• Tidak ada hasil yang ditemukan

Sejarah Otonomi Daerah Oleh (1)

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2018

Membagikan "Sejarah Otonomi Daerah Oleh (1)"

Copied!
18
0
0

Teks penuh

(1)

Sejarah Otonomi Daerah:

Dari Sentralisasi ke Otonomi Pemerintahan Daerah dalam Sejarah Islam Klasik1

Oleh:

Muh. Nur Ichsan A.

[email protected] Sejarah Kebudayaan Islam UIN Sunan Kalijaga, Yogyakarta.

A. Pendahuluan

Sistem sosial dan struktur masyarakatnya dikatakan sebagai salah satu hasil peradaban yang paling utama untuk menelusuri latar sejarah suatu masyarakat atau kawasan tertentu. Menurut Bryan S. Turner bahwa peradaban manusia bersifat universal. Lebih lanjut, Turner, mengatakan bahwa peradaban suatau masyarakat selalu berpola dan bertumpu pada persoalan materi dan dapat dinilai keberadanya. Seturut dengan Turner, Koentjoroningrat, berusaha lebih menspesifikkan bahwa peradaban manusia secara universal dapat diturunkan menjadi tujuh konsep; bahasa, sistem pengetahuan, organisasi sosial, sistem peralatan hidup dan teknologi, mata pencaharian, religi, dan kesenian. Dari kedua konsep dasasr di atas, maka setidaknya kalau kita menarik jauh ke belakang, maka dalam sistem masyarakat kuno, hal ini dapat diidentikfikasi keberadaanya, termasuk dalam sistem sosial dan struktur masyarakat pra-Islam dan Islam.

Dalam sejarah Islam, salah satu yang menarik untuk dikaji adalah sistem sosial dan sturktur masyarakat yang kemudian berdampak pada kehidupan politik-pemerintahan masyarakat secara umum. Di masa pra-Islam sistem pemerintahan dan sosial masyarakat jelas terpusat, sentral, pun

di masa Islam yang melakukan adaptasi peradaban dan kebudayaan pra-Islam untuk menjalankan aktivitas masyarakat. Berdasarkan data singkat di atas, maka setidaknya perlu diskursus khusus

untuk melihat sistem dan struktur masyarakat, dalam hal ini sistem pemerintahan, pra-Islam dan Islam. Untuk memudahkan pendeskripsian dan analisanya maka penulis membatasi pada beberapa rumusan masalah: Bagaimana sistem dan struktur masyarakat pra-Islam dan Islam di masa lalu? Bagaimana sistem pemerintahan dalam Islam? Mengapa terjadi perubahan sistem pemerintahan

yang fundamental dari sentralisasi ke otonomi daerah?

B. Kerangka Konseptual dan Metode

(2)

Tulisan ini merupakan tulisan sejarah yang menggunakan pendekatan politik. Kajian ini dibatasi pada ruang lingkup pembahasan pada periode awal abad ke-7 sampai abad ke-13. Jika merujuk pada batasan periodisasinya maka kajian ini jelas merujuk pada Islam Klasik di masa awal Islam hingga proses penyebaran ajaran Islam di kawasan Timur Tengah. Politik menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, KBBI, diartikan mengenai (pengetahuan) tentang ketatanegaraan atau segala urusan dan tindakan yang melingkup pemerintahan satu negara dan antar negara. Di dalam Islam, politik disinonimkan dengan siyasah (mengatur, mengurus, dan memrintah) yang berkaitan dengan ilmu tata negara. Menurut Abdul Wahhab Khallaf (1994: 7) menyatakan bahwa

siyasah diartikan sebagai ilmu pemerintahan yang mengatur dan mengendalikan negara dan masyarakatnya dengan tujuan keadilan dan kemaslhatan secara umum.

Kerangka konseptual dalam tulisan ini kemudian diawali ketika mulai meluasnya wilayah Islam dan kesuksesan Islamisasi hingga perubahan tatanan politis masyarakat di Jazirah Arab di masa-masa akhir kekhalifaan Abbasiyah di Baghdad. Jika kita melihatnya secara saksama, maka batasan periodisasi dalam tulisan ini cukup luas, namun pada kerangka konseptualnya hanya dibatasi pada proses pemisahan dan praktek pemerintah dari desentralisasi ke daerah otonomi di masa Islam klasik. Batasan ini akan mengantarkan kita untuk memahami kehidupan bernegara dan struktur masyarakatnya umat Islam di masa-masa awal, sehingga kita dapat melihat kekhasan dan khazanah kehidupan umat islam secara komprehensif.

C. Pembahasan

1. Kawasan Jazirah Arab Pra-Islam

Jazirah Arab dalam catatan sejarah memiliki batasan geografis yang cukup luas.

Kawasan ini dibatasi oleh daratan Syiria dan Asia Kecil di sebelah Utara; Sungai Eufrat dan Terluk Peris di sebelah Timur; Laut Arab di bagian Selatan; dan Laut Merah di bagian

baratnya. Jika melihat batasan wilayah ini, maka setidaknya dalam konsep negara modern saat ini Hejaz, Yaman, Oman, Bahrain, Uni Emirat Arab (UEA), Kuwait, Irak dan Palestina, termasuk dalam kawasan jazirah Arab. Kawasan ini kemudian dibagi menjadi tiga bagian; Arabian Felix, Arabian Patrea, dan Arabian Deserta, yang memiliki topografi tersendiri sebagai identitas wilayahnya. Arabian Felix dikatakan sebagai kawasan yang cukup subur di sekitar pesisir pantai barat dan barat daya Jazirah Arab; Arabian Patrea

(3)

banyak bebatuan. Kawasan ini berada di sekitar barat laut Jazirah Arab; Arabian Patrea

berada di kawasan padang pasir yang kering dan panas (Hosain, 1933:1).

Jazirah Arab termasuk salah satu kawasan penting dalam jaringan perdagangan internasional di masa lalu. Letaknya yang strategis memberikan dampak positif bagi kehidupan masyarakat setempat, terutama bagi kelompok Quraisy. Mereka memanfaatkan kestrategisan posisi Jazirah Arab untuk memperoleh uang dan peningkatan ekonomi mereka. Akan tetapi, tidak semua penduduk di Jazirah Arab merasak peningkatan ekonomi yang signfikan. Hanya orang-orang Quraisy-lah yang merasakan dampak positif tersebut, karena faktor kekuatan mereka di kawasan Jazirah Arab.

Tatanan sosial masyarakat Arab terbagi atas dua identifikasi; masyarakat perkotaan

(Ahlu ‘l-Hadarah) dan masyarakat padang pasir (Ahlu ‘l-Badiyah). Keduanya memiliki perbedaan yang cukup mencolok, terutama pada aktivitas perekonomian dan sturuktur pemerintahannya (Husaini, 1946: 1). Masyarakat perkotaan secara umum dikenal sebagai masyarakat yang cukup mudah untuk berkembang dikarenakan intensitas interaksi mereka dengan para pendatang cukup tinggi. Interaksi tersebut terjalin karena hubungan dagang dan ekonomi di kawasan perkotaan Arab. Pemerintahan mereka juga cukup tersturuktur dengan baik dimana mereka memilih pemimpin berdasarkan nasab, pengaruh dan kekayaan mereka di tengah-tengah masyarakat perkotaan. Berbeda dengan penduduk padang pasir dimana mereka terisolir, sehingga aktivitas dan interaksi mereka dengan penduduk lainnya juga terbatas. Bahkan struktur pemerintahan mereka tidak terlepas dari ashabiyah mereka sendiri.

Di masa-masa awal kelahiran Muhammad saw., Bani Hasyim, leluhur Muhammad saw., memegang kekuasaan dan pengaruh di kawasan perkotaan Arab. Di Mekkah, keturunan Bani Hasyim menguasai tempat paling strategis di pusat kota, Ka’bah. Mereka mengatur para pendatang dari berbagai daerah yang ingin menjalankan ibadah haji. Kebijakan ini pulalah yang meningkatkan perekonomian orang-orang Arab yang tinggal di sekitar Ka’bah (Hosain, 1933: 11-13). Pergantian orang-orang berpengaruh terus berlanjut hingga Muhammad saw., diangkat menjadi utusan. Saat Muhammad saw., mulai

(4)

ekonomi dan pemerintahan di Mekkah. Yang pada akhirnya, salah seorang pembesar di Mekkah, Abu Bakar as-Shiddiq, mengakui Muhammad saw. sebagai seorang utusan dan menerima ajaran Islam (ibid, 37).

Secara perlahan terjadi perubahan struktur di tengah masyarakat Arab, termasuk Quraisy. Mereka yang percaya dan menerima Muhammad sebagai utusan membantunya untuk tetap menghidupkan ajaran Islam dan masyarakat Arab mau menerimanya. Namun hal tersebut tidak mudah. Orang-orang Arab, terutama para pembesar Quraisy, yang sudah nyaman pada posisi mereka menolak ajakan tersebut dan mengatakan bahwa Muhammad saw., hanya obsesi untuk menjadi penguasa di Arab. Tuduhan mereka dimulai pada persolan ekonomi yakni mengatakan bahwa Muhammad saw., ingin menguasai Ka’bah

sehingga semua aktivitas yang berkaitan dengan haji dapat dikendalikan oleh Muhammad saw dan tentunya untuk memperkaya dirinya sendiri (lihat Karim, 2014). Tuduhan lain yang dilakukan oelh para pembesar Quraisy terhadap Muhammad saw., adalah ingin menjadi penguasa tunggal di Mekkah dan mengambil alih semua aktivitas pemerintahan di sana. Anggapan ini terus berkembang hingga hanya beberapa orang yang percaya terhadap Muhammad saw.

Sepeninggal Muhammad saw., kekacuan muncul satu persatu. Persoalan pertama yang timbul adalah masalah suksesi. Orang-orang Arab, termasuk Quraisy, yang awalnya seorang Muslim kemudian berbalik arah dan keluar dari Islam. Bahkan persoalan yang muncul semakin rumit, ketika muncul perselisihan siapa penerus dan pengganti Muhammad saw. Masa ini kemudian dikenal sebagai masa Khalifah al-Rasyidun yang pada akhirnya akan memunculkan berbagai polemik, terutama pada sturuktur pemerintahan di tengah masyarakat Arab sendiri (Hitti, 2005: 414; Karim, 2014: 72). Terdapat dua kubu yang kemudian muncul selepas meinggalnya Muhammad saw. Kubu pertama muncul yang secara langsung memproklamasikan Ali sebagai suksesor yang pantas. Di satu sisi ada juga yang mendukung bahwa yang pantas menjadi penerus Muhammad saw., adalah Abu Bakar as-Shiddiq2. Walaupun pada kenyataanya, persetruan

2 Untuk dua perdebatan ini sudah sering didiskusikan, terutama ketika membahas mengenai sistem

(5)

mengenai penerus perjuangan Muhammad saw., semua sejarawan sepakat bahwa masa tersebut dikenal dengan masa Khulafa al-Rasyidun (632-661 M) dan selanjutnya pemerintahan dalam Islam menjadi kekhalifaan yang disandarkan nasab para leluhur pendiri awal mereka dari tahun (661-1258) atau disebut dengan isitilah Kekhalifaan dalam Islam.

2. Jazirah Arab di Masa Islam: Perspektif Politik dan Sosial

Ajaran Islam sudah mulai disebarkan dan diajarkan oleh Muhammad saw. Ajaran ini berisikan ketauhidan, meng-Esa-kan Allah, dan disempurnakan dengan ajaran moralitas manusia terhadap sesama makhluk melalui al-Qur’an dan Hadits. Ajaran ini terus berkembang hingga hampir seluruh Jazirah Arab merasakan proses Islamisasi. Perjalanan panjang dalam sejarah Islam di masa awal memunculkan cukup banyak persoalan dan hampir merata, baik secara individu maupun kelompok, tidak terkecuali dalam persoalan sosial-politik. Untuk memudahkan pembahasan tersebut, maka ada baiknya kita melihat pembahasa di bawah ini.

a. Otonomi di Masa Nabi Muhammad SAW.

Di dalam berbagai sumber sejarah menceritakan bahwa Muhammad saw., dilahirkan di Jazirah Arab karena pada saat itu suasana dalam keadaan kacau. Perpecahan terjadi di mana-mana. Perang antar kelompok, suku, bahkan hubungan antar manusia pun tidak terjalin dengan baik. Wanita dan bayi wanita diperlakukan semena-mena oleh kaum lelaki hingga sampai tega mengubur bayi wanita yang baru lahir, karena dianggap tidak mampu melanjutkan garis nasab. Kondisi ini sudah menunjukkan bahwa di kalangan Jazirah Arab sistem patriarkhial berpengaruh sangat kuat untuk pembentukan satu kelompok sosial.

Seruan Muhammad saw. untuk memeluk ajaran Islam kepada penduduk Jazirah Arab ternyata tidak berjalan dengan baik dan lancar. Semua usaha Muhammad saw. berujung pada kebencian dari sanak saudaranya, terutama dari

bahwa Ali lebih pantas jika dibandingkan dengan yang lainnya ( Lihat Saiyad Safdar Hosain, 1933. The Early History of Islam: with special Reference to the Position of Ali, during the Life of the Holy Prophet Muhammad and After,

(6)

para pemimpin Quraisy. Muhammad saw., menurut orang-orang Quraisy, hanyalah seseorang yang haus akan kekuasaan. Para pemimpin Quraisy merasa terganggu dengan seruan tersebut dan menghalangi dia untuk tetap menyebarkan ajaran Islam. Lebih jauh lagi, orang-orang Quraisy, terutama dari kalangan pembesar Quraisy, menuduh bahwa Muhammad saw., adalah seseorang yang gila harta. Tindakan orang Quraisy yang dengan terang-terangan menolak Muhammad saw., karena dilatarbelakangi oleh faktor ekonomi. Alasan sederhanya adalah apabila orang-orang Quraisy menerima ajaran Islam, maka semua aktivitas perekenomian tidak lagi berada di tangan para pembesar Quraisy, terutama pada musim haji. Selanjutnya, mata pencaharian para pembuat patung tidak lagi dibutuhkan karena

patung akan membuat orang-orang terjerembab ke arah kemusyrikan. Hal semacam ini menjadi pertimbangan kuat bagi orang-orang Quraisy untuk tetap menolak ajakan Muhammad saw.

Tak berselang lama, Islam mengalaimi perkembangan yang pesat. Beberapa kelompok pembesar Quraisy mulai memeluk Islam (Lewis, 1974: xvii). Abu Bakar, setelah Muhammad saw. menceritakan proses Isra’ Mi’raj-nya ke Sidrah al-Muntaha, dengan suka rela menerima ajakan Muhammad saw. untuk menerima ajaran Islam (Hosain, 1933: 37). Singkatnya, Muhammad saw., berhasil menyebarakan dan mengajarkan Islam ke masyarakat Jazirah Arab, terutama berhasil mempersaudarakan kalangan Kaum Anshar dan Muhajirin dalam peristiwa hijrah Nabi ke Yathrib (Karim, 2014: 70-71).

Ada beberapa hal menarik ketika Islam sudah mulai diperhitungkan oleh kelompok Quraisy. Kewaspadaan para pembear Quraisy terhadap Muhammad saw. dan ajarannya, Islam, terlihat saat sis humanisme dalam ajaran Islam ditonjolkan. Terjadi perubahan yang signifikan dalam sturuktur sosial masyarakat Arab. Para wanita tidak lagi diperlakukan semena-mena. Menyiksa wanita dan mengubur anak bayi wanita tidak lagi terjadi secara massif di kalangan masyarakat Arab, walaupun pada kenyataannya sistem patriarkhial masih tetap dipertahankan oleh orang-orang

(7)

mereka dengan adanya sumber ekonomi secara kolektif yang dilakukan oleh Muhammad saw. Yang paling menarik adalah dari sistem pemerintahan yang diterapkan oleh Muhammad saw. Dia menerapkan sistem pemerintahan berdasarkan kedaulatan rakyat. Artinya bahwa kebebasan berada di tangan rakyat, namun tetap mengikuti otoritas agama yang sudah ditentukan oleh Allah. Di sini terdapat interpretasi perpolitikan yang dilakukan oleh Muhammad saw., ketika harus merangkul seluruh masayrakat Jazirah Arab yang majemuk.

Sebenarnya pada sistem pemerintahan Muhammad saw., sebagai kepala daerah, dapat dikatakan sebagai sistem yang sentralisitik. Sistem tersebut terlihat pada beberapa kasus untuk memperkuat asumsi ini. Asumsi pertama terlihat pada

tatanan dan struktur yang terbentuk di masa itu. S. A. Q. Husaini Maulawi (1946) menyebutkan pada karyanya, terutama pada chapter II dalam bukunya Arab Administration, bahwa administrasi di bawah kontrol Muhammad saw. merupakan sistem terpusat, namun tidak terikat. Artinya, Muhammad saw., memberikan kedaulatan penuh terhadap masyarakat di Jazirah Arab, terutama dalam hal keyakinan, namun mereka juga tidak lepas dari aturan-aturan negara yang sudah disepekati secara bersama. Oleh karena itu, di masa pemerintah Muhammad saw., sistem otonomi daerah hanya bersifat pada level tertentu semata, bukan pada perspektif geografisnya, melainkan pada persepktif individunya.

Muhammad saw., hanya bersikap akomodatif semata agar mudah melakukan kontrol terhadap umat Islam di masa awal. Sistem pemerintahan gubernur, yang disebut sebagai wali, sudah diterapkan, namun mereka tetap melakukan pelaporan terhadap Muhammad saw., untuk kondisi masyarakat dan ekonominya secara menyeluruh. Untuk memudahkan Muhammad saw., melakukan pengawasan terhadap daerah di bawah gubernur, maka Muhammad saw., mengikatnya dengan propaganda keagamaan untuk menjalankan semua aspek kehidupan yang sedang tumbuh pada masa itu (Husaini, 1946: 18).

b. Otonomi di Masa Khulafa ar-Rasyidun

(8)

dan Asia bagian Selatan meskipun mereka hanya dapat mengatur wilayah Islam selama kurang lebih tiga puluh sembilan tahun.

Khalifah pertama, Abu Bakar yang menjabat hanya dua tahun (632-634) (Hitti, 1970: 139) memberikan kesan yang baik pada umat Islam sepeninggal Muhammad saw. Pemerintahannya yang demokratis dan berdaulat mampu menarik perhatian umat Islam untuk tetap mengikuti ajaran tersebut. Otoritas kepemimpinan dan keagamaan umat Islam berada di tangan Abu Bakar sebagai khalifah. Akan tetapi Abu Bakar dengan sangat jelas menyatakan bahwa sebenarnya kedaulatan individu dan komunal sangat berbeda. Untuk urusan personal, terutama yang berkaitan dengan Allah, maka hal tersebut mutlak berada di tangan Allah dan

manusianya sendiri, sedangkan dalam urusan duniawi, manusia, sebagai suatu sub-sistem di masyarakat, berdaulat ketika suara komunal berusaha dijalankan untuk tujuan bersama. Di sinilah pentingnya perspektif Abu Bakar mengenai perbedaan antara kedaulatan rakyat dan negara dan rakyat dan Tuhan.

Dari awal, tidak ada negara Islam yang didirikan oleh Muhammad saw., pun juga dengan para khalifah. Yang ada hanyalah sistem kenegaraan yang disandarkan pada ajaran-ajaran Islam, namun tidak mengikat secara mutlak. Artinya, suara rakyat adalah keputusan tertinggi dalam pemerintahannya, walupun ada interpretasi terhadap hukum ketetapan Allah mengenai bernegara, yang kemudian dapat dibuktikan dalam Piagam Madinah di masa sebelumnya.

Di masa Abu Bakar, pemerintahan Islam masih sama dengan sistem pemerintahan yang diterapkan oleh Muhammad saw., yakni sentralistik namun tetap mengedepankan kedaulatan rakyat melalui musyawarah. Wilayah-wilayah Islam sebelumnya tetap dipimpin oleh seorang gubernur yang tidak lain adalah para penakluk wilayah tersebut, namun di sisi lain, mereka tetap memegang teguh ajaran humanisme Islam yang berorientasi ummah dan persamaan serta persaudaraan.

Kekhalifaan kemudian berganti ke tangan Umar (634-644) sebagai amir al-mukminuun. Pengangkatannya sebagai khalifah ditunjuk langsung oleh Abu Bakar

(9)

sahabat berkumpul ketika menjeguk Abu Bakar. Di samping itu pula, menurut penulis, ada kriteria lain dalam penilaian Abu Bakar terhadap Umar semasa Abu Bakar dan Umar masih bekerjasama sebagai khalifah dan hakim. Di dalam kerjasama tersebut, Abu Bakar melihat bahwa Umar adalah sosok yang tegas, jujur dan dapat dipercaya serta adil untuk dijadikan sebagai seorang hakim, terutama untuk memutuskan perkara keagamaan.

Ekspedisi dan ekpansi memang tidak lepas dari penyebaran ajaran Islam, namun Islam tidak hanya selalu identik dengan kekerasan dan peperangan. Meskipun dalam masa kepimimpinan Umar ekspansi terus terjadi, kawasan strategis mulai dikuasai oleh umat Islam. Semangat dakwah ditekankan oleh Umar

terhadap prajurit Muslim daripada mencari harta rampasan perang (Karim, 2014: 85). Ekspansi tersebut ternyata berdampak positif bagi persebaran ajaran Islam. Di masa Umar wilayah Islam terbagi atas delapan provinsi dengan menunjuk seorang gubernur, wali, untuk setiap wilayahnya. Misalnya saja ketika Muawiyah ditunjuk sebagai gubernur oleh Umar di Syiria dan beberapa daerah lainnya, termasuk sebagian Irak, Persia, Mesir, Tripoli dan Barqah (Hosain, 1933(2): 313; Hitti, 1970: 155-65).

Di masa-masa ini kebijakan Umar terhadap wilayahnya cukup memberikan kesejahteraan bagi semua kalangan, baik para kepala negara, tentara, dan masyarakat pada umumnya. Salah satu bukti yang mendukung bahwa Umar merupakan salah satu pemimpin yang adil ketika dirinya mengeluarkan kebijakan untuk memperbaiki administrasi pemerintahannya dengan berani memberikan gaji tetap kepada tentara dan seluruh sahabat Nabi. Di satu sisi juga, Umar menerapkan kebijakan di bidang ekonomi untuk mendukung perbaikan administrasi tersebut. Dia dengan rinci memberikan kompensasi terhadap semua keluarga Nabi, dan para anak-anak yang ditinggal dalam Perang Badr (Husaini, 1946: 53-54). Di sini kemudian menunjukkan bahwa pemerintahan bertanggung jawab terhadap seluruh rakyatmya untuk merasakan kemakmuran dan keadilan.

(10)

Selatan (Mahmudunnasir, 1994: 127-134). Karim (2014: 91) menyebutkan bahwa wilayah Islam di masa Utsman mencapai wilayah Pakistan di Asia, Asia Kecil dan Aljazair di Afrika. Karena wilayah yang luas itu, maka Utsman melanjutkan kebijakan Umar untuk tetap menggunakan jasa gubernur mengurusi wilayah-wilayah Islam.

Yang menarik dari Utsman adalah dia memiliki kepribadian kuat didukung dengan kekuatan fisik yang hebat serta memiliki pendirian, hingga Hitti (1970: 175) menyebutnya sebagai seseorang yang keras kepala. Dia adalah seorang pemuka dari kelompok baduwi yang disebut dengan sheikh dengan gaya hidup yang sederhana namun pekerja keras. Terbukti dia mampu menaklukkan Iran, Azerbaijan dan

Armenia (ibid, 176.)

Di masa itu, dia mengangkat beberapa sanak familinya untuk dijadikan sebagai gubernur di kawasan Islam. Dia mengangkat Walid bin Uqbah sebagai gubernur Kufah, dan mengangkat Marwan bin al-Hakam sebagai diwan, sekertaris negara. Bahkan beberapa sumber sejarah menyatakan bahwa di masa Utsman kepemimpinan lebih banyak di bawah pengaruh keturunan Umayyah (ibid, 177; Dozy, 1913: 28). Pada sumber lainnya menunjukkan bahwa Muawiyah lebih dahulu diangkat menjadi gubernur Syam, Abu Musa al-Asy’ari di Basrah dan beberapa posisi strategis lainnya yang banyak diisi oleh kerabat khalifah Utsman (Karim, 2014: 91-92). Namun pada kenyataanya, hampir semua pemimpin yang dipilih oleh Utsman melakukan tindakan yang semena-mena terhadap wilayah yang diawasinya.

Tindakan Utsman kemudian disebut sebagai nepotis oleh orang-orang yang berseberangan dengannnya. Sejarah pun mencatatkan demikian mengenai tindakan nepotism Utsman di masa itu. Para penulis sejarah, terutama di masa setelahnya, menyatakan bahwa Utsman menunjuk mereka sebagai rasa sungkan dan tidak enak hati kepada keluarganya sendiri. Apalagi sebagian besar yang diangkat oleh Utsman tidak lebih dari saudara terdekatnya sendiri.

(11)

panglima perang yang ulung, cerdas dan ahli strategi. Sedangkan di kasus Musa al-Asy’ari tindakannya yang cukup boros dan tidak memperhatikan rakyatnya sebagai celah untuk memperkuat tuduhan nepotis terhadap Utsman. Akan tetapi, penulis sendiri beranggapan bahwa, pengangkatan keduanya adalah kasus yang berbeda. Perbedaan kasus dilihat dari sisi obejektif Utsman sendiri terhadap pemimpin wilayah di daerah Muslim. Penulis lebih condong melepas perkiraan setelah pengangkatan tersebut, namun melihat latar dari penunjukan tersebut. Oleh karena itu, Utsman tidak melakukan nepotis melainkan berusaha membuat kondisi wilayah Islam pada masa itu terlihat stabil.

Selanjutnya di masa Ali (656-661) sebagai khalifah pengganti Utsman.

Pengangakatan Ali tidak seperti yang terjadi antara Umar dan Utsman, namun lebih mirip dengan pengangkata Abu Bakar yang penuh dengan gejolak. Pemilihan Ali sebagai khalifah berdampak pada umat Islam di masa kemudian. Konflik antar pendukung, kemudian beralih menjadi konflik politik yang membentuk sekte-sekte politik dalam Islam: Sunni, Syi’ah, dan Khawarij. Ketiganya menjadi kelompok politik yang muncul karena peralihan kekuasaan. Walaupun pada akhirnya, Ali terpilih sebagai khalifah penerus Utsman.

Dozy mencatat (1913: 28) konflik kepemimpinan selepas Utsman terjadi dengan tujuan untuk mempertahankan kehormatan dan harga diri di kalangan keturunan Umayyah dan Abu Thalib, bahkan diarahkan ke Muhammad saw. Alasan semacam ini cukup jelas karena Ali secara langsung adalah menantu sekaligus sepupu Nabi, dan hal tersebut baru terbukti di kemudian hari.

Kebijakan Ali disektor pemerintahan cukup represif. Dia banyak mengganti kepala daerah warisan Umar dan Utsman karena alasan tindakan kesewang-wenangan dan pemanfaatan posisi (Karim, 2014: 107). Ali mengeluarkan kebijakan bahwa seluruh kekayaan dan hasil pendapatan negara dimasukkan ke kas negara. Negara yang akan mengelolanya agar pembagian dan pemanfaatannya bertujuan untuk menyejahterakan umat Islam.

(12)

beberapa gubernur lainnya dicabut dari posisinya, hingga pada akhirnya

Mu’awiyah melakukan perlawanan (Hosaini, 1946: 365-366). Bahkan Mu’awiyah

mengganggu kepemimpinan Ali sebagai Khalifah.

Dengan demikian dari peristiwa para khalifah di atas, persoalan mengenai pengaturan wilayah Islam yang semakin meluas tidak lepas dari kebijakan para khalifah yang menjabat. Tercatat selama empat khalifah yang menjabat selama tiga puluh sembilan tahun, pemerintahan di masa itu tidak jauh dari sistem yang diterapkan oleh Nabi Muhammad saw. Terjadi sentralisasi kekuasaan, meskipun di masa Umar dan Utsman penerapan kebijakan sedikit berubah menjadi otonomi, namun tidak pada otonomi penuh, melainkan tetap tunduk pada kebijakan khalifah

sebagai kepala negara. Otonomi diterapkan hanya pada pengaturan dan pengawasan wilayah semata agar tidak terjadi kekacuan dan muncul pemberontakan, namun pada sistem perekonomian, kebijakan otonomi tidak mengikuti pada kebijakan wilayah.

c. Otonomi Sistem Dinasti-Dinasti Islam Awal: Umayyah dan Abbasiyah

Konflik antara Ali dan Mu’awiyah terus berlanjut meski diakhiri dengan proses damai yang dikenal dengan sebutan Tahkim. Proses ini sebenarnya menandai bahwa sistem kepemimpinan dalam Islam berubah. Perubahan dari khalifah, pengganti rasulullah yang dipilih secara demokrasi dan terbuka melalui majelis syura, kemudian berganti menjadi pemilihan secara langsung berdasarkan hak individu seorang pemimpin.

Hal ini juga memunculkan beberapa persoalan dalam kehidupan masyarakat Muslim di masa awal-awal perkembangan dan pemertahanannya. Sturktur dan

sistem pemerintahan sedikit berubah di masa-masa kekhalifaan. Khalifah di masa dinasti, tidak sama dengan khalifah di masa sebelumnya. Status khalifah masih sama, namun memiliki tugas yang berbeda.

(13)

Islam di masa dinasti tidak lepas dari kepentingan individu, bukan lagi mencari kedaulatan untuk rakyat.

Akan tetapi Ibnu Khaldun berbeda pendapat dari Stoddard mengenai hal tersebut, Ibnu Khaldun menyatakan bahwa Mu’awiyah menjabat sebagai khalifah dan menunjuk khalifah secara langsung dikarenakan ketakutannya sendiri. Dia, Mu’awiyyah, tidak menginginkan adanya pertumpahan darah yang terulang ketika harus mencari penggantinya sebagai khalifah. Oleh karena itu, dia menunjuk Yazid sebagai pengganti posisinya menjadi khalifah. Lebih lanjut Ibnu Khaldun

menyatakan bahwa Mu’awiyah hanya membela kaummya semata yang seolah-olah

hal tersebut lumrah terjadi di kalangan masyarakat Arab.

Tidak jauh berbeda dengan sistem dinasti yang dibentuk oleh Umayyah di Syiria, Abbasiyah juga mendirikan dinasti di daratan Baghdad. Kedua dinasti ini memerintah dengan pola yang sama yakni khalifah. Sistem teokrasi digulingkan dengan alasan bahwa khalifah adalah wakil Tuhan di muka bumi ini, maka semua rakyat berkewajiban tunduk kepada khalifah.

Kepemimpinan wilayah yang dikepalai oleh seorang gubernur kini berada di tangan khalifah. Kekhalifahan di kedua dinasti ini memiliki sistem pemerintahan yang sama sentralisitik. Artinya, khalifah adalah penguasa tunggal di wilayahnya dan hanya menempatkan seorang gubernur saja sebagai pengawas, bukan sebagai pemberi kebijakan untuk masyarakat yang dipimpinnya.

3. Masa Transisi: Dari Sentralisasi ke Sistem Otonomi Daerah

Masa pemerintahan di masa Islam awal, sejak Muhammad saw. hingga dengan terbentuknya dua dinasti besar dalam, memiliki ciri khas tersendiri. Reformasi

masyarakat dalam Islam terjadi secara perlahan dan kemudian mengarah pada perubahan yang massif.

(14)

Jazirah Arab pada masa itu. Surat dikirimkan kepada setiap perwakilan suku, dan membuat perjanjian untuk kesejahteraan mereka dengan mengangkat seorang gubernur dan pengumpul pajak. Tujuannya adalah untuk kebaikan bersama atas nama rakyat. Karakteristik pemerintahan di masa Muhammad saw., dapat dikatakan memiliki sistem pemerintahan yang sentral, terpusat, dengan Muhammad saw., sebagai kepala daerah dan pemutus kebijakan. Tentunya kebijakan yang dikeluarkan menunggu kesepakatan bersama dari rakyat apabila hal tersebut tidak memberatkan untuk mereka.

Untuk memudahkan Muhammad saw., mengatur semua itu, maka dia membentuk satu kesekertariatan yang dipilih berdasarkan kecakapan personalanya. Misalnya saja, ketika Muhammad saw., menunjuk Zubair bin al-Awwam dan al-

Juhaym bin Salt sebagai orang yang mengumpulkan zakat dan sadaqah, awwalu’s -sadaqat. Al-Mughirah bin Shu’bah dan al-Hasan bin Namir diangkat menjadi pencatat

transaksi di masyarakat, atau sebagai petugas register transaksi keuangan di pasar. Zaid bin Tsabit dijadikan sebagai pembawa pesan untuk para penguasa di setiap wilayah yang ada di sekitar Jazirah Arab dan Afrika. Bahkan Muhammad saw., mengangkat seorang sekertaris untuknya dan menunjukan Hanzalah bin ar-Rabi’ sebagai sekertaris pribadinya (Hosaini, 1946: 18-20).

Untuk pemerintahan di setiap wilayahnya, ketika ajaran Islam sudah mulai tersebar luas, Muhammad saw., mengangkat gubernur di beberapa daerah strategis. Muhammad saw., memilih Madinah sebagai pusat pemerintahannya. Muhammad saw., membagi wilayah Islam yang cukup luas ke dalam beberapa provinsi. Tercatat ada delapan provinsi yang dibentuk oleh Muhammad saw., saat menjadi kepala negara. Madinah, Tayma, al-Jaund, region of Banu Kindah, Makkah, Najran, al-Yaman, Hadhramuat, Oman dan Bahrain (ibid, 20). Setiap wilayahnya diangkat seorang gubernur dan beberapa pembantunya, seperti amil dan qadi. Pembagian itu untuk memudahkan urusan dan pelaporan kepada Muhammad saw., yang memilih Madinah sebagai pusat pemerintahannya.

Pendapatan utama dari pemerintahan setiap provinsi ini adalah ghanimah, zakat

(15)

yatim-piatu, miskin dan untuk kepentingan umat Islam lainnya. Menariknya, tanah taklukan, tidak hanya dimanfaatkan untuk kepentingan pajak semata, namun juga dimanfaatkan untuk menunjang kebutuhan masyarakat di bawah kepemimpinan Muhammad saw., terutama umat Islam.

Sepeninggal Muhammad saw., pemerintahan untuk kedaulatan dan kesejahteraan rakyat tetap dipertahankan. para khalifah pengganti Muhammad saw., masih melanjutkan pemerintahan semi otonomi tersebut. Abu Bakar masih menerapkan sistem yang dipimpin oleh Muhammad saw. (Hitti, 1970:141). Walaupun pada kenyataanya banyak juga orang-orang Islam yang dulunya tunduk terhadap aturan Muhammad saw., namun setelah kepergiannya mereka malah berbalik arah dan

membangkang terhadap Abu Bakar. Di Yaman misalnya, suku Yamamah tidak ingin melanjutkan pembayaran pajak sebagaimana yang telah disepakati dengan Muhammad saw.

Perubahan struktur kepemimpinan terjadi di masa khalifah Umar. Umar yang membagi wilayah menjadi delapan provinsi ―Makkah, Madinah, Syiria, Jazirah (Mesopotamia), Basrah, Kufah, Mesir, dan Palestina. Yang paling unik, Umar membagi dua provinsi besar menjadi dua distrik utama, seperti yang dilakukan pada Palestina, Ayliyah dan Ramlah. Selanjutnya di Mesir terdapat Mesir bagian atas dan Mesir bagian bawah. Serta beberapa provinsi besar lainnya yang kemudian menjadi wilayah kekuasaan Islam. Umar menambahkan beberapa struktur baru dalam pemerintahan karena dianggap wilayah Islam di masa itu terlalu luas. Dia membentuk tiga sturktur baru yakni Amil, kepala distrik, Kitab ad-Diwan, sekertaris badan pertahanan dan Sahibu Bayti al-Mal, sekertaris keuangan. Wali dan ‘Amil memliki tugas yang berbeda meskipun sama-sama mengontrol satu wilayah, namun posisi wali

kedudukannya lebih tinggi jika dibandingkan denga Amil.

Pada kebijakan lainnya, khalifah menarik semacam pajak untuk para pedangang yang akan berdagang di kawasan Islam. Hal ini sama dengan penarik biaya bea-cukai di negara modern. Penarikan ini dikarenakan para pedagang yang berdagang di

(16)

sekitar 60 sa’s (Hosaini, 1946: 35-37). Ini mungkin salah satu terobosan terbaik dari Umar ketika menjadi seorang Khilafah, karena di masa setelahnya, Ali, yang menjadi pokok permasalahan terletak pada konstelasi politik yang menyebabkan terpecahnya kelompok umat Islam.

Dua Dinasti Islam, Umayyah dan Abbasiyah, juga sebenarnya menerapkan hal yang lebih berkembang lagi. Dalam sistem perpolitikan, khususnya pada politik dalam negeri dan luar negeri, pemerintahan Islam semakin meluas. Di sini juga muncul kelompok sosial baru yakni orang Arab dan mawali. Inti dari pembagian ini sederhana yakni agar para pemangku pemerintahan terjaga untuk nasab tertentu semata. Lain halnya lagi ketika harus merujuk bahwa yang patut menjadi seorang pemimpin adalah

hanya orang-orang Arab semata (Hasjmi, 1993. 154). Dua dinasti ini sebenarnya menerapkan kebijakan otonomi daerah yang cukup beresiko. Pemerintahan dimasa Dinasti cukup berbeda dengan masa al-Khulafa ar-Rasyidun yang kekuasan tertinggi berada di tangan rakyat, tapi di masa dinasti pemerintahan monarki absolut (Fachruddin, 1988: 248).

D. Penutup

Tatanan sosial masyarakat Arab terbagi masyarakat perkotaan dan masyarakat padang pasir. Masyarakat perkotaan secara umum dikenal sebagai masyarakat yang cukup mudah untuk berkembang dikarenakan intensitas interaksi mereka dengan para pendatang cukup tinggi. Interaksi tersebut terjalin karena hubungan dagang dan ekonomi di kawasan perkotaan Arab. Perjalanan panjang dalam sejarah Islam di masa awal memunculkan cukup banyak persoalan dan hampir merata, baik secara individu maupun kelompok, tidak terkecuali dalam persoalan sosial-politik.

(17)

agar tidak terjadi kekacuan dan muncul pemberontakan, namun pada sistem perekonomian, kebijakan otonomi tidak mengikuti pada kebijakan wilayah.

Di dalam Islam, sistem pemerintahan negara tidak dibakukan. Islam hanya memberikan prinsip-pirinsip dasaranya yang sudah tertuang di dalam Al-Qur’an dan Sunnah Nabi Muhammad saw. Islam hanya memberikan persepsi mengenai keadilan, persamaan, dan adanya kesepakatan bersama (syura), tergantung bagaimana seorang kepala dan pemimpin sebuah daerah dan ngara menjalankan prinsip dasar tersebut. Suatu negara tidak memiliki aturan yang mengikat untuk memilih kepala negara dan sistem pemerintahanya. Misalnya di masa pra-Islam, seorang kepala negara atau kepala daerah ditunjuk berdasarkan dari nasab dan garis keturunanannya, kemudian di masa Islam, kepala negara dan kepala daerah diangkat berdasarkan pada kesepakatan bersama,

setelah sepeninggalan Muhammad saw. Bahkan yang lebih unik terjadi di masa Muhammad saw., dimana dia diangkat menjadi kepala daerah berdasarkan kesepakatan antar kelompok. Hal ini dapat dibuktikan melalui proses perjanjian Piagam Madinah, yang tujuan utamanya adalah memberikan kebebasan, keadilan, dan setaranya antar umat beragama di masa itu. Dengan demikian, pembentukan negara dan pemilihan kepala negara tidak memiliki aturan baku, namun memiliki tujuan yang baku yakni keadilan, persamaan dan kesepakatan.

Daftar Pustaka

Dozy, Reinhart, 1913. Spanish Islam: A History of the Moeslem in Spain, London: Chatto & Windus.

Fachruddin, Fuad Muhd., 1988. Pemikiran Politik Islam, Jakarta: CV. Pedoman Jaya Ilmu.

Hasjmy, A., 1993. Sejarah Kebudayaan Islam, Jakarta: Bulan Bintang.

Hosain, Saiyad Safdar, 1933. The Early History of Islam: with special Reference to the Position of Ali, during the Life of the Holy Prophet Muhammad and After, Delhi: Low Price Publications.

Karim, M. Abdul, 2014. Sejarah Pemikiran dan Peradaban Islam, Cetakan V, Yogyakarta: Bagaskara.

Lewis, Bernard, 1974. Islam form the Prophet Muhammad to Capture of Constantinopel, London: Harper Torchbooks.

Mahmudunnasir, Syed, 1994. Islam its Consepts and History, New Delhi: Kitab Bhavan.

(18)

Referensi

Dokumen terkait

 Berdiskusi tentang sifat kasih sayang Nabi Muhammad Saw terhadap sesama (anak-anak, wanita, pembantu, umat Islam, nonIslam, dan orang-orang yang memusuhinya).  Bermain peran

Maka kalau ada orang seperti yang tersebut dalam ayat diatas, misalnya mengatakan bahwa Al Qur’an itu adalah karangan Muhammad ملسو هيلع الله ىلص, Al