• Tidak ada hasil yang ditemukan

Memahami ASEAN Community dengan Teori te

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2018

Membagikan "Memahami ASEAN Community dengan Teori te"

Copied!
14
0
0

Teks penuh

(1)

Memahami ASEAN Community

dengan Teori-teori Integrasi Internasional:

Fungsionalisme, Neofungsionalisme, dan Konstruktivisme

Oleh: Bambang Wahyu Nugroho

1

ABSTRACT

Regionalism and regional integration is a middle-way out in managing world order between the difficult (even utopian) effort to settle a world government and anarchical nature of nation-states relationship. It implies causes and effects, factors and goals, as well as process and conditions of shifting respect and loyalty of the government as well as citizens from its established nation-states into a newly regional political institution. It also discusses on how procedural and consensual processes could be (or could not be) achieved and continued in particular regional system. Meanwhile, there are two fundamental powers which shape regional integration, say, internal and external powers. Internal powers means internal cohesion among member countries within a region, and external powers implies the common interest on the potential threat from extra-regional power as a shared attention.

To understand about ASEAN Community in term of process and condition of Southeast Asia regional integration, we will discuss about such aspects with functionalism and neo-functionalism theoretical framework as classic approaches on regional integration. At least it could make easier comprehension on the topic, especially for the students. However, many criticisms have made to reveal the limitation of both approaches. Therefore we need to develop our analysis using a more recent constructivist approach. By the framework, we assume that ASEAN Community is a product of social construction upon which the cohesivity of the institution could be better analysed.

Keywords: integration, regionalism, functionalism, neo-functionalism, constructivism.

PENGANTAR:KONSENSUS, KEKUATAN, DAN KOMUNITAS POLITIK DI ASEAN

Komunitas politik regional telah lama dikaji sebagai sebuah alternatif “jalan tengah” antara utopianisme pemerintahan dunia1 dan anarkisme negara-bangsa.2 Intisari kajiannya yakni

identifikasi dan analisis atas mengenai kekuatan-kekuatan pembentuk integrasi komunitas-komunitas politik di suatu kawasan yang kemudian disebut sebagai komunitas-komunitas regional. Dua masalah fundamental yang menjadi pokok kajian integrasi politik regional yakni: Pertama,

mengapa aktor politik (warga negara, badan hukum, atau bahkan pemerintah) di suatu negara memindahkan (atau tidak memindahkan) rasa hormat dan pengabdiannya kepada satuan politik “baru” di dalam kawasan mana mereka eksis;3 dan kedua, bagaimana proses konsensus

prosedural dan substantif dapat dicapai dan diteruskan keberlangsungannya di dalam sistem politik regional itu.4

Terdapat dua kekuatan dasar yang mengenai sumber daya integrasiregional yang patut diperhatikan di sini. Pertama,sebut saja kekuatan endogen. Sistem regional memperoleh dan dapat mempertahankan kohesivitasnya oleh adanya nilai-nilai bersama yang tersebar luas di antara para anggota mereka dan adanya kesepakatan umum mengenai kerangka sistem tersebut. Sistem-sistem seperti itu didasarkan atas persetujuan prosedural, atau kesepakatan umum mengenai kerangka politik dan proses-proses hukum dengan mana masalah-masalah dipecahkan, dan persetujuan substantif, atau kesepakatan umum mengenai solusi terhadap masalah-masalah yang hendak diselesaikan (atau yang tidak akan diselesaikan) oleh sistem regional tersebut. Semakin tinggi persetujuan prosedural dan substantif tersebut, semakin kuatlah integrasi sistem regional itu. Hal ini mirip dengan istilah konsensus sebagai pengabsahan (legitimation)

sebagaimana dicontohkanantara lain oleh Henry A. Kissinger yakni kesetimbangan kekuatan klasik di Eropa.5Kedua,kekuatan eksogen. Sistem-sistem politik regional menjadi tetap kohesif

disebabkan oleh adanya ancamankekuatan dari luar kawasan. Asumsinya, integrasi sebuah komunitas politik regional ditentukan pula oleh persepsi bersama akan adanya tantangan atau ancaman ekstraregional.6Namun demikian, dari kedua pandangan tersebut kita dapat menarik

(2)

sebuah sistesis mengenai proses integrasi regional sebagai sebuah konstruksi sosial yang dibentuk baik oleh para elit regional maupun proses-proses sosial yang lebih menyebar (diverse) dan majemuk (pluralistic).7Analisis konstruktivisme diharapkan dapat memperbaiki keterbatasan

kedua pendekatan sebelumnya.

Dalam tulisan ini, kita akan mencoba memahami seberapa kuat kohesivitas ASEAN Community sebagai suatu unit politik regional dengan menelaah kedua kekuatan tersebut berdasarkan senarai teori-teori integrasi regional yang terkemuka, terutama yang menggunakan pendekatan fungsionalisme, neofungsionalisme, dan konstruktivisme.8 Dengan menelusuri ketiganya kita

berharap dapat memahami problematika yang menyangkut eksistensi ASEAN Community, antara lain:

 Bagaimana kita dapat memahami homogenitas ASEAN Community di tengah kemajemukan sosial dan ekonomi ASEAN?

 Bagaimana kita dapat memahami elitisitas ASEAN Community di tengah perkembangan transnasionalitas di Asia Tenggara?

 Bagaimana kita dapat memahami efektivitas makro ASEAN sebagai stabilisator kawasan di tengah problem-problem bilateral dan multilateral yang masih rapuh?

Tulisan singkat ini tentu tidak bermaksud untuk menjawab soalan tersebut secara tuntas, namun lebih merupakan pengantar untuk menuju analisis yang lebih mendalam. Tulisan ini mungkin juga berguna untuk menuntun pemahaman mahasiswa secara bertahap dari yang paling sederhana menuju ke pemahaman yang lebih canggih mengenai regionalisme dan integrasi regional.

FUNGSIONALISME DAN INTEGRASI DI ASIA TENGGARA

David Mitrany pernah mengemukakan bahwa sepanjang tahun-tahun antara dua perang dunia, dan juga masa-masa setelah Perang Dunia II, perkembangan kompleksitas sistem pemerintahan telah meningkatkan dengan pesat tuntutan-tuntutan teknis non politis yang dihadapi oleh pemerintah. Tuntutan-tuntutan itu bukan hanya menimbulkan permintaan akan ketersediaan sumber daya manusia yang terlatih, baik pada level nasional ataupun internasional, yang lebih teknokratik ketimbang politik, namun juga arti penting masalah-masalah teknis yang berkembang sepanjang abad ke-20 meningkatkan keperluan untuk menciptakan atau memperbaiki kerangka kerja sama internasional. Pembentukan organisasi-organisasi fungsional regional diharapkan dapat menjawab meningkatnya problem-problemteknikal, baik skala maupun bobotnya. Pada gilirannya, organisasi fungsional regional akan dapat menggantikan, atau setidaknya melengkapi institusi lawas yakni negara-negara-bangsa yang menjadi induknya.9Dalam teori Mitrany tersebut

terdapat konsep ramification, yakni perkembangan dari kerja sama di satu bidang teknis yang kemudian merembet ke bidang-bidang teknis lainnya. Artinya, kerja sama fungsional pada satu sektor menimbulkan kebutuhan untuk bekerja sama secara fungsional pada sektor lainnya. Contohnya, upaya yang diawali dengan hanya menciptakan pasar bersama (common market)

dapat menjadi patokan (benchmarking)dan pengungkit (leverage)bagi kerja sama selanjutnya, misalnya penetapan harga, investasi, asuransi, pajak, upah pekerja, perlindungan sosial, keuangan dan perbankan, serta kebijakan-kebijakan lainnya. Kompatibilitas ini akan meningkatkan kompleksitas interdependensi yang berperan bagi perdamaian regional.

Integrasi regional juga dapat dipahami sebagai proses dan kondisi. Ernst Haas mendefinisikan integrasi sebagai suatu proses “yang ditempuh oleh para aktor politik dari sejumlah negara-bangsa yang berbeda-beda yang terpengaruh untuk menggeser dukungan, harapan, dan kegiatan politiknya ke suatu pusat baru, yang lembaga-lembaganya memiliki atau menuntut jurisdiksi atas negara-negara kebangsaan yang telah ada sebelumnya.”10 Haas kemudian juga menegaskan,

“integrasi adalah proses meningkatnya interaksi dan percampuran sedemikian hingga mengaburkan batas-batas antara sistem organisasi internasional dan lingkungannya yang dibentuk oleh negara-negara kebangsaan yang menjadi anggota mereka.”11

Para pakar lain yang menganggap integrasi regional adalah sebuah proses dan kondisi, antara lain yakni Leon N. Lindberg, Donald C. Puchala, Karl W. Deutcsh, Philip E. Jacob, Johan K. de Vree, James A. Caporaso dan Alan L. Pelowski, serta Amitai Etzioni.

(3)

kebijakan bersama atau untuk mewakilkan proses pembuatan keputusan kepada para politisi di tingkat regional; dan (2) proses di mana para aktor politik dari beberapa setting yang berbeda terdorong untuk menggeser harapan dan aktivitas politiknya ke suatu pusat baru.”12 Selanjutnya,

Lindberg memandang integrasi politik sebagai bagian dari proses yang lebih luas dari integrasi internasional tempat “pengelompokan yang lebih luas muncul atau tercipta pada level antarbangsa tanpa menggunakan tindak kekerasan,” dan tempat beradanya “peran serta bersama dalam pembuatan keputusan berkelanjutan yang tertata,” sebagai suatu hasil, atau suatu bagian dari “evolusi sepanjang masa dari suatu sistem pembuatan keputusan kolektif antarbangsa.”13

Donald J. Puchala mengajukan suatu definisi integrasi sebagai suatu “kumpulan proses yang menghasilkan dan mendukung suatu sistem konkordansi pada tingkat internasional”–yakni, “suatu sistem internasional di mana para aktornya menemukan proses yang memungkinkan untuk secara konsisten menyelaraskan kepentingan-kepentingan mereka, mengkompromikan perbedaan-perbedaan mereka, dan meraup keuntungan timbal-balik dari interaksi mereka itu.”14

Karl W. Deutsch menunjukkan integrasi politik sebagai suatu proses yang bisa menimbulkan suatu kondisi di dalam mana sekelompok orang telah “mencapai suatu perasaan sekomunitas yang lembaga-lembaga dan praktek-prakteknya cukup kuat untuk menjamin, untuk jangka panjang, pengharapan yang digantungkan pada perubahan damai di dalam suatu wilayah di antara penduduknya.”15 Dia juga berpendapat bahwa integrasi politik dapat diperbandingkan dengan

kekuatan, di dalam mana setidaknya satu aktor bertindak secara berbeda ketimbang apa yang akan dilakukannya dalam kondisi lain (misalnya jika kekuatan ini tidak ada).16 Dalam uraian yang

lain, Philip E. Jacob menyatakan bahwa integrasi politik telah “secara umum menimbulkan hubungan ke-komunitas-an antarmasyarakat di dalam entitas politik yang sama yang memungkinkan adanya kerja sama timbal-balik dalam satu dan lain hal yang pada gilirannya memberi sebuah perasaan identitas serta kesadaran-diri sebagai komunitas regional.”17Johan K.

De Vree menyatakan bahwa integrasi dapat diartikan sebagai “proses pembentukan dan pengembangan lembaga melalui mana tata-nilai tertentu dialokasikan secara otoritatif bagi kelompok-kelompok tertentu dari aktor-aktor atau unit-unit politik.”18 Pendek kata, integrasi pada

level antarbangsa dikonseptualisasikan sebagai pelembagaan proses politik antara dua atau lebih negara-negara. Menurut James A. Caporaso dan Alan L. Pelowski, integrasi adalam proses perkembangan struktur-struktur dan fungsi-fungsi baru pada sebuah level sistem baru yang lebih komprehensif ketimbang sebelumnya, baik secara geografis maupun fungsional.19 Hal-hal ini

mencerminkan suatu perasaan yang tumbuh akan keterhubungan antara dua atau lebih struktur-struktur politik atau ekonomi. Proses yang memunculkan integrasi dapat diukur menggunakan indikator-indikator pertumbuhan kemampuan membuat keputusan di dalam sebuah unit politik regional seperti halnya ASEAN Community.Sementara itu Amitai Etzioni menyatakan bahwa pemilikan kontrol efektif atas penggunaan kekerasan oleh sebuah komunitas politik menimbulkan satu kriterium untuk mengukur tingkat integrasi suatu komunitas regional. Menurutnya, komunitas politik regional memiliki tiga jenis integrasi:

(a) memiliki kendali efektif atas penggunaan cara-cara kekerasan;

(b) memiliki suatu pusat pembuatan keputusan yang mampu mempengaruhi secara berarti alokasi sumber daya dan penghargaan bagi segenap komunitas regional; dan

(c) adanya identifikasi politik bagi mayoritas luas dari warga di kawasan tersebut.”20

Dalam skema karya Etzioni, unifikasi politik adalah proses di mana integrasi politik sebagai sebuah kondisi sudah tercapai. Penyatuan memperkuat atau mempercepat pembentukan ikatan-ikatan antarsatuan yang akan membentuk suatu sistem.21

Dengan demikian, para penulis integrasi memiliki beberapa gambaran yang sama. Semuanya memperhatikan proses-proses yang menjadikan dukungan bergeser dari satu pusat ke pusat lainnya. Umumnya, para teorisi intregrasi mempertahankan pendapat bahwa orang menunjukkan perilaku integratif disebabkan oleh harapan-harapan akan adanya keuntungan atau kerugian bersama. Pada mulanya, harapan-harapan tersebut dikembangkan di kalangan kelompok-kelompok elit baik di kalangan pemerintahan maupun swasta.

Pemikiran-pemikiran fungsionalis tersebut di atassangat tepat untuk memahami proses dan perkembangan integrasi Eropa mulai dari pembentukan European Coal and Steel Community

(4)

masyarakat di negara-negara anggota ASEAN untuk melakukan internalisasi integratif di jalur integrasi. Harus ditekankan di sini tentang dampak dari integrasi di satu sektor terhadap kemampuan unit-unit yang berperan-serta untuk mencapai integrasi pada sektor lainnya. Pada akhirnya, fungsionalisme mengasumsikan secara luas bahwa integrasi regional adalah suatu gejala multidimensi. Namun demikian, teori-teori fungsionalisme memang tampak sangat Eropa-sentris, dan masih memerlukan revisi teoritik. Untuk keperluan inilah analisis berikut ini akan dimulai dengan pendekatan fungsionalisme untuk mempermudah pemahaman awal kita mengenai integrasi regional, namunkemudian dianalisis lebih lanjut dengan pendekatan neofungsionalisme untuk mengatasi keterbatasan fungsionalisme sebagai alat analisis.

ASEAN SEBAGAI KOMUNITAS EKONOMI DAN KEAMANAN

Sampai taraf yang cukup jauh ketimbang para penulis lain mengenai integrasi, Karl W. Deutsch menggunakan baik teori komunikasi maupun teosi sistem. Komunikasi antarmasyarakat dapat menghasilkan persahabatan ataupun perseteruan bergantung pada taraf yang dituju oleh ingatan-ingatan komunikasi dihubungkan dengan banyak sedikitnya perasaan (emosi) yang dilibatkan. Deustch sangat memperhatikan relasi antara komunikasi dan integrasi komunitas-komunitas politik.22 Negeri-negeri adalah “rumpun penduduk, yang disatukan oleh kerangka

jaringan aliran sistem-sistem komunikasi dan transportasi, dan dipisahkan oleh wilayah-wilayah pemukiman yang sedikit penduduknya atau hampir kosong.”23 Masyarakat adalah sekelompok

penduduk yang disatukan oleh suatu kemampuan untuk berkomunikasi tentang banyak hal; mereka memiliki kebiasaan berkomunikasi yang saling melengkapi. Secara umum, batas-batas negara adalah wilayah di dalam mana kepadatan penduduk dan komunikasi menurun dengan tajam. Masyarakat menjadi terintegrasi pada saat mereka saling berhubungan dan saling bergantung. Meminjam Deutsch dengan kalimat lain, “apabila terdapat gejala kesalingbergantungan mencakup jenis barang dan jasa yang berbeda-beda dan luas cakupannya, maka patut diduga bahwa kita tengah berurusan dengan sebuah komunitas ekonomi.”24Dari sini

lah kiranya kita dapat memahami frekuensi dan intensitas hubungan lintas-batas negara yang meningkat secara signifikan sehingga disebut sebagai pusat-pusat pertumbuhan. Di Asia Tenggara terdapat berbagai “segi tiga pertumbuhan” yang menjadi semacam enclave sosial-ekonomi dan justru kemudian ditetapkan secara politis sebagai kawasan-kawasan ekonomi khusus, semisal Sijori (Singapura-Johor- Riau) yang pada gilirannya mengalami spill-over menjadi IMS-GT

(Indonesia-Malaysia-Singapore Growth Triangle), Aceh, Sumatera Utara, Langkawi, Kedah, Perlis, Perak, Selangor, Kelantan, Phuket, Songkhla, Saturn, Trang, Pattalung, dan Nakhonsithammarat menjadi IMT-GT (Indonesia-Malaysia-Thailand Growth Triangle), dan Sabah, Serawak, Labuan, Mindanao, Palawan, Kalimantan, Sulawesi, Maluku, dan Brunei menjadi BIMP-EAGA (Brunei-Indonesia-Malaysia-Philippines East ASEAN Growth Area). Pada proses selanjutnya, fungsi-fungsi integratif ini pun menjadi pilar bagi aransemen perdagangan bebas antarnegara ASEAN yang dikukuhkan sebagai AFTA (ASEAN Free Trade Area).

Dalam hal komunitas keamanan, Deutsch dan rekan-rekannya menetapkan dua jenis komunitas keamanan: yakni komunitas keamaan lebur (amalgamated), di dalam mana unit-unit politik bebas sebelumnya telah membentuk suatu unit tunggal di bawah pemerintah bersama; dan komunitas keamanan majemuk (pluralistic), di dalam mana pemerintah-pemerintah nasional secara terpisah masih menjalankan kedaulatan hukumnya. Amerika Serikat adalah contoh komunitas keamanan yang lebur, sementara A.S.-Kanada atau Prancis-Jerman sejak Perang Dunia II adalah komunitas keamanan yang majemuk.25

Prestasi makro ASEAN dalam mewujudkan stabilitas keamanan kawasan selama hampir empat dasawarsa terakhir26 tidak disangsikan lagi, meskipun pada level mikro masih cukup banyak

“pekerjaan rumah” dalam bidang ini. Dalam konteks komunitas keamanan regional, berangkat dari capaian tersebut, ASEAN hingga saat ini masih berciri sebagai komunitas keamanan majemuk.

Menurut Deutsch, untuk membentuk sebuah komunitas keamanan majemuk, ada tiga kondisi yang patut ditampilkan, yakni:

(1) kesesuaian tata-nilai di antara para pembuat keputusan,

(2) prediktabilitas timbal-balik dari perilaku di antara para pembuat keputusan pada unit-unit yang akan diintegrasikan,27 dan,

(5)

oleh pemerintah lainnya. Dalam suatu komunitas keamanan majemuk, unit-unit anggotanya menghindari cara-cara berkekerasan untuk menyelesaikan perselisihan.

Dari pokok pikiran tersebut kita dapat memahami bahwa sampai batas tertentu, tata-nilai di antara para pembuat keputusan di lingkup Komunitas ASEAN, khususnya dalam penyamaan atau penyesuaian persepsi mengenai penghindaran cara-cara berkekerasan dalam menyelesaikan permasalahan antarnegara anggota telah mencapai tahap yang terlembaga dan berkesinambungan, sekalipun terdapat sejumlah insiden mikro yang menyangkut pertahanan dan keamanan, seperti bentrokan antara pasukan militer Thailand dan Kamboja, juga beberapa kali ketegangan yang terjadi antara Indonesia dan Malaysia di batas perairan kedua negara. Namun demikian masalah-masalah tersebut tidak mengalami eskalasi politik, sehingga secara umum tetap dapat memelihara stabilitas kawasan. Selain itu, kita juga dapat memahami inklusivitas fungsional Komunitas Keamanan ASEANdalam ARF (ASEAN Regional Forum) yangbertujuan memajukan keamanan dan perdamaian melalui dialog di antara negara-negara Asia Pasifik. ARF diinisiasi oleh ASEAN dan saat ini melibatkan 27 anggota yakni 10 negara anggota ASEAN, 10 negara mitra dialog ASEAN (Australia, Kanada, China, Uni Eropa, India, Jepang, Selandia Baru, Korea Selatan, Russia dan Amerika Serikat), dan beberapa observer (Papua Niugini,Korea Utara, Mongolia, Pakistan, Timor Leste, Bangladesh dan Sri Lanka.

MENATAP KOMUNITAS ASEAN DALAM BINGKAI NEOFUNGSIONALISME

Neofungsionalisme merupakan anak-keturunan cendekia fungsionalisme. Peranan utamanya terletak pada pemerincian, modifikasi, dan pengujian praduga-praduga mengenai integrasi. Tulisan-tulisan kaum neofungsionalis meliputi karya-karya Ernst Haas, Philippe Schmitter, Leon Lindberg, Joseph Nye, Robert Keohane, dan Lawrence Scheineman. Banyak, namun tak berarti semuanya, dari tulisan kaum neofungsionalis dipusatkan pada pembentukan dan evolusi Masyarakat Eropa. Sebagaimana dikemukakan oleh Charles Pentland, mengacu pada literatur neofungsionalis tahun 1960-an, “neofungsionalisme membentuk suatu kecenderungan untuk menyusun teori berjangkauan menengah (middle-range theory), yang memampukannya untuk menempatkan diri secara lebih awal dengan suatu uraian yang meyakinkan dan berguna–jika tidak selalu terverifikasi–mengenai situasi-situasi di Eropa.”28 Berlawanan dengan pemusatan

perhatian yang lebih komparatif dari Deutsch dan Etzioni, karya Haas berkenaan dengan kasus-kasus khusus, yang ditelah Haas dengan menggunakan suatu kerangka teoritik yang rinci. Inti dari karya Haas adalah konsep pelimpahan (spill-over),29 atau apa yang oleh Mitrany disebut

doktrin ramification. Dalam penelitiannya mengenai ECSC, Haas menemukan bahwa di antara elit-elit bangsa Eropa yang secara langsung berhubungan dengan masalah baja dan batubara, seara nisbi hanya sedikit yang pada mulanya menjadi pendukung kuat gagasan pendirian ECSC. Hanya setelah ECSC itu dioperasikan selama beberapa tahun sejumlah besar pemimpin serikat dagang dan partai politik menjadi pendukung Komunitas tersebut. Terlebih kelompok seperti itu, dengan keuntungan yang mereka alami dari ECSC, menempatkan diri mereka menjadi pelopor bagi upaya-upaya lain menuju integrasi Eropa, termasuk Pasar Bersama. Dengan demikian terdapat suatu kecondongan yang jelas bagi orang-orang yang telah mengalami keuntungan dari lembaga-lembaga adibangsa dalam satu sektor untuk mendukung integrasi di sektor-sektor lainnya. “Keputusan-keputusan semula melimpah ke ranah-ranah fungsional baru, melibatkan lebih banyak masyarakat, mengundang lebih banyak lagi kontak-kontak dan konsultasi antarbirokrasi, bertemu dengan masalah-masalah baru yang tumbuh dari kompromi-kompromi semula.”30 Oleh karena itu terdapat sebuah “nalar meluas” yang berperan dalam “pelimpahan”

dari satu sektor ke sektor lainnya. Proses itu adalah satu hal di mana bangsa-bangsa “mengangkat” kepentingan nasionalnya dalam sebuah untaian integratif yang lebih luas.

(6)

Berdasarkan pokok-pokok pikiran Nye dapat dikemukakan di sini bahwa tujuh “mekanisme proses” integrasi regional mampu mengkonseptualisasikan ulang dan merumuskan ulang teori neofungsionalis.

1. Keterkaitan fungsionalis dari tuntutan-tuntutan, atau konsep pelimpahan. Menurut Nye mekanisme ini tidak meliputi “gejala kerja sama apa pun yang meningkat,” namun hanya gejala-gejala peningkatan yang berkaitan secara fungsional dengan proses integrasi tersebut, atau tindak lanjut dari upaya-upaya serius para elit integrasionis untuk mendulang pelimpahan. Dan harus diingat bahwa jika keterkaitan fungsional tuntutan-tuntutan itu dapat menghasilkan pelimpahan, maka tentunya juga dapat menghasilkan langkah mundur (spill-back).32Dengan demikian, maju-mundurnya pelembagaan

Komunitas ASEAN dapat dianalisis dari proses spill-over dan spill-back ini.

2. Transaksi yang meningkat.Integrasi menuju Komunitas ASEAN mungkin ditandai dengan kenaikan transaksi perdagangan, pergerakan modal, komunikasi, dan pertukaran masyarakat serta gagasan-gagasan. Para aktor politik regional menghadapi tuntutan yang berat terhadap lembaga bersama yang dihasilkan dari meningkatnya volume transaksi. Bisa saja mereka memilih untuk berhubungan dengan masalah-masalah tersebut dengan basis nasional, atau mereka mungkin memutuskan untuk memperkuat lembaga bersama. Menurut Nye, “Meningkatnya transaksi tidak harus membawa menuju suatu perluasan cakupan (cakupan tuntutan) integrasi, namun mengintensifkan kapasitas kelembagaan sentral untuk menangani sebuah tuntutan khusus.”33 Dalam hal ini pelembagaan

Komunitas ASEAN dapat dianalisis dari upaya mereka melakukan regionalisasi isu, bukan hanya terbatas pada komunike-komunike bersama atau rencana aksi, namun juga penetrasi isu regional tersebut ke ranah sosial yang lebih luas.

3. Pertalian sengaja dan pembentukan koalisi. Di sini Nye memusatkan perhatian kembali terhadap konsep pelimpahan, atau yang disebutnya sebagai pelimpahan yang ditekankan (accentuated spill-over) di dalam mana “masalah-masalah secara sengaja dipertalikan bersama ke dalam suatu perjanjian serentak, bukan karena kebutuhan teknologi, melainkan karena adanya proyeksi ideologi dan politik serta kelaikan politik.”34Di sini

kita harus melihat upaya-upaya para politisi, birokrat internasional, dan kelompok-kelompok kepentingan yang terlibat langsung di dalam Komunitas ASEAN dalam menciptakan koalisi yang didasarkan atas problem-problem yang bertalian. Namun perlu diingat, meskipun upaya-upaya tersebut mungkin mendukung integrasi, barangkali juga menimbulkan efek negatif apabila, misalnya, keberuntungan politik dari kelompok-kelompok pendukung integrasi tersebut, atau problem-problem yang diidentikkan dengan integrasi, mengalami kemerosotan. ASEAN masih tampak rapuh ketika misalnya menghadapi krisis ekonomi global. Pengalaman menghadapi krisis ekonomi tahun 1997 dan 2008 masih menunjukkan spill back ke kepentingan nasional masing-masing negara anggotanya.

4. Sosialisasi Kaum Elit. Sampai sejauh mana kaum birokrat nasional menjadi partisipan dalam integrasi regional akan ditentukan oleh level sosialisasi mereka. Hal ini penting sebab para birokrat nasional biasanya khawatir terhadap integrasi regional karena kemungkinan akan kehilangan kendali nasionalnya. Berdasarkan hal ini, dengan mempertimbangkan heterogenitas negara-negara ASEAN, tampaknya jalan menuju pelembagaan Komunitas ASEAN yang lebih substantif dan efektif masih cukup terjal, sebab kaum elit ASEAN sendiri masih menghadapi banyak perkara-perkara mendasar di negaranya masing-masing, dan lebih dari itu, mereka memandang bahwa persoalan-persoalan tersebut masih lebih baik mereka hadapi dengan cara-cara domestik juga. 5. Pembentukan Kelompok Regional. Integrasi regional dikatakan akan merangsang daya

cipta, baik formal maupun informal, dari kelompok-kelompok non-pemerintah ataupun asosiasi-asosiasi transasional. Pada ranah ini pelembagaan organisasi regional non pemerintah maupun asosiasi-asosiasi transnasional di lingkup ASEAN masih relatif lemah. Hanya kepentingan-kepentingan yang lebih umum lah yang diagregasikan oleh kelompok-kelompok seperti itu pada level regional, sementara kepentingan yang lebih khusus tetap berada di dalam perhatian kelompok-kelompok kepentingan pada level nasional.35 Sebagai contoh, telah sejak tahun 1980-an ASEAN secara umum memandang

serius terhadap persoalan kejahatan transnasional yang meliputi penyalahgunaan dan penyelundupan narkoba, perdagangan perempuan dan anak, perdagangan gelap senjata, dan terorisme transnasional, namun bukti semakin maraknya kasus-kasus kejahatan transnasional tersebut menunjukkan bahwa pembentukan kelompok regional belum cukup berdaya.

(7)

menghadirkan suatu daya yang sangat kuat dalam mendukung integrasi regional. Menurut Nye, “Semakin kuat rasa permanen dan semakin besar daya tarik identitasnya, semakin berkurang kemauan kelompok-kelompok penentang untuk menyerang skema integrasi secara frontal.”36 Di bawah kondisi seperti itu lah seharusnya negara-negara

anggota ASEAN lebih mentolerir kerugian jangka pendek ketimbang cara lainnya, dan kegiatan bisnis pun lebih memungkinkan untuk mendapatkan investasi dengan harapan pelakunya akan mendapatkan keuntungan yang kontinyu, dengan adanya pasar yang luas. 7. Keterlibatan aktor eksternal dalam proses itu. Dalam dunia yang menurut Nye masih menempatkan negara-bangsa sebagai penting namun “panggungnya semakin dipenuhi aktor non-negara” maka Komunitas ASEAN perlu menggrarisbawahi arti penting pengaruh pemerintah-pemerintah asing, organisasi internasional lain, dan juga aktor-aktor non-pemerintah, sebagai katalis dalam skema integrasi regional. Dalam hal ini ARF dapat menjadi contoh yang cukup baik untuk menempatkan ASEAN sebagai komunitas keamanan regional yang secara kolektif berkekuatan menengah, di tengah-tengah tekanan China dan pengaruh India, serta di ranah global berhadapan dengan kekuatan Russia, Australia, maupun Amerika Serikat.

Yang agak menjadi problem serius bagi Komunitas ASEAN yakni apa yang oleh Nye yang disebutnya sebagai potensi integratif–yakni, kondisi-kondisi integratif yang dirangsang oleh “mekanisme proses.” Dalam hal ini dia menetapkan empat kondisi yang berpengaruh terhadap komitmen asli maupun evolusi lanjut dari suatu skema integrasi.

1. Simetri atau kesetaraan ekonomi dari unit-unitnya.Dalam proses integrasi regional, sesungguhnya tidak begitu masalah apakah terdapat “wilayah-wilayah inti” (“core areas”) yang eksis bagi integrasi, atau apakah partisipan prospektifnya relatif setara ukurannya. Namun kesenjangan taraf perekonomian di ASEAN masih menjadi kendala berat bagi penyetaraan ekonomi ASEAN. Singapura dan Brunei adalah negara berpendapatan tinggi, sementara Malaysia tergolong upper middle, dan di level lower middle terdapat Thailand, Indonesia, Filipina, dan Vietnam, kemudian Laos, Myanmar dan Kamboja termasuk low income countries.37Sebetulnya tidak menjadi masalah apabila

Singapura dan Bruney menjadi wilayah ekonomi inti, sepanjang kepemimpinan mereka menunjukkan signifikansi berupa peningkatan arus ekonomi timbal-balik intra regional dibanding ekstraregional.

2. Komplementaritas tata-nilai kaum elit. Nye mengakui bahwa level kemiripan pemikiran antarelit pendukung integrasi penting artinya. Buktinya, dia menyatakan bahwa semakin tinggi level komplementaritas elit, semakin besarlah prospek bagi daya dorong yang didukung menuju integrasi regional. Dalam mewujudkan hal ini agaknya ASEAN lebih serius. Tampak dari adanya sejumlah besar lembaga di bawah ASEAN yang mendorong komplementaritas tata-nilai kaum elit meliputi berbagai bidang.

3. Keberadaan pluralisme. Secara fungsional, kelompok-kelompok tertentu yang pluralis dikatakan dapat meningkatkan peluang integrasi. Di sini, Nye menunjukkan suatu perbedaan utama antara pengalaman Eropa Barat dan apa yang dialami oleh Dunia Ketiga, di mana kelompok-kelompok seperti itu tidak ada. Menurut Nye, “semakin besar pluralisme di semua negara anggota, semakin baik keadaan bagi sebuah tanggapan integrasi terhadap umpan balik dari mekanisme proses itu.”38Namun pada kenyataannya,

di dalam masyarakat di negara-negara anggota ASEAN masih kuat tertanam sikap antipluralisme. Kasus-kasus Rohingya di Myanmar, Pattani di Thailand, Moro di Filipina, aksi-aksi kekerasan terhadap kelompok minoritas di Indonesia, merupakan sederet kasus di mana masyarakat Asia Tenggara masih jauh dari pluralisme politik dan kultural. Apabila tidak segera diperoleh jalan keluar dari kondisi ini, maka hal ini akan meredupkan pelembagaan Komunitas ASEAN.

(8)

Organisasi ekonomi mikroregional di ASEAN yang terus berkembang menjadi unit-unit baru memang perlahan-lahan menggerogoti, atau menggantikan, negara-negara bangsa yang ada. Akan tetapi, organisasi ekonomi mikroregional itu bersama-sama dengan organisasi-organisasi politik makroregional telah berperan bagi stabilitas kawasan.Mungkin hal ini menjadi sebuah pilihan yang tidak mudah bagi negara-bangsa, karena di satu sisi, sikap “cinta damai” itu berarti membiarkan perlahan-lahan otonomi kedaulatannya digerus, sekalipun di sisi lain peluang bagi kesejahteraan masyarakatnya semakin baik. Namun mengingat prasarana ekonomi domestik maupun prasarana regionalisasi ekonomi ASEAN belum cukup memadai, maka peranan negara-bangsa sebagai unit politik penting dalam jangka waktu relatif lama ke depan, sebab meskipun dampak perkembangan teknologi -- khususnya teknologi informasi, telekomunikasi dan transportasi -- terhadap unit-unit politik yang eksis di ASEAN telah nyata-nyata mengurangi otonomi negara-bangsa, namun ternyata hanya sebagian dari kekuatan nasionalnegara-negara anggota ASEAN yang diredistribusikan di tingkat regional.

Ringkasnya, organisasi-organisasi ekonomi mikroregional telah mengokohkan tautan-tautan fungsional yang pada gilirannya telah meningkatkan relasi antaranggota. Sementara itu politik makroregional ASEAN telah mampu memainkan peranan konstruktif dalam mengendalikan konflik antarnegara antaranggota, walaupun tidak berhasil dalam menangani kasus-kasus konflik yang utamanya bersifat internal–ini merupakan suatu keterbatasan serius sebagaimana diakui oleh Nye.39Justru, di sejumlah negara anggota ASEAN, tantangan yang lebih segera bagi sentimen

nasionalismenya pada dasawarsa belakangan ini datang bukan berasal dari globalisasi ataupun regionalisasi, namun dari kekuatan-kekuatan subnasional sentrifugal para pendukung otonomi kedaerahan yang dalam beberapa hal menjelma menjadi gerakan pemisahan diri (secession), kemudian ancaman terhadap pluralitas ASEAN berupa pengucilan atau penindasan terhadap kelompok-kelompok minoritas yang tak dikehendaki dari sebuah wilayah kebangsaan, dan perebutan dominasi satu kelompok etnik, bahasa, atau keagamaan oleh kelompok lainnya.

KRITIK TERHADAP FUNGSIONALISME DAN NEOFUNGSIONALISME

Fungsionalisme telah menjadi obyek beberapa jenis kritik dan modifikasi, khususnya yang dilakukan oleh kaum neofungsionalis. Di antara kekurangan yang dituduhkan kepada fungsionalisme adalah sebagai berikut:40

(1) memang sulit, jika bukan mustahil, untuk memisahkan aspek-aspek ekonomi dan sosial dari politik;

(2) bahwa pemerintah-pemerintah telah menunjukkan bahwa diri mereka enggan menyerahkan hal-hal yang menyangkut politik kepada kewenangan internasional; (3) bahwa tuntutan-tuntutan ekonomi dan sosial tertentu tidak “mencabang” atau

“melimpah” ke sektor politik; dan,

(4) bahwa jalan menuju integrasi politik lebih bergantung pada “tindakan dari kemauan” politik, ketimbang integrasi fungsional di dalam sektor-sektor ekonomi dan sosial.

Sementara itu neofungsionalisme dianggap tidak cukup mampu memecahkan masalah-masalah di “bidang-bidang yang bergolak” dalam hubungan internasional, dengan banyaknya masalah-masalah global di akhir abad ke-20, termasuk masalah-masalah besar berupa krisis finansial dan ekonomi yang melanda Amerika Serikat pada tahun 2008 dan yang menyuramkan nasib Uni Eropa saat ini.Sementara itu, justru di Asia, perkembangan ekonomi China dan India meningkatkan potensi mereka bukan hanya sebagai raksasa ekonomi regional, namun juga sebagai pemain penting perekonomian dunia di masa depan. Dalam kritik lain terhadap fungsionalisme, Charles Pentland menyimpulkan bahwa setidaknya berdasarkan pengalaman Eropa Barat sejak Perang Dunia II, terdapat sedikit bukti untuk menyatakan bahwa dengan pertumbuhan teknologi dan ekonomi sendiri, di sebuah dunia menciut ini, akan menghasilkan integrasi melalui kerja sama fungsional. “Hubungan antara kebutuhan fungsional dan adaptasi struktural, yang menjadi inti teori itu, bersifat ‘perlu’ hanya untuk menciptakan sebuah gambaran ideal atau norma, bukan dalam hal menetapkan arah perubahan.”41 Terlebih, pengaruh-pengaruh dan tekanan-tekanan politik telah

(9)

Model integrasi neofungsionalis juga kurang tepat untuk mengkaji sistem-sistem integratif di Dunia Ketiga. Berlawanan dengan aktor-aktor industri maju, negara-negara Dunia Ketiga mungkin mempunyai lebih sedikit tujuan yang dapat dipuaskan oleh integrasi. Sebagai contoh, harapan memperoleh keuntungan ekonomi dari meningkatnya perdagangan, yang didukung dengan pengurangan atau penghapusan halangan tarif, telah melengkapi dorongan kuat pembentukan kesatuan pabean, khususnya di Eropa Barat. Namun struktur perdagangan dan produksi di sebagian besar Dunia Ketiga, yang secara menyejarah didasarkan atas suplai produk pertanian dan bahan-bahan mentah ke negara-negara industri maju, telah merintangi prospeknya, dan setidaknya dalam jangka pendek, bagi komplementaritas ekonomi pada suatu tingkat yang memadai untuk memajukan integrasi di Dunia Ketiga dengan pembentukan kesatuan-kesatuan pabean atau Pasar Bersama yang bisa dibandingkan dengan Eropa Barat.42 Bahkan di wilayah

seperti Amerika Latin dan Dunia Arab, di mana terdapat tata-nilai bahasa dan budaya yang sama yang mestinya mendukung proses integrasi, tetapi buktinya bahwa perekonomian nasional diarahkan lebih ke luar ke kawasan-kawasan industri dunia ketimbang kepada satu sama lain, menjadikan satu halangan serius bagi regionalisasi. Oleh karena itu, cara-cara integrasi yang tepat untuk kondisi-kondisi Dunia Ketiga ini secara substansial berbeda dari apa yang relevan bagi negara-negara industri. Dan model-model yang diuraikan di dalam bab ini berperan lebih untuk menciptakan penjelasan mengenai kurangnya integrasi di Dunia Ketiga, sementara luput memandang kekhasan integrasi di Dunia Ketiga tersebut.

MEMAHAMI KOMUNITAS ASEAN DALAM BINGKAI KONSTRUKTIVISME

Dalam bukunya Social Theory of International Politics, Alexander Wendt mengembangkan suatu teori mengenai sistem internasional sebagai sebuah konstruksi sosial.43 Wendt menjelaskan klaim

sentral pendekatan kaum konstruktivis yang menampilkan pandangan dunia struktural dan idealis yang kontras dengan individualisme dan materialisme yang mendukung arus utama teori HI. Wendt membangun teori kultur mengenai politik internasional dengan mendasarkan diri pada pertanyaan apakah negara-negara memandang satu sama lain sebagai musuh, pesaing, atau teman, yang menjadi penentu fundamental. Wendt menyebut peranan-peranan ini sebagai “budaya anarki,” yang memiliki tiga atribut: Hobbesian, Lockean, dan Kantian. Kultur ini merupakan gagasan-gagasan umum yang membentuk kepentingan dan kapabilitas negara, dan membangkitkan tendensi dalam sistem internasional. Yang dimaksud dengan kultur Hobbesian adalah suatu asumsi dengan mana negara-negara memandang satu sama lain pada dasarnya sebagai musuh, kultur Lockean mengasumsikan bahwa negara adalah saingan bagi negara lain, sedangkan kultur Kantian adalah asumsi dengan mana negara-negara menganggap satu sama lain sebagai teman. Walaupun secara umum kedaulatan negara sering diasosiasikan dengan penentuan nasib sendiri (self-determination) dan kemandirian (self-help), Wendt menekankan bahwa hanya kultur Hobbesian lah yang murni self-help. Kultur lain mendasarkan diri pada asumsi bahwa logika kultur Hobbesian “kill or to be killed” tidak lagi relevan dalam mewujudkan perdamaian dujnia dan kesejahteraan umat manusia. Kemudian dengan mengemukakan tiga tingkatan penetrasi (internalisasi) terhadap kultur tersebut akan mampu memberikan konstruksi terhadap sistem internasional yang akan dibentuk. Kemudian terdapat empat faktor yang oleh Wendt dipandang dapat mendorong perubahan struktural dari satu kultur ke kultur lainnya, yakni kesalingbergantungan (interdependence), perasaan senasib (common fate), penyerbasamaan

(homogenization), dan sikap menahan diri (self-restraint).Contoh yang relevan dalam kerangka konstruktivis tersebut yakni internalisasi pada derajat yang tinggi (derajat 3) dari kultur Kantian akan berimplikasi pada sosialisasi konsep identitas kolektif yang sepadan dengan semangat kekitaan (we-feeling), solidaritas, subyek majemuk (plural subjects), identitas kebersamaan dalam kelompok (common-in-group identity), berpikir sebagai tim (thinking like a team),

kesetiaan (loyalty), dan sebagainya.44 Dengan demikian, dalam pandangan ini Komunitas ASEAN

akan diasumsikan sebagai hasil dari proses konstruksi sosial yang dibentuk sepanjang sejarah keberadaannya.

(10)

bertabrakan, orientasi dan kepentingannya. Acharya menambahkan, bagi kaum Realis, peranan ASEAN seperti itu betul-betul merupakan sebuah anomali struktural.Negara-negara ringkih yang semestinya menjadi obyek ketimbang subyek bagi negara adidaya, kenyataannya telah mampu menunjukkan kekuatan sosialisasi ketimbang berspekulasi dengan politik kekuatan.45

Acharya selanjutnya mengemukakan bahwa sejak jaman kuno, Asia Tenggara merupakan wilayah yang masyarakatnya terpapar oleh pengaruh kuat kebudayaan China dan India, sekalipun sampai batas tertentu menunjukkan identitas yang secara signifikan berbeda dengan keduanya. Masyarakat Asia Tenggara tidak membabi-buta dalam menerima hegemoni kultural dari dua peradaban besar tersebut, dan kemudian melokalisir gagasan-gagasan yang berakar di India maupun China yang relevan dengan konteks lokal dan mendukung keabsahan serta memberdayakan masyarakat lokal.Dia kemudian mengembangkan konsep yang disebutnya

subaltern universalism (universalisme lapis bawah), yang merupakan suatu ekstrapolasi dari kajiannya mengenai masa lampau Asia Tenggara dan agen-agen masyarakat Asia Tenggara yang lebih kontemporer. Konsep itu menyebutkan bahwa terdapat kemungkinan pihak yang lemah pun bisa memiliki agen; dan mereka dapat mengkonstruksikan tata regional dan global.46

Berdasarkan argumen itu Acharya berpendapat bahwa sekalipun terdapat kebangkitan kekuatan raksasa di Asia, khususnya China dan India, ASEAN akan tetap bertahan apabila mampu mengelola diri untuk memelihara kohesivitas pada derajat tertentu. Faktanya, bahwa kekuatan-kekuatan besar di Asia tidak menaruh saling kepercayaan untuk mengembangkan sebuah Konser Kekuatan, namun kekuatan-kekuatan besar tersebut, termasuk Amerika Serikat dan China, jutru telah menerima sentralitas ASEAN di dalam arsitektur keamanan regional. Tetapi harus diingat bahwa ASEAN musnah jika kehilangan persatuan dan mengambil posisi di salah satu adidaya melawan adidaya lainnya. Maka ASEAN harus menyediakan diri sebagai broker keamanan regional yang terpercaya dan netral, khususnya ketika negara-negara adidaya tidak menaruh kepercayaan satu sama lain.47Kita telah menyaksikan kemampuan ASEAN untuk bergeser dari

kerangka ideologi “anti-komunis” di masa awal pendiriannya ke arah yang lebih pragmatis, dan berhasil menarik masuk bagi negara-negara sosialis dan totalitarian di Asia Tenggara untuk bergabung. ASEAN juga berhasil menyesuaikan diri dengan perkembangan globalisasi ekonomi dan pasar bebas, sekalipun kadang dipandang sebagai “terjebak” di tengah arus neoliberalisme global. Pada tahun-tahun belakangan ini, ASEAN telah sedikit meninggalkan doktrin non-interferensinya. ASEAN juga telah mengembangkan mekanisme untuk menghadapi tantangan-tantangan transnasional dan konflik regional.

Dalam kasus reformasi politik di Myanmar, ASEAN, sampai batas tertentu, mulai tampak melakukan desakan politis dan memulai merumuskan mekanisme regional untuk mengatasi problem-problem Hak Asasi Manusia (HAM).48Namun demikian, Acharya masih

mempertanyakan apakah ASEAN cukup mampu menyesuaikan diri dengan laju perkembangan lingkungan transnasional ekonomi dan politik. – Apakah ASEAN akan menjadi terlampau lamban?49

Pada tahap inilah menurut saya arti penting percepatan pembentukan Komunitas ASEAN agar segera terbentuk pada tahun 2015 yang semestinya berdasarkan Visi ASEAN dibentuk tahun 2020. Para pemimpin ASEAN tampaknya menyadari bahwa momentum kecepatan perkembangan ekonomi Asia dapat menggulungnya apabila tidak cukup cepat beradaptasi.

Meminjam istilah Benedict Anderson, “imagined community”,50 bisa dibilang bahwa ASEAN

yang merupakan kelompok negara-negara yang sangat beraneka ragam, baik ukuran luas negara, jumlah penduduk, kekuatan militer, kondisi ekonomi, latar budaya, tipe sistem politik, dan sebagainya, nyatanya mampu mewujudkan bayangan mereka selama 45 tahun terakhir sebagai kawasan yang damai dan stabil. Konstruksi ini tentu menjadi modal dasar penting bagi pelembagaan Komunitas ASEAN, karena membentuk sebuah komunitas ekonomi dan keamanan, dua hal pokok dalam hubungan internasional, bukan sesuatu yang otomatis atau alamiah, melainkan harus dirumuskan dengan canggih dan diperjuangkan dengan gigih.

(11)

kebangkitan ekonomi dan pertahanan China dan India, masa depan ASEAN kembali bergantung pada kualitas sosialisasi dan interaksinya. Apabila ASEAN tetap kohesif dan menempatkan dirinya untuk merangkul semua kekuatan internasional yang penting tanpa memihak dalam konteks persaingan di antara mereka, maka ASEAN akan tetap eksis, dan dengan demikian, Komunitas ASEAN menjadi semakin penting secara strategis.

Dengan demikian Komunitas ASEAN telah menempuh suatu alur konstruksi sosial dalam mengubah kultur Hobbesian yang “semestinya” menjadikan negara-negara Asia Tenggara sebagai obyek politik internasional kekuatan adidaya sebagaimana pernah terjadi selama berabad-abad masa imperium China dan India maupun masa kolonial Barat, menjadi sebuah konstruksi sosial sebagai subyek yang berperan sebagai “tuan rumah” untuk menciptakan dan memelihara stabilitas kawasan. Hal itu dilakukan dengan menumbuhkan sikap kesalingbergantungan untuk menciptakan perdamaian karena ASEAN meyakini bahwa perdamaian tidak bisa ditentukan secara sepihak. Perasaan senasib sebagai negara-negara “tanggung” di tengah pusaran kekuatan global dan regional dijadikan sebuah konstruksi “senasib sepenanggungan” oleh negara-negara anggota ASEAN sehingga pada gilirannya juga membentuk homogenisasi dengan mencari celah-celah kebersamaan di tengah belantara keanekaragaman di hampir semua aspek kehidupan. Perasaan tersebut juga telah terbukti selama 45 tahun terakhir negara-negara ASEAN mampu menahan diri untuk tidak mengintervensi urusan dalam negeri anggotanya. Yang terakhir ini sering dipandang sebagai kelemahan ASEAN, padahal sesungguhnya dalam pandangan ini, sikap tersebut merupakan kekuatan untuk “berkorban dalam urusan mikro untuk mencapai kemaslahatan makro” kawasan.

SIMPULAN

Menelaah pelembagaan Komunitas ASEAN dengan model fungsional cukup mudah dipahami, yakni diasumsikan bahwa perkembangan transnasionalitas sektoral dan non-politik pada tahapan tertentu kemudian mengimbas menjadi kebutuhan untuk memperluas dan akhirnya menjangkau ranah politik sebagai penguat dan formalisasi integrasi regional ASEAN. Dengan demikian, menurut pendekatan fungsional, Komunitas ASEAN adalah salah satu milestone pelembagaan integrasi regional negara-negara Asia Tenggara. Nemun, pendekatan ini dianggap Eropa-sentris, mengingat bahwa ASEAN dibentuk justru sebaliknya, dimulai dari inisiatif politis-ideologis di masa Perang Dingin, baru kemudian melakukan perluasan dan pragmatisasi ke ranah non-politik.

Model neofungsionalis lebih sempurna ketimbang model fungsionalis karena dapat menyediakan suatu kerangka analisis untuk membandingkan proses-proses integratif di kawasan-kawasan yang lebih dan kurang berkembang di dunia, dan untuk menilai sejauh mana organisasi-organisasi ekonomi mikroregional, atau yang secara fungsional bersifat khusus memelihara potensi bagi perkembangan selanjutnya menuju sebentuk federasi. Bangunan model neofungsionalis dapat dan telah menyediakan proposisi-proposisi teoritik yang lebih eksplisit yang penting untuk memahami batasan-batasan, dan juga potensi, dalam menjelaskan integrasi dan menyediakan satu strategi untuk mempercepat proses integrasi. Namun demikian, sementara politik makroregional ASEAN telah mampu memainkan peranan konstruktif dalam mengendalikan konflik antarnegara antaranggota, ASEAN tidak berhasil menangani kasus-kasus konflik yang utamanya bersifat internal.Di sejumlah negara anggota ASEAN masih terdapat tantangan yang berasal dari kekuatan-kekuatan subnasional sentrifugal dari para para pendukung otonomi kedaerahan yang dalam beberapa hal menjelma menjadi gerakan pemisahan diri (secession), kemudian ancaman terhadap pluralitas ASEAN berupa pengucilan atau penindasan terhadap kelompok-kelompok minoritas yang tak dikehendaki dari sebuah wilayah kebangsaan, dan perebutan dominasi satu kelompok etnik, bahasa, atau keagamaan oleh kelompok lainnya. Belum lagi termasuk maraknya kejahatan transnasional seperti penyelundupan, perdagangan obat terlarang dan narkoba, perdagangan perempuan dan anak-anak, perbudakan manusia, perdagangan gelap senjata, dan sebagainya. Untuk menjawab persoalan seperti ini kerangka pemikiran neofungsionalis tidak banyak berbicara.

(12)

(homogenization), dan sikap menahan diri (self-restraint). Masa depan Komunitas ASEAN terletak pada jawaban atas pertanyaan apakah ASEAN mampu terus menjadi broker ekonomi dan keamanan yang netral dan dipercaya oleh negara-negara besar, dan itu semua terletak pada sejauh mana kohesivitas ASEAN terus dipacu agar tidak ketinggalan oleh laju perkembangan globalisasi ekonomi dan sosial di kawasan maupun di dunia. Tambahan, Keberhasilan ASEAN melakukan stabilisasi politik kawasan, baik di lapis pertama (keamanan) maupun di lapis kedua (ekonomi) hendaknya segera diikuti internalisasi dan sosialisasi secara serius ke lapis ketiga (masyarakat) agar tugas-tugas regional formal ASEAN mendapatkan legitimasi dan dukungan luas masyarakat Asia Tenggara dalam rangka meningkatkan kualitas hidup masyarakat serta menghadapi maraknya problem-problem sosial, pendidikan, keamanan, ekonomi, di lapis ketiga tersebut.(*)

(13)

1 Reinhold Niebuhr, “The Illusion of World Government,” Bulletin of the Atomic Scientists, V (Oktober 1949), hal. 289-292.

2 Hans J. Morgenthau, Politics Among Nations (New York: Knopf, 1978), hal. 499-507. 3 Ernst B. Haas, The Uniting of Europe (Stanford: Stanford University Press, 1958), hal. 16. 4 Ibid.

5

Henry A. Kissinger, A world restored; Metternich, Castlereagh and the problems of peace, 1812-22(Boston, Houghton Mifflin, 1957).

6 Thomas Hobbes, Leviathan (Oxford: Basil H. Blackwell, 1967), hal. 109, 174. Ralph Dahrendorf, Class and Class Conflict in Industrial Society (Stanford: Stanford University Press, 1959), hal. 157, dan Essays in the Theoryof Society (Stanford: Stanford University Press, 1968), hal. 147-150.

7 Alexander Wendt, Social Theory of International Politics (Cambridge: Cambridge University Press, 1999).

8 Sebagian dari pemahaman teoritik dalam tulisan ini, terutama fungsionalisme dan neofungsionalisme dikutip dan diterjemahkan dari James E. Dougherty dan Robert L. Pflatzgraff, Jr., Contending Theories of International Relations: A Comprehensive Survey, edisi 5 (New York: Longman, 2001), Bab 10 “Theories of International Cooperation and Integration”. Untuk pendekatan konstruktivisme disarikan dari Alexander Wendt, ibid.

9David Mitrany, A Working Peace System (Quadrangle Book, Chicago, 1966) 10 Ernst B. Haas, loc cit.

11 Ernst B. Haas, Beyond the Nation-State (Stanford: Stanford University Press, 1964), hal. 29.

12 Leon N. Linberg, The Political Dynamics of European Economic Integration (Stanford: Stanford University Press, 1963), hal. 6.

13 Leon N. Lindberg, “Political Integration as a Multidimensional Phenomenon Requiring Multivariate Measurement,” dalam Leon N. Lindberg dan Stuart A. Scheingold, eds., Regional Integration (Cambridge, Mass.: Harvard University Press, 1971), hal, 45-46.

14 Donald J. Puchala, “Of Blind Men, Elephants and International Integration,” Journal of Common Market Studies, X, No. 3 (Maret, 1972), hal. 277.

15 Karl W. Deutsch dkk., Political Community and the North Atlantic Area (Princeton: Princeton University Press, 1957), hal. 5

16 Karl W. Deutsch, The Analysis of International Relations (Englewood Cliffs, N.J.: Prentice-Hall, 1978), hal. 198-199. 17 Philip E. Jacob dan Henry Teune, “The Integrative Process: Guidelines for Analysis of the Bases of Political

Community,” dalam Philip E. Jacob dan James V. Toscano, eds., The Integration of Political Communities (Philadelphia: Lippincott, 1964), hal. 4.

18 Johan K. De Vree, op. cit., hal. 11.

19 James A. Caporaso dan Alan L. Pelowski, “Economic and Political Integration in Europe: A Time series Quasi-Experimental Analysis.” American Political Science Review, 65, No. 2 (Juni 1975), hal. 421-422.

20 Amitai Etzioni, Political Unification (New York: Holt, Rinehart and Winston, 1965), hal. 4. “Suatu komunitas politik adalah suatu komunitas yang memiliki tiga jenis integrasi: (a) punya kendali efektif atas penggunaan cara-cara kekerasan (meskipun mungkin ‘mendelegasikan’ sebagian dari monopoli ini pada unit-unit anggotanya; (b) punya suatu pusat pembuatan keputusan yang mampu mempengaruhi secara berarti alokasi sumber daya dan penghargaan bagi segenap komunitas; dan (c) terdapat pemusatan perhatian dominan pada identifikasi politik bagi mayoritas luas dari warga yang sadar politik.” Ibid., hal. 329.

21 Ibid., hal. 332.

22 Dalam karyanya mengenai nasionalisme, Deutsch menulis: “Komunitas yang mengijinkan suatu sejarah bersama untuk dialami bersama adalah sebuah komunitas kebiasaan komplementer dan merupakan fasilitas bagi komunikasi. Boleh dikatakan bahwa hal itu mempersyaratkan kelengkapan untuk sebuah tugas. Tugas ini meliputi penyimpanan, pemanggilan kembali, pengiriman, penggabungan ulang, dan penerapan ulang dari informasi yang relatif berjangkauan luas, dan ‘kelengkapan’ yang terkandung di dalam ingatan-ingatan, simbol, kebiasaan, pilihan-pilihan yang berlaku, dan fasilitas-fasilitas yang dipelajari tersebut, yang sesungguhnya akan secara memadai bersifat komplementer untuk memungkinkan kinerja fungsi-fungsi ini. Suatu kelompok orang yang lebih besar yang dipertalikan oleh kebiasaan komplementer tersebut dan memfasilitasi komunikasi dapat kita sebut masyarakat.” Nationalism and Social Communication (Cambridge, Mass.: M.I.T. Press, 1953), hal. 96. (cetak miring dari aslinya.)

23 Karl W. Deutsch, “The Impact of Communication Upon International Relations Theory,” dalam Abdul Said, ed., Theory of International Relations: The Crisis of Relevance (Englewood Cliffs, N.J.: Prentice-Hall, 1968), hal. 75.

24 Ibid., hal. 76.

25 Gagasan Deutsch mengenai sebuah komunitas keamanan adalah komunitas di mana anggota-anggotanya tidak mempertahankan harapan berperang satu sama lain, namun bukan disebabkan karena keperluan mereka untuk merasa lebih aman dari serangan eksternal ke dalam dari pada ke luar komunitas tersebut.

(14)

27 Gagasan ini sama dengan sistem sosial menurut Talcott Parson, di dalam mana orang-orang mengembangkan harapan-harapan mengenai perilaku satu sama lain. Talcott Parsons dan Edward A. Shils, Toward a General Theory of Action: Theoretical Foundations for the Social Sciences,3rd ed. (Edison, NJ: Transaction Publishers, 2007).

28Charles Pentland, “Fungsionalism and Theories of International Political Integration,” dalam A. J. R. Groom dan Paul Taylor, eds., op. cit., hal. 18.

29 Haas menunjuk pada konsep “pelimpahan” sebagai “logika perluasan sektor-sektor integrasi,” dan menyatakan: “Jikalau para aktor yang berpikir berdasarkan persepsi yang diilhami oleh kepentingan mereka, berhasrat menyerap pelajaran integratif yang dipelajari di satu ranah ke suatu situasi baru, maka pelajaran itu akan digebyahkan.” Beyond the Nation State (Stanford: Stanford University Press, 1964), hal. 48.

30 Ernst B. Haas, “International Integration: The European and the Universal Process,” International Organization, XV (Musim Gugur, 1961), hal. 372.

31 Joseph S. Nye, Peace in Parts: Integration and Conflict in Regional Organization (Boston: Little, Brown, 1977), hal. 56-58.

32 Pengamatan Nye dalam hal ini mungkin cocok untuk menjelaskan merosotnya kelembagaan Uni Eropa tatkala mereka mengalami krisis finansial. Sebelumnya, terjadi spill-over di mana para elit dan kelompok-kelompok kepentingan mendapatkan keuntungan pada masa awal integrasi, tetapi kemudian menjadi enggan untuk mengambil langkah-langkah integratif tambahan ketika laju pertumbuhan merosot. Ketika laju pertumbuhan menurun akibat krisis finansial, sentimen proteksionis nasional kembali menyala dan para pemerintah merasa ragu untuk meningkatkan kepentingan bersama karena tentunya mereka khawatir terhadap efek sebaliknya pada peluang kerja, inflasi, neraca, dan masalah-masalah keuangan.

33 Nye, op. cit., hal. 67. 34 Ibid., hal. 68. 35 Ibid., hal. 71-72. 36 Ibid., hal. 73.

37Baca misalnya di http://www.questia.com/library/1G1-300952052/income-inequality-hinders-asean-integration. Diunduh 5 Oktober 2012

38Nye, op. cit., hal. 82.

39Ibid., hal. 172, 198-199; dan Donald Rostchild, “Ethnicity and Conflict Resolution,” World Politics, XXII (Juli 1970), hal. 597-616.

40Dougherty dan Pfaltzgraff, Jr., op. cit.

41Charles Pentland, International Theory and European Integration (London: Faber and Faber, 1973), hal. 98.

42 Lynn Krieger Mytelka, “The Salience of Gains in Third World Integrative Systems,” World Politics, 25 No. 2 (Januari 1973), hal. 237-243. Lihat juga David Morawetz, “Harmonization of Economic Policies in Customs Union: The Andean Group,” Journal of Common Market Studies, XI, No. 4 (Musim Gugur, 1970). “Sangat tidak memungkinkan bagi Kelompok Andean untuk mencapai tahap wilayah mata-uang yang optimum, bahkan untuk sekadar mendekati optimum.” Hal ini dipatok oleh adanya imobilitas tenaga kerja di dalam dan di antara negara-negara di kawasan itu, prosentase perdagangan manca yang sangat rendah disebabkan adanya kebijakan substitusi impor, kerawanan berat dalam hal neraca pembayaran terhadap negara-negara manca, dan perbedaan berarti dalam hal laju inflasi antarnegara anggota.

43Alexander Wendt, Social Theory of International Politics, op. cit., hal. ix. 44Ibid., hal. 305. Baca selanjutnya uraian di dalam bab ini.

45Clifford, S. (2011) ‘Theory Talk #42: Amitav Acharya on the Relevance of Regions, ASEAN, and Western IR’s False

Universalisms’, Theory Talks, http://www.theorytalks.org/2011/08/theory-talk-42.html(10-08-2011)

46Ibid. 47Ibid.

48Baca, antara lain http://www.republika.co.id/berita/internasional/tragedi-rohingya/12/08/18/m8x1zw-asean-tegur-pemerintah-myanmar. Diunduh tanggal 5 Oktober 2012.

49Acharya dalam Clifford, op. cit.

Referensi

Dokumen terkait

Pada musyawarah itu diputuskan bahwa seluruh warga Al Washliyah baik laki-laki maupun perempuan diberi pemahaman bahwa kemerdekaan Indonesia dan berdirinya Republik Indonesia

Selain itu, seseorang yang menaruh atensi pada suatu hal atau objek akan mempunyai waktu reaksi yang lebih baik terhadap suatu hal atau objek

Sesuai dengan rumusan permasalahan yang telah diuraikan, terjawab bahwa hasil dari analisis secara parsial menunjukan bahwa variabel Reability (X1), variabel Responsiveness

Pengertian pergaulan bebas adalah bentuk perilaku yang tidak wajar atau menyimpang dimana makna bebas tersebut adalah menyelisihi dari batas norma agama maupun

Proses bimbingan sekolah untuk praktikan secara langsung maupun tidak langung dilakukan oleh guru pamong, koordinator guru pamong, kepala sekolah, dosen pembimbing, dan

Intonasi dalam Hubungannya dengan Sintaksis Bahasa Indonesia.. Intonasi dalam Hubungannya dengan Sintaksis

Pada tahap awal perkembangan ekonomi diperlukan pengeluaran negara yang besar untuk investasi pemerintah, utamanya untuk menyediakan infrastruktur seperti sarana

hasil 2 citra dengan sensor yang berbeda menggunakan metode interpretasi hibrida, kondisi indikasi kepadatan dan densifikasi bangunan di Kota Salatiga serta perubahan