• Tidak ada hasil yang ditemukan

NILAI KEPEMIMPINAN PEREMPUAN DALAM Q.S. AN-NAML AYAT 29-35 (PERSPEKTIF TEORI INTERPRETASI JORGE J. E. GRACIA) - Test Repository

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2019

Membagikan "NILAI KEPEMIMPINAN PEREMPUAN DALAM Q.S. AN-NAML AYAT 29-35 (PERSPEKTIF TEORI INTERPRETASI JORGE J. E. GRACIA) - Test Repository"

Copied!
110
0
0

Teks penuh

(1)

i

DALAM Q.S. AN-NAML AYAT 29-35 (PERSPEKTIF TEORI INTERPRETASI

JORGE J. E. GRACIA)

SKRIPSI

Diajukan untuk Memenuhi Salah Satu Syarat Guna Memperoleh Gelar Sarjana Agama (S.Ag)

Oleh:

WAHYU NUR HIDAYAH

NIM: 21514003

JURUSAN ILMU AL-QUR’AN DAN TAFSIR (IAT)

FAKULTAS USHULUDDIN ADAB DAN HUMANIORA

INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI (IAIN) SALATIGA

(2)
(3)
(4)
(5)

v

MOTTO

ْمِهِسُفْ نَأِب اَم اوُرِّ يَغُ ي َّتََّح ٍمْوَقِب اَم ُرِّ يَغُ ي َلَ َوَّللا َّنِإ

“Sesungguhnya Allah Tidak

akan merubah nasib suatu kaum, hingga

(6)

vi

Skripsi ini dipersembahkan untuk

Kedua orang tuaku,

Mamakek yang selalu berjuang demi keberhasilan anaknya, berjuang lahir maupun batin, kerja keras ditengah teriknya matahari, dan melantunkan doa di tengah sunyinya malam

Bapakek, yang walaupun jauh, tapi ku yakin engkau selalu menyebut nama anakmu ini dalam setiap doamu

Semoga karya ini bisa menjadi salah satu alasan kalian tersenyum

Guru-guruku Yang telah membirakan ilmu. Ilmu yang ringan dibawa kemana-mana. Ilmu yang seperti biji yang tumbuh menjadi pohon yang kemudian menghasilkan buah yang segar dan bermanfaat. Ilmu yang bercahaya menyingkirkan duri dan gelapnya jalan menuju tujuan sehingga kami akan tahu mana jalan yang benar dan mana yang salah.

Sahabat-sahabatku

Teman seperjuangan yang selalu ada, dan saling menyemangati. Selalu membantu meski jalan terjal harus ditapaki

Dan terus menggenggam erat hingga akhir nanti

(7)
(8)
(9)
(10)

x

نيملاعلا بر لله دمحلا

Segala puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah SWT atas segala limpahan rahmat dan karunia-Nya sehingga saya dapat menyelesaikan tugas akhir ini. Terima kasih juga kepada Nabi Muhammad yang telah mengajarkan kepada saya, cara bagaimana berusaha dengan keras dan sungguh-sungguh. Shalawat serta salam senantiasa tercurah untukmu.

Dalam mengerjakan tugas akhir ini, saya banyak mengambil inspirasi dan rujukan utama dari beberapa literatur dalam buku Jorge J. E. Gracia dan Sahiron Syamsuddin, maupun literatur pendukung lainnya. Penulis berusaha sekuat mungkin dalam memaparkan nilai kepemimpinan perempuan dalam Q.S. an-Naml ayat 29-35 perspektif teori interpretasi Jorge J. E. Gracia, tetapi tidak menutup kemungkinan terjadi kekurangan di dalamnya. Karena itu, penulis mohon maaf.

Akhirnya, usaha dalam menyelesaikan penelitian ini, mulai dari proposal, proses penelitian hingga penulisan skripsi selesai, tidak akan terlepas dari bantuan berbagai pihak. Apa yang menjadi ikhtiar kami ini, mampu memberikan kontribusi bagi pembaca mengenai kepemimpinan perempuan dalam Q.S. an-Naml ayat 29-35 perspektif teori interpretasi Jorge J. E. Gracsia. Setelah melewati proses yang cukup panjang dan melelahkan, akhirnya skripsi ini dapat terselesaikan juga. Untuk itu, kami ingin menyampaikan ucapkan terima kasih kepada:

1. Orang tua, Bapakek dan Mamakek yang selalu mendoakan dan

(11)

xi

Dr. Benny Ridwan, M. Hum., Bapak Dr. H.Sidqon Maesur, Lc., M.A., dan Bapak Dr. Mubasirun, M.Ag., Bapak Dr. M. Gufron, M.Ag., yang telah memberi dorongan dan motivasi.

3. Bapak, Dr. Muh Irfan Helmy, Lc., M. A., selaku dosen pembimbing

dalam penelitian ini. Yang telah sudi kiranya melakukan proses pembimbingan selama proses penelitian berlangsung berupa koreksi, masukan, kritikan, dan saran yang kontruktif dalam melengkapi penelitian ini.

4. Ibunda , Tri Wahyu Hidayati, M.Ag., selaku Ketua Jurusan Ilmu

al-Qur‟an dan Tafsir (IAT), yang telah memberi dorongan dan

motivasi.

5. Teman-teman sehimpunan-seperjuangan di jurusan IAT, baik

angkatan 2013, 2014 maupun 2015 yang menjadi patner akademis dan teman diskusi. Untuk teman-teman yang selalu ada ketika saya membutuhkan, mb Novita, mb Triyana dan mb Lida.

6. Serta kepada semua pihak yang barangkali belum tersebutkan, kami

ucapkan terima kasih atas segala kontribusi, baik secara pikiran, waktu, motivasi, saran, materi, dukungan, serta doa.

Akhirnya, kami menyadari bahwa, apa yang penulis kerjakan ini, bukanlah suatu hal yang sempurna dan tidak menuai kritik. Justru berbagai masukan berupa kritik dan saran yang konstruktif dari pembaca, adalah nutrisi bagi kami dalam rangka mendekatkan diri pada kesempurnaan, walaupun hal itu bersifat mustahil. Selamat membaca.

(12)

xii

Persoalan gender merupakan persoalan aktual dewasa ini, di dalamnya mencakup persoalan mengenai kepemimpinan perempuan. Kepemimpinan perempuan sebenarnya sudah ada sejak zaman Nabi Sulaiman AS, akan tetapi kepemimpinan perempuan ini seolah-olah tidak diindahkan bagi sebagian muslim. Hal ini karena sistem relasi laki-laki dan perempuan yang cenderung bias patriarki. Selain itu, dalil yang dipakai ketika memahami kepemimpinan perempuan ini adalah ayat yang menjelaskan kepemimpinan keluarga. Padahal kepemimpinan perempuan ini sebenarnya sudah dibahas dalam al-Qur‟an secara gamlang dalam Q.S. an-Naml ayat 29-35, yang berkisah mengenai kepemimpinan Balqis.

Dalam rangka memperoleh pesan yang dimaksud al-Qur‟an, penulis

akan mengupasnya dengan teori interpretasi teks Jorge J. E. Gracia. Sebenarnya pemakaian teori interpretasi teks dalam teks sakral masih menjadi debatable, akan tetapi disini teori interpetasi teks Gracia memiliki

relevansi dengan ulumul qur‟an. Teori fungsi interpretasi teks Gracia ini

adalah, yang pertama historical function dimana dalam ulumul Qur‟an teori

ini relevan dengan asbab an-nuzul. Kemudian yang kedua meaning function

yang memiliki relevansi dengan kaidah kebahasaan dalam menafsirkan. Dan yang ketiga implicatif function, yang memiliki relevansi dengan ilmu munasabat dan ilmu sains dan humaniora. Dan ketiga teori fungsi inilah yang akan dipakai untuk menganalisis maksud Q.S. an-Naml ayat 29-35.

Dengan teori historical function, ditemukan hasil bahwa

kepemimpinan itu dipilih bukan karena jenis kelamin, melainkan karena

kapabilitas intelektualnya. Kemudian dengan teori meaning function,

ditemukan nilai-nilai kepemimpinan dari pengembangan makna ayat. Nilai-nilai kepemimpinan yang terkandung dalam ayat adalah sikap suka musyawarah, tidak otoriter, mendengarkan aspirasi rakyat, memperhatikan nasib rakyat, cinta perdamaian dan cerdas. Dengan teori implicative function, maka penulis mengaitkan dengan keilmuan lain. Musyawarah, sesuai dengan perintah Allah dalam al-Qur‟an, tidak otoriter masuk dalam gaya kepemimpinan demokratik yang merupakan gaya kepemimpinan ideal,

mau mendengarkan aspirasi dari rakyatnya, ini selaras dengan teori manajemen dan kepemimpinan yang disampaikan oleh Petter Drucker,

memperhatikan nasib rakatnya juga selaras dengan perintah Rasulullah

SAW serta merupakan cerminan kepemimpinan Umar bin Khaṭab dan

(13)

xiii

Qur‟an dan Hadits, bahkan dalam ayat yang berisi perintah perangpun

sebenarnya mengandung perintah untuk damai.

(14)

xiv

HALAMAN JUDUL... i

HALAMAN KEASLIAN TULISAN... ii

HALAMAN PERSETUJUANPEMBIMBING... iii

HALAMAN PENGESAHAN... iv

HALAMAN MOTTO... v

HALAMAN PERSEMBAHAN... vi

HALAMAN PEDOMAN TRANSLITERASI... vii

KATA PENGANTAR... x

ABSTRAK... xii

DAFTAR ISI... xiv

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang... 1

B. Rumusan Masalah... 6

C. Tujuan Penelitian... 6

D. Kegunaan Penelitian... 7

E. Tinjauan Pustaka... 7

F. Kerangka Teori... 10

G. Metode Penelitian... 12

H. Sistematika Penulisan... 14

(15)

xv

1. Makna Teks... 19

2. Hakekat Interpretasi... 21

C. Teori Fungsi Interpretasi Jorge J. E. Gracia... 23

1. Historical Function... 23

2. Meaning Function... 24

3. Implicative Function... 25

D. Relevansi Teori Interpretasi Teks Gracia dengan Ulumul Qur‟an... 27

1. Relevansi Historical Function dengan Asbab an-Nuzul... 27

2. Relevansi Meaning Function dengan Kaidah Kebahasaan... 28

3. Relevansi Implicative Function dengan Ilmu Munasabat dan Teori Sain dan Humaniora... 30

BAB III DESKRIPSI Q.S. AN-NAML AYAT 29-35 DAN PENAFSIRANNYA DALAM KITAB TAFSIR A. Deskripsi Q.S. an-Naml Ayat 29-35... 32

B. Kisah Ratu Balqis dalam Pustaka Kontemporer... 33

C. Pandangan Para Ulama Tafsir... 38

1. Aṭ-Ṭhabari dalam Jami‘ul Bayan... 38

2. Az-Zamakhsyari dalam al-Kasyaf... 42

3. Ibnu Asyur dalam at-Taḥrir wa at- Tanwir... 45

4. Al-Maragi dalam Tafsir al-Maragi... 48

(16)

xvi

BAB IV APLIKASI TEORI FUNGSI INTERPRETASI JORGE J. E. GRACIA TERHADAP Q.S. AN-NAML AYAT 29-35

A. Aplikasi Interpretasi Historical Function pada Q.S. an-Naml Ayat

29-35... 56

1. Pemimpin Perempuan Pada Masa Kerajaan Saba‟... 56

2. Kapabilitas Intelektual Pemimpin Pada Masa Rasulullah SAW... 58

B. Aplikasi Interpretasi Meaning Function pada Q.S. an-Naml Ayat 29-35... 62

1. Mau Diskusi atau Musyawarah... 62

2. Sikap Tidak Otoriter dan Mendengarkan Aspirasi Rakyat... 64

3. Cermin Rakyat yang Patuh ... 66

4. Sikap Memperhatikan Rakyat ... 67

5. Sikap Cinta Damai ... 69

C. Aplikasi Interpretasi Implicative Function pada Q.S. an-Naml Ayat 29-35………....... 71

1. Kapabilitas Intelektual Sebagai Standar Terpilihnya Pemimpin... 72

2. Munasabah Ayat-Ayat Musyawarah... 73

3. Mendengarkan Aspirasi Rakyat dalamTeori Manajemen... 74

4. Gaya Kepemimpinan Ideal: Kepemimpinan Demokratik…….... 75

(17)

xvii

7. Cinta Damai dalam al-Qur‟an dan Hadits... 81

BAB V PENUTUP A. Kesimpulan... 84

B. Saran... 86

DAFTAR PUSTAKA... 87

(18)

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

Persoalan gender merupakan salah satu isu aktual dari kelima isu aktual dewasa ini, yaitu globalisasi, demokrasi, HAM, ekologi dan gender.1 Pembahasan mengenai pemaknaan gender sampai dampaknya pada kehidupan di dunia ini sangat pelik. Apalagi perempuan sering kali dicap sebagai the second class.2 Salah satu pembahasan yang menarik dari gender ini adalah mengenai kepemimpinan seorang perempuan.

Kepemimpinan yang dipercayakan kepada perempuan ini, seolah-olah tidak diindahkan oleh sebagian muslim. Hal ini dapat kita amati ketika Indonesia mengangkat presiden seorang perempuan, yakni Megawati Soekarno Putri yang ditolak oleh KUII (Kongres Umat Islam Indonesia) tahun 1998. Selain itu, pengamatan dari peneliti sendiri, dimana pada saat ada pemilihan gubernur Jawa Tengah, dengan pas-lon (pasangan calon) Ganjar-Yasin dan Dirman-Ida, masyarakat desa Balaikambang berasumsi agar tidak memilih pemimpin perempuan karena ditakutkan akan merusak masa depan.

Padahal, kepemimpinan yang dipercayakan kepada perempuan telah ada sejak zaman nabi Sulaiman AS, yakni seorang Ratu yang memimpim

negeri Saba‟. Kemudian, dalam sejarah Islam juga telah merekam para

pemimpin perempuan, diantaranya Sittu Mulk saudara perempuan al-Hakim bin Amrillah al-Fatimi selama empat tahun pernah berkuasa di

1

Mujiyono Abdillah, Agama Ramah Lingkungan Persektif al-Qur‘an, (Jakarta: Paramadina, 2001), hlm. 23

2

(19)

Mesir, demikian pula Sharah ad-Dur istri al-Malik al-Shalih Ayyub yang menjabat khalifah di Mesir hingga tahun 1357 H.3

Selain itu, lebih aktual lagi pada zaman modern ini, peran perempuan dalam kepemimpinan saat ini semakin banyak bermunculan. Sebagai contoh, Christina Lagarde pemimpin International Monotery Fund

(IMF) yang telah mendukung upaya partisipasi tenaga kerja perempuan sebagai cara mengurangi kemiskinan; Joyce Banda presiden perempuan

pertama di negara Malawi yang giat menyuarakan hak perempuan.4

Kemudian kiprah perempuan semakin menonjol pada abad ke-21 ini.5

Kepemimpinan perempuan mulai bangkit dari tidur panjang sejak isu hak asasi manusia dan persamaan gender secara lantang disuarakan oleh aktivis feminisme. Di berbagai negara, sebagian besar perempuan mengalami perkembangan dalam berbagai sisi kehidupan, diantaranya pada bidang kepemimpinan publik.

Alasan kenapa kepemimpinan perempuan ini tidak diindahkan oleh sebgaian muslim adalah karena umat muslim ketika membahas mengenai kepemimpinan dalam bidang publik atau politik ini sering merujuk pada QS. Al-Nisa‟ ayat 34 dan QS. Al-Baqarah ayat 228. Yang mana ayat-ayat tersebut tidak menjelaskan kepemimpinan publik atau politik, melainkan kepemimpinan keluarga.

Padahal dalam al-Qur‟an sudah membahas secara khusus mengenai kepemimpinan perempuan ini dalam Q.S an-Naml ayat 29-35 yang

merekam kisah Ratu negeri Saba‟, yakni Ratu Balqis. Disini peneliti percaya

bahwa setiap kisah yang diceritakan dalam al-Qur‟an pasti memiliki ibroh yang dapat kita ambil pelajaran darinya. Menurut M. Quraish Shihab, kisah

3

Hasjim Abbas, Presiden Perempuan Perspsektif Hukum Islam (Yogyakarta: Kutub, 2004), hlm. 173

4

Ima Rahmania Aufa, Gaya Kepemimpinan Perempuan dalam Film Insurgent, Skripsi, (Yogyakarta: UIN Sunan Kalijaga, 2017), hlm. 2

5

(20)

adalah salah satu cara al-Qur‟an mengatur manusia menuju arah yang

dikehendaki-Nya.6

Kisah tersebut terekam dalam al-Qur‟an sebagai berikut:

( ٌيمِرَك ٌباَتِك ََّلَِإ َيِقْلُأ ِّنِِّإ َُلََمْلا اَهُّ يَأ اَي ْتَلاَق

29. Berkata ia (Balqis): "Wahai para pembesar! Sesungguhnya telah disampaikan kepadaku sebuah surat yang mulia.

30. Sesungguhnya (surat) itu, dari SuIaiman yang isi nya: "Dengan nama Allah yang Maha Pengasih Maha Penyayang.

31. Janganlah engkau berlaku sombong terhadapku dan datanglah kepadaku sebagai orang-orang yang berserah diri".

32. Dia (Balqis) berkata: "Wahai Para pembesar berilah aku pertimbangan dalam perkaraku (ini) aku tidak pernah memutuskan sesuatu perkara sebelum kamu hadir dalam majelisku".

33. Mereka menjawab: "Kita memiliki kekuatan dan keberanian yang luar biasa (untuk berperang), tetapi keputusan berada ditanganmu: Maka pertimbangkanlah apa yang akan engkau perintahkan".

34. Dia (Balqis) berkata: "Sesungguhnya raja-raja apabila menaklukkan suatu negeri, mereka tentu membinasakannya, dan

6

M. Quraish Shihab, Kaidah Tafsir, (Tangerang: Lentera Hati, 2013), hlm. 319

7

(21)

menjadikan penduduknya yang mulia jadi hina; dan demikian pula yang akan mereka perbuat.

35. Dan sungguh, aku akan mengirim utusan kepada mereka dengan (membawa) hadiah, dan (aku) akan menunggu apa yang akan dibawa kembali oleh para utusan itu".

Ayat tersebut nyata bercerita mengenai kerajaan yang dipimpin oleh

seorang perempuan. Terbukti dalam ayat 29 kata

ْتَلاَق

diakhiri dengan ta‘

ta‘nis yang menunjukkan bahwa fail dari fiil tersebut adalah perempuan. Untuk lebih jelasnya dapat kita rujuk pada ayat 23 dalam surat yang sama.Nama pemimpin perempuan tersebut tidak disebut jelas oleh

al-Qur‟an, akan tetapi dari cerita yang sudah menyebar dari generasi ke

generasi, ratu tersebut bernama Balqis yang berkuasa di kerajaan Saba‟ pada

zaman Nabi Sulaiman AS.

Ratu Bilqis atau Balqis ini merupakan ratu yang dibilang sukses,

karena selama masa kepemimpinannya, kerajaan Saba‟ berada pada

tingkatan makmur dan peradaban yang terhitung sangat tinggi.8 Selain itu,

Ratu negeri Saba‟ juga dikenal sebagai ratu yang adil dan bijaksana, memiliki kekuasan yang besar, memiliki sumber kekayaan yang berlimpah, sangat dicintai, dibela dan ditaati rakyatnya, karena Ratu sangat

memperhatikan dan membela nasib rakyatnya.9

Maka, disini peneliti merasa perlu mengkaji ayat tersebut, untuk memahami maksud dari firman Allah tersebut. Apakah benar pemimpin perempuan tidak diperbolehkan? Apakah dalam ayat tersebut ada maksud lain yang ingin disampaikan Allah selain mengenai kebolehan atau ketidakbolehan perempuan menjadi pemimpin? Ataukah dari kisah Balqis dalam ayat tersebut akan kita temui nilai-nilai kepemimpinan yang menjadikan kepemimpinannya makmur seperti yang dijelaskan diatas?

8

M. Ishom el-Saha dan Saiful Hadi, Sketsa al-Qur‘an: Tempat, tokoh, Nama dan Istilah dalam al-Qur‘an, Jilid I (Jakarta: Lista Fariska Putra, 2005), hlm. 99

9

(22)

Dalam rangka memperoleh pesan yang dimaksud oleh al-Qur‟an surat an-Naml ayat 29-35 tersebut mengenai kepemimpinan perempuan, maka peneliti berusaha mengupas ayat tersebut dengan menggunakan teori interpretasi teks. Penggunaan teori interpretasi teks dalam memahami teks yang sakral bagi umat muslim, sampai saat ini masih debatable.

Ada golongan muslim yang secara utuh menolaknya, sebagian lagi menerimanya secara bersyarat, dan ada pula yang berasumsi bahwa sebagian teori dan metode interpretasi teks (salah satunya metode hermeneutik barat)

sangat dimungkinkan untuk pengembangan Ulumul Qur‟an, sehingga dapat

digunakan dan dimungkinkan pula untuk aktivitas memahami atau menafsiri ayat al-Qur‟an.

Dalam hal ini Sahiron Syamsudin memandang bahwa salah satu tokoh hermeneutik Jorge J. E. Gracia memiliki signifikansi dan relevansi

dalam memperkuat Ulumul Qur‟an dan dapat digunakan untuk menafsirkan

al-Qur‟an.10 Jorge J. E. Gracia adalah seorang professor kenamaan pada departemen Filsafat dan Sastra Perbandingan di Universitas Negeri New York di Buffalo.11 Gracia juga ahli dalam beberapa bidang filsafat,

diantaranya metafisika/ontology, historiografi filosofis, filsafat

bahasa/hermeneutika, filsafat skolastik dan filsafat Amerika Latin.12

Gracia dalam beberapa pemikiran juga dipandang memiliki korelasi dengan kaidah-kaidah penafsiran al-Qur‟an. Salah satu yang menjadi bidikan pemikirannya adalah mengenai fungsi umum interpretasi, yaitu menciptakan di benak audien kontemporer pemahaman terhadap teks yang sedang diinterpretasikan melalui tiga macam kesadaran. Secara spesifik tiga kesadaran tersebut erat kaitannya dengan teks yang ditafsirkan. Pertama,

10

M. Nur Kholis, dkk, Upaya Integrasi Hermeneutika dalam Kajian al-Qur‘an dan Hadits, Teori dan Aplikasi, cet. II, (Yogyakarta: Lembaga Penelitian UIN Sunan Kalijaga, 2011), hlm. 143

11

Khoirul Imam, Relevansi Hermeneutika Jorge J. E. Gracia dengan Kaidah-Kaidah Penafsiran al-Qur‘an, Vol 177, No. 2, (Yogyakarta: ESENSIA, Oktober 2016), hlm. 252

12

(23)

fungsi historis (historical function), kedua, fungsi makna (meaning function), ketiga fungsi implikatif (implicative function).13

Historical function, dipandang memiliki relasi dengan asbab

an-nuzul. Kemudian meaning function, dipandang memiliki relasi dengan

kaidah kebahasaan al-Qur‟an, sertaimplicative function dipandang memiliki relasi dengan pola keterkaitan teks dengan keilmuan lainnya.14

Teori interpretasi teks Jorge J. E. Gracia ini termasuk unik. Dari sini, penulis merasa tertarik dan bersemangat untuk membahas nilai kepemimpinan yang tersirat dalam al-Qur‟an surat an-Naml ayat 29-35 dengan metode interpretasi teks yang ditawarkan oleh Jorge J. E. Gracia.

B. Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang permasalahan diatas, maka dapat dirumuskan permasalahan yang akan dikaji dalam penelitian ini adalah sebagai berikut:

1. Bagaimana teori interpretasi teks yang ditawarkan oleh Jorge J. E. Gracia?

2. Bagaimana aplikasi teori interpretasi teks Jorge J. E.Gracia terhadap al-Q.S. al-Naml ayat 29-35?

3. Nilai-nilai kepemimpinan apa saja yang dapat kita teladani dari kepemimpinan Balqis dalam Q.S. an-Naml ayat 29-35 tersebut?

C. Tujuan Penelitian

1. Mengetahui teori interpretasi teks yang ditawarkan oleh Jorge J. E. Gracia.

2. Mengetahui aplikasi teori interpretasi teks Jorge J. E.Gracia terhadap al-Qur‟an surat al-Naml ayat 29-35.

13

Khoirul Imam, RelevansiHermeneutika Jorge..., hlm. 256

14

(24)

3. Mengetahui nilai-nilai kepemimpinan yang dapat kita teladani dari kepemimpinan Balqis dalam Q.S. an-Naml ayat 29-35 tersebut.

D. Kegunaan Penelitian

1. Memberikan sebuah informasi tentang teori interpretasi teks Jorge J.E. Gracia dan pengaplikasiannya dalam al-Qur‟an. 2. Memperoleh nilai-nilai yang konstruktif dari ayat-ayat

al-Qur‟an tersebut.

3. Menambah pengetahuan khususnya tentang dunia penafsiran

al-Qur‟an mengenai kepemimpinan perempuan surat al-Naml ayat 29-35 jika dilihat dengan menggunakan teori interpretasi teks milik Jorge J. E. Gracia.

E. Tinjauan Pustaka

Beberapa penelitian yang pernah dilakukan dalam tema yang sama,

diantaranya adalah skripsi karya Abdul Wahid yang berjudul “Pemimpin Perempuan Menurut Pandangan Fatima Mernisi‖ mengatakan bahwa memahami pemimpin perempuan semestinya dikembalikan kepada prinsip etis agama yang berkesetaraan dan berkeadilan, karena sejauh pengematannya persoalan memimpin semata-mata tidak dilihat dari unsur jenis kelamin, melainkan tergantung pada kesiapan, kemampuan serta bakat

yang dimilikinya, sehingga mampu menjalankan tugas dengan baik.15

Kemudian ada pula penelitian dengan judul ―Nilai Kepemimpinan

Islam Yang Terkandung Dalam Kisah Nabi Sulaiman Surat an-Naml Ayat

15-19‖. Merupakan karya skripsi dari Muchammad Agus Maulidi,

mahasiswa jurusan PAI UIN Maulana Malik Ibrahim Malang. Dari karyanya, beliau memaparkan nilai-nilai kepemimpinan Nabi Sulaiman,

15

(25)

yakni berilmu, syukur, memiliki kemampuan berkomunikasi, tegas dalam

memimpin dan murah senyum.16

Kemudian penelitian berjudul “Gaya Bahasa Komunikasi Dakwah Nabi Sulaiman Dengan Ratu Negeri Saba‘ dan Para Pembesar dalam al -Qur‘an.‖ Karya skripsi Nur Padwisana mahasiswa IAT IAIN Surakarta. Dalam penelitiannya, ia fokus pada gaya bahasa yang digunakan oleh Nabi

Sulaiman dalam mendakwahi kerajaan Saba‟. Gaya bahasa tersebut adalah

gaya kiasan simile, alegori, metonimia, ironi, sinisme, satire dan inuedo.17 Kemudian Farichatul Maftuchah dalam jurnal studi gender dan anak

Yin Yang PSG STAIN Purwokerto. ―Reposisi Perempuan Dalam

Kepemimpinan‖ menyatakan keterbukaan ruang bagi perempuan untuk mendapatkan pendidikan setinggi-tingginya, dan telah memberikan kesempatan melahirkan kemampuan-kemampuan perempuan dalam segala sektor kehidupan yang sebelumnya hanya diklaim milik kaum laki-laki. Realitas mengenai perempuan yang mampu memerankan fungsi kepemimpinan dalam berbagai sektor menunjukkan adanya potensi yang sama antara perempuan dan laki-laki.18

Banyak juga penelitian lapangan mengenai efektivitas

kepemimpinan perempuan di berbagai wilayah, diantaranya skripsi Suvidian

Elytasari yang berjudul Model Kepemimpinan Perempuan Dalam

Mengembangkan Budaya Organisasi di SMP Negeri 1 Kalasan.19 Kemudian skripsi karya Istri Nursholikah yang berjudul Analisis Kepemimpinan Kepala Desa Perempuan dalam Meningkatkan Pelayanan Masyarakat di

16

Muchammad Agus Maulidi, Nilai Kepemimpinan Islam Yang Terkandung Dalam Kisah Nabi Sulaiman Surat an-Naml Ayat 15-19, Skipsi, (Malang: UIN Maulana Malik Ibrahim, 2016)

17

Nur Padwasana, Gaya Bahasa Komunikasi Dakwah Nabi Sulaiman Dengan Ratu Negeri Saba‘ dan Para Pembesar Dalam Al-Qur‘an, Skripsi, (Surakarta: IAIN Surakarta, 2017)

18

Farichatul Maftuchah, Reposisi Perempuan dalam Kepemimpinan, Jurnal Studi Gender dan Anak Yin Yang, t.t, t.t, hlm. 6

19

(26)

Desa Purworejo Kecamatan Wates Blitar.20Kemudian ada juga Sekar Cahyo

Laksanti termasuk penelitian studi kasus dengan judul Potret Kepemimpinan

Perempuan dari Sudut Pandang Laki-Laki (Studi Kasus pada Badan Penanaman Model Daerah Provinsi Jawa Tengah).21

Dan beberapa tulisan yang membahas mengenai hermeneutika Jorge J. E. Gracia dan beberapa artikel ilmiah yang membahas tentang teori penafsiran diantaranya:

Pertama,Hermeneutika Jorge J. E. Gracia “ sebuah sub bab yang

sudah dirangkum didalam sebuah buku kecil Hermeneutika dan

Pengembangan Ulumul Qur‟an karya Sahiron Syamsudin. Dalam buku

tersebut dijelaskan mengenai biografi Jorge J. E Gracia, pemikiran hermeneutika serta karya-karyanya.22

Kedua,Teori Penafsiran Jorge J. E. Gracia dan Aplikasinya terhadap Surat al-Anfal ayat 45-47”, karya Asep Supriyanto salahseorang mahasiswa Tafsir Hadits UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta. Dalam skripsi tersebut dijelaskan bahwa bigrafi, karya dan pemikirannya serta penerapan teori penafsiran Jorge J. E. Gracia dalamsurat al-Anfal 45-47.23

Ketiga, skripsi dengan judul “Penafsiran al-Qur‘an Surat al-Maidah ayat 51 (Aplikasi teori Penafsiran Hermeneutika Jorge J. E. Gracia)”, karya M. Dani Habibi, mahasiswa fakultas Ushuluddin UIN Sunan Kalijaga pada tahun 2017. Karya ini hadir ketika terjadi kasus penistaan agama yang dilakukan oleh Pak Ahok yang menggunakan ayat al-Quran surat al-Maidah ayat 51.24

20

Istri Nursolikah, Analisis Kepemimpinan Kepala Desa Perempuan dalam Meningkatkan Pelayanan Masyarakat di Desa Purworejo Kecamatan Wates Blitar, Skripsi, (Malang: Universitas Muhammadiyah Malang, 2017).

21

Sekar Cahyo Laksanti, Potret Kepemimpinan Perempuan dari Sudut Pandang Laki-Laki, Skirpsi, (Semarang: Universitas Diponegoro, 2014).

22

Sahiron Syamsuddin, Hermeneutika dan ..., hlm. 52-63

23

Asep Supriyadi, Terori Penafsiran Jorge J. E.Gracia dan Aplikasinya Terhadap Surat Al-Anfal ayat 45-47, Skripsi, (Yogyakarta: UIN Sunan Kalijaga, 2013)

24

(27)

Dan disini fokus penulis adalah pada penggalian makna bagaimana kepemimpinan Balqis, seorang perempuan yang telah direkam dalam

al-Qur‟an surat al-Naml ayat 29-35, dengan menggunakan pisau analisis teori interpretasi Jorge J. E. Gracia. Dan dari pencarian peneliti, penelitian ini belum pernah ada yang melakukan.

F. Kerangka Teori

Dalam penelitian skripsi ini, penulis menggunakan pisau analisis dengan menggunakan teori interpretasi teks. Adapun teori yang digunakan penulis adalah teori interpretasi teks yang ditawarkan oleh Jorge J.E. Gracia yang menitik beratkan pada hakikat teks25, setelah itu dalam konsep pemahaman mendapatkan perhatian kedua setelah teks.

Sementara itu pendekatan interpretasi historical text dapat dilakukan melalui tiga bentuk, yakni interpretasi yang sesuai dengan fungsi historis (historical function), fungsi makna (meaning function) maupun fungsi implikatif (implicative function). Interpretasi teks yang diperoleh dengan

mengusahakan agar contempory audiens dapat memahami teks sebagaimana

historical author dan historical audiens memahaminya, disebut oleh Gracia sebagai fungsi historis teks (historical function).26

Sedang interpretasi yang dilakukan oleh contempory audiens dalam

bentuk makna umum dari maksud historical author dan historical

audiens,disebutnya sebagai fungsi makna (meaning function). Interpretasi ini berfungsi menciptakan pemahaman dibenak audiens kontemporer, sehingga ia dapat menangkap dan mengembangkan makna (meaning) dari teks, atau dalam bahasanya―concordant with their overall generic function‖.

25Syafa‟atun Almirza

nah dan Sahiron Syamsuddin (ed), Upaya Integrasi Hermeneutika dalam Kajian al-Qur‘an dan Hadits: Teori dan Aplikasi (buku 2 Tradisi Barat), (Yogyakarta: Lembaga Penelitian Universitas Islam Negeri Yogyakarta, 2009), hlm. 147

26

(28)

Terlepas dari apakah makna itu persis dengan apa yang dimaksudkan pengarang dan audiens historis, atau tidak.27

Bentuk terakhir interpretasi bias berupa fungsi implikatif

(implicative function) dari teks tersebut, yaitu interpretasi yang fungsinya adalah sebagai berikut:

―to produce in comtempory audiences acts of understanding whereby those audiences understand the implications of the meaning of text, regardless of wether in historical authors and the historical audiences were not aware of those implications.‖

“untuk menghasilkan pemahaman di benak audiens kontemporer, dimana mereka bisa memahami implikasi dari makna teks, terlepas apakah pengarang historis dan audiens historis menyadari atau tidak, implikasi yang dihasilkan ini.”

Di kedua fungsi terakhir ini (meaning function and implicative function), contempory context sebagai keadaan yang mempengaruhi

pemahaman teks yang dilakukan oleh contemporya udiens sangat

berpengaruh terhadap interpretasi yang dilakukan olehnya. Dalam

contempory context, diharapkan contempory audiens dapat mengambil nilai-nilai yang terdapat dalam teks historis dan mengejawantahkannya pada masanya, sehingga tidak terjadi keterputusan interpretasi dengan sejarahnya. Ketiga bentuk interpretasi diatas menunjukkan bahwa truth value (nilai kebenaran) suatu interpretasi bersifat plural dan masing-masing dapat mengklaim kebenarannya sendiri.

―textual interpretations have three different functions and these functions lead ti different claims. It is one thing to claim that an interpretation is true because it reproduces in an audience acts of understanding similar to those of the historical author and the

27

(29)

historical audience, another to claim that it is true because it causes in the contempory audience acts of understanding of the meaning of the text, and still another to claim that it is true because it reproduces acts of understanding of the implications of the meaning of the text. It would make no sense to speak about the truth of textual interpretations without qualification, even if there were no another objections to it.‖28

Sehingga dari sini Gracia berpendapat bahwa tidaklah relevan menentukan bahwa suatu interpertasi itu benar (correct), dan interpretasi yang lain salah (incorrect) yang tepat adalah mengatakan bahwa sebuah interpretasi itu efektif dan kurang efektif.29

G. Metodologi Penelitian

Selanjutnya peneliti berupaya memfokuskan penelitian dengan jenis

library research dan cara penyajian deskriptif analitis. Dilanjutkan dengan mengumpulkan sebanyak mungkin informasi tentang kisah surat al-Naml ayat 29-35sebagai historical text sekaligus sebagai historical context.

Kemudian menuju langkah yang berikutnya yakni menganalisa meaning

function, dan kemudian akan dinalisis pula implicative function sesuai dengan sosio historis saat ini.

Pendekatan seperti ini perlu dilakukan guna mendapatkan pemahaman yang sesuai mengenai nilai-nilai kepemimpinan perempuan terkhusus pada surat al-Naml ayat 29-35 ini, dengan berbagai pertimbangan, diantaranya: pertama, al-Qur‟an sebagai pedoman hidup umat Islam secara khusus dan petunjuk bagi seluruh umat manusia secara umum, sebagai

hudan li al-nas, kedua, al-Qur‟an yang dapat diamati dari sisi teologis maupun linguistik. Ketiga, al-Qur‟an yang senantiasa terbuka untuk interpretasi baru.

1. Jenispenelitian

28

Jorge J. E. Gracia, A Theory of Textuality:……hlm. 173

29

(30)

Penelitian ini adalah penelitian kepustakaan (library research) yaitu penelitian yang menggunakan data dari karya-karya kepustakaan, seperti buku, jurnal, hasil penelitian dan media literatur lain yang relevan dengan permasalahan dalam penelitian.30 Sehingga dalam pembahasan an-Naml ayat 29-35 ini akan dirujuk pada kitab-kitab tafsir sebagai tahap awal dan melihat konteks historis dalam buku-buku sejarah.

2. Sumber Data Penelitian

Sumber data penelitian ini menggunakan dua jenis kepustakaan, yaitu kepustakaan primer dan sekunder. Data primer dalam penelitian ini adalah al-Qur‟an dan buku karangan

Gracia yakni A Theory of Textuality. Sedangkan data

sekundernya adalah data dokumen tidak langsung yang menjelaskan data primer yang telah dikumpulkan sebelumnya. Bahan penunjang penelitian ini adalah buku-buku tentang cerita Balqis dan nabi Sulaiman, sejarah Islam, bahasa Arab dan jurnal-jurnal studi Islam.

3. Metode Pengumpulan Data

Metode pengumpulan data adalah metode atau cara yang digunakan untuk mengumpulkan data yang diperlukan dalam penelitian yang sistematik dan standar. Sedangkan data ialah semua keterangan atau informasi mengenai suatu gejala atau fenomena yang ada kaitannya dengan penelitian.31 Data yang dikumpulkan dalam suatu penelitian harus relevan dengan pokok permasalahan. Untuk mendapatkan data yang dibutuhkan dalam penelitian ini diperlukan suatu metode yang efektif dan efisien.

30

M. Nazir, Metode Penelitian, (Jakarta: PT Ghalia Indonesia, 2003), hlm. 27

31

(31)

Data-data yang dibutuhkan dalam penelitian ini diperoleh dengan jalan dokumentasi terhadap buku-buku atau kitab-kitab serta kajian yang masih ada kaitannya dengan penelitian ini.

4. Analisis Data

Analisis data dilakukan agar dapat diperoleh suatu kesimpulan yang valid mengenai persoalan yang sedang diteliti, maka data yang akurat baik dari sumber primer atau sekunder dianalisis dengan pola deduktif. Pola deduktif yaitu analisis yang berangkat dari pengetahuan umum atau data yang bersifat umum, untuk mencari kesimpulan-kesimpulan yang bersifat khusus.

H. Sistematika Penulisan

(32)

Bab II pembahasan diarahkan pada pemaparan teori interpretasi teks milik Gracia. Dan tidak lupa kami paparan sekilas mengenai biografi intelektual Gracia. Yang dilanjutkan dengan pemaparan karya-karyanya.

Bab III pembahasan diarahkan pada tinjauan mengenai gambaran umum surat al-Naml ayat 29-35. Akan kami paparkan pula mengenai pandangan atau penafsiran para ulama mengenai ayat tersebut. Disini penulis akan memaparkan beberapa penafsiran karya aṭ-Ṭabari, az-Zamakhsyari, Ibnu Asyur, al-Maraghi dan M. Quraish Shihab.

Bab IV membahas tentang penafsiran mengenai ayat tentang perang yang terdapat pada Q.S al-Naml ayat 29-35 dengan interpretasi historical function, meaning function dan implicative function.

(33)

BAB II

TEORI INTERPRETASI JORGE J. E. GRACIA

DAN RELEVANSINYA DENGAN ULUMUL QUR’AN

A. Sketsa Biografi Intelektual Jorge J. E. Gracia

Jorge J. E. Gracia lahir pada tahun 1924, di Kuba. Ia dilahirkan dari pasangan Dr. Ignacio J.L. De La C.Gracia Dubie dan Leonila M. Otero Munoz. Pada usia 24 tahun, Gracia menikah dengan seorang wanita yang bernama Norma E. Silva Casabe pada tahun 1966. Pernikahan ini dikaruniai 2 orang anak yang cantik, yaitu Leticia Isabel dan Clarisa Raquel. Gracia mempunyai empat orang cucu, yaitu James M. Griffin, Clarisa R. Griffin, Sofia G. Taberski dan Eva L. Tabersk.32

Ia adalah seorang filosof yang secara antusias menekuni bidangnya dengan sangat mendalam. Ia menempuh takdir pendidikannya dengan

menyelesaikan undergraduate program (B.A) dalam bidang filsafat di

Wheaton College pada tahun 1965. Selanjutnya ia melanjutkan

pendidikannya dengan menempuh graduate program (M. A) dalam bidang

yang sama pada tahun 1966 di University of Chicago. Pada tahun 1971, ia menyelesaikan program doctoral di University of Toronto dalam bidang filsafat.33

Selain menempuh pendidikannya di beberapa institusi formal, seperti pendidikan Arsitektur dan pendidikan Escuela de Artes Plasticas de San Alejandro di Universidad de La Habana, yaitu pada tahun 1960-1961. Selain itu juga pernah belajar di pendidikan Study and Research di Institus

d‟Estudis Catalans, Barcelona, pada tahun 1969-1970.34

32

http://www.acsu.buffalo.edu/~gracia/cv.html , diakses pada 26 April 2018.

33

Sahiron Syamsuddin, Hermeneutika dan Pengembangan Ulumul Qur‘an, (ed. Revisi dan Perluasan), (Yogyakarta: Pesantren Nawesea Press, 2017), hlm. 89

34

(34)

Selain itu, Gracia juga menduduki posisi penting akademik, mulai menjadi Asisten Profesor Filsafat pada State University of New York (SUNY) di Buffalo dari 1971 sampai tahun 1976, hingga menjadi Profesor Tamu Filsafat di Akademie Fur Internationale Philosophie, Liechtenstein tahun 1998 dan Graduate Adjunct Professor dari Shandong University pada tahun 2009. Ia juga telah menerima banyak penghargaan, misalnya dalam studi Metafisika ia meraih John N. Findlay Prize yang diberikan oleh The Metaphysical Society of America pada tahun 1992; Aquinas Medal dari University of Dallas, pada 1 Februari 2002. Dalam bidang pendidikan, ia meraih Teaching and Learning Award tahun 2003 dari University at Buffalo, juga 67th Aquinas Lecture di Marquette University tahun 2003 dan lain sebagainya.35

Kedalaman ilmunya mengenai filsafat mengantarkannya menjadi seorang profesor di Departemen Filsafat Universitas Buffalo di Kota New York. Di samping itu semua, ketertarikan pada bidang filsafat membuatnya menguasai dengan mendalam berbagai hal dalam bidang filsafat, seperti metafisika/ontologi, historiografi filosofis, filsafat bahasa/hermeneutika, filsafat skolastik dan filsafat Amerika Latin/hispanik. Selain sebagai filosof, Gracia juga memberikan perhatian yang cukup besar terhadap masalah-masalah etnisitas, identitas, nasionalisme dan lain sebagainya.36

Keahlian Gracia dalam bidang-bidang yang telah disebut diatas, dibuktikan juga dengan karya-karya yang cukup banyak dalam bidang-bidang tersebut, baik dalam bentuk buku, artikel dalam jurnal dan antologi, maupun artikel seminar.Diantara karya-karyanya adalah sebagai berikut37:

1. A Theory Of Textuality: The Logic And Epistimology (Albani: State University Of New York Press, 1995),

2. Text: Ontological Status, Identity, Author, Audience (Albani: State University Of New York Press, 1996),

35

Khoirul Imam, RelevansiHermeneutika Jorge..., hlm. 252

36

Nablur Rahman Annibras, Hermeneutika J. E. Gracia (Sebuah Pengantar), (Al-Bayan: Jurnal Studi al-Qur‟an dan Tafsir 1, Juni 2016), hlm. 71

37

(35)

3. Text And Their Interpretation, Review Of Metaphysics 43 (1990), 495-542,

4. Can There Be Texts Without Historical Authors? American Philosophical Quarterly 31, 3 (1994), 254-253,

5. Can There Be Texts Without Audiences? The Identity And Function of Audiences, Review Of Metaphisics 47, 4 (1994), 711-734,

6. Can There Be Definitive Interpretation? In European Philosophy And The American Academy, Ed. B. Smith (La Salle, Il: Hegeler Institute, 1994), hlm. 43-53,

7. Author And Repression, Contempory Philosophy 16, 4 (1994), 23-29,

8. Textual Identity, Sorites 2 (1995), 57-75,

9. Where Is Don Quixote? The Location Of Texts And Works, Concordia 29 (1996), 95-107,

10.The Interpretation Od Revealed Texts: Do We Know What God Means? (Presidential Address), Proceedings Of The American Catholic Philosophical Association, Vol. 72 (Washington, DC: Catholic University Of America Press, 1998), hlm. 1-19,

11.Individuality: An Essay on the Foundations od Metaphysics

(Albany, NY: State University of New York Press, 1998), 12.Metaphusics and Its Task: The Search for The Categoril

Foundation of Knowledge (Albany: State University of New York Press,1999),

13.Relativism And The Interpretation Of Texts, Metaphilosophy

31,1/2 (2000), 43-62,

14.Borges‘ Pierre Menard: Philosophy Of Literture, Journal Of Aesthetics And Art Criticsm 59, 1(2000), 45-57,

(36)

16.A Theory Of The Author, Dalam W. Irwin, (Ed), The Death And Resurrection Of The Author (Westport, CN: Greewood Press, 2002), Hlm. 161-189,

17.The Uses And Abuses Of The Classics: Interpreting Interpretation Of Philosophy, Dalam J. J. E. Gracia Dan Jiyuan Yu (Eds). Uses And Abuses Of The Classics: Interpretation In Philosophy,

18.Meaning, Dalam Dictionary For Theological Interpretation Of Scriptures, Diedit Oleh Kevin J. Vanhoozer, Daniel J. Treier, Et Al,

19.History/Historiography Of Philosophy, Dalam Encyclopedia Of Philosophy (New York: Macmillan Dalam Persiapan),

20.From Horror To Hero: Film Interpretation Of Stoker‘s Dracula,

In William Irwin Dan Jorge J. E. Gracia, Eds., Philosophy And The Interpretation Of Popular Culture

21.The Good And The Bad: The Quests Of Sam Gamgee And Smeagol (Alias Gollum) For The Happy Life, Dalam G. Bassham Dan Eric Bronson (Eds.), Philosophy And The Lord Of The Rings, Lasalle, Il: Open Court, 2003).

B. Pemikiran Jorge J. E. Gracia Mengenai Hakekat Interpretasi

Sebelum melanjut pada hakekat interpretasi, penulis akan paparkan terlebih dahulu makna teks menurut Gracia.

1. Makna Teks

Secara epistimologi, kata “Text‖ berasal dari bahasa latin textus, yang mempunyai banyak arti, yakni tekstur, struktur, dan terkait

dengan bahasa berarti konstruksi, kombinasi dan

koneksi/hubungan. Kata kerjanya texto yang berarti membentuk.

(37)

intended by an author in a certain context to convey some specific meaning to an audience‖ (seperangkat entitas yang digunankan sebagai tanda yang dipilih, ditata dan dimaksudkan oleh seorang pengarang dalam konteks tertentu untuk

menyampaikan makna spesifik kepada audiens).38

Dalam tata bahasa Arab, definisi teks yang ditawarkan Gracia mirip dengan definisi al-jumlah al-mufidah atau al-kalam. „Ali al-Jarim dan Musthofa Amin, misalnya, mendefinisikannya dengan al-tarkib alladzi yufidu fa‘idatan tammatan (susunan kata yang memberikan arti yang sempurna).

Di dalam kitab Matan al—Jurumiyyah disebutkan bahwa

pengertian al-kalam adalah al-lafdz al-murakkabu al-mufidu bi al-wadh‘i‖ (lafal yang tersusun (dari minimal 2 kata) dan telah memberikan pengertian (yang sempurna secara minimal) (serta diucapkan) dengan sengaja.39

Berdasarkan pada definisi teks diatas, maka menurut Gracia ada 6 elemen penting, selain pengarang teks atau audiens yang terkandung dalam definisi teks tersebut. Keenam elemen teks yang dimaksud adalah:

a. Entities that constitute text (entitas-entitas/ bagian-agian yang membentuk teks, artinya bahwa teks harus tersusun dari dua atau lebih entitas.

b. Sign (tanda) artinya bahwa masing-masing entitas mengandung arti.

c. Specific meaning (makna spesific) artinya bahwa kumpulan entitas/kata itu mengandung makna khsusus sesuai dengan struktur.

d. Intention (maksud pengarang).

e. Selection and arrangement (pilihan dan penataan kata).

38

Sahiron Syamsuddin, Hermeneutika dan..., hlm. 94

39

(38)

f. Context (konteks).

Apabila dibandingkan dengan definisi al-kalam dalam ilmu Nahwu, maka 4 elemen yang disebut pertama itu termuat dalam

al-lafdzu al-murakkabu al-mufidu, sedangkan 2 elemen berikutnya itu paralel dengan bi al-Wadl‘i.40

2. Hakekat Interpretasi

Mengenai hakikat interpretasi, Gracia menjelaskan mengenai pengertian interpretasi jika dilihat dari segi etimologi dan terminologinya. Mengenai pengertian interpretasi secara etimologi dia mengatakan sebagai berikut:

The term ‗interpretation‘ is the English translation of the Latin interpretatio, from interpres, which etymologycally meant ―to spread abroad‖. Accordingly, interpres came to mean an agent between two parties, a broker or negotiator and by extension an explainer, expounder and translator. The Latin term interpretatio developed at least three different meanings. Sometimes it meant ―meaning‖ so that to give an interpretation was equivalent to give the meaning of whatever was being interpreted. Interpretatio was also taken to mean translation; the translation of a text into a different language was called an interpretation. Finally, the term was used to mean ―explanation‖, and by this an interpretation was meant to bring out what was hidden and unclear, to make plain what was irreguler, and to provide an account of something or other.41

Istilah interpretation adalah terjemahan Inggris dari kata Latin interpretatio yang berasal dari kata interpres yang secara

etimologi berarti “menyebar keluar”. Atas dasar itu, kata

interpres diartikan dengan agen antara dua pihak, dan lebih jauh

40

Sahiron Syamsuddin, Hermeneutika dan..., hlm. 95

41

(39)

berarti penjelas atau penerjemah. Istilah Latin interpres paling

tidak mempunyai tiga makna. Ia terkadang bermakna ‗meaning‘

(arti), sehingga memberi interpretasi itu sama dengan memberi arti sesuatu yang sedang ditafsirkan. Interpretatio juga diartikan

dengan „translation‘ (penerjemahan), jadi, menterjemahkan sebuah teks ke dalam bahasa lain disebut dengan interpretation.

Terakhir, istilah tersebut dipakai untuk menunjukkan makna

explanation‘ (penjelasan), dan dengan arti ini interpretasi berarti menjelaskan sesuatu yang tersembunyi dan tidak jelas, membuat sesuatu yang tidak teratur menjadi teratur, dan menyediakan informasi tentang sesuatu atau yang lainnya.42

Sedangkan secara terminologi, terdapat tiga cara pokok dimana istilah interpretasi itu digunakan dalam hubungannya dengan teks. Gracia menyatakan bahwa interpretasi bisa didefinisikan dalam bentuk pengertian. Pertama, istilah interpretasi itu sama dengan pemahaman (understanding) yang dimiliki seseorang terhadap makna teks. Terkadang interpretasi itu digunakan sebagai satu bentuk pemahaman yang mungkin dimiliki seseorang. Namun lebih sering lagi, interpretasi itu ditandai oleh 2 hal, yakni bahwa pemahaman tertentu bukanlah satu-satunya pemahaman yang mungkin dan valid terhadap teks yang ditafsirkan, dan bahwa subyektivitas penafsir memainkan peran kunci dalam penafsiran.43

Pada bagian kedua ini dijelaskan bahwa interpretasi itu juga bisa digunakan untuk menunjuk pada proses atau aktivitas dimana seseorang mengembangkan pemahaman terhadap teks. Dalam hal ini, sebuah penafsiran melibatkan pengkodean

42Syafa‟atun al-Mirzanah dan Sahiron Syamsuddin,

Pemikiran Hermeneutika DalamTradisi Barat, (Yogyakarta: Lembaga Penelitian UIN Sunan Kalijaga, 2011), hlm. 120

43Syafa‟atun al-Mirzanah dan Sahiron Syamsuddin,

(40)

(decoding) terhadap teks untuk memahami pesannya, dan pemahaman ini tidak harus identik dengan pesan itu sendiri. Pada definisi interpretasi yang kedua ini, titik tekannya adalah

pada metodologi pengembangan pemahaman.44

Adapun definisi interpretasi yang ketiga dan yang dipakai oleh Gracia, bahwa Interpretasi menurut Gracia melibatkan 3 hal: (a) teks yang ditafsirkan (interpretandum), (b) penafsir dan (c) keterangan tambahan (interpretans). Interpretandum adalah

teks historis, sedangkan interpretans memuat

tambahan-tambahan ungkapan yang dibuat oleh interpreter sehingga

interpretandum lebih dapat dipahami. Dengan demikian,

interpretasi terdiri dari keduanya: interpretandum dan

interpretans.45

C. Teori Fungsi Interpretasi Jorge J. E.Gracia

Fungsi umum interpretasi, tegas Gracia adalah untuk menciptakan di benak audiens kontemporer pemahaman terhadap teks yang sedang diinterpretasikan. Hal ini, dibaginya dalam tiga macam fungsi spesifik, yakni fungsi historis (historical function), fungsi makna (meaning function)

dan fungsi implikatif (implicative function).46

1. Historical Function

Interpretasi berfungsi menciptakan kembali di benak audiens kontemporer pemahaman yang dimiliki oleh pengarang teks dan

audiens historis. Inilah yang dimaksud dengan historical

function.47 Parameter dari pemahaman dalam fungsi ini adalah dengan tidak melampaui apa yang dipahami oleh pengarang dan

44Syafa‟atun al-Mirzanah dan Sahiron Syamsuddin,

(41)

audiens historis.48 Sehingga tugas interpreter disini adalah membuat audiens kontemporer paham terhadap makna teks yang dimiliki oleh pengarang dan audiens pada masanya. Dalam arti ini, seolah-olah audiens kontemporer bisa merasakan seperti berada dalam kondisi dan situasi yang dialami oleh audiens historis. Oleh karena itu untuk melakukan hal ini perlu menambah elemen teks sejarah yang akan memungkinkan untuk

menciptakan kembali tindakan-tindakan yang dapat

merefleksikan budaya dan konteks ketika teks itu muncul. Dari sinilah dapat dilihat lebih jelas mengapa interpretasi merupakan bagain integral dari pemahaman historical text untuk memahami sebuah teks. Tujuannya ialah untuk menjembatani kesenjangan dimana ia dibaca, didengar atau bahkan diingat. Hal ini merupakan suatu yang tidak bisa dipungkiri karena perbedaan budaya dan rentang waktu antara pencipta teks dengan pembaca tentu saja akan melahirkkan konsep yang berbeda pula. Untuk menyatukan makna dari suatu teks, di sinilah letak urgennya sebuah kajian terhadap sejarah teks atau disebut historical function dalam teori ini.

2. Meaning Function

Interpretasi yang menciptakan di benak audiens kontemporer pemahaman dimana audiens kontemporer itu dapat menangkap

makna “meaning‖ dari teks, terlepas dari apakah makna tersebut memang secara persis merupakan apa yang dimaksud oleh pengarang teks dan audiens historis atau tidak.49 Di dalam fungsi ini peran atau tugas seorang interpreter menjelaskan kepada audiens kontemporer pemahaman tentang arti atau maksud dari sebuah teks. Sehingga dalam mengembangkan makna ini penafsir harus tahu tentang sejarah ketika teks itu muncul dan

48

Nablur Rahman Annibras, Hermeneutika..., hlm. 71-78

49

(42)

juga harus tahu tata bahasa ataupun kata-kata yang digunakan dalam teks tersebut. Hal ini dimaksudkan karena dari waktu ke waktu bahasa terus berkembang.

Dengan fungsi yang kedua ini, penafsir teks diharapkan mampu memunculkan makna teks yang lebih luas dan mungkin

lebih mendalam kepada contempory audiens. Jelas dipahami

bahwa tujuan dari fungsi kedua ini bukanlah memunculkan

kembali di benak contempory audiens makna teks yang

sebenarnya ketika teks tersebut muncul dan dipahami oleh

historical audiens, akan tetapi penafsir dituntut untuk mengembangkan makna dari teks yang ditafsirkan agar lebih

luas dan mendalam. Sehingga contempory audiens mampu

menangkap makna tersebut.

Perkembangan makna yang dimaksudkan adalah suatu pemahaman tambahan dalam menginterpretasi suatu teks karena kondisi yang dialami para interpreter yang berbeda-beda. Akan tetapi bukan dalam artian interpreter tersebut hilang kendali dari makna subtansi suatu teks, melainkan perkembangan makna tersebut hanyalah suatu pengembangan dari makna subtansi yang dikandung oleh teks sebagai upaya penyesuaian dengan problematika yang sedang dialami para interpreter atau dengan kata lain menghidupkan teks sesuai dengan permasalahannya.

3. Implicativ Function

Interpretasi yang memunculkan di benak audiens kontemporer suatu pemahaman sehingga mereka memahami implikasi dari makna teks yang diinterpretasikan.50 Di dalam fungsi ini interpreter mencoba menghubungkan antara teks yang sedang diinterpretasikan dengan bidang keilmuan lain yang masih ada hubungannya atau ketertarikannya dengan teks yang sedang ditafsirkan tersebut. Dengan mengkorelasikan dengan bidang

50

(43)

keilmuan lain ini, diharapkan audiens kontemporer mampu menangkap makna yang lebih luas dan di sisi lain dapat menambah wawasan pengetahuan audiens kontemporer. Lebih jelasnya, penafsir berhak mengembangkan makna, sehingga teks tersebut mempunyai signifikansi dan bisa diaplikasikan sesuai untuk masa dan tempat dimana interpretasi itu dilakukan.

Interpretasi pasti memuat keterangan tambahan bagi

interpretandum. Hal ini memunculkan apa yang disebut Gracia

dengan “interpreter‘s dilemma‖ , khususnya terkait dengan fungsi penafsiran historis. Di satu sisi, penambahan keterangan tersebut berarti melakukan distorsi terhadap teks yang ditafsirkan, dan disisi lain, tanpa adanya penambahan keterangan, interpretasi mungkin tidak dapat membuat audiens kontemporer memahami teks yang ditafsirkan, karena mereka secara kultural dan temporal/masa telah jauh dari teks tersebut. Untuk mengatasi problem atau dilema ini, Gracia menawarkan

apa yang disebutnya dengan the Principle of Proportional

Understanding (prinsip pemahaman proporsional). Untuk bisa keluar dari dilema yang berkepanjangan, para penafsir harus paham terlebih dahulu akan apa itu fungsi-fungsi dari interpretasi.51

Adapun cara kerja prinsip ini, pertama menghadirkan makna objektif. Hal ini sebagaimana disinyalir oleh Abu Zaid bahwa

pemahaman objektif adalah pemahaman yang tidak

diperselisihkan, artinya pemahaman teks seperti yang dihadapi atau yang ingin dipahami oleh penciptanya.52

Kemudian pengembangan dari makna objektif tersebut. Dalam kaitannya dengan kaidah penafsiran maka pengembangan tersebut bisa berupa kaidah ilmu pengetahuan. Sebuah upaya

51

Nablur Rahman Annibras, Hermeneutika..., hlm. 71-78

52

(44)

penafsiran al-Qur‟an dengan mengaitkan keilmuan lainnya, baik modern maupun klasik.

D. Relevansi Teori Interpretasi Jorge J. E. Gracia dengan Ulumul

Qur’an

Melihat teori dan metode interpretasi teks milik Gracia yang telah dikemukakan diatas, dalam beberapa poin yang dapat membuktikan bahwa teori dan metodenya bisa digunakan dalam mengembangkan dan

menguatkan performance Ulumul Qur‟an. Dalam hal ini akan dibahas

beberapa relevansi integrasi teori interpretasi teks Gracia dalam

pengembangan penafsiran al-Qur‟an. Berikut pembahasannya:

1. Relevansi Historical function dengan Asbab an-Nuzul

Gracia dalam hal ini merumuskan seorang penafsir haruslah memaknai suatu teks dengan memahami konteks dimana teks itu muncul pertama kalinya. Dengan metode ini historis teks dapat tersampaikan kepada contemporary audiens, meskipun terdapat jarak yang cukup jauh diantara keduanya. Dalam kajian

al-Qur‟an hal ini disebut dengan asbab al-nuzul. Arti sederhana dari asbab al-nuzul adalah sebab-sebab yang melatarbelakangi

turunnya suatu ayat. Lebih jelasnya asbab al-nuzul bisa

dipahami dalam dua pengertian, pertama, suatu peristiwa yang mendahului turunnya ayat, kedua, peristiwa yang terjadi setelah turunya ayat. Oleh sebab itu, asbab al-nuzul disini memiliki pengertian suatu peristiwa yang berkaitan dengan sebab turunnya ayat, baik yang terjadi pada waktu sebelum ayat tersebut diturunkan maupun sesudahnya.53 Sehingga asbab al-nuzul akan memberikan gambaran setting historis dari sebuah ayat al-Qur‟an yang menjelaskan konteks dimana ayat tersebut

53

(45)

diturunkan sebagai respon terhadap problematika masyarakat pada masa itu.

Oleh karena itu, dengan mengetahui historical function yang meliputi historical text, historical author dan historical audiens

atau asbab an-nuzul dalam kajian al-Qur‟an tidak menutup kemungkinan audien kontemporer dapat memahami apa yang akan disampaikan oleh pencipta teks. Sehingga teks tersebut tetap relevan meskipun dalam konteks dan kebudayaan yang berbeda.

Dengan demikian, relevansi interpretasi teks milik Gracia yang berkaitan dengan historical function dan teori asbab an-nuzul ini memiliki implikasi bahwa pengetahuan tentang asbab an-nuzul akan membantu seseorang memahami konteks diturunkannya sebuah ayat suci. Konteks itu akan memberi penjelasan tentang implikasi sebuah firman, dan memberi bahan melakukan penafsiran dan pemikiran tentang bagaimana mengaplikasikan sebuah firman itu dalam situasi yang berbeda.

2. Relevansi Meaning function dengan Kaidah Kebahasaan al-Quran

Kajian tentang perkembangan makna tentunya sangat penting untuk digali lebih dalam. Langkah ini dilakukan agar tidak terlalu cepat mengklaim benar atau salah dalam memahami makna-makna yang datang akibat dari pembacaan terhadap suatu teks. Perkembangan makna yang dimaksud disini adalah suatu

pemahaman tambahan dalam menafsirkan suatu teks.

(46)

Dalam meaning function ini, membuat penafsir harus memperhatikan penggunaan bahasa Arab. Aspek kebahasaan menempati posisi penting dalam menafsirkan al-Qur‟an karena bahasa berkaitan erat dengan makna dari al-Qur‟an. Penekanan ini sebagaimana diungkap Nasir Hamid Abu Zaid dalam

Isykaliyyat al-Qiro‘ah, dengan mengutip karya Qadhi Abd al-Jabbar, teolog mu‟tazilah yang mengatakan:

Bahasa mengekspresikan kebermaknaan yang ada secara praktis diantara segala sesuatu. Manusia pada hakikatnya tidak menggunakan bahasa, tetapi bahasa itulah yang berbicara melalui manusia. Alam terbuka bagi manusia melalui bahasa karena bahasa adalah lahan pemahaman dan penafsiran. Maka, alam mengungkapkan dirinya kepada manusia melalui berbagai proses pemahaman dan penafsiran berkesinambungan. Bukan manusia memahami bahasa, tetapi lebih tepat dikatakan bahwa manusia memahami alam dan manusia, tetapi ia merupakan penampakan alam dan pengungkapannya setelah sebelumnya ia tersembunyi karena bahasa adalah pengejawantah eksistensi bagi alam.54

Fungsi makna ini sama dengan upaya kontekstualisasi makna teks. Terlepas apakah makna tersebut memang diproduksi oleh pengarang teks dan audiens historis pada saat itu atau tidak.

Pada dasarnya, makna objektif dalam penafsiran al-Qur‟an bisa dirujuk melalui kaidah penafsiran al-Qur‟an secara makro yang telah ditetapkan oleh para ulama, baik klasik maupun kontemporer. Kaidah tersebut merupakan langkah untuk

memperoleh hasil maksimal dalam memahami makna al-Qur‟an,

54

(47)

hukum-hukum yang terkandung di dalamnya, serta

petunjuk-petunjuk dalam rangka mendekati makna objektif.55

Kemudian ingat dengan pendapat Fazlur Rahman bahwa pesan yang sesungguhnya yang ingin disampaikan al-Qur‟an

bukanlah makna yang ditujukan oleh ungkapan harfiah,

melainkan nilai moral yang berada di balik ungkapan literal tersebut. Dengan kata lain, menggali makna tersirat yang sesuai

dengan ideal moral al-Quran, bukan semata-mata makna

tersurat.

3. Relevansi Implicative function dengan Ilmu Munasabat dan Teori SaindanHumaniora

Ketiga, implicative function, pemaknaan terhadap sebuah teks akan berpengaruh pada penerapannya, dalam hal ini disebut dengan fungsi implikasi atau penerapan. Fungsi implikasi dalam kaitannya dengan penafsiran al-Qur‟an, bahwa interpretasi tidak lagi peduli hanya dengan memahami makna dari teks historis, tetapi dengan lebih banyak lagi. Karena pemahaman makna teks historis oleh penafsir umumnya merupakan syarat untuk memenuhi fungsi ini. Sehingga tidak mungkin seorang penafsir bisa menghasilkan pemahaman tentang implikasi dari makna teks dalam benak audiens kontemporer tanpa memahami makna teks.

Fungsi implikasi dalam hal ini yaitu titik persinggungan antara teks historis dengan aspek-aspek kesejarahan maupun kebahasaan yang mengantarkan audiens kontemporer untuk memahami keterkaitan antara teks historis dengan teks tambahan. Misalnya, keterkaitan antara keterangan hadits Nabi dengan ayat-ayat al-Qur‟an, atau adanya teks-teks tambahan

55

(48)

yang menjelaskan ayat-ayat al-Qur‟an. Dengan kata lain, fungsi implikatif ini bagian dari teori munasabah.56

Selain itu, fungsi implikatif ini bisa juga dipahami sebagai keterkaitan dengan bidang keilmuan lainnya. Seperti para ahli

ilmu al-Qur‟an mulai mengadopsi keilmuan dan beberapa

metode dalam ilmu filsafat, kedokteran, sosiologi dan lain sebagainya. Usaha ini tidak lain guna menyuarakan teks

al-Qur‟an agar sesuai dengan konteksnya, juga untuk membaca

teks al-Qur‟an sehingga dihasilkan cara-cara pembacaan baru

dalam memaknai al-Qur‟an.

Jika menilik bahasa Gracia dalam memaparkan interpretasi, akan didapati dua bentuk interpretasi, yaitu tekstual dan non-tekstual. Interpretasi tekstual sebagaimana dilakukan ulama

klasik dalam mendekati penafsiran al-Qur‟an dengan pendekatan

seputar kebahasaan, kaidah ushuliyyah, kaidah sunnah dan kaidah qur‘aniyyah.

Hal ini senada dengan definisi interpretasi tekstual menurut Gracia, yang meliputi tiga tujuan utama, pertama, menciptakan pemahaman pengarang teks historis dan audien historis. Mendekati makna sesuai yang dimiliki pengarang teks historis

dan audien historis. Kedua, menciptakan pemahaman dimana

makna teks itu dimengerti oleh audiens kontemporer, terlepas apakah makna yang dipahami sama dengan makna yang dimiliki

pengarang teks dan audiens historis atau tidak. Ketiga,

menciptakan pemahaman dimana implikasi dari makna teks itu

dimengerti oleh audien kontemporer.57 Artinya bertujuan

menangkap implikasi dari makna teks tertentu.

Dari pemaparan di atas, maka penulis merasa bahwa teori fungsi yang diusung oleh Gracia ini relevan dengan Ulumul Qur‟an, khususnya

56

Khoirul Imam, RelevansiHermeneutika Jorge..., hlm.260

57

(49)
(50)

BAB III

DESKRIPSI Q.S. AN-NAML AYAT 29-35 DAN PENAFSIRANNYA DALAM KITAB TAFSIR

A. Deskripsi Q.S. an-Naml Ayat 29-35

Surat an-Naml termasuk golongan surat Makkiyah yang diturunkan setelah surat asy-Syu‟araa‟. Surat an-Naml ini terdiri dari 98 ayat. Dinamai dengan an-Naml, karena pada ayat 18 dan 19 terdapat perkataan an-Naml (semut), dimana raja semut mengatakan kepada anak buahnya agar masuk ke dalam sarangnya masing-masing, supaya tidak terinjak oleh Nabi Sulaiman AS dan tentaranya yang akan lewat di tempat itu.58

(51)

Artinya59:

29. Berkata ia (Balqis): "Wahai para pembesar! Sesungguhnya telah disampaikan kepadaku sebuah surat yang mulia.

30. Sesungguhnya (surat) itu, dari SuIaiman yang isi nya: "Dengan nama Allah yang Maha Pengasih Maha Penyayang.

31. Janganlah engkau berlaku sombong terhadapku dan datanglah kepadaku sebagai orang-orang yang berserah diri".

32. Dia (Balqis) berkata: "Wahai Para pembesar berilah aku pertimbangan dalam perkaraku (ini) aku tidak pernah memutuskan sesuatu perkara sebelum kamu hadir dalam majelisku".

33. Mereka menjawab: "Kita memiliki kekuatan dan keberanian yang luar biasa (untuk berperang), tetapi keputusan berada ditanganmu: Maka pertimbangkanlah apa yang akan engkau perintahkan".

34. Dia (Balqis) berkata: "Sesungguhnya raja-raja apabila menaklukkan suatu negeri, mereka tentu membinasakannya, dan menjadikan penduduknya yang mulia jadi hina; dan demikian pula yang akan mereka perbuat.

35. Dan sungguh, aku akan mengirim utusan kepada mereka dengan (membawa) hadiah, dan (aku) akan menunggu apa yang akan dibawa kembali oleh para utusan itu".

Dalam ayat tersebut diatas, penulis tidak menemukan riwayat asbabun nuzulnya. Akan tetapi dalam tafsir aṭ-Ṭabari penulis menemukan beberapa riwayat yang membahas ayat tersebut. Dan bahasan terhadap ayat tersebut ialah bahasan mengenai makna atau pemahaman terhadap ayat. Untuk lebih jelasnya, nanti akan kami bahas pada sub bab selanjutnya.

B. Kisah Ratu Balqis dalam Pustaka Kontemporer

Dalam memaparkan kisah Balqis ini, penulis merujuk pada dua pustaka kontemporer terbit pada tahun 2014 dan 2017. Pustaka kontemporer disini yang dimaksud oleh peneliti adalah pustaka yang sedang eksis hingga

59

Referensi

Dokumen terkait