• Tidak ada hasil yang ditemukan

Pluralitas Allah Israel Interpretasi Dar

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2018

Membagikan "Pluralitas Allah Israel Interpretasi Dar"

Copied!
32
0
0

Teks penuh

(1)

Pluralitas Allah Israel: Interpretasi Dari Perspektif Feminisme

Pendahuluan

Berfokus kepada masyarakat Israel yang tergambar dalam Kitab Ibrani, kita menemukan

apa yang disebut “sejarah” sebagai sejarah yang ditulis oleh kelompok pemenang- masyarakat

dominan yang didominasi oleh kaum pria yang otoritarian dalam konteks Israel kuno. Hal ini berkonsekuensi pada hal-hal yang berhubungan dengan dunia wanita Israel kuno – ketika melihat teks-teks tersebut melalui kacamat kaum pria sebagai penulis teks. Kesulitan semakin bertambah dengan tidak adanya bukti langsung mengenai apa yang wanita pikirkan, perkatakan, atau rasakan pada saat itu, selain cetak biru dari kaum pria mengenai keadaan para wanita yang

menghasilkan bias informasi. Untuk itu bias informasi ini harus dikenali terlebih dahulu.

Seperti apakah bias informasi tersebut? Pertama, tentunya komposisi kitab Ibrani yang

(2)

kehidupan pria yang didalamnya termasuk institusi yang dijalankan kaum pria seperti model kepemimpinan dan militer. Keempat, kitab Ibrani secara umum merupakan produk dari

masyarkat urban, dimana Yerusalem dan kotanya memainkan peran utama dalam politik dan institusi religious. Oleh karena itu, kitab Ibrani sudah pasti tidak pernah berurusan dengan kehidupan pedesaan atau non-Yerusalem. Premis ini dapat dibuktikan dengan membandingkan populasi Israel yang 90% menetap di pedesaan terisolasi yang mayoritas adalah petani, sedangkan sisanya yang 10% menetap di perkotaan. Dengan semua alasan ini, maka kesimpulan awal bahwa kitab Ibrani berisi bias informasi tepat adanya dan oleh karena itu harus diperlakukan dengan sangat hati-hati sebagai sumber sejarah mengenai wanita di Israel Kuno. Skeptisisme terhadap kesejarahan kitab Ibrani (demikian juga kitab ilham lainnya) membuat pentingnya untuk mencari dan meneliti sumber-sumber di luar catatan kitab Ibrani dengan menggunakan peran ilmu sosial seperti arkeologi, antropologi, dan etnograpi dalam upaya meneliti dan menginterpretasi ulang budaya Israel kuno.

Sejak awal para sarjana biblikal secara alami terlatih untuk menelaah melalui metode sejarah dan linguistik, mereka secara alamiah berkonsentrasi kepada teks-teks biblika daripada bukti-bukti artifaktual. Hasil yang diperoleh adalah interpretasi sejarah mengenai agama Israel kuno dan bukan pada deskripsi dari praktek religius yang benar-benar pernah terjadi. Seharusnya sejarah yang berfokus utama pada teks-teks suci (iman) yang internal (subjektif), dan bukti-bukti arkeologi (material) yang dapat memberikan bukti-bukti eksternal dimana data tidak sebatas fakta-fakta, melainkan fakta-fakta dalam konteks; yaitu fakta yang memiliki arti

sesungguhnya (meaningful facts) karena diinterpretasikan sehingga lebih objektif dan independen, diperkenalkan melalui antropologi beserta aspek terkaitnya seperti, budaya, ekonomi, politik, environment, dan sebagainya.

(3)

tinggal (settlement) dan daerah (region), susunan dan ukuran bangunan, distribusi penghasilan, barang-barang berharga atau komuditas yang bernilai, dan sejenisnya memberikan indikasi

mengenai struktur social dan organisasi dan hubungan-hubungan dengan daerah sekelilingnya. Dengan kata lain pola tinggal dan distribusi barang dan distribusi dari pertukaran barang dapat memberikan pengetahuan mengenai keadaan social dan struktur ekonomi dari masyarakat Israel kuno yang mana informasi ini tidak diperoleh dalam teks Alkitab.

Untuk itu, penggunaan ilmu-ilmu social; seperti arkeologi, dipercaya dapat memberikan deretan informasi impresif yang meningkatkan pengetahuan dan pengertian kita terhadap teknologi, ekonomi, sosial, dan kehidupan intelektual dari dunia masyarakat kuno, seperti bagaimana dan mengapa perubahan dapat terjadi. Pengetahuan semua hal tersebut di atas tidak mungkin diperoleh dari sekedar membaca teks-teks suci melalui interpretasi literer ataupun teologis. Arkeologi juga dapat membantu untuk merekonstruksi ulang keadaan lingkungan Palestina kuno (topografi, iklim, tanah dan sumber air), sistem penopang kehidupan, pola tinggal, demografi, dan sejenisnya yang juga tidak dapat direkonstruksi dari teks-teks biblical. Bagi dunia Palestina kuno, hal ini berguna untuk memperoleh gambaran yang benar mengenai asal dan keberadaan Israel kuno, transisi dari bentuk tribal kepada bentuk Negara kerajaan, juga bentuk keadaan social Yehuda setelah reformasi, dan lain sebagainya. Kelebihan lain dari arkeologi adalah informasi yang diberikan lebih bersifat objektif karena tidak melalui proses seleksi, editing, dan redaksional seperti yang telah dialami oleh teks-teks kitab Ibrani pada umumnya.

Hal ini bukan berarti meminimalkan peran kitab Ibrani (Alkitab), namun harus disadari bahwa Alkitab muncul dari realitas sosiopolitis yang tidak dapat dimengerti secara lengkap apabila terpisah konteks sosial dengan masyarakat itu sendiri. Dan karena relasinya ini, jika digunakan secara kritis maka teks Alkitab sangat berpotensi memberikan informasi budaya dan social yang lebih baik. Dalam beberapa teks yang ada, tradisi Alkitab menjadi model atau gagasan yang nyata. Namun demikian, walaupun Alkitab dapat memberikan kita informasi

mengenai “ide, pikiran” dari suatu bentuk kebudayaan yang nyata terjadi di bangsa Israel dalam

waktu-waktu yang berbeda, namun hal ini bukan berarti telah merekam “sejarah” dalam

pengertian “sejarah” yang dimengerti manusia abad 20. Melainkan “sejarah” yang tercatat

(4)

kepercayaan yang dikonstruksikan untuk melayani beberapa konteks tujuan sosial dan sejarah yang mana ide dan keadaan tersebut kemudian dicatat, diedisi, dan ditata atau diatur dalam

bentuknya saat ini (present form). Pembentukan seperti ini dapat terjadi khususnya dalam situasi krisis seperti hilangnya kekuatan politik karena dijajah bangsa lain atau saat dalam pembuangan, atau dalam periode dimana perubahan terjadi dengan cepat yang mengilhami para penulis Alkitab dalam berbagai periode berbeda tersebut akan mempertimbangkan dan menafsirkan (menterjemahkan) ulang sejarah kudus mereka untuk melegitimasi klaim situasi saat itu dan mendorong orang lain untuk menerima ide dan gagasan mereka dengan tujuan untuk memperkuat identitas nasional, atau menegaskan kembali dan atau menterjamahkan ulang nilai-nilai yang pernah digunakan bersama.

Hal penting lainnya yang harus dipertimbangkan adalah lokasi sosial dan maksud dari para pihak yang bertanggung jawab dalam penulisan dan pengediting teks, serta siapa pendengarnya. Contoh; para penulis biblikal sebagian besar adalah kaum pria dan hampir selalu berasal dari klas kecil dan elit. Maka, literature yang mereka ciptakan (bangun), sebagian besar merefleksikan dan lebih concern kepada gender dan klas mereka sendiri daripada masyarakat umum. Kelompok yang berbeda akan memiliki perbedaan kepentingan dan tentunya perbedaan wawasan dan gagasan (worldview). Kompetisi kepentingan ini seringkali memunculkan propaganda. Para penguasa elit yang berkuasa misalnya, sering mencari cara untuk mempertahankan kekuasaan mereka melalui intrik dan propaganda. Jadi, apapun ideologi dan kepercayaan yang direfleksikan dalam literature biblical, tidaklah mencerminkan kepercayaan

dan ideology dari masyarakat diluar klas elit tersebut (suara mayoritas).

(5)

lainnya, apalagi jika dihubungkan dengan ide Taurat, Pohon Kehidupan dan Hikmat yang kesemuanya memiliki gender Feminin.

Bab I

Sistem Pantheon Dan Sidang Ilahi Ugarit

Dengan diperkenalkannya dokumen Ugarit V pada tahun 1968, maka studi mengenai Kitab Ibrani dan teks-teks Ugarit memasuki babak baru. Frank Moore Cross dalam karya monumentalnya Canaanite Myth and Hebrew Ephic, mendemonstrasikan adanya hubungan (sharing) identitas keagamaan antara Israel dan Kanaan yang sebelumnya dianggap beroposisi. El dari Ugarit oleh F.M. Cross dianggap sama seperti “Allah Para Patriak” dalam narasi Alkitab. El adalah Allah patriakal dan bukan Allah kerajaan, sekaligus ia melihat hubungan antara El dan

Ba’al dalam teks Ugarit sebagai bersekutu dan bukan berkonflik. Bagi Cross, El jika

dihubungkan dengan Yahweh, maka kedua figur ini merupakan Allah yang sama dimana nama YHWH hanya berfungsi sebagai julukan dari El karena epitet tersebut dimengerti sebatas bentuk

kausatif, seperti “Dia (El/Yahweh) yang menciptakan bala tentara surgawi,” dalam hal in

karakter El yang mendapat penekanan. Dalam perkembangan selanjutnya, para ahli yang bekerja setelah dipublikasikannya Ugarit V pada tahun 1968, mulai mengerti dan mengakui bahwa berkembangnya agama Israel tidak dapat dipisahkan dari lingkungan Kanaan. Tidak ada lagi

pemahaman bahwa agama Israel unik dan sejak awal sudah berkonflik dengan agama Kanaan. Proses ini dengan sendirinya memberikan pengertian baru terhadap pemahaman keilahian Israel.

Terminologi yang dipakai untuk menunjuk kepada konsep sidang ilahi dalam literatur Ugarit mengindikasikan bahwa konsep ini secara umum memiliki hubungan dengan El. Ada beberapa istilah sidang ilahi dalam naskah Ugarti seperti: istilah phr ’ilm (Cta: 29.11.7; Ug.

V9.19), dan kalimat ‘Sidang Elohim” dalam bentuk phr bn ’ilm (Cta: 4.III.14), juga kalimat

“perkumpulan Anak-Anak ’Ēl” dalam pola mphrt bn ’ilm (Cta: 30:3; 32.1.3.9.17.26.35).1 Juga ada istilah p-r yang banyak dipakai yang ditemukan di Ugarit, dipergunakan untuk menunjuk kepada kumpulan dewa tertentu yang berbicara atas nama suatu kelompok atau dewan di bawah sokongan mereka. Penggunan bahasa ini ketika ditujukan kepada kelompok dewa lain mungkin

(6)

adalah semacam derivasi yang dipergunakan untuk menunjuk kepada rombongan mereka sendiri.

Kata lain yang sering dipakai untuk menunjuk kepada “suatu dewan ilahi” adalah dt dan dr.

Kata dt biasanya dipakai untuk menunjuk kepada kumpulan El, atau secara literer menunjuk

kepada “lingkaran El” yang sedang berpesta. Sedangkan kata dr merupakan kata umum yang

biasa ditujukan kepadan sidang ilahi El (dr ’il; dr bn ‘il; dr dt šmm; dr ‘il wp—r b‘l). El dikatakan memiliki tempat tinggal di suatu gunung kosmik yang sering dihubungkan dengan kesuburan, penciptaan, kumpulan sidang ilahi, tempat tinggal Allah maha tinggi, atau tempat di mana ia menunjukkan teofaninya. Dalam naskah Ugarit ada dua gunung penting yaitu gunung El, tempat dimana Allah membuat keputusan yang berhubungan dengan alam semesta; dan

gunung Ba’al (zaphon) tempat dimana peperangan yang menentukan hidup dan mati. El juga

dikatakan bertempat tinggal di antara dua mata air besar yang mengindikasikan bahwa tempat itu merupakan tempat pertemuan yang dilingkupi oleh dua samudra kosmis dalam lingkup laut primordial. Selain itu, ia juga dikatakan memiliki tempat tinggal berupa “tenda pertemuan.” Atau dalam “tenda kediaman/ tabernakel” yang kudus dan bukan dalam suatu struktur bangunan permanent.2 Disitu El duduk dan bertakhta di atas kerubim ’il yšb krbym. Konsep ini tentunya paralel dengan yang terdapat dalam teks 1 Sam. 4:4; 2 Sam. 6:2.3 Anggota dari sidang ilahi ini dalam naskah Ugarit ditandai dengan istilah ’ilm, Allah-Allah, bn ’ilm, anak-anak Allah, dan bn

’atrt, anak-anak Atirat. Gelar ’ilm yang disandang para dewa ini menunjukkan kekudusan mereka dan sebagai bagian dari anak-anak El bny. Hanya ada dua dewa yang tidak mendapat gelar ’ilm; Yamn yang diwakilkan oleh ml’ak, dan Ba’al yang disebut sebagai “anak Dagon.”4

Dalam struktur kerajaan, pada bagian tertinggi ada El dengan Asherah (Athirat) merupakan pasangan dewa-dewi pencipta dan pemilik seluruh bn ill, merangkap sebagai orang tua. Lapis ke dua dihuni oleh dewa-dewi kosmic, Ba’al, Anat, Mot, Yamn, Shemesh/ Shapsu

dan pembawa pesan lainnya. Lowel K. Handy menyebut kelompok ini sebagai “dewa-dewa

aktif” yang fungsinya memberikan jaminan bahwa kehendak El dan Athirat terlaksana.5

Level ketiga dihuni oleh para dewa “ahli” dalam bidang tertentu, yang dalam hal ini Kothar-wa-Hasis dikenal sebagai representasi level ini. Dia melayani dua level dewa di atasnya

2 E. Theodore Mullen Jr. The Divine Council in Canaanite and Early Hebrew Literature (Harvard: scholar Press,

1978), 134

3 F.M. Cross, Canaanite Myth and Hebrew Epic (Massachussets: Harvard University Press, 1973), 69 4 Ibid.

5 Lowell K. Handy, The Appearance of Pantheon in Judah: “The Triumph of Elohim By Diana Vikander Edelman,

(7)

dengan kemampuan hikmat dan keahlian tangannya. Ia membuat rumah bagi Ba’al dan Yamn. Dalam perang kosmis Ba’al, ia membuat senjata yang membuat Ba’al menang atas Yamn.

Pada bagian terakhir, selain ml’ak, terdapat para dewa yang khusus melayani dewa lainnya, seperti pembawa pesan allah. Mereka menjadi “firman hidup” dari dewa tertinggi yang memberi perintah. Mereka adalah juru bicara dewa pengutusnya. Mereka berada dalam lingkup kerajaan, namun tidak memiliki dominasi apapun walaupun mereka tetap dianggap sebagai dewa.

Bab II

Sistem Pantheon dan Sidang Ilahi Israel

Para ahli evolusi teistik seperti F.M. Cross, Albrecht Alt, Roland De Vaux, D.N. Freedman, dan Max Weber, percaya bahwa prinsip evolusi teistik berasal dari adanya fakta agama dunia berkembang dari bentuk politeisme menuju monoteisme.6 Dan satu hasil dari proses transisi tersebut adalah Henoteisme.

Penelitian Albrecht Alt, 7 soal Allah sesembahan Israel yang heterogen membuktikan Israel memang tidak memiliki sistem monotheisme dalam sistem kepercayaan mereka. Alt

Melihat ’Ēl yang biasa dihubungkan dengan tempat-tempat khusus seperti: ’ēl rō’î di Berlahai

Roi (Kej.16:13), ’ēl ‘ōlam di Bersyeba (Kej. 21:33), ’ēl ’ēlōhê yĩserāėl di Sikhem (Kej. 33:20),

’ēl bêt-’ēl di Betel (Kej.31:13; 35:7), ’ēl ‘’ēlyōn di Yerusalem (Kej. 14:19,22) dan ’ēl Śadday (Kej. 17:1-20); yang kemudian menjadi Allah Yahweh dalam berita Musa, originalnya adalah; Allah-Allah terpisah yang disembah oleh orang Israel mula-mula.

Istilah-istilah Kanaan dalam naskah Ugarit seperti: phr ’ilm, phr bn ’ilm, dan mphrt bn

’ilm, parallel dengan beberapa istilah Perjanjian Lama sepert: ‘ēdāt atau ădat,yang artinya sidang ilahi (Maz. 82). Istilah ini parallel dengan terminology cdt dalam Epic Kirta (CTA:15.II.7.II).

6 Pandangan ini berlawanan dengan Stephen Langdon yang berkesimpulan bahwa Monoteisme mendahului

Politeisme dan juga Henoteisme. Menurut dia sejarah civilization manusia adalah perubahan cepat dari Monotheisme menuju Politeisme extreme dan tersebar secara luas dalam bentuk penyembahan evil spirit. Bukti ini dapat terlihat dari sitem keagamaan orang Sumer (yang mana budaya merekalah yang paling kuat memberi pengaruh kepada dunia kuno timur tengah). Melalu photographic inskripsi yang ditemukan yang menunjuk hampir kepada awal dari konsep kepercayaan yang manusia miliki ini menunjukkan bukti bahwa kepercayaan mereka adalah Monoteis (juga penggalian di Tell Asmar-Eshmuna mengkonfirmasi statement Langdon ini). Lihat artikel Zenit Harris Merril, Monotheism: The Original Religion Of Man, JSOTR-2002, 10-11

7 Albrecht Alt, Essay on Old Testament History and Religion, (Garden City-New York: Anchor Bible Books, 1966),

(8)

Amos 8:14, terdapat istilah dôr (perhimpunan) Yang dalam teks Kanaan disebut `il/dr bn `il.

Istilah ini dipergunakan sebagai petunjuk umum untuk sebutan “sidang ilahi ‘ēl” dalam mitologi

Kanaan (CTA:30.2; 32.1.2.9.17.25-26.34; 34.7). Yesaya menggunakan istilah mô‘ēd untuk

menunjuk kepada “gunung Pertemuan,” yang dalam teks Ugarit (CTA:2.1) disebut har- mô‘ēd,

sedangkan “kemah pertemuan ‘ēl disebut ’óhel mô‘ēd.8 Untuk beberapa istilah Kanaan seperti

banū ’ili (-im) dan banū qudši, dalam kitab suci Ibrani ditemukan paralelnya dengan sebutan benê ’ēlîm (Maz. 29:1; 89:7); benê ělōhîm (Ul. 32:8); benê hā’ ělōhîm (Kej. 6:2.4; Ayb. 1:6; 2:1); benê ‘elyôn (Maz. 82:6) dan kol- ělōhîm dalam Mazmur 97:7.

Terminologi yang digunakan untuk menggambarkan konsep “sidang ilahi” dalam literature ke dua bangsa ini sangat mirip. ’Ēl digambarkan sebagai bapa, raja, dan pengada dari semua ilah di Kanaan. Untuk itu, ’Ēl digambarkan juga sebagai hakim bijaksana yang duduk sebagai pemimpin dari suatu sidang yang disebut sidang ilahi berupa dewa-dewa yang mengelilinginya.

Mazmur 82 membuktikan sekaligus menyimpulkan bahwa divine pluralism tidak sebatas masalah gramatikal saja, karena Yahweh menunjuk kapada “God of gods” atau digunakan sebagai definite artikel ha elohim (the God) untuk sebutan Yahweh, atau bene elohim (anak-anak Allah) untuk allah-allah lainya (Kej. 6:2, ayub1:6).9 Mazmur 82 yang diperkirakan dibuat pada

sekitar abad ke 8 SM, dalam terjemahan LAI secara vulgar diberi judul “Allah dalam sidang

ilahinya” untuk menunjukkan bahwa penafsir LAI sadar dan membenarkan adanya konsep sidang ilahi dalam Perjanjian Lama. Berbeda dengan adegan sidang ilahi lainnya, pada bagian

ini El (walaupun banyak ahli melihat El disini sebagai YHWH, namun sidang di sini disebut sidang EL) digambarkan sedang berkonflik dengan anggota sidang lainnya dan akan menjatuhkan hukuman karena adanya pelanggaran keadilan.

Adegan dalam Mazmur ini membangun pemahaman teologis mengenai El/ YHWH sebagai penguasa universal. Namun tidak berarti ide monoteisme otomatis muncul, akan tetapi penghukuman yang diberikan terhadap Allah bangsa-bangsa dan tunduk di bawah kuasa EL semata menujukkan karakternya sebagai penguasa embedded. Keberadaan Allah lain tidak dipungkiri, namun kuasa kosmos yang mereka miliki dieliminasi karena dianggap usang. Semua

(9)

berpusat kembali kepada El, dan hanya dia saja yang bisa membuat aturan-aturan social di Israel, bahkan diseluruh dunia.

McGinn, 10 melihat beberapa terminologi Ugarit seperti istilah td dan dm muncul dengan frekuensi sering dalam Kitab Ibrani. Kebanyakan terminology ini muncul dengan pengertian

“jemaah/ kumpulan Israel.” (Kel. 12:3; Bil. 16:9) atau istilah “jemaah anak-anak Israel” (kel.

16:1,9; Im. 16:5; Bil. 14:5). Istilah ini juga muncul untuk menunjuk “suku-suku Israel sebagai

jemaah YHWH” (Mzm. 7:8). Pada intinya, istilah ini menujuk kepada “assembly, company,

band, gathering” yang dalam Mazmur 82:1 mendapat penekanan bahwa kumpulan ini memiliki substansi ilahi. Sedangkan istilah dmlebih menunjuk kepada suatu “tempat pertemuan.” Selain itu, ada istilah rwd yang memiliki arti “lingkaran.” Istilah ini bisa ditujukan kepada “lingkaran tertentu” yang banyak terdapat dalam Mzm. 14:4; 49:20; 73:15; 84:11; 95:10;112:2; Yes 53:8; Yer 7:29; 2:31; dan Ams. 30:11-14.

Kita juga menemukan kata yang sangat umum dipakai untuk menyebut suatu sidang dengan istilah dws. Istilah ini muncul dalam Maz 8:8; Yer 23:18, 20; Amos 3:7 dan Ayub 15:8

dengan arti “secret counsel” atau “secret speech” yang mengidikasikan bahwa kelompok ini

memiliki tugas sebagai penasehat (Maz 55:15). Dalam Mazmur 89:8, kumpulan ini menujuk kepada suatu sidang dari yang kudus.

Nabi Micah melalui penglihatannya melihat sebuah pertemuan (1 Raja-Raja 22: 19-38). Pada bagian ini terlihat Allah secara aktif mencari advice and consent dari anggota sidang ilahi sebelum memberikan suatu keputusan penting.

“Mikah menggambarkan Allah yang sedang mengumpulkan nasehat dari anggota sidang ilahinya (1 Raj. 22:20). Dia bertanya bagaimana Ahab harus dihukum karena berperang dengan kesombongannya sendiri. Mereka maju tanpa meminta otorisasi dari nabi Allah. Diskusi berlangsung di antara anggota sidang ilahi tentang bagaimana seharusnya menjalankan kehendak Allah. Micah menggambarkan perbincangan itu dengan “yang seorang berkata begini, yang lain

berkata begitu,” namun ia mengerti bahwa mereka sedang membuat suatu rekomendasi penting

Visi ini dimulai dengan penglihatan Yahweh yang duduk di atas tahtanya didampingi 2 raja lainnya (istilah “tahta” sebetulnya sudah menujuk kepada suatu sistem pemerintahan lengkap dalam bentuk hirarki). Mikah melaporkan bahwa semua anggota sidang ilahi sedang

10 Mc. Ginn, The Divine Council and Israelite Monotheism, (Hamilton, Ontaria: Mc. Master University, 2005),

(10)

berkumpul. Kehadiran merekan diindikasikan dalam gramatikal Ibrani dm yang merupakan istilah teknis menunjuk sebagai partisipan di pengadilan tersebut, yang berdiri sebagai asisten

Yahweh mengantisipasi dekrit yang mungkin keluar dariNya.

Penglihatan Mikah ini menunjukkan sistem pemerintahan Yahweh tidak bersifat monistik karena ada partisipan lain di sekitarnya. Penulis kitab percaya bahwa ada semacam dewan di surga di mana Yahweh berkuasa yang dapat mempengaruhi keputusan Yahweh. Bagi orang Israel kuno, peristiwa ini merupakan hal nyata yang memberikan otoritas bagi berita yang dibawa Mikah. Sehingga, berita apapun yang disampaikan Mikah (walaupun tidak ada nilai kebenarannya seperti yang terjadi dalam kasus raja Ahab ini), namun, tetap dipercaya sebagai berita Allah. Dengan ini kita melihat para nabi memegang peran penting sebagai ujung tombak atau pembawa pesan dari keputusan sidang ilahi tersebut. Yeremiah mengklaim otoritasnya berasal dari fakta bahwa ia secara fisik pernah berada di tengah-tengah dewan sidang ilahi. (Yeremiah 23:18, 22):11 “Sebab siapakah yang hadir dalam musyawarah Tuhan, sehingga ia memperhatikan dan mendengarkan firmanNya?...sekiranya mereka hadir dalam dewan musyawarahKu, niscayalah mereka akan mengabarkan firmanKu kepada umatKu.”

Yesaya 6:1-13, dengan jelas menunjukkan konsep sidang ilahi yang dimilikinya memiliki

motif sama dengan konteks Mikah. Kalimat pembuka dimulai dengan kalimat “I saw the Lord

sitting on a throne,” yang mengindikasikan Allah sedang berkumpul dengan anggota-anggota kerajaannya. Ada setidaknya 6 persamaan ide antara penglihatan Mikah dan Yesaya ini: (1) ke

dua-duanya menggambarkan pengalaman mereka sebagai “melihat/ penglihatan kepada YHWH”

(2) Dari kedua penglihatan tersebut YHWH dikatakan duduk di tahtanya (3) ada anggota sidang ilahi yang duduk/ berdiri sekitarnya (4) YHWH mencari sukarelawan (5) ada sukarelawan yang datang dan (6) sang sukarelawan diberi tugas kemudian pergi. Pembagian ini juga dilakukan ole John E.C. Kingsbury, namun dalam 5 bagian: (1) YHWH sebagai raja duduk di tahtanya (2) makhluk surgawi lain berada sekitarnya (3) semua adegan terjadi melalui penglihatan (4) hasil meeting diberitakan dalam cerita adegan surgawi dan (5) adegan selalu diasosiasikan dengan pesta agrikultur atau diseting karena peristiwa tertentu.12

Sebagai kontras dari cerita Mikah, di sini Yesaya dikatakan tidak pasif karena ia langsung mengajukan diri untuk menjadi sukarelawan. Memperhatikan hal ini, kita teringat naskah Ugarit

11 Ibid, Mc. Ginn, The Divine Council and Israelite Monotheism, 62

(11)

yang menceritakan bagaimana Ba’al mengirim pesan kepada Yamn, begitu sebaliknya, El mengirim tugas kepada Anat dan El kepada Kothar-wa-Hasis. dalam konteks ini, para pembawa

pesan diberikan perintah oleh tuannya, kemudian meraka menyampaikan pesan itu persis seperti yang diinginkan pengirimnya. Yesaya memiliki karakteristik ini; ia diutus YHWH dengan pesan tertentu dan dikirim kepada Israel. Dengan ini penulis melihat bahwa penggunaan adegan sidang ilahi dalam cerita ini dapat menunjuk pada tiga hal, pertama, adegan sidang ilahi ini menujukkan fungsi dan kesadaran dari panggilannnya, kedua, peristiwa apa yang mungkin terjadi sebagai pembaharu dari peristiwa yang lama (seperti dalam kasus Musa dimana YHWH memberikan hal baru bagi Israel), dan ketiga, memberikan ruang bagi Yesaya untuk memberitahukan penghukuman Allah karena pelanggaran perjanjian.

Yesaya 40:1-8 yang merupakan produk pembuangan, dapat dilihat sebagai Mazmur yang menggunakan konsep sidang ilahi untuk menyatakan bahwa YHWH dengan segenap anggota sidang ilahi berpartisiapasi dalam rencana Tuhan untuk membebaskan Israel dari pembuangan. Untuk itu, seorang pembawa pesan telah dikirim, karena Allah sedang melakukan tindakan baru yang dalam bahasa sang nabi; “peristiwa” baru akan terjadi. Nampaknya para pendengar Deutero Yesaya ini harus bekerja keras untuk menyusun dunia narasi sidang ilahi yang dipakai ini, karena lebih mudah orang pada jaman Mikah untuk mengerti konsep teresebut dibanding mereka yang hidup pada era pembuangan.

Mazmur 89:6-9 jika diperhatikan dengan seksama berisi beberapa narasi berbeda; ayat-ayat awal memiliki parallel dengan 2 Sam.7:11-16, mengenai perjanjian Daud dengan Allah.

Ayat 24-37 bernuansa propetik, ayat 39-52 (yang merupakan inti Mazmur ini) beisi ratapan pemazmur. Dan ayat 6-9 yang jadi pembahasan McGinn, merupakan berita mitologi yang menggambarkan fungi dari dewan ilahi yang secara terbatas memuja dan meninggikan YHWH, ia ditinggikan di atas dunia, firmannya tetap bahkan mengatasi laut,13 segenap sidang meninggikan YHWH sebagai Allah tertinggi di antara Allah lainnya walaupun perjanjian yang telah dibuat denganNya nampak telah gagal. Akan tetapi konfidens kepada YHWH harus tetap dipertahankan, karena tidak ada yang seperti dia. Tidak ada yang dapat menandingi kuasa dan kekuatannya.14

13 Gambaran Allah mengatasi laut, menunjukkan ia menguasai bahkan sampai dunia monster yang dalam hal ini

dilukiskan dikuasai oleh Yamn dalam teks Ugarit.

14 Penulis melihat hal yang paling mirip antara El Ugarit dengan YHWH Israel adalah peranan yang dipakai oleh ke

(12)

Dari pembahasan yang sudah dilakukan, sangat jelas bahwa konsep sidang ilahi merupakan elemen penting dalam kosakata teologi Perjanjian Lama. Dengan mengikuti pola

Ugarit, diketahui bahwa dewan ilahi ini memiliki tempat-tempat pertemuan khusus yang walaupun teks-teks Ugarit dan teks-teks Kitab Ibrani tidak menujukkan lokasi khusus, namun diketahui bahwa tempat pertemuan tersebut merupakan tempat kudus dengan nuansa surgawi yang dalam teks Ugarit disebut gunung kudus (gunung Zapon) dengan dua mata air yang selalu mengalir, serta adanya suatu tabernakel tempat pertemuan. Demikian pula dalam naskah Ibrani, YHWH dikatakan berdiam di gunungnya yang kudus (Zion) dan juga dalam tabernakel. Masing-masing tempat itu memiliki tahta; yaitu tahta tempat El dan YHWH berdiri ditengah anggota sidang ilahinya.

Para anggota sidang ilahi sangat bervariasi baik julukan maupun jumlah (nampaknya malaikat memiliki porsi jumlah terbesar). Tempat tertinggi diduduki El-Ashera (Ugarit) dan YHWH/ El-Asherah (Israel), yang memiliki kuasa terbesar sebagai pencipta dan penopang alam

semesta beserta seisinya. Sering juga kita mengidentifikasi adanya satu “kumpulan” dengan

sebutan yhwh tzebaot yang mengelilingi tahta El. Kumpulan ini umumnya disebut “bala tentara surgawi” yang berdiri sekeliling takhta. Mayoritas ahli menyebut kumpulan ini sebagai tentara dalam arti sesungguhnya.

Selain itu, kita juga melihat bagaimana Yesaya menujuk kepada satu sosok yang disebut Serafim; suatu makhluk dengan tiga pasang sayap yang berdiri di dekat Tuhan. Tokoh ini digambarkan menutupi wajahnya dengan kedua sayapnya ketika terbang dengan sepasang sayap

lainnya. Mereka bernyanyi bagi Tuhan, merayakan kekudusannnya, yang menunjukkan ke transendesian Allah.

(13)

Bab III

Yahweh Versus Asherah

Pluralisme Allah di Israel pada era bait Allah pertama (bahkan masih bertahan sampai era Yesus), bermuara pada pemahaman bahwa Israel tidak pernah mengalami era monotheisme seperti yang dipikirkan orang modern saat ini. Apalagi istilah montoheisme yang merupakan produk abad pertengahan harus diuji ke-validitasiannya apabila ditarik mundur (dipergunakan) untuk menjelaskan keadaan sosial masyarakat yang ribuan tahun sebelumnya. Selain itu, gambaran pluralisme ilah Israel tentunya memberikan ruang lebih luas terhadap pentingnya penyembahan ilah-ilah feminine – khususnya Asherah dalam masyarakat Israel kuno yang tercermin dalam sistem agama mereka. Sebab tidak semua orang Israel menyembah Yahweh

William Dever dalam artikelnya A Temple Build For Two, mempublikasikan beberapa penemuan terbaru arkeologi, dan yang terbaru adalah apa yang ia sebut “House of Shrine,” yang diklaim Dever member bukti bahwa YHWH Allah Israel memiliki pasangan.15 Sepanjang artikel yang dibuatnya, Dever mempresentasikan pembaca artifak yang ditemukan dalam jumlah besar serta bervariasinya house of shrines yang ditemukan di seluruh Israel; khususnya di daerah Transjordan dan Palestina yang menurutnya dikhususkan bagi Asherah-Atirat yang kultusnya dipraktekkan masyarakat Israel pre-exilic. Dalam tiap-tiap house of shrine itu terdapat tahta, dengan dua kursi kembar yang diletakkan dan diperuntukkan bagi YHWH dan Asherah. Dua pohon palem menopang atap dari ruangan tersebut, dan di bagian depan terdapat dua patung

singa bertengger tepat di bawah kaki pohon palem tersebut.16

Inilah bukti yang menggambarkan system politheistik Israel. Faktanya, Israel tidak saja menyembah YHWH, atau YHWH dengan Asherah, namun mereka menyembah seluruh panteon

yang disebut “dewan ilahi” Allah. Jika kita menghubungkan kepercayaan Israel ini dengan

berita para nabi; khususnya para nabi awal dan akhir, serta berita Deuteronomi yang memahami Israel sebagai penganut monoteisme, maka muncul pertanyaan: “apa muatan dibalik pernyataan para nabi tersebut, khususnya kaum Deuteronomis yang melakukan Reformasi seperti yang dicatat dalam kitab Raja-Raja dan kitab Tawarik?” Benarkah agama Israel pada era bait Allah pertama adalah murni agama Monoteisme YHWH-patriakisme seperti yang diklaim kitab Ibrani?

(14)

Ataukah sistem agama Israel politeistik sesuai dengan fakta-fakta yang ditemukan melalui ilmu arkeologi yang dibantu dengan interpretsi biblical arkeologi? Untuk menemukan jawaban dari

pertanyaan-pertanyaan tersebut di atas, penulis memberikan bukti-bukti hard data melalui metode interpretasi material kultur; khususnya yang berhubungan dengan Asherah sebagai Allah sesembahan resmi Israel dan Yehuda era monarkhi.

Peran dan Fungsi Asherah di Israel

Barangkali yang paling banyak didiskusikan dan juga paling banyak menuai kontroversi adalah bukti dari penemuan arkeologi berupa inskripsi di Tell Kuntilet Ajrud. Tell ini ditemukan

pada Oktober 1975 dan Mei 1976 oleh arkeolog Israel Ze’ev Meshel.17 Kuntilet Ajrud berlokasi

sekitar 75 Km selatan Kades Barnea di Utara gurun Sinai dan 80 Km Barat laut Eilat. Lokasi ini

lebih berfungsi sebagai “desert way station.”18“caravan stop,”19atau sebagai tempat menginap

para musafir yang dalam perjalanan. Para ahli mengasumsikan bahwa tempat ini beroperasi sekitar abad 900-700 SM, suatu periode dimana kepenulisan Deuteronomis dan dan beberapa kesusasteraan para nabi dibuat.

Dari begitu banyak objek yang ditemukan di Kuntilet Ajrud ini, terdapat dua bejana

besar, yang walaupun rusak cukup parah, namun ketika direstorasi, bejana ini bertuliskan brkt. tk . lyhwh. š r . wl šrth dan lyhwh t wl šrth. Joseph Naveh menterjemahkan teks pertama

sebagai: Ibless you by Yahweh, our guardian, and by his Asherah.20 Sedangkan William Dever menterjemahkan sebagai I bless you by Yahweh Shomron and by his Asherah.21

Perbedaan antara terjemahan Dever dan Naveh terletak pada terjemahan atas istilah Shomron. Bagi Dever, Shomron menujuk kepada toponym Shomron (Samaria), sedangkan Naveh melihat triliteral šmr, berhubungan dengan tindakan “menjaga dan memperhatikan,” sebagai kata benda verbal dengan posesif suffix sehingga menjadi “Yahweh our guardian.” Sedangkan untuk kata tmn dalam teks ke dua, kedua ahli tersebut sepakat bahwa istilah ini berarti Teiman. Namun yang paling penting kedua ahli ini sepakat dengan terjemahan “by his [Yahweh’s] Asherah.”

17Meshel Ze’ev and Carol Meyers. “The Name of God in the Wilderness of Zin,” BAR. Vol. 39, 1976, 6-10. 18 Ibid.

19Beck, Pirhiya.. “The Dra wings from Horvat Teiman, (Kuntillet Ajrud),” Tel Aviv 9, 1982, 3-68. 20 Naveh, Joseph. “Graffiti and Dedications,” BASOR 235, 1979, 28

21 William Dever, 1982. “Recent Archaeological Confirmation of the Cult of Asherah in Ancient Israel,” Hebrew

(15)

Penemuan inskripsi Kuntilet Ajrud ini kemudian mendapat klarifikasi dari penemuan di Khirbet-el-Qom (Makeda dalam catatan kitab Ibrani), yang berlokasi sekitar 13 Km sebelah

Barat Hebron pada tahun 1967 oleh William Dever. Salah satu dari inskripsi yang ditemukan dever dari dasar kubur yang diperkirakan dari tahun 750-700 SM diterjemahkan Dever Blessed be Uriyahu to Yahweh, and from his enemies save him by his a/Asherah.22 Sedangkan epigrafis Prancis André Lemaire menterjemahkan teks ini sebagai Blessed be Uriyahu by Yahweh and by his asherah; from his enemies he saved him!23 Dan Judith M. Hadley dalam disertasinya The Cult of Asherah in Ancient Israel and Judah: Evidence for a Hebrew Goddess, menterjemahkan teks tersebut dengan Blessed by Uriyahu by Yahweh for from his enemies by his (YHWH’s) asherah he (YHWH) has saved him.24

Penemuan dua bentuk teks yang sama dari dua tempat berbeda dan dari masa yang juga berbeda, khususnya penyebutan mengenai asherah sebagai pasangan YHWH, bermuara padakesimpulan “YHWH memang memiliki pasangan”. Teks-teks ini membuktikan bahwa umat Israel tidak hanya menyembah YHWH saja. Agama Israel Pre-exilic bukanlah agama YHWH seperti yang diklaim nabi-nabi pertama dan kaum Deuteronomis. Melainkan, agama Israel adalah agama pluralis; dalam hal ini plural dalam penyembahan kepada Allah, dengan kata lain Israel memiliki politheistik-bahkan poli-Yahwistik.

Untuk lebih menguatkan argumentasi mengenai pluralitas agama di Israel, maka, pada bagian selanjutnya yangmasih berhubungan dengan research para ahli mengenai Asherah, penulis menyertakan beberapa survey para ahli lainnya mengenai seperti:

Mark S. Smith25

Smith dalam buku The Origin of Biblical Monotheism: Israel’s Poltheistic Background and the Ugaritic Texts, melihat bahwa sampai berakhirnya era bait Allah pertama, Israel tetap monolatry atau politeisme. Dengan mempelajari teks-teks dari Kuntiled Ajrud dan Khirbet El-Qom, serta catatan dalam Tel Miqne, Smith menyimpulkan bahwa symbol-simbol yang ditemukan tersebut bermuara kepada dewi Asherah sebagai “ilah/ allah” dan bukan sebatas

22 William Dever, Archaeology and the Ancient Israelite Cult: How the Kh. el-Qôm and Kuntillet ‘Ajrûd ‘Asherah’

(16)

wooden object saja. Menurut Smith, pernyataan ini dengan sederhana dapat dibuktikan bahkan dari teks biblical sendiri, 2 Raja-Raj 21:7, berbicara mengenai patung Asherah (pesel ha’ašera)

dalam bait Allah, yang biasanya dihubungkan dengan ke-ilahian Asherah sebagai suatu pribadi dan bukan image semata. Smith juga yakin bahwa Asherah dalam sistem agama Israel merupakan pasangan dari YHWH.

Saul M. Olyan26

Para ahli sudah sejak lama mempertimbangkan penghancuran patung tembaga (Nehustan) dan patung Asherah dari bait suci Yerusalem oleh Hizkiah, disebabkan pengaruh para Deuteronomist seperti yang tercantum dalam 2 Raj. 18:4. Objek kultus yang didirikan Musa ini pada era pengembaraan, ternyata sampai era Hizkiah tetap menjadi kultus yang memainkan peran penting dalam ibadah Israel di Yerusalem (hal ini dibuktikan konfirmasi narrator Deuteronomis itu sendiri).

Olyan melihat kedua kultus yang dihancurkan itu memiliki hubungan dengan kaum Deuteronomist. Menurut Olyan, dalam agama Kanaan periode jaman Perunggu sampai jaman Besi, dewi Asherah selalu muncul dan diasosiasikan dengan ular (dalam hal ini Olyan menerima identifikasi istilah tannit sebagai Asherah dengan pengertian “the one of the serpent” seperti yang dibuat F.M. Cross ). Dengan ini, Olyan melihat bahwa Nehustan yang berada di bait suci Yerusalem juga merupakan kultus ibadah Asherah.

Mengapa penyembahan kepada Nehustan, Asherah, dan patung-patung lainnya sangat

ditentang oleh kaum Deuteronomis? Padahal Ulangan 4:19-20 dan 29:25, jelas mengindikasikan bahwa monoteisme bukan pilihan tepat saat itu. Pertanyaan ini dijawab Olyan: A thorough analysis of the evidence suggests (that) Otherwise legitimate Yahwistic symbols and practices (the bull icons of Dan and Bethel, the bamat, the asherah, Nehushtan, the massevot) are judged illegitimate by the deuteronomistic school, who make use of polemical distortion as a technique to eliminate these practices and remove these symbols from the cultus. Dengan meminjam istilah Huthinghton, penguasaan atas unsur-unsur social dan politik di suatu bangsa, menentukan arah dan perubahan bangsa itu sendiri, tentu termasuk di dalamnya adalah aspek agama.

26 Saul M. Olyan, Asherah and the Cult of Yahweh in Israel (Society of Biblical Literature Monograph Series, No.

(17)

Beroperasinya kultus Asherah dalam sistem agama Israel telah dibuktikan dan dijamin melalui penemuan-penemuan arkeologi serta berdasarkan research dari teks-teks yang

ditemukan. Asherah dan kultusnya menurut Olyan, legal bukan saja dalam agama popular, namun popular dalam kultus resmi agama YHWH (official religion). Bahkan bukti kitab Ibrani sendiri memberikan dukungan kuat bahwa kultus Asherah merupakan praktek yang sah dalam sistem peribadatan negara baik di Yehuda maupun di Israel, dan mungkin di seluruh kontinen di mana orang Israel menetap. Pelarangan dan polemic terhadap figure Asherah dan symbol-simbol kultusnya menunjukkan bahwa praktek mereka begitu popular dalam kultus YHWH pada era jaman Besi di Israel; bukti-bukti dari Kuntilet Ajrud dan Khirbet El-Qom memberikan konfirmasi mengenai hal ini.

Selanjutnya Olyan juga melihat dihubungkannya figure Asherah dengan Baal dalam berita Deuteronomi, dianggap sebagai bentuk polemis dan propaganda kaum Deuteronomi untuk menyerang figure Asherah itu sendiri. Karena dalam naskah Ugarit Asherah tidak pernah dihubungkan dengan Baal (melainkan dengan El).

Richard J. Pettey27

Richard J. Pettey dalam bukunya Asherah:goddess of Israel, menyimpulkan bahwa dewi yang dilukiskan dalam naskah Ugarit ini merupakan pasangan EL yang merupakan

kepala panteon, dan oleh karena itu, ia (Asherah) memiliki kedudukan tertinggi dalam strata ilah; khususnya strata para dewi di Syro-Palestina, yang juga memiliki peran sebagai ibu dari segala

dewi di Ugarit.

Pertanyaan kemudian muncul; apakah Asherah adalah Allah di Israel? Jawaban pertama yang mungkin adalah “tidak” karena ia sangat di kutuk oleh berita Deuteronomis dalam setiap bagian di Kitab Ibrani. Namun, ada juga yang akan berkata “ya” ia Allah di Israel berdasarkan “condemnation” yang dilancarkan oleh kaum Deuteronomis yang justru memberikan indikasi bahwa Ahserah, kultus dan prakteknya tumbuh dan berkembang di Israel, dan ini juga sekaligus mengungkapkan bahwa para penulis kitab Ibrani sebetulnya kaum minoritas jika dibandingkan dengan pengikut Asherah. Indikasinya adalah mayoritas penduduk Israel mulai dari kalangan

27 Richard J. Pettey, Asherah: Goddess of Israel, (American University Studies, Series VII, Theology and Religion,

(18)

kerajaan sampai dengan kaum petani, menyembah Asherah, dan hal ini terus bertahan bahkan sampai pada era dimana orang Israel berdiam di di Elam-Mesir setelah Israel dihancurkan Asyur.

Bagi Pettey, kultus Asherah beroperasi dalam frame institusional karena memiliki sanctuaries, cult personnal, and offerings yang beroperasi di semua daerah Israel dan Yehuda. Selain itu, umat Israel juga melihat Asherah merupakan pasangan dari YHWH, sama seperti dalam panteon Kanaan dimana ia merupakan pasangan EL. Sehingga menjadi sah saja jika figure “ke-perempuan-nya” muncul dalam kitab-kitab hikmat. Bahkan diakui bahwa Taurat yang memiliki gender feminine yang biasa dihubungkan dengan “pohon kehidupan,” juga merupakan label yang biasa dilekatkan kepada Asherah.

Van Der Toorn28

Menurut Toorn, bukti mengenai kultus para dewi (Asherah, Anat, Astarte) dalam teks-teks biblical, epigrafi dan arkeologi sangat kuat. Ketika kultus ini dilihat lebih luas lagi dalam kerangka agama dunia Timur Dekat Kuno, maka ada tiga poin yang harus diperhatikan:

Pertama, dalam agama timur dekat kuno, hanya ada satu dewi yang memiliki kuasa sama dengan dengan dewa, yaitu Asherah/ Astarte. Dewi lainnya seperti Anat selalu diposisikan sebagai subordinate dari dewa-dewa lainnya, dan disembah secara sendiri-sendiri. Kedua, dewi-dewi di Israel selalu digambarkan sebagai pasangan YHWH. Anat dalam naskah Elam disembah bersamaan dengan Yahu sebagai Anat-Yahu, atau Anat dan Yahweh. Demikian juga Asherah, ia

selalu dihubungkan dengan terminology “Yahweh- Asherah.” Nampaknya ini merupakan posisi

resminya yang selalu dihubungkan dengan “kebergantungan” atau “penundukan” dirinya kepada male deity tersebut. Ketiga, walaupun posisi para dewi ini adalah bawahan dari pasangannya (YHWH), namun Asherah dan Anat merupakan figure prominen dalam penyembahan, yang dalam bahasa biblical sering disebut sebagai kultus/ ibadah penyembahan kepada “ratu surgawi.” Toorn juga memastikan bahwa praktek penyembahan terhadap para dewi/ ilah ini tidak terbatas pada kaum bawah saja (popular religion), namun juga dilakukan di kalangan kerajaan yang identik dengan YHWH sebagai official religion.

Kedudukan para dewi ini yang lebih dekat dengan manusia dari pada kepada pasangannya, telah diposisikan Olyan sebagai “mediator” yang dapat menjadi penengah antara manusia dengan YHWH (bandingkan posisi Maria dalam Mariology Katolik Roma).

(19)

Konsekuensinya adalah: para dewi ini pada akhirnya sering dianggap sebagai gambar Allah oleh para penyembahnya.

Sampai pada poin ini, maka, kita menyimpulkan seperti yang sudah dinyatakan sebelumnya bahwa YHWH memiliki Asherah merupakan “fakta” yang tidak bisa dipungkiri. Dalam kitab Ibrani kita menjumpai nama Asherah muncul dalam berbagai varian sebanyak 40 referensi. Ayat-ayat seperti Ulangan 16:21; 1 Raj. 16:33; 2 Raj. 21:7 dan 23:6, mengindikasikan bahwa sosok ini berupa patung kayu yang dipajang dekat altar. Ini menjelaskan mengapa ia harus dirubuhkan (dipotong) seperti dalam catatan Hakim-hakim 6:25, Kel.34:13, Ul.7:5, dan Mikah 5:13.

Sebaliknya, jika kita memperhatikan narasi 1 Raja-raja 18:19 mengenai “400 nabi

Asherah,” juga dalam catatan 1 Raj. 15:13; dan 2 Raj.23:4, semua ini menunjukkan bahwa

Asherah bukan hanya sebatas tiang/ patung kayu, melainkan “allah/ilah.” Para ahli terbagi dalam dua golongan besar antara yang melihat Asherah sebatas patung kayu dan mereka yang melihat Asherah sebagai allah, namun William dever dalam artikelnya yang dimuat di jurnal Eretz Israel memberikan posisi terkuat sebagai berikut: “I would insist that the ‘asherah’ as a

tree-like object–a ‘mere symbol’-would have been meaningless unless it mediated to those in the ancient cult the existence, presence and power of an actual deity, the old Canaanite Mother

Goddess Asherah.”29 For Dever, the inscriptions prove that “in Israel Yahweh could be closely identified with the cult of Asherah, and in some circles the goddess was actually personified as

his consort.”30

David Noel Freedman mendukung pandangan Dever tersebut yang melihat bahwa Asherah tidak semata patung kayu dengan menyimpulkan bahwa penyembahan kepada Asherah sebagai pasangan YHWH sudah berakar kuat dalam masyarakat Israel dan Yehuda sebelum pembuangan. Protes terhadap kultus Asherah yang dilancarkan dalam berita-berita propetik dan oleh kaum Deuteronomis lebih disebabkan karena popularitas dari penyembahan ini bersama-sama dengan YHWH di seluruh Israel hampir-hampir tidak bisa diperkirakan banyaknya.31

29 William Dever, Archaeology and the Ancient Israelite Cult: How the Kh. el-Qôm and Kuntillet ‘Ajrûd ‘Asherah’

Texts Have Changed the Picture,” Eretz Israel , Vol.26, 1999, 11

30 William Dever, Asherah, Consort of Yahweh? New Evidence from Kuntillet ‘Ajrûd,” BASOR Vol. 255, 1984,

31

(20)

Untuk menguatkan argumentasinya, Dever menujuk kepada gambar yang tertera di bejana

yang diperoleh dan mengikuti inskripsi dari Pithos A Kuntilet Ajrud (gambar di sebelah kanan). Dia mengklaim bahwa hubungan antara YHWH dan Asherah Harus dilihat dari gambar ini. Dever menterjemahkan bahwa wanita dengan harpa yang berada di sebelah kanan merupakan pasangan dari YHWH, sementara dua figur di sebelah kiri merupakan representasi dari ithyphallic dwarf-god, Bes.32

Memperhatikan penekanan Dever terhadap Asherah sebagai Allah (terutama Allah kesuburan), maka, harus juga diperhatikan hasil penemuan dari penggalian arkeologi di Israel yang telah menemukan secara literer ribuan tera cotta figure kesuburan yang didata berasal dari era pre-exilic. Semua tera cotta ini secara eksklusif adalah perempuan dan seringkali ditemukan dalam konteks benda-benda ini sebagai milik pribadi.33 Dada (buah dada) yang besar (diperbesar?), exaggerated pubic triangles and expanded stomachs indicating pregnancy may

point to widespread worship of the “mother dihubungkan dengan Asherah, dengan sepasang kambing jantan yang sedang makan dari pohon tersebut.

32 William Dever, “Recent Archaeological Confirmation of the Cult of Asherah in Ancient Israel,” Hebrew Studies,

VOL. 23, 1982, 39.

33 ____________, Recent Archaeological Discoveries and Biblical Research (Seattle: University of Washington

(21)

Dalam detailnya, pohon ini parallel dengan iconograph sacred trees dalam dunia Timur

Dekat kuno yang juga menujukkan motif sama berupa gambar hewan yang sedang makan melalui pohon kehidupan yang ditemukan dalam penggalian di Lachish (seperti yang ditujukkan dalam gambar disebelah kanan ini).

Gambar-gambar dari Kuntilet Ajrud dan yang ditemukan di Lakish, kemudian dapat diparalelkan dengan hasil penemuan

di Ugarit mengenai Asherah yang digambarkan sebagai dewi yang memberikan kesuburan dan sebagai pasangan El dalam naskah Ugarit seperti di bawah ini.

Para ahli seperti Hadley melihat gambar pohon dan singa dalam gambar 2 yang berasal dari Kuntilet ajrud, sebagai memiliki hubungan dengan dewi Asherah itu sendiri. Apalagi jika kita ingat bahwa Asherah selalu dihubungkan dengan pohon kehidupan atau pohon keramat, sekaligus figure dewi ini sering dihubungkan dengan Singa (figure dewa biasanya dihubungkan dengan Kerbau). Maka, siapapun yang membuat gambar pada bejana

(22)

Popular Religion Versus Official Religion

Dua decade terakhir ini, observasi, penelitian, interpretasi dan pembahasan terhadap

agama popular; khususnya agama Israel, mengalami booming yang luar biasa. Para ahli yang tadinya menganggap agama popular sebagai agama primitive dan sebagai bentuk tidak rasional dari keberagamaan, mulai menyadari bahwa tidak lengkap membahas agama resmi (official religion) terlepas dari popular religion.

Namun, sebelum kita masuk ke dalam pembahasan topic ini yang dikorelasikan dengan penulisan paper pada bab-bab sebelumnya, penulis ingin memberikan pengertian dari terminoloig “agama pupuler,” dan “agama resmi” tersebut.

Ada banyak variasi yang mendefinisikan agama popular. Ada yang menyebutnya sebagai agama masa, agama rakyat, agama mayoritas, agama kaum tertindas, agama kaum miskin karena memiliki strata social ekonomi minimum, agama magis, agama non elit, atau kombinasi dari semuanya.34 Menurut Luis Feinberg, setiap usaha untuk melihat dan mendefinisikan agama popular, harus dilihat dalam hubungan dialektiknya dengan agama resmi (official religion). Karena pada umumnya, agama resmi-lah yang dapat menentukan apa agama popular tersebut. Dalam bahasa Feinberg, agama resmi adalah bentuk agama yang dapat menggunakan kekuasaan dan kekuatannya dalam hubungannya dengan kelompok agama lainnya. Gambar yang paling umum menurut penulis adalah contoh yang biasa kita temukan di Indonesia, di Aceh khususnya. Walaupun negara Indonesia dikatakan berdasarkan pancasila dan bukan Negara agama, namun tidak bisa dipungkiri bahwa pada tiga decade akhir ini, Indonesia mulai bercorak negara

dengan ideology agama. Aceh mendapat perlakuan khusus untuk menerapkan apa yang mereka sebut sebagai hukum Islam. Sedangkan daerah-daerah lain yang mayoritas pemeluk agamanya bukan Islam, sulit mendapat perlakuan istimewa seperti yang di berikan pemerintah Indonesia kepada Aceh. Mengapa hal ini bisa terjadi? Hal seperti ini bisa terjadi disebabkan banyak hal (peta politik yang berubah, konsensus-konsesus yang dibuat dalam pakta pertahanan, dan lain sebagainya). Namun, yang patut diperhatikan disini dalam hubungannya dengan Aceh adalah; perkembangan Islam yang semakin kuat di Indonesia, yang mempengaruhi semua eleman masyarakat; termasuk elemen kekuasaan dalam negara.

34 Jacques Berlinerblau, . 1993.”The “Popular Religion” Paradigm in Old Testament Research: A Sociological

(23)

Kekuatan negara yang saat ini banyak dikuasai (setidaknya dipengaruhi unsur Islam), memberikan pengaruh kepada setiap keputusan politiknya. Negara yang dikuasai kekuatan Islam

(atau agama tertentu) yang memiliki kekuatan institusional dalam negara seperti tentara, lembaga hukum, doktrin, dan lain sebagainya, pada akhirnya membuat keputusan hanya berdasarkan

“nilai etis” mereka saja dengan bantuan kekuatan mayoritasnya tersebut. Sehingga tidak heran

walaupun bertentangan dengan UUD 1945, pemberlakuan syariat Islam (agama mayoritas versus agama minoritas) baik secara terang-terangan maupun sembunyi-sembunyi telah dipraktekkan di beberapa propinsi di Indonesia. Belum lagi ditambah dengan diberlakukannya UU pornagrafi dan pornoaksi yang tidak jelas ayat-ayat dan delik hukumnya (misalnya, ada bagian dari UU yang tidak bisa membedakan mana pelaku dan korban), yang juga kental dengan nuansa kepentingan politik kelompok tertentu yang bercorak monolitik yang memarginalkan wanita dan hak-hak embedded manusia.

Selain itu banyaknya kasus “judgement” agama mayoritas terhadap kepercayaan tertentu

yang minoritas (sering dijumpai dalam agama-agama besar/ resmi), membuat penulis berkesimpulan; “agama popular sebaiknya dilihat dari kacamata agama resmi.”35 Sedangkan agama resmi adalah sistem “agama yang bisa disebut sebagai agama dalam masyarakat, yang mana melalui kombinasi kekuatan dan teknik persuasive, mendirikan dirinya sendiri dalam negara (kerajaan), menjadi sistem legal dalam kepercayaan dan praktek.”

Berdasarkan pedoman agama resmi ini, maka kita memperoleh sphere agama popular selalu berkonsentrasi kepada para wanita, kaum buruh (petani di Israel kuno), orang asing

(imigran), minoritas, orang yang tidak memiliki hak politik, dan sebagainya.

Memperhatikan arti dari terminology agama resmi dan agama popular di atas, kita mendapat gambaran sama yang juga berlaku di Israel era bait Allah pertama. Rolland De Vaux dalam bukunya “Ancient Israel: Social Institutions,” memperlihatkan Israel memiliki tatanan kasta dalam masyarakatnya. Para nobles memiliki lingkungan sendiri lengkap dengan bamoth nya (tempat penyembahan di bukit). Orang asing memiliki lingkungan dan juga bamoth tersendiri. Wanita dan anak-anak juga disebutkan memiliki tempat tersendiri dan ritual ibadah

35 Tentu saja penggunaan kekuasaan tidak selalu menjadi bagian dari judgement ini, karena penggunaan tekhnik

(24)

sendiri. Bahkan ada orang-orang tertentu yang diberikan tempat dalam kota perlindungan karena alasan-alasan tertentu.

Bervariasinya lokasi (terutama lokasi ibadah), akan berbeda (mengubah?) tatanan ibadah tersebut membuat tidak ada jaminan bahwa penyembahan di kerajaan atau pusat kota akan sama dengan praktek keagamaan di daerah-daerah. Tidak juga ada jaminan bahwa kebutuhan satu tempat ibadah dengan tempat ibadah lain akan sama, sehingga hanya satu Allah saja yang diperlukan. Belum lagi jika memperhatikan aspek social lainnya seperti klan yang berbeda, yang gambarannya jelas diberikan kitab Ibrani; ada klan yang mengaku memiliki Allah Abraham, ada klan yang mengaku memiliki allah Ishak dan ada klan yang mengaku memiliki Alah Yakub.

Selanjutnya situasi lingkungan sosial yang berbeda, seperti situasi keagamaan orang Israel yang lokasinya berdekatan dengan orang Edom, tentunya berbeda dengan situasi keagamaan orang Israel yang lokasinya berdekatan dengan orang Fenisia. Jadi, sangat sulit untuk kita percaya bahwa agama Israel era sebelum pembuangan ini hanya seperti yang diklaim oleh penulis kitab Ibrani yang melukiskan agama Israel dalam system monoteis semata.

Berdasarkan teori agama popular dan agama resmi tersebut di atas, maka kita dapat melihat bahwa suara dalam kitab Ibrani merupakan suara dari agama resmi yang memiliki kekuatan dan masa minoritas pada era pra pembuangan yang mendapat kekuatan penuh pada era pembuangan dan setelah pembunangan yang tercermin dalam teologi Yudaisme; khususnya kaum Deuteronomist. Kekuatan Yudaisme yang terefleksi dalam berita Deuteronomist inilah yang memberikan warna dominant dalam kitab Ibrani dengan menentukan apa “agama popular”

itu.

(25)

Berdasarkan impresi yang kita peroleh dari kitab Ibrani ini, terutama melalui sumber Deuteronomi dan kesusasteraan para nabi, maka timbul pertanyaan apakah memang ini

merupakan gambaran murni monoteisme? Apakah Tanak memberikan bukti bahwa moyoritas masyarakat mengikuti mereka? Jawaban dari pertanyaan tersebut adalah tidak! Pertama, jika kita melihat ayat-ayat seperti Amos 2:4-5; Hosea:13-15; dan teriakan nabi lain seperti Yesaya Yerusalem dan Yeremia yang secara terang-terangan mengakui ke-pluralitas Allah Israel dan Yehuda, maka, kita memperoleh jawaban bahwa Israel tidak pernah monoteisme.

Menjawab pertanyaan kedua, apakah masyarakat pada umumnya mengikuti kaum Deuteronomis ini? Hal ini juga sulit terjadi jika berpatokan pada hukum “aparat penegak harus membangun hubungan dengan masa.” Berdasarkan hukum (aturan) ini, akan sangat sulit implementasi bagi pernyataan seperti “para penyembah panteon akan dihukum oleh negara.” Mengapa? Israel tidak memiliki mekanisme seperti yang dimiliki dunia modern saat ini yang tergambar dalam aspek yudikatif, yuridis dan legislative. Aturan hukum mereka hanya berdasarkan kepada “pembalasan Allah” sebagai pencipta sekaligus hakim. Itulah sebabnya ketika mereka harus dihukum, bangsa lain yang harus melakukannya.

Agama popular umat Israel pre-exilic, menjadi tidak popular dimata kaum Deuteronomis. Karena tidak popular, maka agama popular tersebut harus dianggap salah atau bidat, dan karena itu harus dihapuskan dari perbendaharaan ingatan dan praktek umat Israel.

Sebaliknya, bahkan para anggota Yahwistik era monarchi tidak memiliki perspektif polarisai terhadap kultus penyembahan Asherah. Contoh: 2 Raja-Raja 3:2, Yoram yang

(26)

Bab IV Simpulan

Sebagian besar berita mengenai agama Israel kuno selalu berdasarkan dengan apa yang kita

sebut “Great Tradition.” Dalam hal ini, bukti-bukti datang dari teks-teks resmi atau teks kanon

atau teks kitab Ibrani, seperti yang telah kita lihat berasal dari kaum elit. Versi dari kaum ortodox ini merupakan hasil final dari kitab Ibrani itu sendiri. Namun gambaran final ini lebih bersifat artificial, dan bahkan dibuat-buat karena isinya yang penuh penghakiman kepada aktualitas keagamaan dari mayoritas penduduk Israel.

Kitab Ibrani yang juga dibuat kaum elit, dari aspek filologi, sulit dipertanggung-jawabkan soal ketepatan sasaran dalam trasmisi. Mayoritas penulis kitab Ibrani (para nabi, raja dan kaum Deuteronomis) merupakan sosok terpelajar dalam bidang sastra dan ilmu kenegaraan lainnya termasuk soal tulis dan membaca. Mayoritas berita mereka disampaikan dalam bentuk tulisan. Pertanyaan yang muncul adalah: apakah orang Israel pada umumnya memiliki kemampuan dalam tulis dan membaca? Jawaban dari pertanyaan ini adalah tidak! Mayoritas orang Israel tidak memiliki kemampuan baca-tulis. Oleh karena itu mereka tidak diharapkan untuk mengerti apalagi menjalankan perintah-perintah tertulis yang dibuat kaum elit tersebut.

Apakah bisa dilakukan dalam bentuk lisan? Jawabnya bisa saja. Persoalan yang muncul adalah: seberapa kuat daya ingat dari sang pembawa pesan lisan tersebut? Juga seberapa kuat daya ingat pendengarnya? Belum lagi kita memperhatikan aspek rentang waktu dan dimensi

yang jauh serta berbeda yang menciptakan kesulitan dan kekacauan serta kehilangan makna, kehilangan bentuk, dan kerancuan bahasa dalam transmisi teks bersangkutan. Memperhatikan beberapa hal ini saja, membuat kita sulit menerima klaim justifikasi yang diberikan kaum elit kepada kaum popular Israel, terutama yang berhubungan dengan aspek agama yang lebih kompleks.

Jadi pen-deskreditasian dan penghancuran elemen-elemen utama agama popular di Isael seperti bamoth, penyembahan kepada Asherah, pesta-pesta kesuburan, dan lainnya, sebaiknya

dilihat bukan sebagai “agama popular’ tersebut bersalah karena dia menjadi bentuk suatu

(27)

Meminjam istilah M.D. Coogan “Israelite religion as a subset of Canaanite religion”

maka, kita dapat memahami bahwa Israel versus Kanaan yang diusung penulis Kitab Ibrani

“agak berbeda” secara intrinsic dengan realitas keagamaan Israel sesungguhnya. Lebih jelasnya,

kita sebaiknya melihat agama Israel sebagai perkembangan dari sistem agama yang sudah ada, daripada menilai sistem tersebut mengalami pengaruh dari sistem sekitarnya (luar). Dengan ini, klaim bahwa agama Israel di import dari luar Kanaan dan sistem agama Kanaan sebagai pertentengan dari agama Israel tidak memiliki dasar Historis religious. Sebaiknya kedua sistem agama tersebut dipandang sebagai varian dari agama Semit Barat-Laut Palestina pada era millennium pertama.

Dari perspektif filosofis, konsep monoteisme yang lahir pada masa pencerahan dalam konteks debat filosofis-religius mengenai hubungan antara Teisme dan Deisme, menjadi tidak relevan apabila dihubungkan dengan agama Israel kuno. Orang-orang dunia Timur Dekat kuno yang tidak memberikan perhatian dan klarifikasi pasti mengenai konsep, tentunya akan menjadi sangat bingung dan otomatis menjadi tidak masuk akal apabila kita memaksakan konsep monoteisme kepada mereka.

Memperhatikan hal tersebut di atas, dan jika dihubungkan dengan Perjanjian Lama, maka kita dapat menetapkan bahwa dunia Timur Dekat kuno dimana Israel di dalamnya dapat disebut

sebagai “jaman atau era” pada dirinya sendiri, atau sebuah entitas sejarah. Sedangkan Perjanjian

Lama (catatan PL), merupakan tubuh dari teks-teks yang telah mengalami penutupan dari berbagai bentuk dan hasil kerja dari beragama sumber yang berbeda dari sejarah dunia Timur

Dekat kuno. Artinya, teks-teks dalam Perjanjian Lama telah mengalami editing, pengerjaan ulang dan adaptasi sebagai bentuk refleksi dari perkembangan teologi terkemudian yang terutama dilakukan oleh kaum Deuteronomist.

Dikarenakan kaum Deuteronomist tidak terlalu tertarik dengan figure Asherah yang tercermin dalam narasi kitab Ulangan, maka berita kitab lainnya seperti Raja-Raja dapat menjadi jawaban atas terpenggalnya berita mengenai Asherah dan kultusnya yang menerima perlakuan diskriminasi dari kaum Deuteronomist.

(28)

luar kultus kerajaan di Samarian dan di Yerusalem. 2 Raja-raja 13:6 dan 2 Raja-Raja 17:10 yang mengindikasikan kultus Asherah tetap bertahan di ibukota Samaria dan disekitarnya. Bahkan

istana kerajaan Yehuda juga tidak bebas dari penyembahan kultus Asherah ini yang terekam dalam narasi 2 Raja-Raja 22-23 dimana Yosia membongkar kultus penyembahan Asherah yang telah bertahan sekitar 350 tahun di bait suci Yerusalem.

Berdasarkan bukti-bukti tersebut di atas; terutama dengan begitu lamanya figure Asherah bertahan di baitu suci Yerusalem (dimulai pada masa Salomo sampai dibongkar pada era Yosia), memberikan informasi kepada para pembaca modern kesimpulan bahwa Asherah merupakan Allah resmi Israel dan Yehuda era monarkhi. Penolakan terhadap figure Asherah yang dilakukan kaum Deuteronomis yang tercermin dalam kitab Ulangan merupakan bentuk politisasi dan propaganda kaum imam masa pembungan dan pasca pembuangan dalam upaya mereka menginterpretasi ulang peristiwa yang mereka alami saat itu; terutama pembuangan yang terjadi.

Figur Asherah yang melindungi, menghibur, dan menyusui yang terserap dalam sosok Yahweh dikemudian hari telah memberikan gambaran bahwa Asherah tidak pernah hilang dari ingatan masyarakat Israel. Asherah pada era terkemudian menjelma ke dalam bentuk “Taurat” yang memiliki gender feminine. Asherah yang identik dengan “Pohon Kehidupan” mendapat tempat dalam Taurat Israel maupun dalam teologi Protestan. Lebih jauh lagi, Asherah yang

berhikmat muncul dalam bentuk “hokma” yang menjelma dalam sosok wanita yang

memanggil-manggil meraka yang membutuhkan hikmat di sepanjang berita Amsal.

Dalam konteks dunia modern saat ini, model pluralistic ilahi seperti yang pernah di anut

Israel kuno sebenarnya masih diterapkan oleh orang Kristen dan masyarakat pada umumnya. Perbincangan mengenai konsep Tritunggal yang tetap terbuka untuk didiskusikan sampai saat ini, secara implicit membuka ruang bagi penafsiran bahwa; orang Kristen tidak monoteis melainkan politheis (henotheis dan monalatry)! alasannya; Tritunggal yang mereka percaya tersebut sulit menjelaskan kemonoteis-an seperti yang diklaim. Selain itu, jika memperhatikan bahwa orang Kristen menyembah Yesus sebagai Tuhan segala tuhan, Raja segala raja, bagaimana mereka bisa mengklaim dirinya melanjutkan ide monoteistik?

(29)

Allah), namun apa yang menjadi pemberitaan para nabi, malaikat, dan orang-orang kudus tersebut secara tegas sering diklaim sebagai berita Allah yang tidak bisa dibantah atau diubah,

apalagi penampakannya.

Dalam konteks bermasyarakat; khususnya di Indonesia, ditemukan orang Kristen sadar-tidak sadar dan suka-sadar-tidak suka, menganut serta menjalankan konsep pluralism ilahi dalam kehidupan mereka. Saat ini tidak ada seorangpun (orang Kristen), dalam alam pemikiran dunia postmodern secara eksplisit mengklaim bahwa ide (objek dan subjek) yang disembah orang di luar Kristen bukanlah Allah! Kita lebih cenderung memikirkan dan percaya pada pemahaman bahwa kita menyembah Allah yang benar, dan biarlah mereka menyembah “Allah” mereka. Saat terjadi bencana Tsunami di Aceh, banyak orang Kristen begitu yakin bahwa Allah mereka yang “lebih” dahsyat sedang menghukum penduduk aceh! Pernyataan ini semakin diperkuat oleh statemen para pemimpin gereja tertentu yang dengan berapi-api memberitakan dan mengkotbahkan peristiwa Tsunami ini dengan membandingkan Allah mereka “lebih’ hebat dari allah umat lainnya. Bahkan, Lucunya, penulis sempat mendengarkan pernyataan “allah orang

Kristen sedang mengamuk” dari beberapa orang-orang non Kristen di Medan ketika terjadi

(30)

Kepustakaan

Alt, Albrecht, Essay on Old Testament History and Religion, (Garden City-New York: Anchor Bible Books, 1966)

Berlinerblau, Jacques, . 1993.”The “Popular Religion” Paradigm in Old Testament Research: A Sociological Critique,” JSOT Vol.60, 1993

Cooke ,Gerald, The Sons of God, Z.F.A.W. 1964

Cross, F.M., Canaanite Myth and Hebrew Epic (Massachussets: Harvard University Press, 1973)

Dever , William, “Recent Archaeological Confirmation of the Cult of Asherah in Ancient Israel,”

Hebrew Studies . 1982, vol. 23, 1982.

Dever , William, A Temple Build For Two, (Biblical Archaeology Review, Vol 23 No. 2. March/ April 2008

Dever, William, “Asherah, Consort of Yahweh? New Evidence from Kuntillet ‘Ajrûd,” BASOR Vol. 255, 1984

Dever, William, “Recent Archaeological Confirmation of the Cult of Asherah in Ancient Israel,”

Hebrew Studies, VOL. 23, 1982

Dever, William, Archaeology and the Ancient Israelite Cult: How the Kh. el-Qôm and Kuntillet

‘Ajrûd ‘Asherah’ Texts Have Changed the Picture,” Eretz Israel ; vol. 26

Dever, William, Recent Archaeological Discoveries and Biblical Research (Seattle: University of Washington Press, 1990)

Freedman, David Noel, 1987. “Yahweh of Samaria and his Asherah,” BAR Vol. 50, 1987

(31)

Hadley, Judith M., The Cult of Asherah in Ancient Israel and Judah: Evidence for a Hebrew

Goddess,( (Cambridge: Cambridge University Press, 2000)

Handy, Lowell K., The Appearance of Pantheon in Judah: “The Triumph of Elohim By Diana Vikander Edelman, ed., (Grand Rapids, Michigan: William B. Eerdsmans Publishing Company, 1996)

Kingsbury, John E.C., The Prophets and the Council of Yahweh, JBL 83 (1964)

Lemaire, André, “Who or what was Yahweh’s Asherah?” BAR 10, 1984

Matthews, Victor H., Social World of Ancient Israel, (Massachsetts: Hendrickson Publisher Inc)

Mullen E, Theodore Jr., The Divine Council in Canaanite and Early Hebrew Literature (Harvard: Scholar Press, 1978)

Naveh, Joseph. “Graffiti and Dedications,” BASOR 235, 1979

Olyan, Saul M., Asherah and the Cult of Yahweh in Israel (Society of Biblical Literature Monograph Series, No. 34)

Pettey, Richard J., Asherah: Goddess of Israel, (American University Studies, Series VII, Theology and Religion, Vol. 74)

Pirhiya, Beck,“The Drawings from Horvat Teiman, (Kuntillet Ajrud),” Tel Aviv 9, 1982

Smith, Mark S., The Origins of Biblical Monotheism: Israel's Polytheistic Background and the

Ugaritic Texts, New York : Oxford University Press, 2001

Toorn Van der, Karel (editor), Dictionary of Deities and Demons in the Bible, 1999

Ze’ev, Meshel and Meyers, Carol, “The Name of God in the Wilderness of Zin,” BAR. Vol. 39,

(32)

Gambar

gambar ini.  Dever menterjemahkan bahwa
Gambar-gambar dari Kuntilet Ajrud

Referensi

Dokumen terkait

Perencanaan kurikulum integratif madrasah-pesantren di MAN 1 Malang dan Madrasah Terpadu MAN 3 Malang dilakukan dengan: a) menintegrasikan tujuan kurikulum, yaitu

Resistor R 50Ω dan kumparan L dengan reaktansi induktif 150Ω dan kapasitor C dengan reaktansi kapasitif 100Ω dihubungkan seri pada sumber tegangan pada rangkaian adalah

Dengan Basic Implementation, anda dapat memanfaatkan apa yang sudah kami siapkan tersebut, dan perusahaan/organisasi anda dapat langsung menggunakan Openbravo yang sudah kami uji

Perbedaan yang nyata ini dikarenakan pada karakteristik inovasi variabel kentungan relatif yang merupakan kelebihan-kelebihan suatu inovasi baik secara ekonomi maupun non

Konstanta adalah suatu identifier non-standar yang nilainya telah ditetapkan dalam suatu program dan dideklarasikan pada bagian deklarasi. Bagian umum deklarasinya

Metoda yang digunakan untuk mengetahui jumlah timbulan sampah adalah dengan metoda sampling teknik berdasarkan SNI 19-3964-1995 selain itu ditentukan pula

Eco Smart Garment Indonesia di Jawa Tengah yang ditargetkan selesai akhir tahun 2017, dengan kapasitas terpasang 21 juta potong garmen yang akan berproduksi mulai tahun

Dalam hal terapi VNS ini, walau peran bimbingan dari perawat spesialis kepada bawahannya balum bisa diaplikasikan dengan baik, namun setidaknya ada suatu informasi baru bagi