• Tidak ada hasil yang ditemukan

Draft Paper Bandung.pdf

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2018

Membagikan "Draft Paper Bandung.pdf"

Copied!
18
0
0

Teks penuh

(1)

Draft Paper (untuk Diskusi ver Juli 2013)

Urban Flood, Urban Development and Disaster Risk Reduction:

Case Study of Bandung City

Saut Sagala1), Jonatan Lassa2), Irene Simbolon3)

1) Sekolah Arsitektur, Perencanaan dan Pengembangan Kebijakan, Institut Teknologi Bandung

3) Colliers Indonesia, Jakarta

Abstrak

Perkotaan yang sedang berkembang diindikasikan dengan tingginya pertumbuhan penduduk, pertumbuhan ekonomi, dan peningkatan kebutuhan fasilitas/utilitas. Hal ini berdampak pada kebutuhan system drainase sebagai komponen perkotaan yang penting dan kunci untuk menangani masalah banjir perkotaan. Pertumbuhan Kota Bandung yang tinggi menyebabkan semakin sedikitnya area untuk resapan air dan juga rusaknya sistem drainase yang ada, sepertinya mengecilnya saluran, terputusnya saluran sekunder dan primer. Di sisi lain, terjadi peningkatan limpasan air permukaan (run-off) yang signifikan dan berdampak pada terjadinya genangan di titik-titik jalan strategis di Kota Bandung. Hal ini dipengaruhi oleh kelemahan dalam manajemen draianse Kota Bandung. Studi ini menemukan bahwa, tidak terkoneksi dan terkoordinasinya antara pembangunan dengan dampak lingkungan yang ditimbulkan. Karena itu, studi ini merekomendasikan perlunya untuk melakukan kajian terintegrasi antara pembangunan dengan dampak yang ditimbulkan, sehingga persoalan-persoalan lingkungan dapat terinternalisasi dengan baik.

(2)

1. PENDAHULUAN

Kemajuan pembangunan di suatu wilayah sejalan dengan peningkatan jumlah pertumbuhan penduduk yang diiringi meningkatnya kualitas dan kuantitas kebutuhan hidup (Widjaya, 1998). Dampak dari peningkatan kualitas dan kuantitas hidup tersebut yaitu terjadinya perubahan tata guna lahan menjadi sulit dikendalikan. Kondisi sumber daya alam terganggu karena infiltrasi menjadi kecil, aliran air permukaan menjadi cepat dan banyak.

IFRC (2010) menerbitkan World Disaster Report yang memfokuskan pada bencana-bencana di perkotaan. Fokus pada bencana-bencana diperkotaan pada dasarnya karena terdapat konsentrasi yang masif dari penduduk, permukiman, infrastruktur, industri dan ekonomi. Pada tahun 2008, setengah dari penduduk dunia tinggal di daerah perkotaan, yang dua-pertiganya berada di negara-negara berpendapatan rendah dan menengah (World Bank, 2012). Hal ini diperkirakan akan meningkat ke 60 persen pada tahun 2030, dan 70 persen pada tahun 2050 dengan jumlah 6.2 milyar, atau dua kali lipat dari proyeksi populasi pedesaan pada saat itu. Mengingat bahwa populasi perkotaan menunjukan porsi terbesar penduduk dunia, banjir perkotaan akan mencakup kenaikan terbesar dari dampak banjir secara keseluruhan. Banjir perkotaan dengan demikian menjadi semakin bahaya dan semakin merugikan. IFRC menyebutkan bahwa kota-kota metropolitan yang mengalami pertumbuhan yang pesat, mengalami persoalan di dalam menyesuaikan kemampuan pelayanan (service quality) dengan permintaan sebagai dampak dari pembangunan tersebut. Kota-kota yang sedang mengalami perkembangan yang tinggi tersebut, umumnya mengalirkan dana investasi yang besar dengan jumlah yang meningkat secara signifikan dalam waktu yang relatif singkat.

Banjir perkotaan berawal dari kombinasi penyebab-penyebab yang merupakan hasil dari kombinasi kejadian meteorologis dan hidrologis, seperti pengendapan dan aliran yang ekstrim. Akan tetapi juga dapat sering terjadi karena kegiatan-kegiatan manusia, termasuk pertumbuhan dan perkembangan kota yang tidak terencana untuk dataran banjir, atau dari kerusakan bendungan atau tanggul yang gagal dalam melindungi pembangunan yang telah direncanakan (Jha, 2012).

Dampak dari banjir perkotaan juga sangat khusus karena konsentrasi penduduk dan aset-aset yang lebih besar berada pada lingkungan perkotaan (Jha, 2012; Price, 2008). Hal ini tentu membuat kerusakan-kerusakan semakin banyak dan mahal. Tempat tinggal perkotaan juga mengandung mayoritas atribut-atribut ekonomi dan sosial dan aset-aset yang berbasis populasi nasional, sehingga banjir perkotaan yang menyebabkan kerusakan dan gangguan dari cakupan air banjir yang sebenarnya sering kali menyebabkan konsekuensi sosial untuk masyarakat. Banjir perkotaan dengan demikian menjadi semakin bahaya dan semakin merugikan untuk dikelola karena begitu besarnya populasi yang terpapar dalam wilayah tinggal perkotaan (Cesar, 2000). Ini akan memengaruhi semua ukuran tempat tinggal yang diperkirakan pada tahun 2030 adalah 75 aglomerasi dari lima juta penduduk, populasi kota pada setiap kelas sosial juga akan meningkat (World Bank, 2012). Pada tahun 2030 mayoritas penghuni perkotaan akan tinggal di kota-kota dengan populasi kurang dari satu juta orang yang memiliki infrastruktur dan insititusi yang tidak dapat mengatasi banjir.

(3)

Tabel 1. Pertumbuhan Ekonomi Kota Bandung

Dibukanya akses jalan bebas hambatan Cikampek-Purbaleunyi berkontribusi pada peningkatan pembangunan di Kota Bandung khususnya untuk kebutuhan permukiman dan komersil (Firman 2008; Dorodjatoen 2011). Trend pembangunan fisik Kota Bandung didominasi oleh permukiman, dimana 2010-2012 terdapat perkembangan pesat pembangunan rusunami (apartemen), hotel, dan perumahan yang juga diimbangi dengan pembangunan factory outlet maupun retail (Kepala Bidang Perencanaan Distarcip, 2013). Konversi lahan pada dasarnya adalah hasil yang normal dari proses pembangunan perkotaan, namun di Indonesia hal ini snagat mencerminkan operasi pengembang swasta yang mencoba untuk menegsktrak harga sewa tertinggi. Konversi lahan yang terjadi di wilayah Bandung Metropolitan sangat tidak terkendali karena kelemahan sistem perijinan terutama dalam upaya penegakannya (Firman, 2008).

Table 2 Guna Lahan Kota Bandung Tahun 1990, 2004 dan 2008

1990 2004 2008

Guna Lahan Luas (Ha) Persentase Guna Lahan Luas (Ha) Persentase Guna Lahan Luas (Ha) Persentase

Perumahan 8.774,63 52,11% Perumahan 9.445,72 56,46% Perumahan 9.290,28 55,53% Fasilitas

Sosial 539,58 3,30%

Pemeritahan/

sosial 1.234,88 7,38% Jasa 1.668,54 9,97%

Perdagangan 430,07 2,66% Perdagangan 448,07 2,68% Industri 647,83 3,87%

(4)

Tercatat sejak tahun 1990 hingga 2008, lahan terbangun di Kota Bandung lebih dari 50% dengan pertumbuhan guna lahan perumahan dan perdagangan yang terus meningkat (Tabel 2). Proporsi guna lahan antara yang terbangun dan non terbangun dapat dilihat pada Grafik 1.

Grafik 1. Proporsi Guna Lahan Kota Bandung

Kondisi tersebut berpengaruh pada kebutuhan sistem drainase perkotaan yang harus melayani dalam cakupan yang lebih sistemik sesuai dengan kebutuhan dari berbagai aktivitas perkotaan. Permasalahan sistem drainase di Kota Bandung menjadi salah satu permasalahan penting yang belum dapat ditangani terkait dengan masalah banjir perkotaan yang dialami Kota Bandung. Kondisi jalan dan drainase di Kota Bandung saat ini akan selalu tergenang saat kota ini diguyur hujan. Hal ini terjadi khususnya di jalan-jalan strategis Kota Bandung seperti Jalan Cihampelas, Jalan Dr Djundjunan, hingga Jalan Ir H Djuanda (Dago). Ketinggian genangan air bisa mencapai 40-50 cm. (Kompas, Januari 2013).

Genangan dan banjir di titik-titik strategis di kota Bandung menjadi salah satu permasalahan yang ditangani serius oleh Pemerintah kota Bandung sejak 2008 (Renja DBMP, 2009). Setiap kali Kota Bandung diguyur hujan seringkali terjadi „banjir genangan‟ (Banjir Cileuncang) di beberapa tempat, baik di jalanan kota maupun di permukiman penduduk. Banjir Cileuncang adalah istilah bahasa Sunda untuk menggambarkan terjadinya genangan air di di suatu tempat akibat tidak lancarnya pembuangan atau aliran air tersebut (Laporan Perencanaan Drainase DBMP, 2012). Salah satu dampak Banjir Cileuncang adalah kemacetan lalu lintas dan berdampak pada kendaraan yang tidak dapat menembus genangan air. Sementara, banjir Cileuncang yang terjadi di permukiman menyebabkan rumah-rumah penduduk terendam. Penyebab banjir Cileuncang yang terjadi di kota Bandung terdiri atas kombinasi berbagai faktor, di antaranya:

- Curah hujan yang tinggi

(5)

Manajemen drainase pada dasarnya menjadi salah satu kunci untuk mengatasi jenis banjir perkotaan yang terjadi di Kota Bandung. Namun, manajemen drainase memiliki komponen yang kompleks baik diantaranya desain structural, pemeliharaan sistem, dan pembagian kewenangan institusi yang menangani drainase perkotaan. Komponen-komponen ini menjadi bagian penting sebagai studi untuk memberikan alternatif mengatasi masalah banjir perkotaan di Kota Bandung.

2. TEORI

Salah satu elemen kunci untuk mengurangi risiko bencana adalah untuk lebih memahami bagaimana daerah perkotaan beresiko dan bagaimana pola-pola risiko berbeda dari daerah pedesaan (WDR, 2010). Kemampuan pemerintah dan masyarakat untuk mengurangi risiko dan kerentanan dipengaruhi oleh ketersediaan dari informasi yang akurat tentang risiko terhadap kota mereka dan, saat ini kelemahan yang cukup besar berkaitan dengan pemantauan yang akurat dan pelaporan tren bencana perkotaan. Sebagai langkah awal dalam pengelolaan risiko banjir , para pembuat keputusan perlu memahami bahwa ancaman banjir dapat memengaruhi lingkungan perkotaan (Jha, 2012). Memahami ancaman membutuhkan pengertian tentang jenis-jenis dan penyebab banjir, kemungkinan-kemungkinan kejadian, dan tampilan dari sudut tingkat, durasi, kedalaman dan kecepatan. Pemahaman ini sangat penting dalam mendesain tindakan-tindakan dan solusi-solusi yang dapat mencegah atau mengurangi kerusakan yang timbul dari jeni banjir tertentu. Hal lain yang sama pentingnya adalah mengerti di mana dan seberapa sering kejadian-kejadian banjir akan terjadi, populasi mana dan aset-aset apa saja yang berada pada kawasan yang terkena dampak, bagaimana tingkat kerentanan dari penduduk dan lokasi tempat tinggal mereka, dan bagaimana perencanaan dan pengembangannya dijalankan, dan apa saja yang telah dilkaukan untuk menurunkan risiko banjir. Hal ini penting untuk mengetahui kebutuhan serta urgensi dan prioritas dalam menerapkan tindakan-tindakan pengelolaan risiko banjir.

Pengelolaan Banjir

Jha (2012) mendeskripsikan penanganan teknis mengatasi permasalahan sistem drainase perkotaan sebagai tindakan pengelolaan banjir. Tindakan-tindakan pengelolaan banjir biasanya dideskripsikan sebagai struktural dan non-struktral. Tindakan-tindakan struktural bertujuan untuk mengurangi risiko banjr dengan mengendalikan aliran air dari luar maupun dari dalam tempat tinggal perkotaan. Tindakan ini merupakan pelengkap dari tindakan-tindakan non-struktural yang berusaha menjamin bahwa masyarakat aman terhadap banjir dengan memimiliki perencanaan dan pengelolaan pengembangan perkotaan.

(6)

yang lebih alamiah dan berkelanjutan seperti lahan banjir dan pencegah-pencegah alami. Kebanyakan tindakan-tindakan struktural dapat menimbulkan risiko banjir di tempat lain dengan mengurangi risiko banjir pada satu tempat. Pengalihan aliran air juga dapat berdampak pada lingkungan. Pada suatu peristiwa mungkin dapat diterima dan merupakan tindakan tepat, namun di tempat lain tidak.

Tindakan-tindakan non-struktural dapat dikategorisasikan dalam empat kegunaan:

 Perencanaan dan pengelolaan keadaan gawat darurat, termasuk peringatan dini dan evakuasi, (Mis. sistem pemberitahuan banjir di Filipina dan Lai Nullah Basin, Pakistan)

 Meningkatnya kesiagaan melalui kampanye kesadaran kesiapsiagaan termasuk prosedur pengelolaan penurunan risiko banjir perkotaan seperti usaha untuk memelihara drainase tetap lancar melalui pengelolaan limbah yang lebih baik (didemonstrasikan di Mozambik dan Afghanistan).

 Menghindari banjir dengan perencanaan penggunaan lahan. Perencanaan tata guna lahan memberi kontribusi dalam mengatasi dan mengadaptasi terhadap banjir perkotaan (Mis. German Flood Act dan regulasi-regulasi perencanaandi Inggris dan Wales)

 Mempercepat pemulihan dan menggunakan proses pemulihan untuk meningkatkan ketahanan melalui perbaikan disain bangunan dan konstruksi. (Mis. perencanaan ketahanan rekonstruksi desa yang terkena dampak tsunami di Xaafuun, Somali).

 Pembiayaan risiko yang sepadan bila tersedia, atau menggunakan sumber-sumber donor dan pemerintah, dapat membantu pemulihan yang lebih cepat.

Tantangan yang dihadapi dengan banyaknya tindakan-tindakan non-struktural adalah perlunya untuk melibatkan dan mendapatkan persetujuan para pemangku kepentingan dan institusi mereka. Hal ini termasuk memelihara sumber daya danmembangun kesadaran dan kesiapan men. Tantangan ini semakin besar dengan kenyataan bahwa tindakan-tindakan non-struktural bertujuan untuk mengurangi kerusakan dan bukan mencegah, sehingga kebanyakan masyarakat secara naluri lebih memilih tindakan struktural.

Manajemen Sistem Drainase

Sistem drainase menjadi salah satu komponen penting yang terdapat di wilayah perkotaan yang sedang berkembang untuk menangani dampak berbagai interaksi antara aktivitas manusia dan siklus air secara alami (Price, 2008). Ada 2 bentuk utama dari interaksi ini yaitu abstraksi air dari siklus alam untuk menyediakan pasokan air bagi kehidupan manusia dan banyaknya tutupan lahan yang tidak lagi mengarahkan air hujan pada suatu saluran dari sistem drianase. Kedua bentuk ini menghasilkan dua jenis air yang berbeda dimana keduanya memerlukan drainase. Sistem drainase perkotaan menangani kedua jenis air tersebut dengan tujuan untuk meminimalkan masalah yang timbul bagi kehidupan manusia dan lingkungan. Dengan demikian, drainase perkotaan memiliki dua sisi utama yaitu dengan masyarakat dan dengan lingkungan.

(7)

layanan sistem drainase dimana hal ini menjadi salah satu aspek. Sama halnya dengan bidang lain yang menjadi perhatian lingkungan, tantangan dari sistem drianase ini tidak dianggap sebgai tanggung jawab satu profesi saja. Pembuat kebijakan, engineer, ahli lingkungna beserta masyarakat memiliki peran dan peran inilah yang dimainkan dalam kemitraan.

Secara keseluruhan, drainase meghadapi tantangan lingkungan modern yang klasik yaitu: kebutuhan biaya yang efektif untuk penanganan teknis sistem drainase, kebutuhan untuk melakukan penilaian dari berbagai dampak yang ada, dan kebutuhan untuk mencari solusi yang berkelanjutan. Dalam desain, perencanaan dan pembangunan drainase bangunan penting untuk menyadari komponen utama dan tata letak sistem di dalam dan sekitar bangunan. Ini termasuk, khususnya, pemahaman tentang bagaimana membangun saluran terhubung dengan sistem saluran pembuangan utama (Butler;Davies, 2004).

Saat ini upaya para engineers dalam memperbaiki dan menambah saluran drainase untuk mengatur aliran tidak sepenuhnya efektif, hal ini dikarenakan tidak ada lagi ruang untuk memperbesar tampungan drainase serta banyaknya drainase yang tertutup oleh bangunan dan pemukiman baru (Widjaya, 1998). Pada saat ini usaha yang dilakukan untuk menanggulangi kejadian limpasan masih bersifat konvensional yaitu dengan mengalirkan aliran secepatnya ke badan sungai melalui usaha teknik seperti sudetan dan normalisasi badan sungai. Sementara usaha yang kedua yaitu dengan mengupayakan aliran selambat-lambatnya masuk ke badan sungai yaitu dengan upaya memperluas areal resapan, tapi hal ini mengalami kendala karena kebutuhan akan lahan untuk resapan.

3. METODE PENELITIAN

Dengan keterbatasan data yang ada, penelitian ini menggunakan 3 metode pengumpulan data dan melakukan triangulasi dari ketersediadaan data tersebut, yaitu: penggunaan sosial media (twitter), data online web, data instansi dan wawancara.

Metode pengumpulan data yang digunakan untuk penelitian ini dilakukan melalui 2 metode yaitu metode primer dan sekunder.

 Pengumpulan data sekunder menjadi metode utama pengumpulan data yang dilakukan melaluipencaria data dari web dan sosial media berupa twitter. Berbagai data dan fakta yang tertuang di web menjadi data mentah yang kemudia diolah dan menjadi bahan analisis dan ditriangulasi kemudian melalui survei primer. Pencarian data melalui media sosial berupa twitter dilakukan melalui tahapan pencarian hashtag mengenai banjir kota Bandung, misalnya #banjir, #banjirBDG, #banjirbandung dan berbagai kode sejenis dalam berbagai akun khususnya @infobdg. Hasil pemgumpulan data dan informasi berupa lokasi maupun foto disesuaikan dengan data sekunder yang tercatat maupun tidak tercatat di instansi pemerintah terkait. Data-data sekunder berupa data statistik diperoleh melalui dokumen yang diarsipkan oleh instansi terkait. Hipotesa yang diperoleh melalui hasil pengumpulan data ini diproses melalui mekanisme triangulasi dengan metode survei primer.

(8)

4. TEMUAN

Genangan dan banjir di titik-titik strategis di kota Bandung menjadi salah satu permasalahan yang ditangani serius oleh Pemerintah kota Bandung sejak 2008 (Renja DBMP, 2009). Setiap kali Kota Bandung diguyur hujan seringkali terjadi „banjir genangan‟ (Banjir Cileuncang) di beberapa tempat, baik di jalanan kota maupun di permukiman penduduk, seperti yang terjadi pada Desember 2012 – januari 2013 (Laporan Perencanaan Drainase DBMP, 2012).

Gambar 1. Kiri: Banjir Cileuncang di Jalan Setiabudi depan UPI; Kanan: banjir di Jalan Peta-Lewipanjang

Sumber : twitter.com/infobdg

Permasalahan Drainase

(9)

hujan yang turun tidak diberi kesempatan untuk meresap sebagai cadangan air tanah karena telah banyaknya lahan yang tertutup. Akibatnya tanah tidak memiliki cadangan air,muka air tanah turun, terjadi kekeringan, serta banjir rutin tahunan yang selalu terjadi. Sementara, untuk saluran drainase di sisi jalan pada dasarnya cukup untuk menampung air limpasan hujan dari jalan, namun karena sudah menyatu dengan buangan dari permukiman dan yang lainnya sehingga melebihi kapasitas drainase (Bidang Perencanaan Distarcip, 2013). Runoff bercampur dengan air limbah, baik dalam skala kecil maupun besar karena tidak adanya pembagian fungsi yang terpisah secara jelas antara saluran drainase dan saluran sanitasi.

Permasalahan lainnya, dalam perkembangan kota banyak saluran irigasi yang dimanfaatkan menjadi saluran drainase, terutama dnegan berkembangnya kawasan permukiman. Hal ini mengakibatkan persoalan mengingat konsep pengaliran saluran drainase bertolak belakang dengan konsep pengaliran air untuk irigasi. Perbedaan yang paling pokok adalah karena pada sistem irigasi, saluran berfungsi mendistribusikan air untuk persawahan, sehingga dimensi saluran semakin ke hilir semakin kecil dan akhirnya hilang di lokasi petak-petak sawah. Sedangkan pada sistem drainase saluran berfungsi untuk membawa/mengalirkan air hujan, air buangan domestik, dan buangan industri ke badan air penerima sehingga seharusnya semakin ke hilir dimensinya semakin besar. Selain itu letak saluran irigasi selalu berada pada elevasi yang lebih tinggi dari kawasan sekitarnya, sedangkan saluran drainase harus berada pada daerah yang lebih rendah dari sekitarnya agar dapat menagkap aliran air hujan yang mengalir di permukaan lahan setempat.

Beberapa permasalahan drainase yang teridentifikasi dapat ditinjau dari aspek teknis dan non teknis. 1. Aspek Teknis

a. Kapasitas saluran draianse

35% permasalahan banjir Cileuncang disebabkan karena kapasitas saluran drainase. Kapasitas saluran drainase yang ada saat ini sudah tidak emmadai/ tidak mampu lagi menampung debit air maksimum baik dari air hujan maupun dari aliran domestik rumah tangga. Saluran drainase yang menyempit terdesak oleh adanya bangunan yang memakai lahan dan menutupi area sempadan untuk drainase. Hal ini menyebabkan penampang saluran menjadi mengecil sehingga tidak mampu menampung aliran air hujan. Selain itu adanya saluran drainase yang berada di bawah bangunan sehingga mempersulit pemeliharaan dan pengawasannya. Kondisi seperti inilebih disebabkan karena amsalah kelembagaan, dimana hal ini menunjukkan amsuh lemahnya pengawasan dari instansi terkait dalam pemberian ijin bangunan maupun sertifikasi tanah.

b. Masalah gorong-gorong

8% permasalahan banjir Cileuncang disebabkan karena amsalah gorong-gorong. Beberapa permasalahn gorong-gorong yang ada saat ini diantaranya kapasitas yang kurang memadai, peletakan konstruksi yang kurang memperhatikan kaidah-kaidah teknis, adanya utilitas umum yang melintas did alam gorong-gorong, serta operasional dan perawatan yang kurang.

c. Sedimentasi dan sampah

(10)

gorong-gorong. Hal ini menjadi penyebab utama terjadinya luapan air yang menggenangi jalan dan daerah sekitarnya.

d. Menurt Bina Marga, Guna lahan Bandung yang tadinya pertanian berkembang menjadi perumahan dan lainnya, namun salirannya masih menggunakan saluran irigasi, dimana strukturnyadan elevasi berbeda dengan drainase yang satu pembawa air yang satu lagi pembuang. Pembangunan perumahan yang membuat saluran sendiri juga tidak didesain ke saluran di luar perumahan. Belum lagi masalah sampah dan sedimentasi. Jadi masalah utamanya terdapat pada perubahan guna lahan dan perilaku. Pertanyaannya apakah memang tidak ada saluran drainase atau yang ada belum dioptimalkan. Untuk permasalahn teknis genangan di jalan, jika dibandingkan berdasarkan standar harusnya terdapat kemiringan tertentu di bawah jalan untuk membuat saluran, sementara yang terjadi saat ini jalan yang sudah ada dibuat saluran di atas ketinggian jalan. Sehingga ketika saluran penuh akan tumpah ke jalan.

2. Aspek Non Teknis

a. Saat ini pemkot Bandung belum memiliki peta sistem drainase yang dapat menanggulangi banjir Cileuncang yang terjadi setiap tahun karena sistem drainasenya tidak sesuai lagi dnegan kondisi saat ini. Volume air huajn yang mencapai 2000 mm3/ tahun tidak mampu ditanpung gorong-gorong yang sejak dulu tidak bertambah dan jauh dari fungsi hidrolil. Pelanggaran daerah sempadan menyebabkan banjir selalu berulang Setiap tahun. Penegakan peraturan terhadap pelanggar sempadan saluran belum bejalan optimal sehingga pemulihan fungsi saluran drainase terhambat.

b. Adanya beberapa utilitas prasarana kota seperti pipa PAM dan kabel telepon yang melintasi saluran drainase dan peletakannya terlalu rendah sehingga pada saat hujan menjadi penghalang aliran air dan ampah. Kondisi seperti ii dapat disebabkan oleh kuangnya koordinasi antar instansi terkait yang pada dasarnya sama yaitu melayani kepentingan umum.

c. Adanya sistem street inlet yang tidak proporsional dengan arah aliran air yang mengalir di jalan. Ini dapat dilihat di jalan-jalan hampir seluruh Kota Bandung baik di utara maupun selatan seperti seanjang Jl.Setiabudi, Cihampelas, dan Pasirkoja. Pada waktu hujan besar aliran air sama sekali tidak terkendali sehingga air hujan mengalir di jalan. Hal ini terutama disebabkan karena tidak adanya saluran penangkap air hujan yang memotong aliran air hujan di lintasan jalan.

(11)

melibatkan pengairan. Fungsi ini yang harus dipertegas lagi antar masing-masing instansi karena lingkup penanganannya berbeda-beda.

Pelanggaran Tata Ruang

Distarcip Kota Bandung menyatakan untuk masalah perizinan, dari Distarcip tidak pernah memberikan ijin adanya kegiatan di atas saluran atau brangang yang menutupi saluran tersebut. Sejak 2012 sudah dilaksanakan pendataan bangunan-bangunan yang dinilai melanggar ijin bangunan. Ranah Distarcip hanya pada pengadaan ruang, sementara untuk konstruksi teknis terkait drainase jalan dan sungai ada yang lebih berwenang yaitu Bina Marga dan Pengairan. Sementara Distarcip menyediakan daerah resapan, menyediakan ruang.

Sementara itu fungsi pengendalian dan pengawasan terhadap pelanggaran ini terbatas oleh jumlah SDM dimana untuk masing-masing wilayah koordinasi hanya ditanggungjawabi oleh 2 orang. Kendala Perbaikan dan Perencanaan Drainase

Baik Distarcip maupun Dinas Bina Marga menyatakan kendala utama untuk memperlebar saluran adalah masalah pembebasan lahan. Hal lainnya yang juga cukup memberatkan adalah lemahnya dalam pengawasan dan pengendalian yang terintegrasi antar instansi.

Dalam laporan pengukuran Kinerja Satuan kerja Perangkat Daerah Dinas Bina Marga dan Pengairan (2011), untuk urusan Tidak tercapainya target berkurangnya lokasi banjir di Kota Bandung dengan target 9 lokasi. Permasalahan pelaksanaan urusan tersebut adalah titik lokasi bajir belum berkurang namun sudah 10 titik genangannya sudah berkurang. Sementara itu pembangunan drainase tidak dapat direalisasikan karena terkendala pembebasan lahan. Solusi untuk hal ini diharapkan nisa dilakukan pembebasan lahan untuk mewujudkan pembangunan drainase.

Sementara itu, dalam laporan tahun 2012, target penanganan jumlah lokasi banjir di Kota Bandung tidak tercapai dimana dari target 9 lokasi banjir direalisasikan pada 9 lokasi banjir sehingga lama genangan dan tinggi genangan berkurang namun belum tuntas mengurangi lokasi banjir. Anggaran yang tersedia belum dapat menuntaskan permasalahan banjir secara menyeluruh. Pemerintah kota merekomendasika alokasi anggaran agar dapat dilaksanakan secara menyeluruh. Capaian target lain yang tidak dapat direalisasikan adalah peningkatan panjang saluran panjang drainase yang ditargetkan sepanjang 13000m namun hanya dapat direalisasikan sepanjang 4513,1 m. Hal ini disebabkan anggaran 2012 hanya cukup untuk meningkatkan saluran drainase sepanjang 4513,1 m. Dengan demikian pemerintah kota merekomenasikan alokasi anggaran untuk meningkatkan saluran drainase.

Memberikan edukasi kepada msyarakat untuk tidak membuang sampah sembarangan juga tidak jelas tanggung jawab siapa apakah Diskomifo atau dinas kebersihan kebersihan atau aparat kecamatan.Apakah ada penegakan hukum untuk yang membuang sampah juga tidak jelas. Jadi jika bina marga berupaya mengatasai kekurangan-kekurangan yang ada, tapi tidak menuntaskan akar permasalahannya yaitu sampah, sama saja mengerjakan sesuatu yang tidak akan tuntas. Rata-rata lokasi TPS berada di dekat sungai. Berapa persen pelayanan sampah yang bisa dilakukan Dinas Kebersihan, sisanya tentu dibuang masyarakat ke saluran atau sungai.

(12)

Anggaran yang dicanagkan oleh Pemerintah Kota Bandung sekitar 700 M yang besarnya sekitar 3 kali lipat dibandingkan 2012 yang hanya sekitar 200M. Ketua DPRD Kota Bandung menyatakan anggaran 2013 dapat menjadikan draianse dan jalan serta infrastruktur Kota Bandung menjadi baik dimana saat ini bukan hanya saat hujan besar namun hujan gerimis di beberapa titik sudah terdapat genangan Cileuncang (2012). Tahun 2013 diharapkan tidak ada lagi lubang di jalan protokol dan titik-titik banjir di tempat strategis.

Untuk mengatasi banjir, Iming menuturkan, ada alokasi Rp 108 miliar bagi pembangunan sekaligus merehabilitasi saluran drainase atau gorong-gorong. Sementara program pengendalian banjir dialokasikan Rp 31,4 miliar

Grafik 2. Rencana Anggaran Program Drainase dan Pengendalian Banjir

Berdasarkan Rencana Anggaran yang disusun oleh Dinas Bina Marga dan pengairan, kegiatan yang dilakukan untuk tahun 2013 terkait saluran mikro/ drainase terdiri dari:

- Perencanaan OP

- Perencanaan lansekap trotoar dengan estetika

- Pemeliharaan rutin dengan pengerukan sedimen dan sampah

- Pengadaan preecast mangkuk tangkapan air, tali-tali air/inlet, manhole - Pembentukan sebaran tim pelaksana OP (dibentuk dengan SK Kepala Dinas)

- Pelaksanaan percontohan penataan trotoar ramah lingkungan (pasteur, cibiru, cibereum) - Perbaikan ramp trotoar lama dan guidance tuna netra (diutamakan di persimpangan jalan) - Penggunaan material batu andesit (penggunaan ubin badak di hapus)

0 20,000,000,000 40,000,000,000 60,000,000,000 80,000,000,000 100,000,000,000 120,000,000,000

2011 2012 2013

A

n

g

g

ar

an

(13)

Skenario Perencanaan

Perencanaan pemeliharaan drainase akan diintensifkan untuk mengatasi 54 titik banjir di Kota Bandung. Kegiatan ini dilakukan tidak hanya dengan memperlebar drainase tapi juga memperdalam drainase. Strategi pengerukan akan dilakukan secara intensif untuk mensiasati materi yang terbawa air lagi setelah dikeruk.

Berdasarkan Renja 2012, Visi DBMP “terwujudnya tingkat pelayanan infrastruktur jalan dan drainase yang handal dan ramah lingkungan” diturunkan dalam salah satu misi DBMP terkait drainase yaitu “Mewujudkan sistem draianse perkotaan yang terintergrasi dan mampu menunjang

keawetan struktur perkerasan jalan serta meminimalkan potensi banjir” melalui:

- Konsep drainas eterpadu (primer, sekunder dan tersier) - Peminaan draianse primer yang jelas (pusat,propinsi,kota) - Pengembangan prsarana operasional pemeliharaan

Dalam prioritas program 2012 terdapat program “Perbaikan,penambahan kapaitas dan pemuatan

operasionalsertapemeliharaan saluran dengan memungsikan kembali tali-tali air”.

Target kinerja RPJM 2009-2013 yang berhubungan dengan DBMP : tersedianya Rencana Induk Sistem Drainase Kota yaitu sebesar 25% sistem drainase terpadu.

Berdasarkan renja 2012 DBMP dirumuskan permasalahan terkait banjir cileuncang diantaranya: pendangkalan, penyempitan,bangunan di atas saluran drainase, dan kapasitas outlet.

Berdasarkan rekaman anggaran 2009, hasil pembangunan saluran adalah sepanjang 6.835 km dan pelaksanaan pengangkatan sedimen sepanjang 105.500 km.

Terdapat kriteria penyusunan skala prioritas bedrasarkan Renja 2012, yaitu: 1. Tingkat kerusakan

2. Lama genangan

3. Dampak kepada lalu lintas 4. Keamanan pejalankaki

Konsep penataan drainase jalan yang dirumuskan oleh DBMP adalah “Mewujudkan kelancaran pengaliran air agar tidak merusak jalan dan tidak mengganggu arus lalu lintas. Pada tataran empiris

(14)

ada sebuah kenyataan bahwa disiplin/hirarki pengaliran air pada tata guna lahan di sekitar jalan tidak berjenjang sesuai aturan sehingga infrastruktur drainase jalan terbebani oleh beban yang tidak seharusnya dipikul. Penerapan Perencanaan Dimensi Lebih Dan Penggunaan Material Jadi (Precast) menjadi pilihan untuk dapat mengatasi kebutuhan debit pengaliran, percepatan kerja, dan keawetan struktur. Ditambah dalam beberapa lokasi titik-titik infrastruktur operasional pemeliharaan (OP) akan mulai diterapkan.

5. KESIMPULAN

 Secara keseluruhan, drainase menghadapi tantangan lingkungan modern yang klasik yaitu: kebutuhan biaya yang efektif untuk penanganan teknis sistem drainase, kebutuhan untuk melakukan penilaian dari berbagai dampak yang ada, dan kebutuhan untuk mencari solusi yang berkelanjutan. Sama halnya dengan bidang lain yang menjadi perhatian lingkungan, tantangan dari sistem drianase ini tidak dianggap sebgai tanggung jawab satu profesi saja. Pembuat kebijakan, engineer, ahli lingkungna beserta masyarakat memiliki peran dan peran inilah yang dimainkan dalam kemitraan.

 Tindakan-tindakan struktural dengan rekayasa tinggi dapat menyebabkan transfer risiko di hilir dan hulu. Tindakan-tindakan struktural berekayasa tinggi dapat efektif bila digunakan secara tepat. Namun demikian harus dilihat karakteristiknya apakah pada saat mengatasi risiko banjir di satu lokasi akan meningkatkan risiko di tempat lain. Para pengelola banjir perkotaan harus mempertimbangkan apakah tindakan-tindakan yang diambil telah mewakili kawasan tangkapan air yang lebih luas.

 Kejelasan mengenai siapa yang bertanggung jawab untuk konstruksi dan pengelolaan program-program risiko banjir sangat perlu. Pengelolaan risiko bajir perkotaan secara terintegrasi sering terhambat pada dinamika dan perbedaan insentif dalam mengambil keputusan di tingkat nasional, resgional, perkotaan dan masyarakat. Pemberdayaan dan kebersamaan terhadap masalah banjir oleh badan-badan dan individu-individu yang relevan dapat menghasilkan tindakan yang positf untuk mengurangi risiko.

 Implementasi tindakan-tindakan pengelolaan risiko bajir memerlukan kerjasama dari para pemangku kepentingan. Hubungan yang erat dengan masyarakat yang berisiko pada setiap tahap merupakan faktor kunci keberhasilan. Kedekatan hubungan meningkatkan penerapan standar, menghasilkan peningkatan kapasitas dan menurunkan konflik. Hal ini perlu

dikombinasikan dengan kepemimpinan yang kuat dan berani membuat keputusan, serta komitmen dari pemerintahan nasional dan lokal.

6. REKOMENDASI

(15)

 Secara teknis, perlu optimalisasi saluran penghubung jalan ke drainase. Jalan-jalan strategis di Bandung tidak semuanya memiliki saluran penghubung ke drainase, jikapun ada, saluran ini tersumbat atau memiliki kapasitas yang kecil sehingga tidak dapat berfungsi menyalurkan air run-off ke drainase.

 Kelemahan teknis yang cukup fatal adalah kondisi saluran drainase yang lebih tinggi daripada jalan sehingga air hujan yang menggenangi jalan tidak memiliki jalur buangan. Hal ini perlu diperbaiki untuk mengurangi genangan di jalan.

 Pemberdayaan dan kebersamaan terhadap masalah banjir oleh badan-badan dan individu-individu yang relevan dapat menghasilkan tindakan yang positf untuk mengurangi risiko. Implementasi tindakan-tindakan pengelolaan risiko bajir memerlukan kerjasama dari para pemangku kepentingan.

 Hubungan yang erat dengan masyarakat yang berisiko pada setiap tahap merupakan faktor kunci keberhasilan. Kedekatan hubungan meningkatkan penerapan standar, menghasilkan peningkatan kapasitas dan menurunkan konflik. Hal ini perlu dikombinasikan dengan kepemimpinan yang kuat dan berani membuat keputusan, serta komitmen dari pemerintahan nasional dan lokal.

 Secara regulasi, hal yang perlu dilakukan adalah mempertajam isi Perda Kota Bandung Nomor 11 Tahun 2004 mengatur sanksi denda Rp 5 juta bagi orang yang buang sampah ke sungai agar Perda ini tidak berlaku seperti macan ompong.

 Kemampuan pemerintah dan masyarakat untuk mengurangi risiko dan kerentanan dipengaruhi oleh ketersediaan dari informasi yang akurat tentang risiko terhadap kota mereka dan, saat ini kelemahan yang cukup besar berkaitan dengan pemantauan yang akurat dan pelaporan tren bencana perkotaan.

 Penggunaan secara efektif dari lahan terbatas di daerah perkotaan yang padat penduduk adalah konstruksi cekungan penghadang multi fungsi yang dapat menyimpan air banjir untuk mengendalikan tumpahan air bila diperlukan. Di saat lain cekungan tersebut dipergunakan untuk kegiatan lain seperti fasilitas olahraga dan rekreasi atau bahkan parkiran. Memelihara air hujan juga merupakan cara inovatif untuk mencegah banjir. Dalam bentuk sistem drainase yang berkesinambungan dan dipergunakan sebagai air simpanan (bukan untuk diminum) atau konservasi. Investasi untuk pengelolaan kota yang lebih baik, seperti untuk limbah/sampah juga dapat mengurangi risiko banjir, yang memberi manfaat kesehatan dan lingkungan, dan dapat menciptakan lapangan kerja serta mengentaskan kemiskinan.

Daftar Pustaka

Kelompok Buku dan Jurnal

Butler , D & and Davies, John W. 2004. Urban Drainage. Spon Press, New York.

Dorodjatoen, Agung M. 2011. The Emergence of Jakarta-Bandung Mega-Urban Region and Its Future Challenges.

(16)

Jha, Abhas K., Bloch, R., & Lamond, J. 2012. Kota dan Banjir: Panduan Pengelolaan Terintegrasi untuk Risiko Banjir Perkotaan di Abad 21. World Bank.

Pompeo, Cesar Agusto. 2000. Development of a State Policy for Sustainable Urban Drainage. Urban Water, 155-160

Price ,R.K. 2008. Urban Flood Disaster Management. Urban Water Journal, 37 – 41.

World Disster Report: Focus on Urban Risk. 2010. International Federation of Red Cross and Red Crescent Societies.

Kelompok Dokumen Resmi dan Peraturan Perundang-Undangan

Bandung Dalam Angka 2003- 2011 Profil Kota Bandung, 2011

Rencana Kerja Dinas Bina Marga dan Pengairan 2010 - 2013 Rencana Kerja Dinas Bina Marga dan Pengairan 2012

RTRW Kota Bandung 2011 – 2031 Sumber Lainya

(17)
(18)

Gambar

Tabel 1. Pertumbuhan Ekonomi Kota Bandung
Gambar 1. Kiri: Banjir Cileuncang di Jalan Setiabudi depan UPI; Kanan: banjir di Jalan Peta-Lewipanjang
Grafik  2. Rencana Anggaran Program Drainase dan Pengendalian Banjir
Gambar 1 Peta Genangan 54 Titik Kota Bandung

Referensi

Dokumen terkait

Hasil kreasi Memuat gambar, keterangan gambar, tulisan tentang cara kerja peredaran darah manusia, dan sesuai dengan materi atau teori Hanya memuat 3 dari 4 hasil yang

Bata ini berbeda dengan bata tempel lain yang terbuat dari tanah lempung, dimana bata ini terbuat dari beton Agar tidak terlihat seperti beton maka tampilannya dibuat

Peran istri dalam membantu suami mencari nafkah menjadikan istri melakukan peran ganda dalam rumah tangganya.Kontribusi istri nelayan terhadap pendapatan rumah tangga

Untuk itu adapun tujuan dari penelitian ini adalah mengetahui keanekaragaman jenis dan jumlah individu Herpetofauna di Resort Lekawai Kawasan Taman Nasional Bukit Baka Bukit

Pertemuan secara kelembagaan juga menjadi bagian penting dalam mengatasi hambatan komunikasi, setiap kegiatan yang berhubungan dengan komunikasi, FJS dan Pemkot Salatiga

interaksi berbagai determinan resisten pada sedangkan MRSA dengan genotip SCCmec tipe SCCmec atau interaksi determinan resistensi yang IV berhubungan dengan sifat

bahwa untuk pengembangan pegawai rumah sakit di bidang pendidikan dan pelatihan baik secara in house training maupun luar rumah sakit dan orientasi bagi

Tidak ada seorangpun dapat membayangkan pada sebelumnya, bahwa semburan lumpur di Sidoarjo yang terjadi sejak 10 tahun lalu, tepatnya pada 29 Mei 2006 dan masih