• Tidak ada hasil yang ditemukan

Altar Sembahyang Untuk Dewi Kwan Im Pada Rumah Masyarakat Tionghoa Buddha Di Medan: Kajian Terhadap Artefak, Kegiatan, Dan Gagasan

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Altar Sembahyang Untuk Dewi Kwan Im Pada Rumah Masyarakat Tionghoa Buddha Di Medan: Kajian Terhadap Artefak, Kegiatan, Dan Gagasan"

Copied!
16
0
0

Teks penuh

(1)

BAB II

KAJIAN PUSTAKA, KONSEP DAN LANDASAN TEORI

2.1 Kajian Pustaka

Kajian pustaka adalah ringkasan tertulis mengenai artikel dari jurnal,

buku,dan dokumen lain yang mendeskripsikan teori serta informasi baik masa

lalu maupun saat ini, mengorganisasikan pustaka ke dalam topik dan

dokumen yang dibutuhkan untuk proposal penelit ian. Kajian pustaka

merupakan hasil dari meninjau, pandangan, pendapat sesudah mempelajari

(KBBI, 1990:951).

Rahma Safitri. 2013. Dalam skripsi: “Fungsi dan Makna Ornamen Pada

Tiga Bangunan Vihara di Kota Binjai.” Skripsi ini menguraikan tentang

bagaimana fungsi dari tiga bangunan yang ada pada vihara di Binjai dan

menganalisis setiap ornamen atau simbol-simbol yang ada pada tiga bangunan

vihara tersebut. Skripsi ini membantu penulis mengetahui tentang masyarakat

Tionghoa dan penggunaan teori semiotik.

Fitria Anggina Siregar. 2016. Dalam skripsi yang berjudul: “Wisata

Vihara Avalokitesvara (Studi Etnografi Mengenai Wisata Religi di Kota

Pematang siantar),”menguraikan tentang sejarah berdirinya objek wisata

Vihara Avalokitesvara, alasan atau motivasi mengunjungi Vihara

(2)

penambahan fungsi Vihara Avalokitesvara. Skripsi ini membantu penulis untuk

mengetahui apa saja aktivitas yang dilakukan pada Vihara Avalokitesvara.

Achmad Muzaki. 2013. Dalam skripsi: “Konsep Trikaya Dalam Agama

Buddha Mahayana” . Skripsi ini menguraikan tentang wujud ketuhanan dalam

Buddha Mahayana dalam konsep Trika serta apa makna konsep Trikaya

sebagai pedoman untuk memahami Tuhan dalam agama Buddha. Skripsi ini

membantu penulis untuk mengetahui konsep Trikaya dalam agama Buddha

Mahayana.

Elmida Sriwijayanti. 2009. Dalam skripsi: “Upacara Dewi Kwan Im Po

Sat (Studi Pelaksanaan Upacara dan Motivasi Umat Tridharma di Klenteng

Tien Kok Sie Pasar Kota Gede Solo)”. Skripsi ini menguraikan tentang

bagaimana pelaksanaan upacara dewi Kwan Im Po Sat dan motivasi umat

Tridharma dalam melaksanakan upacara dewi Kwan Im Po Sat. Skripsi ini

membantu penulis untuk mengetahui kegiatan yang dilakukan untuk Dewi

Kwan Im.

2.2 Konsep

Konsep merupakan istilah yang digunakan untuk menggambarkan

secara abstrak suatu objek. Melalui konsep, diharapkan akan dapat

menyederhanakan pemikiran dengan menggunakan satu istilah. Bila seseorang

dapat menghadapi benda atau peristiwa sebagai suatu kelompok, golongan,

(3)

Kamus Besar Bahasa Indonesia (2003:588) menjelaskan, “Konsep

adalah ide abstrak yang dapat digunakan untuk mengadakan klasifikasi atau

penggolongan yang pada umumnya dinyatakan dengan suatu istilah atau

rangkaian kata.” Konsep bertujuan untuk merumuskan istilah yang digunakan

secara mendasar dan penyamaan persepsi tentang apa yang akan diteliti serta

menghindari salah pengertian yang dapat mengaburkan penelitian.

2.2.1 Kebudayaan

Ada beberapa pengertian budaya menurut beberapa ahli salah satu

diantaranya adalah tokoh terkenal Indonesia yaitu Koentjaraningrat. Menurut

Koentjaraningrat (2000: 181) kebudayaan dengan kata dasar budaya berasal

dari bahasa sansakerta ”buddhayah”, yaitu bentuk jamak dari buddhi yang

berarti “budi” atau “akal.” Jadi Koentjaraningrat mendefinisikan

budayasebagai “daya budi” yang berupa cipta, karsa dan rasa, sedangkan

kebudayaan adalah hasil dari cipta, karsa, dan rasa itu.

Koentjaraningrat menerangkan bahwa pada dasarnya banyak yang

membedakan antara budaya dan kebudayaan, dimana budaya merupakan

perkembangan majemuk budi daya, yang berarti daya dari budi. Pada kajian

antropologi, budaya dianggap merupakan singkatan dari kebudayaan yang

tidak ada perbedaan dari definsi. Jadi kebudayaan atau disingkat budaya,

menurut Koentjaraningrat(1999) merupakan keseluruhan sistem gagasan,

tindakan dan hasil karya manusia dalam rangka kehidupan masyarakat yang

dijadikan milik diri manusia dengan belajar. Koentjaraningrat membedakan

(4)

2.2.1.1 Artefak

Artefak (benda). Aktivitas manusia yang saling berinteraksi tidak lepas

dari berbagai penggunaan peralatan sebagai hasil karya manusia untuk

mencapai tujuannya. Aktivitas karya manusia tersebut menghasilkan benda

untuk berbagai keperluan hidupnya.

Kebudayaan dalam bentuk fisik yang kongkret biasa juga disebut

kebudayaan fisik, mulai dari benda yang diam sampai pada benda yang

bergerak. Seperti halnya Pada meja altar meja Kwan Im umumnya ditempatkan

rupang (patung), bunga, air suci, dupa, lampu, lilin, musik, gelas-gelas kecil

berwarna merah, tumbuhan. Lalu pada bagian bawah altar sembahyang meja

Dewi Kwan im biasanya ditempatkan rupang Dewa Tanah, berserta ornamen

kodok, buah-buahan, gelas-gelas kecil berwarna merah, dupa, ornamen Dewa

Tanah.

2.2.1.2 Kegiatan

Kompleks kegiatan: berupa aktivitas manusia yang saling berinteraksi,

bersifat kongkret, dapat diamati atau diobservasi. Wujud ini sering disebut

sistem sosial. Sistem sosial ini tidak dapat melepaskan diri dari sistem buda ya.

Apa pun bentuknya, pola-pola aktivitas tersebut ditentukan atau ditata oleh

gagasan-gagasan, dan pikiran-pikiran yang ada di dalam kepala manusia.

Karena saling berinteraksi antara manusia, maka pola aktivitas dapat pula

(5)

diterima dan mendapat tempat dalam sistem budaya dari manusia yang

berinteraksi tersebut. Seperti aktivitas sembahyang dan pembersihan rupang

(patung) Buddha yang dilakukan oleh masyarakat Tionghoa.

2.2.1.3 Gagasan

Kompleks gagasan, konsep, pikiran manusia: wujud ini disebut sistem

budaya, sifatnya abstrak, tidak dapat dilihat, dan bersifat pada kepala-kepala

manusia yang menganutnya. Gagasan dan pikiran tersebut tidak merupakan

kepingan-kepingan yang terlepas, melainkan saling berkaitan berdasarkan

asas-asas yang erat hubungannya, sehingga menjadi sistem gagasan dan pikiran

yang relative mantap dan kontinyu. Seperti pada masyarakat Tionghoa yang

percaya pada rupang (patung) Buddha terdapat roh di dalamnya dan

menghormat kepada archa Buddha sebagai usaha untuk mencapai

kesejahteraan, kemakmuran dan kebahagiaan hidup yang dicapai dengan hidup

secara harmonis dengan alam dan merenungkan semua kebajikan yang telah

dilakukan Sang Buddha selama hidupNya. Umat kemudian bertekad untuk

meniru beberapa kualitas kebajikan itu. Umat dapat bertekad untuk meniru

dalam perilaku sehari-harinya sifat kesabaran, welas asih ataupun semangat

yang telah Sang Buddha tunjukkan selama hidupnya.

2.2.2 Altar

Altar adalah bangunan apapu

(6)

di mana upacara keagamaan berlangsung. Altar biasanya ditemukan di dalam

tempat pemujaan, biara, dan tempat-tempat suci lainnya. Altar ada di berbagai

kebudayaan, terutama di dalam agam

di agama-agama kuno lainnya. Altar dibutuhkan untuk sarana tempat ibadah

sembahyang pribadi, keluarga, maupun tempat belajar Dhamma. Untuk itu

setiap umat Buddha Mahayana sudah seyogyanya memiliki altar di rumah.

Altar boleh diletakkan dimana saja, tapi lebih baik menghadapke luar dan

pantang menghadap toilet maupun dapur. Ukuran tinggi dan lebar altar yang

paling baik adalah 68 cm, 88 cm, 108 cm, 128 cm, 133 cm, 153 cm, atau 176

cm dan harus disesuaikan dengan tinggi rendah pemilik altar serta keperluan

dan kondisi ruangan.

Di rumah-rumah pribadi, umumnya ada dua jenis utama dari altar. Satu

dapat dianggap sebagai altar "wali". Pintu utama dan patung-patung di atasnya

melindungi pintu masuk ke rumah. Mereka menyambut pengunjung serta

menjadi malaikat penjaga pribadi, dan energi positif mereka melawan setiap

energi berbahaya halus yang mungkin masuk, seperti pikiran negatif atau niat

tidak ramah. Jenis lain dari altar adalah altar "keluarga", yang biasanya

ditempatkan di ruang yang lebih tertutup. Idealnya, adalah di ruang yang

(7)

Gambar 1. Altar Sembahyang Dewi Kwan Im

Sumber: Jln. Selam 8 No.80, Medan

Gambar 2. Altar Sembahyang Dewi Kwan Im

(8)

Gambar 3. Altar Sembahyang Dewi Kwan Im

Sumber: Jln. Belitung No.36, Medan

2.2.3 Sembahyang

Istilah sembahyang berasal dari kata “sembah” dan

menyembah atau memuja hyang. Meskipun kini digunakan sebagai ibadah

beberapa agama di Indonesia, istilah ini memiliki akar pada pemujaan arwah

leluhur dan roh-roh penjaga alam yang disebut

Sembahyang

yang kemudian dikaitkan

dengan dewa-dewa dalam kepercayaan Hindu.

adalah suatu bentuk kegiatan

daki terjalinnya hubungan dengan

dipuja, dengan melakukan kegiatan yang disengaja. Sembahyang dapat

dilakukan secara bersama-sama atau perseorangan. Dalam beberapa tradisi

agama, sembahyang dapat melibatkan nyanyian berupa himne, tarian,

(9)

pernyataan formal kredo(kepercayaan), atau ucapan spontan dari orang yang

berdoa. Bersembahyang diartikan sebagai bentuk komunikasi antara manusia

dengan para leluhur, shen ming (roh suci) dan Tian (Tuhan Yang Maha

Esa).Arti sembahyang tersebut didalam mahayana adalah sebagai berikut:

1. Mendekatkan diri pada yang Esa/Suci/Buddha dan Bodhisattva,

2. Membina jiwa menuju jalan ke surga,

3.Mengembangkan daya kemampuan diri/ belajar menjadi kuat,

4.Memahami ajaran agama kita,

5.Laksanakan dalam bentuk perbuatan nyata/ kehidupan sehari-hari.

2.2.4 Dewi Kwan Im

Sanskrit, padma-pani, atau “lahir dari bunga teratai.” Namanya

menandakan “dia yang selalu mengamati atau memperhatikan suara”, yaitu dia

yang mendengar doa-doa. Dewi China yang rahmat, kadang-kadang

direpresentasikan dalam pakaian putih dengan anak dalam pelukannya, dan

disembah oleh orang-orang yang menginginkan keturunan, sesuai dengan

Avalokites vara Buddhisme.

Kwan Im pertama diperkenalkan ke Cina pada abad pertama sebelum

Masehi, bersamaan dengan masuknya agama Buddha. Pada abad ke-7, Kwan

Im mulai dikenal di Korea dan Jepang karena pengaruh Dinasti Tang. Pada

masa yang sama, Tibet juga mulai mengenal Kwan Im dan menyebutnya

dengan nama Chenrezig. Dalai Lama sering dianggap sebagai reinkarnasi dari

(10)

Jauh sebelum masuknya agama Buddha, menjelang akhir Dinasti Han,

Kwan Im Pho Sat telah dikenal di Tiongkok purba dengan sebutan Pek Ie Tai

Su yaitu Dewi Welas Asih Berbaju Putih. Kwan Im sendiri adalah dialek

Hokkian yang dipergunakan mayoritas komunitas Cina di Indonesia. Nama

lengkap dari Kwan Im adalah Kwan She Im Phosat atau Guan Shi Yin Pu Sa

yang merupakan terjemahan dari nama aslinya dalam bahasa

Sanskrit,Avalokitesvara.

Tokoh Kwan Im merupakan tokoh Mahayana dan dipercayai

telah

manusia ke jalan kebenaran. Dia diberikan sifat-sifat keibuan seperti

penyayang dan lemah lembut.Kwan Im adalah Dewi kesuburan yang memberi

dampak terbesar di dunia manusia, dan banyak kuil dibangun untuk

menghormatinya. Kwan Im biasanya digambarkan sebagai dewi yang cantik,

beribawa, dan pengasih.

2.2.5 Masyarakat Tionghoa

Koenjaraningrat(2002:146) Mengatakan bahwa masyarakat adalah

kesatuan hidup manusia yang berinteraksi menurut suatu sistem adat-istiadat

tertentu yang bersifat kontiniu yang terikat oleh suatu rasa identitas bersama .

Masyarakat Tionghoa merupakan salah satu kelompok masyarakat yang

ada di Indonesia. Tionghoa adalah sebutan untuk orang-orang dari suku-suku

atau ras Tiongkok. Masyarakat Tionghoa sudah ada di Sumatera Utara sejak

(11)

buruh-buruh dariChina di datangkan sebagai buruhkuli kontrak sejak abad

ke19.Sejak itu lah Medan ramai ditempati Masyarakat Tionghoa. Masyarakat

Tionghoa yang berada di Indonesia terdiri dari beberapa sukubangsa yang

berasal dari dua propinsi yaitu provinsi Fukien bagian selatan dan provinsi

Guandong. Setiap imigran ke Indonesia membawa kebudayaan

suku-bangsanya sendiri-sendiri bersama dengan perbedaan kesukuan mereka.

Di Medan ada terdapat beberapa suku Tionghoa ialah Hokkien,

Teo-Chiu, Hakka, Kwong Fu, dan Ai Lo Hong, yang memiliki perbedaan bahasa

yang besar. Masyarakat Tionghoa di kota Medan terdiri dari berbagai

kelompok suku bangsa dan satu hal yang dapat membedakan kesukuan mereka

adalah bahasa pergaulan yang mereka gunakan.Awal kedatangan masyarakat

Tionghoa ke Sumatera Utara adalah menjadi kuli kontrak, dan buruh kebun

bagi orang belanda melalui penyalur yang berasal dari Cina dan disalurkan ke

Indonesia, khususnya Kota Medan. Hingga akhir bangsa Belanda mengakui

kekalahannya dan meninggalkan Indonesia

Kedatangan Masyarakat Tionghoa ke Indonesia juga dipengaruhi oleh

berbagai kegiatan yang berhubungan dengan kegiatan ekonomi yaitu

perdagangan. Sebagaimana yang di ketahui, masyarakat Tionghoa merupakan

masyarakat yang cukup pintar dalam berdagang. Hal ini sudah turun temurun

diwariskan oleh nenek moyang orang Tionghoa itu sendiri. Kemudian

masyarakat Tionghoa itu menyebar dan persebarannya meliputi pulau

Sumatera, Jawa, Kalimantan dan Sulawesi. Masyarakat Tionghoa di Indonesia

(12)

terkait secara geometris dan teritorial yang selanjutnya telah menjadi satu

dengan suku-suku lainnya di Indonesia.

Masyarakat Tionghoa merupakan masyarakat yang cukup terkenal

dengan kebudayaan yang beragam. Seperti seni tulis atau kaligrafi, seni

menggunting kertas, pengobatan, seni bela diri,seni opera atau teater, seni

musik tradisional, hingga tradisi pemujaan leluhur maupun dewa-dewi yang

sampai saat ini masih dilakukan oleh sebagian besar masyarakat Tionghoa.

2.2.6 Agama Buddha

Agama Buddha pada awal berdirinya dimulai dari pembawanya, yaitu

Siddharta Gautama. Bahwa beliau telah memperoleh kesadaran sebagai

seorang Buddha. Beliau dilahirkan dari seorang keturunan kerajaan

Kapilavastu. Ayahnya bernama Sudhodana dan Ibunya Dewi Mahamaya.

Agama Buddha kini menjadi sebutan sebuah agama besar yang berkembang di

dunia dan besar pengaruhnya. Agama Buddha merupakan agama Ardhi (dunia),

yang berkembang pesat pada saat pemerintahan raja Asoka di India kala itu.

Sebenarnya tidak diketahui secara pasti kapan agama Buddha masuk ke

Tiongkok dari India, namun pada abad pertama, yaitu bagian pertama dari

dinasti Han akhir (25-220), bisa dipastikan bahwa agama Buddha sudah hadir

dan penyebarannya di Tiongkok dimulai pada abad keempat.

Masuknya agama Buddha di Indonesia terjadi sekitar awal abad

pertama atau saat dimulainya perdagangan melalui jalur laut. Kerajaan

(13)

di Indonesia, dimulai pada zaman Srivijaya di Suvarnadvipa (Sumatera) pada

abad ke-7. Hal ini terlihat pada catatan seorang sarjana dari China bernama

I-Tsing yang melakukan perjalanan ke India dan Nusantara serta mencatat

perkembangan agama Buddha di sana. Biarawan Buddha lainnya yang

mengunjungi Indonesia adalah Atisa, Dharmapala, seorang Profesor dari

Nalanda, dan Vajrabodhi, seorang penganut agama Buddha yang berasal dari

India Selatan (id.wikipedia.org/wiki/Agama_Buddha).

Secara umum, ajaran Buddha terbagi dalam tiga aliran, yakni

Theravada/Hinayana (pencapaian tertinggiArahat), Mahayana (pencapaian

tertingginya menjadi Bodhisatva), dan Tantrayana/vajrayana (pencapaian

tertingginya menjadi Buddha). Dikalangan penganut agama klasik Tiongkok

(shen-isme), Buddha Amitabha dan Guan Yin adalah dewa-dewa (dari agama

Buddha mazhab Jinglu) yang sangat terkenal dan dipuja. Guan Yin merupakan

salah satu dewi pada aliran Mahyana. Guan Yin adalah pembantu utama

Buddha Amitabha dan perwujudan Boddhisatva Avalokiteshvara, yang

sekarang lebih dikenal dalam bentuk perempuan dan bukan pria seperti asal

Boddhisatva(Radis Bastian. 2014).

2.3 Landasan Teori

Teori adalah landasan dasar keilmuan untuk mengkaji maupun

menganalisis berbagai fenomena dan juga sebagai rujukan utama dalam

memecahkan masalah penelitian di dalam ilmu pengetahuan. Sejalan dengan

hal tersebut maka di dalam sebuah penelitian membutuhkan landasan teori

(14)

penelitian. Landasan teori yang berhubungan dengan permasalahan penelitian

yang penulis gunakan adalah teori semeotik dan teori 3 wujud budaya.

2.3.1 Teori Semiotik

Semiotik berasal dari bahasa Yunani yaitu semeion yang berarti tanda.

Kajian keilmuan yang meneliti mengenai simbol atau tanda dan konstruksi

makna yang terkandung dalam tanda tersebut dinamakan dengan Semiotik.

Little John(2009:53) mengatakan bahwa semiotik terdiri atas

sekumpulan teori tentang bagaimana tanda-tanda merepresentasikan benda, ide,

keadaan, situasi, perasaan dan kondisi di luar tanda-tanda itu sendiri. Semiotik

bertujuan untuk mengetahui makna-makna yang terkandung dalam sebuah

tanda atau menafsirkan makna tersebut sehingga diketahui bagaimana

komunikator mengkonstruksi pesan. Konsep pemaknaan ini tidak terlepas dari

perspektif atau nilai-nilai ideologis tertentu serta konsep kultural yang menjadi

ranah pemikiran masyarakat di mana simbol tersebut diciptakan. Kode kultural

yang menjadi salah satu faktor konstruksi makna dalam sebuah simbol menjadi

aspek yang penting untuk mengetahui konstruksi pesan dalam tanda tersebut.

Konstruksi makna yang terbentuk inilah yang kemudian menjadi dasar

terbentuknya ideologi dalam sebuah tanda. Sebagai salah satu kajian pemikiran

dalam cultural studies, semiotik tentunya melihat bagaimana budaya menjadi

landasan pemikiran dari pembentukan makna dalam suatu tanda. Kriyantono

(2007:261) mengatakan bahwa semiotik mempelajari sistem-sistem,

aturan-aturan, konvensi-konvensi yang memungkinkan tanda-tanda tersebut

(15)

Mengenai sebuah kajian ilmu atau sebuah teori, maka tidak bisa

terlepas dari tokoh-tokoh yang mencetuskan kajian tersebut. Salah satunya

ialah Roland Barthes,Roland Barthes (1915-1980) mengemukakan, dalam

teorinya tersebut Barthes mengembangkan semiotika menjadi dua tingkatan

pertandaan, yaitu tingkat denotasi dan konotasi. Denotasi adalah tingkat

pertandaan yang menjelaskan hubungan penanda dan petanda pada realitas,

menghasilkan makna eksplisit, langsung, dan pasti. Konotasi adalah tingkat

pertandaan yang menjelaskan hubungan penanda dan petanda yang di

dalamnya beroperasi makna yang tidak eksplisit, tidak langsung, dan tidak

pasti (Yusita Kusumarini, 2006).

Penulis menggunakan teori semiotik yang dikemukakan oleh Roland

Barthes untuk menganalisis artefak pada altar sembahyang Dewi Kwan Im.

Dalam hal ini pemaknaan artefak dikaji melalui dua aspek iyama yang makna

denotatif dan makna konotatif.

2.3.2 Teori Tiga Wujud Budaya

Tindakan dan aktivitas manusia terangkai dalam suatu perbuatan yang

berpola. Sebagai suatu sistem ide dan konsep dari serangkaian kerangka

tindakan dan aktivitas manusia apabila dirumuskan akan tampak sebagai

berikut. (Talcot Parsons dan A.L Krober: 1958), demikian juga dikemukakan

oleh J.J Honigmann (1959) .

1. Ideas

Wujud kebudayaan sebagai suatu kompleks dari ide, gagasan, nilai,

(16)

merupakan sesuatu yang abstrak dan tidak dapat digambarkan secara nyata.

Sebagaian masih berupa kerangka pemikiran dalam otaknya. Sebagianlain dari

padanya berupa kerangka perilaku yang ideal yang memberikan corak dan jiwa

serta tatanan kehidupan yang serasi, seimbang dan selaras. Sistem demikian ini

tidak lain berupa tatanan norma ideal, pada beberapa masyarakat disebut

sebagai adat atau adat-istiadat, bersifat umum, dan turun-menurun. Apabila

dilanggar, akan menimbulkan suatu rasa yang tidak enak dalam benaknya.

2. Activities

Wujud kebudayaan sebagai suatu kompleks aktivitas serta tindakan

berpola dari manusia dalam masyarakat. Termasuk dalam kategori ini adalah

tatanan manusia dalam hidup bersosialisasi dan berkomunikasi, serta bergaul di

antara sesamanya. Berbeda dengan sistem budaya, wujud kebudayaan berpola

ini sangatgampang dilihat bahkan dapat didokumentasikan karena ia tampak

nyata dalam perilaku.

3. Artefacts

Wujud kebudayaan sebagai benda-benda hasil karya manusia. Wujud

kebudayaan ini lebih konkret lagi dan cenderung tidak memerlukan penjelasan

apa pun. Benda hasil kerajinan misalnya, dapat dirasa, disentuh dan difoto.

Penulis menggunakan teori tiga wujud budaya yang dikemukakan oleh

J.J. Honigmann untuk menganalisis artefak, kegiatan, dan gagasan pada altar

sembahyangDewi Kwan Im. Dimulai dari artefak, kemudian aktivitas, dan

terakhir adalah gagasan apa yang menyebabkan aktivitas dan munculnya

Gambar

Gambar 1. Altar Sembahyang Dewi Kwan Im
Gambar 3. Altar Sembahyang Dewi Kwan Im

Referensi

Dokumen terkait

Pertama wujud kebudayaan sebagai ide, gagasan, nilai, atau norma. Kedua wujud kebudayaan sebagai aktifitas atau pola tindakan manusia dalam masyarakat. Ketiga adalah wujud

1) Wujud sebagai suatu kompleks dari ide-ide, gagasan, nilai nilai, norma-norma, dan peraturan. Wujud tersebut menunjukkan wujud ide dari kebudayaan, sifatnya abstrak, tak

Ilmu tentang perhitungan weton ini pada dasarnya memiliki tiga wujud dalam kebudayaan, tentang ide, gagasan, nilai, norma, lalu wujud yang kedua pola dari tindakan masyarakat,

1) Wujud sebagai suatu kompleks dari ide-ide, gagasan, nilai-nilai, norma- norma, dan peraturan. Wujud tersebut menunjukkan wujud ide dari kebudayaan, sifatnya abstrak, tak

1) Wujud kebudayaan sebagai suatu komplek dan ide-ide, gagasan-gagasan, nilai-nilai, norma-norma peraturan dan sebagainya, wujud ini berada pada alam pikiran dari

Pertama wujud ide; gagasan-gagasan (ideas), filosofi, nilai- nilai, dan norma-norma adat (prosesi adat) yang berfungsi mengatur dan pacu jawi suatu tradisi yang dilakukan

f Objek Wisata Tebat Rasau ini memiliki filosofi sebagai berikut : 1 Manusia memiliki dan mengembangkan wujud ide, gagasan, nilai, norma, peraturan, dsb 2 Kebudayaan sebagai suatu

Menurut koentjaraningrat, kebudayaan itu mempunyai tiga wujud, yaitu 1 wujud kebudayaan sebagai suatu kompleks dari ide-ide, gagasan, nilai-nilai, norma-norma, peraturan dan sebagainya,