• Tidak ada hasil yang ditemukan

TINJAUAN PUSTAKA. Ekosistem

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "TINJAUAN PUSTAKA. Ekosistem"

Copied!
18
0
0

Teks penuh

(1)

TINJAUAN PUSTAKA

Ekosistem

Ekosistem adalah suatu sistem di alam yang terdiri dari komponen biotik (organisme) dan abiotik (non hayati) dimana terjadi interaksi antara kedua komponen tersebut. Pendekatan untuk mempelajari ekosistem dapat dilakukan melalui studi mekanistik (orientasi pada proses), empirik, struktur (komponen penyusun ekosistem) dan fungsi (interaksi antara komponen penyusun). Studi tersebut dapat mencakup skala yang berbeda mulai dari tingkat plot sampai regional. Studi struktur dan fungsi ekosistem dalam rangka pengelolaan hutan sangat penting karena kontribusinya dalam memberikan pemahaman terhadap proses yang terjadi dari suatu perubahan baik yang diakibatkan oleh manusia atau alam (Anonimous 2004). Struktur ekosistem menggambarkan komponen-komponen penyusun ekosistem dalam berbagai sudut pandang atau dengan kata lain membahas apa yang berinteraksi, seperti komponen abiotik dan biotik, produsen dan konsumen, dan lain-lain, sedangkan fungsi ekosistem berhubungan dengan interaksi dinamis antar komponen ekosistem dalam dimensi ruang dan waktu atau untuk melihat bagaimana mereka berinteraksi.

Salah satu fungsi ekosistem hutan adalah produktivitas. Produktivitas dalam konteks ekosistem didefinisikan sebagai laju tahunan produktivitas primer bersih (net primary productivity = NPP) yaitu total kuantitas fotosintesis (gross primary productivity = GPP) dikurangi respirasi (Bruenig 1996), sedangkan produktivitas primer kotor (GPP) adalah total produksi primer yaitu jumlah energi cahaya yang dirubah menjadi energi kimia. Dengan kata lain produktivitas primer bersih (NPP) dialokasikan pada beberapa bagian pohon dan disimpan atau digunakan sebagai sumber energi untuk pertumbuhan.

Produktivitas suatu ekosistem bervariasi menurut tipe hutan, lanskap dan komposisi jenis (Perry 1994). Dua faktor utama yang menentukan perbedaan produktivitas menurut tipe hutan, yaitu energi matahari dan lama musim pertumbuhan. Perbedaan produktivitas juga ditentukan oleh lanskap seperti ketersediaan hara, air, suhu dan komposisi jenis. Ada saling keterkaitan antara

(2)

faktor-faktor tersebut dalam mempengaruhi produktivitas suatu ekosistem, sebagai contoh suhu dan kelembaban berpengaruh secara langsung terhadap proses dekomposisi bahan organik yang penting perannya bagi suplai ketersediaan hara dalam suatu ekosistem. Demikian juga dengan komposisi jenis, makin beragam komposisi jenis suatu ekosistem maka makin optimal ekosistem tersebut dalam mengembangkan strategi yang efektif untuk mencegah hilangnya hara dari suatu ekosistem, sehingga dalam hubungannya dengan produktivitas maka ekosistem tersebut lebih stabil.

Dipertahankannya stabilitas ekosistem hutan beserta komponen-komponennya dalam batas kapasitas produksi hutan optimum serta tidak terganggunya sistem ekologi merupakan sasaran yang harus dicapai guna kelestarian ekosistem hutan. Stabilitas ekosistem merupakan ukuran keseimbangan dinamis dari suatu struktur ekosistem. Perubahan mendasar pada struktur dan fungsi ekosistem akan terjadi jika stabilitas ekosistem mengalami gangguan.

Komponen stabilitas ekosistem meliputi :

1. Resistensi, menunjukkan kemampuan suatu ekosistem untuk melanjutkan fungsinya untuk tetap stabil ketika terjadi adanya suatu gangguan.

2. Resiliensi, merupakan kemampuan suatu ekosistem untuk pulih kembali setelah mengalami gangguan.

Ada beberapa faktor yang mempengaruhi stabilitas suatu ekosistem (Anonimous 2004), yaitu :

1. Frekuensi dan intensitas kerusakan ekosistem baik alami maupun yang diakibatkan oleh manusia.

2. Keragaman spesies dan interaksi antar komponen ekosistem 3. Laju perubahan hara

Meskipun beberapa ahli ekologi setuju bahwa keragaman berperan penting terhadap laju proses ekosistem seperti laju dekomposisi dan produktivitas, namun data terkini hanya didasarkan pada prediksi dan argument yang berlaku umum

(3)

(Bengtsson et al. 2000). Sedikit penelitian yang mendukung pendapat di atas. Tilman et al. (1996) dalam Bengtsson et al. (2000) mengatakan bahwa ada pengaruh positif antara keragaman dengan produktivitas, sementara Rusch dan Oesterheld (1997) dalam Bengtsson et al. (2000) mengatakan yang sebaliknya. Kaitannya dengan penurunan keanekaragaman jenis terhadap suatu ekosistem ternyata ada overlapping kondisi ekologi suatu spesies sehingga meskipun terjadi pengurangan terhadap keanekaragam spesies maka stabilitas ekosistem tersebut masih tetap bertahan. Sementara itu ada pernyataan bahwa dengan makin meningkatnya keragaman spesies maka makin stabil suatu ekosistem (Anonimous 2003). Alasan yang dikemukakan adalah bahwa dengan adanya penambahan spesies pada suatu ekosistem maka fungsi ekosistem tersebut akan meningkat sehingga menjadi lebih stabil.

Sistem Silvikultur Tebang Pilih Tanam Jalur (TPTJ)

Sistem silvikultur TPTJ didefinisikan sebagai sistem silvikultur hutan alam yang mengharuskan adanya penanaman pada hutan pasca penebangan secara jalur dengan jarak tanam 5 meter dalam jalur dan 25 meter antar jalur. Pelaksanaan sistem silvikultur TPTJ di HPH PT. Sari Bumi Kusuma (SBK), Kalteng didasarkan pada SK Menteri Kehutanan No. 201/Kpts-II/1998 tentang Pemberian HPHTI dengan Sistem Tebang Pilih dan Tanam Jalur sebagai kelanjutan pengusahaan hutan daur kedua. Penerapan sistem silvikultur TPTJ dimaksudkan sebagai upaya untuk meningkatkan produktivitas hutan dengan cara membangun hutan tanaman yang produktif. Kegiatan pembinaan hutan dalam sistem TPTJ meliputi pengadaan bibit, penanaman, pemeliharaan dan perlindungan yang dilakukan secara berkesinambungan (Suparna dan Purnomo 2004).

Selanjutnya Suparna dan Purnomo (2004) menyatakan bahwa melalui penerapan sistem TPTJ ada beberapa hal penting yang dapat dicapai, antara lain yaitu :

1. Peningkatan produktivitas dalam pengertian bahwa dengan penurunan batas diameter tebang ≥ 40 cm maka produksi kayu per ha yang akan diperoleh menjadi lebih besar. Melalui sistem TPTJ, areal bekas tebangan

(4)

TPTI dapat dibudidayakan tanpa harus menunggu selama 35 tahun dan untuk tebangan berikutnya produksi kayu dapat diperoleh baik dari hasil tanaman dalam jalur tanam maupun dari jalur antara.

2. Penurunan limit diameter tebangan menghasilkan ruang tumbuh yang memungkinkan bagi penanaman jenis meranti di dalam jalur.

3. Melalui penanaman dalam jalur, kegiatan pemeriksaan tanaman di lapangan akan lebih efisien, murah dan mudah.

4. Meningkatnya penyerapan tenaga kerja sekitar hutan melalui program penanaman dan pemeliharaan yang dilakukan secara intensif.

5. Pengamanan areal hutan alam bekas tebangan dari perladangan berpindah dan perambahan karena secara hukum adat ada penghormatan terhadap areal yang sudah ada kegiatan penanamannya.

6. Menggunakan bibit dari jenis terpilih sehingga produktivitasnya meningkat.

7. Keanekaragaman hayati tetap dijaga dengan adanya jalur antara.

Selain kelebihan di atas ada beberapa dugaan kelemahan dari pelaksanaan sistem TPTJ sebagai berikut :

1. Pada tahap awal kegiatan, tingkat keterbukaan tajuk dan kerusakan tanah akan lebih besar.

2. Terjadi perubahan struktur dan komposisi jenis akibat adanya penanaman dalam jalur.

Secara garis besar kegiatan sistem silvikultur TPTJ dapat dilihat pada Tabel 1 berikut. Dalam sistem TPTJ yang kemudian dikenal dengan nama TPTI Intensif, pembuatan jalur tanam dan jalur antara dilakukan secara berselang seling. Pada tahap awal penanaman, jalur tanam dibuat selebar 3 meter yang merupakan jalur bersih dan bebas naungan, sedangkan jalur antara selebar 22 meter yang merupakan tegakan alam. Jarak tanam awal adalah 5 meter x 25 meter

(5)

Tabel 1. Tahapan kegiatan sistem Tebang Pilih Tanam Jalur No Kegiatan Waktu 1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8.

Penataan Areal Kerja

Inventarisasi Tegakan Sebelum Penebangan Pembukaan Wilayah Hutan

Pengadan Bibit Penebangan Penanaman Pemeliharaan Perlindungan Hutan T-2 T-2 T-1 T-1 T T+6 bulan T+1,2,3,4,5 Terus-menerus

Keterangan : T = waktu penebangan

diberlakukan sejak tahun 1999, yaitu ketika dimulainya sistem TPTJ. Namun mulai tahun tanam 2004 terjadi perubahan jarak tanam menjadi 2.5 meter x 25 meter.

Ketika sistem TPTJ ini mulai dilaksanakan pada tahun 1999, terdapat 16 jenis meranti yang diprioritaskan untuk ditanam dalam jalur tanam, yaitu diantaranya shorea leprosula, shorea parvifolia, shorea macrophylla, shorea johorensis, dan lain-lainnya. Penanaman dengan 16 jenis ini berlangsung hingga tahun 2001, namun mulai tahun 2002 hanya terdapat 3 jenis meranti andalan untuk kegiatan penanaman, yaitu shorea leprosula, shorea parvifolia dan shorea johorensis karena terbukti ketiga jenis tersebut tumbuh lebih baik dibandingkan beberapa jenis meranti lainnya..

Mengingat jenis meranti adalah jenis gap opportunist dimana cahaya merupakan faktor pembatas bagi awal pertumbuhannya maka terjadi modifikasi terhadap lebar jalur tanam dari 3 meter menjadi menjadi 10 meter. Pada tahun I pemeliharaan tanaman dilakukan pelebaran jalur tanam sebesar 1 meter yaitu 50 cm sebelah kiri dan kanan jalur sehingga jalur tanam berubah dari 3 meter menjadi 4 meter. Pada tahun II pemeliharaan tanaman, jalur tanam diperlebar lagi 2 meter yaitu 1 meter kiri dan kanan jalur sehingga menjadi 6 meter. Pada tahun III pemeliharaan tanaman kembali terjadi pelebaran jalur tanam sebesar 4 meter yaitu 2 meter kiri dan kanan jalur sehingga menjadi 10 meter.

(6)

Dampak Tebang Pilih Terhadap Ekosistem Hutan

Beberapa argumen menyatakan bahwa isu penebangan hutan mengundang kontroversi, pada satu sisi mengatakan bahwa kestabilan ekosistem hutan akan tetap terpelihara melalui pengelolaan yang tepat sementara pendapat lain justru mengkhawatirkan terjadinya bencana dan penurunan kualitas lahan secara cepat setelah dilakukan pembukaan lahan hutan (Lal 1986). Salah satu akibat dari penebangan hutan pada tingkat regional adalah terganggunya fungsi hidrologi yang ditandai oleh adanya perbedaan debit air yang mencolok antar musim, yaitu besarnya fluktuasi aliran sungai pada musim hujan dan sebaliknya pada musim kemarau. Dalam kondisi ekstrim apabila hutan dibuka pada areal yang lebih luas akan meningkatkan kemungkinan banjir. Pada tingkat local (site) dapat terjadi perubahan tingkat iklim mikro, kesuburan tanah, dan vegetasi (Lal 1995).

Secara umum faktor lingkungan, terutama suhu dan kelembaban udara mengalami perubahan akibat berkurangnya tutupan vegetasi. Permukaan tanah menjadi lebih terbuka sehingga menyebabkan fluktuasi suhu dan kelembaban lebih besar. Kondisi ini mempercepat laju dekomposisi dan pelepasan hara (Vitousek 1981). Pelepasan Ammonium dari proses dekomposisi bahan organik merupakan sumber N dalam tanah hutan, dan penyerapan ammonium dan nitrat oleh tanaman dan mikroba sebagai pengikat N yang sangat besar. Proses lainnya yaitu masukan yang berasal dari atmosfir, pencucian dan denitrifikasi juga merupakan tambahan atau pengurangan N tetapi umumnya sedikit sekali (< 10%) dibanding proses mineralisasi tahunan (Vitousek dan Matson 1985). Lebih lanjut Vitousek dan Matson (1985) menyatakan bahwa intervensi manusia terhadap hutan termasuk penebangan hutan untuk peruntukan lain menyebabkan peningkatan mineralisasi N di dalam tanah hutan. Pada saat yang sama penyerapan N oleh tanaman menurun hingga 2 atau beberapa tahun setelah penebangan. Ammonium diperkirakan meningkat pada ekosistem yang terganggu.

Pembukan lahan hutan atau pengurangan serapan N oleh pohon akan mengurangi juga kompetisi terhadap N dan akan menstimulasi produksi nitrat dan pencucian tetapi proses ini cenderung normal lagi ketika lahan mulai tertutup oleh

(7)

vegetasi. Penebangan hutan menyebabkan sebagian besar N hasil mineralisasi (sekitar 85%) dioksidasi menjadi nitrat. N hasil mineralisasi dapat dikonversi menjadi nitrat jika kondisi lingkungannya memungkinkan. Terdapat dua faktor utama yang mengendalikan laju nitrifikasi, yaitu keberadaan ammonium dan oksigen (Vitousek dan Matson 1985). Selanjutnya ditambahkan oleh Van Migroet dan Johnson (1993) bahwa laju nitrifikasi sangat berfluktuasi menurut besaran skala studi (regional, ekosistem atau tegakan hutan). Variabilitas tersebut sangat berkaitan dengan perubahan kondisi lingkungan seperti suhu dan kelembaban tanah, komposisi dan tingkat keragaman vegetasi penutup tanah, kualitas serasah serta ketersediaan N. Nitrat akan mengalami beberapa kemungkinan diantaranya, yaitu tercuci oleh air perkolasi sehingga berada di luar jangkauan sistem perakaran, terkonversi kedalam bentuk N gas atau diserap oleh tanaman (Robertson 1989). Hilangnya nitrat dari ekosistem terganggu dikendalikan oleh meningkatnya proses mineralisasi, proses imobilisasi dan penundaan produksi nitrat sehingga tetap dalam bentuk ammonium yang kurang mobil dan penanaman kembali terutama dengan jenis yang mempunyai kebutuhan tinggi terhadap N. Dengan kata lain proses yang meregulasi pencucian nitrat sangat dipengaruhi oleh ketersediaan awal N pada tanah tersebut (Vitousek dan Matson 1985).

Secara umum, sistem silvikultur tebang pilih menyebabkan degradasi hutan dan tanah. Definisi degradasi bersifat subyektif (Lamb 1994), memiliki pengertian berbeda tergantung pada cara pandang suatu kelompok masyarakat. Rimbawan memiliki persepsi yang bervariasi terhadap arti degradasi. Sebagian masyarakat mengartikan bahwa degradasi hutan sebagai hutan yang telah mengalami kerusakan hingga pada satu titik dimana manfaat yang diperoleh baik kayu maupun non kayu pada periode yang akan datang menjadi tertunda atau terhambat. Sebagian lain mendefinisikan degradasi hutan sebagai suatu kondisi dimana fungsi ekologis, ekonomis maupun sosial hutan tidak terpenuhi. Berkaitan dengan degradasi hutan, Brown dan Lugo (1994) memberikan ilustrasi bahwa gangguan yang menimbulkan kerusakan kecil pada hutan tidak memerlukan intervensi manusia untuk memulihkan kembali produktivitas hutan. Namun sebaliknya areal yang telah mengalami kerusakan akibat penebangan

(8)

memerlukan campur tangan manusia untuk memperoleh kembali produktivitasnya dengan melalui pendekatan restorasi, rehabilitasi atau reklamasi (Lamb 1994).

Tanah di daerah hutan tropika basah termasuk ke dalam kategori miskin hara. Namun demikian, ekosistem hutan primer tidak menunjukkan adanya gejala kekurangan hara karena siklus hara berada dalam kondisi keseimbangan yang dinamis dimana input dan output hara seimbang dan kebutuhan tanaman akan hara terpenuhi melalui recycling sistem yang efisien. Perubahan dari kondisi yang stabil menjadi tidak stabil sebagai dampak penebangan hutan berakibat pada berubahnya simpanan hara dan suplai hara bagi pertumbuhan pohon dan konsekuensinya untuk jangka panjang pada kelestarian penggunaan lahan tersebut.

Kaitannya dengan kerusakan tanah, Oldeman (1992) menyatakan bahwa kerusakan tanah adalah suatu proses dimana telah terjadi penurunan kapasitas tanah baik saat ini maupun masa yang akan datang dalam memberikan produk maupun jasa. Kategori pertama degradasi tanah berkaitan dengan pemindahan material tanah sedangkan kategori kedua berhubungan dengan degradasi tanah in situ yang berupa degradasi kimia (penurunan bahan organik tanah dan hilangnya hara) dan atau fisika (pemadatan tanah) (Barrow 1991; Oldeman 1992). Kerusakan tanah didefinisikan sebagai proses atau fenomena penurunan kemampuan tanah dalam mendukung kehidupan tanaman yang dicirikan oleh menurunnya produktivitas tanah. Dengan demikian kerusakan tanah mencakup permasalahan penurunan rangking atau status lahan sebagai hasil dari rangkaian proses alami atau akibat dari intervensi manusia (Barrow 1991).

Salah satu bentuk kerusakan tanah adalah hilangnya atau menurunnya bahan organik yang lebih cepat dibandingkan penambahannya pada lapisan tanah atas. Ketidakseimbangan antara masukan bahan organik dengan hilangnya yang terjadi melalui dekomposisi berdampak pada penurunan kadar bahan organik dalam tanah. Penurunan kandungan bahan organik tanah membawa dampak pada kelestarian jangka panjang oleh karena bahan organik memainkan peranan penting bagi pertumbuhan pohon melalui pengaruhnya terhadap sifak fisik, kimia dan biologi tanah. Faktor-faktor tersebut dalam gilirannya akan berpengaruh terhadap

(9)

struktur tanah, laju infiltrasi, kapasitas pegang air, ketersediaan hara tanaman dan laju mineralisasi. Pada tanah yang diolah, lapisan tanah atas (0-30 cm) kehilangan sekitar 20-60% dari Carbon yang terdapat pada vegetasi alami. Terjadinya penurunan Carbon dalam tanah yang begitu cepat mewakili adanya proses dekomposisi fraksi aktif yang begitu cepat.

Pengaruh yang merugikan dari kerusakan tanah ini telah menyebabkan menurunnya kualitas tanah dengan cepat. Bentuk kerusakan tanah yang terjadi akibat penebangan hutan (Lal 1995) adalah :

1. Perubahan struktur tanah, seperti pemadatan tanah yang menyebabkan penurunan daya retensi air, aerasi tanah buruk dan terhambatnya pertumbuhan akar.

2. Penurunan kualitas dan kuantitas bahan organik tanah, dan terganggunya siklus C dan N

3. Gangguan siklus hidrologi, bersama dengan deteriorasi struktur tanah menyebabkan erosi dan pencucian hara meningkat.

Pemadatan dilaporkan sebagai bentuk kerusakan fisik tanah yang berkaitan dengan lintasan alat-alat berat yang digunakan terutama dalam kegiatan penyaradan kayu dari lokasi penebangan ke tempat penampungan kayu sementara. Menurut Malmer (1990) berat isi tanah pada jalan sarad meningkat sebesar 5% pada kedalaman 5 cm dibandingkan hutan primer. Berdasarkan hasil kajian Greacen and Sands (1980) dilaporkan bahwa pemadatan tanah menyebabkan menurunnya aerasi tanah, infiltrasi air dan pertumbuhan akar tanaman. Ditambahkan oleh Worrel dan Hampson (1997) bahwa laju pemulihan pada tanah yang padat sangat tergantung pada tipe tanah dan derajat pemadatannya. Tanah yang memilki kandungan bahan organik tinggi ternyata lebih cepat pulih.

Dalam penebangan yang intensif di hutan tropika basah dataran rendah, hanya sekitar 10% dari volume kayu yang dikeluarkan tergolong strata emergent

dengan ukuran tajuk besar yang merusak strata pohon di bawahnya. Setelah penebangan, terbentuk luasan kecil yang terdiri dari tegakan sisa yang mencapai sekitar 35% dari luas areal penebangan, dan sekitar 55% dari luasan termasuk kategori rusak (Whitmore 1984 dalam Anderson dan Spencer 1991). Anderson

(10)

and Spencer (1991) memperkirakan akibat praktek penebangan di Asia Tenggara pada areal bekas tebangan sekitar 15-50% nya merupakan tanah terbuka (bare soil). Kerusakan yang terjadi baik pada tanah maupun vegetasi berkaitan dengan intensitas penebangan, seperti dilaporkan oleh Jonkers (1987) dalam Anderson dan Spencer (1991) bahwa dengan intensitas penebangan sebesar 15 m3/ha terjadi kerusakan vegetasi sekitar 6% untuk diameter di atas 5 cm dibandingkan 13% untuk tebangan sebesar 46 m3/ha.

Dalam kaitannya dengan regenerasi setelah penebangan di hutan tropika, peranan gap atau rumpang sangat penting. Brown (1992) menyatakan bahwa dalam gap terjadi peningkatan yang cepat terhadap radiasi dan suhu dan sebaliknya terjadi penurunan terhadap kelembaban relatif. Selanjutnya terdapat perbedaan antara spesies yang tergolong pioneer dan bukan pioneer dalam merespon kondisi gap. Oleh karena itu maka perubahan komposisi jenis sebagai konsekuensi yang tidak dapat dihindarkan akibat adanya deforestasi.

Kualitas Tanah Sebagai Indikator Perubahan Pengelolaan Lahan

Dalam beberapa tahun terakhir, karena keprihatinan terhadap kerusakan tanah dan tuntutan pengelolaan tanah secara berkelanjutan, terjadi perubahan perhatian terhadap beberapa peubah tanah. Seiring dengan hal tersebut, penggunaan tanah ditekankan pada nilai dan karakteristik tanah untuk suatu tujuan tertentu. Secara umum perhatian terhadap kualitas tanah berkembang pada seputar bahasan tentang fungsi tanah yang menjadi prioritas utama dari suatu ekosistem. Tanah dikenal sebagai komponen penting dari suatu ekosistem. Oleh karena itu, kualitas tanah menjadi bagian yang tidak terpisahkan dan bahkan menjadi kunci indikator dari konsep pengelolaan lahan secara berkelanjutan (Carter 1997).

Kualitas tanah merupakan gambaran utuh dari suatu kondisi spesifik tanah untuk melakukan fungsinya (Karlen et al. 1997). Kemudian definisi ini mengalami perluasan, bahwa kualitas tanah sebagai gabungan ciri tanah yang menyatakan kemampuan alami untuk melakukan fungsinya di dalam ekosistem alami maupun yang dikelola untuk mencapai kelestarian produktivitas tanaman

(11)

dan binatang, mempertahankan kualitas lingkungan (air dan udara) dan memacu kesehatan tanaman (Soil Science Society of America 1995). Definisi ini mirip dengan konsep yang diajukan oleh Doran et al. (1996) yang menyatakan bahwa kualitas tanah sebagai kemampuan tanah untuk melakukan fungsinya, dalam suatu ekosistem dan batasan penggunaan lahan untuk kelestarian produktivitas biologi, mempertahankan kualitas lingkungan dan memacu kesehatan tanaman, binatang dan manusia. Definisi tersebut mempunyai implikasi bahwa kualitas tanah terdiri atas dua bagian yaitu intrinsic part yang mencakup sifat atau kapasitas yang melekat pada tanah tersebut untuk mendukung pertumbuhan tanaman, dan

dynamic part yang dipengaruhi oleh tindakan pengelolaan terhadap tanah tersebut oleh manusia (Carter et al. 1997). Sifat yang melekat pada tanah merupakan gabungan atau integrasi dari beberapa faktor pembentuk tanah seperti iklim, topografi, vegetasi, bahan induk dan waktu. Dengan demikian tiap tanah mempunyai kapasitas yang khas. Gambaran kedua kualitas tanah berkaitan dengan kemampuan alami tanah untuk melakukan fungsinya, nilai kegunaannya dan tindakan pengelolaan yang memiliki arti penting dalam penilaian kualitas tanah.

Fungsi utama tanah menurut Karlen et al. (1997) meliputi :

1. Sebagai sumberdaya dalam menyimpan dan mendaur hara dalam biosfer tanah yang diperlukan untuk pertumbuhan tanaman dan hijauan makan ternak.

2. Sebagai matriks, tempat akar berpegang serta tumbuh dan tempat menyimpan dan meregulasi aliran air dan larutan

3. Menyaring, mencegah, mendegradasi dan menurunkan kadar racun dari material organik maupun anorganik.

Ada kesepakatan umum bahwa kualitas tanah mencakup 3 issu utama, yaitu 1) produktivitas tanaman secara berkelanjutan, 2) kualitas lingkungan, baik tanah, air maupun udara, dan 3) kesehatan mahluk hidup (Parr et al. 1992 dalam Doran dan Parkin 1994). Oleh karena itu penilaian atau assessment terhadap suatu sistem pengelolaan lahan khususnya terhadap fungsi tanah harus terkait dengan salah satu dari issu di atas.

(12)

Penilaian terhadap kualitas tanah adalah sesuatu yang sangat penting dalam menentukan sistem pengelolaan lahan yang lestari baik untuk masa sekarang maupun yang akan datang. Hal ini diperlukan untuk, 1) identifikasi problem produksi untuk tujuan estimasi produksi secara realistik dan 2) memonitor perubahan yang terjadi terhadap ekosistem kaitannya dengan pengelolaan lahan (Doran dan Parkin 1994). Dengan kata lain penilaian kualitas tanah memberikan pemahaman yang mendasar tentang evaluasi kelestarian sistem pengelolaan lahan. Tanah memiliki berbagai level kualitas yang secara mendasar didefinisikan sebagai sumberdaya alam stabil atau yang melekat dengan faktor pembentukan tanah dan perubahan yang dinamis sebagai dampak dari pengelolaan tanah. Deteksi terhadap perubahan dari komponen dinamis adalah hal penting dalam evaluasi kinerja dan kelestarian pengelolan tanah (Doran dan Parkin 1994). Konsep kualitas tanah umumnya digunakan untuk mengevaluasi atau mengkaji aspek kelestarian dari suatu penggunan lahan dalam agroekosistem (Carter 2002). Dengan kata lain kualitas tanah merupakan satu kesatuan dengan prinsip kelestarian. Ditambahkan oleh Handayani (2001) bahwa perubahan kualitas menunjukkan respon suatu jenis tanah terhadap penggunaan dan pengelolaannya. Oleh karena itu suatu penggunaan lahan hanya akan lestari jika kualitas tanah tetap dipertahankan atau ditingkatkan.

Pemilihan indikator kualitas tanah sangat tergantung pada konteks permasalahan yang ingin diteliti. Isu yang penting adalah bagaimana mengevaluasi kualitas tanah oleh karena hasil tersebut akan digunakan untuk mengklasifikasikan kapabilitas lahan, melihat dampak dari suatu sistem penggunaan lahan, sebagai basis untuk membuat regulasi dan sebagai data untuk memonitor perubahan lingkungan (Parr et al. 1992 dalam Halvorson et al. 1997). Oleh karena itu diperlukan identifikasi terhadap sifat tanah yang berkaitan dengan kualitas tanah (Smith et al. 1993). Para ilmuwan sepakat bahwa untuk mengevaluasi kualitas tanah membutuhkan integrasi dari beberapa jenis data tanah yang meliputi sifat fisik, kimia dan biologi tanah (Doran et al. 1994 dalam Halvorson et al. 1997).

(13)

Doran dan Parkin (1994) menyatakan bahwa indikator kualitas tanah harus memenuhi beberapa kriteria sebagai berikut :

1. Berkorelasi secara baik dengan proses ekosistem dan berorientasi modelling.

2. Sebagai satu kesatuan dari sifat fisik, kimia dan biologi tanah. Pendekatan harus secara holistik tidak dilakukan per bidang yang cenderung sempit (reductionistic)

3. Indikator harus dapat diakses atau diaplikasikan di lapangan oleh banyak pihak.

4. Peka terhadap perubahan pengelolaan dan iklim. Indikator yang tidak sensitif kurang bermanfaat dalam memonitor perubahan kualitas tanah dan dalam pengajuan rekomendasi dalam rangka meningkatkan kualitas tanah.

5. Jika mungkin, indikator merupakan komponen data yang sudah ada yang berasal dari data base.

Indikator kualitas tanah yang diajukan oleh Doran dan Parkin (1994) terdiri dari :

1. Fisik tanah yang meliputi, tekstur tanah, kedalaman tanah, bobot isi tanah dan infiltrasi, kapasitas pegang air, karakteristik air, kadar air, suhu tanah.

2. Kimia tanah yang mencakup, total C-organik dan total N, pH, N mineral, P dan K

3. Biologi tanah yang meliputi, C-mic, N-mic, N mineralisasi potensial, respirasi tanah, rasio C biomasa terhadap total C-org, rasio respirasi terhadap biomasa.

Menurut Halvorson et al. (1997) terdapat variabilitas indikator tanah menurut waktu (temporal) dan tempat (spatial) yang mempengaruhi kualitas tanah. Beberapa sifat tanah yang perubahannya cepat atau bersifat sementara (highly dynamic) adalah bobot volume, total porositas, suhu tanah, kadar air,

(14)

kapasitas lapang, pH, unsur yang mudah larut (ammonium dan nitrat), biomassa C dan N, dan lain-lain. Sifat-sifat tanah lainnya yang mempunyai sifat relatif static, antara lain kandungan bahan organik dan tekstur. Selain itu ada beberapa sifat tanah yang sifatnya intermediate, diantaranya kapasitas tukar kation, stabilitas agregat dan micro dan meso fauna (Coleman et al. 1992 dalam Halvorson et al.

1997).

Meskipun banyak sifat-sifat tanah yang potensial untuk dijadikan sebagai indikator kualitas tanah namun pemilihan sifat-sifat tanah yang akan digunakan sangat tergantung pada tujuan dilakukannya evaluasi. Karlen et al. (1997) menyatakan bahwa untuk mengimplementasikan penilaian kualitas tanah perlu dilakukan identifikasi terhadap indikator-indikator yang sensitive terhadap praktek pengelolaan lahan.

Selanjutnya Islam dan Weil (2000) mengklasifikasikan sifat-sifat tanah yang turut membantu kualitas tanah yang didasarkan atas sifat kepermanenannya dan tingkat kepekaan terhadap pengelolaan. Beberapa sifat tanah dapat berubah dalam waktu harian atau mudah berubah dari hari ke hari sebagai hasil dari praktek pengelolaan secara rutin atau adanya pengaruh iklim. Sifat tanah lainnya adalah sifat-sifat yang permanen yang merupakan sifat bawaan (inherent) tanah atau lokasi (site) dan sedikit terpengaruh oleh pengelolaan.

Berdasarkan sifat kepermanenannya, Islam dan Weil (2000) mengklasifikasikan sifat-sifat tanah yang memiliki kontribusi terhadap kualitas tanah sebagai berikut :

1. Ephemeral (berubah dalam jangka waktu harian atau rutin), seperti kadar air, respirasi tanah, pH, N mineral, K tersedia, P tersedia, dan berat isi tanah.

2. Intermediate (dampak dari suatu pengelolaan lebih dari beberapa tahun), seperti agregasi tanah, biomasa mikroba, basal respirasi,

spesific respiration quotient, C aktif dan kandungan bahan organik.

3. Permanent (sifat bawaan ), seperti kedalaman tanah, lereng, iklim,

(15)

Selama ini evalusi terhadap kualitas tanah lebih dititikberatkan pada sifat fisik dan kimia karena metode pengukurannya sederhana (Larson dan Pierce 1991). Akhir-akhir ini telah disepakati bahwa sifat biologi dan biokimia dapat diidentifikasi lebih awal atau cepat dan merupakan indikator sensitive terhadap kerusakan atau perubahan produktivitas tanah (Kenedy dan Papendick 1995).

Bahan organik tanah mempunyai peranan besar dalam menentukan sifat tanah baik fisik, kimia maupun biologi tanah. Bahan organik penting dalam perbaikan sifat-sifat fisik tanah, terutama melalui peningkatan ukuran dan stabilitas agregat. Peningkatan ukuran dan stabilitas agregat berpengaruh langsung maupun tidak langsung terhadap sifat-sifat fisik tanah lainnya, antara lain peningkatan kapasitas retensi air dan jumlah air tersedia, peningkatan pori makro dan meso, peningkatan porositas total, peningkatan aerasi dan peningkatan permeabilitas serta infiltrasi.

Di dalam tanah, bahan organik akan mengalami dekomposisi dan mineralisasi yang hasilnya dapat berupa senyawa organik yang relatif resisten terhadap dekomposisi lanjutan (senyawa humat) dan sebagian akan dilepaskan sebagai unsur hara yang dapat dimanfaatkan kembali oleh tanaman. Dengan demikian hasil akhir tersebut merupakan senyawa-senyawa yang dapat berpengaruh langsung maupun tidak langsung terhadap sifat kimia tanah. Melihat demikian besarnya peranan tersebut maka penurunan kadar bahan organik tanah perlu diwaspadai.

Menurut Karlen et al. (1999) perubahan bahan organik tanah yang diakibatkan oleh praktek pengelolaan lahan dapat dideteksi melalui pengukuran biomassa mikroorganisme tanah (C-mic). Bahan organik yang diukur perubahannya adalah bagian bahan organik tanah aktif. Indikasi perubahan bahan organik tanah biasanya diukur juga dari kadar total karbon. Indikator ini berguna untuk mengevaluasi perubahan kualitas tanah dalam jangka panjang tetapi kurang peka untuk mendeteksi perubahan jangka pendek (Woomer dan Swift 1994), sedangkan peubah N total dan N tersedia untuk melihat kemampuan lahan dalam mensuplai N bagi ekosistem dan N yang tercuci atau hilang dari profil tanah (Handayani 1999).

(16)

Salah satu sifat tanah yang juga direkomendasikan sebagai indikator kualitas tanah adalah stabilitas agregat atau distribusi ukuran agregat dan bobot isi. Stabilitas agregat berkaitan dengan resistensi agregat yang berkaitan dengan fungsi tanah lainnya seperti sifat biologi, kimia dan fisik tanah (Karlen et al.

1999). Selain itu bobot isi juga dimasukkan kedalam indikator kualitas tanah karena pengaruhnya terhadap penetrasi akar tanaman dan pori-pori yang terisi oleh air dan udara ( Karlen et al. 1997)

Sistem dan Model

Sistem diartikan sebagai suatu kumpulan dari berbagai komponen atau unsur yang dianggap sebagai penyusun dunia nyata atau real world yang berkaitan satu sama lain untuk mencapai suatu tujuan dalam lingkungan kompleks. Pemahaman tersebut mencerminkan adanya beberapa bagian dan hubungan antara bagian secara teratur dalam rangka mencapai tujuan. Pendekatan sistem dipakai sebagai metode untuk mengintegrasikan ragam informasi yang didapat dari berbagai metode untuk menyelesaikan masalah yang kompleks dan dinamis. Dengan kata lain analisa sistem berguna untuk mendekati masalah yang dapat digolongkan ke dalam organized complexities atau kompleksitas yang terorganisasi.

Analisa sistem mensyaratkan adanya basis pemahaman yang baik terhadap sistem tersebut melalui pustaka yang ada dengan cara menggabungkan pemahaman parsial. Oleh karena analisa sistem berbasis pada pemahaman proses maka pemahaman yang baik terhadap proses-proses yang terjadi adalah sangat penting.

Pemodelan berawal dari bagaimana memahami sistem atau dunia nyata yang kompleks. Dengan demikian maka model dapat diartikan sebagai contoh sederhana dari sistem dan menyerupai tingkah laku sistem yang dipertimbangkan. Penyederhanaan dari sistem sangat penting agar dapat dipelajari secara seksama. Model dikembangkan dengan tujuan untuk studi tingkah laku sistem melalui analisis rinci terhadap komponen sistem dan proses yang menyusun sistem serta interaksinya.

(17)

Dua sasaran pokok model, yaitu untuk mendapatkan pengertian yang lebih baik tentang hubungan sebab akibat dalam suatu sistem serta membantu interpretasi, baik secara kuantitatif maupun kualitatif yang lebih baik terhadap sistem tersebut. Sasaran kedua adalah untuk mendapatkan prediksi yang lebih baik terhadap tingkah laku sistem yang digunakan.

Oleh karena itu maka penggunaan model bermanfaat dalam pengembangan teori karena berfungsi sebagai konsep dasar yang menata rangkaian aturan yang digunakan untuk menggabungkan sistem. Selain itu dapat juga dijadikan landasan untuk merumuskan skenario ke depan atau alternatif kebijakan yang lebih baik.

Pemodelan Sistem Dinamik

Tahapan atau langkah-langkah dalam analisa sistem dinamik meliputi : 1. Identifikasi komponen dan menentukan batas-batas sistem

2. Membuat causal loop atau hubungan sebab akibat dalam rangka mengidentifikasi perilaku sistem (interaksi antar komponen) 3. Membangun model matematik berdasarkan interaksi komponen

komponen yang ada dalam sistem

4. Membandingkan hasil yang didapat dari pemahaman yang sudah ada dengan sistem yang aktual

5. Merevisi model sampai model tersebut dapat diterima sebagai representasi dari sistem

6. Merancang ulang model dalam rangka memperbaiki perilaku sistem

Langkah-langkah di atas dapat dipenuhi melalui penggunaan perangkat lunak powersim1*). Powersim sebagai perangkat lunak pemodelan sistem dinamik bersifat kompleks. Untuk memahaminya maka metode yang dikembangkan harus mampu menangkapnya melalui model formal. Powersim memiliki kontribusi yang sangat besar dalam mensetting alat yang memfasilitasi studi sistem dinamik.

1).

(18)

Untuk mengidentifikasi penyebab utama dari suatu permasalahan maka harus dibangun model yang realistik, menganalisa dan memodifikasinya jika diperlukan. Melalui sistem dinamik, penekanan lebih kepada model konseptual yang pemakaiannya lebih luas sehingga membantu dalam menghasilkan model yang mengacu pada sistem yang nyata.

Ada empat macam sifat sistem dinamik, yaitu :

1. Sistem dicirikan oleh adanya causalitas (hubungan sebab akibat) yang bersifat tertutup sehingga sistem menjadi stabil atau sebaliknya.

2. Bersifat non linier, yang berarti bahwa hubungan antar komponen dalam sistem non proporsional.

3. Hubungan antara aliran dan level yang merupakan keaslian sifat dinamik itu sendiri.

4. Terdapat delay dalam sistem sehingga respon variabel yang diamati tidak selalu mencerminkan kondisi variabel lain pada waktu yang sama.

Gambar

Tabel 1.  Tahapan kegiatan sistem Tebang Pilih Tanam Jalur  No  Kegiatan  Waktu  1.  2

Referensi

Dokumen terkait

Temuan ini mendukung penelitian yang dilakukan oleh Luciana Spica Almilia dan Irmaya Briliantien (2007) bahwa tidak terdapat hubungan yang signifikan antara fakor

Tabel 5.3 Realisasi Pendapatan Pemerintah Kabupaten Minahasa Menurut Jenis Pendapatan (juta rupiah), 2012-2015. Sumber: Kabupaten Minahasa Dalam Angka

Hasil penelitian yang dilakukan oleh Novita, et al., (2013) pada materi sistem koloid, menyatakan bahwa pembelajaran dengan model penemuan terbimbing dapat me- ningkatkan

Penelitian ini menggunakan metode survey dengan pendekatan kuantitatif Assosiatif.Metode Survey yang digunakan adalah untuk mengumpulkan data dari sampel penelitian

4) Soalan-soalan berkaitan prosedur pemantauan dan penguatkuasaan di Brunei. Bagaimanakah proses pemantauan dan penguatkuasaan dilaksanakan oleh BKMH? b. Siapakah yang

Setelah dilakukan identifikasi kriteria dan subkriteria dari tabel SWOT, maka digunakan metode ANP untuk mengetahui bobot prioritas dari masing-masing alternatif

Dari ketiga definisi audit investigatif di atas, dapat disimpulkan bahwa audit investigatif merupakan suatu cara yang dapat dilakukan untuk mendeteksi dan memeriksa