• Tidak ada hasil yang ditemukan

ALTAR SEMBAHYANG UNTUK DEWI KWAN IM PADA RUMAH MASYARAKAT TIONGHOA BUDDHA DI MEDAN: KAJIAN TERHADAP ARTEFAK, KEGIATAN, DAN GAGASAN

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "ALTAR SEMBAHYANG UNTUK DEWI KWAN IM PADA RUMAH MASYARAKAT TIONGHOA BUDDHA DI MEDAN: KAJIAN TERHADAP ARTEFAK, KEGIATAN, DAN GAGASAN"

Copied!
129
0
0

Teks penuh

(1)

ALTAR SEMBAHYANG UNTUK DEWI KWAN IM PADA RUMAH MASYARAKAT TIONGHOA BUDDHA DI MEDAN: KAJIAN TERHADAP ARTEFAK, KEGIATAN, DAN GAGASAN

棉兰华人崇拜观音像的由来与意义 (

OLEH:

KARINA BR SEMBIRING

130710099

Mián lán huárén chóngbài guānyīn xiàng de yóulái yǔ yìyì)

SKRIPSI

PROGRAM STUDI SASTRA CINA

FAKULTAS ILMU BUDAYA

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

MEDAN

(2)

i ABSTRACT

The title of this paper is “Altar Sembahyang Untuk Dewi Kwan Im Pada Rumah Masyarakat Tionghoa Buddha Di Medan : Kajian Terhadap Artefak, Kegiatan, Dan Gagasan”.The purpose of this research is to describe the artifacts, activities and ideas on the worship altar of the goddess Kwan Im at Medan Chinese Buddhist society home.The methods to gathering the data do in field works, and then applied in: interview, observation, recording the activities at worship altar, observe as participant observer, and library research.The author uses the theory of Barthes’s semiotic theory to describe ideas of worship altar of the goddess Kwan im atMedan Chinese Buddhist society home, and theory three shape of culture by J.J Hoenigman to describe the artifacts, activities and ideas on the worship altar of the goddess Kwan Im at Medan Chinese Buddhist society home.

In the altar Dewi Kwan Im contained artifacts such as statues (sculptures) Buddha as a symbol of Buddhahood and respect the noble values of the Buddha, lamps and oil as symbolic of wisdom and compassion, water as a symbol of pure and clean, incense symbolizes the act purify the mind, music that contains mantra da bei cou, fruits symbolize the fruits of act or success for the efforts that have been implemented, fresh fruit laid out are apples, oranges, pineapple, flowers are used to express a feeling grateful to the Buddha, fresh flowers were laid is chrysanthemums, lilies, orchids, narcissist, and a bamboo stalk.On the altar Dewi Kwan Im also conducted prayers, prayers when move from house to new house, clean the altar and statues using flower waterIn ideas, Chinese society who embraced Mahayana Buddhist usually put altar prayer of goddess Kwan Im at home as a means of worship and ask for safety and health.

(3)

ii ABSTRAK

Judul skripsi ini adalah “Altar Sembahyang Untuk Dewi Kwan Im Pada Rumah Masyarakat Tionghoa Buddha Di Medan : Kajian Terhadap Artefak, Kegiatan, Dan Gagasan”.Penelitian ini bertujuan untuk mendeskripsikan artefak, kegiatan dan gagasan pada altar sembahyang dewi Kwan Im pada rumah masyarakat Tionghoa Buddha di Medan.Metode pengumpulan data dilakukan melalui studi lapangan berupa: wawancara, observasi, perekaman kegiatan pada altar, dan pengamatan terlibat (participant observer), dan studi kepustakaan. Penulis menggunakan teori semiotik Barthes untuk mendeskripsikan gagasan masyarakat Tionghoa Buddha di Medan pada altar sembahyang Dewi Kwan Im, dan teori tiga (3) wujud budaya J.J Honigmann untuk mendeskripsikan artefak, kegiatan dan gagasan masyarakat Tionghoa Buddha di Medan.

Dalam altar Dewi Kwan Im terdapat artefak berupa rupang (patung) Buddha sebagai lambang kebuddhaan dan menghormati nilai-nilai luhur sang Buddha, lampu dan minyaksebagai simbolik kebijaksanaan dan belas kasih, air sebagai simbol suci dan bersih, dupa yang dibakar melambangkan perbuatan menyucikan pikiran, musik yang berisikan mantra da bei cou, buah-buahan melambangkan buah dari perbuatan atau keberhasilan atas segala usaha yang telah dilaksanakan, buah segar yang diletakkan seperti apel, jeruk, nanas, bunga digunakan untuk menyatakan perasaan berterima kasih kepada Buddha , bunga segar yang diletakkan seperti krisan, bunga bakung, anggrek, narsisis, dan tangkai bambu. Pada altar Dewi Kwan Im juga dilakukan kegiatan sembahyang, sembahyang ketika pindah rumah, dan pemandian altar dan rupang menggunakan air bunga.Dalam gagasan masyarakat Tionghoa Buddha yang menganut aliran Mahayana biasanya meletakkan altar sembahyang Dewi Kwan im pada rumah sebagai sarana ibadah dan meminta keselamatan dan kesehatan pada Dewi Kwan Im.

(4)

iii

KATA PENGANTAR

Pertama sekali penulis mengucap syukur kehadirat Tuhan Yang Maha Esa atas selesainya penulisan skripsi ini. Skripsi ini berjudul “Altar Sembahyang Untuk Dewi Kwan Im Pada Rumah Masyarakat Tionghoa Buddha Di Medan : Kajian Terhadap Artefak, Kegiatan, Dan Gagasan”.Skripsi ini diajukan sebagai salah satu persyaratan untuk memperoleh gelar S-1 pada program studi Sastra Cina Fakultas Ilmu Budaya Universitas Sumatera Utara.

Dalam penulisan skripsi ini penulis menghadapi banyak rintangan dan hambatan, Namun berkat bimbingan dan arahan dari seluruh pihak, kesulitan yang ada dapat diatasi dan skripsi inipun dapat diselesaikan.

Oleh karena itu dengan penuh keikhlasan hati penulis mengucapkan terima kasih terutama kepada :

1. Bapak Dr. Budi Agustono, M.S selaku Dekan Fakultas Ilmu Budaya dan pembantu Dekan (PUDEK) I, II, III, Fakultas Ilmu Budaya Universitas Sumatera Utara.

2. Bapak Mhd. Pujiono, M.Hum, Ph.D selaku ketua Program Studi Sastra China Fakultas Ilmu Budaya Universitas Sumatera Utara.

3. Ibu Niza Ayuningtias, S.S., MTCSOL selaku sekretaris Program Studi Sastra China Fakultas Ilmu Budaya Universitas Sumatera Utara.

4. Bapak Drs. Muhammad Takari, M.Hum, Ph.D selaku dosen pembimbing I, yang telah dengan sabar membimbing, memeriksa, memberi masukan dan memeriksa lembar demi lembar skrispi ini.

(5)

iv

5. Ibu Niza Ayuningtias, S.S., MTCSOL selaku dosen pembimbing II, yang telah banyak menyediakan waktu untuk membimbing saya dalam menulis skripsi ini ke dalam bahasa mandarin.

6. Bapak/Ibu Dosen Sastra Cina Fakultas Ilmu Budaya Universitas Sumatera Utara yang telah bersusah payah memberikan ilmu yang dimiliki kepada penulis selaku mahasiswi Satra Cina (S1) selama masa perkuliahan.

7. Para informan yang telah bersedia memberikan informasi tentang altar sembahyang Dewi Kwan Im.

8. Teristimewa penulis ucapkan untuk kedua orang tua saya, yaitu Mama (Alm. Srita BR. Tarigan) dan bapak (Drs. Sinar Sembiring) yang telah memberikan banyak dukungan kepada saya, baik dukungan moral, kasih sayang, doa dan bentuk materiil.

9. Kepada abang saya Santana Sembiring, kakak saya Everiyani Sembiring, terimakasih telah banyak memberikan dukungan dan semangat kepada saya.

10. Kepada mama Kumalo Tarigan terima kasih selalu membantu saya dan memberikan banyak masukan dalam menyelesaikan skrispi ini.

11. Kepada sahabat-sahabat saya Lidya Gidon, Iin Chintiya, Kristina 赖蒂 娜, Francisca Fortunata, Iwan Leonardo, Hermini, Merry Natal, Masita Lubis, Kevin, Dien, Amry, Tri, Eva silalahi, Lilis, Angia Jelita, Ervy Cinthia, terima kasih telah selalu memberikan saran dan semangat kepada saya.

(6)

v

12. Teman-teman Mahasiswa Program Studi Sastra Cina Fakultas Ilmu Budaya Universitas Sumatera Utara Stambuk 2013, yang menjadi rekan dan sahabatku selama menempuh pendidikan di Sastra Cina.

13. Adik-adik Sastra Cina angkatan 2014 yang selalu menanyakan kabar skripsi ini, selalu memberikan semangat kepada saya, agar tetap semangat belajar dan bisa cepat menyelesaikan studi Sastra Cina ini., terima kasih untuk semuanya.

Akhirnya kepada Tuhan Yang Maha Esa jugalah penulis mengucapkan puji dan syukur, semoga kita semua yang terlibat dalam penyusunan skripsi ini senantiasa mendapat berkat-Nya. Penulis berharap, semoga skripsi ini dapat bermanfaat bagi nusa dan bangsa dan juga bermanfaat bagi pembaca, terutama bagi penulis sendiri di masa sekarang dan yang akan datang.

Medan, April 2017

Penulis

(7)

vi DAFTAR ISI ABSTRACT………....i KATA PENGANTAR………..iii DAFTAR ISI………...vi DAFTAR GAMBAR………...vii DAFTAR TABEL………..viii BAB I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang………...1 1.2 Batasan Masalah……….6 1.3 Rumusan Masalah………6 1.4 Tujuan Penelitian……….6 1.5 Manfaat Penelitian………7 1.5.1 Manfaat Teoritis………7 1.5.2 Manfaat Praktis……….7

BAB II. KAJIAN PUSTAKA, KONSEP, LANDASAN TEORI 2.1 Kajian Pustaka……….9 2.2 Konsep………10 2.2.1 Kebudayaan……….11 2.2.1.1 Artefak………...12 2.2.1.2 Kegiatan………12 2.2.1.3 Gagasan……….13 2.2.2 Altar………...13 2.2.3 Sembahyang………16

2.2.4 Dewi Kwan Im………17

2.2.5 Masyarakat Tionghoa………...18

2.2.6 Agama Buddha………20

2.3 Landasan Teori………...21

2.3.1 Teori Semiotik………22

2.3.2 Teori Tiga Wujud Kebudayaan………...………23

BAB III. METODE PENELITIAN 3.1 Metode Penelitian………..25

3.2 Lokasi Penelitian………26

3.3 Data dan Sumber Data………27

3.4 Teknik pengumpulan data………..27

3.4.1 Studi Kepustakaan………...28

3.4.2 Observasi……….28

3.4.3 Wawancara………..29

(8)

vii

BAB IV. GAMBARAN UMUM SISTEM RELEGI MASYARAKAT TIONGHOAMEDAN

4.1 Macam-macam Sistem Relegi Masyarakat Tionghoa………..31

4.1.1Konghucu………...31

4.1.2 Taoisme………35

4.1.3 Buddha………..36

4.2 Altar Sembahyang……….39

4.2.1 Persyaratan Dasar Penempatan Altar Buddha…………..39

4.2.2 Mengundang Kehadiran Guan Shi Yin Pu Sa…………..41

4.2.3 Penempatan Altar Sembahyang Ketika Pindah Rumah…42 4.3 Gambaran Umum Kota Medan dan Masyarakatnya……….43

BAB V. ARTEFAK, KEGIATAN DAN GAGASAN 5.1 Artefak………..48 5.1.1 Rupang (patung)………...48 5.1.2 Lampu………...50 5.1.3 Minyak………..53 5.1.4 Air……….54 5.1.5 Dupa……….56 5.1.6 Musik………58 5.1.7 Buah-buahan……….61 5.1.8 Bunga Segar……….64 5.2 Kegiatan………..65 5.2.1 Sembahyang……….66

5.2.2 Sembahyang Saat Menjalankan Tugas di Luar Kota……70

5.2.3 Pemandian Altar dan Rupang (Patung)………71

5.3 Gagasan………...74

5.3.1 Aliran Mahayana………..75

5.3.1.1 Pokok-pokok Ajaran Mahayana………76

5.3.1.2 Konsepsi Ketuhanan Dalam Mahayana……….77

BAB VI. KESIMPULAN DAN SARAN 6.1 Kesimpualan………..80

6.2 Saran………..81

DAFTARPUSTAKA………...…………...82 LAMPIRAN………...………

(9)

viii

DAFTAR GAMBAR

Gambar.1 Altar Sembahyang Dewi Kwan Im………...15

Gambar. 2 Altar Sembahyang Dewi Kwan Im………..15

Gambar. 3 Altar Sembahyang Dewi Kwan Im………..16

Gambar. 5.1.1 Rupang Dewi Kwan Im……….49

Gambar. 5.1.1Rupang Dewi Kwan Im………..49

Gambar. 5.1.2 Altar Sembahyang Dewi Kwan Im………51

Gambar. 5.1.2 Lampu………51

Gambar. 5.1.3 Minyak………...53

Gambar. 5.1.4 Air………...54

Gambar. 5.1.4 Dupa………...56

Gambar. 5.1.7 Altar Sembahyang Dewi Kwan Im………62

Gambar. 5.1.7Buah-buahan………..62

Gambar. 5.1.7 Buah-buahan dan Makanan………...63

Gambar. 5.1.8 Bunga Segar………..64

Gambar. 5.2.1 Sembahyang………..70

Gambar. 5.2.3 Pembersihan Altar dan Rupang……….72

Gambar. 5.2.3 Pembersihan Altar dan Rupang……….73

(10)

ix

DAFTAR TABEL

Tabel 4.1 Perbandingan Suku Bangsa di Kota Medan………..44 Tabel 5.3.1.1 Agama Buddha Mahayana………..79

(11)

1 BAB I PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang Masalah

Masyarakat Tionghoa adalah masyarakat yang awalnya berada di dalam wilayah budaya Cina dan migrasi ke Indonesia. Mereka secara khas disebut dengan masyarakat Tionghoa. Para imigran Tionghoa yang tersebar di wilayah Indonesia, khususnya Sumatera Utara mulai abad ke 16 sampai kira–kira pertengahan abad ke 19, sebagian besar berasal dari suku bangsa Hokkien. Mereka berasal dari Provinsi Fukien bagian selatan. Daerah itu merupakan daerah yang sangat penting dalam pertumbuhan perdagangan masyarakat China.

Kota Medan adalah ibu kota provinsi Sumatera Utara, Indonesia. Kota ini merupakan kota terbesar di luar Pulau Jawa dan kota metropolitan terbesar ketiga di Indonesia setelah Jakarta dan Surabaya. Di kota Medan kedatangan masyarakat Tionghoa pada awalnya adalah sebagai kuli kontrak perkebunan Belanda. Lambat laun mereka mulai menggeluti bidang perdagangan di Kota Medan. Masyarakat Tionghoa di Medan hidup berdampingan dengan suku-suku lain ,termasuk suku-suku asli maupun suku-suku pendatang.

Seiring dengan merantaunya orang China ke Indonesia maka masuk pula kebudayaan mereka, seperti bahasa, religi, kesenian, sistem pengetahuan, organisasi sosial, sistem peralatan hidup, teknologi, dan sistem mata pencaharian hidup(Rahma Safitri, 2013).

(12)

2

Sistem religi berasal dari kesadaran suatu suku bangsa akan adanya “suatu kekuatan” diluar manusia yang memiliki kekuatan tak terhingga bila dibandingkan dengan kekuatan manusia, juga untuk mencari jawaban atas berbagai peristiwa di lingkungan kehidupannya.Dari segi religi, masyarakat kuno China menganut tiga agama dari negara asal mereka yang disebut San

Jiau/Sam Kauw, di Indonesia ajaran ini dikenal dengan Tridharma. Tiga

agamayang banyak dianut masyarakat Cina yaitu Khong Hu Chu, Tao, dan Buddha.

Religi tradisional dalam masyarakat Cina merupakan salah satu aspek kebudayaan yang tetap mereka pelihara. Sistem religi tradisonal yang dianut oleh orang-orang Tionghoa amat dipengaruhi oleh sistem kepercayaan yang dianut oleh bangsa Cina sebagai negeri leluhur mereka. Sistem religi tradisonal masyarakat Cina/Tionghoa diwarisi oleh tradisi kuat pada empat sumber, yaitu penyembahan alam dan roh-roh halus/nenek moyang (spiritisme, animisme, danpantheisme), dan agama-agama Taoisme, Confucianisme, dan Buddhisme.

Masyarakat Tionghoa tidak hanya melakukan sembahyang pada klenteng ataupun pada vihara, tetapi juga pada altar yang terdapat di rumah. Altar adalah bangunan apapun di mana (hewan) kurban atau persembahan lainnya dipersembahkan untuk tujuan religius, atau tempat sakral di mana upacara keagamaan berlangsung. Altar biasanya ditemukan di dalam tempat pemujaan, biara, dan tempat-tempat suci lainnya. Altar ada di berbagai kebudayaan, terutama di dalam agama Katolik Roma, Agama Kristen, Agama Buddha, Hindu, Shinto, Tao, dan Neopaganisme.

(13)

3

Sembahyang adalah suatu bentuk kegiatan keagamaan yang menghendaki terjalinnya hubungan dengan Tuhan, dewa, roh atau kekuatan gaib yang dipuja, dengan melakukan kegiatan yang disengaja. Altar dibutuhkan untuk sarana tempat ibadah, sembahyang pribadi, keluarga, maupun untuk tempat belajar Dharma. Untuk itu setiap umat Buddha Mahayana sudah seyogyanya memiliki altar sembahyang Dewi Kwan Im di rumah.

Dalam penempatan altar sembahyang pada masyarakat Tionghoa ini pun menggunakan aturan-aturan. Pada masyarakat Tionghoa tata cara menentukan arah altar sembahyang pun ada aturanya, seperti: berdasarkan shio, berdasarkan unsur yang baik melalui metode bazi (seni ramalan Tiongkok), menggunakan kaidah-kaidah fengshui, dan kaidah-kaidah tertentu, seperti:terdapat kepercayaan bahwa Dewa Guan Gong (Guandi), altarnya tidak boleh menghadap timur, karena Guandi gugur di negeri Wu (Hokkian: Gouw) yang letaknya di sebelah timur. Altar boleh diletakan di mana saja, tapi lebih baik menghadap ke luar dan pantang menghadap toilet maupun dapur. Ukuran tinggi dan lebar altar yang paling baik adalah 68 cm, 88 cm, 108 cm, 128 cm, 133 cm, 153 cm, atau 176 cm dan harus disesuaikan dengan tinggi rendah pemilik altar serta keperluan dan kondisi ruangan (www.chingtu.net).

Tradisi-tradisi Cina masih dipelihara dan dilaksanakan oleh kalangan orang Cina di Indonesia seperti pada agama Konghucu melaksanakan tradisi

barongsai dan masih banyak tradisi atau kebudayaan Cina yang masih melekat

didalam agama Buddha misalnya pada upacara, ritual yang dilakukan agama Buddha masih ada unsur tradisi Cina.

(14)

4

Masyarakat Tionghoa juga mempunyai tradisi membersihkan altar. Tradisi membersihkan altar dapat dilakukan setiap saat, tapi tradisi membersihkan rupang (patung) biasanya dilakukan setiap tahun sekali ketika menjelang Imlek yaitu setelah tanggal 24 (sampai akhir bulan) bulan 12 imlek. Karena hal ini dipercaya bahwa pada saat tersebut, Dewa-dewi naik ke langit dan meninggalkan rupang (patung) dan altarnya pada Cap Jie Gwee 24 atau sehari sebelumnya untuk melaporkan apa yang telah dicatatnya selama setahun. Pada hakekatnya ketika orang bersembahyang, tentunya perlu tempat sembahyang yang bersih dan mulia. Selain di klenteng, kegiatan pembersihan ini juga dilakukan oleh masyarakat Tionghoa terhadap altar sembahyang untuk dewa dan arwah leluhur di rumah masing-masing.Pembersihan altar di rumah pribadi merupakan simbol tanda bakti etnis Tionghoa kepada leluhurnya juga pada dewa-dewi, yang dimaksudkan untuk menyiapkan tempat yang bersih untuk para dewa-dewi ketika mereka kembali turun pada hari keempat setelah Imlek dan untuk membersihkan diri supaya bila Imlek tiba semuanya dalam keadaan bersih.

Masyarakat Tionghoa juga menempatkan berbagai ornamen pada altar sembahyang mereka. Biasanya mereka menempatkan rupang (patung) Buddha yang mereka sembah, bunga, lampu, buah-buahan dan lain sebagainya. Setiap ornamen-ornamen itu memiliki fungsi dan makna. Biasanya fungsi dari ornamen itu sebagai estetika (keindahan), religius, dan identitas budaya. Sedangkan makna dari ornamen itu biasanya sebagai simbolis, lambang rezeki, keberhasilan, lambang supranatural, dan lain sebagainya.

(15)

5

Masyarakat Tionghoa di Medan yang mempercayai ajaran Buddha salah satunya aliran Mahayana (pencapaian tertingginya menjadi Bodhisatva) biasanya mempunyai altar sembahyang di setiap rumahnya, salah satunya ialah altar sembahyang dewi Kwan Im. Dewi Kwan Im Po Sat lebih dikenal oleh kalangan orang Cina, namun karena Agama Tridharma pernahberkembang di dataran Cina dan dewi Kwan Im Po Sat adalah seorang putri raja Miao Chuang yang ketiga dimana raja Miao mempunyai dua putri lagi sebelum dewi Kwan Im Po Satyang dulu lebih dikenal dengan sebutan putri Miao San, karena tidak ada yang mewarisi tahta raja Miao, pada saat itu Miao San mau dinikahkan oleh raja Miao tetapi Miao San menolaknya dan Miao San lebih memilih ingin mencarikesempurnaan hidup dengan bertapa di puncak Siangsan.

Miao San atau dewi Kwan Im Po Satberharap kelak menjadi dewa agar dapat menolong umat manusia yang menderita dan membalas budi kebaikan ayah ibunya yang telah melahirkannya di dunia ini. Atas kegigihanya menuntut ilmu dewa selama sembilan tahun, kini sudah mencapai kesempurnaaan, kebaktian terhadap orang tua dengan mengorbankan kedua tangan dan mata. Akhirnya Miao San dianugrahi gelar Po Sat yang berarti murah hati dan welas asih atau yang lebih dikenal oleh umat Tridharma DewiKwan ImPo Satyang welas asih, karena pengabdian yang begitu besar kepada rakyat dan dewiKwan Im Po Sat merupakan titisan dewa Che Hang Tha Tse, maka sebagai wujud penghormatan kepada dewi Kwan Im Po Sat, banyak masyarakat Tionghoa yang mendirikan vihara, klenteng maupun membuat altar sembahyang dirumah, dimana dewi Kwan Im Po Sat menjadi tuan rumah.

(16)

6

Berdasarkan uraian di atas, penulis membahas mengenai “Artefak, Aktivitas, dan Gagasan Altar Sembahyang Dewi Kwan Im pada Rumah Masyarakat Tionghoa Buddha Di Medan.” Alasan penulis menjadikan Kota Medan sebagai objek penelitian, karena Kota Medan merupakan daerah tempat tinggal penulis. Selain itu, penulis mengetahui karakteristik masyarakat Tionghoa di Kota Medan sehingga akan mempermudah dalam melakukan sebuahpenelitian.

1.2 Batasan Masalah

Menghindari batasan masalah yang terlalu luas dan dapat mengaburkan penelitian, maka penulis membatasi ruang lingkup penelitian hanya pada “ Altar Sembahyang Untuk Dewi Kwan Im pada Rumah Masyarakat Tionghoa Buddha di Medan: Kajian Terhadap Artefak, Kegiatan, dan Gagasan.”

1.3 Rumusan Masalah

Berkaitan dengan latar belakang di atas permasalahan yang akan di angkat dalam skripsi ini adalah:

1. Apa saja artefak yang terdapat pada altar sembahyangDewi Kwan Im dalam budaya masyarakat Tionghoa Buddha di Medan?

2. Apa kegiatan yang dilakukan pada altar sembahyang Dewi Kwan Imoleh masyarakat Tionghoa Buddha di Medan?

3. Apa gagasan masyarakat Tionghoa Buddha di Medan mengenai altar sembahyangDewi Kwan Im?

(17)

7 1.4 Tujuan Penelitian

Adapun tujuan yang ingin dicapai penulis dalam penelitian ini adalah : 1. Untuk mendeskripsikanartefak yang terdapat pada altar sembahyang

Dewi Kwan Im.

2. Untuk mendeskripsikan kegiatan yang dilakukan pada altar sembahyang Dewi Kwan Im.

3. Untuk mendeskripsikan gagasan masyarakat Tionghoa Buddha di Medan pada altar sembahyang Dewi Kwan Im.

1.5 Manfaat Penelitian

Manfaat penelitian ini terbagi menjadi dua yaitu manfaat teoritis dan manfaat prkatis. Kedua manfaat ini berlandas kepada dua hal dasar yaitu manfaat keilmuan dan manfaat sosial budaya. Kedua manfaat ini diuraikan lebih jauh lagi seperti berikut ini.

1.5.1 Manfaat Teoretis

Manfaat teoretis dari penelitian skripsi ini yaitu diharapkan dapat memperkaya ilmu pengetahuan tentang artefak, aktivitas, dan gagasan pada altar sembahyang Dewi Kwan Im serta diharapkan juga dapat menjadi bahan referensi bagi peneliti lainnya yang akan meneliti mengenai altar sembahyang Dewi Kwan Im. Manfaat teoritis ini dapat menambah khasanah keilmuan khususnya bahasa, sastra, dan budaya Cina di Indonesia, khususnya di Kota Medan. Kemungkinan lebih jauh penelitian ini dapat memperkaya keilmuan disiplin terkait seperti antropologi, arsitektur, sejarah, seni, dan lain-lain.

(18)

8 1.5.2 Manfaat Praktis

Manfaat praktis dari penelitian ini yaitu diharapkan dapat memberikan manfaat bagi masyarakat Indonesia, khususnya masyarakat Tionghoa untuk lebih memahami bagaimana gagasan, kegiatan yang dilakukan, serta mengetahui apa saja artefak (benda) yang diletakkan pada altar, agar nantinya generasi yang lebih muda mengetahui dan mempertahankan kebudayaannya.

(19)

9 BAB II

KAJIAN PUSTAKA, KONSEP DAN LANDASAN TEORI

2.1 Kajian Pustaka

Kajian pustaka adalah ringkasan tertulis mengenai artikel dari jurnal, buku,dan dokumen lain yang mendeskripsikan teori serta informasi baik masa lalu maupun saat ini, mengorganisasikan pustaka ke dalam topik dan dokumen yang dibutuhkan untuk proposal penelitian. Kajian pustaka merupakan hasil dari meninjau, pandangan, pendapat sesudah mempelajari (KBBI, 1990:951).

Rahma Safitri. 2013. Dalam skripsi: “Fungsi dan Makna Ornamen Pada Tiga Bangunan Vihara di Kota Binjai.” Skripsi ini menguraikan tentang bagaimana fungsi dari tiga bangunan yang ada pada vihara di Binjai dan menganalisis setiap ornamen atau simbol-simbol yang ada pada tiga bangunan vihara tersebut. Skripsi ini membantu penulis mengetahui tentang masyarakat Tionghoa dan penggunaan teori semiotik.

Fitria Anggina Siregar. 2016. Dalam skripsi yang berjudul: “Wisata Vihara Avalokitesvara (Studi Etnografi Mengenai Wisata Religi di Kota Pematang siantar),”menguraikan tentang sejarah berdirinya objek wisata Vihara Avalokitesvara, alasan atau motivasi mengunjungi Vihara Avalokitesvara, aktivitas yang dilakukan, serta pandangan terhadap

(20)

10

penambahan fungsi Vihara Avalokitesvara. Skripsi ini membantu penulis untuk mengetahui apa saja aktivitas yang dilakukan pada Vihara Avalokitesvara.

Achmad Muzaki. 2013. Dalam skripsi: “Konsep Trikaya Dalam Agama Buddha Mahayana” . Skripsi ini menguraikan tentang wujud ketuhanan dalam Buddha Mahayana dalam konsep Trika serta apa makna konsep Trikaya sebagai pedoman untuk memahami Tuhan dalam agama Buddha. Skripsi ini membantu penulis untuk mengetahui konsep Trikaya dalam agama Buddha Mahayana.

Elmida Sriwijayanti. 2009. Dalam skripsi: “Upacara Dewi Kwan Im Po Sat (Studi Pelaksanaan Upacara dan Motivasi Umat Tridharma di Klenteng Tien Kok Sie Pasar Kota Gede Solo)”. Skripsi ini menguraikan tentang bagaimana pelaksanaan upacara dewi Kwan Im Po Sat dan motivasi umat Tridharma dalam melaksanakan upacara dewi Kwan Im Po Sat. Skripsi ini membantu penulis untuk mengetahui kegiatan yang dilakukan untuk Dewi Kwan Im.

2.2 Konsep

Konsep merupakan istilah yang digunakan untuk menggambarkan secara abstrak suatu objek. Melalui konsep, diharapkan akan dapat menyederhanakan pemikiran dengan menggunakan satu istilah. Bila seseorang dapat menghadapi benda atau peristiwa sebagai suatu kelompok, golongan, kelas atau kategori, maka seseorang telah belajar konsep. Hamidi (2010).

(21)

11

Kamus Besar Bahasa Indonesia (2003:588) menjelaskan, “Konsep

adalah ide abstrak yang dapat digunakan untuk mengadakan klasifikasi atau penggolongan yang pada umumnya dinyatakan dengan suatu istilah atau rangkaian kata.” Konsep bertujuan untuk merumuskan istilah yang digunakan secara mendasar dan penyamaan persepsi tentang apa yang akan diteliti serta menghindari salah pengertian yang dapat mengaburkan penelitian.

2.2.1 Kebudayaan

Ada beberapa pengertian budaya menurut beberapa ahli salah satu diantaranya adalah tokoh terkenal Indonesia yaitu Koentjaraningrat. Menurut Koentjaraningrat (2000: 181) kebudayaan dengan kata dasar budaya berasal dari bahasa sansakerta ”buddhayah”, yaitu bentuk jamak dari buddhi yang berarti “budi” atau “akal.” Jadi Koentjaraningrat mendefinisikan budayasebagai “daya budi” yang berupa cipta, karsa dan rasa, sedangkan kebudayaan adalah hasil dari cipta, karsa, dan rasa itu.

Koentjaraningrat menerangkan bahwa pada dasarnya banyak yang membedakan antara budaya dan kebudayaan, dimana budaya merupakan perkembangan majemuk budi daya, yang berarti daya dari budi. Pada kajian antropologi, budaya dianggap merupakan singkatan dari kebudayaan yang tidak ada perbedaan dari definsi. Jadi kebudayaan atau disingkat budaya, menurut Koentjaraningrat(1999) merupakan keseluruhan sistem gagasan, tindakan dan hasil karya manusia dalam rangka kehidupan masyarakat yang dijadikan milik diri manusia dengan belajar. Koentjaraningrat membedakan adanya tiga wujud dari kebudayaan yaitu sebagai berikut.

(22)

12 2.2.1.1 Artefak

Artefak (benda). Aktivitas manusia yang saling berinteraksi tidak lepas dari berbagai penggunaan peralatan sebagai hasil karya manusia untuk mencapai tujuannya. Aktivitas karya manusia tersebut menghasilkan benda untuk berbagai keperluan hidupnya.

Kebudayaan dalam bentuk fisik yang kongkret biasa juga disebut kebudayaan fisik, mulai dari benda yang diam sampai pada benda yang bergerak. Seperti halnya Pada meja altar meja Kwan Im umumnya ditempatkan rupang (patung), bunga, air suci, dupa, lampu, lilin, musik, gelas-gelas kecil berwarna merah, tumbuhan. Lalu pada bagian bawah altar sembahyang meja Dewi Kwan im biasanya ditempatkan rupang Dewa Tanah, berserta ornamen kodok, buah-buahan, gelas-gelas kecil berwarna merah, dupa, ornamen Dewa Tanah.

2.2.1.2 Kegiatan

Kompleks kegiatan: berupa aktivitas manusia yang saling berinteraksi, bersifat kongkret, dapat diamati atau diobservasi. Wujud ini sering disebut sistem sosial. Sistem sosial ini tidak dapat melepaskan diri dari sistem budaya. Apa pun bentuknya, pola-pola aktivitas tersebut ditentukan atau ditata oleh gagasan-gagasan, dan pikiran-pikiran yang ada di dalam kepala manusia. Karena saling berinteraksi antara manusia, maka pola aktivitas dapat pula menimbulkan gagasam, konsep, dan pikiran baru serta tidak mustahil dapat

(23)

13

diterima dan mendapat tempat dalam sistem budaya dari manusia yang berinteraksi tersebut. Seperti aktivitas sembahyang dan pembersihan rupang (patung) Buddha yang dilakukan oleh masyarakat Tionghoa.

2.2.1.3 Gagasan

Kompleks gagasan, konsep, pikiran manusia: wujud ini disebut sistem budaya, sifatnya abstrak, tidak dapat dilihat, dan bersifat pada kepala-kepala manusia yang menganutnya. Gagasan dan pikiran tersebut tidak merupakan kepingan-kepingan yang terlepas, melainkan saling berkaitan berdasarkan asas-asas yang erat hubungannya, sehingga menjadi sistem gagasan dan pikiran yang relative mantap dan kontinyu. Seperti pada masyarakat Tionghoa yang percaya pada rupang (patung) Buddha terdapat roh di dalamnya dan menghormat kepada archa Buddha sebagai usaha untuk mencapai kesejahteraan, kemakmuran dan kebahagiaan hidup yang dicapai dengan hidup secara harmonis dengan alam dan merenungkan semua kebajikan yang telah dilakukan Sang Buddha selama hidupNya. Umat kemudian bertekad untuk meniru beberapa kualitas kebajikan itu. Umat dapat bertekad untuk meniru dalam perilaku sehari-harinya sifat kesabaran, welas asih ataupun semangat yang telah Sang Buddha tunjukkan selama hidupnya.

2.2.2 Altar

Altar adalah bangunan apapun di mana (hewan) kurban atau persembahan lainnya dipersembahkan untuk tujuan religius, atau tempat sakral

(24)

14

di mana upacara keagamaan berlangsung. Altar biasanya ditemukan di dalam tempat pemujaan, biara, dan tempat-tempat suci lainnya. Altar ada di berbagai kebudayaan, terutama di dalam agama Katolik Roma, agama Kristen, agama Buddha, Hindu, Shinto, Tao dan Neopaganisme. Bangunan ini juga ditemukan di agama-agama kuno lainnya. Altar dibutuhkan untuk sarana tempat ibadah sembahyang pribadi, keluarga, maupun tempat belajar Dhamma. Untuk itu setiap umat Buddha Mahayana sudah seyogyanya memiliki altar di rumah. Altar boleh diletakkan dimana saja, tapi lebih baik menghadapke luar dan pantang menghadap toilet maupun dapur. Ukuran tinggi dan lebar altar yang paling baik adalah 68 cm, 88 cm, 108 cm, 128 cm, 133 cm, 153 cm, atau 176 cm dan harus disesuaikan dengan tinggi rendah pemilik altar serta keperluan dan kondisi ruangan.

Di rumah-rumah pribadi, umumnya ada dua jenis utama dari altar. Satu dapat dianggap sebagai altar "wali". Pintu utama dan patung-patung di atasnya melindungi pintu masuk ke rumah. Mereka menyambut pengunjung serta menjadi malaikat penjaga pribadi, dan energi positif mereka melawan setiap energi berbahaya halus yang mungkin masuk, seperti pikiran negatif atau niat tidak ramah. Jenis lain dari altar adalah altar "keluarga", yang biasanya ditempatkan di ruang yang lebih tertutup. Idealnya, adalah di ruang yang terpisah di mana orang dapat menghabiskan waktu dalam meditasi atau doa.

(25)

15

Gambar 1. Altar Sembahyang Dewi Kwan Im Sumber: Jln. Selam 8 No.80, Medan

Gambar 2. Altar Sembahyang Dewi Kwan Im Sumber: Jln. Terong No. 48C, Medan

(26)

16

Gambar 3. Altar Sembahyang Dewi Kwan Im Sumber: Jln. Belitung No.36, Medan

2.2.3 Sembahyang

Istilah sembahyang berasal dari kata “sembah” dan “hyang” artinya menyembah atau memuja hyang. Meskipun kini digunakan sebagai ibadah beberapa agama di Indonesia, istilah ini memiliki akar pada pemujaan arwah leluhur dan roh-roh penjaga alam yang disebut hyang

Sembahyang

yang kemudian dikaitkan dengan dewa-dewa dalam kepercayaan Hindu.

adalah suatu bentuk kegiatan keagamaan yang menghen-daki terjalinnya hubungan dengan Tuhan,dewa, roh atau kekuatan gaib yang dipuja, dengan melakukan kegiatan yang disengaja. Sembahyang dapat dilakukan secara bersama-sama atau perseorangan. Dalam beberapa tradisi agama, sembahyang dapat melibatkan nyanyian berupa himne, tarian, pembacaan naskah agama dengan dinyanyikan atau disenandungkan,

(27)

17

pernyataan formal kredo(kepercayaan), atau ucapan spontan dari orang yang berdoa. Bersembahyang diartikan sebagai bentuk komunikasi antara manusia dengan para leluhur, shen ming (roh suci) dan Tian (Tuhan Yang Maha Esa).Arti sembahyang tersebut didalam mahayana adalah sebagai berikut:

1. Mendekatkan diri pada yang Esa/Suci/Buddha dan Bodhisattva, 2. Membina jiwa menuju jalan ke surga,

3.Mengembangkan daya kemampuan diri/ belajar menjadi kuat, 4.Memahami ajaran agama kita,

5.Laksanakan dalam bentuk perbuatan nyata/ kehidupan sehari-hari.

2.2.4 Dewi Kwan Im

Sanskrit, padma-pani, atau “lahir dari bunga teratai.” Namanya menandakan “dia yang selalu mengamati atau memperhatikan suara”, yaitu dia yang mendengar doa-doa. Dewi China yang rahmat, kadang-kadang direpresentasikan dalam pakaian putih dengan anak dalam pelukannya, dan disembah oleh orang-orang yang menginginkan keturunan, sesuai dengan Avalokites vara Buddhisme.

Kwan Im pertama diperkenalkan ke Cina pada abad pertama sebelum Masehi, bersamaan dengan masuknya agama Buddha. Pada abad ke-7, Kwan Im mulai dikenal di Korea dan Jepang karena pengaruh Dinasti Tang. Pada masa yang sama, Tibet juga mulai mengenal Kwan Im dan menyebutnya dengan nama Chenrezig. Dalai Lama sering dianggap sebagai reinkarnasi dari Kwan Im di dunia.

(28)

18

Jauh sebelum masuknya agama Buddha, menjelang akhir Dinasti Han, Kwan Im Pho Sat telah dikenal di Tiongkok purba dengan sebutan Pek Ie Tai Su yaitu Dewi Welas Asih Berbaju Putih. Kwan Im sendiri adalah dialek Hokkian yang dipergunakan mayoritas komunitas Cina di Indonesia. Nama lengkap dari Kwan Im adalah Kwan She Im Phosat atau Guan Shi Yin Pu Sa yang merupakan terjemahan dari nama aslinya dalam bahasa Sanskrit,Avalokitesvara.

Tokoh Kwan Im merupakan tokoh Mahayana dan dipercayai telah menitis beberapa kali dalam alam manusia untuk memimpin umat manusia ke jalan kebenaran. Dia diberikan sifat-sifat keibuan seperti penyayang dan lemah lembut.Kwan Im adalah Dewi kesuburan yang memberi dampak terbesar di dunia manusia, dan banyak kuil dibangun untuk menghormatinya. Kwan Im biasanya digambarkan sebagai dewi yang cantik, beribawa, dan pengasih.

2.2.5 Masyarakat Tionghoa

Koenjaraningrat(2002:146) Mengatakan bahwa masyarakat adalah kesatuan hidup manusia yang berinteraksi menurut suatu sistem adat-istiadat tertentu yang bersifat kontiniu yang terikat oleh suatu rasa identitas bersama .

Masyarakat Tionghoa merupakan salah satu kelompok masyarakat yang ada di Indonesia. Tionghoa adalah sebutan untuk orang-orang dari suku-suku atau ras Tiongkok. Masyarakat Tionghoa sudah ada di Sumatera Utara sejak tahun 1860-an, tetapibelum ramai. Namun, semakin ramai ketika banyak

(29)

19

buruh-buruh dariChina di datangkan sebagai buruhkuli kontrak sejak abad ke19.Sejak itu lah Medan ramai ditempati Masyarakat Tionghoa. Masyarakat Tionghoa yang berada di Indonesia terdiri dari beberapa sukubangsa yang berasal dari dua propinsi yaitu provinsi Fukien bagian selatan dan provinsi Guandong. Setiap imigran ke Indonesia membawa kebudayaan suku-bangsanya sendiri-sendiri bersama dengan perbedaan kesukuan mereka.

Di Medan ada terdapat beberapa suku Tionghoa ialah Hokkien, Teo-Chiu, Hakka, Kwong Fu, dan Ai Lo Hong, yang memiliki perbedaan bahasa yang besar. Masyarakat Tionghoa di kota Medan terdiri dari berbagai kelompok suku bangsa dan satu hal yang dapat membedakan kesukuan mereka adalah bahasa pergaulan yang mereka gunakan.Awal kedatangan masyarakat Tionghoa ke Sumatera Utara adalah menjadi kuli kontrak, dan buruh kebun bagi orang belanda melalui penyalur yang berasal dari Cina dan disalurkan ke Indonesia, khususnya Kota Medan. Hingga akhir bangsa Belanda mengakui kekalahannya dan meninggalkan Indonesia

Kedatangan Masyarakat Tionghoa ke Indonesia juga dipengaruhi oleh berbagai kegiatan yang berhubungan dengan kegiatan ekonomi yaitu perdagangan. Sebagaimana yang di ketahui, masyarakat Tionghoa merupakan masyarakat yang cukup pintar dalam berdagang. Hal ini sudah turun temurun diwariskan oleh nenek moyang orang Tionghoa itu sendiri. Kemudian masyarakat Tionghoa itu menyebar dan persebarannya meliputi pulau Sumatera, Jawa, Kalimantan dan Sulawesi. Masyarakat Tionghoa di Indonesia adalah masyarakat patrilineal yang terdiri atas marga atau suku yang tidak

(30)

20

terkait secara geometris dan teritorial yang selanjutnya telah menjadi satu dengan suku-suku lainnya di Indonesia.

Masyarakat Tionghoa merupakan masyarakat yang cukup terkenal dengan kebudayaan yang beragam. Seperti seni tulis atau kaligrafi, seni menggunting kertas, pengobatan, seni bela diri,seni opera atau teater, seni musik tradisional, hingga tradisi pemujaan leluhur maupun dewa-dewi yang sampai saat ini masih dilakukan oleh sebagian besar masyarakat Tionghoa.

2.2.6 Agama Buddha

Agama Buddha pada awal berdirinya dimulai dari pembawanya, yaitu Siddharta Gautama. Bahwa beliau telah memperoleh kesadaran sebagai seorang Buddha. Beliau dilahirkan dari seorang keturunan kerajaan Kapilavastu. Ayahnya bernama Sudhodana dan Ibunya Dewi Mahamaya. Agama Buddha kini menjadi sebutan sebuah agama besar yang berkembang di dunia dan besar pengaruhnya. Agama Buddha merupakan agama Ardhi (dunia), yang berkembang pesat pada saat pemerintahan raja Asoka di India kala itu. Sebenarnya tidak diketahui secara pasti kapan agama Buddha masuk ke Tiongkok dari India, namun pada abad pertama, yaitu bagian pertama dari dinasti Han akhir (25-220), bisa dipastikan bahwa agama Buddha sudah hadir dan penyebarannya di Tiongkok dimulai pada abad keempat.

Masuknya agama Buddha di Indonesia terjadi sekitar awal abad pertama atau saat dimulainya perdagangan melalui jalur laut. Kerajaan Srivijaya (Sriwijaya) merupakan asal mula peranan kehidupan Agama Buddha

(31)

21

di Indonesia, dimulai pada zaman Srivijaya di Suvarnadvipa (Sumatera) pada abad ke-7. Hal ini terlihat pada catatan seorang sarjana dari China bernama I-Tsing yang melakukan perjalanan ke India dan Nusantara serta mencatat perkembangan agama Buddha di sana. Biarawan Buddha lainnya yang mengunjungi Indonesia adalah Atisa, Dharmapala, seorang Profesor dari Nalanda, dan Vajrabodhi, seorang penganut agama Buddha yang berasal dari India Selatan (id.wikipedia.org/wiki/Agama_Buddha).

Secara umum, ajaran Buddha terbagi dalam tiga aliran, yakni Theravada/Hinayana (pencapaian tertinggiArahat), Mahayana (pencapaian tertingginya menjadi Bodhisatva), dan Tantrayana/vajrayana (pencapaian tertingginya menjadi Buddha). Dikalangan penganut agama klasik Tiongkok (shen-isme), Buddha Amitabha dan Guan Yin adalah dewa-dewa (dari agama Buddha mazhab Jinglu) yang sangat terkenal dan dipuja. Guan Yin merupakan salah satu dewi pada aliran Mahyana. Guan Yin adalah pembantu utama Buddha Amitabha dan perwujudan Boddhisatva Avalokiteshvara, yang sekarang lebih dikenal dalam bentuk perempuan dan bukan pria seperti asal Boddhisatva(Radis Bastian. 2014).

2.3 Landasan Teori

Teori adalah landasan dasar keilmuan untuk mengkaji maupun menganalisis berbagai fenomena dan juga sebagai rujukan utama dalam memecahkan masalah penelitian di dalam ilmu pengetahuan. Sejalan dengan hal tersebut maka di dalam sebuah penelitian membutuhkan landasan teori yang mendasarinya, karena landasan teori merupakan kerangka dasar sebuah

(32)

22

penelitian. Landasan teori yang berhubungan dengan permasalahan penelitian yang penulis gunakan adalah teori semeotik dan teori 3 wujud budaya.

2.3.1 Teori Semiotik

Semiotik berasal dari bahasa Yunani yaitu semeion yang berarti tanda. Kajian keilmuan yang meneliti mengenai simbol atau tanda dan konstruksi makna yang terkandung dalam tanda tersebut dinamakan dengan Semiotik.

Little John(2009:53) mengatakan bahwa semiotik terdiri atas sekumpulan teori tentang bagaimana tanda-tanda merepresentasikan benda, ide, keadaan, situasi, perasaan dan kondisi di luar tanda-tanda itu sendiri. Semiotik bertujuan untuk mengetahui makna-makna yang terkandung dalam sebuah tanda atau menafsirkan makna tersebut sehingga diketahui bagaimana komunikator mengkonstruksi pesan. Konsep pemaknaan ini tidak terlepas dari perspektif atau nilai-nilai ideologis tertentu serta konsep kultural yang menjadi ranah pemikiran masyarakat di mana simbol tersebut diciptakan. Kode kultural yang menjadi salah satu faktor konstruksi makna dalam sebuah simbol menjadi aspek yang penting untuk mengetahui konstruksi pesan dalam tanda tersebut. Konstruksi makna yang terbentuk inilah yang kemudian menjadi dasar terbentuknya ideologi dalam sebuah tanda. Sebagai salah satu kajian pemikiran dalam cultural studies, semiotik tentunya melihat bagaimana budaya menjadi landasan pemikiran dari pembentukan makna dalam suatu tanda. Kriyantono (2007:261) mengatakan bahwa semiotik mempelajari sistem-sistem, aturan-aturan, konvensi-konvensi yang memungkinkan tanda-tanda tersebut mempunyai arti.

(33)

23

Mengenai sebuah kajian ilmu atau sebuah teori, maka tidak bisa terlepas dari tokoh-tokoh yang mencetuskan kajian tersebut. Salah satunya ialah Roland Barthes,Roland Barthes (1915-1980) mengemukakan, dalam teorinya tersebut Barthes mengembangkan semiotika menjadi dua tingkatan pertandaan, yaitu tingkat denotasi dan konotasi. Denotasi adalah tingkat pertandaan yang menjelaskan hubungan penanda dan petanda pada realitas, menghasilkan makna eksplisit, langsung, dan pasti. Konotasi adalah tingkat pertandaan yang menjelaskan hubungan penanda dan petanda yang di dalamnya beroperasi makna yang tidak eksplisit, tidak langsung, dan tidak pasti (Yusita Kusumarini, 2006).

Penulis menggunakan teori semiotik yang dikemukakan oleh Roland Barthes untuk menganalisis artefak pada altar sembahyang Dewi Kwan Im. Dalam hal ini pemaknaan artefak dikaji melalui dua aspek iyama yang makna denotatif dan makna konotatif.

2.3.2 Teori Tiga Wujud Budaya

Tindakan dan aktivitas manusia terangkai dalam suatu perbuatan yang berpola. Sebagai suatu sistem ide dan konsep dari serangkaian kerangka tindakan dan aktivitas manusia apabila dirumuskan akan tampak sebagai berikut. (Talcot Parsons dan A.L Krober: 1958), demikian juga dikemukakan oleh J.J Honigmann (1959) .

1. Ideas

Wujud kebudayaan sebagai suatu kompleks dari ide, gagasan, nilai, norma, dan peraturan. Sifat ini sesuai dengan wujud dasarnya masih

(34)

24

merupakan sesuatu yang abstrak dan tidak dapat digambarkan secara nyata. Sebagaian masih berupa kerangka pemikiran dalam otaknya. Sebagianlain dari padanya berupa kerangka perilaku yang ideal yang memberikan corak dan jiwa serta tatanan kehidupan yang serasi, seimbang dan selaras. Sistem demikian ini tidak lain berupa tatanan norma ideal, pada beberapa masyarakat disebut sebagai adat atau adat-istiadat, bersifat umum, dan turun-menurun. Apabila dilanggar, akan menimbulkan suatu rasa yang tidak enak dalam benaknya.

2. Activities

Wujud kebudayaan sebagai suatu kompleks aktivitas serta tindakan berpola dari manusia dalam masyarakat. Termasuk dalam kategori ini adalah tatanan manusia dalam hidup bersosialisasi dan berkomunikasi, serta bergaul di antara sesamanya. Berbeda dengan sistem budaya, wujud kebudayaan berpola ini sangatgampang dilihat bahkan dapat didokumentasikan karena ia tampak nyata dalam perilaku.

3. Artefacts

Wujud kebudayaan sebagai benda-benda hasil karya manusia. Wujud kebudayaan ini lebih konkret lagi dan cenderung tidak memerlukan penjelasan apa pun. Benda hasil kerajinan misalnya, dapat dirasa, disentuh dan difoto.

Penulis menggunakan teori tiga wujud budaya yang dikemukakan oleh J.J. Honigmann untuk menganalisis artefak, kegiatan, dan gagasan pada altar sembahyangDewi Kwan Im. Dimulai dari artefak, kemudian aktivitas, dan terakhir adalah gagasan apa yang menyebabkan aktivitas dan munculnya artefak pada altar tersebut.

(35)

25 .

(36)

26 BAB III

METODE PENELITIAN

3.1 Metode Penelitian

Metode penelitian merupakan langkah atau tahapan yang dilakukan dalam sebuah penelitian. Tahapan tersebut diawali dengan menggunakan sebuah pendekatan sampai pada teknik pengumpulan data serta teknik analisis data. Pendekatan sering disamakan dengan metode, tetapi jika ditelusuri lebih lanjut maka pendekatan akan lebih dekat dengan pembicaraan suatu ilmu,sedangkan metode mengarah pada teknik pengumpulan dan penganalisisan data. Dalam metode penelitian pada dasarnya peneliti mengungkapkan sejumlah cara yang disusun secara sistematis, logis, rasional dan terarah tentang bagaimana pekerjaan sebelum, ketika dan sesudah mengumpulkan data sehingga diharapkan maupun menjawab secara ilmiah perumusan masalah yang telah ditetapkan. Metode penelitian yang digunakan dalam meneliti artefak, kegiatan dan gagasan altar sembahyang Dewi Kwan Im pada rumah masyarakat Tionghoa Buddha di Medan adalah metode deskriptif dengan menggunakan pendekatan kualitatif.

Sukmadinata (2006:72) menjelaskan Penelitian deskriptif adalah suatu bentuk penelitian yang ditujukan untuk mendeskripsikan fenomena-fenomena yang ada, baik fenomena alamiah maupun fenomena buatan manusia. Fenomena itu bisa berupa bentuk, aktivitas, karakteristik, perubahan, hubungan, kesamaan, dan perbedaan antara fenomena yang satu dengan fenomena lainnya.

(37)

27

Dengan teknik observasi, penulis melakukan pengumpulan data primer dengan cara pengamatan langsung dan merekam hal-hal yang dapat diamati.

Arief Furchan (1999: 22) menjelaskan metode kualitatif ialah “proses penelitian yang menghasilkan data deskriftif, ucapan atau tulisan atau perilaku yang dapat diamati dari orang-orang itu sendiri, menurut pendapat kami pendekatan ini langsung menunjukan setting dan individu-individu dalam setting itu secara keseluruhan. Subyek penyelidikan baik berupa organisasi atau individu tidak mempersempit menjadi variable yang terpisah atau menjadi hipotesa melainkan dipandang sebagai sebagian dari suatu keseluruhan”.Dari pendapat diatas, dapat dikatakan bahwa pendekatan kualitatif,berusaha mendapatkan data deskriptif, ucapan atau tulisan dan perilaku yang dapat diamati.

3.2 Lokasi Peneltian

Pada lokasi penelitian, penulis hanya memilih beberapa rumah masyarakat Tionghoa yang memilki altar sembahyang Dewi Kwan Im antara lain:

1. Kompleks Cemara Hijau Blok G No.4, Medan, 2. Jln. Terong No.48c, Medan,

3. Gg. Sidomulyo No,11a, Medan, 4. Jln. Gatot Subroto No.66, Medan, 5. Jln. Demak No.5 e/g, Medan, 6. Jln. Belitung No.36, Medan, 7. Jln. Pukat VII No.5A, Medan.

(38)

28

Alasan pemilihan lokasi penelitian ialah karena beberapa rumah masyarakat Tionghoa diatas memiliki perbedaan altar sembahyang yang satu dengan yang lainnya, dan setiap altar sembahyang tersebut mempunyai keunikannya tersendiri.

3.3 Data dan Sumber Data

Data adalah keterangan berdasarkan fakta yang ada disimpan atau dicari untuk mendapatkan kebenaran. Apabila dilihat dari (KBBI 1990:187) data adalah keterangan yang benar dan nyata, yang dapat dijadikan dasar kajian. Data yang digunakan dalam penelitian ini adalah data kualitatif, berupa kata–kata dan tindakan, serta data tambahan seperti dokumentasi dan lain–lain. Datapenelitian kualitatif dapat berupa data bersumber manusia (data primer) dan data di luar manusia (data sekunder).Sumber data primer diperoleh melalui hasil penelitian lapangan di rumah masyarakat Tionghoa yang memiliki altar sembahyang Dewi Kwan Im, sedangkan data sekunder diperoleh melalui buku-buku, jurnal, artikel-artikel yang berhubungan dengan altar sembahyang Dewi Kwan Im, yang kemudian akan dipilah-pilah untuk dijadikan bahan penelitian.

3.4 Teknik Pengumpulan Data

Teknik pengumpulan data adalah cara peneliti memperoleh dan mengumpulkan data. Ada dua teknik pengumpulan data yaitu studi kepustakaan (library research) dan studi lapangan (field research).

(39)

29 3.4.1 Studi Kepustakaan (Library Research)

Nazir(1988: 111) mengatakan bahwa Studi kepustakaan merupakan suatu kegiatan yang tidak dapat dipisahkan dari suatu penelitian.Studi kepustakaan adalah teknik pengumpulan data dengan mengadakan studi penelaahan terhadap buku-buku, literatur-literatur, catatan-catatan, dan laporan-laporan yang ada hubungannya dengan masalah yang dipecahkan. Penulis akan mengumpulkan informasi sebanyak-banyaknya dari kepustakaan yang berhubungan. Sumber-sumber kepustakaan dapat diperoleh dari: buku, jurnal, majalah, hasil-hasil penelitian (tesis dan disertasi), dan sumber-sumber lainnya yang sesuai (internet, Koran, dan lain-lain). Setelah semua terkumpul terlebih dahulu penulis membaca lalu mengklasifiasikan untuk dijadikan bahan penelitian.

3.4.2 Observasi

Soehartono(1995:69) mengatakan bahwa teknik observasi disebut juga teknik pengamatan yaitu setiap kegiatan yang dilakukan untuk mengukur dengan menggunakan indera penglihatan atau dengan arti lain yaitu melihat tanpa melakukan pertanyaan-pertanyaan. Dalam penelitian ini, penulis secara langsung melakukan observasi/pengamatan di rumah masyarakat Tionghoa yang memiliki altar sembahyang Dewi Kwan Im.

Dalam penelitian ini metode yang dipergunakan adalah metode observasi partisipatif (observasi atau pengamatan terlibat) dengan maksud melakukan penelitian terjun langsung ke lokasi dengan tujuan mendapatkan sumber data sebanyak mungkin.Metode ini digunakan oleh penulis sebelum

(40)

30

melakukan metode interview. Teknik yang digunakan dalam metode observasi ini adalah penulis melakukan observasi langsung pada rumah masyarakat Tionghoa yang memiliki altarsembahyang Dewi Kwan Im.

3.4.3 Wawancara

Burhan Bungin (2001:155) mengatakan bahwa wawancara adalah proses percakapan dengan maksud untuk mengonstruksi mengenai orang, kejadian, organisasi, motivasi, perasaan, dan sebagainya yang dilakukan dua pihak yaitu pewawancara (interviewer) yang mengajukan pertanyaan dengan orang yang diwawancarai (interview).

Koenjaraningrat (1981:136) mengatakan bahwa, “...kegiatan wawancara secara umum dapat dibagi tiga kelompok yaitu: persiapan wawancara, teknik bertanya dan pencatatan data hasil wawancara.”

Dalam melakukan proses wawancara, peneliti sebelumnya telah mempersiapkan pertanyaan dan alat perekam, menentukan informan yang dianggap penulis dapat membantu penulis untuk melengkapi data. Dalam melakukan wawancara, penulis akan menulis dan merekam data yang didapat dari informan.

3.5 Teknik Analisis Data

Dalam penelitian penulis menggunakan pengolahan data kualitatif. Data bermuatan kualitatif disebut juga dengan data lunak. Data semacam ini diperoleh melalui penelitian yang menggunakan pendekatan kualitatif, atau penilaian kualitatif. Keberadaan data bermuatan kualitatif adalah catatan

(41)

31

lapangan yang berupa catatan atau rekaman kata-kata, kalimat, atau paragraf yang diperoleh dari wawancara menggunakan pertanyaan terbuka, observasi partisipatoris, atau pemaknaan peneliti terhadap dokumen atau peninggalan. Data kualitatif terdiri atas kata-kata, kalimat dan deskripsi dan bukannya angka-angka. Langkah-langkah dalam menganalisis data dalam penelitian ini yaitu:

1. Mengumpulkan data yang bersumber dari kepustakaan dan lapangan yang dikumpulkan menjadi satu oleh penulis,

2. Melakukan observasi lapangan ketempat penelitian,

3. Penulis akan melakukan wawancara kepada masyarakat Tionghoa yang memilki altar sembahyang Dewi Kwan Im,

4. Berdasarkan data-data yang diambil, lalu penulis menganalisis data dengan menggunakan teori semiotik dan teori tiga wujud budaya yang harus berifat logis, deskriptif dan menjelaskan.

5. Merangkum data yang telah didapat agar selanjutnya data telah didapat agar selanjutnya data tersebut dapat dijadikan sebagai penunjang dalam pembuatan skripsi.

(42)

32 BAB IV

GAMBARAN UMUM SISTEM RELEGI MASYARAKATTIONGHOA MEDAN

4.1 Macam-macam Sistem Religi Masayarakat Tionghoa

Kebudayaan Tionghoa merupakan hasil dari pola pikir masyarakat etnis Tionghoa yang membentuk satu kesatuan kepentingan sehingga dapat mencitrakan masyarakat Tionghoa sebagai pelaku utama kebudayaan Tionghoa. Hal yang mendasar dari tradisi dan budaya Tionghoa adalah penghormatan terhadap leluhur dan ajaran-ajarannya.

Aspek religi/kepercayaan merupakan bagian penting dari kehidupan masyarakat Tionghoa. Agama-agama masyarakat Tionghoa berorientasi pada sistem kekeluargaan tanpa menuntut ketaatan secara eksklusif seperti yang terdapat pada agama-agama samawi (agama-agama langit). Agama yang tumbuh dan berkembang pada masyarakat Tionghoa disebut Tridharma. Tridharma terdiri atas tiga aliran kepercayaan, yakni Konfusianisme (Khonghucu), Taoisme, dan Buddhisme.

4.1.1Khonghucu

Agama Konfusius, atau Khonghucu atau Konfusianisme,adalah agama yang tertua di Cina. Istilah agama Kong Fu Zi atau Konfusianisme diberikan oleh Matteo Riccai, seorang misionaris Yesuit yang datang ke Cina pada abad ke-17. Sebutan resmi bagi agama Kong Fu Zi ini adalah agama Ru (Ru Jiao). Kong Fu Zi diambil dari ejaan Pin Yinyang merupakan ejaan baku bahasa

(43)

33

Mandarin. Istilah Kong Hu Cu (Kong Fu Zi), agama Khonghucu (agama Ru Kong Fu Zi) yang dikenal di Indonesia adalah diambil dari dialek Hokkian (Fujian).

Agama Khonghucu adalah agama yang dahulunya mengambil nama nabi Khongcu (Kongzi/ Kong Fu Zi) yang lahir pada tanggal 27 Pig Gwee (ada yang menghitung bertepatan dengan tanggal 3 Oktober, ada yang menetapkan tanggal 28 September) 551 SM dikota Tsou, negeri Lu (Propinsi Shantung, salah satu propinsi di negara Republik Rakyat Cina (RRC) sekarang).

Istilah dan pengertian iman dalam agama Khonghucu ialah Sing. Kata

Sing ini menurut asalnya terdiri dari rangkaian antara kata Gan dan Sing. Gan

berarti bicara, sabda, kalam dan Sing berarti sempurna. Karena itu pengertian

Sing mengandung makna sempurna kata, batin dan perbuatan. Di dalam

kehidupan beragama, umat Khonghucu wajib memiliki Sing atau iman terhadap kebenaran ajaran agama yang dipeluknya.

Agama Khonghucu memberikan pengertian, bahwa kesusilaan merupakan pokok daripada perilaku manusia. Selaras dengan itu, maka tujuan terakhir daripada agama khonghucu ialah membentuk manusia susilawan (Kuncu/Chun Tzu). Maka ada empat pantangan (Si Wu) yang harus dijaga dalam menjalankan hidup susila yakni: “Yang tidak susila jangan dilihat, yang tidak susila jangan didengar, Yang tidak susila jangan dibicarakan, dan Yang tidak susila jangan dilakukan”(Lun GiXII: I).

Adapun ajaran etika dalam agama Khonghucu yang diterapkan kehidupan sehari-hari yaitu ajaran mengenai delapankebajikan (Pat Tik) yang terdiri dari:

(44)

34 1. Laku bakti/Berbakti (Siau/Hau)

Siau/Hau dapat diartikan rasa bakti yang tulus kepada orang tua, guru

dan leluhur. Yang dimaksud dengan laku bakti ialah kewajiban-kewajiban yang dilimpahkan terhadap orang tua dan para leluhur sesuai dengan kesusilaan, yaitu memberikan pemeliharaan yang disertai sikap hormat. Ada tiga kewajiban utama dalam menjalankan laku bakti, yakni:

a. Dikala orang tua masih hidup, memberikan pemeliharaan sesuai dengan kesusilaan.

b. Saat orang tua meninggal, melakukan pemakaman sesuai dengan kesusilaan.

c. Setelah orang tua meninggal, melakukan peribadahan sesuai dengan kesusilaan.

2. Rendah hati (Thi/Tee)

Thi/Tee dapat diartikan sebagai rasa hormat terhadap yang lebih tua di

antara saudara. Maksudnya dalam kehidupan rumah tangga seorang adik harus dapat menghormati kakaknya. Demikian juga dalam pergaulan sehari-hari, yang muda menghormati yang lebih tua.

3. Satya (Cung/Tiong)

Cung/Tiong adalah semangat menepati tugas, kewajiban, kedudukan

dan fungsi, serta setia sebagai manusia, mencintai tanah air, setia kepada pekerjaan dan sebagainya.

4.Susila (Lee/Li)

Lee/Li dapat diartikan sebagai sopan santun, tatak rama, dan budi

(45)

35

mematuhi tata susila, adat sopan santun, kewajiban ibadah dan segala sesuatu yang menyangkut tata kehidupan manusia sehingga menciptakan suasana yang tertib, rapi, indah dan khusyu. Li merupakan sesuatu yang mutlak diperlukan sebagai pedoman lahiriah dalam kehidupan manusia untuk mencapai keharmonisan baik keluarga, masyarakat, negara maupun dunia.

5. Menjunjung kebenaran (I/Gi)

I/Gi dapat diartikan sebagai rasa solidaritas, rasa senasib dan

sepenangngan, dan mau membela kebenaran serta menolak hal-hal yang dirasakan tidak baik dalam hidup.

6. Suci hati (Lien/Liam)

Lien/Liam dapat diartikan membersihkan diri dari naluri-naluri negatif

seperti iri, dengki, hanya mementingkan diri sendiri, dan berbagai cacat-cacat rendah budi lainnya.

7.Dapat dipercaya (Sin)

Sindapat diartikan kepercayaan, rasa untuk dapat dipercaya atau dapat

menepati janji, orang yang dapat menepati janji amat disegani oleh orang lain, namun orang yang tidak dapat menepati janji akan dibenci orang lain. Untuk dapat disenangi orang lain, orangharus memiliki Sin.

8. Tahu malu (Che/Thi)

Che/Thidiartikan dapat menahan diri untuk tidak melakukanhal-hal

yang amoral atau hal-hal yang dapat merusak moral.Yang dimaksud dengan tahu malu ialah tahu memilah diantara perbuatan-perbuatan yang sepantasnya dilakukan maupun yang tidak sepantasnya dilakukan sesuai dengan

(46)

36

kesusilaan.Dengan tahu malu maka manusia berani mengakui kesalahannya, berani melakukan intropeksi diri dan memperbaiki diri secara sadar.

Kedelapan sifat Pat tik banyak diajarkan kepada anak-anak Khonghucu oleh orang tuanya dalam kehidupan sehari-hari. Penanaman sifat itu tampak khas sekali dalam keluarga yang menganut ajaran Khonghucu secara tradisional. Bila ajaran itu diberikan kepada seorang anak akan akan menumbuhkan kepatuhan kepada orang tua dan orang lain.

4.1.2 Taoisme

Taoisme berkaitan dengan keadaan kerajaan Chou (abad ke 6 SM) yang mengalami masa kehancuran, akibat penyelewengan dalam pemerintahan. Kehidupan manusia semakin menderita, membuat orang-orang terpelajar kecewa. Kemudian dari sebagian mereka hidup menyendiri dan hidup sebagai biarawan, lalu mendirikan suatu aliran filsafat yang dikenal dengan nama Taoisme atau Tao Te Chia.

Tokoh pertama atau Peletak dasar ajaran Taoisme adalah Yang Chu, kemudian dipopulerkan oleh Lao Tzu. Menurut tradisi kepustakaan Cina, Lao Tzu disebutkan sebagai pendiri Taoisme. Kemudian yang meneruskan ajaran Taoisme adalah Chuang Tzu murid pertama dari Lao Tse.

Menurut kepustakaan Cina mengenai nama Taoisme sebagai filsafat dan Taoisme sebagai agama, masing-masing memiliki ajaran yang berbeda. Taoisme sebagai filsafat atau Tao Chiamengajarkan agar manusia hidup mengikuti hukum alam, sedangkan Taoisme sebagai agama atau Tao Mao mengajarkan agar manusia tidak menentang hukum alam. Kemudian dalam

(47)

37

perkembangan keduanya tidak berbenturan, karena praktek dan pemaknaan agama dan filsafat di China tidak memiliki garis atau sekat yang jelas dalam kehidupan sehari-hari.(Soejono Soemargono, 1990).

Filsafat Taoisme dapat dikatakan empiris dan juga praktis. Empiris, karena konsepsi kefilsafatannya merujuk pada fenomena alam yang mudah ditangkap dan diamati oleh manusia,misalnya bagaimana sifat air dan matahari yang dapat memberi makna simbolik bagi kehidupan manusia di alam semesta. Praktis, karena isi pemikiran Taoisme berisikan tentang cara hidup yang seharusnya dalam kehidupan sehari-hari, seperti kasih sayang sesama, keadilan, dan kejujuran.Taoisme mengajarkan bahwa untuk mencapai kebahagian manusia harus hidup dengan Wu Wei artinya tidak berbuat apa-apa yang bertentangan dengan alam. Sesuai dengan ajaran itu maka manusia yang paling berbahagia menurut ajaran Taoisme adalah mereka yang hidup dengan alam seperti para petani, nelayan, dan para biarawan. (Tamburaka, 1999:248).

4.1.3Buddha

Agama Budha lahir dan berkembang pada abad ke 6 SM agama itu beroleh nama dari panggilan yang diberikan kepada pembangunnya yang mula-mula Siddhartha Gautama (563-487 SM) yang dipanggil dengan Budha. Secara etimologi perkataan "Budha" berasal dari kata "bhud" yang artinya "bangun" orang Budha ialah orang "yang bangun" artinya orang yang telah bangun dari malam kesesatan dan sekarang ada di tengah cahaya yang benar.

Ajaran agama Budha tidak bertitik tolak dari ajaranketuhanan melainkan berdasarkan kenyataan-kenyataan hidup yang dialami manusia,

(48)

38

yang mana kehidupan manusia itu tidak terlepas dari dukha. Ketika hidupnya Sang Budha ia selalu menolak mempersoalkan tentang Tuhan. Namun kepada para pengikutnya ia selalu menganjurkan agar mengamalkan sila-sila ke-Tuhanan. Inti dari ajaran Siddharta (Buddha) Tri Ratna atau Tiga Mustika,Tri Ratna adalah sebagai berikut:

a. Buddha

Buddha berarti seorang yang telah mencapai penerangan atau pencerahan sempurna dan sadar akan kebenaran kosmos serta alam semesta. Ajaran tentang Budha menekankan pada bagaimana umat Budha memandang sang Budha Gautama sebagai pendidikan agama Budha dan asas rohani yang dapat dicapai oleh setiap makhluk hidup.

b. Dharma

Ajaran tentang dharma banyak membicarakan tentang masalah-masalah yang dihadapi manusia dalam hidupnya baik yang berkaitan dengan ciri manusia sendiri maupun hubungannya dengan apa yang disebut Tuhan dan alam semesta dengan segala isinya. Dharma mengandung 4 (empat) makna utama:

1. Doktrin

2. Hak, keadilan, kebenaran 3. Kondisi

(49)

39

Buddha Dharma adalah suatu ajaran yang menguraikan hakekat kehidupan berdasarkan Pandangan Terang yang dapat membebaskan manusia dari kesesatan atau kegelapan batin dan penderitaan disebabkan ketidakpuasan. Buddha Dharma meliputi unsur-unsur agama, kebaktian, filosofi, psikologi, falsafah, kebatinan, metafisika, tata susila, etika, dan sebagainya. Tripitaka Mahayana termasuk dalam Buddha Dharma.

c. Sangha

Ajaran tentang Sangha selain mengajarkan bagaimana umat Budha memandang Sangha sebagai pesamuan para Bhikku, juga berkaitan dengan umat Budha yang menjadi tempat para Bhikkhu menjalankan dharmanya.

4.2 Altar Sembahyang

Altar dibutuhkan untuk sarana tempat ibadah/sembahyang pribadi, keluarga, maupun untuk tempat belajar Dharma. Jika kondisi memungkinkan, lebih baik di rumah menyediakan sebuah altar dan mengundang satu rupang Guang Shi Yin Pu Sa.

4.2.1 Persyaratan Dasar Penempatan Altar Buddha

Menurut ajaran agama Buddha persyaratan dasar dalam penempatan altarBuddha adalah sebagai berikut.

(1) Tidak boleh dekat dengan toilet (pintu toilet yang ada di rumah harus selalu ditutup).

(50)

40

(3) Tidak boleh diletakkan di atas televisi, di atas kulkas dan lain-lain, tidak boleh diposisikan bertepatan di bawah AC. Jika berdekatan dengan TV atau lingkungan yang agak berisik, bisa membuat satu lemari berpintu, pada saat tidak membakar dupa, pintu lemari ditutup, dan jika pada waktu sembahyang tidak boleh menyalakan TV, tidak boleh menggunakan bahan kaca untuk menutupi rupang (patung) Buddha.

(4) Tidak boleh ditempatkan di kamar tidur suami istri (kecuali suami istri yang telah berusia lanjut).

(5) Kamar tidur sendirian diperbolehkan, tetapi ujung/kaki ranjang tidak boleh menghadap ke altar Guan Shi Yin Pu Sa.

(6) Tidak boleh ditempatkan di balkon yang menonjol keluar yang tidak ada dasar pondasi; kecuali balkon yang ada di ruangan dalam diperbolehkan.

(7) Di bawah altar Guan Shi Yin Pu Sa tidak boleh menaruh benda-benda atau buku-buku lainnya. Umunya, boleh menyimpan buku parrita dan peralatan untuk sembahyang.

(8) Altar Guan Shi Yin Pu Sa jangan terlalu tinggi atau terlalu rendah. Sebaiknya posisi rupang/gambar Buddha ditempatkan sedikit lebih tinggi dari posisi orang yang berdiri di depan altar dan orang tersebut hanya perlu menengadahkan sedikit kepalanya ke atas untuk melihat rupang/gambar. Jika posisi rupang/gambar terlalu rendah, bisa menggunakan sebuah dudukan/tatakan yang dirancang untuk meninggikan posisi/gambar Guan Shi Yin Pu Sa.

(51)

41

(9) Harus ada lampu minyak (harus sering menambahkan minyak, akan bermanfaat bagi mata), ada air (jumlah gelas air yang diperlukan disesuaikan dengan jumlah rupang yang ada; air dalam gelas harus diganti setiap hari, gelas yang digunakan untuk persembahan tidak boleh bersentuhan langsung dengan mulut kita).

(10) Harus ada wadah untuk dupa, setiap pagi dan malam sembahyang menggunakan dupa, sebaiknya mempunyai jadwal tetap untuk sembahyang, umumnya pagi atau malam hari jam 6, jam 8, jam 10, bisa tepat waktu lebih baik.

(11) Sesuaikan dengan kondisi pribadi dalam mempersembahkan buah-buahan segar (apa yang telah dimohon bisa lebih cepat terkabulkan), bunga segar (persembahan bunga segar bisa membuat orang memiliki paras yang cantik).

(12) Bunga segar dan buah-buahan segar yang disembahyangkan jangan lebih dari seminggu, harus diganti dengan yang baru, dan buah maupun bunga harus tetap segar, jika tidak segar, harus segera diganti, jika tidak ada yang segar sebagai pengganti, tidak boleh meletakkan buah yang telah rusak atau bunga yang telah layu di altar Buddha. (13) Posisi altar Buddha sebaiknya ditempatkan menghadap ke utara

(belahan bumi bagian selatan), menghadap ke selatan (belahan bumi bagian utara), jika kondisis tidak memungkinkan, untuk posisi lainnya juga boleh.

(52)

42

4.2.2 Mengundang Kehadiran Guan Shi Yin Pu Sa

Mengundang satu gambar atau rupang Guan Shi Yin Pu Sa umumnya berada dalam posisi berdiri, tangan memegang satu pot suci dan satu ranting daunan; usahakan tidak memilih yang ada gambar naga. Sebaiknya yang masih belum blessing(khai kuang), dibawa pulang ke rumah sendiri dan memohon kepada Guan Shi Yin Pu Sa agar berkenan menempati gambar atau rupang Guan Shi Yin Pu Sa atau akan lebih baik meminta biksu senior untuk melakukan blessing/khai kuang.

Umumnya jika seseorang yang tidak melatih diri dengan baik, tidak mempunyai kemampuan untuk melakukan blessing/khai kuang terhadap gambar/rupang Guan Shi Yin Pu Sa, tetapi anda bisa memohon kepada Guan Yin Pu Sa yang welas asih untuk menempati gambar/rupang Guan Shi Yin Pu Sa.

Ritual dapat dilakukan di hari-hari baik seperti tanggal 1 dan 15 kalender lunar, pagi jam 8, jam 10, jika di pagi hari tidak memungkinkan, juga boleh memilih jam 16:00 sore. Caranya ialah menyiapkan meja dan tempat, setelah memohon kehadiran Guan Shi Yin Pu Sa ke altar, mempersembahkan air, buah-buahan, lampu minyak (pelita), kemudian menyalakan dupa (tiga dupa/hio lebih baik), kedua tangan memegang dupa diangkat sedikit lebih tinggi dari kepala, muka menghadap ke gambar/rupang Guan Shi Yin Pu Sa dan sembahyang tiga kali, kemudian dupa ditancapkan ke dalam tempat dupa (hiolo) yang ada di altar, katakan: “mohon kepada Na Mo Da Ci Da Bei Jiu Ku Jiu Nan Guang Da Ling Gan Guan Shi Yin Pu Sa, berkenan menempati gambar/rupang yang saya XXX persembahkan”. Kemudian lafalkan tujuh kali

(53)

43

Da Bei Zhou dan tujuh kali Xin Jing, kemudian sujud sembah (namaskara) tiga kali, semakin banyak melafalkan Da Bei Zhou dan Xin Jing akan semakin bagus khasiatnya.

4.2.3 Penempatan Altar Sembahyang Ketika Pindah Rumah

Jika hendak pindah rumah, maka altar Buddha harus dipindahkan terlebih dahulu dari rumah lama kerumah yang baru. Dirumah yang lama setelah selesai membakar satu dupa yang terakhir, setelah dupa habis terbakar, kemudian rupang Buddha diturunkan dari altar dan dibungkus dengan baik menggunakan kain merah, yang terpenting di rumah baru kita harus membakar 3 dupa, melafalkan 7 kali Da Bei Zhou, 7 kali Xin Jing, banyak bersujud sembah (namaskara). “mohon kepada Guan Shi Yin Pu Sa yang berwelas asih berkenan datang kerumah baru saya XXX, berkati saya XXX, XXX, saya pasti akan terus melatih diri dengan tekanan dalam menekuni ajaran dharma Buddha”. Terlebih dahulu menempatkan/dipindahkan altar Buddha, baru pindah rumah.

Rupang Buddha yang telah dipindahkan ke rumah baru tidak perlu melakukan blessing/Khai kuang, karena sebelumnya sudah ada Buddha di dalamnya. Oleh karena itu, setelah dipindahkan, sekali menyalakan dupa langsung bisa memohon Buddha menempati Rupang. Oleh karena itu, tidak perlu pengulangan blessing (Khai kuang).

Jikalau melakukan renovasi dan sementara waktu perlu tinggal di tempat lain, sebaiknya dilakukan penempatan altar Guan Shi Yin Pu Sa di

(54)

44

tempat tinggal sementara tersebut, setelah rumah selesai renovasi, barulah pindahkan altar Guan Shi Yin Pu Sa ke rumah yang baru.

4.3 Gambaran Umum Kota Medan dan Masyarakatnya

Kota Medan secara geografis terletak di antara 2 27'-2 47' Lintang Utara dan 98 35'-98 44' Bujur Timur. Posisi Kota Medan ada di bagian Utara Propinsi Sumatera Utara dengan topografi miring ke arah Utara dan berada pada ketinggian tempat 2,5-37,5 m di atas permukaan laut. Luas wilayah Kota Medan adalah 265,10 km2 secara administratif terdiri dari 21 Kecamatan dan 151 Kelurahan. Sarana dan prasarana perhubungan di Kota Medan terdiri dari prasarana perhubungan darat, laut, udara. Transportasi lainnya adalah kereta api. Disamping itu juga telah tersedia prasarana listrik, gas, telekomunikasi, air bersih dan Kawasan Industri Medan (KIM) I. Sebagai daerah yang berada pada pinggiran jalur pelayaran Selat Malaka, Kota Medan sebagai ibukota Provinsi Sumatera Utara memiliki posisi strategis.

Medanadalah salah satu kota dengan masyarakat majemuk yang multicultural. Masyarakatnya terdiri dari kelompok-kelompok yang berbeda berakulturasi, dengan menghargai pluralisme sebagai keragaman budaya untuk tetap dilestarikan. Penduduk Kota Medan memiliki ciri penting yaitu yang meliputi unsur agama, suku etnis, budaya dan keragaman (plural) adat istiadat. Hal ini memunculkan karakter sebagian besar penduduk Kota Medan bersifat terbuka. Keanekaragaman yang ada di Kota Medan membuat Kota Medan dinobatkan menjadi kota multikultural yang damai dan berjalan harmonis (Waspada, 2007). Penyebaran suku bangsa di Kota Medan dapat dilihat dalam Tabel 4.1:

(55)

45 Tabel 4.1

Perbandingan Suku Bangsa di Kota Medan pada Tahun 1930, 1980, 2000

SUKU BANGSA TAHUN 1930 TAHUN 1980 TAHUN 2000

Jawa 24,9% 29,41% 33,03% Batak 10,7% 14,11% -- Tionghoa 35,63% 12,8% 10,65% Mandailing 6,43% 11,91% 9,36% Minangkabau 7,3% 10,93% 8,6% Melayu 7,06% 8,57% 6,59% Karo 0,12% 3,99% 4,10% Aceh -- 2,19% 2,78% Sunda 1,58% 1,90% -- Lain-lain 16,62% 4,13% 3,95%

Sumber: 1930 dan 1980; 2000: BPS Sumut

Dari data diatas dapat dilihat bahwa ditahun 1930-an orang Tionghoa di Kota Medan merupakan masyarakat terbesar bahkan melebihi etnis asli Kota Medan yaitu Melayu. Selanjutnya seiiring perkembangan zaman etnis Tionghoa di Koa Medan mengalami penurunan walaupun tetap menjadi salah satu etnis terbesar di Kota Medan.

Keberadaan orang Tionghoa di kota Medan bervariasi dan juga dalam jangka waktu yang berbeda. Gelombang pertama dimulai pada abad ke-15, ketika armada perdagangan Tiongkok datang mengunjungi pelabuhan Sumatera Timur dan melakukan hubungan dagang dengan sistem barter. Hubungan ini berlangsung dalam waktu yang cukup lama, sehingga sebagian para pedagang tersebut ada yang menetap di Sumatera Timur.(Benny G. Setiono. 2003).

Gelombang kedua berlangsung pada tahun 1863. Pada saat itu, Belanda mulai bergerak di bidang perkebunan tembakau. Usaha ini terus berkembang, tenaga kerja yang cukup banyak juga semakin dibutuhkan. Pihak Belanda merasa tidak cocok dengan buruh Pribumi. Karena itu, pengusaha perkebunan

Gambar

Gambar 1. Altar Sembahyang Dewi Kwan Im  Sumber: Jln. Selam 8 No.80, Medan
Gambar 3. Altar Sembahyang Dewi Kwan Im  Sumber: Jln. Belitung No.36, Medan
Gambar 5.1.1 rupang dewi Kwan Im
Gambar 5.1.2 Altar Dewi Kwan Im  Sumber : Jln. Pukat VII No.5A
+7

Referensi

Dokumen terkait