• Tidak ada hasil yang ditemukan

Skripsi revisi Bab I II III Daris 19 sep

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2018

Membagikan "Skripsi revisi Bab I II III Daris 19 sep"

Copied!
47
0
0

Teks penuh

(1)

A. Latar Belakang Masalah

Setiap warga negara berhak atas pendidikan yang layak dan berkualitas untuk membangun generasi yang memiliki daya saing dalam era globalisasi seperti saat ini. Pemerintah mempunyai peran penting dalam meningkatkan sarana dan prasarana kebutuhan di dunia pendidikan. Tetapi sangat di sayangkan pada masa sekarang ini bahwa peran pemerintah belum terealisasikan dengan maksimal. Karena ikut campur oknum yang kurang bertanggung jawab dalam proses pengeloaan kurikulum pendidikan di Indonsia. Peningkatan mutu dan kualitas seharusnya dapat mengambil banyak sumber, misalnya dengan mengadaptasi kebudayaan-kebudayaan dan kekayaan alam yang dimiliki oleh Indonesia. Karena sebenarnya Indonesia merupakan salah satu negara yang memiliki kekayaan atau ragam flora, fauna, dan kebudayaan yang berlipah.

Tidaklah sulit bagi pemerintah untuk mengambangkan potensi yang sudah dimiliki oleh Negara Indonesia. Namun, tidak begitu saja pemerintah ataupun pihak dinas pendidikan mengadaptasi budaya secara langsung. Pemerintah juga memerlukan pemilahan dalam proses pengadaptasian budaya yang akan

dipergunakan dalam proses belajar mengajar di Indonesia. Karena tidak semua kebudayaan lokal bisa secara langsung di terapkan dalam proses pembelajaran.

Banyak peninggalan-peninggalan budaya masa lampau yang menjadi warisan lelulur nenek moyang kita sangat beragam

(2)

dan banyak menarik perhatian para ilmuwan, salah satu

diantaranya folklor. Folklor tergolong ilmu atau sebuah disiplin budaya. Folklor merupakan ilmu yang luas, apa saja bisa masuk di dalamnya. Sadar atau tidak, kehadiran folklor memperkaya khasanah budaya yang bersangkutan. Folklor Jawa, misalnya akan menjadi ciri atau identitas kejawaan yang membedakan dengan etnik lain. Jati diri orang Jawa akan memupuk jiwa kolektif kejawaan.

Foklor sangat kaya dengan nilai-nilai kearifan lokal. Kearifan lokal (lokal wisdom) adalah produk budaya masa lalu yang

dipercaya dapat memberi kontribusi terhadap terciptanya kehidupan yang damai dan tenteram. Sebagai produk kearifan lokal, folklor sebenarnya mengandung aspek sejarah,

pengalaman, pandangan hidup, adat istiadat, kepercayaan, politik, obsesi dan berbagai kegiatan lain yang terdapat disuatu komunitas atau daerah. Namun, potensi lokal tersebut masih terabaikan dan belum tersentuh oleh pemerintah daerah karena rendahnya pengetahuan pengelolaan terhadap bidang sosial budaya.

(3)

peristiwa beberapa tahun belakangan. Salah satu penyebab kejadian tersebut adalah generasi muda tidak mau mempelajari budaya sendiri. Heriman

mengatakan bahwa dalam suatu kasus, ditemukan generasi muda menolak budaya yang hendak oleh generasi pendahulunya.

Budaya di Indonesia sangatlah beragam. Indonesia memiliki berbagai macam budaya yang banyak dan memiliki nilai-nilai di balik budaya tersebut. Dengan keberagaman budaya yang di miliki Indonesia serta nilai-nilai kearifan yang terdapat di dalamnya, kita dapat mengambil teladan untuk di angkat ke dunia pendidikan. Terutama budaya atau kearifan lokal Indonesia itu sendiri.

Pada pembelajaran bahasa dan sastra Indonesia, banyak membutuhkan sumbangan-sumbangan materi pembelajaran yang mengangkat kearifan-kearifan lokal milik Indonesia sendiri. Banyak budaya yang masuk kriteria sebagai materi pembelajaran dan memberikan teladan-teladan yang dapat diterapkan pada kehidupan bagi peserta didik yang mempelajarinya. Selain itu, budaya yang dijadikan sebagai materi juga akan tetap terjaga keberadaanya dan akan tetap lestari.

Pendidikan saat ini sangat membutuhkan sosok-sosok teladan dari pahlawan maupun cerita-cerita di Indonesia. Hal ini di nyatakan karena kurangnya nilai-nilai keteladan yang di miliki peserta didik. Karena peserta didik adalah sebagai

(4)

Sesuai dengan uraian di atas, peneliti memilih judul dengan mengangkat Nilai Kearifan Lokal pada Cerita Rakyat Sunan Bonang Tuban dan Relevansinya dengan Pembelajaran Sastra di Sekolah. Cerita rakyat Sunan Bonang memiliki banyak nilai-nilai yang dapat berkontribusi dalam dunia pendidikan. Cerita rakyat Sunan Bonang Tuban sendiri sudah sering kita dengar dan sering kita baca. Di dalam cerita rakyat tersebut banyak nilai-nilai yang dapat di jadikan contoh atau teladan yang baik bagi peserta didik. Cerita rakyat Sunan Bonang Tuban merupakan cerita yang berisi tentang perjalanan kewalian

seseorang dalam menyebarkan ajaran agama islam di bumi Jawa Indonesia, salah satunya di Jawa Timur. Banyak teladan cerita yang dapat di ambil dari sumber di luar Jawa Timur. Maka dari itu, peneliti ingin mengangkat kembali cerita-cerita daerah yang berasal dari Jawa Timur untuk di jadikan materi pembelajaran di sekolah secara formal. Hal tersebut juga sangat dianjurkan oleh pemerintah, karena sekarang pembelajaran di sekolah banyak mengangkat tentang lokalitas lingkungan sekolah masing-masing dan diolah sebaik mungkin agar menjadi inti pembelajaran yang memberi manfaat untuk lingkungan tersebut juga untuk pemerintah.

B. Ruang Lingkup Penelitian

Pembatasan masalah dalam penelitian ini dimaksudkan agar penelitian lebih jelas dan terarah. Batasan masalah diperlukan

untuk mengatisipasi meluasnya objek tinjauan. Dalam penelitian ini, peneliti fokus penelitian hanya pada kearifan lokal religius, kearifan lokal

(5)

kearifan lokal akan di lihat dari tokoh utama dan refleksi sosial sastra lisan pada jamannya serta refleksi sosial masyarakatnya saat ini. Kemudian nilai-nilai nilai kearifan lokal dan nilai pendidikan yang ada dalam foklor tersebut dihubungkan dengan pembelajaran sastra di sekolah.

C. Pertanyaan Penelitian

Berdasarkan latar belakang masalah, dan ruang lingkup, dapat dirumuskan tiga pertanyaan penelitian.

1. Bagaimanakah nilai kearifan lokal religius yang terdapat dalam cerita rakyat Sunan Bonang Tuban?

2. Bagaimanakah nilai kearifan lokal kesenian yang terdapat dalam cerita rakyat Sunan Bonang Tuban?

3. Bagaimanakah relevansi kearifan lokal cerita rakyat Sunan Bonang Tuban dengan pembelajaran sastra di sekolah?

D. Tujuan Penelitian

Berdasarkan masalah di atas, dirumuskan tujuan penelitian. 1. Tujuan Umum

a. Memberikan wawasan kepada pembaca mengenai pendidikan ragam kearifan lokal yang dimiliki Indonesia.

b. Memberikan alternatif pembelajaran kepada pengajar yang lebih berinovasi pada pembelajaran sastra.

(6)

a. Mengetahui nilai kearifan lokal religius yang terdapat dalam cerita rakyat Sunan Bonang Tuban.

b. Mengetahui nilai kearifan lokal kesenian yang terdapat dalam cerita rakyat Sunan Bonang Tuban.

c. Mengetahui relevansi kearifan lokal cerita rakyat Sunan Bonang Tuban dengan pembelajaran sastra di sekolah.

E. Kegunaan Penelitian

Penelitian diharapkan memberikan beberapa manfaat. 1. Manfaat Teoritis

Penelitian ini digunakan untuk mengembangkan keilmuan dan wawasan dalam kegiatan ilmiah. Pengembangan keilmuan ini dengan meneliti bagaimana implementasi Sekolah berbasis kearifan lokal di Sekolah.

2. Manfaat Praktis a. Bagi Guru

1) Memberi gambaran sejauh mana implementasi Sekolah Berbasis Kearifan Lokal tersebut.

2) Sebagai upaya untuk menindaklanjuti Sekolah Berbasis Kearifan Lokal yang telah diamanahkan oleh pemerintah.

3) Sebagai penunjang pembelajaran kreatif berbasis Kearifan Lokal Jawa Timur.

b. Bagi Sekolah

(7)

2) Hasil penelitian ini dapat digunakan sebagai informasi bagi semua tenaga pengajar mengenai Sekolah Berbasis Kearifan Lokal di Jawa Timur. c. Bagi Dinas Pendidikan

1) Melakukan tinjauan ulang terhadap Sekolah Berbasis Kearifan Lokal di Jawa Timur.

(8)

A. Konsep Nilai Kearifan Lokal a. Pengertian Nilai

Pengertian nilai menurut para ahli sangat beragam, hal ini sengaja dipaparkan dalam rangka memperoleh pengertian yang lebih utuh. Gazalba (dalam Thoha, 1996: 61) menjelaskan bahwa nilai adalah sesuatu yang bersifat abstrak, ia ideal, bukan benda kongkrit, bukan fakta, bukan hanya persoalan benar dan salah yang menuntut pembuktian empirik, melainkan soal penghayatan yang dikehendaki dan tidak di kehendaki, disenangi dan tidak disenangi. Pendapat Darajat, dkk., (1994: 260) memberikan pengertian bahwa nilai adalah suatu perangkat keyakinan ataupun perasaan yang diyakini sebagai suatu identitas yang memberikan corak yang khusus kepada pola pemikiran perasaan, keterikatan, maupun perilaku. Pengertian yang diberikan oleh Darajat, Una (dalam Thoha, 1996: 60) menjelaskan bahwa nilai adalah suatu tipe kepercayaan yang berbeda dalam ruang lingkup sistem kepercayaan dalam mana seseorang bertindak atau menghindari suatu tindakan, atau mengenai suatu yang pantas atau tidak pantas dikerjakan.

Dari beberapa pengertian tentang nilai di atas dapat difahami bahwa nilai itu adalah sesuatu yang abstrak, ideal, dan menyangkut persoalan keyakinan terhadap yang dikehendaki, dan memberikan corak pada pola pikiran, perasaan, dan perilaku. Dengan demikian untuk melacak sebuah nilai harus melalui pemaknaan terhadap kenyataan lain berupa tindakan, tingkah laku, pola pikir dan sikap

(9)

seseorang atau sekelompok orang. Nilai merupakan kumpulan sikap perasaan ataupun anggapan terhadap sesuatu hal mengenai baik buruk, benar salah, patut-tidak patut, mulia-hina, maupun penting atau patut-tidak penting. Dalam kenyataannya orang dapat saja mengembangkan perasaannya sendiri yang mungkin saja berbeda dengan perasaan sebagian besar warga masyarakat. Kenyataan ini melahirkan adanya nilai individual, yakni nilai-nilai yang dianut oleh individu sebagai orang perorangan yang mungkin saja selaras dengan nilai-nilai yang dianut oleh orang lain, tetapi dapat pula berbeda atau bahkan bertentangan.

b. Pengertian Nilai Kearifan Lokal

Dalam pengertian kamus, kearifan lokal (local wisdom) terdiri dari dua kata: kearifan (wisdom) dan lokal (local). Dalam kamus Inggris Indonesia John M. Echols dan Hasan Syadly (2012:875) dalam Agung Wahyudi 2014: 11 lokal berarti setempat sedangkan wisdom (kearifan) sama dengan kebijaksanaan. Secara umum local wisdom (kearifan setempat) dapat dipahami sebagai gagasan-gagasan setempat yang bersifat bijaksana, penuh kearifan, bernilai baik, yang tertanam dan diikuti oleh anggota masyarakatnya.

Kearifan lokal adalah pandangan hidup dan ilmu pengetahuan serta berbagai strategi kehidupan yang berwujud aktivitas yang dilakukan oleh masyarakat lokal dalam menjawab berbagai masalah dalam pemenuhan kebutuhan mereka. Dalam bahasa asing sering juga dikonsepsikan sebagai kebijakan setempat “local

(10)

Kearifan lokal memiliki kandungan nilai kehidupan yang tinggi dan layak terus digali, dikembangkan, serta dilestarikan sebagai keunggulan budaya lokal. Bahkan sering pula diartikan sebagai antitesa atas perubahan sosial budaya dan modernitasi. Kearifan lokal produk budaya masa lalu yang runtut secara terus-menerus dijadikan pegangan hidup, meskipun bernilai lokal tapi nilai yang terkandung didalamnya dianggap sangat universal. Kearifan lokal terbentuk sebagai keunggulan budaya masyarakat setempat maupun kondisi geografis dalam arti luas.

Wietoler, 2007 (dalam Akbar, 2006) Kearifan lingkungan atau kearifan lokal masyarakat (local wisdom) sudah ada di dalam kehidupan masyarakat semenjak zaman dahulu mulai dari zaman prasejarah hingga saat ini, kearifan lingkungan merupakan perilaku positif manusia dalam berhubungan dengan alam dan lingkungan sekitarnya yang dapat bersumber dari nilai-nilai agama, adat istiadat, petuah nenek moyang atau budaya setempat, yang terbangun secara alamiah dalam suatu komunitas masyarakat untuk beradaptasi dengan lingkungan di sekitarnya, perilaku ini berkembang menjadi suatu kebudayaan di suatu daerah dan akan berkembang secara turun-temurun, secara umum, budaya lokal atau budaya daerah dimaknai sebagai budaya yang berkembang di suatu daerah, yang unsur-unsurnya adalah budaya suku-suku bangsa yang tinggal di daerah itu.

(11)

memberikan warna kebersamaan bagi sebuah komunitas; (5) dapat mengubah pola pikir dan hubungan timbal balik individu dan kelompok dengan meletakkan-nya di atas common ground; (6) mampu mendorong terbangunnya kebersamaan, apresiasi dan mekanisme bersama untuk mempertahankan diri dari kemungkinan terjadinya gangguan atau perusakan solidaritas kelompok sebagai komunitas yang utuh dan terintegrasi.

Dari paparan di atas dapat dipahami, bahwa kearifan lokal adalah seluruh gagasan, nilai, pengetahuan, aktivitas, dan benda-benda budaya yang spesifik dan dibanggakan yang menjadi identitas dan jati diri suatu komunitas atau kelompok etnis tertentu. Kearifan lokal tersebut bersumber dari tradisi setempat dan selama berabad-abad telah dijadikan kebanggaan dan rujukan dalam hidup dan

kehidupan. Kearifan lokal masyarakat Jawa bukan hanya tercermin dari tradisi lisan yang disebarkan dari mulut ke mulut secara turun-temurun, tetapi juga dari tradisi tulisnya, terutama karya sastra yang ditulis oleh para pujangga.

Zuhdan K. Prasetyo (2013: 3) (dalam Agung Wahyudi, 2014: 11) mengatakan bahwa local wisdom (kearifan lokal) dapat dipahami sebagai

gagasan-gagasan setempat (local) yang bersifat bijaksana, penuh kearifan, bernilai baik, yang tertanam dan diikuti oleh anggota masyarakatnya. Dan Nuraini Asriati (2012:111) dalam Agung Wahyudi berpandangan bahwa kearifan lokal

(12)

Jamal Ma’mur (2012: 30) dalam Agung Wahyudi yang mengatakan bahwa pendidikan berbasis kearifan lokal adalah pendidikan yang memanfaatkan

keunggulan lokal dalam aspek ekonomi, budaya, bahasa, teknologi informasi dan komunikasi, ekologi, dan lain-lain, yang semuanya bermanfaat bagi

pengembangan kompetensi peserta didik. Oleh karena itu pendidikan membuat orang berbudaya. Tidak hanya berupa kegiatan, pada proses pembelajaran bukan hanya menyampaikan budaya kepada siswa, melainkan lebih kepada

menggunakan budaya tersebut agar siswa menemukan makna, kreativitas, dan memperoleh pemahaman yang lebih mendalam tentang materi yang sedang dipelajari. Masing-masing guru memiliki kreativitas untuk merancang dan melaksanakan pembelajaran berbasis kearifan lokal. Selain itu, guru juga harus berani mengambil resiko untuk menciptakan proses pembelajaran yang kreatif. Ni Wayan Sartini (2004: 111) dalam Agung Wahyudi (2014: 11) dalam judul Skirpsi Implementasi Sekolah Berbasis Kearifan Lokal di SD Negeri Sendangsari

Pajangan yang mengatakan bahwa kearifan lokal (local wisdom) dapat dipahami sebagai gagasan-gagasan setempat (local) yang bersifat bijaksana, penuh kearifan, bernilai baik, yang tertanam dan diikuti oleh anggota masyarakatnya.

(13)

baiknya jika budaya yang sudah dimiliki di jaga dan dikembangkan oleh para pendidik dan dapat dijadikan bahan pembelajaran yang berinovasi.

c. Jenis-Jenis Nilai Kearifan Lokal 1. Nilai Kepemimpinan

(Tannebaum, Weschler and Nassarik, 1961: 24) dalam Septian Raha Nilai kepemimpinan bisa dimaknai sebagai sebuah nilai atau ajaran tentang

kepemimpinan. Kepemimpinan itu biasanya memiliki jiwa melindungi,

mengayomi dan memberikan pencerahan. Kepemimpinan adalah pengaruh antar pribadi, dalam situasi tertentu dan langsung melalui proses komunikasi untuk mencapai satu atau beberapa tujuan tertentu. (Shared Goal, Hemhiel & Coons, 1957: 7) dalam Septian Raha, pendapat lain kepemimpinan adalah sikap pribadi, yang memimpin pelaksanaan aktivitas untuk mencapai tujuan yang diinginkan. Dan pendapat Rauch & Behling (1984: 46) dalam Septian Raha, kepemimpinan adalah suatu proses yang mempengaruhi aktifitas kelompok yang diatur untuk mencapai tujuan bersama.

Kepemimpinan adalah proses memengaruhi atau memberi contoh oleh pemimpin kepada pengikutnya dalam upaya mencapai tujuan organisasi. Cara alamiah mempelajari kepemimpinan adalah "melakukanya dalam kerja" dengan praktik seperti pemagangan pada seorang senima ahli, pengrajin, atau praktisi. Dalam hubungan ini sang ahli diharapkan sebagai bagian dari peranya

memberikan pengajaran/instruksi.

(14)

mempengaruhi orang baik individu maupun masyarakat. Dalam kasus ini, dengan sengaja mempengaruhi dari orang ke orang lain dalam susunan aktivitasnya dan hubungan dalam kelompok atau organisasi. John C. Maxwell mengatakan bahwa inti kepemimpinan adalah mempengaruhi atau mendapatkan pengikut. Pemimipin yang efektif mempunyai sifat atau ciri-ciri tertentu yang sangat penting misalnya, kharisma, pandangan ke depan, daya persuasi, dan intensitas. Kepemimpinan juga mengandung dimensi luas, sebagai ajaran bisa digali konsep kepemimpinan dari sebuah folklor di suatu daerah.

2. Nilai Pengabdian

Pengabdian dimaknai sebagai kepatuhan kepada atasan atau pimpinan. Bisa pula diartikan sebagai dedikasi kepada daerah atau kepada bangsa.

Pengabdian adalah perbuatan baik yang berupa pikiran, pendapat ataupun tenaga sebagai perwujudan kesetiaan, cinta kasih sayang, norma, atau satu ikatan dari semua itu dilakukan dengan ikhlas. Pengabdian itu pada hakekatnya adalah rasa tanggung jawab. Apabila orang bekerja keras sehari penuh untuk mencapai kebutuhan, hal itu berarti mengabdi keapada keluarga. Manusia tidak ada dengan sendirinya, tetapi merupakan makhluk ciptaan Tuhan. Sebagai ciptaan Tuhan manusia wajib mengabdi kepada Tuhan. Pengabdian berarti penyerahan diri sepenuhnya kepada Tuhan, dan merupakan perwujudan tanggung jawab kepada Tuhan.

3. Nilai Tradisi dan Kebudayaan

(15)

dikembangkan untuk menjawab persoalan zaman yang makin kompleks. Tradisi merupakan sistem kebiasaan masyarakat. Nilai budaya sebagai suatu kebenaran bahwa tidak ada manusia yang hidup bermasyarakat yang tidak didasari oleh nilai-nilai budaya yang diakui masyarakat itu. Nilai-nilai-nilai budaya itu dijadikan dasar dalam pemberian makna terhadap suatu konsep dan arti dalam komunikasi antar anggota masyarakat itu. Posisi masyarakat itu. Posisi budaya yang demikian penting dalam kehidupan masyarakat mengharuskan budaya menjadi sumber nilai dalam pendidikan budaya dan karakter bangsa.

Nilai-nilai budaya merupakan nilai-nilai yang disepakati dan tertanam dalam suatu masyarakat, lingkup organisasi, lingkungan masyarakat, yang

mengakar pada suatu kebiasaan, kepercayaan, simbol-simbol, dengan karakteristik tertentu yang dapat dibedakan satu dan lainnya sebagai acuan prilaku dan

tanggapan atas apa yang akan terjadi atau sedang terjadi. Nilai-nilai budaya akan tampak pada simbol-simbol, slogan, moto, visi misi, atau sesuatu yang nampak sebagai acuan pokok moto suatu lingkungan atau organisasi.

Ada tiga hal yang terkait dengan nilai-nilai budaya ini yaitu: 1) simbol-simbol, slogan atau yang lainnya yang kelihatan kasat mata (jelas), 2) sikap, tindak laku, gerak gerik yang muncul akibat slogan, moto tersebut, 3) kepercayaan yang tertanam (believe system) yang mengakar dan menjadi kerangka acuan dalam bertindak dan berperilaku.

4. Nilai Sosial

(16)

masyarakat. Untuk menentukan sesuatu itu dikatakan baik atau buruk sangat dipengaruhi oleh kebudayaan yang dianut masyarakat. Pendekatan analisis nilai (values analysi approach) memberikan penekanan pada perkembangan

kemampuan peserta didik untuk berpikir logis, dengan cara menganalisis masalah yang berhubungan dengan nilai-nilai sosial.Nilai sosial adalah nilai yang dianut oleh suatu masyarakat, mengenai apa yang dianggap baik dan apa yang dianggap buruk oleh masyarakat. Sebagai contoh, orang menganggap menolong memiliki nilai baik, sedangkan mencuri bernilai buruk.

Untuk menentukan sesuatu itu dikatakan baik atau buruk, pantas atau tidak pantas harus melalui proses menimbang. Hal ini tentu sangat dipengaruhi oleh kebudayaan yang dianut masyarakat. Tak heran apabila antara masyarakat yang satu dan masyarakat yang lain terdapat perbedaan tata nilai. Contoh, masyarakat yang tinggal di perkotaan lebih menyukai persaingan karena dalam persaingan akan muncul pembaharuan-pembaharuan. Sementara pada masyarakat tradisional lebih cenderung menghindari persaingan karena dalam persaingan akan

mengganggu keharmonisan dan tradisi yang turun-temurun.

(17)

d. Bentuk Kearifan lokal

Nuraini Asriati (2012: 111) dalam Agung Wahyudi, 2014: 13 mengatakan bahwa bentuk kearifan lokal dalam masyarakat dapat berupa budaya (nilai, norma, etika, kepercayaan, adat istiadat, hukum adat, dan aturan-aturan khusus). Nilai-nilai luhur terkait kearifan lokal ialah:

a. cinta kepada Tuhan, alam semester beserta isinya; b. tanggung jawab, disiplin, dan mandiri;

c. jujur;

d. hormat dan santun; e. kasih sayang dan peduli;

f. percaya diri, kreatif, kerja keras, dan pantang menyerah; g. keadilan dan kepemimpinan;

h. baik dan rendah hati;

i. toleransi, cinta damai, dan persatuan.

Haidlor Ali Ahmad (2010: 34) dalam Agung Wahyudi 2014: 13,

mengemukakan kearifan lokal merupakan tata aturan tak tertulis yang menjadi acuan masyarakat yang meliputi seluruh aspek kehidupan, berupa.

a. Tata aturan yang menyangkut hubungan antar sesama manusia, misalnya dalam interaksi sosial baik antar individu maupun kelompok, yang berkaitan dengan hirarkhi dalam kepemerintahan dan adat, aturan perkawinan antar klan, tata karma dalam kehidupan sehari-hari.

(18)

c. Tata aturan yang menyangkut hubungan manusia dengan yang gaib, misalnya Tuhan dan roh-roh gaib. Kearifan lokal dapat berupa adat istiadat, institusi, kata-kata bijak, pepatah (Jawa: parian, paribasan, bebasan dan saloka). Dalam masyarakat, kearifan-kearifan lokal dapat ditemui dalam nyayian, pepatah, sasanti, petuah, semboyan, dan kitab-kitab kuno yang melekat dalam perilaku sehari-hari.

Kearifan lokal ini akan berwujud menjadi budaya tradisi, kearifan lokal akan tercermin dalam nilai-nilai yang berlaku dalam kelompok masyarakat tertentu. (Joko Tri Haryanto, 2013: 368) dalam Agung Wahyudi, 2014: 140 kearifan lokal diungkapkan dalam bentuk kata-kata bijak (falsafah) berupa nasehat, pepatah, pantun, syair, folklore (cerita lisan) dan sebagainya; aturan, prinsip, norma dan tata aturan sosial dan moral yang menjadi sistem sosial; ritus, seremonial atau upacara tradisi dan ritual; serta kebiasaan yang terlihat dalam perilaku sehari-hari dalam pergaulan sosial.

(19)

Dalam pertunjukan wayang bergabung keindahan seni sastra, seni musik, seni suara, seni sungging dan ajaran mistik Jawa yang bersumber dari agama-agama besar yang ada dan hidup dalam masyarakat Jawa. Bentuk kearifan lokal yang terdapat pada masyarakat jawa selain wayang adalah joglo (rumah

tradisional jawa). Salah satu wujud kearifan lokal ditemukan dalam rumah tradisional jawa (joglo). Tidak hanya di jawa, wujud kearifan lokal yang berupa benda juga tersebar di seluruh pelosok nusantara, seperti rumah honai yang dimiliki oleh masyarakat papua, makam batu yang terkenal di toraja, dan masih banyak lagi.

Ni Wayan Sartini (2009: 28) dalam Agung Wahyudi, 2014: 15 mengatakan bahwa salah satu kearifan lokal yang ada di seluruh nusantara adalah bahasa dan budaya daerah. Bahasa adalah bagian penting dari budaya. Sebagai alat

(20)

(Farid Rusdi, 2012: 347) Kearifan lokal suatu daerah bisa tercermin dari bahasa yang digunakan. Oleh karena itu setiap bahasa daerah memiliki nilai luhur untuk menciptakan masyarakatnya berkehidupan lebih baik menurut mereka. Dalam bahasa Jawa terdapat banyak ungkapan, peribahasa, bebasan, dan saloka. Semuanya mengandung nilai-nilai yang mencerminkan latar belakang budaya masyarakatnya. Jadi, bentuk ungkapan seperti peribahasa, bebasan, dan saloka adalah wujud konkret bahasa, sedangkan nilai-nilai yang terkandung di dalamnya mencerminkan kearifan lokal masyarakatnya.

e. Konsep Pendidikan Berbasis Kearifan Lokal

Zuhdan K. Prasetyo, (2013: 3) dalam Agung Wahyudi kearifan lokal dalam hal ini juga dapat disebut dengan keunggulan lokal, local genius atau local wisdom, seperti yang dikatakan oleh Kemendikbud bahwa Istilah local wisdom, local genius, kearifan lokal, yang kemudian disebut keunggulan lokal. Kearifan lokal dapat dimasukkan ke dalam pendidikan sebagai salah satu usaha untuk melestarikan budaya lokal yang terdapat pada suatu daerah.

Menurut Zuhdan K. Prasetyo (2013:3) Pendidikan Berbasis Kearifan Lokal merupakan usaha sadar yang terencana melalui penggalian dan pemanfaatan potensi daerah setempat secara arif dalam upaya mewujudkan suasana belajar dan proses pembelajaran, agar peserta didik aktif mengembangkan potensi dirinya untuk memiliki keahlian, pengetahuan dan sikap dalam upaya ikut serta membangun bangsa dan negara.

(21)

Landasan yuridis kebijakan nasional tentang pendidikan berbasis keunggulan lokal/kearifan lokal, diantaranya:

a. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 20 tahun 2003 BAB XIV Pasal 50 ayat 5 menegaskan bahwa pemerintah kabupaten/kota mengelola pendidikan dasar dan menengah, serta satuan pendidikan yang berbasis pendidikan lokal.

b. Peraturan Pemerintah Nomor 17 Tahun 2010 pasal 34, bahwa “Pendidikan berbasis keunggulan lokal adalah pendidikan yang diselenggarakan setelah memenuhi Standar Nasional Pendidikan dan diperkaya dengan keunggulan kompetitif dan/komparatif daerah”,

c. Peraturan Pemerintah Nomor 17 Tahun 2010 pasal 35 ayat 2, bahwa “Pemerintah kabupaten/kota melaksanakan dan/memfasilitasi perintisan program dan/satuan pendidikan yang sudah atau hampir memenuhi Standar Nasional Pendidikan untuk dikembangkan menjadi program dan/satuan pendidikan bertaraf internasional dan/atau berbasis keunggulan lokal”.

d. Renstra Kemendiknas 2010-2014 bahwa: Pendidikan harus menumbuhkan pemahaman tentang pentingnya keberlanjutan dan keseimbangan ekosistem, yaitu pemahaman bahwa manusia adalah bagian dari ekosistem. Pendidikan harus memberikan pemahaman tentang nilai-nilai tanggung jawab sosial dan natural untuk memberikan gambaran pada peserta didik bahwa mereka adalah bagian dari sistem sosial yang harus bersinergi dengan manusia lain dan bagian dari sistem alam yang harus bersinergi dengan alam beserta seluruh isinya.

(22)

Pendidikan berbasis kearifan lokal tentu memiliki tujuan yang bersifat positif bagi peserta didik, seperti dikatanakan oleh Jamal Ma’mur Asmani (2012: 41) yang menyebutkan beberapa tujuan pendidikan berbasis kearifan lokal.

a. Agar siswa mengetahui keunggulan lokal daerah tempat tinggal, memahami berbagai aspek yang berhubungan dengan kearifan lokal tersebut.

b. Mampu mengolah sumber daya, terlibat dalam pelayanan/jasa atau kegiatan lain yang berkaitan dengan keunggulan, sehingga memperoleh penghasilan sekaligus melestarikan budaya, tradisi, dan sumber daya yang menjadi unggulan daerah, serta mampu bersaing secara nasional dan global.

c. Siswa diharapkan mencintai tanah kelahirannya, percaya diri menghadapi masa depan, dan bercita-cita mengembangkan potensi lokal, sehingga daerahnya bisa berkembang pesat seiring dengan tuntutan era globalisasi dan informasi.

f. Konsep Pembelajaran Berbasis Kearifan Lokal

(Johnson, 2000) dalam Susilo, 2001 pada satuan pendidikan, proses pembelajaran yang kontekstual akan menjadikan pembelajaran bermakna karena selalu dikaitkan dengan kehidupan nyata dengan konteks lingkungan pribadi, sosial, dan budayanya sehingga peserta didik mudah memahami materi. Pada akhirnya memotivasi peserta didik membuat hubungan antara pengetahuan dengan penerapannya dalam kehidupan mereka.

(23)

dalam Sobur, 2003)Pada akhirnya motivasi yang dimiliki merupakan suatu proses internal yang aktif, membimbing dan memelihara perilaku peserta didik sepanjang waktu (Elliot et al. 1999) sesuai dengan aspek-aspek konsep diri antara lain aspek fisik, konsep diri sebagai proses, sosial, cita diri (apa yang diinginkan).

B. Cerita Rakyat

Sastra daerah yang berbentuk lisan maupun tulisan merupakan cagar budaya dan ilmu pengetahuan. Salah satu sastra daerah yang perlu dilestarikan adalah cerita rakyat. Setiap wilayah tentunya mempunyai cerita rakyat yang dituturkan secara lisan. Cerita rakyat yang pada mulanya dilisankan selain berfungsi untuk menghibur, juga dapat memberikan pendidikan moral. Cerita rakyat merupakan pencerminan dari kehidupan masyarakat pada saat itu, pola pikir dan hayalan yang menarik, sehingga masyarakat merasa tertarik dan memperoleh keteladanan moral. Adapun jenis ajaran moral mencakup seluruh persoalan hidup dan kehidupan.

(Nurgiyantoro, 2000: 324) Secara garis besar persoalan hidup dan kehidupan manusia itu dapat dibedakan ke dalam.

1. Hubungan manusia dengan diri sendiri;

2. Hubungan manusia dengan manusia lain dalam lingkup sosial termasuk hubungannya dengan lingkungan alam;

3. Hubungan manusia dengan Tuhannya.

(24)

wilayah cerita rakyat yang mempunyai nilai luhur tentunya beragam. Namun ada pula yang mempunyai kemiripan tema, tetapi pengungkapannya maupun unsur budaya yang mendorong tema berbeda. Misalnya legenda candi Prambanan sebagai wujud cerita Roro Jonggrang ada kesamaan tema dengan legenda candi Jago yang ada di Malang. Cerita Malin Kundang ada kemiripan tema dengan cerita Batu yang Menangis, yaitu bertemakan tentang anak yang durhaka karena tidak mengakui pada orang tuanya.

Apabila dikaji lebih jauh, isi cerita tersebut mempunyai pesan bahwa seorang anak tidak boleh sombong dan tidak mengakui ibunya meskipun

kondisinya lebih baik dari ibunya. Akibatnya seperti yang ada dalam cerita Malin Kundang menjadi batu dan anak gadis yang ada dalam cerita Batu yang Menangis kakinya juga menjadi batu atas kutukan ibunya. Hal itu mengandung budi pekerti yang luhur sebagai sarana untuk mengajarkan moral kepada anak. Budi pekerti luhur yang terkandung dalam cerita rakyat itu dapat dijadikan pula sebagai bahan ajar sastra di sekolah untuk disampaikan kepada siswa.

Hal itu sesuai dengan hasil penelitian V.Propp. (1997) mengatakan bahwa cerita rakyat atau folklor sangat perlu diperhatikan sebagai tanda perubahan masyarakat. Folklor dalam masyarakat menyuarakan perilaku proses mendidik sesamanya. Perubahan yang dilakukan manusia terutama melalui proses pengenalan kebudayaan yang terus menerus akan dapat diidentifikasikan pemahaman manusia kepada kebudayaannya.

(25)

misalnya sebagai alat pendidikan, penglipur lara, protes sosial, dan proyeksi keinginan terpendam. Berdasarkan hasil penelitian (Sulistyorini, 2003), dalam cerita rakyat mempunyai nilai-nilai luhur yang perlu dilestarikan. Dibalik isi cerita terkandung makna yang bersifat mendidik, seperti halnya dalam cerita Mbok Rondho Dhadhapan, cerita Kera ngujang, dan cerita Joko Bodho yang ada di Tulungagung. Pemahaman nilai-nilai luhur bangsa melalui cerita rakyat

merupakan bekal anak untuk mengembangkan kepribadiannya berdasarkan etika. Upaya mengembangkan kepribadian dalam perilaku melalui cerita rakyat tersebut dapat memengaruhi etika dalam pergaulan hidup sehari-hari.

Cerita rakyat merupakan satu bentuk cerita yang popular dalam kalangan rakyat yang menjadi hiburan penting di masyarakat berkenaan. Dalam masyarakat Melayu, terdapat berbagai jenis cerita rakyat seperti cerita binatang, cerita jenaka, cerita penglipur lara dan cerita pengalaman. Cerita rakyat juga sebagai ekspresi budaya suatu masyarakat melalui bahasa tutur yang berhubung langsung dengan berbagai aspek budaya, seperti agama dan kepercayaan, undang-undang, kegiatan ekonomi, sistem kekeluargaan, dan susunan nilai sosial masyarakat tersebut.

(26)

C. Nilai Kearifan Lokal Kesenian dalam Cerita Rakyat

Folklor termasuk salah satu unsur dan bagian dari kebudayaan. Soejanto (dalam Soedarsono, 1996: 426) berpendapat bahwa folklor merupakan bagian dari wujud kebudayaan yaitu kesenian khususnya seni sastra. (Danandjaja, 1997: 2) Folklor sebagai salah satu seni sastra merupakan bagian kebudayaan suatu kolektif yang terbesar dan diwariskan secara turun temurun, di antara kolektif apa saja, secara tradisional dalam versi yang berbeda, baik dalam bentuk lisan maupun gerak isyarat atau alat pembantu pengingat (mnemonic device).

(27)

(Danandjaja, 1997: 2) Folklor adalah sebagian kebudayaan suatu kolektif yang tersebar dan diwariskan turun-temurun. Folklor juga tersebar di antara kolektif macam apa saja, secara tradisional dalam versi yang berbeda, baik dalam bentuk lisan maupun contoh yang disertai dengan gerak isyarat atau alat bantu pengingat. Danandjaja lebih lanjut menjelaskan.

(1995: 205) In Indonesia, Folklore is define as: those meterials in culture that circulate traditionally among members of any group in different

versions, whether in oral form, or by means of customary example. Thus folk in Indonesia means: any group, native or immigrant, as long as they have lived in Indonesia for generations, urban as well as rural, literate

or illiterate, noble or commoner. And lore: is the part of Indonesian cultures that is disseminated though oral traditional.

Folklor biasanya mempunyai bentuk yang berpola sebagaimana dalam cerita rakyat atau permainan rakyat pada umumnya. Folklor pada umumnya mempunyai kegunaan atau fungsi dalam kehidupan bersama suatu kolektif misalnya cerita rakyat sebagai alat pendidik, hiburan, protes sosial, dan proyeksi suatu keinginan yang terpendam. Folklor bersifat pralogis yaitu logika yang khusus dan kadang berbeda dengan logika umum. Hal tersebut karena folklor sebagai bentuk kebudayaan milik bersama.

(28)

Purwadi (2009: 3) dalam Puspitasari, 2012 mengungkapkan bahwa hakikat folklor merupakan identitas lokal yang terdapat dalam kehidupan masyarakat tradisional. (James Danandjaja, 1997: 2) Folklor adalah sebagian kebudayaan suatu kolektif yang tersebar dan diwariskan turun-temurun, diantara kolektif macam apa saja, secara tradisional dalam versi yang berbeda, baik dalam bentuk tulisan maupun contoh yang disertai dengan gerak isyarat atau alat pembantu pengingat. Wininck (dalam Purwadi, 2009: 1) folklor adalah

The common orally transmitted traditions, myths, festival, songs, superstition and of all peoples, folklore has come to mean all kind of oral artistic expression. It may be found in societies. Originally folklore was

the study of the curiousities.

Folklor meliputi dongeng, cerita, hikayat, kepahlawanan, adat-istiadat, lagu, tata cara, kesusastraan, kesenian, dan budaya daerah. Folklor merupakan milik masyarakat tradisional secara kolektif. Perkembangan folklor mengutamakan jalur lisan dari waktu ke waktu bersifat inovatif atau jarang mengalami perkembangan.

Berdasarkan beberapa pendapat tersebut folklor adalah bagian kebudayaan yang tersebar, diadatkan turun temurun dalam bentuk perbuatan di antara kolektif macam apa saja, secara tradisional dalam versi yang berbeda, baik dalam bentuk lisan maupun contoh yang disertai dengan gerak isyarat atau alat bantu pengingat, mencakup suatu bidang yang cukup luas, seperti cerita-cerita, ungkapan,

(29)

(games), serta digunakan sebagai alat untuk memahami masyarakat yang menciptakannya, termasuk kecenderungan penguasa.

Menurut Jan Harold Brunvand (1988: 23), seorang ahli folklor dari Amerika Serikat, folklor dapat digolongkan ke dalam tiga kelompok besar berdasarkan tipenya yaitu folklor lisan, sebagian lisan, dan bukan lisan.

1. Folklor Lisan (verbal folklore)

Folklor yang bentuknya memang murni lisan. Bentuk-bentuknya (genre) folklor yang termasuk ke dalam kelompok besar ini antara lain: 1) bahasa rakyat (folk speech) seperti logat, julukan, pangkat tradisional dan titel kebangsawanan, 2) ungkapan tradisional, seperti peribahasa, pepatah, dan pameo, 3) pertanyaan tradisional, seperti teka-teki, 4) puisi rakyat, seperti pantun, gurindam dan syair, 5) cerita prosa rakyat, seperti mite, legenda dan dongeng, 6) nyanyian rakyat.

2. Folklor Sebagian Lisan (partly verbal folklore)

Folkor yang sebagian bentuknya merupakan campuran unsur lisan dan bukan lisan. Bentuk-bentuk folklor yang termasuk kelompok besar selain kepercayaan rakyat adalah permainan rakyat, tarian rakyat,adat istiadat, upacara, pesta rakyat, dan lain-lain.

3. Folklor Bukan Lisan (non verbal folklore)

(30)

padi dsb). Kerajinan tangan rakyat, pakaian dan perhiasan tubuh adat, makanan dan minuman rakyat obat-obatan tradisional. Yang termasuk bukan material adalah : gerak isyarat tradisional, bunyi isyarat untuk komunikasi rakyat (kentongan tanda bahaya di Jawa atau bunyi gendang untuk mengirim berita seperti yang dilakukan masyarakat Afrika) dan musik rakyat.

Bertolak dari pengertian di atas tidak dijelaskan atau dibedakan antara folklor lisan dengan folklor tertulis/folklor tulisan. Hal ini dapat dimengerti karena pada dasarnya folklor yang berbentuk tulisan adalah jenis folklor lisan, sebagian lisan, maupun folklor bukan lisan yang ditrasnkripsi dalam bentuk tulis. Jenis folklor yang diteliti dalam penelitian ini dispesifikasikan pada jenis folklor yang berbentuk cerita rakyat.

D. Nilai Kearifan Lokal Religius dalam Cerita Rakyat

Budi pekerti dalam sebuah cerita dapat dilihat dari nilai moral religi. Nilai moral religi pada dasarnya merupakan hubungan manusia dengan Tuhannya. Salam (1997: 15) mengemukakan bahwa akhlak atau moralitas manusia kepada Tuhan di antaranya:

1. beriman; meyakini bahwa sesungguhnya Dia ada; 2. taat; menjalankan perintah dan menjahui larangan-Nya;

(31)

5. ar-raja’; mempunyai pengharapan atau optimisme bahwa Allah akan memberikan rahmat kepada-Nya;

6. husnud-dhan; berbaik sangka kepada Allah;

7. tawakal; mempercayakan sepenuhnya kepada Allah; 8. bersyukur kepada Allah;

9. taubat dan istighfar.

Dalam cerita rakyat mengandung nilai luhur bangsa terutama nilai-nilai budi pekerti maupun ajaran moral. Apabila cerita rakyat itu dikaji dari sisi nilai moral, maka dapat dipilah adanya nilai moral individual, nilai moral sosial, dan nilai moral religi.Adapun nilai-nilai moral individual, meliputi:

1. kepatuhan; 2. pemberani; 3. rela berkorban; 4. jujur;

5. adil dan bijaksana;

6. menghormati dan menghargai; 7. bekerja keras;

8. menepati janji; 9. tahu Balas Budi; 10. baik budi pekerti; 11. rendah hati; dan

12. hati-hati dalam bertindak.

(32)

13. bekerjasama; 14. suka menolong; 15. kasih sayang; 16. kerukunan;

17. suka memberi nasihat; 18. peduli nasib orang lain; 19. suka mendoakan orang lain. Nilai-nilai moral religi, meliputi: 1. percaya kekuasaan Tuhan; 2. percaya adanya Tuhan;

3. berserah diri kepada Tuhan/Bertawakal; 4. memohon ampun kepada Tuhan.

(33)

Selain itu, sikap berserah diri kepada Tuhan/Bertawakal tersirat dalam cerita Sunan Giri yang ditunjukkan oleh Raden Paku. Beliau selalu bermunajat meminta pertolongan dan petunjuk hanya kepada Allah. Adapun sikap memohon ampun kepada Tuhan dapat ditemukan dalam cerita Pertentangan Dua Saudara yang ditunjukkan oleh seorang raja yang bernama Raja Kameswara. Setiap saat raja memohon ampun kepada Tuhan atas kesewenang-wenangannya di masa lalu. Budi pekerti pada cerita di atas secara tidak langsung mengajarkan moral religi. Nilai moral religi adalah nilai-nilai yang mengatur hubungan manusia dengan Tuhannya.

(34)

A. Pendekatan Penelitian

Pada penelitian ini diterapkan. Pertama, pendekatan yang didasarkan pada materi yaitu sosiologi sastra dan budaya, karena dalam penelitian ini meneliti tentang nilai-nilai kearifan religius dan kesenian dalam cerita rakyat. Dan kedua,

pendekatan yang didasarkan pada metodologi, yaitu pendekatan kualitatif. Setiap penelitian selalu menggunakan pendekatan untuk membuktikan bahwa hasil penelitian tersebut benar. Menurut Moleong (2012: 6) penelitian kualitatif yaitu penelitian yang menghasilkan prosedur analisis yang tidak menggunakan prosedur analisis statistik atau cara kuantifikasi lainnya.

Sebagaimana pengertian penelitian kualitatif yang didefinisikan oleh Lexy J. Moleong (2007: 6) berikut ini: “Penelitian kualitatif adalah penelitian yang bermaksud untuk memahami fenomena tentang apa yang dialami oleh subjek penelitian, misalnya perilaku, persepsi, motivasi, tindakan, dll. Secara holistik, dan dengan cara deskripsi dalam bentuk kata-kata dan bahasa, pada suatu konteks khusus yang alamiah dan dengan memanfaatkan berbagai metode alamiah”. Salah satu ciri dari pendekatan kualitatif adalah bersifat deskriptif atau bisa disebut

dengan cara mendeskripsikan. Sehingga data yang terkumpul berupa kata-kata,

gambar, dan bukan angka-angka.

(35)

Endraswara (2011: 8) berpendapat bahwa metode penelitian sastra adalah cara yang dipilih oleh peneliti untuk

mempertimbangkan bentuk, isi, dan sifat sastra sebagai subyek kajian. Penelitian ini adalah penelitian kualitatif dengan metode deskriptif. Dalam penelitian ini informasi dideskripsikan secara teliti dan analitis. Sebagai upaya mencapai tujuan penelitian, maka penelitian

ini menggunakan pendekatan kualitatif deskriptif yang berdasarkan pada fakta

bahwa hasil laporan penelitian akan berisi kutipan-kutipan data yang berupa

kata-kata tertulis yang terdapat dalam cerita rakyat. Dalam hal ini

pendekatan kualitatif lebih tepat digunakan dalam penelitian analisis berupa

kata-kata, gambar pada naskah atau teks cerita rakyat.

B. Jenis Penelitian

(36)

Penelitian ini bertujuan untuk mendeskripsikan suatu keadaan, melukiskan dan menggambarkan data meliputi: 1) Nilai kearifan lokal Relgius yang terdapat dalam cerita Rakyat Sunan Bonang Tuban, 2) Nilai Kearifan lokal kesenian yang terdapat dalam cerita Rakyat Sunan Bonang Tuban, 3) dan Relevansi cerita rakyat Sunan Bonang Tuban dengan pembelajaran sastra di sekolah. Oleh karena itu, penelitian ini merupakan penelitian deskriptif dengan menggunakan pendekatan penelitian kualitatif.

C. Instrumen Penelitian

(Lexy J. Moelong, 2012: 163) Ciri khas penelitian kualitatif tidak dapat dipisahkan dari pengamat, namun peran peneliti yang menentukan keseluruhan skenarionya. Pada penelitian kualitatif, peneliti bertindak sebagai instrumen utama. Peneliti selain sebagai perencana, pelaksana pengumpul data, analisis data juga menjadi pelapor hasil penelitiannya. Instrumen

pendukung berupa pedoman wawancara, observasi, alat bantu rekam dan buku catatan.

D. Tahapan Penelitian

Tahapan penelitian dapat dikatakan sebagai prosedur penelitian. Prosedur penelitian merupakan tahapan yang

dilakukan peneliti berhubungan dengan proses penelitian secara keseluruhan. Terdapat empat tahapan dalam penelitian ini,

(37)

1. Persiapan

Dalam tahap ini peneliti menyiapkan keperluan yang digunakan untuk penelitian. Peneliti mengajukan judul penelitian yang kemudian disusul dengan pembuatan proposal penelitian. Adapun tujuan dari proposal penelitian ini untuk membuat rencana penelitian secara global dari keseluruhan penelitian sehingga peneliti dapat terkontrol. Selain itu untuk memberikan gambaran secara praktis tentang tujuan penelitian yang dilakukan oleh peneliti pada pembaca dan peneliti lain.

2. Pelaksaan

Pada proses pelaksanaan peneliti melakukan prosedur sesuai dengan aturan yang telah disusun. Menggunakan instrumen yang sebelumnya sudah

dipersiapkan oleh peneliti. Menggali sumber yang sesuai dengan teori dan data yang telah di tentukan. Sumber data diperoleh dari buku cerita dan website di internet.

3. Pengumpulan

Dalam tahap ini peneliti mencatat data-data yang telah ditemukan kedalam kartu data. Kemudian peneliti mencocokkan dengan kebutuhan penelitian. Data di dapatkan dengan berbagai cara. Diantaranya, dengan mencari pada sumber buku dan internet. Selain itu, data diperoleh dengan cara melakuakan wawancara dengan nara sumber dengan mengajukan pertanyaan sesuai dengan instrumen yang sebelumnya sudah di buat oleh peneliti.

(38)

Setelah data terkumpul, peneliti menyusun laporan dari hasil analisis yang telah ditemukan. Peneliti menyusun pendahuluan penelitian yang berisi tentang latar belakang penelitian serta tema yang sudah di tentukan sebelumnya,

kemudian pembahasan yang berisi landasan teori serta data yang telah diperoleh, dan memberikan kesimpulan pada hasil penelitian.

E. Tempat dan Waktu Penelitian a. Tempat Penelitian

Penelitian tentang kearifan lokal di Kabupaten Tuban berada di wisata religi yaitu Makam Sunan Bonang. Dipilihnya makam Sunan Bonang tersebut karena sosok Sunan Bonang memiliki karakteristik nilai kearifan lokal religius dan nilai kearifan lokal kesenian. Bentuk kearifan lokal tersebut adalah berupa cerita rakyat.

b. Waktu Penelitian

Penelitian ini dilaksanakan dalam jangka waktu enam bulan dengan tahapan proses persiapan, pelaksanaan, pengumpulan data, dan penyusunan proposal.

F. Data Penelitian dan Sumber Data

Lofland dan Lofland (1984: 47) mengatakan bahwa sumber data penelitian kualitatif ialah kata-kata dan tindakan, selebihnya adalah tambahan seperti dokumen dan lain-lain (dalam Lexy J. Moleong, 2011: 157).

1. Data Penelitian

(39)

berbagai tempat dan wawancara dari para informan. Data yag diperoleh direkam dalam kaset rekaman, ditrankripsikan, kemudian dideskripsikan kedalam bentuk cerita tertulis. Selain itu, data penelitian berupa hasil

penelitian terdahulu, sumber dari buku-buku teori yang berhubungan dengan penelitian. Buku tentang Cerita Rakyat Sunan Bonang Tuban, skripsi terdahulu yang berkaitan dengan nilai kearifan lokal dari cerita rakyat di Jawa Timur.

2. Sumber Data

Sumber data dalam penelitian ini meliputi : 1) informan, 2) tempat dan benda benda fisik, 3) dokumen.

G. Prosedur Pengumpulan Data

Sugiyono (2013: 62) mendefinisikan teknik pengumpulan data merupakan langkah yang paling strategis dalam penelitian, karena tujuan utama dari peneliti-an adalah mendapatkpeneliti-an data. Dalam penelitipeneliti-an kualitatif, pengumpulpeneliti-an data dila-kukan pada kondisi yang alamiah (natural setting), sumber data primer, dan teknik pengumpulan data lebih banyak pada observasi, wawancara mendalam dan doku-mentasi. Data yang diperlukan dalam penelitian ini menggunakan teknik pengum-pulan data sebagai berikut :

1. Wawancara

(40)

pertanyaan dan terwawancara (interviewee) yang memberikan jawaban atas perta-nyaan tersebut. (Lexy J. Moleong 2007: 186). Estenberg (dalam Sugiyono, 2013: 73) mengemukakan beberapa macam wawancara, yaitu wawancara terstruktur, semiterstruktur, dan tidak terstruktur. Dalam pelaksanaan pengumpulan data di lapangan, peneliti menggunakan wawancara semiterstruktur dengan alasan jenis wawancara ini tergolong dalam kategori indepth interview, dimana dalam pelak-sanaannya lebih bebas bila dibandingkan dengan wawancara terstruktur. Jenis wawancara ini bertujuan untuk menemukan permasalahan secara lebih terbuka sehingga peneliti dapat menambah pertanyaan di luar pedoman wawancara untuk mengungkap pendapat dan ide-ide dari responden.

Sebelum melakukan kegiatan wawancara, peneliti terlebih dahulu membuat pedoman wawancara agar proses tetap terfokus dan tidak keluar dari konteks yang menjadi tujuan utama peneliti yaitu Nilai Kearifan Lokal dalam Cerita Rakyat Sunan Bonang Tuban dan Relevansinya dengan Pembelajaran Sastra. Wawancara yang dilakukan bersifat terbuka dan fleksibel, sementara itu pedoman wawancara hanya digunakan sebagai acuan.

2. Observasi

(41)

berlansung, sedangkan observasi non partisipatif pengamat tidak ikut serta dalam kegiatan hanya mengamati.

Dalam penelitian ini peneliti menggunakan observasi partisipan karena peneliti terlibat sebagai pengamat lang-sung. Peneliti mencatat, menganalisis, dan membuat kesimpulan tentang Nilai Kearifan Lokal dalam Cerita Rakyat Sunan Bonang Tuban dan Relevansinya dengan Pembelajaran Sastra.

Djam’an Satori dan Aan Komariah (2011: 114) menyebutkan ada dua jenis observasi, yaitu observasi terstruktur dan tidak terstruktur yang mengacu pada panduan atau suatu daftar ceklis yang digunkan untuk mengamati aspek yang dicatat. Peneliti menggunakan observasi terstruktur karena observasi telah dirancang secara sistematis, tentang apa yang diamati, kapan, dan di mana tempatnya.

Sebelum melakukan observasi, peneliti membuat pedoman observasi sebagai acuan agar proses observasi tetap fokus dan tidak keluar dari konteks yang menjadi tujuan utama peneliti yaitu NilaiKearifan Lokal dalam Cerita Rakyat Sunan Bonang Tuban dan Relevansinya dengan Pembelajaran Sastra.

3. Dokumentasi

(42)

intens sehingga dapat mendukung dan menambah kepercayaan dan pembuktian suatu kejadian.

Untuk memperoleh data dokumentasi, peneliti mengambil dari dokumen-dokumen yang berupa cerita rakyat Sunan Bonang Tuban dari buku, cerita rakyat Sunan Bonang Tuban dari internet, teori dari penelitian terdahulu dengan Nilai Kearifan Lokal dalam Cerita Rakyat Sunan Bonang Tuban dan Relevansinya dengan Pembelajaran Sastra.

H. Teknik Analisis Data

Menurut Bogdan dan Biklen (Lexy J. Moleong, 2007: 248) analisis data kualitatif adalah upaya yang dilakukan dengan jalan bekerja dengan data, mengor-ganisasikan data, memilah-milahnya menjadi satuan yang dapat dikelola, mensin-tesiskannya, mencari dan menemukan pola, menemukan apa yang penting dan apa yang dipelajari, dan memutuskan apa yang dapat diceritakan kepada orang lain. Secara sederhana teknik analisis data dalam penelitian kualitatif terdiri dari tiga tahap yaitu reduksi data, penyajian data, dan diakhiri dengan penarikan

kesimpulan.

1. Pengumpulan Data

Peneliti mencatat semua data secara objektif dan apa adanya sesuai dengan hasil observasi dan wawancara di lapangan. Data yang dikumpulkan berkaitan dengan masakah-masalah yang dirumuskan dalam penelitian.

(43)

Reduksi data diartikan sebagai proses merangkum, memilih hal yang pokok, memfokuskan hal-hal yang penting, dicari tema dan polanya. Peneliti memilah-milah data yang berupa pemahaman kepala sekolah dan guru tentang pengertian sekolah berbasis kearifan lokal, macam-macam kearifan lokal setempat yang ingin dikembangkan, serta Nilai Kearifan Lokal dalam Cerita Rakyat Sunan Bonang Tuban dan Relevansinya dengan Pembelajaran Sastra yang diperoleh dari catatan-catatan lapangan. Data yang diperoleh tersebut merupakan data yang ma-sih kompleks.

2. Penyajian Data

(Sugiyono, 2013: 95) Penyajian data sebagai sekumpulan informasi tersusun yang memberi kemungkinan adanya penarikan kesimpulan dan pengambilan tindakan. Dalam penelitian kualitatif penyajian data bisa dilakukan dalam bentuk uraian singkat, bagan, hubungan antar kategori, flowchart dan sejenisnya. Peneliti menyajikan data yang berupa pemahaman kepala sekolah dan guru tentang pengertian pengertian sekolah berbasis kearifan lokal, macam-macam kearifan lokal setempat yang ingin dikembangkan, serta Nilai Kearifan Lokal dalam Cerita Rakyat Sunan Bonang Tuban dan Relevansinya dengan Pembelajaran Sastra. Dalam penelitian ini, data tersebut disajikan secara deskriptif.

3. Penarikan Kesimpulan dan Verifikasi

Penarikan kesimpulan hanyalah sebagian dari satu kegiatan dari konfigu-rasi yang utuh (Milles dan Huberman, 1992: 19). Data-data yang berupa

(44)

Kearifan Lokal dalam Cerita Rakyat Sunan Bonang Tuban dan Relevansinya dengan Pembelajaran Sastra yang telah dikemukakan pada penyajian data diinterpretasikan kemudian dianalisis untuk memperoleh kesimpulan.

I. Keabsahan Temuan

Lexy J. Moleong (2007: 320) menjelaskan bahwa yang dimaksud dengan uji keabsahan data adalah bahwa setiap keadaan harus memenuhi; 1) mendemons-trasikan nilai yang benar, 2) menyediakan dasar agar hal itu dapat diterapkan, 3) memperbolehkan keputusan luar yang dapat dibuat tentang konsistensi dari prose-durnya dan kenetralan dari temuan dan keputusan-keputusannya.

Djam’an Satori dan Aan Komariah (2011: 164) mengatakan bahwa penelitian kualitatif dinyatakan abash apabila memiliki derajat kepercayaan (credibility), keteralihan (transferability), kebergantungan (dependability), dan kepastian (confirmability).

Sugiyono (2013: 121) uji kredibilitas data atau kepercayaan terhadap data hasil penelitian kualitatif antara lain dilakukan dengan perpanjangan pengamatan, peningkatan ketekunan dalam penelitian, triangulasi, diskusi dengan teman seja-wat, analisis kasus negative, dan member check. Dalam pengujian kredibilitas penelitian ini, peneliti menggunakan triangulasi. Triangulasi dalam pengujian kredibilitas ini diartikan sebagai pengecekan data dari berbagai sumber dengan berbagai cara, dan berbagai waktu.

(45)

1. Triangulasi Sumber

Trianggulasi sumber untuk menguji kredibilitas data dilakukan dengan cara mengecek data yang telah diperoleh melalui beberapa sumber. Peneliti menggali informasi dari data-data deskriptif yang sudah ada, dan wawancara dari nara sumber yang memiliki riwayat tinggal di kota Tuban. Data dari sumber-sumber tersebut dideskripsikan, dikategorisasikan, mana yang memiliki pandangan sama, yang berbeda, dan mana yang spesifik.

2. Triangulasi Teknik

(46)

Persada.https://id.wikipedia.org/wiki/Sunan_Bonang. Diakses pada Selasa, 12 Januari 2016.

Jamal, Ma’mur. (2012). Pendidikan Berbasis Keunggulan Lokal. Yogyakarta: DIVA Press.

Muji Santoso, Agus. (2010). Konsep Diri Melalui Pendidikan Berbasis Keunggulan Lokal Sebagai Model Pendidikan Berkarakter dan Berbudaya Bangsa di Era Global. Skripsi. Universitas Nusantara PGRI Kediri.

Labib.(2001). Kisah Kehidupan WALI SONGO: Penyebar Agama Islam di Tanah Jawa. Surabaya: Bintang Timur.

Lexy J. Moleong. (2012). Metodologi Penelitian Kualitatif. Bandung: Remaja Rosdakarya.

Sulistyorini, Dwi. (2010). Nilai Moral dalam Cerita Rakyat sebagai Sarana Pendidikan Budi Pekerti. Disertasi. Malang: Universitas Negeri Malang.

Wahyudi, Agung. (2014). Implementasi Sekolah Berbasis Kearifan Lokal di SD Negeri Sendangsari Pajanga. Skripsi. Tidak di Publikasikan: Fakultas Ilmu Pendidikan Universitas Negeri Yogyakarta.

2014. Nilai Edukatif, Kesalehan, Dan Falsafah Hidup Dalam Cerita Rakyat Ki Ageng Prawoto Sidik Sebagai Sumber Kearifan Lokal (Sebuah Tinjuan Sosiologi Sastra). UNS Magister Pendidikan Bahasa Indonesia. Digilib UNS Surakarta.

(47)

2014. Struktur dan Nilai Budaya Berbasis Kearifan Lokal Cerita Rakyat Kabupaten Ponorogo Serta Relevansinya dengan Pembelajaran Bahasa dan Sastra Indonesia. Tesis. PEMBELAJARAN BAHASA Digilib UNS Surakarta.

Susanto, Hadi, 2016. Penelitian Folklor.

https://bagawanabiyasa.wordpress.com/2016/01/22/penelitian-folklor/. Di unduh pada 25 juli 2016 pukul 21:05.

Referensi

Dokumen terkait