commit to user
NASKAH DRAMA BARABAH KARYA MOTINGGO BUSYE
(TINJAUAN SOSIOLOGI SASTRA DAN NILAI PENDIDIKAN)
SKRIPSI
Oleh :
CAHYO UTOMO
K1203018
FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN
UNIVERSITAS SEBELAS MARET
SURAKARTA
commit to user
ii
NASKAH DRAMA BARABAH KARYA MOTINGGO BUSYE
(TINJAUAN SOSIOLOGI SASTRA DAN NILAI PENDIDIKAN)
Oleh:
CAHYO UTOMO
NIM K 1203018
Skripsi
Ditulis untuk Memenuhi Syarat Mendapatkan Gelar Sarjana Pendidikan
Program Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia
Jurusan Pendidikan Bahasa dan Seni
FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN
UNIVERSITAS SEBELAS MARET
SURAKARTA
commit to user
iii
Skripsi ini telah disetujui untuk dipertahankan di hadapan Tim Penguji
Skripsi Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan Universitas Sebelas Maret
Surakarta.
Persetujuan Pembimbing
Pembimbing I Pembimbing II
Drs. Swandono, M. Hum. Drs. Yant Mujiyanto, M. Pd.
commit to user
iv
Skripsi ini telah dipertahankan di hadapan Tim Penguji Skripsi Fakultas
Keguruan dan Ilmu Pendidikan Universitas Sebelas Maret Surakarta dan diterima
untuk memenuhi persyaratan mendapatkan gelar Sarjana Pendidikan
Pada hari :
Tanggal : 2011
Tim Penguji Skripsi:
Nama Terang Tanda Tangan
Ketua : Drs. Slamet Mulyono, M. Pd.
Sekretaris : Dra. Sumarwati, M.Pd.
Anggota I : Drs. Swandono, M. Hum.
Anggota II : Drs. Yant Mujiyanto, M. Pd.
Disahkan oleh
Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan
Universitas Sebelas Maret
Dekan,
commit to user
v
ABSTRAK
CAHYO UTOMO. K1203018. NASKAH DRAMA BARABAH KARYA
MOTINGGO BUSYE (TINJAUAN SOSIOLOGI SASTRA DAN NILAI PENDIDIKAN). Skripsi. Surakarta: Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan. Universitas Sebelas Maret, April 2011.
commit to user
vi
ABSTRACT
CAHYO UTOMO. K1203018. DRAMA WORKS ON PAPER BARABAH MOTINGGO BUSYE (SOCIOLOGY LITERATURE REVIEW AND
EDUCATIONAL VALUE). Thesis. Surakarta: Faculty of Teacher Training and
Education. Sebelas Maret University, April 2011.
commit to user
vii
MOTTO
“Hapuslah air mata Anda dengan sikap berbaik sangka kepada Allah SWT, Tuhan
Anda. Usirlah semua kesusahan dan kesedihan Anda dengan mengingat
nikmat-nikmat Allah SWT yang telah dilimpahkan kepada Anda.”
commit to user
viii
PERSEMBAHAN
Kupersembahkan karya sederhana ini
sebagai sayang, cinta, dan terima kasihku
teruntuk:
1. Bapak dan Ibu tercinta yang tak pernah
lelah untuk terus menyalakan pelita
kasih sayang dan perhatian yang tulus
dalam setiap pijakan langkah-langkahku.
2. Kakak-kakak dan keponakan tersayang
yang penuh perhatian.
commit to user
ix
KATA PENGANTAR
Puji syukur penulis panjatkan ke hadirat Allah SWT karena berkat rahmat
dan hidayah-Nya sehingga skripsi ini dapat terselesaikan untuk memenuhi
sebagian persyaratan mendapatkan gelar Sarjana Pendidikan Bahasa, Sastra
Indonesia dan Daerah.
Banyak hambatan yang menimbulkan kesulitan dalam penyelesaian
penulisan skripsi ini, namun berkat bantuan dari berbagai pihak akhirnya
kesulitan-kesulitan yang timbul dapat diatasi. Untuk itu, atas segala bentuk
bantuannya penulis mengucapkan terima kasih kepada yang terhormat:
1. Prof. Dr. M. Furqon H., M.Pd., selaku Dekan Fakultas Keguruan dan Ilmu
Pendidikan Universitas Sebelas Maret Surakarta yang telah memberi izin
penyusunan skripsi;
2. Drs. Suparno, M.Pd., selaku Ketua Jurusan Pendidikan Bahasa dan Seni FKIP
UNS yang telah memberikan izin penyusunan skripsi;
3. Drs. Slamet Mulyono, M.Pd., selaku Ketua Program Pendidikan Bahasa dan
Sastra Indonesia yang telah memberikan izin penyusunan skripsi kepada
penulis;
4. Drs. Swandono, M.Hum. dan Drs. Yant Mujiyanto, M.Pd., selaku
Pembimbing yang telah membimbing penulis selama ini dengan penuh
perhatian dan kesabaran;
5. Dra. Suharyanti, M.Hum., selaku Pembimbing Akademik yang telah
membimbing penulis dalam menyelesaikan studi;
6. Bapak dan Ibu Dosen Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan Universitas
Sebelas Maret Surakarta, khususnya Program Pendidikan Bahasa dan Sastra
Indonesia yang telah memberikan sebagian ilmunya kepada penulis dengan
tulus ikhlas selama ini;
7. Sahabat-sahabat terindahku: Irsyad, Dwi, Agung, Randi, Bayu, Alm. Riza
(banyak pengalaman bersama kalian), Tri, Widya, Amel, Elen, Wati dan Esty,
yang telah menggoreskan cerita indah dan makna hidup dalam sebagian
commit to user
x
8. Rekan-rekan Bastind ’03 yang telah banyak menorehkan kenangan manis
yang tak terlupakan;
9. Berbagai pihak yang tidak mungkin penulis sebutkan satu-persatu.
Semoga kebaikan-kebaikan semua pihak mendapatkan imbalan dari Allah
SWT, Amien.
Surakarta, April 2011
commit to user
xi DAFTAR ISI
JUDUL... i
PENGAJUAN ... ii
PERSETUJUAN... iii
PENGESAHAN ... iv
ABSTRAK ... v
ABSTRACT ………. vi
MOTTO ... vii
PERSEMBAHAN ... viii
KATA PENGANTAR ... ix
DAFTAR ISI ... xi
DAFTAR GAMBAR ……… xiv
BAB I PENDAHULUAN ……… 1
A. Latar Belakang Masalah ... 1
B. Perumusan Masalah ... 4
C. Tujuan Penelitian ... 6
D. Manfaat Penelitian ... 6
BAB II LANDASAN TEORETIS DAN KERANGKA BERPIKIR ………. 7
A. Tinjauan Pustaka ... 8
1. Hakikat Strukturalisme Genetik ... 8
a. Pengertian Strukturalisme Genetik ... 8
b. Unsur-unsur Strukturalisme Genetik ……….. 10
2. Hakikat Drama ……….………. 24
a. Pengertian Drama ……… 24
b. Pengertian Naskah Drama ……….. 25
c. Unsur-unsur Drama ……… 26
3. Hakikat Sosiologi Sastra ……….. 32
a. Pengertian Sastra ………... 32
b. Pengertian Sosiologi ……….. 33
commit to user
xii
4. Hakikat Nilai Pendidikan ……… 36
a. Pengertian Pendidikan ………... 36
b. Nilai Pendidikan dalam Drama ………. 37
B. Penelitian yang Relevan ……… 41
C. Kerangka Berpikir ... 43
BAB III METODE PENELITIAN ………. 45
A. Tempat dan Waktu Penelitian ... 45
B. Metode dan Pendekatan ... 45
C. Data dan Sumber Data ... 46
D. Teknik Sampling ... 46
E. Teknik Pengumpulan Data ... 47
F. Teknik Uji Validitas Data ... 47
G. Teknik Analisis Data ... 48
H. Prosedur Penelitian ... 49
BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN ……….. 50
A. Deskripsi Data ... 50
B. Hasil Penelitian ... 51
1. Struktur Naskah Drama Barabah ... 51
a. Plot ... 51
b. Penokohan ... 60
c. Setting ... 85
d. Tema ... 91
e. Dialog ... 93
2. Nilai Pendidikan Naskah Drama Barabah ... 96
a. Nilai Pendidikan Moral ... 95
b. Nilai Pendidikan Agama ……… 97
c. Nilai Pendidikan Budaya ……… 97
d. Nilai Estetika ……….. 98
3. Sosiologi Sastra Naskah Drama Barabah ... 99
a. Sekilas tentang Motinggo Busye ... 99
commit to user
xiii
c. Pembahasan ... 116
BAB V SIMPULAN, IMPLIKASI, DAN SARAN ………. 125
A. Simpulan ... 125
B. Implikasi ... 127
C. Saran ... 128
DAFTAR PUSTAKA
commit to user
xiv
DAFTAR GAMBAR
Gambar 1: Alur Kerangka Berpikir ... 44
commit to user
BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang Masalah
Penelitian yang akan diteliti adalah meneliti sebuah karya sastra, yaitu
naskah drama di mana drama adalah salah satu karya sastra yang menggunakan
dialog sebagai ciri utamanya. Sastra merupakan kegiatan kreatif dan imajinatif.
Rene Wellek dan Austin Warren (1993: 3) berpendapat bahwa sastra adalah suatu
kegiatan kreatif sebuah karya seni. Nyoman Kutha Ratna (2003: 61) berpendapat
bahwa proses kreativitas adalah pernyataan pikiran, perasaan, dan kehendak, yang
ditujukan kepada orang lain. Sastra sebagai kegiatan kreatif jelas tidak akan luput
dari segala aspek yang melingkupinya baik aspek yang berasal dari luar maupun
dari dalam diri pengarang tersebut. Pikiran, perasaan, dan kehendak yang ingin
disampaikan oleh pengarang kepada pembaca pastilah melalui media yang
dipahami semua orang, dalam hal ini bahasa merupakan medium yang
digunakannya.
Karya sastra tidak hanya sekadar hasil dari proses imajinasi seseorang
tanpa ada inspirasi yang melatarbelakanginya. Kehidupan individu maupun sosial
pengarang suatu karya sastra cukup berpengaruh terhadap karya sastra yang
dihasilkannya. Karya sastra di samping memiliki unsur otonom juga tidak bisa
lepas dari unsur ekstrinsik.
Karya sastra adalah struktur tanda yang bermakna. Makna yang tersirat
dalam sebuah karya sastra adalah pemaparan buah pikir, pendapat, dan
pandangannya tentang hidup dan kehidupan. Karya sastra yang berbentuk lakon
dapat menggambarkan peristiwa berdasarkan imajinasi pengarang dengan maksud
dapat memahami jalan ceritanya menurut kemampuan pembaca. Karya sastra
drama menjadi sarana bagi pengarang untuk menyampaikan ide-ide, pikiran, dan
gagasan yang bersumber dari kehidupan masyarakat sekitarnya. Pembaca merasa
terlibat secara langsung dalam jalan cerita. Karya sastra drama juga merupakan
commit to user
penciptaan kembali terhadap suatu peristiwa sesuai dengan karya imajinasi
pengarang sebagai proses kreativitas.
Di tengah masyarakat yang luas dan beraneka ragam kreativitasnya, segala
ide akan mengalir dan selalu hadir dalam penciptaan karya sastra khususnya sastra
drama. Karya-karya sastra lahir dipengaruhi oleh suasana lingkungan hidupnya.
Untuk memperoleh dunia pemikiran yang berbeda dan manghasilkan karya sastra
yang baik, seorang seniman harus mempunyai kemampuan untuk membuat jarak
dengan bahan-bahan yang akan digarapnya.
Menurut Sapardi Djoko Damono di dalam jurnal ilmiah Toddopuli tentang
esainya yang berjudul “Ke Mana Perkembangan Sastra Kita” beliau menuliskan:
Sementara kita suka membicarakan masa depan sastra yang tampaknya semakin suram, sebenarnya diam-diam banyak di antara kita yang mengakui bahwa sastra tetap saja dihasilkan manusia kapan pun, dalam suasana dan keadaan apa pun. Tentu ada beberapa alasan mengapa kita memprihatinkan nasib sastra di masa depan: minat baca yang rendah, tekanan dari berbagai lembaga masyarakat, perhatian dunia terhadap teknologi, sistem pendidikan yang tidak mengacuhkan ilmu kemanusiaan, dan sebagainya. Keadaan semacam itu dianggap tidak bisa membantu tumbuhnya kesusastraan, dan oleh karenanya kita, kadang-kadang dengan semangat berlebihan, sering mengajukan usul untuk meningkatkan minat baca masyarakat, melonggarkan tekanan dan memberikan kebebasan menulis bagi sastrawan, memberikan ruang gerak tidak hanya bagi perkembangan teknologi tetapi juga kesenian, memberikan porsi yang lebih besar kepada pendidikan kesenian di sekolah, dan sebagainya.
Kita pun tahu bahwa karya sastra penting bisa lahir di mana pun dalam kondisi sosial politik macam apa pun. Dr. Zhivago ditulis oleh Boris Pasternak di masa rezim Komunis yang konon sangat represif masih berkuasa di Rusia; The Old Man and the Sea ditulis oleh Ernest Hemingway dalam masyarakat yang konon berpandangan liberal; Gitanjali ditulis oleh Rabindranath Tagore di negeri yang masih dalam cengkeraman penjajah; drama-drama Wole Soyinka ditulis di dunia ketiga yang penuh gejolak politik dan sosial, Nigeria.
Drama atau yang ada di dalam masyarakat juga disebut teater, akhir-akhir
ini sedang dalam puncak kemerosotan, sampai pada tingkat inferioritas yang
benar-benar mengenaskan. Teater di Indonesia, entah dengan kata sifat atau
commit to user
mengenaskan. Jika tidak musnah, ia terpinggirkan secara ekstrim atau tampil
hampir tanpa etos dan vitalitas kreatif sama sekali (Herman J. Waluyo, 2002:32).
Seorang pengarang atau pencipta karya sastra merupakan seorang individu
yang juga tidak lepas dari suatu sistem masyarakat yang dianutnya. Pemahaman
karya sastra tidak bisa mengesampingkan bagaimana atau apa yang menjadi dasar
bagi pengarang untuk melakukan proses kreativitas tersebut, sehingga dapat
tercipta suatu karya sastra.
Karya sastra merupakan media dokumentasi yang merangkum
gejala-gejala yang terjadi dalam kehidupan masyarakat atau latar belakang sosial budaya
dengan analisis dalam kehidupan masyarakat, cara hidup, komunikasi dalam
kelompok-kelompok, perbedaan status personal, sopan santun, adat istiadat,
konvensi lokal, hubungan kekerabatan dalam masyarakat dan sampai pada item
terkecil (Herman J. Waluyo, 1997:62). Karya sastra adalah dokumen sosial, yang
di dalamnya dikisahkan manusia dengan berbagai problem (Herman J. Waluyo
1997:58). Dokumentasi merupakan rekaman suatu kejadian, dalam suatu kondisi
sosial tertentu. Kondisi sosial yang pernah dialami pengarang baik secara
langsung maupun tidak langsung akan turut terangkum dalam karya sastra.
Membaca karya sastra dapat mengkaji hal-hal seperti: sosiologi, psikologi, adat
istiadat, moral, budi pekerti, agama, tuntunan masyarakat, dan tingkah laku
manusia di suatu masa. Banyak pengetahuan yang dapat diperoleh melalui karya
sastra.
Karya sastra drama memiliki dan menggunakan media dokumentasi yang
sangat beragam. Di dalam sebuah drama, dapat ditemukan gejala-gejala yang
terjadi dalam kehidupan masyarakat atau latar belakang sosial budaya dengan
analisis dalam kehidupan masyarakat, cara hidup, komunikasi dalam
kelompok-kelompok, perbedaan status personal, sopan santun, adat istiadat, konvensi lokal,
hubungan kekerabatan dalam masyarakat dan bahkan sampai pada item terkecil
sekalipun.
Perkembangan karya sastra seiring dengan perkembangan peradaban dan
kebudayaan dengan berbagai perubahan yang terjadi di dalam masyarakat.
commit to user
hal ini, karya sastra dapat dijadikan sebagai gambaran perkembangan peradaban
manusia dengan segala kondisi yang menyertainya.
Pemaknaan teks sastra yang mengabaikan pengarang sebagai pemberi dan
pencipta makna akan berbahaya karena penafsiran tersebut akan mengorbankan
ciri khas, kepribadian, cita-cita, dan juga norma-norma yang dipegang teguh oleh
pengarang tersebut dalam kultur sosial tertentu. Pencapaian pemahaman karya
sastra yang utuh juga akan sulit dicapai tanpa memahami unsur di luar karya
sastra khususnya unsur yang turut memanifestasi lahirnya karya sastra. Dalam hal
ini, keberadaan pengarang atau pencipta karya sastra tidak mungkin
dikesampingkan.
Struktur luar atau unsur-unsur ekstrinsik dianggap sebagai bagian dari
keseluruhan struktur yang membangun sebuah karya sastra. Unsur-unsur tersebut
meliputi bidang-bidang yang sangat luas dan beragam, menyangkut hampir segala
aspek kehidupan yang diyakini berpengaruh terhadap keberadaan sebuah karya
sastra. Pemahaman terhadap unsur-unsur ekstrinsik ini akan membantu
pemahaman makna karya sastra yang bersangkutan. Unsur ekstrinsik ini antara
lain biografi pengarang, aspek psikologi, aspek sosiologi, dan aspek filsafat yang
dipengaruhi keberadaan sebuah karya sastra dalam hal ini drama.
Drama sebagai salah satu genre sastra, akhir-akhir ini kurang diminati
telaahnya oleh para kritikus maupun pengkaji sastra. Hal ini terlihat dalam
beberapa media publikasi sebagian besar memuat kajian sastra, terutama sastra
genre novel dan cerpen. Memang tidak dapat disangkal bahwa kebanyakan
pengkajian drama berbentuk penyajian pementasan, hal tersebut memang wajar
apabila mengingat bahwa muara akhir dari penciptaan drama adalah sebuah
pementasan. Namun perlu diperhatikan bahwa permulaan dari penyajian drama
adalah telaah naskah drama sebagai sesuatu yang bersifat tekstual walaupun
dalam bentuk dialog atau percakapan tertulis.
Telaah naskah drama sebagai teks sangat diperlukan sebelum mengolah
lebih jauh lagi menjadi sebuah pementasan. Seorang penulis khususnya naskah
drama telah memasukkan semua yang ingin disampaikan kepada pembaca melalui
commit to user
disampaikan, dan sebagainya. Tidak dapat dielakkan bahwa suatu karya sastra
yang telah terjun ke masyarakat pembaca adalah sesuatu yang bebas, dalam arti
semua pemaknaan maupun penafsiran diserahkan sepenuhnya kepada pembaca.
Di satu pihak, sastra sebagai sesuatu yang otonom, tetapi di pihak yang lain perlu
untuk mencoba menelaah sastra melalui pengarang karya sastra tersebut selaku
pencipta karya itu. Oleh karena itu, penafsiran pembaca karya tersebut tidak akan
terlalu jauh dari apa yang diharapkan oleh pengarang.
B.
Perumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang yang telah diuraikan sebelumnya, maka dapat
dirumuskan masalah penelitian sebagai berikut :
1. Bagaimanakah struktur naskah drama Barabah karya Motinggo Busye?
2. Bagaimanakah sosiologi sastra yang terdapat dalam naskah drama
Barabah karya Motinggo Busye?
3. Nilai pendidikan apa saja yang terdapat dalam naskah drama Barabah
karya Motinggo Busye?
C.
Tujuan Penelitian
Penelitian ini bertujuan untuk:
1. Mendeskripsikan struktur naskah drama Barabah karya Motinggo Busye
2. Mendeskripsikan sosiologi sastra yang terdapat dalam naskah drama
Barabah karya Motinggo Busye
3. Mendeskripsikan nilai pendidikan yang terdapat dalam naskah drama
Barabah karya Motinggo Busye
D.
Manfaat Penelitian
1. Manfaat Teoretis
a. Memberi sumbangan bagi penelitian sastra khususnya dalam
commit to user
b. Menambah wawasan tentang pengkajian sosiologi sastra dan nilai
pendidikan khususnya naskah drama yang nantinya dapat diterapkan
atau menjadi referensi untuk meneliti dan mengkaji naskah drama
yang lain.
c. Hasil penelitian ini dapat bermanfaat bagi perkembangan dan
penerapan ranah ilmu sastra serta studi tentang karya sastra.
2. Manfaat Praktis
a. Membantu pembaca atau penikmat sastra dalam menginterpretasikan
naskah drama Barabah karya Motinggo Busye sehingga pemaknaan
terhadap karya sastra akan lebih terarah.
b. Menambah perbendaharaan tentang kajian terhadap naskah drama
terutama pengkajian nilai sosiologi sastra dan nilai pendidikan yang
commit to user
BAB II
LANDASAN TEORETIS DAN KERANGKA
BERPIKIR
Menurut jurnal ilmiah internasional Panggung dengan karya ilmiah di
dalamnya yang berjudul “Kekerasan dalam Cerpen-cerpen Koran Pilihan
Kompas 1992-1999” oleh Harris Effendi Thahar disebutkan bahwa sesuai dengan
fokus dan tujuan penelitian, maka pendekatan sastra dilihat dari dokumen sosio
budaya dan pendekatan struktural genetik adalah dua hal yang menjadi satu. Hal
itu disebabkan karena kedua pendekatan itu saling tumpang tindih, dengan kata
lain, karya sastra sebagai dokumen sosio budaya akan dilihat dari dua sisi, yakni
sisi intrinsik dan ekstrinsik. Sapardi Djoko Damono (1978) menyimpulkan bahwa
ada dua macam kecenderungan telaah sastra secara sosiologis atau yang disebut
sebagai pendekatan sosiologi sastra. Pertama, pendekatan yang berdasarkan pada
anggapan bahwa karya sastra merupakan cerminan proses sosial-ekonomis belaka.
Jadi pendekatan teks dianggap tidak utama yang cuma merupakan gejala kedua
(ephiphenomenon). Kedua, pendekatan yang mengutamakan pendekatan teks
sastra sebagai bahan penelaahan. Metode yang digunakan dalam pendekatan
sosiologi sastra model ini adalah analisis teks untuk mengetahui strukturnya,
kemudian digunakan untuk memahami lebih dalam lagi gejala yang ada di luar
karya sastra tersebut.
Pendekatan kedua model tersebut di atas sejalan dengan pendekatan
struktural genetik. Oleh karena itu, dalam proses analisis sosial budaya karya
sastra drama Barabah karya Motinggo Busye, akan digunakan pendekatan ini
yaitu melalui pendekatan strukturalisme genetik untuk mengetahui sosial budaya
naskah drama yang nantinya dijadikan sebagai acuan untuk menganalisis sosiologi
sastra. Peneliti melakukan telaah struktur sosial yang terdapat dalam naskah untuk
dapat memudahkan menganalisis sosiologi sastra sehingga peneliti mendapatkan
acuan untuk mendeskripsikan sosiologi sastra naskah drama Barabah karya
Motinggo Busye.
commit to user
A.
Tinjauan Pustaka
1.
Hakikat Strukturalisme Genetik
a.
Pengertian Strukturalisme Genetik
Strukturalisme genetik dapat dikatakan bagian dari sosiologi sastra, sebab
dalam pendekatan strukturalisme genetik ini dikaji pula suatu struktur masyarakat
yang turut memanifestasi lahirnya suatu karya sastra. Sosiologi sastra yang
dikembangkan oleh Lucien Goldmann mencoba untuk menyatukan analisis
struktural dengan materialisme historis dan dialektik (Sapardi Djoko Damono,
1979:43). Pernyataan di atas jelas bahwa strukturalisme genetik tetap
mempertahankan suatu struktur karya sastra, yang sebelumnya merupakan tradisi
kaum strukturalisme. Namun tetap mengkaji historis yang terkandung pada kata
“genetik”.
Peletak dasar strukturalisme genetik adalah Taine, dan kemudian muncul
tokoh dari Perancis yang bernama Lucien Goldmann. Strukturalisme genetik
(genetic structuralism) adalah cabang penelitian sastra yang tak murni dan
merupakan bentuk penggabungan antara struktural dengan metode penelitian
sebelumnya (Suwardi Endraswara, 2003: 55). Dalam penelitian ini, hal-hal yang
disuguhkan tidak hanya struktur otonom dalam karya sastra, tetapi lebih
menekankan asal-usul karya sastra.
Strukturalisme genetik mempunyai latar belakang yang sama dengan
lahirnya strukturalisme dinamik yaitu lahir sebagai reaksi terhadap stagnasi yang
terjadi pada analisis terhadap karya sastra oleh kaum strukturalis. Strukturalisme
genetik berkembang atas dasar perbaikan terhadap analisis strukturalisme murni,
analisis terhadap unsur-unsur intrinsik dan juga menolak peranan bahasa sastra
sebagai bahasa yang khas (Nyoman Kutha Ratna, 2006: 121). Strukturalisme
genetik melibatkan struktur sosial dalam analisisnya.
Strukturalisme genetik yang dikembangkan oleh Goldmann, merupakan
salah satu teori Marxis yang dikaitkan dengan nilai-nilai struktur (Nyoman Kutha
Ratna, 2005: 165). Dalam menganalisis karya sastra, strukturalisme genetik tetap
commit to user
tetap berpandangan bahwa pemahaman atau pengkajian terhadap karya sastra
tidak dapat lepas dari pengkajian strukturnya. Berbeda dengan aliran Marxis yang
tidak dapat menerima keberadaan struktur dalam karya sastra, namun dia tetap
menganut aliran Marxis sebab dia juga berpandangan bahwa sastra juga
mencerminkan masyarakat, sehingga dia termasuk para-Marxis. Selain itu
Goldmann dalam analisisnya juga menggunakan metode dialektika dengan
memperbarui konsep dari Hegel, oleh sebab itulah dia juga disebut neo-Hegelian.
Terry Eagleton mengatakan bahwa Goldmann memilih istilah
strukturalisme genetik, karena Goldmann lebih tertarik pada struktur kategori
yang ada dalam suatu dunia visi, dan kurang tertarik pada isinya, memilih genetik
karena ia sangat tertarik untuk memahami bagaimana struktur mental tersebut
diproduksi secara historis (2002: 58-59). Pernyataan Terry Eagleton terlihat
bahwa penekanan dalam analisis strukturalisme genetik dari Goldmann lebih
menekankan pada suatu visi yang membawa pengarang pada suatu karya yang
diciptakannya. Namun, visi tersebut tidak semata-mata dikupas dari karya itu
secara otonom, tetapi juga melibatkan pengkajian unsur genetik karya sastra
tersebut.
Goldmann dalam rangka memberikan keseimbangan antara unsur yang
ada dalam karya sastra dengan ketergantungannya terhadap unsur di luar sastra
yaitu masyarakat, tidak secara langsung menghubungkan antara karya dengan
struktur sosial melainkan mengaitkannya terlebih dahulu dengan kelas sosial yang
dominan (Nyoman Kutha Ratna, 2006: 122). Hubungan antara karya dengan
struktur sosial yang ditawarkan Goldmann dalam strukturalisme genetiknya bukan
hubungan secara langsung, tetapi dimediasi oleh pandangan dunia pengarang dari
suatu kelas sosial.
Goldmann berpandangan bahwa karya sastra merupakan sebuah struktur,
akan tetapi struktur itu bukanlah sesuatu yang statis, melainkan merupakan produk
dari proses sejarah yang terus berlangsung, proses strukturasi dan destrukturasi
yang hidup dan dihayati oleh masyarakat asal karya sastra yang bersangkutan
(Faruk, 1994: 12). Berangkat dari teori itulah Goldmann kemudian memunculkan
commit to user
tersebut. Kategori-kategori itu adalah fakta kemanusiaan, subjek kolektif atau
subjek transindividual (intersubjektif), pandangan dunia, pemahaman dan
penjelasan. Kategori-kategori itulah yang nantinya dijadikan dasar dalam
menganalisis sebuah karya sastra dalam kaca mata strukturalisme genetik.
b.
Unsur
-
unsur
Strukturalisme
Genetik
1) Fakta Kemanusiaan
Goldmann, menganggap bahwa fakta kemanusiaan merupakan struktur
yang bermakna, semua aktivitas manusia merupakan respon dari subjek kolektif
atau individu dalam situasi tertentu yang merupakan kreasi untuk memodifikasi
situasi yang ada agar cocok dengan inspirasinya, dalam hal ini pengarang
(Suwardi Endraswara, 2003: 55). Faruk juga mengemukakan hal yang senada
dengan Goldmann bahwa fakta kemanusiaan adalah segala aktivitas atau perilaku
manusia baik yang verbal maupun fisik, yang berusaha dipahami oleh ilmu
pengetahuan (1994 : 12). Fakta yang dimaksud oleh Faruk di atas dapat berwujud
aktivitas sosial tertentu, aktivitas politik tertentu, maupun bentuk-bentuk kreasi
kultural seperti seni musik, seni patung, seni filsafat, seni rupa, dan seni sastra.
Menurut Piaget, manusia dan lingkungan sekitarnya selalu berada dalam
proses strukturasi timbal-balik yang saling bertentangan tetapi yang sekaligus
saling isi-mengisi (Faruk, 1994 : 13). Proses yang dimaksud di atas adalah proses
asimilasi dan akomodasi. Manusia memang mempunyai sisi dimana dia selalu
berusaha untuk mengasimilasikan lingkungan sekitarnya ke dalam skema pikiran
dan tindakannya. Namun, di tengah perkembangannya, manusia juga akan
menghadapi kendala-kendala yang menghambat atau dipengaruhi proses
asimilasi, sehingga pada akhirnya ia tidak lagi berusaha melakukan asimilasi
terhadap lingkungannya melainkan mengakomodasikan dirinya pada struktur
lingkungan tersebut. Drama sebagai karya dari manusia tidak akan lepas dari
manifestasi fakta-fakta yang terjadi di sekitar pengarang.
2) Subjek Kolektif atau Subjek Transindividual
Subjek dari fakta kemanusiaan dapat dibedakan menjadi dua macam, yaitu
subjek individual dan subjek kolektif. Subjek individual merupakan subjek fakta
commit to user
(historis), seperti revolusi sosial, politik, ekonomi, dan karya-karya kultural yang
besar merupakan fakta sosial (historis) (Faruk, 1994 : 14-15). Fakta-fakta sosial
seperti di atas tidak dapat dilakukan atau diciptakan hanya oleh individu dengan
dorongan libidonya. Goldmann berpendapat “yang dapat menciptakan fakta-fakta
sosial (historis) hanya subjek transindividual, subjek transindividual adalah subjek
yang mengatasi individu, yang di dalamnya individu hanya merupakan bagian”
(Faruk, 1994 :15). Jadi jelas bahwa subjek kolektif merupakan subjek yang telah
mampu mengatasi dirinya dan mampu membawa unsur-unsur sosial dalam dirinya
sehingga individu di dalamnya hanya merupakan bagian.
Lebih lanjut Goldmann berpendapat bahwa transindividual menampilkan
pikiran-pikiran individu tetapi dengan struktur mental kelompok dan dunia
transindividual adalah dunia yang dihuni bersama-sama dengan individu yang lain
(Nyoman Kutha Ratna, 2006: 125). Subjek yang demikian itulah yang akan
menjadi subjek dalam karya-karya sastra besar. Subjek kolektif itu dapat berupa
kelompok kekerabatan, kelompok sekerja, kelompok teritorial, dan sebagainya.
Nyoman Kutha Ratna juga berpendapat bahwa dalam strukturalisme genetik
subjek transindividual merupakan energi untuk membangun pandangan dunia
(2006: 125). Jadi pandangan dunia tersebut nantinya akan lahir dari suatu subjek
kolektif atau transindividual bukan dari subjek individual (libidial) .
3) Pandangan Dunia
Nyoman Kutha Ratna mengatakan bahwa pandangan dunia merupakan
masalah pokok dalam strukturalisme genetik (2006: 125). Pandangan dunia ini
diartikan suatu struktur global yang bermakna, suatu pemahaman total terhadap
dunia yang mencoba menangkap maknanya dengan segala kerumitan dan
keutuhannya (Sapardi Djoko Damono, 1979: 44). Pemahaman seorang pengarang
terhadap dunia akan tercermin dalam karyanya sebagai kesadaran kolektif.
Pandangan dunia, bagi Goldmann, bukanlah merupakan fakta empiris
yang langsung, tetapi lebih merupakan struktur gagasan, aspirasi, dan perasaan
yang dapat menyatukan suatu kelompok sosial di hadapan suatu kelompok sosial
yang lain (Sapardi Djoko Damono, 1979: 44). Menurut visi sosiologi sastra, karya
commit to user
amanat, dan keseluruhan referensi kultural yang terkandung dalam karya seni
sastra, yang secara ringkas dalam analisis strukturalisme genetik disebut sebagai
pandangan dunia (Nyoman Kutha Ratna, 2003: 196). Jadi apabila dikaitkan
dengan teori yang lain pandangan dunia inilah yang membedakan antara teori
strukturalisme genetik dengan teori-teori yang lain dalam wilayah kajian sastra.
Menurut Goldmann:
“pandangan dunia merupakan istilah yang cocok bagi kompleks menyeluruh dari gagasan-gagasan, aspirasi-aspirasi, dan perasaan-perasaan, yang menghubungkan secara bersama-sama anggota-anggota suatu kelompok sosial tertentu dan yang mempertentangkannya dengan kelompok-kelompok sosial yang lain” (Faruk, 1988: 74).
Faruk, dalam hubungannya dengan pandangan dunia berpendapat bahwa
pandangan dunia tidak lepas dari proses strukturasi, yaitu konsep aktivitas
ketegorial dari pikiran atau perasaan suatu subjek tertentu (1988: 74). Menurut
Goldmann (Suwardi Endraswara, 2003:57), karya sastra sebagai struktur
bermakna itu akan mewakili pandangan dunia (vision du monde) penulis, tidak
sebagai individu melainkan sebagai anggota masyarakatnya. Senada dengan
Suwardi Endraswara, Terry Eagleton juga mengatakan “Goldmann berusaha
mengulas struktur sebuah teks sastra dengan tujuan mengetahui sampai sejauh
mana teks itu mewujudkan struktur pemikiran (atau “visi dunia”, world vision)
dari kelompok atau kelas sosial dari mana pengarang berasal” (2002: 57).
Goldmann juga menjelaskan bahwa pandangan dunia sebagai ekspresi
psikis melalui hubungan dialektis kolektivitas tertentu dengan lingkungan sosial
dan fisik serta terjadi dalam periode bersejarah yang panjang (Nyoman Kutha
Ratna, 2006: 126). Berangkat dari pendapat Goldmann, Nyoman Kutha Ratna
juga berpendapat bahwa konsep-konsep yang mendasari pendangan dunia harus
digali melalui dan di dalam kesadaran kelompok yang bersangkutan dengan
melibatkan indikator sistem kepercayaan, sejarah intelektual, dan sejarah
kebudayaan secara keseluruhan (2006: 126). Jadi pengkajian terhadap pandangan
dunia yang mendasari lahirnya suatu karya harus dipahami melalui kesadaran
commit to user
Nyoman Kutha Ratna mengatakan bahwa kreativitas seni bukan hanya
manifestasi medium dengan struktur formalnya, melainkan juga isi, ide, amanat,
dan sejumlah pesan yang lain, sesuai dengan pandangan dunianya masing-masing
(2003: 75). Pendapat tersebut jelas memperlihatkan bahwa kreativitas seni tidak
hanya dimediasi oleh struktur formal dari karya sastra tersebut namun juga suatu
pandangan dunia, isi, ide, amanat, dan sejumlah pesan lainnya, yang dapat
dikatakan turut memberi ruh dalam karya sastra tersebut.
Melalui analisis pandangan dunia strukturalisme genetik dianggap mampu
memberikan pemahaman yang berbeda sebagaimana kelas-kelas sosial berperan
dalam menampilkan sebuah karya sastra (Nyoman Kutha Ratna, 2005: 164).
Dalam sebuah karya sastra akan tercermin suatu kelas-kelas sosial yang akan
menjadi energi atau ruh dari karya sastra tersebut.
Goldmann percaya bahwa ada homologi antara struktur karya sastra
dengan struktur masyarakat sebab keduanya merupakan produk dari aktivitas
strukturasi yang sama (Faruk,1994 : 15). Namun hubungan tersebut tidak sebagai
hubungan determinasi langsung namun dimediasi oleh apa yang disebut sebagai
pandangan dunia atau ideologi.
Berdasar pada pendapat di atas dapat disimpulkan bahwa strukturalisme
genetik merupakan penelitian sastra yang menghubungkan antara struktur karya
sastra dengan struktur masyarakat melalui pandangan dunia atau ideologi yang
diekspresikan oleh pengarang karya sastra itu. Lebih lanjut lagi pendekatan ini
mempunyai pandangan bahwa pemahaman terhadap suatu karya sastra tidak akan
dapat utuh apabila totalitas kehidupan masyarakat yang telah melahirkan teks
sastra diabaikan begitu saja.
Goldmann juga berpendapat bahwa pandangan dunia selalu terbayang
dalam karya sastra yang agung, adalah abstraksi (bukan fakta empiris yang
memiliki eksistensi objektif), abstraksi itu akan tercapai bentuknya yang konkret
dalam karya sastra (Suwardi Endraswara, 2003: 57). Dalam karya sastra akan
terkandung bagaimana pandangan dunia pengarang, walaupun tidak selalu dalam
commit to user
Salah satu pandangan dunia yaitu humanisme. Humanisme itu sendiri dari
kata dasar human yang berarti manusia. Manusia mendapat posisi sentral, dengan
kata lain segala permasalahan yang muncul akan dirujuk pada manusia itu sendiri
sebagai penentu suatu nilai. Humanisme berpandangan bahwa individu sebagai
sumber terakhir suatu nilai dalam kehidupan. Makna humanisme dalam kamus
filsafat yang berarti menganggap individu rasional sebagai nilai paling tinggi;
menganggap individu sebagai sumber nilai terakhir (Lorens Bagus, 2005: 225).
Makna tersebut menerangkan bahwa humanisme itu sendiri merupakan sesuatu
pola pikir, yang menempatkan manusia sebagai sumber nilai paling tinggi dan
terakhir. Ketika suatu masalah dihadapkan pada sisi humanisme, berarti masalah
tersebut akan berhadapan dengan sisi-sisi dari manusia itu sendiri yang
merupakan sumber nilai terakhir.
Humanisme menjadi salah satu pilihan dalam memandang suatu persoalan
yang muncul di sekitar kehidupan manusia itu sendiri. Manusia mendapatkan
tempat posisi sebagai penentu suatu nilai-nilai yang lahir di dalam masyarakatnya.
Hubungannya dengan karya sastra, humanisme sering mendasari kelahiran suatu
karya. Kesenjangan-kesenjangan yang terjadi dalam masyarakat khususnya yang
berkaitan dengan sisi-sisi kemanusiaan, sering menjadi pemicu lahirnya suatu
karya sastra, yang terkandung dalam pandangan dunia pengarang sebagai pencipta
karya sastra.
4) Struktur Naskah
Goldmann berpendapat, pertama bahwa karya sastra merupakan ekspresi
pandangan dunia secara imajiner, kedua bahwa dalam usahanya mengekspresikan
pandangan dunianya itu pengarang menciptakan semesta tokoh-tokoh,
objek-objek, dan relasi-relasi secara imajiner (Faruk, 1994: 17). Pendapat tersebut jelas
terlihat bahwa karya sastra sebagai produk suatu kreativitas dia tidak bisa lepas
dari suatu struktur yang mewadahi kreativitas dan imajinasi serta pandangan
dunianya.
Faruk mengatakan bahwa karya sastra merupakan produk strukturasi dari
subjek kolektif, sehingga karya sastra mempunyai sturktur yang koheren dan padu
commit to user
oleh pengarang dalam karya tersebut dengan dimunculkannya tokoh-tokoh dan
objek di sekitarnya yang turut memperkuat karya sastra tersebut. Objek-objek
yang lahir tersebut akan sesuai dengan konvensi unsur-unsur intrinsik yang pada
dasarnya sudah dipahami atau dikuasai oleh pengarang. Unsur-unsur intrinsik
tersebut seperti alur, latar atau setting, pesan, tema, amanat dan sebagainya sesuai
dengan genre karya sastranya.
Faruk menyimpulkan bahwa Goldmann mempunyai konsep struktur
tematik, dengan pusat perhatiannya adalah relasi antara tokoh dengan tokoh dan
tokoh dengan objek yang ada di sekitarnya (1994: 17). Struktur tematik mencoba
menempatkan tokoh sebagai sentral pemahaman terhadap suatu struktur dalam
karya sastra. Pendapat tersebut dapat ditangkap bahwa setiap unsur yang ada
dalam suatu struktur karya sastra mempunyai hubungan antara yang satu dengan
yang lain. Pemilihan tokoh sebagai sentral tersebut dapat berterima mengingat
penciptaan suatu tokoh dalam karya sastra pastilah akan diiringi lahirnya tokoh
maupun objek lain untuk memperkuat tokoh tersebut.
Penciptaan sebuah karya sastra pastilah akan diikuti dengan lahirnya suatu
struktur. Suatu struktur yang diciptakan oleh pengarang tidak lepas dari
kemampuan pengarang dalam mentransformasikan apa yang terjadi dalam
kehidupan nyata, khususnya yang dialami oleh pengarang, sehingga dapat
memanifestasi munculnya imajinasi dan kreativitas. Oleh karena itu, suatu
struktur yang ada dalam karya sastra dapat dikaji homologinya dengan struktur
sosial yang turut memanifestasi lahirnya suatu karya. Struktur yang tercipta dalam
karya sastra jelas tidak akan lepas dari suatu struktur sosial yang dianut atau
dipahami pengarang.
Struktur naskah itu sendiri akan sangat berpengaruh pada penceritaan yang
dimunculkan. Pada akhirnya akan menentukan bagaimana kondisi strukturnya
dalam mendukung penceritaan. Pengukuran kadar baik buruknya atau kuat dan
lemahnya suatu struktur naskah akan terlihat dari unsur-unsur yang mendukung di
dalamnya. Menurut Aristoteles ada empat hal yang berpengaruh terhadap kualitas
suatu struktur penceritaan yaitu keteraturan atau susunan plot yang masuk akal,
commit to user
122). Empat hal tersebut dapat dijadikan parameter untuk menentukan kualitas
dari suatu struktur naratif.
Mengenai struktur teks atau karya akan dibahas lebih lengkap dalam
pembahasan mengenai drama. Drama sendiri mempunyai suatu konvensi
sastranya sendiri yang berbeda dengan konvensi sastra genre yang lain.
Unsur-unsur yang terkandung dalam struktur drama seperti tema, plot, amanat, dan
sebagainya akan dibahas pada bagian selajutnya.
5) Struktur Sosial
Seperti halnya masyarakat, karya sastra adalah suatu totalitas, setiap karya
sastra adalah suatu keutuhan yang hidup, yang dapat dipahami lewat anasirnya
(Sapardi Djoko Damono, 1979: 43). Pendapat tersebut mengisyaratkan suatu
telaah sastra dengan melibatkan unsur-unsur yang turut membentuk atau
melahirkan kasya sastra. Telaah terhadap struktur sosial dimana karya itu lahir,
sangat diperlukan untuk lebih memahami karya sastra tersebut.
Soleman B. Taneko berpendapat bahwa struktur sosial adalah jalinan antar
unsur-unsur sosial yang pokok, yaitu kaidah-kaidah atau norma-norma sosial,
lembaga-lembaga sosial, kelompok-kelompok sosial serta lapisan-lapisan sosial
(1993: 47). Senada dengan Soleman B. Taneko, Soerjono Soekanto juga
berpendapat bahwa struktur sosial diartikan sebagai hubungan timbal balik antara
posisi-posisi sosial dan antara peranan-peranan (1984: 112). Pendapat di atas
menjelaskan bahwa struktur sosial mencakup atau terdiri dari unsur-unsur sosial
yang saling berkaitan atau berhubungan satu dengan yang lainnya. Hubungan
tersebut terjadi dalam suatu kurun waktu tertentu.
Radcliffe-Brown (Soerjono Soekanto, 1984: 110) menyatakan bahwa,
struktur sosial merupakan kenyataan empiris yang ada pada suatu saat tertentu,
sedangkan bentuk struktural merupakan suatu abstraksi dari kenyataan yang
dilakukan oleh peneliti dan menyangkut jangka waktu tertentu. Struktur yang
biasanya diangkat oleh peneliti terhadap suatu struktur sosial suatu masyarakat
merupakan suatu struktur pada suatu kurun waktu tertentu. Radcliffe-Brown
berpendapat suatu struktur sosial merupakan aspek non-prosesual dari sistem
commit to user
juga menegaskan bahwa struktur sosial mencakup semua hubungan sosial antar
individu-individu pada saat tertentu (Soerjono Soekanto, 1984: 109).
Mengenai unsur-unsur struktur sosial yang ada dalam suatu masyarakat,
Soleman B Taneko berpendapat ada empat unsur yaitu: a) kelompok-kelompok
sosial; b) lembaga-lembaga sosial atau institusi sosial; c) kaidah-kaidah atau
norma-norma sosial; d) lapisan-lapisan sosial atau stratifikasi sosial (1993: 47).
a) Kelompok-kelompok Sosial
Kelompok sosial merupakan perwujudan dari pergaulan hidup atau
kehidupan bersama (Soleman B. Taneko, 1993: 49). Terbentuknya suatu
kelompok-kelompok sosial bermula dari pergaulan yang terjadi antar individu
pada suatu waktu dan tempat tertentu. Soerjono Soekanto berpendapat bahwa
suatu kumpulan manusia dapat disebut sebagai kelompok sosial, apabila
memenuhi persyaratan tertentu, antara lain:
1) Setiap anggota kelompok tersebut harus sadar bahwa ia merupakan sebagian
dari kelompok yang bersangkutan.
2) Ada hubungan timbal balik antara anggota yang satu dengan yang lainnya
dalam kelompok itu.
3) Ada suatu faktor yang dimiliki bersama oleh anggota-anggota kelompok itu,
sehingga hubungan antara mereka bertambah erat.
4) Berstruktur, berkaidah dan mempunyai pola perilaku.
Persyaratan di atas, jadi jelas bahwa tidak semua kumpulan manusia
merupakan kelompok sosial. Hanya kumpulan-kumpulan manusia yang
memenuhi persyaratan di ataslah yang dapat disebut kelompok sosial. Adapun
bentuk-bentuk kelompok sosial yaitu keluarga, organisasi di berbagai lapangan
kehidupan (ekonomi, politik, kesenian, keagamaan) dan masyarakat-masyarakat
setempat (ketetanggaan, desa, kota dan sebagainya) (Soleman B. Taneko, 1993:
51-52). Menurut Freedmann (Soleman B. Taneko, 1993: 52), terdapat lima fila
dan sub tipe kelompok, yaitu: (1) primary groups; (2) communities; (3)
associations; (4) society; (5) ephemeral groups.
Konsepsi tentang primary group diletakkan oleh Charles H. Cooley
commit to user
ditandai oleh faktor saling kenal-mengenal (yang cukup mendalam) dan bergaul
dalam keadaan intim (sekali). Dalam hal ini Cooley mencontohkan “family, the
play groups of the children, neighborhood or community”. Berbeda dengan
Cooley, Roucek and Wareen berpandangan bahwa “barangkali keluargalah yang
penting dalam aspek ini” (Soleman B. Taneko, 1993: 54). Secara sederhana
primary group ini kita sederajatkan atau samakan dengan keluarga.
Mengenai association atau assosiasi, Soleman B. Taneko mengatakan
bahwa assosiasi merupakan badan organisatoris yang khusus diadakan oleh
manusia dalam usaha untuk memenuhi kebutuhan hidupnya (1993: 55). Pendapat
tersebut mengungkapkan bahwa assosiasi ini dapat muncul dalam berbagai
lapangan kehidupan manusia, dalam usaha untuk mencapai tingkat kehidupan
yang lebih baik. Assosiasi ini lebih cenderung pada formal group atau formal
sifatnya karena mempunyai sasaran yang tegas dan susunan yang resmi (Soleman
B. Taneko, 1993: 57). Pada akhirnya semua individu yang ada di dalamnya
tersatukan oleh kesamaan sasaran yang terwadahi oleh susunan yang rapi.
Community atau komunitas merupakan suatu kelompok yang dapat
dinyatakan sebagai “masyarakat setempat”, suatu kelompok yang bertempat
tinggal dalam suatu wilayah tertentu dengan batas-batas tertentu pula, di mana
kelompok itu dapat memenuhi kebutuhan hidup dan dilingkupi oleh perasaan
kelompok serta interaksi yang lebih besar di antara para anggotanya (Soleman B.
Taneko, 1993: 59-60). Mengenai besar kecilnya suatu komunitas akan ditentukan
atas dasar wilayah maupun atas dasar kuantitas anggotanya. Koentjaraningrat
memberikan suatu kriteria tentang suatu komunitas kecil, yaitu: (1) komunitas
kecil adalah kelompok-kelompok di mana warga-warganya masih saling
kenal-mengenal dan saling bergaul dalam frekuensi kurang atau berlebihan; (2) karena
sifatnya kecil itu juga, maka di antara bagian-bagian dan kelompok-kelompok
khusus di dalamnya tidak ada aneka warna yang besar; (3) komunitas kecil adalah
pola kelompok di mana manusia dapat menghayati sebagian besar dari lapangan
kehidupan secara bulat (Soleman B. Taneko, 1993: 60-61). Kriteria tersebut juga
dapat diaplikasikan untuk acuan pada kelompok yang besar karena berlaku pula
commit to user
b) Norma-norma Sosial
Norma-norma sosial yang ada dalam masyarakat tumbuh di dalam sistem
kebudayaan yang dianut oleh masyarakat tersebut. Norma-norma sosial
merupakan wujud konkret dari nilai-nilai atau boleh jadi merupakan pedoman
yang mana berisikan suatu keharusan, kebolehan, dan suatu larangan (Soleman B.
Taneko, 1993: 66). Lebih lanjut dikatakan bahwa norma-norma itu dapat dianggap
sebagai suatu konsep yang menyangkut semua keteraturan sosial yang
berhubungan dengan evaluasi dari objek-objek, individu-individu,
tindakan-tindakan dan gagasan-gagasan. Durkheim juga menyatakan bahwa norma-norma
sosial itu adalah sesuatu yang berada di luar individu, membatasi dan
mengendalikan tingkah laku mereka (Soleman B. Taneko, 1993: 67). Keberadaan
sebuah norma akan mendesak individu yang ada dalam suatu sistem tersebut
untuk menjalankan norma-norma yang sudah dibuat. Pada akhirnya norma-norma
tersebut akan dijadikan patokan terhadap perilaku-perilaku yang dilakukan oleh
individu dalam masyarakat tersebut.
c) Lembaga-lembaga Sosial
Bertrand mengatakan bahwa institusi atau lembaga sosial pada hakikatnya
adalah kumpulan-kumpulan dari norma-norma sosial (struktur-struktur sosial)
yang telah diciptakan untuk dapat melaksanakan fungsi masyarakat (Soleman B.
Taneko, 1993: 72). Senada dengan Bertrand, Soerjono Soekanto juga menyatakan
bahwa lembaga-lembaga kemasyarakatan (social institution) adalah himpunan
dari norma-norma dari segala tingkatan yang berkisar pada suatu kebutuhan
pokok di dalam kehidupan masyarakat (1993: 198). Maclver dan Page
menyatakan bahwa lembaga merupakan bentuk-bentuk atau kondisi-kondisi
prosedur yang mapan, yang menjadi karakterisasi bagi aktivitas kelompok
(Soerjono Soekanto, 1993: 197). Dalam suatu lembaga akan ditemui suatu aturan
atau kondisi yang sudah mapan yang dijadikan patokan-patokan dalam mengatasi
masalah-masalah masyarakat.
Institusi merupakan pola-pola yang berhubungan dengan pola-pola
aktivitas dan juga merupakan pola-pola yang berhubungan dengan asosiasi
commit to user
masyarakat dipicu oleh keinginan mereka untuk dapat menciptakan cara-cara yang
digunakan untuk memenuhi kebutuhan mereka. Hal ini senada dengan pendapat
dari Cooley dan Davis yang menyatakan bahwa lembaga merupakan
kaedah-kaedah yang kompleks yang ditetapkan oleh masyarakat, untuk secara teratur
memenuhi kebutuhan-kebutuhan pokoknya (Soerjono Soekanto, 1984: 197).
Semakin kompleks dan semakin banyak kebutuhan dalam masyarakat, akan dapat
menimbulkan semakin banyak institusi juga. Berikut akan dipaparkan fungsi dan
struktur dari beberapa intitusi.
(1) Keluarga
Soleman B. Taneko berpendapat bahwa keluarga merupakan pusat
kehidupan secara individual, di mana di dalamnya terdapat hubungan yang intim
dalam derajat yang tinggi (1993: 75). Pola pola pelamaran, perkawinan,
pemeliharaan anak dan juga pemenuhan kebutuhan pangan terdapat atau terjadi
pada lembaga tingkat ini yaitu keluarga. Keluarga juga mempunyai fungsi
pengasuhan terhadap anak, tidak hanya itu keluarga juga bertanggung jawab atas
kesehatan, kesejahteraan anak dan sebagainya sampai individu atau anak tersebut
dapat mandiri. Selain itu keluarga juga mempunyai fungsi menetapkan status
suatu individu. Suatu keluarga pastilah mempunyai suatu status dalam masyarakat
baik yang diperoleh dari keturunan maupun usaha sendiri dalam masyarakat.
Status yang ada tersebut pastinya akan berpengaruh juga pada keturunan
dalam keluarga tersebut dalam hal ini terutama pada anak-anaknya. Paul B.
Horton dan Chester L. Hunt menyatakan beberapa fungsi keluarga yaitu fungsi
pengaturan seksual, fungsi reproduksi, fungsi sosialisasi, fungsi afeksi, fungsi
penentuan status, fungsi perlindungan, dan fungsi ekonomis (1999: 274-279).
Struktur dalam keluarga terbentuk atas dasar pertalian darah atau atas
dasar perkawinan (Soleman B. Taneko, 1993: 76). Lebih luas lagi Paul B. Horton
dan Chester L. Hunt menyatakan bahwa suatu keluarga mungkin merupakan: (1)
suatu kelompok yang mempunyai nenek moyang yang sama; (2) suatu kelompok
kekerabatan yang disatukan oleh darah atau perkawinan; (3) pasangan perkawinan
dengan atau tanpa anak; (4) pasangan tanpa nikah yang mempunyai anak; dan (5)
commit to user
keluarga tidak harus ada seorang ayah dan seorang ibu dengan beberapa anak,
namun tanpa kehadiran salah satu dari itu juga dapat terbentuk suatu keluarga.
Jadi dari pendapat Paul B. Horton dan Chester L. Hunt di atas dapat pula kita
jadikan dasar mengenai struktur keluarga yang mungkin ada dalam suatu
keluarga.
(2) Institusi Pemerintah
Institusi pemerintah merupakan institusi yang mempunyai kewenangan
untuk memelihara ketertiban, menjalankan administrasi peradilan dan melindungi
warga masyarakat dari bahaya luar (Soleman B. Taneko, 1993: 77). Institusi ini
terdapat pola-pola yang dalam menjalankannya diperlukan suatu organisasi yang
lebih spesifik yang disebut negara. Institusi pemerintah ini mempunyai wewenang
yang cukup kuat, dan merupakan organisasi kekuasaan dari negara yang
mempunyai kekuasaan dari institusi lain.
Kaitannya dengan pemerintah Paul B. Horton dan Chester L. Hunt
berpendapat, kekuasaan diartikan sebagai kemampuan individu atau kelompok
untuk mengendalikan proses pengambilan keputusan (1999: 379). Kekuasaan
akan terlihat fungsinya dalam hal pengambilan keputusan di masyarakat, dan
individu atau kelompok yang mampu mengendalikan proses pengambilan
kekuasaan, dialah yang mempunyai kekuasaan lebih atas apa yang terjadi
selanjutnya.
Mengenai struktur institusi pemerintah ini, Soleman B. Taneko
menyatakan, secara sederhana struktur pemerintahan mungkin hanya terdiri dari
kepala suku yang bersifat turun temurun dengan keputusan atau ketetapannya
ditegakan oleh masyarakat secara keseluruhan atau mungkin oleh sejumlah
fungsionaris yang ditunjuk dengan kewajiban atau tugas untuk membentuk
undang-undang, menegakkannya, menyelesaikan perselisihan, menetapkan perang
dan sebagainya (1993: 79). Walaupun secara sederhana sturktrur pemerintahan
seperti dikatakan di atas, namun kita juga dapat melihat perbedaan dari struktur
pemerintahan yang ada pada berbagai negara modern.
Monarki absolut, struktur pemerintah dikepalai oleh seorang raja yaitu
commit to user
Monarkhi konstitusional, struktur pemerintahan dimana terdapat seorang kepala
pemerintahan, namun kekuasaan tertinggi ditentukan oleh sutu aturan dasar yang
sering disebut undang-undang dasar. Republik, unsur yang penting dalam struktur
pemerintahannya adalah badan kedaulatan yang anggota-anggotanya dipilih oleh
rakyat dan bertanggung jawab kepada mereka.
Suatu negara demokrasi, apa saja strukturnya asal kekuasaan negara
terletak di tangan pertimbangan dari rakyat dan slogan yang berbunyi
“pemerintahan mendapat persetujuan bersama untuk memerintah” (Soleman B.
Taneko, 1993: 80). Di Indonesia, struktur pemerintahannya menganut
pemerintahan republik dan menganut asas demokrasi, jadi secara ringkas ada
badan kedaulatan rakyat, namun kekuasaan ada di tangan rakyat melalui badan
tersebut.
(3) InstitusiEkonomi
Institusi ekonomi ruang lingkupnya berkutat sekitar produksi, distribusi
dan konsumsi dari barang-barang dan jasa. Masyarakat membangun institusi ini
akibat semakin kompleksnya kebutuhan hidup secara material. Diadakannya
institusi ini untuk menjalankan beberapa fungsi ekonomi sehingga masyarakat
akan terbantu dengan adanya institusi tersebut. Beberapa masyarakat mengadakan
pemisahan badan organisasi untuk menjalankan satu atau beberapa fungsi
ekonomi, akan tetapi dalam masyarakat yang lain fungsi ekonomi mungkin hanya
dijalankan oleh keluarga, klan atau masyarakat setempat (seperti desa) (Soleman
B. Taneko, 1993: 81). Jadi tidak semua masyarakat membangun suatu institusi
khusus untuk menjalankan suatu fungsi ekonomi, sebab ada juga yang sudah
cukup dengan dijalankannya fungsi ekonomi oleh suatu keluarga atau desa.
Struktur institusi ekonomi dapat dikatakan sangat sederhana dengan
sedikit anggota dan melibatkan sedikit pembagian kerja dengan sedikit organisasi
permanen yang dibangun guna menjalankan fungsi khusus (Soleman B. Taneko,
1993: 82). Hal ini disebabkan karena orientasi dari institusi ini adalah untuk
memudahkan menjalankan pola-pola kebutuhan ekonomi, jadi banyak sedikitnya
orang atau anggota yang ada dalam institusi tersebut tidaklah selalu membuat
commit to user (4) InstitusiReligi
Soleman B. Taneko berpendapat bahwa institusi religi merupakan institusi
yang banyak dan bervariasi dai dalam masyarakat, tetapi biasanya terpusat pada
suatu pola yang telah mapan dan perilaku mengenai bagaimana mereka
melakukan hubungan dengan supernatural (1993: 83). Institusi ini termasuk di
dalamnya adalah lembaga agama. Agama merupakan sesuatu yang acapkali sering
didefinisikan sebagai tanggapan teratur terhadap unsur supranatural (Paul B.
Horton dan Chester L. Hunt, 1999: 326). Tidak semua masyarakat mempunyai
atau menganut suatu agama, namun mereka tetap mempunyai suatu sistem ritual
atau kepercayaan yang serupa dan agama yang didasarkan atas unsur supernatural.
Institusi religi seringkali berfungsi untuk memberikan dasar bagi perilaku
yang ajeg dalam masyarakat (Soleman B. Taneko, 1993: 84). Agama memiliki
suatu aturan-aturan hidup bagi para penganutnya sehingga terjadi keajegan
perilaku para pengikutnya. Sanksi terhadap pelanggaran-pelanggaran terhadap
aturan juga ada dalam institusi religi atau agama, hal inilah yang nantinya juga
akan membatasi perilaku anggotanya sehingga terjadi suatu kondisi yang
diharapkan oleh institusi ini.
d) Stratifikasi Sosial
Soerjono Soekanto menyatakan stratifikasi sosial merupakan suatu jenis
diferensiasi sosial yang terkait dengan pengertian akan adanya jenjang secara
bertingkat, yang nantinya akan memunculkan strata tertentu (1984: 247). Max
Weber menganggap, bahwa kelas-kelas bukan merupakan kelompok-kelompok
sosial, akan tetapi merupakan agregasi orang-orang yang mempunyai
peluang-peluang hidup yang sama (Soerjono Soekanto, 1984: 251). Suatu stratifikasi atau
kelas sosial akan terlihat suatu pola hidup yang sama dari anggota-anggotanya.
Stratifikasi sosial secara tidaka langsung akan mengumpulkan orang-orang yang
mempunyai peluang-peluang kehidupan yang sama dipandang dari sudut
ekonomis.
Dimensi-dimensi kehidupan yang sering dijadikan sebagai ukuran atau
kriteria yakni dimensi ekomoni, sosial dan politis. Dimensi-dimensi tersebut
commit to user
kedalam suatu stratifikasi sosial. Misal dimensi ekonomi ada orang kaya ada
orang miskin, dimensi sosial ada orang yang terpandang ada juga orang-orang
terlupakan, dimensi politis ada aristokrat ada juga ploretar. Parson menyatakan
bahwa stratifikasi sosial diperlukan dan juga dikehendaki pada suatu masyarakat
kompleks yang berorientasi pada kemajuan (Soerjono Soekanto, 1984: 259). Hal
tersebut bertolak bahwa dengan adanya suatu stratifikasi sosial sesuatu yang lain
akan dapat ditentukan, seperti penentuan alokasi imbalan serta hubungan dengan
posisi-posisi,dan sebagainya.
2.
Hakikat Drama
a.
Pengertian
Drama
Kata drama berasal dari bahasa Greek, dari kata dran yang berarti berbuat,
to act atau to do (Henry Guntur Tarigan, 1993 : 69). Ada juga yang mengatakan
bahwa kata drama berasal dari bahasa Yunani atau Greek “draomai” yang berarti :
berbuat, berlaku, bertindak, atau bereaksi. Namun, dari dua kata itu mengacu pada
referensi makna yang sama. Kedua pengertian drama di atas, mengutamakan
perbuatan, gerak, yang merupakan inti hakikat setiap karangan yang bersifat
drama.
Dalam Dictionary of World Literature kata “drama” dapat ditafsirkan
dalam berbagai pengertian (Henry Guntur Tarigan, 1993 : 71). Dalam arti yang
amat luas, drama mencakup setiap jenis pertunjukan tiruan perbuatan, mulai dari
produksi “Hamlet”, komedi, pantomime ataupun upacara keagamaan orang
primitif. Lebih khusus lagi, mengarah pada suatu lakon yang ditulis agar dapat
diinterpretasikan oleh para aktor; lebih menjurus lagi, drama menunjuk pada lakon
realis yang sama sekali tidak bermaksud sebagai keagungan yang tragis, tetapi
tidak dapat dimasukkan ke dalam kategori komedi. Atar Semi dalam bukunya
juga berpendapat bahwa drama adalah perasaan manusia yang beraksi di depan
mata kita, yang berarti aksi dari suatu perasaan yang mendasari keseluruhan
drama (1993 :156). Lebih lanjut lagi ia juga mengatakan bahwa drama adalah
commit to user
Henry Guntur Tarigan memberikan beberapa batasan mengenai drama, (1)
drama adalah salah satu cabang seni sastra; (2) drama dapat berbentuk prosa atau
puisi, (3) drama mementingkan dialog, gerak, perbuatan; (4) drama adalah suatu
lakon yang dipentaskan di atas panggung; (5) drama adalah seni yang menggarap
lakon-lakon mulai sejak penulisannya hingga pementasannya; (6) drama
membutuhkan ruang, waktu, dan audiens; (7) drama adalah hidup yang disajikan
dalam gerak; (8) drama adalah sejumlah kejadian yang memikat dan menarik hati
(1993: 75). Atar Semi juga mengemukakan pendapatnya mengenai karakteristik
drama yaitu: (1) drama mempunyai tiga dimensi, yakni dimensi sastra, gerakan,
dan ujaran; (2) drama memberikan pengaruh emosional yang lebih kuat dibanding
karya sastra yang lain; (3) pengalaman yang dapat diingat dengan menonton
drama lebih lama diingat dibanding sastra yang lain; (4) drama mempunyai
banyak keterbatasan dibanding karya sastra lain, seperti keterbatasan untuk
memunculkan suatu objek sesuai dengan imajinasi yang diinginkan, dan
sebagainya yang berhubungan dengan pementasan khususnya (1993: 158).
b.
Pengertian
Naskah
Drama
Perkembangan seni lakon ini khususnya di Indonesia istilah drama
mengalami pengaruh dalam pengertiannya. Pertama yaitu drama sebagai text play
atau repertoire (naskah), dan kedua, drama sebagai theatre atau performance.
Atar Semi juga berpendapat bahwa drama pada umumnya mempunyai dua aspek
yakni aspek cerita sebagai bagian dari sastra, yang kedua adalah aspek
pementasan yang berhubungan dengan seni lakon atau seni teater (1993 : 157).
Pembuatan sebuah naskah drama memang akan selalu berorientasi pada
pementasan, jadi dalam pembuatannya akan selalu memperhatikan aspek-aspek
pementasan. Penelitian ini akan lebih mengulas drama sebagai text play (naskah
drama) atau drama ditinjau dari aspek ceritanya sebagai bagian dari sastra yang
mengangkat fenomena-fenomena di masyarakat.
Adapun mengenai batasan mengenai naskah drama menurut Henry Guntur
Tarigan yaitu (1) drama sebagai repertoire atau naskah adalah hasil sastra milik
pribadi, yaitu milik penulis drama tersebut; (2) text play masih memerlukan
commit to user
teliti; dan (4) text play adalah bacaan. Dasar teks drama adalah konflik manusia
yang digali dari kehidupan (Herman J. Waluyo, 2002: 7). Jadi orientasi dari teks
drama juga berawal dari konflik manusia yang dituangkan dalam tulisan dengan
manifestasi imajinasi pengarangnya sehingga dengan sedemikian rupa dapat
diwujudkan menjadi suatu pementasan.
Pengkajian terhadap drama ataupun naskah drama khususnya terhadap
struktur yang membangun akan bermuara pada hal yang sama, dengan pengertian
pada pengkajian naskah drama atau drama yang sama. Pada naskah yang sama,
antara struktur yang terkandung dalam naskah dengan yang berbentuk pementasan
sebagian besar cenderung sama bahkan sama. Adapun perbedaan itu lebih
disebabkan pada hal-hal yang cenderung teknis atau aplikasi di lapangan.
sehingga selanjutnya istilah naskah drama dalam pengkajian ini akan disebut
dengan “drama” saja, tanpa kata naskah drama di depannya.
c.
Unsur
-
unsur
Drama
Unsur-unsur dalam drama terdapat dua jenis yaitu unsur intrinsik dan
unsur ekstrinsik. Pembahasan unsur drama ini lebih menekankan pada unsur
intrinsik, sedangkan unsur ekstrinsik lebih pada pengkajian strukturalisme genetik
yang telah dipaparkan sebelumnya. Secara garis besar struktur naskah drama ada
enam bagian penting yaitu plot atau kerangka cerita, penokohan atau perwatakan,
dialog atau percakapan, setting atau landasan, tema atau nada dasar cerita, dan
amanat atau pesan pengarang (Herman J. Waluyo, 2002: 6-28). Lebih lanjut lagi
akan dipaparkan satu persatu struktur tersebut.
1) Plot
Plot sering juga disebut alur. Plot merupakan jalinan cerita atau kerangka
awal hingga akhir yang merupakan jalinan konflik antara dua tokoh yang
berlawanan (Herman J. Waluyo, 2002: 8). Atar Semi juga berpendapat bahwa alur
dalam sebuah pertunjukan (drama) sama dengan alur novel atau cerita pendek,
yaitu rentetan peristiwa dari awal sampai akhir (1993 : 161). Boulton juga
mengatakan bahwa plot juga berarti seleksi peristiwa yang disusun dalam urutan
waktu yang menjadi penyebab mengapa seseorang tertarik untuk membaca dan
commit to user
Alur drama mempunyai kekhususan dibandingkan dengan alur fiksi;
kekhususan itu ditimbulkan oleh karakteristik drama itu sendiri, yaitu: (1) alur
drama mestilah merupakan alur yang dapat dilakukan oleh manusia biasa di muka
publik penonton, (2) alur drama mesti jelas, bila tidak, akan sukar sekali diikuti
penonton, (3) alur drama mestilah sederhana dan singkat, dalam arti ia tidak boleh
berputar-putar ke mana-mana, tetapi terpusat pada suatu peristiwa tertentu (Atar
Semi, 1993 :161-162).
Atar Semi juga mengatakan secara garis besar, alur drama yaitu: (1)
klasifikasi atau introduksi, yakni pengenalan terhadap tokoh-tokoh dan permulaan
konflik; (2) konflik, yakni munculnya suatu problem; (3) komplikasi, yakni
munculnya persoalan-persoalan baru yang membuat permasalahan menjadi
semakin rumit; (4) penyelesaian (denoument), yakni persoalan atau permasalahan
sudah mulai ada pemecahan atau penyelesaiannya. Senada dengan Atar Semi,
Gustaf Freytag memberikan unsur-unsur plot lebih lengkap meliputi hal-hal
berikut ini: (1) exposition atau pelukisan awal, yakni pengenalan tokoh; (2)
komplikasi atau pertikaian awal; (3) klimaks atau titik puncak cerita; (4) resolusi
atau penyelesaian atau falling action; (5) catastrophe atau denoument atau
keputusan (Herman J. Waluyo, 2002 : 8). Lebih sederhana dari dua pendapat di
atas, Henry Guntur Tarigan berpendapat bahwa alur dalam drama terdiri dari
eksposisi (permulaan), komplikasi (pertengahan), dan resolusi atau denoument
(akhir atau ending).
Berangkat dari pendapat-pendapat diatas dapat disimpulkan bahwa alur
atau plot dalam drama terdiri dari: (1) klasifikasi atau eksposisi; (2) konflik atau
pertikaian awal; (3) komplikasi; (4) klimaks atau titik puncak cerita; dan (5)
penyelesaian atau denoument. Namun, secara urutan tidak menutup kemungkinan
untuk berubah yang akan berimbas pada jenis pengaluran.
2) Penokohan
Penokohan dan perwatakan mempunyai hubungan yang sangat erat karena
kedua unsur tersebut berada pada objek yang sama yaitu tokoh atau suatu peran.
Henry Guntur Tarigan mengatakan bahwa sang dramawan haruslah dapat