan agar hidupnya dihargai. ACT memanfaatkan pekerjaan rumah dan latihan perilaku sebagai cara untuk

menciptakan pola-pola yang lebih besar dari tindakan efektif yang akan membantu klien hidup dengan nilai-nilai mereka. Focus dari ACT adalah memungkinkan pengalaman untuk datang dan pergi sambil mengejar kehidupan yang bermakna (Corey G, 2009).

Pelaksanaan ACT dilakukan dalam 6 sesi yang mengacu pada 6 prinsip dasar yaitu Acceptance, cognitif defusion, being present, self as a contex, values, and committed action (Hayes et al, 2006). Dari 6 sesi yang dilakukan pada intervensi ACT maka diharapkan dapat membuat penerimaan diri dan penghormatan diri individu menjadi lebih baik sehingga membantu untuk meningkatkan pemfungsian dan quality of life dengan meningkatkan psychological flexibility, atau kemampuan bertindak secara efektif sesuai dengan nilai-nilai personal meskipun terjadi gangguan terhadap pikiran (interfering thought), emosi dan sensasi tubuh (Hayes et al, 2006).

Menurut Harris (2009) psychological flexibility adalah kemampuan untuk berada pada saat sekarang dengan penuh kesadaran dan keterbukaan terhadap pengalaman, dan dapat mengambil tindakan yang berdasarkan nilai kehidupan yang dianut. Lebih sederhanyanya, psychological flexibility adalah kemampuan untuk „berada pada saat ini, terbuka, dan melakukan apa yang ada. Kemampuan untuk berada dalam kondisi sadar secara penuh, terbuka pada pengalaman, dan untuk bertindak sesuai dengan nilai.

Dalam hal ini peningkatan psychological flexibility dapat ditunjukkan dengan perubahan sikap yang terlihat pada individu yaitu cara berkomunikasi yang baik, kemampuan dalam menjalankan tugas, dan melakukan sharing

pendapat secara efektif. Sedangkan perubahan yang terjadi secara kognitif berupa positive thinking, respon emosi yang stabil, pemecahan masalah secara positif, dukungan sosial yang baik antar individu dalam kelompok, penerimaan yang baik dan komitmen dalam menjalankan tugas dengan baik. Selain itu quality of life meningkat terlihat pada respon adaptif terhadap masalah, kemampuan dalam menyelesaikan masalah, tercapainya tujuan hidup dan tercipta kepuasan batin (Eilenberg, T., Konstrad, I & Frostholm, 2013). Dengan penerapan terapi ACT diharapkan narapidana akan menerima kondisinya dan dapat menentukan apa yang terbaik untuk dirinya dan berkomitmen untuk melakukan apa yang sudah dipilihnya (Heyes, 2005). Melihat proses terapi yang diterapkan oleh ACT, maka ACT diharapkan mampu untuk meningkatkan penerimaan diri pada narapida dengan vonis hukuman pertama kali.

Berdasarkan penjelasan di atas maka kerangka pikir penelitian ini ditunjukkan melalui Gambar 1. berikut:

Keterangan :

: Diberi intervensi

: Indikator keberhasilan Intervensi

Gambar 1.

F. Hipotesis

Berdasarkan uraian di atas, maka dapat diajukan hipotesis sebagai berikut; Terdapat perbedaan penerimaan diri antara sebelum mendapat ACT dengan setelah mendapat ACT. Setelah ACT penerimaaan diri peserta lebih tinggi daripada sebelum ACT.

Dokumen terkait