• Tidak ada hasil yang ditemukan

PENGHAMBAAN ISTRI TERHADAP SUAMI ANTARA DOKTRIN DAN TRADISI (Studi Kasus Pada Perempuan di Cabean RT 05 RW 01 Kelurahan Mangunsari Kecamatan Sidomukti Kota Salatiga) SKRIPSI

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2019

Membagikan "PENGHAMBAAN ISTRI TERHADAP SUAMI ANTARA DOKTRIN DAN TRADISI (Studi Kasus Pada Perempuan di Cabean RT 05 RW 01 Kelurahan Mangunsari Kecamatan Sidomukti Kota Salatiga) SKRIPSI"

Copied!
91
0
0

Teks penuh

(1)

i

PENGHAMBAAN ISTRI TERHADAP SUAMI

ANTARA DOKTRIN DAN TRADISI

(Studi Kasus Pada Perempuan di Cabean RT 05 RW 01

Kelurahan Mangunsari Kecamatan Sidomukti

Kota Salatiga)

SKRIPSI

Diajukan Guna Memenuhi Salah Satu Syarat

guna Memperoleh Gelar Sarjana dalam Hukum Islam

O l e h :

ANITA YOHANNA

NIM : 21211004

JURUSAN AHWAL AL-SYAKHSHIYYAH

FAKULTAS SYARI

AH

INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI (IAIN)

SALATIGA

(2)
(3)
(4)
(5)

v

MOTTO

“Hanya laki-laki mulia yang akan memuliakan perempuan,

(6)

vi

PERSEMBAHAN

Skripsi ini

aku persembahkan untuk :

1. Bapak - Ibu tercinta

yang doa-doanya selalu menyertai langkahku.

2. Suamiku dan anak-anakku tercinta, atas doa dan dukungannya. 3. Kakak dan adikku tercinta, doaku semoga kalian bahagia

4. Rekan-rekan mahasiswa non reguler angkatan 2011, terima kasih atas motivasi dan

(7)

vii

ABSTRAK

Anita Yohanna. 2016. Penghambaan Istri Terhadap Suami Antara Doktrin dan Tradisi (Studi Kasus Pada Perempuan di Cabean RT 05 RW 01 Kelurahan Mangunsari Kecamatan Sidomukti Kota Salatiga). Skripsi. Jurusan Syari’ah. Program Studi Ahwal al-Syakhsiyyah. Institut Agama Islam Negeri (IAIN) Salatiga. Pembimbing :Dra. Siti Zumrotun, M. Ag.

Kata Kunci : Penghambaan Istri, Doktrin dan Tradisi.

Pola hubungan suami-istri selalu menjadi bagian penting ketika kita berdiskusi persoalan gender dalam prespektif Islam. Salah satu pemicunya adalah adanya teks-teks, baik bersumber dari doktrin maupun tradisi yang berdampak pada ketidaksetaraan hubungan suami-istri, bahkan menjurus pada penghambaan. Kejadian ini sudah menjadi fenomena umum, baik pada masyarakat berpendidikan rendah maupun masyarakat berpendidikan tinggi, termasuk di wilayah Cabean. Untuk itu peneliti mengkajinya dalam sebuah skripsi dengan tujuan: Untuk mengetahui bentuk-bentuk penghambaan istri terhadap suami di Cabean RT 05 RW 01 Kelurahan Mangunsari Kecamatan Sidomukti Kota Salatiga; Untuk mengetahui apakah penghambaan istri terhadap suami di Cabean RT 05 RW 01 Kelurahan Mangunsari Kecamatan Sidomukti Kota Salatiga atas dasar doktrin atau tradisi.

Beberapa tahapan yang peneliti lakukan dalam penelitian ini adalah : penetapan pokok masalah dan tujuan penelitian dilanjutkan dengan mengumpulkan data penghambaan istri terhadap suami di wilayah Cabean serta studi kepustakaan sebagai pendukung. Metode yang peneliti gunakan adalah dokumentasi, wawancara, dan studi kepustakaan. Sedang pendekatan yang digunakan adalah diskriptif kualitatif. Teori utama yang digunakan adalah “bahwa penghambaan istri terhadap suami bertentangan dengan pola relasi suami-istri yang dibangun Islam, yaitu

mu`asyarah bi al-ma`ruf dan sakinah mawaddah wa rahmah dalam dibingkai

rahmatan lil `alamin”.

Dari penelitian yang dilakukan ditemukan bahwa pola penghambaan istri terhadap suami meliputi: melakukan pekerjaan rumah tangga; mengasuh dan mendidik anak; melayani kebutuhan seksual suami; dan berpartisipasi mencari nafkah. Dalam tradisi Jawa diungkapkan bahwa istri adalah konco wingking yang wilayahnya kasur, sumur, dan dapur. Ungkapan lainnya adalah swargo nunut neroko katut. Tradisi tersebut akan membawa perempuan sebagai istri dalam situasi penghambaan. Berdasarkan wawancara terhadap para istri yang berjumlah empat (4) orang ditemukan bahwa satu (1) orang istri melakukan penghambaan terhadap suami berdasarkan doktrin, dan tiga (3) orang istri berdasarkan tradisi.

(8)

viii

KATA PENGANTAR

Bagi peneliti, skripsi merupakan salah satu tugas yang berat dan melelahkan. Tapi, berkat kesabaran, keikhlasan dan ketulusan hati, akhirnya peneliti dapat menyelesaikan skripsi sebagai kewajiban setiap mahasiswa dalam rangka memperoleh gelar kesarjanaan dengan judul: PENGHAMBAAN ISTRI TERHADAP SUAMI ANTARA DOKTRIN DAN TRADISI (Studi Kasus Pada Perempuan di Cabean RT 05 RW 01 Kelurahan Mangunsari Kecamatan Sidomukti Kota Salatiga).

Dengan selesainya skripsi ini, peneliti sangat bersyukur kepada Allah yang Maha Pengasih dan Maha Penyayang. Disamping itu, dari hati yang paling dalam, peneliti mengucapkan terimakasih yang sebesar-besarnya kepada :

1. Dekan Fakultas Syari’ah IAIN Salatiga.

2. Ibu Dra. Siti Zumrotun, M. Ag. yang dengan sabar membimbing peneliti hingga selesainya penelitian skripsi ini.

3. Bapak/Ibu dosen Jurusan Syari’ah yang dengan ikhlas dan tidak pernah bosan berbagi ilmu dengan para mahasiswa.

4. Para karyawan IAIN Salatiga yang memberikan kemudahan dalam pelayanan. 5. Teman-teman Jurusan Ahwal al Syakhshiyyah non reguler angkatan 2011 yang

telah menjadi inspirasi, motivasi, dan penyemangat.

Peneliti selalu berharap dan berdoa, semoga bantuan dari semua pihak yang telah diberikan kepada peneliti akan menjadi catatan amal baik dan mendapat balasan yang lebih besar dan berlipat ganda dari Allah SWT. Amin …

Salatiga, 12 Februari 2016

(9)

ix DAFTAR ISI

Halaman

HALAMAN JUDUL ... i

HALAMAN PENGESAHAN ……….. ii

NOTA PEMBIMBING ... iii

PERNYATAAN KEASLIAN ... iv

MOTTO ... v

PERSEMBAHAN ... vi

ABSTRAK ... vii

KATA PENGANTAR ... viii

DAFTAR ISI ... ix

DAFTAR TABEL ... xii

BAB I. PENDAHULUAN ... 1

A. Latar Belakang Masalah ... 1

B. Rumusan Masalah ... 4

C. Tujuan Penelitian ... 5

D. Kegunaan Penelitian ... 5

E. Penegasan Istilah ... 6

F. Kajian Pustaka ... 7

G. Metode Penelitian ... 11

(10)

x

BAB II. PENGHAMBAAN ISTRI TERHADAP SUAMI ANTARA DOKTRIN

DAN TRADISI ... 16

A. Pola Relasi Suami Istri Prespektif Islam ... 16

1. Pernikahan Dalam Islam ... 16

2. Hak dan Kewajiban Suami Istri Prespektif Islam ... 19

3. Pola Relasi Suami Istri Prespektif Islam ... 24

B. Pola Relasi Suami Istri Dalam Tradisi Jawa ... 29

1. Pernikahan Dalam Tradisi Jawa ... 29

2. Hak dan Kewajiban Suami Dalam Tradisi Jawa ... 31

3. Hak dan Kewajiban Istri Dalam Tradisi Jawa ... 33

4. Pola Relasi Suami Istri Dalam Tradisi Jawa ... 36

C. Pengaruh Tradisi Pada Perilaku Suami Istri Masyarakat Muslim Jawa ... 42

BAB III. LAPORAN HASIL PENELITIAN ... 47

A. Gambaran Umum Lokasi Penelitian ... 47

1. Letak Geografis Dusun Cabean ... 47

2. Kondisi Sosial Keagamaan dan Pendidikan Cabean ... 48

B. Profil Penghambaan Istri Terhadap Suami Antara Doktrin dan Tradisi ... 51

BAB IV. ANALISIS PENGHAMBAAN ISTRI TERHADAP SUAMI ANTARA DOKTRIN DAN TRADISI ... 58

A. Bentuk-bentuk Penghambaan Istri Terhadap Suami ... 58

(11)

xi

C. Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Penghambaan Istri

Terhadap Suami ... 66

D. Mendayung Antara Doktrin, Tradisi dan Modernitas ... 73

BAB V. PENUTUP ... 75

A. Kesimpulan ... 75

B. Saran ... 75

C. Penutup ... 77

(12)

xii DAFTAR TABEL

1. Tabel 1. Komposisi Jumlah Penduduk Islam Cabean RT 05 RW 01. 2. Tabel 2. Jumlah Sarana Tempat Peribadatan Cabean RT 05 RW 01. 3. Tabel 3. Komposisi Saran Pendidikan Cabean RT 05 RW 01.

4. Tabel 4. Data Responden Penghambaan Istri Terhadap Suami Antara Doktrin dan Tradisi

(13)

1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

Islam sebagai agama memberikan perhatian sangat besar terhadap pentingnya institusi keluarga. Oleh karena itu berbagai persoalan keluarga, mulai dari memilih pasangan hidup, tata cara pernikahan, tata krama hubungan suami istri, pendidikan anak, hak waris dan lain-lain, secara komprehensif diatur didalamnya. Berbagai aturan tersebut pada umumnya merujuk pada Al Qur`an, Hadis dan Sunah Nabi meskipun hanya garis besarnya saja yang kemudian diikuti dan diperkuat oleh berbagai pendapat para ulama.

Prinsip fundamental al Qur`an sebagai sumber utama hukum Islam adalah kesetaraan, kebebasan, dan keseimbangan. Prinsip ini sesuai dengan esensi kekuatan Islam yang karakternya liberatif, progresif dan humanis (Ali, 1990:30). Tiga prinsip tersebut berlaku pada semua ranah sosial kehidupan, tak terkecuali dalam pola hubungan laki-laki-perempuan. baik di rumah maupun di luar rumah. Will Durant, ketika menulis jasa Rasulallah s.a.w. dalam meningkatkan dan memperbaiki hak-hak perempuan memberi catatan sebagai berikut.

Dia mengizinkan perempuan mendatangi Masjid, dan bila mereka menghadiri khotbah-khotbahnya, dia memperlakukan mereka dengan baik, meskipun membawa bayi-bayi mereka, jika dia mendengarkan tangisan seorang anak, ia akan memperpendek khotbahnya, agar sang ibu tidak risau. Dia mengakhiri praktek pembunuhan bayi oleh bangsa Arab. Dia menempatkan perempuan sejajar dengan kaum pria dalam hukum, dan kebebasan finansial, mereka boleh melakukan profesi absah apapun, memiliki perolehannya, mewarisi kekayaan, dan menggunakan kepemilikannya sesuai keinginannya (Rahmat, 1994:125).

(14)

2

dan menceraikannya. Peristiwa ini memberikan hak bagi perempuan untuk menceraikan suaminya dengan ketentuan hukum yang disebut khulu`. (Rahmat, 1994:127-128). Dalam kasus lain al Qur`an juga menyatakan: “…dan bagi orang laki-laki ada bagian dari apa yang mereka usahakan, dan bagi para perempuan (pun) ada bagian dari apa yang mereka usahakan…” (Q.S. An Nisa`:32). Hal ini mengisyaratkan bahwa laki-laki dan perempuan memiliki kedudukan yang sama dan berhak menerima kompensasi dari apa yang telah diihtiarkan.

Namun demikian, dibalik prinsip keadilan yang ditawarkan al Qur`an serta contoh indah yang dipraktekkan Rasulullah s.a.w., ada beberapa konsep yang diantaranya mengajarkan “adanya keharusan istri tunduk atau bahkan

menghamba pada suami”. Dalam beberapa sumber, ajaran ini merujuk pada

beberapa riwayat hadits Rasulullah diantaranya menyatakan :

Andaikan kuperintahkan seseorang untuk bersujud pada yang lain, niscaya kuperintahkan perempuan untuk bersujud pada suaminya. Dan seandainya seorang laki-laki memerintahkan istrinya agar memindahkan dari Jabal Ahmar ke Jabal Aswad lalu dari Jabal Aswad ke Jabal Ahmar maka istri harus melakukannya (Ibnu Majah I, tt: 569-570).

Masih banyak riwayat hadits yang isinya mirip dengan hadits di atas. Hadis-hadis tersebut dalam analisis Hadis-hadis dinilai da`if. Badriyah Fayumi & Alai Nadjib (2002:91) memberi penjelasan sebagai berikut :

Telah terbukti bahwa hadis tentang sujud sebagaimana tersebut di atas adalah hadis da`if. Hadis yang da`if tidak sah menjadi landasan hukum, terlebih menjadi dasar normatif bagi segala tindakan yang subordinatif terhadap perempuan. Namun demikian, hadis ini relatif popular di kalangan masyarakat dan sering menjadi rujukan bagi legalitas teologis kewajiban ketaatan istri terhadap suami, bahkan dalam buku-buku terbaru akhir-akhir ini. Hadis ini sering menimbulkan dan menjadi sumber kesalahpahaman dalam memahami kedudukan perempuan dalam keluarga.

(15)

3

Q.S. al Isro` : 17 “Dan sesungguhnya telah Kami muliakan anak-anak Adam”.

Bani Adam menyangkut laki-laki dan perempuan, karena itu menurut ayat ini, kedua-duanya sama-sama dimuliakan tanpa ada pembedaan jenis kelamin. Q.S. al Baqarah 187 juga menyatakan : “Mereka adalah pakaian (libas) bagimu dan kamu adalah pakaian bagi mereka”. Hal ini mengisyaratkan bahwa keduanya saling membutuhkan dan yang satu tidak dapat sempurna tanpa kehadiran yang lain. (Asghar Ali, 2000 : 66).

Kalangan ulama merumuskan bahwa hadits dikatakan sahih apabila: tidak bertentangan dengan akal sehat; tidak bertentangan dengan al Qur`an, hadis mutawatir dan ijma`; tidak bertentangan dengan amalan kebiasaan ulama salaf; tidak bertentang dengan dalil yang sudah pasti; tidak bertentangan dengan hadis ahad yang kualitas ke-sahih-annya lebih kuat (Syuhudi Ismail, 1995:126). Hadis tentang keharusan istri untuk sujud menghamba pada suami tidak memenuhi kreteria diatas, dengan demikian hadis tersebut benar-benar da`if dan tidak dapat dijadikan sebagai landasan hukum.

(16)

4

Untuk membahas berbagai persoalan di atas penulis akan membedahnya

dalam sebuah skripsi dengan judul “Penghambaan Istri Terhadap Suami Antara

Doktrin dan Tradisi (Studi Kasus Pada Perempuan di Cabean RT 05 RW 01 Kelurahan Mangunsari Kecamatan Sidomukti Kota Salatiga)”.

B. Rumusan Masalah

Dengan merujuk pada pembahasan latar belakang di atas, maka yang menjadi pokok masalah dalam penelitian ini adalah:

1. Bagaimana bentuk-bentuk penghambaan istri terhadap suami di Cabean RT 05 RW 01 Kelurahan Mangunsari Kecamatan Sidomukti Kota Salatiga ? 2. Apakah penghambaan istri terhadap suami di Cabean RT 05 RW 01

Kelurahan Mangunsari Kecamatan Sidomukti Kota Salatiga dilakukan atas dasar doktrin atau tradisi ?

C. Tujuan Penelitian

Sesuai dengan pokok masalah di atas, maka penelitian ini bertujuan sebagai berikut:

1. Untuk mengetahui bentuk-bentuk penghambaan istri terhadap suami di Cabean RT 05 RW 01 Kelurahan Mangunsari Kecamatan Sidomukti Kota Salatiga.

2. Untuk mengetahui apakah penghambaan istri terhadap suami di Cabean RT 05 RW 01 Kelurahan Mangunsari Kecamatan Sidomukti Kota Salatiga atas dasar doktrin atau tradisi.

(17)

5

Pelaksanaan penelitian diharapkan akan memberi manfaat, baik secara teoritik maupun secara praktis. Adapun manfaat yang diharapkan dari penelitian ini adalah sebagai berikut :

1. Manfaat Teoritik.

Manfaat teoritik dari penulisan skripsi ini adalah menambah wawasan dan pengetahuan peneliti tentang berbagai persoalan yang berhubungan dengan pernikahan.

2. Manfaat Praktis

Adapun manfaat praktisnya adalah memberikan tambahan wacana bagi dunia akademis, masyarakat serta dapat memberikan pencerahan suami-istri dalam memaknai pernikahan sehingga dapat menjalankan kehidupan berumah tangga sesuai ajaran Islam.

E. Penegasan Istilah

Untuk lebih mudah memahami judul skripsi di atas, maka ada beberapa istilah yang perlu penulis jelaskan, yaitu:

1. Penghambaan.

Penghambaan adalah kata kerja dari hamba yang diantaranya bermakna memperlakukan diri sebagai hamba (Suharso dan Ana Retnoningsih, 2009: 163). Adapun maksud penghambaan dalam skripsi ini adalah penghambaan istri terhadap suami, atau istri yang menghambakan dirinya terhadap suami sebagai upaya mewujudkan tujuan pernikahan (berumah tangga).

(18)

6

Doktrin adalah ajaran atau kepercayaan yang bersumber pada nilai keagamaan atau paham tertentu yang kebenarannya diakui dan dipraktekkan masyarakat yang meyakininya (Suharso dan Ana Retnoningsih, 2009: 125). Adapun maksud doktrin dalam skripsi ini adalah ajaran agama tentang penghambaan istri terhadap suami yang dipraktekkan dalam berumah tangga. 3. Tradisi

Tradisi adalah norma dan adat kebiasaan yang ada secara turun menurun (Suharso dan Ana Retnoningsih, 2009: 583). Maksud tradisi dalam skripsi adalah norma dan adat kebisaan atau budaya Jawa yang masih dilakukan masyarakat dalam kaitanya dengan pernikahan dan berumah tangga, secara lebih khusus penghambaan terhadap suami di wilayah Cabean RT 05 RW 01 Kelurahan Mangunsari Kecamatan Sidomukti Kota Salatiga. F. Kajian Pustaka

(19)

7

dari unsur atau jenis yang sama, sehingga hal ini harus berimplikasi pada pandangan bahwa laki-laki dan perempuan dari asalnya adalah setara, dan yang membedakannya (dihadapan Tuhan) kualitas ketaqwaannya dan (antar manusia) adalah realitas kemanusiaannya, 2) Bahwa manusia laki-laki dan perempuan di dunia ini adalah sebagai wakil Allah di bumi, sehingga diberi kepercayaan untuk mengelolanya dengan amalan yang sholeh, maka keduanya harus menjalin kerja sama, saling melengkapi dan menyempurnakan kekurangan yang lain. 3) Semua tindakan yang dilakukan, baik laki-laki maupun perempuan akan mendapat balasan yang setimpal, tanpa membedakan jenis kelamin pelakunya. Ketiga;

Konsep Qowwam dalam relasi antara laki-laki dan perempuan dalam rumah tangga yang terkandung dalam Q.S. An Nisa` : 34. harus dipahami dalam konteks sosial ayat tersebut diturunkan. Dengan kata lain kepemimpinan dalam rumah tangga tidak bersifat mutlak atau permanen dengan laki-laki. Siapapun (laki-laki atau perempuan yang telah dewasa) dapat menjadi pemimpin asalkan mampu menunjukkan kelebihannya (tentu saja dalam tataran kemanusiaan dan juga keagamaan – ketaqwaan), seperti mampu memberikan nafkah kepada keluarganya, mampu memberikan ”pencerahan” baik dalam hal pengetahuan maupun keagamaan..

(20)

8

kewajiban suami-istri menurut Islam adalah sesuatu yang dituntut syari’at untuk dikerjakan oleh suami-istri dalam berkeluarga dengan tujuan mempertahankan dan mencapai tujuan pernikahan. Ketiga; komparasi antara fiqh dan fenomena kesetaraan gender dalam hak dan kewajiban suami istri, ada kesamaan dan perbedaannya. Fiqh menetapkan suami adalah kepala atau pimpinan rumah tangga dan istri sebagai ibu rumah tangga yang harus mengatur rumah tangga serta mendidik anak-anak yang dilahirkannya. Sedang fenomena sekarang, perempuan keluar rumah untuk berkarir dan bekerja sebagian adalah untuk memenuhi kebutuhan rumah tangga. Namun demikian apabila laki-laki dan perempuan disamakan dalam mencari nafkah adalah mustahil, sebab nafkah keluarga adalah kewajiban suami, bila suami tidak ada maka kepemimpinan dapat diambil alih perempuan sebagai istri.

Fitria Awwalin dalam skripsi Kekerasan Terhadap Istri Dalam Rumah Tangga (Studi Komparatif Terhadap Hukum Islam Dengan UU No. 23 Tahun

(21)

9

(22)

10

yang dinistakan menjadi individu yang merdeka, terhormat, bermartabat di mata Tuhan dan Manusia). Sebuah semangat mengarah pada tujuan yang sama, yaitu penolakan terhadap segala bentuk kekerasan terutama yang mengarah pada perempuan. Hal ini secara tidak langsung merubah citra Islam, dari agama yang sangat dekat dengan kekerasan menjadi agama yang peduli pada perempuan sebagai manusia yang sering mendapat kekerasan karena kondisi yang ”terlanjur”

melemahkan posisi perempuan.

Tiga skripsi di atas umumnya membahas ketidakadilan gender yang berimplikasi kekerasan terhadap perempuan, baik dari sisi hukum maupun teologis, namun masih dalam sebatas kerangka teoritis. Sedang dalam skripsi peneliti yang kajian utamanya penghambaan istri terhadap suami, tidak hanya membahas kerangka teoritis saja, namun juga mengujinya dalam penelitian lapangan, yaitu di wilayah Cabean RT 05 RW 01 Kelurahan Mangunsari Kecamatan Sidomukti Kota Salatiga.

G. Metode Penelitian

1. Pendekatan dan Jenis Penelitian

Jenis penelitian yang digunakan adalah penelitian lapangan (field research) dengan menggunakan pendekatan analisis deskriptif kualitatif,

(23)

11

Untuk memperoleh berbagai informasi serta menjaga akurasi data yang diperlukan dalam penelitian ini, maka peneliti hadir langsung menjumpai dan mewawancarai beberapa orang perempuan di lokasi penelitian yang telah dipilih sebagai sampel yang ada kompetensinya dengan penelitian yang kriterianya sudah ditentukan.

3. Lokasi dan Obyek Penelitian

Yang menjadi lokasi penelitian skripsi ini adalah wilayah Cabean RT 05 RW 01 Kelurahan Mangunsari Kecamatan Sidomukti Kota Salatiga. Sedang obyeknya adalah para istri yang kualifikasinya PNS, karyawan, buruh, dan ibu rumah tangga.

4. Sumber Data

a. Sumber data primer.

Sumber data primer merupakan fakta atau keterangan yang langsung diperoleh melalui penelitian lapangan yang dalam hal ini diperoleh dari hasil wawancara dengan perempuan yang memenuhi kualifikasi penelitian, yaitu PNS, karyawan, buruh, dan ibu rumah tangga di lokasi penelitian.

b. Sumber data sekunder.

Sumber data sekunder merupakan keterangan-keterangan yang mendukung data primer yang diperoleh melalui studi kepustakaan yang disesuaikan dengan pokok permasalahan dalam penelitian.

5. Metode Pengumpulan Data

(24)

12 a. Metode Dokumentasi

Metode Dokumentasi adalah metode penelitian data bersandar pada dokumen tertulis; buku, agenda, arsip-arip, dan lain-lain (Arikunto, 1998 : 131). Metode ini digunakan untuk mengetahui data otentik tentang latar belakang pendidikan, pekerjaan perempuan yang menjadi obyek penelitian, jumlah penduduk, dan kondisi sosial keagamaan.

b. Metode wawancara

Wawancara atau interview adalah proses tanya jawab secara lisan antara dua orang atau lebih dengan berhadapan secara fisik yang satu dapat melihat dan yang satu dapat mendengar sendiri (Sutrisno Hadi, 1986 : 136). Wawancara penulis lakukan terhadap perempuan di wilayah Cabean RT 05 RW 01 Kelurahan Mangunsari Kecamatan Sidomukti Kota Salatiga yang sesuai dengan kualifikasi penelitaian.

c. Studi Pustaka.

Studi pustaka yaitu mempelajari dan menganalisa berbagai literatur kepustakaan yang berhubungan dengan pokok persoalan yang dibahas. Studi kepustakaan ini amat penting karena untuk mempertajam kerangka teoritik serta analisis terhadap pokok permasalahan.

6. Analisis Data

(25)

13

menganalisis berbagai pendapat perempuan dilokasi penelitian mengenai penghambaan istri terhadap suami.

7. Pengecekan Keabsahan Data

Untuk menghindari ketidakakuratan data yang telah diperoleh, peneliti akan mengkonfirmasikannya terhadap berbagai pihak yang berkaitan. Misal; mengecek kembali hasil wawancara yang telah dilakukan. Bila ternyata belum mendapat penjelasan yang tepat bisa dilakukan wawancara ulang terhadap obyek penelitian.

8. Tahap-tahap Penelitian

Beberapa tahapan penelitian yang akan peneliti lakukan adalah sebagai berikut:

a. Pemilihan pokok masalah yang menurut penulis menarik, problematis, dan terjangkau oleh penulis, yakni Penghambaan Istri Terhadap Suami Antara Doktrin dan Tradisi (Studi Terhadap Perempuan di Cabean RT 05 RW 01 Kelurahan Mangunsari Kecamatan Sidomukti Kota Salatiga).

b. Penyususunan proposal penelitian dilanjutkan permohonan ijin penelitian. c. Studi kepustakaan dan pengumpulan referensi yang berkaitan dengan pokok

permasalahan dilanjutkan dengan pelaksanaan penelitian.

d. Mengumpulkan data dan pendapat mengenai penghambaan istri terhadap suami dari perempuan di wilayah Cabean RT 05 RW 01 Kelurahan Mangunsari Kecamatan Sidomukti Kota Salatiga.

(26)

14 H. Sistematika Penulisan

Skripsi ini secara garis besar terdiri dari tiga bagian: bagian awal, bagian isi, dan bagian akhir. Pada bagian awal skripsi berisi: cover luar, cover dalam, Lembar pengesahan, Persetujuan pembimbing, Pernyataan keaslian, Lembar motto, Kata pengantar, Daftar isi, Daftar table.

Pada bagian isi skripsi didalamnya terdiri dari lima bab. Keseluruhannya dapat dilihat sebagai berikut : Bab I : Pendahuluan, menguraikan; Latar belakang masalah; Pokok masalah; Tujuan Penelitian; Manfaat penelitian; Penjelasan istilah; Telaah pustaka; Metode penelitian; dan sistematika penulisan skripsi.

Bab II : Kajian pustaka penghambaan istri terhadap suami antara doktrin dan tradisi, membahas: Pola relasi suami istri prespektif Islam, dengan sub bahasan: Pernikahan dalam Islam; Hak dan kewajiban suami istri prespektif Islam; Pola relasi suami istri prespektif Islam. Pola relasi suami istri dalam budaya Jawa dengan sub bahasan: Pernikahan dalam tradisi Jawa; Hak dan kewajiban suami istri dalam tradisi Jawa; Pola relasi suami istri dalam tradisi Jawa. Pengaruh tradisi pada perilaku suami istri masyarakat Muslim Jawa.

Bab III : Laporan Hasil Penelitian, berisi tentang : Gambaran umum Lokasi penelitian, Profil penghambaan istri terhadap suami antara doktrin dan tradisi.

Bab IV : Analisis, yang membahas: Bentuk-bentuk penghambaan istri terhadap suami; Perbedaan persepsi penghambaan istri terhadap suami; Mendayung antara doktrin tradisi dan modernitas.

(27)

15 BAB II

PENGHAMBAAN ISTRI TERHADAP SUAMI ANTARA DOKTRIN DAN TRADISI

A. Pola Relasi Suami Istri Perspektif Islam 1. Pernikahan Dalam Islam.

Dalam Islam, nikah merupakan salah satu syariat Tuhan yang dianjurkan untuk mengatur hubungan laki-laki dan perempuan dalam suatu perkumpulan kekeluargaan penuh cinta, kasih sayang dan berkah, yang dalam Al Qur’an diungkapkan dengan kalimat mawaddah wa ar-rahmah (Q.S. ar Rum : 31). Dengan nikah, laki-laki maupun perempuan, bisa melaksanakan apa saja yang sebelumnya dilarang, misalnya hubungan seksual.

Secara literal kata nikah itu berarti ``hubungan seksual``. Sebagai istilah hukum, kata ini menunjukkan situasi yang diakibatkan dari perjanjian

(aqad) khusus antara pria dan wanita, yang dengan perjanjian ini hubungan seksual diantara mereka menjadi sah di mata Tuhan dan masyarakat (Murata, 2001: 1). Dengan pernikahan itu pula, laki-laki dan perempuan bisa tinggal dan hidup bersama sebagai suami istri serta bebas melakukan berbagai aktifitas untuk mencapai tujuan-tujuan pernikahan.

Tujuan pernikahan tidak hanya sekedar melegalkan hubungan seksual antara seorang laki-laki dengan seorang perempuan saja, namun memiliki tujuan-tujuan kemanusiaan yang lebih agung diantaranya sebagai berikut: a. Membina kehidupan keluarga bahagia sejahtera.

b. Hidup cinta mencinta dan kasih mengasihi.

c. Melanjutkan dan memelihara keturunan umat manusia.

(28)

16

e. Membina hubungan kekeluargaan dan mempererat silaturrahmi antar keluarga (Depag RI, 2004: 1).

Dalam beberapa hadis Rasulullah s.a.w, nikah hanya sebatas anjuran dan bukan kewajiban, namun anjuran ini bobotnya bisa berubah-ubah. Bisa anjuran (sunnah) ini menjadi wajib, bisa menjadi makruh, bisa menjadi hukum asalnya (sunnah), dan bisa pula menjadi wenang (jaiz), tergantung pada situasi dan kondisi yang melingkupinya. Dalam Bukhori Juz I (1950: 304) Rasulullah s.a.w. bersabda:

Nikah adalah sunahku (peraturanku), barang siapa tidak suka dengan sunnahku, maka ia tidak termasuk umatku (H.R. Bukhori).

Asbab al Wurud hadis tersebut adalah adanya keinginan beberapa sahabat Rasulullah s.a.w. diantaranya Usman ibn Mahdun dan Abdullah ibn Umar yang mengutarakan keinginannya hidup membujang untuk kemudian berkhidmat dan beribadah kepada Allah. Mendengar kabar itu, maka Rasulullah s.a.w. memberikan reaksi diantaranya dengan memberikan pernyataan sebagaimana termaktub dalam hadis di atas.

(29)

17

Wahai kaum muda, jika diantara kamu sudah ada kesiapan untuk menikah,

maka menikahlah. Karena menikah dapat menundukakan pandanganmu dan menjaga kehormatanmu (Al Bukhari V, 1950: 4778)

Dari hadis tersebut sudah jelas bahwa menikah bagi mereka yang memiliki kemampuan dan kesiapan adalah sangat penting serta sangat dianjurkan sebagai perisai menjaga kehormatan dari berbagai kemungkinan terseret ke lembah dosa. Bahkan pada hadits sebelumnya secara jelas ditegaskan “tidak akan dianggap sebagai umat Rasulullah Muhammad s.a.w.” jika seseorang mengaku Muslim tapi tidak melaksanakan pernikahan, karena pernikahan salah satu jalan hidup atau way of life yang dilakukan Rasulullah.

Oleh karena itu Syekh Yusuf Qordlowi (1990: 233) ketika membahas pernikahan dalam Islam lebih khusus terhadap keinginan untuk membujang memberikan penjelasan diantaranya sebagai berikut:

Seorang Muslim tidak diperkenankan menentang perkawinan dengan anggapan bahwa hidup membujang itu lebih baik demi mengabdi kepada Allah, sementara dia mampu melakukan perkawinan itu; atau dengan alasan untuk total mencurahkan hidupnya semata untuk beribadah dan memutuskan hubungan dengan urusan duniawinya. Menentang perkawinan adalah pengaruh `kerahiban` (tradisi kependitaan yang tidak diperbolehkan menikah).,... Sikap semacam ini adalah menentang ajaran Islam dan menyimpang dari Sunnah Nabi.

Seorang Muslim tidak diperkenankan menghalang-halangi dengan mengkondisikan diri agar tidak melakukan pernikahan karena alasan ekonomi. Kehawatiran ini hanya bisa dijawab dengan senantiasa berikhtiar mengejar anugerah Allah yang telah dijanjikan terhadap orang-orang yang melakukan pernikahan. Janji itu sebagaimana dinyatakan dalam Q.S. An Nur : 32:

(30)

18

hamba-hamba sahayamu yang perempuan. Jika mereka miskin Allah akan memampukan mereka dengan kurnia-Nya, dan Allah Maha luas (pemberian-Nya) lagi Maha Mengetahui.

Ayat tersebut juga mengandung maksud agar kita membantu laki-laki yang belum nikah atau wanita-wanita yang tidak bersuami, dibantu agar mereka dapat menikah. Ini juga bermakna bahwa pernikahan bukan hanya tanggung jawab pribadi pelaku atau orang tua saja, namun juga menjadi tanggung jawab sosial masyarakat. Berbagai kekhawatiran akan kesulitan setelah melaksanakan pernikahan tidak seharusnya terjadi, sebab janji dan pertolongan Allah itu adalah pasti.

2. Hak dan Kewajiban Suami Istri Perspektif Islam.

Sebagai konsekuensi hukum dari pernikahan adalah adanya hak dan kewajiban yang harus dipenuhi oleh suami istri. Kewajiban suami terhadap istri adalah hak bagi istri, begitu juga sebaliknya, kewajiban istri terhadap suami adalah hak bagi suami. Syarifuddin (2001: 160) mendiskripsikan hak dan kewajiban sumai istri sebagai berikut: Kewajiban suami terhadap istri, yang merupakan hak istri dari suami; Kewajiban istri terhadap suami, yang merupakan hak suami dari istri; Hak bersama bagi suami istri; Kewajiban bersama suami istri. Penjelasan selengkapnya sebagai berikut:

a. Kewajiban suami terhadap istri.

Kewajiban suami yang merupakan hak bagi istri dapat dibagi menjadi dua bagian, yaitu:

1) Kewajiban kebendaan. berupa mahar (mas kawin) dan nafkah.

(31)

19

mempelai laki-laki kepada pengantin perempuan berupa barang atau barang ketika dilangsungkan akad nikah” (Suharso dan Ana

Retnoningsih, 2009:303). Jumlah mahar tidak ditentukan, tetapi sesuai kesepakatan atau kemampuan mempelai laki-laki, dan hukumnya wajib. Sedang nafkah menurut Husein Muhammad( 2002:110) adalah ”pengeluaran seseorang untuk orang-orang yang menjadi tanggung jawabnya”, atau belanja untuk keperluan makan yang mencakup sembilan bahan pokok, pakaian, dan papan atau yang dalam bahasa sehari-hari disebut sandang, pangan, dan papan.

Kewajiban memberi nafkah diantaranya ditegaskan dalam al Qur`an sebagai berikut :

Hendaklah orang (suami) yang mampu memberikan nafkah menurut kemampuannya. Dan orang-orang yang disempitkan rizkinya hendaklah memberikan nafkah dari harta yang diberikan Allah kepadanya (Q.S. at Thalaq: 7).

Dalam hadis yang diriwayatkan Imam at-Turmudzi, Rasulullah juga bersabda:

Bersabda Rasulullah s.a.w.: Ketahuilah (hai para suami), hak-hak mereka (para istri) atas kamu adalah memberikan kepada mereka makanan dan pakaian secara ma`ruf. (at Turmudzi III, 1960:467).

2) Hak bukan kebendaan.

(32)

20

perbuatan dosa dan maksiat atau ditimpa suatu kesulitan dan mara bahaya” (Syarifuddin, 2001:160-161).

Berhubungan dengan beberapa kewajiban tersebut al Qur`an menegaskan:

Pergaulilah mereka (istri-istrimu) secara baik, kemudian jika kamu tidak menyukai mereka,( bersabarlah) karena kamu mungkin tidak menyukai sesuatu, padahal Allah menjadikan padanya kebaikan yang banyak (Q.S. An Nisa` : 19).

b. Kewajiban istri terhadap suami.

Kewajiban istri terhadap suami yang merupakan hak bagi suami secara rinci dijelaskan oleh Syarifuddin (2001:162-163) sebagai berikut: 1) Menggauli suami secara layak sesuai dengan kodratnya.

2) Memberi rasa tenang dalam rumah tangga suami, dan memberi cinta kasih sayang kepada suami dalam batas-batas kemampuannya.

3) Taat dan patuh kepada suami selama suami tidak menyuruh untuk melakukan maksiat.

4) Menjaga diri dan menjaga harta suami bila suami sedang tidak berada di rumah.

5) Menjauhkan diri dari perbuatan yang tidak disenangi suami.

6) Tidak memperlihatkan muka yang tidak enak dipandang dan suara yang tidak enak didengar.

Dalam hadist yang diriwayatkan Abu Hurairah, menjawab pertanyaan sahabat Nabi menegaskan:

Nabi ditanya: Ya Rasulullah, perempuan mana yang lebih baik?. Nabi berkata: “Bila suami memandangnya, ia menyenangkan suaminya, bila suami menyuruhnya, ia memenuhinya, ia tidak menyalahi suaminya tentang diri dan hartanya tentang sesuatu yang tidak disenanginya”.

(33)

21

Hak bersama suami istri adalah hak bersama secara timbal balik dari pasangan suami istri terhadap yang lain. Adapun hak bersama itu adalah:

1) Halal bergaul antara suami istri dan masing-masing dapat bersenang – senang satu sama lain.

2) Terjadinya hubungan mahrom, istri menjadi mahrom ayah suami, kakek dan seterusnya ke atas. Demikian pula suami menjadi mahrom ibu istri, nenek dan seterusnya ke atas. Bisa pula disebut mushaharah. 3) Terjadinya hubungan waris mewarisi. Pihak istri berhak mewarisi suami bila terjadi kematian, begitu pula sebaliknya. (Basyir, 1995: 49).

4) Berlakunya nasab anak yang dibuahkan dari pernikahan tersebut. 5) Saling bergaul secara baik, maka suami-istri wajib memperlakukan

pasangannya dengan ma`ruf sehingga tercipta kebersamaan dalam naungan kedamaian (Hamid Kisyik, tt: 123).

d. Kewajiban bersama suami istri.

Sedang kewajiban keduanya secara bersama dengan telah terjadinya pernikahan itu adalah:

1) Memelihara dan mendidik anak keturunan yang lahir dari perkawinan. 2) Memelihara kehidupan rumah tangga yang sakinah, mawaddah, dan

warahmah

Dalam konteks Indonesia, Hak dan Kewajiban suami istri diatur secara

(34)

22

Pada pasal 33 menegaskan: “Suami istri wajib saling cinta mencintai, hormat menghormati, setia, dan memberikan bantuan lahir batin yang satu pada yang lain”. Pada pasal 34 juga ditesaskan: (1) Suami wajib melindungi istri dan memberikan segala sesuatu keperluan hidup berumah tangga sesuai dengan kemampuannya; (2) Istri wajib mengatur rumah tangga yang sebaik-baiknya; (3) Jika suami atau istri melalaikan kewajibannya masing-masing dapat melakukan gugatan hukum kepada pengadilan.

Berbagai aturan idealistik, baik yang bersumber pada kitab suci, sabda Nabi, serta perundang-undangan sebagaimana telah dijabarkan di atas, pada hakekatnya adalah ikhtiar untuk menjembatani agar berbagai tujuan pernikahan dapat terwujud. Namun demikian, membangun kesadaran akan pemahaman hakekat pernikahan bagi suami istri secara substansial adalah lebih penting.

3. Pola Relasi Suami Istri Perspektif Islam

Nilai-nilai fundamental yang dikedepankan Islam adalah keadilan, keseimbangan dan persamaan, yakni persamaan dalam semua wilayah, termasuk wilayah seksual (Asghar Ali, 1999:17). Nilai-nilai tersebut juga merupakan bagian dari doktrin Islam dalam pola relasi antara laki-laki dan perempuan yang banyak disebutkan dalam al Qur`an. Oleh karena itu maka Islam menjunjung tinggi dan memuliakan kedudukan laki-laki dan perempuan dalam posisi seimbang (equal), baik dalam urusan rumah tangga maupun dalam wilayah sosial kemasyarakatan.

(35)

23

(ketenteraman, cinta dan kasih sayang) (Q.S. ar-Rum: 21), keseimbangan hak dan kewajiban (Q.S. al-Baqarah: 228).

Ayat-ayat di atas memberi pengertian bahwa Tuhan menghendaki perkawinan dan relasi suami-istri berjalan dalam pola interaksi yang harmonis, suasana hati yang damai, serta keseimbangan hak dan kewajiban. Dengan kata lain, dapatlah dikatakan bahwa Mu`asyarah bi al-ma`ruf, Sakinah Mawaddah wa Rahmah, keseimbangan hak dan kewajiban merupakan landasan moral yang harus dijadikan acuan dalam semua hal yang menyangkut hubungan suami istri.

Pada Q.S. al Baqarah : 187, al Qur`an juga memberi penjelasan”mereka adalah pakaian bagi kamu, dan kamu adalah pakaian bagi mereka” . Terhadap

ayat tersebut Asghar Ali (2000:66) memberikan komentar:

Pada ayat tersebut al Qur`an menggunakan metafor pakaian (libas),

sebagaimana pakaian maka saling membutuhkan dan yang satu tidak dapat sempurna tanpa kehadiran yang lain atau keduanya saling melengkapi. Ini bermakna pula bahwa eksistensi kemanusiaan dari dua jenis kelamin itu - laki-laki dan perempuan – tidak ada yang saling mendominasi.

Dalam konteks ibadah, kesetaraan laki-laki dan perempuan juga mendapat jaminan dalam al Qur`an diantaranya bisa dilihat dalam Q.S. al Ahzab : 35 yang artinya:

(36)

24

Mengomentari ayat di atas, Abdullah Yusuf Ali seorang mufassir modern sebagaimana dikutip Dzuhayati, dkk, (2002:56-57) meberikan penjelasan sebagai berikut:

Sejumlah kewajiban seorang muslim dalam ayat ini diuraikan, tetapi tekanan utamanya terletak pada kenyataan bahwa semua kebajikan sangat diperlukan bagi laki-laki dan perempuan. Hak dan kewajiban keduanya dalam arti rohani dan kemanusiaan, tingkatannya sama, dan pahalnya di akhirat, yakni kebahagiaan rohani diberikan kepada mereka masing-masing sama. Nilai-nilai yang disebutkan ialah: (1) keimanan, harapan dan tawakal kepada Allah serta pengaturan`Nya yang baik atas dunia ini; (2) berbakti dan beribadah dalam kehidupan sehari-hari; (3) cinta dan berlaku jujur dalam pikiran dan dalam hati, dalam kata-kata dan perbuatan; (4) sabar dan tabah dalam penderitaan dan dalam berusaha yang benar; (5) rendah hati, menjauhi sikap sombong dan merasa diri lebih tinggi; (6) bersedekah, yaitu membantu orang miskin yang mengalami kemalangan; (7) mengorbankan kepentingan sendiri; (8) kehidupan seks yang bersih, bersih dalam hati, pikiran, kata dan perbuatan; (9) selalu memperhatikan ajaran agama serta menanmkan rasa rindu ingin lebih dekat dengan Allah.

Dalam sebuah riwayat hadis diceritakan pada suatu saat Rasulullah bersabda: ”janganlah kamu pukul istri-istrimu”. Kemudian Umar datang pada Rasulullah dan berkata: ”Istri-istri kami merasa di atas kami kalau mendengar hal ini”. Dia juga mengklaim bahwa suku Quraisy (suku Rasulullah) selalu

(37)

25

Dalam sebuah hadis yang diriwayatkan Abdullah bin Zam’ah, bahwa Nabi s.a.w. juga bersabda: “Sesungguhnya aku tidak senang (benci) terhadap

lelaki yang memukul istrinya ketika dia marah, padahal bisa saja setelah itu menggaulinya pada hari yang sama” (Ibn ‘Arabi, Juz I: 420). Imam Ali bin Abi Thalib ra. juga menyatakan: “Hanya laki-laki mulia yang akan memuliakan perempuan, dan hanya laki-laki hina yang akan menghinakan perempuan” (Depag RI, 2004: 137).

Pada tataran implementasi, perintah Al Qur`an ini telah dipraktekkan tanpa basa-basi oleh Rasulullah s.aw. Dalam sebuah hadis, Aswad meminta Aisyah r.a. untuk menjelaskan perilaku Rasulullah ketika sedang bersama istrinya, maka Aisyah menjawab: “Ia berada dalam tugas keluarganya

(istrinya), yakni membantu pekerjaan istrinya, sampai ketika tiba waktu shalat beliau keluar untuk shalat” (Bukhari, juz V, 1987: 143).

(38)

26

Rasulullah juga memberi kriteria bahwa suami ideal adalah yang bersikap paling baik kepada istri dan keluarganya, seperti tertera dalam hadis berikut ini:

Sebaik-baik kamu adalah orang yang paling baik terhadap istrinya, dan aku (nabi) adalah orang yang paling baik terhadap istri (H.R. Turmudzi).

Beberapa kutipan ayat al Quran serta hadis di atas merupakan contoh dan ilustrasi tentang pola hubungan suami istri yang telah dipraktekkan Rasulullah. Dengan setting budaya Arab yang sangat patriarkhis, apa yang dilakukan dan disarankan Rasulullah adalah suatu yang revolosioner dan cukup aneh saat itu, sehingga banyak mendapat perlawanan dan penolakan. Dengan prinsip Mu`asyarah bi al-ma`ruf, Sakinah Mawaddah wa Rahmah, Rasulullah telah membuktikan bahwa hanya dengan hubungan yang baik dan cara pandang yang positiflah sebuah keluarga akan mendapatkan kehidupan yang dicita-citakan. Ini berarti bahwa semua bentuk kekerasan, baik fisik, psikhis, seksual maupun ekonomi sama sekali tidak dibenarkan, karena bertentangan dengan prinsip-prinsip Islam. Dengan demikian pola hubungan suami istri yang dibangun atas dasar penghambaan adalah merusak sendi-sendi kemanusiaan, maka tidak dibenarkan oleh Islam.

B. Pola Relasi Suami Istri Prepektif Budaya Jawa 1. Pernikahan Dalam Tradisi Jawa

Masyarakat Jawa dalam melakukan penilaian terhadap segala sesuatu,

(39)

27

terkecuali dalam hal pernikahan. Bagi masyarakat Jawa, sebagaimana dijelaskan oleh Herman A. Ardiansyah:

Pernikahan adalah wujud pelaksanaan sabda dan kodrat Tuhan kepada manusia untuk berkembang biak, bermakna sakral dan berhubungan dengan penciptaan manusia baru oleh Tuhan. Pernikahan bukan sekedar urusan legitimasi sosial yang pijakannya memberi payung hukum masalah kebirahian (hubungan seks), tetapi lebih mendalam kepada tingkat pemahaman keber-Tuhan-an, yaitu kesadaran tentang bagaimana manusia diciptakan, bagaimana hubungan penciptaan itu dengan alam semesta, dan bagaimana manusia yang menyatakan beradab menyikapi penciptaan itu (http:/budayaluhur.blogspot.com./2009/09/hakekatperkawinanmenurutjawa ).

Penjelasan di atas sesungguhnya berkait erat dengan falsafah kodrat iradat Tuhan menyangkut tiga tahapan kehidupan manusia yaitu metu, manten,

dan mati. Metu berarti lahir di mana dalam kelahiran ini dipandang sebagai takdir. Manten berarti menikah yang menandakan bahwa seorang laki-laki dan seorang perempuan setuju untuk menggabungkan, memadu, serta menyerasikan tanggung jawab dan kewajiban masing-masing menjadi sebuah kesatuan yang harmonis, yaitu dalam kehidupan berkeluarga dan berumahtangga. Menikah merupakan upaya untuk memulai tahapan memayu wahyuning bumi atau

hamemayu hayuning bawana. Mati berarti akhir kehidupan manusia dan kembali kepada Sang Pencipta.

Dalam memilih jodoh masyarakat Jawa juga memiliki rambu-rambu budaya yang harus diperhatikan terutama laki-laki ketika hendak memilih istri populer dengan istilah bobot, bibit, bebet, penjelasan singkatnya adalah : Bobot artinya bahwa wanita harus diketahui asal-usul orang tuanya. Bebet,

(40)

28

Untuk menghindari kekecewaan, kebudayaan Jawa juga memberikan

rambu-rambu pernikahan yang jauh dari nilai meterilisme, nilainya sangat mendalam dan bermakna spiritulal, sebagaimana dijelaskan Afendy Widayat, (2014:6) sebagai berikut:

Gegarane wong akrami dudu bandha dudu rupo, amung ati pawitane, luput pisan kena pisan, yen angel, angel kelangkung tan kena tinumbas arta: Rambu rambu pernikahan bukan soal harta dan wajah, hanyalah hati yang menjadi modal pertimbangannya, benar-salah hanya sekali, jika telanjur sulit, maka sulitnya luar biasa, tak bisa dibeli dengan harta.

Hati dalam rambu-rambu di atas bukanlah hati fisik, tetapi mengarah pada penggalih atau manah, yaitu pemikiran dan perenungan mendalam atas dasar eneng (tenang dalam berpikir tanpa adanya campur tangan perasaan dan nafsu); ening (bening dan jernih tanpa prasangka buruk dan dugaan), awas (teliti dan waspada dan melihat, mengetahui dan menimbang); dan eling (bahwa semua akan terwujud atau terjadi atas kehendak Illahi).

Dengan didasari nilai bobot, bibit, bebet, disertai laku batin yang eneng, ening, awas dan, eling, diikuti serangkaian panjang ritual pernikahan, mulai dari melamar, nontoni, peningsetan, asok tukon, midodareni, siraman, nyantri,

ijab kobul, temu penganten dan serangkaian ritual lainnya, bagi masyarakat Jawa adalah bagian dari ikhtiar agar pernikahan diberkahi dan abadi.

2. Hak dan Kewajiban Suami Istri Dalam Tradisi Jawa. a. Hak dan Kewajiban Suami Dalam Tradisi Jawa.

(41)

29

didiskripsikan Endraswati (2003:69) adalah angayani, angomahi, angayomi, angayemi, dan angatmajani.Penjelasan singkatnya sebagai berikut :

1) Angayani (memberi nafkah lahir dan batin).

Angayani berasal dari kata kaya berarti harta (kekayaan). Suami wajib memberikan nafkah kepada istri berupa sandang-pangan, serta kebutuhan lain yang dianggap perlu. Pemenuhan kebutuhan rumah tangga ini menjadi tanggung jawab suami karena suami dalam tradisi Jawa dikategorikan sebagai seorang yang aktif (manah-memanah) memburu dan mencari segala sesuatu yang dibutuhkan dalam berumah tangga. 2) Angomahi (membangun rumah tempat tinggal keluarga).

Kewajiban lain bagi seorang suami dalam adalah menyediakan rumah atau bale wismo untuk tempat tinggal keluarga. Karena dalam tradisi Jawa suami adalah pengambil keputusan, maka lokasi, biaya, tempat dan wilayah dimana rumah itu dibangun, semuanya menjadi hak dan kewajiban suami, dan suamilah yang menentukan.

3) Angayomi dan angayemi.

Angayomi adalah kewajiban suami untuk menjadi pengayom dan membimbing keluarga. Sedang angayemi adalah kewajiban suami untuk menjaga kondisi keluarga menjadi aman tentram dan bebas dari ganguan. Suami sebagaimana layaknya pemimpin, ia bertugas memimpin rumah tangganya dalam berbagai aspek kehidupan, ia wajib mengawasi, melindungi, mengajari dan memberi wawasan toto kromo baik-buruk.

(42)

30

4) Angatmajani (mampu menurunkan bibit unggul)

Tugas dan kewajiban angatmajani diantaranya diwujudkn ketika hendak memilih istri dengan mempertimbangkan bibit (keturunan), bobot

(kekayaan), bebet (kedudukan). Ketiga hal tersebut harus benar-benar diperhitungkan dan merupakan hak serta kewajiban yang harus dipenuhi suami, karena keturunan menjadi hal istimewa bagi keluarga sebab akan melanjutkan sejarah orang tua.

Kesanggupan untuk angayani, angomahi, angayomi dan angayemi,

serta angatmajani, adalah karakteristik suami baik, dan menjadi idaman bagi perempuan Jawa. Namun demikian banyak laki-laki yang tidak sanggup melakukan tugas dan kewajiban tersebut secara sempurna. Untuk menuju kesempurnaan suami, adalah tugas istri, sebab istri dalam tradisi Jawa bermakna pendorong, yakni pendorong ketika suami dalam keadaan lemah.

b. Hak dan Kewajiban Istri Dalam Tradisi Jawa.

Membahas hak dan kewajiban istri dalam tradisi Jawa tidak dapat dipisahkan dari pengertian perempuan dalam tradisi Jawa diantaranya menyebut perempuan dengan istilah; wadon, wanito, estri, putri, retno, kusumo, juwito, dayito, memanis (Basuki, 2005:5). Sebagian istilah tersebut dapat dijelaskan sebagai berikut :

1) Wadon. Kata wadon berasal dari bahasa Kawi yakni wadu yang secara harfiah bermakna kawula atau abdi. Istilah ini sering diartikan bahwa perempuan ditakdirkan menjadi “abdi” (pelayan) sang guru laki (suami). 2) Wanito. Kata wanito tersusun dari dua kata, yaitu wani (berani) dan ditata

(43)

31

kehidupan praktis masyarakat Jawa, wanita adalah sosok yang selalu mengusahakan keadaan tertata, untuk itu pula dia harus menjadi sosok yang berani ditata.

3) Estri. Kata estri berasal dari bahasa Kawi yakni estren yang berarti penjurung, pendorong atau pendukung. Dari kata estren terbentuklah kata

hangestreni yang berarti mendorong. Dari sini dapat kita ketahui bahwa seorang istri harus mampu memberi dorongan kepada suami, lebih-lebih suami dalam keadaan sangat melemah.

4) Putri, berarti anak perempuan. Dalam tradisi Jawa, kata ini sering dikatakan sebagai singkatan putus tri (gugurnya tiga perkara), yakni perempuan dalam kedudukannya sebagai putri dituntut untuk menjalankan kewajibannya, baik sebagai wadon, wanito maupun istri.

(Cristina S. Handayani, Andrian Novianto, 2004 : 24).

Konsep perempuan Jawa lainnya tertuang dalam Serat Candrarini yang dirinci A.P Murniati dalam Budi Santoso (2000:24) sebagai berikut: Setia pada suami; Rela dimadu; Mencintai sesama; Trampil pada pekerjaan perempuan; Pandai berdandan dan merawat diri; Sederhana; Pandai melayani kehendak suami; Menaruh perhatian pada mertua; Gemar membaca buku-buku nasihat.

Dalam Serat Centini, sebagaimana dikutip Bina Swadaya (No.7 th. iv, Februari 1996: 6) dijelaskan sebagai berikut:

Dalam budaya Jawa perempuan ideal digambarkan dengan lima jari tangan.

(44)

32

Sedangkan sikap perempuan setelah menjadi istri dalam hubungan dengan suami dan keluarga tercermin dalam sikap diantaranya sebagai berikut: a. Gemi (hemat), maksudnya seorang istri harus menjaga harta suami dengan baik dan tidak digunakan dengan berlebih-lebihan. Harta suami benar-benar digunakan untuk hal-hal penting dan bermanfaat.

b. Gemati (kasih), maksudnya seorang istri harus menjaga terhadap apa yang disenangi suami, baik yang ada pada diri istri maupun aksesoris dalam rumah tangga. Penuh kasih sayang sepanjang waktu, baik terhadap suami maupun anak keturunan yang dilahirkan. Pandai mengolah rasa dalam berbagai situasi sebagai upaya menjaga harmoni keluarga.

c. Wedi (takut), yakni seorang istri harus pasrah menyerah dan jangan suka mencela suaminya, serta menuruti perintah suami dengan sepenuh hati (Suhanjati Sukri dan Ridin Sofwan, 2001: 49).

Dalam masyarakat Jawa ada istilah lain untuk istri, yaitu konco wingking (teman belakang) yang batas wilayah aktifitasnya terangkai dalam

Tiga M, yaitu: Macak (berhias untuk menyenangkan suami); Manak

(melahirkan anak); Masak (menyiapkan makanan untuk keluarga). Selain Tiga M, idiom lain dari aktifitas perempuan sebagai istri populer dengan Lima ah,

yaitu Omah-omah (kawin, berkeluarga), Momong bocah (mengasuh anak),

Umbah-umbah (mencuci pakaian), Olah-olah (memasak), Isah-isah (mencuci piring). Karena konco wingking, maka wilayahnya ada di dapur (memasak), di sumur (mencuci), dan di kasur (melayani kebutuhan biologis suami).

(45)

karya-33

karya sastra mereka, misal Serat Centhini dan Serat Condrorini. Hal ini menunjukkan bahwa perempuan telah ditempatkan sedemikian rupa sehingga berbeda dengan peran dan kedudukan kaum laki-laki. Kesanggupan perempuan untuk menjadi pendorong dan pendukung suami adalah bukti bahwa perempuan Jawa adalah perempuan penguasa dan perkasa, sebab pada hakekatnya hanya yang kuasa dan perkasalah yang sanggup memberi dorongan dan dukungan.

3. Pola Relasi Suami Istri Dalam Budaya Jawa

Pola pembagian kerja dalam rumah tangga tradisional pada umumnya didasarkan atas jenis kelamin, yaitu laki-laki bertugas sebagai pencari nafkah dan berorientasi keluar rumah, sedangkan perempuan mengasuh anak, menyiapkan segala kepentingan keluarga, dan berorientasi ke dalam rumah (Siti Partini, 2001: 33). Pola pembagian kerja demikian terjadi pada masyarakat Jawa sehingga menggiring pola hubungan keluarga pada masyarakat Jawa bersifat patriarkhis.

Dalam penjelasan Zuhayatin (2002: 9) patriarkhis adalah budaya yang berpijak dari konsep superioritas laki-laki dewasa atas perempuan dan anak-anak. Laki-laki sebagai patriarch menguasai anggota keluarga, harta dan sumber ekonomi serta posisi pengambil keputusan. Dalam relasi sosial, superioritas laki-laki juga mengendalikan norma dan hukum kepantasan secara sepihak. Dalam sejarah patriarkhi, perempuan dipandang sebagai makhluk inferior, emosional dan kurang akalnya

(46)

34

Dalam imajinasi orang Jawa, lelaki ideal adalah yang memiliki benggol

(uang) dan bonggol (kejantanan seksual). Lalu, dimana posisi perempuan ? Ia adalah milik laki-laki, sejajar dengan bondo (harta), griyo (istana, rumah), turonggo (kendaraan), kukilo (burung, binatang piaraan, bunyi-bunyian), dan pusoko (senjata, kesaktian)...., Presiden I RI , Soekarno, adalah sosok lelaki ideal dalam imajinasi orang jawa: lelananging jagad

yang sakti, tampan, dan banyak istri, seperti Arjuna, tokoh Pandawa dalam cerita pewayangan, yang selalu menang dalam medan perang, dan selalu memenangkan hati setiap dewi.

Beberapa nilai yang menggiring perempuan pada situasi inferior, dalam analisis Sri Suhanjati Sukri dan Ridin Sofyan dalam Perempuan dan Seksualitas Dalam Tradisi Jawa (2001: 89-94) bertitik tolak dari anggapan dan gambaran perempuan Jawa sebagai berikut: Pertama, secara kodrati perempuan adalah makhluk lemah jika dibandingkan laki-laki. Kelemahan perempuan bisa dilihat dari dua sisi, fisik dan psikis. Perbedaan itu membias pada relasi gender. Perbedaan anatomi biologis dianggap berpengaruh pada perkembangan emosional dan kapasitas intelektual antara keduanya. Misalnya perempuan lebih emosional, sulit mengembangkan emosi, mudah terpengaruh, mudah goyah menghadapi krisis, kurang kompetitif, kurang logis, berorientasi ke rumah, kurang memahami seluk beluk perkembangan dunia, berperasaan, mudah tersinggung, sulit mengatasi persoalan, lebih sering menangis, tidak umum tampil sebagai pemimpin, kurang ambisius. Sedang laki-laki memiliki sifat agresif, tidak emosional, dapat menyembunyikan emosi, lebih obyektif, tidak mudah terpengaruh, lebih aktif, kompetitif, suka berpetualang, tidak mudah tersinggung, pada umumnya tampil sebagai pemimpin, lebih ambisius, dan pemikiran lebih unggul.

(47)

35

katut. Swarga adalah lambang dari kehidupan dunia maupun akhirat yang menunjukkan kebahagiaan, ketenangan, ketentraman, dan kesejahteraan. Sebaliknya, neraka adalah lambang dari kehidupan dunia maupun akhirat yang menunjukkan penderitaan, ketidaktenteraman, dan penuh kesengsaraan. Dalam hal ini, kebahagian dan kesengsaraan kehidupan perempuan sebagai istri tergantung pada kebahagiaan dan kesengsaraan suami sehingga perempuan seakan-akan tidak mempunyai daya untuk menentukan nasibnya berdasarkan pilihan hasil usaha sendiri. Karena itu, perempuan harus menunjukkan sikap

bekti dan hormat; dalam arti menaati, menghargai, serta melayani segala kebutuhan suami.

Ketiga, perempuan diciptakan dari bagian tubuh laki-laki. Pandangan tersebut berasal dari kisah penciptaan perempuan yang pertama yakni Hawa yang diciptakan dari tulang rusuk laki-laki (Adam). Terlepas dari kebenarannya, kisah tersebut telah menanamkan sikap superioritas laki-laki terhadap perempuan. Karena laki-laki harus menjadi pembimbing, pemimpin atas segala tindakan istrinya. Laki-laki menjadi tolok ukur segala sesuatu, perempuan dinilai memiliki kekuasaan yang rendah dibanding dengan laki-laki. Kisah penciptaan itu cenderung mengesankan bahwa perempuan merupakan makhluk nomor dua. Kisah itu akhirnya diterima begitu saja oleh perempuan yang rela menerima kenyataan bahwa dirinya merupakan subordinat laki-laki dan tidak layak sejajar dengan laki-laki.

(48)

36

seksual sehingga tidak mengherankan kalau raja Jawa masa lalu memiliki banyak selir. Namun anehnya bagi perempuan itu sendiri, seolah-olah menjadi merupakan kebanggaan jika diperistri dan dimadu oleh pangeran atau raja. Dengan demikian, perempuan Jawa sendirilah yang mendukung budaya represi dengan merasa tidak aman jika tidak didampingi laki-laki. Mereka seakan-akan menikmati, bukan karena ketidakberdayaan, melainkan karena merasa diuntungkan. Dengan modal kecantikan, perempuan akan dapat dengan mudah menggaet dan memperoleh keuntungan dari laki-laki berpangkat dan berduit sehingga posisi sebagai obyek seksualitas tidak harus dilawan.

Sebagai obyek seksual, perempuan ideal digambarkan sebagai perempuan yang cantik, bertubuh molek, lemah gemulai, sumeh, dan prasojo.

Dalam Serat Condrorini, perempuan ideal digambarkan, jika rela dimadu, pandai memasak, pintar berhias dan mahir melayani suami. Bagian tubuh perempuan yang dapat menarik rangsangan sek dilukiskan sedemikian rupa sebagai sesuatu yang ideal. Dalam Serat Panitisastra misalnya, bahwa untuk menjadi ideal, perempuan harus tan kyan gemuhing kang payudara kalih / ingema neng papreman: perempuan hanya berarti jika memiliki payudara sintal yang bisa ditimang-timang ditempat tidur.

(49)

37

Akibatnya, perempuan selalu disibukkan dengan kegiatan mengasuh, menyusui, mendidik, serta mengurusi makan dan minum anak.

Keenam, perempuan hanya mengurusi soal-soal domestik, urusan-urusan kerumahtanggaan, atau urusan-urusan dapur. Oleh karena itu tidak perlu berpendidikan tinggi. Didepan umum istri tidak boleh lebih menonjol dari suami. Sampai sekarang masih tetap terdengar ungkapan perempuan harus bisa

macak, manak, masak, yang merupakan tugas domestik perempuan yang sudah berkeluarga, yakni tugas-tugas internal kebutuhan keluarga. Oleh karena itu, bagi orang Jawa, perempuan dikatakan sebagai konco wingking. Dalam perananya sebagai pengatur ekonomi keluarga, ia tidak boleh sembrono, tetapi harus gemi (hemat), titi (teliti), dan ngati-ati (berhati-hati) dalam membelanjakan nafkah yang diberikan suami. Karena perempuan tersubordinasi dalam kekuasaan laki-laki, maka ia harus serba hati-hati, sementara laki-laki dengan superioritas dan otoritas yang dimilikinya menampilkan diri sebagai pengawas.

Dalam Mistik dan Kosmologi Serat Centhini (Purwadi dan Rahmat Fajri, 2005: 166-167) juga menjelaskan:

Apabila orang menurutkan pikiran wanita, tak urang papa akan didapat, ..,. Meski sering juga wanita itu layak mempunyai pikiran arif, tetapi jika tercetus dari pikiran wanita, jangan lekas-lekas dikerjakan, pikirkan dahulu, ubahlah penurutannya,.. Bila ada gagak berwarna putih dan bunga tanjung tumbuh di batu cadas, disitulah baru ada wanita lurus hati, dengan hati budiman....Wanita hanyalah seperdelapan dibanding pria, dalam hal kepandaian dan kekuatan, dalam hal kebijaksanaan....

(50)

38

Jawa sebagai suami yang pada pembahasan sebelumnya sudah memposisikan diri angayani, angomahi, angayomi, angayemi, dan angatmajani.

Sedang istri yang baik diidentikkan dengan: penurut, menundukkan kepala dihadapan suami, tidak suka protes, perempuan yang nrimo, tanpa peduli apakah yang dilakukan suaminya benar atau tidak, rela membiarkan penderitaan ditanggung sendiri didalam hatinya. Mereka bersikap demikian karena berkeyakinan bahwa sikap yang demikian kelak akan mendapat balasan yang lebih baik. Sebaliknya, istri yang suka protes dianggap sebagai perempuan

lancang dan tidak baik.

Konstruksi budaya masayarakat Jawa akhirnya membawa perempuan pada situasi menerima lebel konco wingking yang wedi (takut, menyerah, pasrah pada suami) dan membatasi diri pada wilayah dapur (memasak), sumur (mencuci), dan kasur (melayani kebutuhan biologis suami). Laki-laki adalah raja yang perintahnya harus diikuti; laki-laki adalah guru yang nasehatnya harus dipatuhi; laki-laki adalah Arjuna yang kemesraannya harus dilayani; dan kesetaraan antara suami istri adalah wilayah yang tak jelas dan remang-remang. Diperlukan kesabaran, ketegasan dan keikhlasan semua pihak untuk merekontruksinya.

(51)

39

manusia. Hal ini sebagaimana penjelasan Zuhayatin (2002: 11) bahwa “kontruk budaya patriarkhi yang mapan secara universal dan berlangsung berabad-abad tidak lagi dipandang sebagai ketimpangan, ia telah menjadi `fakta ilmiah`. Telah berabad-abad pula perempuan dan para budak harus menerima nasib bahwa mereka lahir untuk melayani laki-laki dewasa yang berkuasa”.

Meskipun sudah ratusan tahun disentuh Islam, mulai dari Walisongo, Kesultanan Demak, Cirebon, Banten, Mataram, dilanjutkan ribuan pesantren dan pendidikan Islam, budaya patriarkhis tetap masih kuat mengakar pada masyarakat Jawa. Karena Islam menjadi agama mayoritas masyarakat, maka sering dituduh sebagai salah satu biang keladinya.

Memang tidak dapat dipungkiri bahwa dalam Islam ada teks-teks yang kurang mendukung upaya kesetaraan gender, misalnya kitab Uqud al Lujain

(baca: Uqudullijain) yang ditulis Muhammad Nawawi bin Umar, ulama kelahiran Tanara Banten Indonesia 1230 H/1813 M, dikenal dengan Sayyid al Ulama al Hijaz, dia dikenal dengan Nawawi al Jawi, di Indonesia populer dengan Imam Nawawi.

Dalam bab dua (2) tentang hak suami, misalnya, Imam Nawawi surat An Nisa` : 34. Beliau menafsirkan qawwamun dengan “orang-orang yang berkuasa mendidiknya”. An Nawawi juga menjelaskan:

Kekuasan tersebut dimiliki kaum laki-laki karena dia memilki kelebihan dalam banyak segi, baik secara kodrati dalam bahasa beliau disebut hakiki atau secara hukum agama (syar`i). Secara hakiki (kodrati), laki-laki memiliki akal pikiran yang lebih tinggi atau lebih banyak dibanding kaum perempuan. Secara fisik laki-laki lebih kuat. Dia lebih tabah dalam mengerjakan pekerjaan-pekerjaan berat. Laki-laki umumnya pandai menulis dan berburu. Disebabkan oleh hal-hal tersebut, sejarah membuktikan bahwa mayoritas para ulama muncul dari kalangan laki-laki. Kepemimpinan negara (al-imamah a-l udhma), kepemimpinan dalam shalat (al-imamah-as-shughro), berperang

(52)

40

dan qisos, wali dalm pernikahan, dan lain-lain, semuanya hanya diperkenankan bagi dan dari kaum laki-laki. Bahkan dia menambahkan bahwa hubungan darah juga dinisbatkan kepada kaum laki-laki (An Nawawi, Afif Bustomi, pent., 2000: 46-47).

(53)

41

Pada kenyataannya banyak ahli ilmu, sebutan lain untuk ulama dari kalangan perempuan, istri-istri Rasulullah adalah ahli ilmu, ribuan riwayat hadits meluncut dari Aisyah binti Abu Bakar, ia pernah memimpin perang. Rabi'ah al Adawiyah, ahli hikmah dan sufi besar, ia juga seorang perempuan. Al Qur`an juga mengisahkan Bilqis, perempuan yang bijaksana dan berhasil memimpin negeri Saba`. Cleopatra dan Sajarat al Dur dari Mesir. Di zaman modern ini, juga banyak perempuan yang pernah menduduki posisi penting, Benazir Bhuto (presiden Pakistan), Begum Khalida Zia (Banglades), Megawati Sukarno Putri (Indonesia). Mereka adalah perempuan-perempuan cerdas yang berhasil memimpin masyarakat dan bangsanya. Di Indonesia, banyak perempuan muslim yang menduduki jabatan menteri dan jabatan lainnya. Sebelumnya kita juga memiliki banyak pejuang perempuan, yang memimpin pasukan melawan penjajahan, Cut Nya` Dien, Cut Mutia, di Aceh, Nyi Ageng Serang, memimpin pasukan melawan penjajah di wilayah Solo dan sekitarnya, R.A. Kartini memperjuangkan emansipasi wanita. Dengan demikian pernyataannya Imam Nawawi ”hanya laki-laki yang bisa jadi ulama dan pemimpin” tidak selamanya bisa dibenarkan.

Dalam Uqud al Lijain Imam Nawawi mengutip hampir 100 hadits salah satu diantara dapat dilihat sebagai berikut :

Diantara haknya adalah andaikan hidung suami mengalir darah atau nanah lalu istrinya menjilatinya dengan lidahnya, ia belum memenuhi hak suaminya. Kalau manusaia boleh bersujud pada manusia, niscaya akan juperinyahkan wanita itu untuk bersujud kepada suaminya (An Nawawi, 2000; 82-83).

(54)

42

Para pemerhati perempuan muslim Indonesia meneliti terhadap 100 hadis yang dinukil Imam Nawawi. Terhadap hadis di atas, ditemukan bahwa hadis tentang sujud sebagaimana tersebut di atas adalah hadis da`if yang tidak sah menjadi landasan hukum. Namun demikian, hadits ini relatif populer di kalangan masyarakat dan sering menjadi rujukan bagi legalitas secara teologis kewajiban ketaatan istri terhadap suami, bahkan dalam buku-buku terbaru akhir-akhir ini. Hadis ini sering menimbulkan dan menjadi sumber kesalahpahaman dalam memahami kedudukan perempuan dalam keluarga. (Badriyah Fayumi & Alai Nadjib (2002 : 91)

Kalangan ulama merumuskan bahwa hadis dikatan sahih apabila: tidak bertentangan dengan akal sehat; tidak bertentangan dengan al Qur`an, hadis mutawatir dan ijma`; tidak bertentangan dengan amalan kebiasaan ulama salaf; tidak bertentangan dengan dalil yang sudah pasti; tidak bertentangan dengan hadis ahad yang kualitasa ke-sahih-annya lebih kuat (Syuhudi Ismail, 1995: 126). Hadis tentang keharusan istri untuk sujud menghamba pada suami tidak memenuhi kreteria diatas, dengan demikian hadis tersebut benar-benar da`if dan tidak dapat dijadikan sebagai landasan hukum.

(55)

43

Ketika budaya patriarkhis masih kuat menguasai relasi suami istri pada masyarakat Jawa, ketika istri masih dibatasi aktifitasnya di wilayah domestik, maka sesungguhnya tidak berangkat dari Islam, sebab pola relasi yang ditawarkan Islam adalah kesetaraan, kebebasan, dan keseimbangan. Prinsip ini sesuai dengan esensi dan kekuatan Islam yang terletak pada wataknya yang ”liberatif, progresif dan humanis” yakni persamaan dalam semua wilayah,

termasuk wilayah seksual. Oleh karena itu maka relasi suami istri yang dibangun Islam adalah mu`asyarah bi al-ma`ruf dan sakinah mawaddah wa rahmah dalam dibingkai rahmatan lil `alamin.

(56)

44 BAB III

LAPORAN HASIL PENELITIAN

PENGHAMBAAN ISTRI TERHADAP SUAMI ANTARA DOKTRIN DAN TRADISI

A. Gambaran Umum Lokasi Penelitian. 1. Letak Geografis Dusun Cabean

Secara administratif, Dusun Cabean masuk dalam wilayah Kelurahan Mangunsari. Lebih tepatnya, menempati wilayah paling utara dari kelurahan Mangunsari Kecamatan Sidomukti Kota Salatiga. Letak dusun Cabean, sebelah utara berbatasan dengan dusun Banyuputih kelurahan Bancaan, sebelah selatan berbatasan dengan dusun Dukuh kelurahan Dukuh, sebelah timur berbatasan dengan dusun Klaseman kelurahan Mangunsari, dan sebelah barat berbatasan dengan dusun Winong kelurahan Kecandran.

Luas wilayah Cabean kurang lebih 17 (tujuh belas) Ha, terdiri dari: Tanah perkampungan / pekarangan: 8 (delapan) Ha; Tanah persawahan: 9 (sembilan) Ha. Secara administratif, dusun Cabean terbagi menjadi dua (2) Rukun Warga (RW), yaitu RW 1 terdiri dari lima (5) RT dan RW 14 terdiri dari enam (6) RT. Adapun yang menjadi konsentrasi penelitian hanya pada wilayah Cabean RT 05 RW 1. Pembangunan perumahan dan Rusunawa serta perusahaan mengakibatkan laju pertumbuhan penduduk di wilayah Cabean dan sekitarnya semakin pesat.

2. Kondisi Sosial Keagamaan dan Pendidikan Cabean.

Gambar

Tabel 1 KOMPOSISI JUMLAH PENDUDUK ISLAM
TABEL III KOMPOSISI SARANA PENDIDIKAN
Tabel IV DATA RESPONDEN

Referensi

Dokumen terkait

36 la STRUKTUR ORGANISASI Lampiran 1 BID.KEPERAWAT AN SITI MASITA, S.Kep, Ners SEKSI ASUHAN KEPERDAN LOGISTIK RAYO SIMAIBANG, SEKSI SDM & MUTU KEPERAWATAN

Dimana guru menyiapkan beberapa konsep atau topik permasalahan yang cocok untuk digunakan pada satu bagian kartu soal dan kartu jawaban, kemudian siswa mencocokkan

Tingkat operasional tertinggi terdapat pada PPS Nizam Zachman Jakarta yang ditunjukkan pada aktivitas pendaratan volume produksi ikan sebesar 238.487,77 ton,

Hal ini menyangkut dua faktor utama, yaitu letak geografis Indonesia yang berada pada jalur pelayaran Asia dan Eropa dan barang yang diperdagangkan , terutama

researcher entitles her research is “EFFORT O F ACHIEVING DREAM REFLECTED IN LAURA FITZGERALD’S VEIL OF ROSES (2006): AN INDIVIDUAL PSYCHOLOGICAL APPROACH” as the title

[r]

Jika suatu produk dibeli dengan percobaan ternyata memuaskan atau lebih memuaskan dari merek sebelumnya, maka konsumen berkeinginan untuk membeli ulang, tipe pembelian semacam ini

Terapi Ekstrak Rumput Laut Coklat ( Sargassum Duplicatum Bory ) Pada Penurunan Kerusakan Sendi Terhadap Ekspresi Interleukin-1 Beta (Il- 1β) Dan Histopatologi Sendi Tikus