• Tidak ada hasil yang ditemukan

Altar Sembahyang Untuk Dewi Kwan Im Pada Rumah Masyarakat Tionghoa Buddha Di Medan: Kajian Terhadap Artefak, Kegiatan, Dan Gagasan Chapter III VI

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Altar Sembahyang Untuk Dewi Kwan Im Pada Rumah Masyarakat Tionghoa Buddha Di Medan: Kajian Terhadap Artefak, Kegiatan, Dan Gagasan Chapter III VI"

Copied!
57
0
0

Teks penuh

(1)

BAB III

METODE PENELITIAN

3.1 Metode Penelitian

Metode penelitian merupakan langkah atau tahapan yang dilakukan dalam sebuah penelitian. Tahapan tersebut diawali dengan menggunakan sebuah pendekatan sampai pada teknik pengumpulan data serta teknik analisis data. Pendekatan sering disamakan dengan metode, tetapi jika ditelusuri lebih lanjut maka pendekatan akan lebih dekat dengan pembicaraan suatu ilmu,sedangkan metode mengarah pada teknik pengumpulan dan penganalisisan data. Dalam metode penelitian pada dasarnya peneliti mengungkapkan sejumlah cara yang disusun secara sistematis, logis, rasional dan terarah tentang bagaimana pekerjaan sebelum, ketika dan sesudah mengumpulkan data sehingga diharapkan maupun menjawab secara ilmiah perumusan masalah yang telah ditetapkan. Metode penelitian yang digunakan dalam meneliti artefak, kegiatan dan gagasan altar sembahyang Dewi Kwan Im pada rumah masyarakat Tionghoa Buddha di Medan adalah metode deskriptif dengan menggunakan pendekatan kualitatif.

(2)

Dengan teknik observasi, penulis melakukan pengumpulan data primer dengan cara pengamatan langsung dan merekam hal-hal yang dapat diamati.

Arief Furchan (1999: 22) menjelaskan penelitian yang menghasilkan data deskriftif, ucapan atau tulisan atau perilaku yang dapat diamati dari orang-orang itu sendiri, menurut pendapat ka setting itu secara keseluruhan. Subyek penyelidikan baik berupa organisasi atau individu tidak mempersempit menjadi variable yang terpisah atau menjadi hipotesa melainkan dipandang sebagai sebagian dari suatu keseluruhan”.Dari pendapat diatas, dapat dikatakan bahw mendapatkan data deskriptif, ucapan atau tulisan dan perilaku yang dapat diamati.

3.2Lokasi Peneltian

Pada lokasi penelitian, penulis hanya memilih beberapa rumah masyarakat Tionghoa yang memilki altar sembahyang Dewi Kwan Im antara lain:

1. Kompleks Cemara Hijau Blok G No.4, Medan, 2. Jln. Terong No.48c, Medan,

(3)

Alasan pemilihan lokasi penelitian ialah karena beberapa rumah masyarakat Tionghoa diatas memiliki perbedaan altar sembahyang yang satu dengan yang lainnya, dan setiap altar sembahyang tersebut mempunyai keunikannya tersendiri.

3.3Data dan Sumber Data

Data adalah keterangan berdasarkan fakta yang ada disimpan atau dicari untuk mendapatkan kebenaran. Apabila dilihat dari (KBBI 1990:187) data adalah keterangan yang benar dan nyata, yang dapat dijadikan dasar kajian. Data yang digunakan dalam penelitian ini adalah data kualitatif, berupa kata–kata dan tindakan, serta data tambahan seperti dokumentasi dan lain–lain. Datapenelitian kualitatif dapat berupa data bersumber manusia (data primer) dan data di luar manusia (data sekunder).Sumber data primer diperoleh melalui hasil penelitian lapangan di rumah masyarakat Tionghoa yang memiliki altar sembahyang Dewi Kwan Im, sedangkan data sekunder diperoleh melalui buku-buku, jurnal, artikel-artikel yang berhubungan dengan altar sembahyang Dewi Kwan Im, yang kemudian akan dipilah-pilah untuk dijadikan bahan penelitian.

3.4Teknik Pengumpulan Data

(4)

3.4.1Studi Kepustakaan (Library Research)

Nazir(1988: 111) mengatakan bahwa Studi kepustakaan merupakan suatu kegiatan yang tidak dapat dipisahkan dari suatu penelitian.Studi kepustakaan adalah teknik pengumpulan data dengan mengadakan studi penelaahan terhadap buku-buku, literatur-literatur, catatan-catatan, dan laporan-laporan yang ada hubungannya dengan masalah yang dipecahkan. Penulis akan mengumpulkan informasi sebanyak-banyaknya dari kepustakaan yang berhubungan. Sumber-sumber kepustakaan dapat diperoleh dari: buku, jurnal, majalah, hasil-hasil penelitian (tesis dan disertasi), dan sumber-sumber lainnya yang sesuai (internet, Koran, dan lain-lain). Setelah semua terkumpul terlebih dahulu penulis membaca lalu mengklasifiasikan untuk dijadikan bahan penelitian.

3.4.2Observasi

Soehartono(1995:69) mengatakan bahwa teknik observasi disebut juga teknik pengamatan yaitu setiap kegiatan yang dilakukan untuk mengukur dengan menggunakan indera penglihatan atau dengan arti lain yaitu melihat tanpa melakukan pertanyaan-pertanyaan. Dalam penelitian ini, penulis secara langsung melakukan observasi/pengamatan di rumah masyarakat Tionghoa yang memiliki altar sembahyang Dewi Kwan Im.

(5)

melakukan metode interview. Teknik yang digunakan dalam metode observasi ini adalah penulis melakukan observasi langsung pada rumah masyarakat Tionghoa yang memiliki altarsembahyang Dewi Kwan Im.

3.4.3Wawancara

Burhan Bungin (2001:155) mengatakan bahwa wawancara adalah proses percakapan dengan maksud untuk mengonstruksi mengenai orang, kejadian, organisasi, motivasi, perasaan, dan sebagainya yang dilakukan dua pihak yaitu pewawancara (interviewer) yang mengajukan pertanyaan dengan orang yang diwawancarai (interview).

Koenjaraningrat (1981:136) mengatakan bahwa, “...kegiatan wawancara secara umum dapat dibagi tiga kelompok yaitu: persiapan wawancara, teknik bertanya dan pencatatan data hasil wawancara.”

Dalam melakukan proses wawancara, peneliti sebelumnya telah mempersiapkan pertanyaan dan alat perekam, menentukan informan yang dianggap penulis dapat membantu penulis untuk melengkapi data. Dalam melakukan wawancara, penulis akan menulis dan merekam data yang didapat dari informan.

3.5 Teknik Analisis Data

(6)

lapangan yang berupa catatan atau rekaman kata-kata, kalimat, atau paragraf yang diperoleh dari wawancara menggunakan pertanyaan terbuka, observasi partisipatoris, atau pemaknaan peneliti terhadap dokumen atau peninggalan. Data kualitatif terdiri atas kata-kata, kalimat dan deskripsi dan bukannya angka-angka. Langkah-langkah dalam menganalisis data dalam penelitian ini yaitu:

1. Mengumpulkan data yang bersumber dari kepustakaan dan lapangan yang dikumpulkan menjadi satu oleh penulis,

2. Melakukan observasi lapangan ketempat penelitian,

3. Penulis akan melakukan wawancara kepada masyarakat Tionghoa yang memilki altar sembahyang Dewi Kwan Im,

4. Berdasarkan data-data yang diambil, lalu penulis menganalisis data dengan menggunakan teori semiotik dan teori tiga wujud budaya yang harus berifat logis, deskriptif dan menjelaskan.

(7)

BAB IV

GAMBARAN UMUM SISTEM RELEGI MASYARAKATTIONGHOA MEDAN

4.1 Macam-macam Sistem Religi Masayarakat Tionghoa

Kebudayaan Tionghoa merupakan hasil dari pola pikir masyarakat etnis Tionghoa yang membentuk satu kesatuan kepentingan sehingga dapat mencitrakan masyarakat Tionghoa sebagai pelaku utama kebudayaan Tionghoa. Hal yang mendasar dari tradisi dan budaya Tionghoa adalah penghormatan terhadap leluhur dan ajaran-ajarannya.

Aspek religi/kepercayaan merupakan bagian penting dari kehidupan masyarakat Tionghoa. Agama-agama masyarakat Tionghoa berorientasi pada sistem kekeluargaan tanpa menuntut ketaatan secara eksklusif seperti yang terdapat pada agama-agama samawi (agama-agama langit). Agama yang tumbuh dan berkembang pada masyarakat Tionghoa disebut Tridharma. Tridharma terdiri atas tiga aliran kepercayaan, yakni Konfusianisme (Khonghucu), Taoisme, dan Buddhisme.

4.1.1Khonghucu

(8)

Mandarin. Istilah Kong Hu Cu (Kong Fu Zi), agama Khonghucu (agama Ru Kong Fu Zi) yang dikenal di Indonesia adalah diambil dari dialek Hokkian (Fujian).

Agama Khonghucu adalah agama yang dahulunya mengambil nama nabi Khongcu (Kongzi/ Kong Fu Zi) yang lahir pada tanggal 27 Pig Gwee (ada yang menghitung bertepatan dengan tanggal 3 Oktober, ada yang menetapkan tanggal 28 September) 551 SM dikota Tsou, negeri Lu (Propinsi Shantung, salah satu propinsi di negara Republik Rakyat Cina (RRC) sekarang).

Istilah dan pengertian iman dalam agama Khonghucu ialah Sing. Kata

Sing ini menurut asalnya terdiri dari rangkaian antara kata Gan dan Sing. Gan

berarti bicara, sabda, kalam dan Sing berarti sempurna. Karena itu pengertian

Sing mengandung makna sempurna kata, batin dan perbuatan. Di dalam kehidupan beragama, umat Khonghucu wajib memiliki Sing atau iman terhadap kebenaran ajaran agama yang dipeluknya.

Agama Khonghucu memberikan pengertian, bahwa kesusilaan merupakan pokok daripada perilaku manusia. Selaras dengan itu, maka tujuan terakhir daripada agama khonghucu ialah membentuk manusia susilawan (Kuncu/Chun Tzu). Maka ada empat pantangan (Si Wu) yang harus dijaga dalam menjalankan hidup susila yakni: “Yang tidak susila jangan dilihat, yang tidak susila jangan didengar, Yang tidak susila jangan dibicarakan, dan Yang tidak susila jangan dilakukan”(Lun GiXII: I).

(9)

1. Laku bakti/Berbakti (Siau/Hau)

Siau/Hau dapat diartikan rasa bakti yang tulus kepada orang tua, guru dan leluhur. Yang dimaksud dengan laku bakti ialah kewajiban-kewajiban yang dilimpahkan terhadap orang tua dan para leluhur sesuai dengan kesusilaan, yaitu memberikan pemeliharaan yang disertai sikap hormat. Ada tiga kewajiban utama dalam menjalankan laku bakti, yakni:

a. Dikala orang tua masih hidup, memberikan pemeliharaan sesuai dengan kesusilaan.

b. Saat orang tua meninggal, melakukan pemakaman sesuai dengan kesusilaan.

c. Setelah orang tua meninggal, melakukan peribadahan sesuai dengan kesusilaan.

2. Rendah hati (Thi/Tee)

Thi/Tee dapat diartikan sebagai rasa hormat terhadap yang lebih tua di antara saudara. Maksudnya dalam kehidupan rumah tangga seorang adik harus dapat menghormati kakaknya. Demikian juga dalam pergaulan sehari-hari, yang muda menghormati yang lebih tua.

3. Satya (Cung/Tiong)

Cung/Tiong adalah semangat menepati tugas, kewajiban, kedudukan dan fungsi, serta setia sebagai manusia, mencintai tanah air, setia kepada pekerjaan dan sebagainya.

4.Susila (Lee/Li)

(10)

mematuhi tata susila, adat sopan santun, kewajiban ibadah dan segala sesuatu yang menyangkut tata kehidupan manusia sehingga menciptakan suasana yang tertib, rapi, indah dan khusyu. Li merupakan sesuatu yang mutlak diperlukan sebagai pedoman lahiriah dalam kehidupan manusia untuk mencapai keharmonisan baik keluarga, masyarakat, negara maupun dunia.

5. Menjunjung kebenaran (I/Gi)

I/Gi dapat diartikan sebagai rasa solidaritas, rasa senasib dan sepenangngan, dan mau membela kebenaran serta menolak hal-hal yang dirasakan tidak baik dalam hidup.

6. Suci hati (Lien/Liam)

Lien/Liam dapat diartikan membersihkan diri dari naluri-naluri negatif seperti iri, dengki, hanya mementingkan diri sendiri, dan berbagai cacat-cacat rendah budi lainnya.

7.Dapat dipercaya (Sin)

Sindapat diartikan kepercayaan, rasa untuk dapat dipercaya atau dapat menepati janji, orang yang dapat menepati janji amat disegani oleh orang lain, namun orang yang tidak dapat menepati janji akan dibenci orang lain. Untuk dapat disenangi orang lain, orangharus memiliki Sin.

8. Tahu malu (Che/Thi)

(11)

kesusilaan.Dengan tahu malu maka manusia berani mengakui kesalahannya, berani melakukan intropeksi diri dan memperbaiki diri secara sadar.

Kedelapan sifat Pat tik banyak diajarkan kepada anak-anak Khonghucu oleh orang tuanya dalam kehidupan sehari-hari. Penanaman sifat itu tampak khas sekali dalam keluarga yang menganut ajaran Khonghucu secara tradisional. Bila ajaran itu diberikan kepada seorang anak akan akan menumbuhkan kepatuhan kepada orang tua dan orang lain.

4.1.2 Taoisme

Taoisme berkaitan dengan keadaan kerajaan Chou (abad ke 6 SM) yang mengalami masa kehancuran, akibat penyelewengan dalam pemerintahan. Kehidupan manusia semakin menderita, membuat orang-orang terpelajar kecewa. Kemudian dari sebagian mereka hidup menyendiri dan hidup sebagai biarawan, lalu mendirikan suatu aliran filsafat yang dikenal dengan nama Taoisme atau Tao Te Chia.

Tokoh pertama atau Peletak dasar ajaran Taoisme adalah Yang Chu, kemudian dipopulerkan oleh Lao Tzu. Menurut tradisi kepustakaan Cina, Lao Tzu disebutkan sebagai pendiri Taoisme. Kemudian yang meneruskan ajaran Taoisme adalah Chuang Tzu murid pertama dari Lao Tse.

(12)

perkembangan keduanya tidak berbenturan, karena praktek dan pemaknaan agama dan filsafat di China tidak memiliki garis atau sekat yang jelas dalam kehidupan sehari-hari.(Soejono Soemargono, 1990).

Filsafat Taoisme dapat dikatakan empiris dan juga praktis. Empiris, karena konsepsi kefilsafatannya merujuk pada fenomena alam yang mudah ditangkap dan diamati oleh manusia,misalnya bagaimana sifat air dan matahari yang dapat memberi makna simbolik bagi kehidupan manusia di alam semesta. Praktis, karena isi pemikiran Taoisme berisikan tentang cara hidup yang seharusnya dalam kehidupan sehari-hari, seperti kasih sayang sesama, keadilan, dan kejujuran.Taoisme mengajarkan bahwa untuk mencapai kebahagian manusia harus hidup dengan Wu Wei artinya tidak berbuat apa-apa yang bertentangan dengan alam. Sesuai dengan ajaran itu maka manusia yang paling berbahagia menurut ajaran Taoisme adalah mereka yang hidup dengan alam seperti para petani, nelayan, dan para biarawan. (Tamburaka, 1999:248).

4.1.3Buddha

Agama Budha lahir dan berkembang pada abad ke 6 SM agama itu beroleh nama dari panggilan yang diberikan kepada pembangunnya yang mula-mula Siddhartha Gautama (563-487 SM) yang dipanggil dengan Budha. Secara etimologi perkataan "Budha" berasal dari kata "bhud" yang artinya "bangun" orang Budha ialah orang "yang bangun" artinya orang yang telah bangun dari malam kesesatan dan sekarang ada di tengah cahaya yang benar.

(13)

yang mana kehidupan manusia itu tidak terlepas dari dukha. Ketika hidupnya Sang Budha ia selalu menolak mempersoalkan tentang Tuhan. Namun kepada para pengikutnya ia selalu menganjurkan agar mengamalkan sila-sila ke-Tuhanan. Inti dari ajaran Siddharta (Buddha) Tri Ratna atau Tiga Mustika,Tri Ratna adalah sebagai berikut:

a. Buddha

Buddha berarti seorang yang telah mencapai penerangan atau pencerahan sempurna dan sadar akan kebenaran kosmos serta alam semesta. Ajaran tentang Budha menekankan pada bagaimana umat Budha memandang sang Budha Gautama sebagai pendidikan agama Budha dan asas rohani yang dapat dicapai oleh setiap makhluk hidup.

b. Dharma

Ajaran tentang dharma banyak membicarakan tentang masalah-masalah yang dihadapi manusia dalam hidupnya baik yang berkaitan dengan ciri manusia sendiri maupun hubungannya dengan apa yang disebut Tuhan dan alam semesta dengan segala isinya. Dharma mengandung 4 (empat) makna utama:

1. Doktrin

2. Hak, keadilan, kebenaran 3. Kondisi

(14)

Buddha Dharma adalah suatu ajaran yang menguraikan hakekat kehidupan berdasarkan Pandangan Terang yang dapat membebaskan manusia dari kesesatan atau kegelapan batin dan penderitaan disebabkan ketidakpuasan. Buddha Dharma meliputi unsur-unsur agama, kebaktian, filosofi, psikologi, falsafah, kebatinan, metafisika, tata susila, etika, dan sebagainya. Tripitaka Mahayana termasuk dalam Buddha Dharma

.

c. Sangha

Ajaran tentang Sangha selain mengajarkan bagaimana umat Budha memandang Sangha sebagai pesamuan para Bhikku, juga berkaitan dengan umat Budha yang menjadi tempat para Bhikkhu menjalankan dharmanya.

4.2 Altar Sembahyang

Altar dibutuhkan untuk sarana tempat ibadah/sembahyang pribadi, keluarga, maupun untuk tempat belajar Dharma. Jika kondisi memungkinkan, lebih baik di rumah menyediakan sebuah altar dan mengundang satu rupang Guang Shi Yin Pu Sa.

4.2.1 Persyaratan Dasar Penempatan Altar Buddha

Menurut ajaran agama Buddha persyaratan dasar dalam penempatan altarBuddha adalah sebagai berikut.

(1) Tidak boleh dekat dengan toilet (pintu toilet yang ada di rumah harus selalu ditutup).

(15)

(3) Tidak boleh diletakkan di atas televisi, di atas kulkas dan lain-lain, tidak boleh diposisikan bertepatan di bawah AC. Jika berdekatan dengan TV atau lingkungan yang agak berisik, bisa membuat satu lemari berpintu, pada saat tidak membakar dupa, pintu lemari ditutup, dan jika pada waktu sembahyang tidak boleh menyalakan TV, tidak boleh menggunakan bahan kaca untuk menutupi rupang (patung) Buddha.

(4) Tidak boleh ditempatkan di kamar tidur suami istri (kecuali suami istri yang telah berusia lanjut).

(5) Kamar tidur sendirian diperbolehkan, tetapi ujung/kaki ranjang tidak boleh menghadap ke altar Guan Shi Yin Pu Sa.

(6) Tidak boleh ditempatkan di balkon yang menonjol keluar yang tidak ada dasar pondasi; kecuali balkon yang ada di ruangan dalam diperbolehkan.

(7) Di bawah altar Guan Shi Yin Pu Sa tidak boleh menaruh benda-benda atau buku-buku lainnya. Umunya, boleh menyimpan buku parrita dan peralatan untuk sembahyang.

(16)

(9) Harus ada lampu minyak (harus sering menambahkan minyak, akan bermanfaat bagi mata), ada air (jumlah gelas air yang diperlukan disesuaikan dengan jumlah rupang yang ada; air dalam gelas harus diganti setiap hari, gelas yang digunakan untuk persembahan tidak boleh bersentuhan langsung dengan mulut kita).

(10) Harus ada wadah untuk dupa, setiap pagi dan malam sembahyang menggunakan dupa, sebaiknya mempunyai jadwal tetap untuk sembahyang, umumnya pagi atau malam hari jam 6, jam 8, jam 10, bisa tepat waktu lebih baik.

(11) Sesuaikan dengan kondisi pribadi dalam mempersembahkan buah-buahan segar (apa yang telah dimohon bisa lebih cepat terkabulkan), bunga segar (persembahan bunga segar bisa membuat orang memiliki paras yang cantik).

(12) Bunga segar dan buah-buahan segar yang disembahyangkan jangan lebih dari seminggu, harus diganti dengan yang baru, dan buah maupun bunga harus tetap segar, jika tidak segar, harus segera diganti, jika tidak ada yang segar sebagai pengganti, tidak boleh meletakkan buah yang telah rusak atau bunga yang telah layu di altar Buddha. (13) Posisi altar Buddha sebaiknya ditempatkan menghadap ke utara

(17)

4.2.2 Mengundang Kehadiran Guan Shi Yin Pu Sa

Mengundang satu gambar atau rupang Guan Shi Yin Pu Sa umumnya berada dalam posisi berdiri, tangan memegang satu pot suci dan satu ranting daunan; usahakan tidak memilih yang ada gambar naga. Sebaiknya yang masih belum blessing(khai kuang), dibawa pulang ke rumah sendiri dan memohon kepada Guan Shi Yin Pu Sa agar berkenan menempati gambar atau rupang Guan Shi Yin Pu Sa atau akan lebih baik meminta biksu senior untuk melakukan blessing/khai kuang.

Umumnya jika seseorang yang tidak melatih diri dengan baik, tidak mempunyai kemampuan untuk melakukan blessing/khai kuang terhadap gambar/rupang Guan Shi Yin Pu Sa, tetapi anda bisa memohon kepada Guan Yin Pu Sa yang welas asih untuk menempati gambar/rupang Guan Shi Yin Pu Sa.

(18)

Da Bei Zhou dan tujuh kali Xin Jing, kemudian sujud sembah (namaskara) tiga kali, semakin banyak melafalkan Da Bei Zhou dan Xin Jing akan semakin bagus khasiatnya.

4.2.3 Penempatan Altar Sembahyang Ketika Pindah Rumah

Jika hendak pindah rumah, maka altar Buddha harus dipindahkan terlebih dahulu dari rumah lama kerumah yang baru. Dirumah yang lama setelah selesai membakar satu dupa yang terakhir, setelah dupa habis terbakar, kemudian rupang Buddha diturunkan dari altar dan dibungkus dengan baik menggunakan kain merah, yang terpenting di rumah baru kita harus membakar 3 dupa, melafalkan 7 kali Da Bei Zhou, 7 kali Xin Jing, banyak bersujud sembah (namaskara). “mohon kepada Guan Shi Yin Pu Sa yang berwelas asih berkenan datang kerumah baru saya XXX, berkati saya XXX, XXX, saya pasti akan terus melatih diri dengan tekanan dalam menekuni ajaran dharma Buddha”. Terlebih dahulu menempatkan/dipindahkan altar Buddha, baru pindah rumah.

Rupang Buddha yang telah dipindahkan ke rumah baru tidak perlu melakukan blessing/Khai kuang, karena sebelumnya sudah ada Buddha di dalamnya. Oleh karena itu, setelah dipindahkan, sekali menyalakan dupa langsung bisa memohon Buddha menempati Rupang. Oleh karena itu, tidak perlu pengulangan blessing (Khai kuang).

(19)

tempat tinggal sementara tersebut, setelah rumah selesai renovasi, barulah pindahkan altar Guan Shi Yin Pu Sa ke rumah yang baru.

4.3 Gambaran Umum Kota Medan dan Masyarakatnya

Kota Medan secara geografis terletak di antara 2 27'-2 47' Lintang Utara dan 98 35'-98 44' Bujur Timur. Posisi Kota Medan ada di bagian Utara Propinsi Sumatera Utara dengan topografi miring ke arah Utara dan berada pada ketinggian tempat 2,5-37,5 m di atas permukaan laut. Luas wilayah Kota Medan adalah 265,10 km2 secara administratif terdiri dari 21 Kecamatan dan 151 Kelurahan. Sarana dan prasarana perhubungan di Kota Medan terdiri dari prasarana perhubungan darat, laut, udara. Transportasi lainnya adalah kereta api. Disamping itu juga telah tersedia prasarana listrik, gas, telekomunikasi, air bersih dan Kawasan Industri Medan (KIM) I. Sebagai daerah yang berada pada pinggiran jalur pelayaran Selat Malaka, Kota Medan sebagai ibukota Provinsi Sumatera Utara memiliki posisi strategis.

(20)

Tabel 4.1

Perbandingan Suku Bangsa di Kota Medan pada Tahun 1930, 1980, 2000

SUKU BANGSA TAHUN 1930 TAHUN 1980 TAHUN 2000

Jawa 24,9% 29,41% 33,03% Sumber: 1930 dan 1980; 2000: BPS Sumut

Dari data diatas dapat dilihat bahwa ditahun 1930-an orang Tionghoa di Kota Medan merupakan masyarakat terbesar bahkan melebihi etnis asli Kota Medan yaitu Melayu. Selanjutnya seiiring perkembangan zaman etnis Tionghoa di Koa Medan mengalami penurunan walaupun tetap menjadi salah satu etnis terbesar di Kota Medan.

Keberadaan orang Tionghoa di kota Medan bervariasi dan juga dalam jangka waktu yang berbeda. Gelombang pertama dimulai pada abad ke-15, ketika armada perdagangan Tiongkok datang mengunjungi pelabuhan Sumatera Timur dan melakukan hubungan dagang dengan sistem barter. Hubungan ini berlangsung dalam waktu yang cukup lama, sehingga sebagian para pedagang tersebut ada yang menetap di Sumatera Timur.(Benny G. Setiono. 2003).

(21)

mencoba mendatangkan tenaga kerja dari negeri Tiongkok. Pada abad ke 19, dengan bantuan pemerintah Hindia Belanda dan kaum pengusaha di tanah Deli, orang Tionghoa dapat memonopoli seluruh sektor pengangkutan di kawasan tanah Deli. Banyak pemilik perkebunan yang memberi kesempatan pada orang Tionghoa untuk menjadi penyalur bahan makanan dan bekerja sebagai kontraktor di perkebunan.

Pada akhirnya, kehidupan ekonomi etnis Tionghoa mulai meningkat. Hal ini menyebabkan adanya perbedaan mencolok atara etnis Tionghoa dengan masyarakat Pribumi. Etnis Tionghoa yang mulai mempunyai ekonomi yang meningkat ini mendatangkan isteri anggota keluarga dan kerabatnya di negara Tiongkok dengan kapal (pada saat itu transportasi kapal sudah ada). kedatangan mereka dari berbagi sub etnik menyebabkan mereka berkumpul di antara mereka sendiri, membuat perkampungan sendiri, memakai bahasa sendiri. Inilah titik awal ekslusivime orang Tionghoa . (Suwardi Lubis.1999).

Sikap eksklusif ini tidak lepas dari pengaruh yang juga diberikan oleh pemerintah kolonial Belanda. Sejalan dengan dibukanya usaha perkebunan karet sepanjang jalur Medan- Labuhan Batu pada tahun 1870, pemerintah kolonial membuat blok-blok pemukiman terpisah menurut etnik. Sehingga terbentuklah hunian dengan nama Kampung Cina, Kampung Arab, kampung Keling, serta kawasan milik “Tuan Kebon” asal Eropa, sedangkan kaum Pribumi dan pendatang lain tinggal di luar blok yang disebut Pemukiman Rakyat Sultan (Sofyan Tan. 2004).

(22)

(82,11%). Walaupun etnis Tionghoa di kota Medan terdiri dari berbagai suku, namun dalam kehidupan sehari-hari keberagaman suku tersebut tidak menonjol karena yang tampak hanyalah suatu kesatuan etnik sebagai etnis Tionghoa .

Sebagian besar etnis Tionghoa yang berada di kota Medan berprofesi sebagai pedagang. Sesuai dengan jenis pekerjaan mereka, maka untuk mereka terbuka kesempatan seluas-luasnya untuk memperoleh penghasilan yang besar. Posisi sosio-ekonomi etnik Tionghoa di Medan rata-rata berada di atas level menengah ke atas. Etnis Tionghoa dikota Medan termasuk kelompok masyarakat yang berhasil menguasai industri, pertokoan, perhotelan, perbankan dan perdagangan umum serta distribusi.

Kelompok masyarakat Tionghoa dikota Medan cenderung bertempat tinggal di pusat kota atau pusat perdagangan. Mereka lebih senang tinggal di tempat usahanya yang cukup ramai dan dekat dengan keluarganya. Berbagai penelitian mengungkapkan bahwa pemukiman eksklusif kelompok-kelompok etnik di kota berfungsi sebagai “kepompong” atau yang dimanfaatkan oleh mereka sebagai benteng etnik. Orang Tionghoa yang keluar dari pemukiman Cina (Chinese Qurter) tersebut dianggap sebagai pembelotan dari jaringan sosial mereka. Dengan demikian suasana etnik dan ras (ethnic race-spaces) di perkampungan etnik tersebut menguatkan kecendrungan segresi atau pemisah diri dari kelompok lain.

(23)

mereka sendiri, bukan disebabkan oleh pemisahan yang dilakukan oleh bangsa Indonesia sebagai kelompok minoritas”. Sebagian orang Tionghoa ada yang beradaptasi dengan masyarakat setempat. Namun ada pula yang berperilaku eksklusif, yang mengakibatkan kehidupan mereka terpisah dari kelompok masyarakat pribumi. Sekolah dan pusat-pusat rekreasi kelompok etnis Tionghoa lebih banyak didirikan di tengah perkampungan Tionghoa di kota Medan. Gejala segretif ini sangat terlihat terutama dalam kawasan-kawasan pemukiman elit dengan suasana komersial yang pekat dan dengan tingkat homogenitas yang tinggi .

(24)

BAB V

ARTEFAK, KEGIATAN, DAN GAGASAN

5.1 Artefak

Aktivitas manusia yang saling berinteraksi tidak lepas dari berbagai penggunaan peralatan sebagai hasil karya manusia untuk mencapai tujuannya. Aktivitas karya manusia tersebut menghasilkan benda untuk berbagai keperluan hidupnya. Kebudayaan dalam bentuk fisik yang kongkret biasa juga disebut kebudayaan fisik, mulai dari benda yang diam sampai pada benda yang bergerak. Hasil karya manusia tersebut pada akhirnya menghasilkan sebuah benda dalam bentuk yang konkret sehingga disebut Kebudayaan Fisik. Berupa benda-benda hasil karya manusia.

5.1.1 Rupang (patung)

Dalam konsep Buddhis, rupang adalah lambang dari kebuddhaan, dan untuk menghormati nilai-nilai luhur dari sang Buddha. Rupang juga merupakan simbol Sang Guru, sehingga apabila kita mengadakan puja bakti bukanlah untuk menyembah rupang tersebut, melainkan untuk menghormati dan mengingat ajaran Sang Guru.

(25)

Gambar 5.1.1 rupang dewi Kwan Im

Sumber : jln. Gatot Subroto, sei kambing no.66, Medan

(26)

Persyaratan rupang pada altar dewi Kwan Im :

(1) Semua rupang Buddha termasuk lampu minyak, tidak boleh ditempatkan dalam kondisi menggantung tetapi harus ada meja atau lemari, yang ada sesuatu yang menopang dari atas tanah.

(2) Rupang Buddha sebaiknya ditempatkan di samping jendela, di tempat yang agak terang, tetapi bagian belakang tidak boleh ada jendela kaca, bagian belakang harus bersandar pada tembok.

(3) Rupang (patung) Buddha yang di altar jangan terlalu banyak.

5.1.2 Lampu

(27)

Gambar 5.1.2 Altar Dewi Kwan Im Sumber : Jln. Pukat VII No.5A

Gambar 5.1.2 Lampu

Sumber : Jln. Demak No.5 e/g, Medan Persyaratan lampu pada altar Dewi Kwan Im :

(28)

kondisi tidak memungkinkan, maka diperkenankan di satu altar hanya sepasang atau hanya satu lampu minyak saja.

(2) Jika hanya satu rupang Buddha, menyediakan satu atau dua pelita lampu juga diperbolehkan.

(3) Tidak perlu mempersembahkan lampu lilin, jika dipersembahkan sebaiknya harus sepasang yang bewarna merah.

(4) Lampu minyak dan lilin setelah selesai sembahyang bisa dimatikan atau dipadamkan sebelum dupa habis terbakar. Hal ini untuk menghindari dalam keadaan tidak membakar dupa tetapi lampu minyak atau lilin tetap menyala, efeknya mudah sekali ada roh yang menghinggapi/mendatangi altar.

(5) Boleh menggunakan lampu teratai atau lampu lilin, tetapi dengan syarat harus ada lampu Buddha (pelita) dan lilin, dan juga tidak boleh nyala dalam jangka waktu panjang sampai 24 jam. Umumnya ketika mau sembahyang atau membakar dupa baru dihidupkan/dinyalakan, sebelum dupa habis terbakar, lampu teratai maupun pelita dan lilin harus dipadamkan.

(29)

5.1.3 Minyak

Gambar 5.1.3 Minyak

Sumber : Jln. Demak No.5 e/g, Medan Persyaratan minyak pada altar dewi Kwan Im :

(1) Umunya minyak yang digunakan untuk sembahyang kepada Buddha adalah minyak zaitun, minyak sayur, minyak jagung, minyak bunga teratai, dan minyak tumbuhan lainnya.

(2) Tidak boleh menggunkan minyak wijen atau minyak kacang tanah, minyak yang ada rasa (beraroma), tidak murni, jika minyak terlalu wangi bisa menutupi aroma cendana dupa. Oleh Karena itu, minyak tersebut tidak dipergunakan untuk dipersembahkan kepada Buddha; minyak kacang terlalu kental, tidak mudah dinyalakan sehingga tidak cocok untuk digunakan.

(30)

(4) Cara terbaik untuk mempersembahkan minyak adalah digunakan untuk menyalakan lampu minyak (pelita) secara langsung, menambahkan minyak ke dalam wadah lampu minyak, dan juga harus sering menambahkan sedikit minyak, ini juga mempunyai makna yang sama seperti biasa kita mengganti buah segar dan air.

(5) Bekas minyak yang telah dipersembahkan kepada Buddha hanya boleh digunakan untuk memasak masakan yang murni vergetarian.

5.1.4 Air

Gambar 5.1.4Air

Sumber : Jln. Terong No.48c, Medan

(31)

Persyaratan air pada altar Dewi Kwan Im :

(1) Air yang telah dipersembahkan kepada Guan Shi Yin Pu Sa, disebut air suci (Da Bei Shui), karena sudah diberkahi oleh Guan Shi Yin Pu Sa. (2) Boleh mempersembahkan air hangat, air dingin, air mineral, air bersih

dan lain-lain, air minum yang tidak berwarna, tidak ada rasa, jangan menggunakan air mentah langsung dari keran atau air ledeng.

(3) Gelas yang digunakan untuk mempersembahkanair, harus menggunakan gelas yang baru; gelas kaca atau keramik ; ada atau tidaknya tutup gelas tidak dipermasalahkan, namun sebaiknya menggunakan gelas yang ada tutupnya; untuk menghindari debu atau serangga yang mengotori; gelas sebaiknya berwarna putih.

(4) Umunya jumlah gelas untuk mempersembahkan air minimal harus sama dengan jumlah rupang Buddha yang ada di altar, boleh juga satu rupang ada beberapa gelas air, tetapi jumlah gelas air tidak boleh kurang dari jumlah rupang Buddha di altar.

(32)

pula dalam hati membayangkan botol air suci dari Guan Shi Yin Pu Sa menuang dari kepala anda secara mengalir ke seluruh tubuh anda. (6) Setelah selesai, air dalam gelas persembahan tersebut kita tuangkan ke

tempat atau wadah lainnya, dengan hormat kita minum air suci tersebut. (7) Air suci yang telah dipersembahkan kepada Buddha lainnya, umumnya

boleh dibuang, jika ingin meminumnya harus melafalkan mantra Da Bei Zhou satu kali baru diminum.

5.1.5 Dupa

Gambar 5.1.5Dupa

Dupa dibakar untuk melambangkan perbuatanmenyucikan fikiran atau jasad kita.Pembakaran dupa akan melepaskan asap yang harum ke udara. Dari jauh kita sudah dapatmenghidunya. Begitu juga perbuatan dan niat baik kita akan dirasai oleh orang ramai.Dupa yang sedang membakar serupa juga

(33)

dengan kewujudan kita. Serbuk dupa atau colokdiibaratkan jasad kita dan hujungcolok yang membakar diibaratkan hati, sentiasa dalam perubahan.Tanpa pembakaran, dupa tidak membawa apa makna dan tanpa hati, jasad tidak akan wujud.Selepas satu masa colok atau dupa akan habis dibakar ataupun apabila keadaan yang tidaksesuai wujud, dupa dan colok akan terpadam. Ini mencerminkan ketidakkekalan (Anicca),penderitaan (Dukkha) dan ketidakakuan (Anatta).

Persyaratan wadah bakar dupa (Xiang Lu/Hiolo), bakar dupa, waktu dan jumlah yang cocok dialtar :

(1) Apabila di rumah ada altar Guan Shi Yin Pu Sa, setiap pagi dan malam harus membakar dupa, waktu bakar dupa pagi atau malam, sebaiknya bisa dilakukan dengan waktu yang tetap, umunya pagi atau malam hari , kita boleh memilih jam 6, jam 8, jam 10 tepat.

(2) Jika mempunyai lebih dari satu rupang Buddha, dan kondisi memungkinkan, sebaiknya satu rupang Buddha mempunyai satu xiang lu/hio lo dan setiap sembahyang masing-masing xiang lu/gio lo cukup gunakan 1 dupa tetapi pada Che It dan Cap Go (tanggal 1 dan tanggal 15 kalender lunar), hari kebesaran Buddha, setiap xianglu/hiolo gunakan tiga dupa.hio; jika kondisi tidak memungkinkan, satu altar Buddha gunakan satu xiang lu/hiolo juga boleh, tetapi sembahyang siang dan malam harus menggunakan tiga dupa/hio.

(34)

sembahyang dengan dupa biasa, kemudian menggunakan api yang ada di lampu Buddha untuk membakar kepingan kayu cendana, kemudian apinya dipadamkan dengan cara mengayungkannya agar apinya mati (tidak boleh di tiup dengan mulut), begiyu api di kayu mati, asap yang keluar pada saat itu disebut dupa besar, itulah wangi Guan Shi Yin Pu Sa, dilakukan secara berulang kali dengan cara dinyalakan dan diayunkan kebelakang, dilakukan sebanyak tiga kali, ini yang disebut bakar dupa besar. Setelah selesai membakar dupa besar baru bersujud sembah (namaskara), ajukan permintaan/permohonan, melafalkan paritta.

5.1.6 Musik

Umumnya musik yang diletakkan pada altar Dewi Guan Shi Yin Pu Sa ialah berisi manteraTA PEI COU/大悲咒/Maha Karuna Dharani.

Na Mo Ta Pei Kwan She Yin Phu Sa (Terpujilah Yg Maha Asih Avokitesvara Bodhisatva)

Na Mo Ta Pei Kwan She yin Phu Sa (Terpujilah Yg Maha Welas Asih Avolitesvara Bodhisatva)

Na Mo Ta Pei Kwan She yin Phu Sa (Terpujilah Yg Maha Welas Asih Avolitesvara Bodhisatva)

Na Mo He La Ta Na To La Ye Ye (Dengan penuh sujud aku Berlindung Kepada Tri Ratna)

(35)

Phu Ti Sa To Po Ye Mo He Sa To Po Ye (Mahkluk yg Telah Mencapai

Po Lu Cie Ti Se Fo La Ling To Po (sumber segala kesucian) Na Mo Na La Cin Ce (Setulus hati aku bersujud Pada MU)

SI Li Mo He Pu Tuo Sa Mi (Cahaya kebajikan Agung yg tiada batas)

Sa Pho Ah Tha Tou SU Peng Ah Se Yin (Para Buddha sayup – sayup merasakannya)

Sa Po Sa To Na Mo Po Sa To (yang memiliki semua kemuliaan kebahagiaan kemakmuran tak terkalahkan)

Na Mo Po Chie Mo Fa The Tou (Sumber berkah semua makhluk di seluruh penjuru alam)

Ta Che Ta Aum, Ah Po Lu Si Lu Cia Ti (Aum beliau yang mendengarkan suara dunia mengatasi segala rintangan karma)

Cia Lo Ti, Yi Si Li Mo He Phu Thi Sa To (Aku akan menjalankan ajaranmu sampai tercapainya pencerahan)

Sa Po Sa PO Mo La Mo La, (Memberi yang baik utk semuanya di dalam berkah dan kebijaksanaan Mu)

(36)

Chie Meng, Tu Lu Tu Lu Fa Se Ye Ti (Berlatihlah atasi kelahiran dan kematian raih kemenangan agung gemilang)

Mo He Fa Se Ye Ti To La To La Ti Li Ni (Bersatulah tenang jernih tajam berani pancarkan cahaya terang benderang)

Se Fo La Ye Ce La Ce La Mo Mo Fa Mo La (Guncang guncanglah bebaskan aku dari noda bahtin)

Mu Ti Li Yi SI Yi SI Se Na Se Na (Datang Datanglah dengar dengarlah) Ah La Sen Fo La She Li (Raja Dharma memutar ajaran)

Fa Sa Fa Sen Fo La Se Ye Hu Lu Hu Lu Mo La (Kabar gembira senyum suka cita terimalah Dharma menyatu dalam hati)

Hu Lu Hu Lu Si Li Suo La Suo La (Laksanakan Dharma tampa timbul keraguan teguh tak tergoyahkan)

Si Li SI Li Su Lu Su Lu (Raih kemenangan tak terkalahkan bagaikan embun sejuk yang menyembuhkan)

Pu Thi Ye Pu Thi Ye Pu Tho Ye Pu Tho Ye (Terang teranglah batin sadar sadarlah tercerahkan)

Mi Ti Li Ye Na La Cin CeTi Li Se Ni Na (Beliau yg maha asih yg patut di puja laksana pedang kebenaran yg kuat dan tajam)

Pho Ye Mo Na Sa Po He (kepada yang sempurna Svaha) Si Tho Ye Sa Pho He (kepada yg mulia Svaha)

Mo Ho SI Tho Ye Sa Pho He (kepada yg maha gaib svaha)

(37)

Sa Pho He, Si La Sen A Mu Cu Ye Sa Pho He (Beliau yg mampu mengatasi smua kesulitan svaha, yg berwajah singa Svaha)

Sa Po Mo He Ah Si Tho Ye Sa Pho He (Beliau yg memiliki kegaiban agung Svaha)

Ce Ci La Ah SI to Ye Sa Pho He (Beliau yg memiliki kegaiban cakra svaha) Pho To Mo Ci Tho Ye Sa Pho He (Yg memegang bunga teratai svaha)

Na La Cin Ce Pho Cia La Ye Sa Pho He (Pelindung yg welas dan patut di puja svaha)

Mo Po Li Sen Ci La Ye Sa Pho He (Resi agung yg menjalani hidup suci Svaha) Na Mo He La Ta Na To La Ye Ye (Dengan penuh sujud aku berlindung kepada Tri Ratna)

Na Mo Ah Li Ye Po Lu Cie Ti (Dengan penuh sujud aku berlindung) Suo Po La Ye Sa Pho He (kepada yg maha Sempurna Svaha)

Aum Si Thien Tu Man To La Pha To Ye (Aum semoga jalan mantra ini membuahkan kegaiban kesuksesan)

Sa Pho He (Svaha) 5.1.7

Buah-buahan melambangkan buah dari suatu perbuatan atau keberhasilan atas segala usaha yang telah dilaksanakan. Setiap perbuatan atau usaha yang dilakukan, suatu saat nanti akan membuahkan hasil atau akibat. Berbuat baik akan berakibat kebahagiaan, kemujuran atau berkecukupan/kaya sedangkan berbuat kejahatan akan berakibat penderitaan, kesialan atau serba kekurangan.

(38)

Gambar 5.1.7 Altar dewi Kwan Im Sumber : Kompleks Cemara Hijau Blok G, No.4

(39)

Gambar 5.1.7 Buah-buahan dan Makanan Sumber : Jln. Terong No.48c, Medan

(1)

Persyaratan buah-buahan pada altar Buddha :

(2)

Buah-buahan segar untuk persembahan sebaiknya memiliki aroma yang wangi, seperti: buah apel, jeruk, mangga, nanas, semangka, dan lain-lain.

(3)

Pisang dan buah persik tidak cocok untuk dipersembahkan kepada Buddha.

(4)

(40)

(5) Ketika mengganti buah-buahan segar, maka seluruh buah yang terdapat dalam satu piring harus diganti, tidak boleh hanya mengganti beberapa biji saja.

5.1.8

Bunga digunakan untuk menyatakan perasaan berterima kasih kepada Buddha dan mengingatkan kita mengenai ketidakkekalan. Dengan memperhatikan bunga, seyogianya kita memahami ajaran tentang ketidakkekalan. Kecantikan, kedudukan, kepandaian, keahlian, kekayaan, martabat, jabatan, dan lain-lainnya adalah tidak bertahan selamanya akan mengalami perubahan pada saatnya tiba. Oleh karena itu, bunga yang dipersembahkan ke atas altar Buddha adalah sebagai alarm kehidupan bagi kita, di mana suatu saat apa yang kita miliki dan kita harapkan tidaklah dapat kita lekati sepanjang masa. Semuanya akan berpisah, dengan demikian, kita harus menghindari keangkuhan, kesombongan, dan tinggi hati.

Bunga Segar

(41)

Persyaratan bunga segar pada altar dewi Kwam Im : (1) Lebih baik jika mempersembahkan tangkai daun bambu.

(2) Bunga yang boleh dipersembahkan seperti krisan, bunga bakung, anggrek, narsisis. Bunga yang memiliki duri misalnya bunga mawar tidak cocok dipersembahkan di altar Guan Shi Yin Pu Sa.

(3) Bunga yang disertai dengan tanah dalam pot kembangnya jangan dipersembahkan di altar Guan Shi Yin Pu Sa.

(4) Umumnya, disetiap sisi kiri dan kanan altar, dipersembahkan satu pot tangkai bunga bambu dengan jumlah 1-3 batang tangkai daun bambu di masing-masing pot, sebaiknya jangan terlalu banyak.

(5) Bunga segar jumlahnya tidak ditentukan.

5.2 Kegiatan

(42)

5.2.1 Sembahyang

Bagi yang memuja Kuan See Iem Pho Sat dirumah, pada waktu sembahyang pasang dupa/hio satu batang.

Hal-hal yang perlu diperhatikan pada waktu sembahyang dan membaca doa ini ialah :

 Dilarang memiliki hati dan pikiran yang jahat,  Dilarang membaca sambil tiduran,

 Dilarang merokok,

Sebelum membaca doa, sebaiknya melakukan sembah sujud tiga kali, lalu mengambil dupa, pasang dupa/hio satu atau tiga batang. lalu ujung dupa dibakar, posisi berlutut menghadap kedepan altar Buddha, dan membaca doa, misalnya doa untuk di beri kesehatan :

“Namo kuan se im pu sat wo jiau lai ti na qing nin pau yung wo shen ti jian kang, chu jin ping an, hui zuo geng hao de hai zi, yi hou neng zuo fu mu gao xing, qing nin pau yung wo jia ren shen ti jian kang. Namo kuan se im pu sat. Amithofo”.

Ditranskripsi kata-katanya :

“Buddha Kwan Se Im Pu Sat, nama saya Kristina, mohon Buddha memberi saya kesehatan, keselamatan, kemudian saya bisa membuat orang tua saya bahagia, mohon Buddha memberi keluarga saya kesehatan. Buddha Kuan Se Im Pu Sat. Amithofo”

(43)

Na Mo Ta Pei Kwan She Yin Phu Sa (Terpujilah Yg Maha Asih Avokitesvara Bodhisatva)

Na Mo Ta Pei Kwan She yin Phu Sa (Terpujilah Yg Maha Welas Asih Avolitesvara Bodhisatva)

Na Mo Ta Pei Kwan She yin Phu Sa (Terpujilah Yg Maha Welas Asih Avolitesvara Bodhisatva)

Na Mo He La Ta Na To La Ye Ye (Dengan penuh sujud aku Berlindung Kepada Tri Ratna)

Na Mo O Li Ye Po Lu Cie Ti Suo Po La Ye, (Dengan Penuh Sujud Aku Berlindung kepada Yang Maha Sempurna)

Phu Ti Sa To Po Ye Mo He Sa To Po Ye (Mahkluk yg Telah Mencapai Pencerahan Bodhi)

Mo He Cia Lu Ni Cia Ye, (Mahkluk Agung Maha Welas Asih)

Aum Sa Po La FaYi Su Ta Na Ta Sie (Aum Beliau yg mempunyai kekuatan kesempurnaan Dharma)

Na Mo Si Ci Li To Yi Meng A Li Ye (Dengan sepenuh hati dan sujud aku berlindung kepada Mu)

Po Lu Cie Ti Se Fo La Ling To Po (sumber segala kesucian) Na Mo Na La Cin Ce (Setulus hati aku bersujud Pada MU)

SI Li Mo He Pu Tuo Sa Mi (Cahaya kebajikan Agung yg tiada batas)

Sa Pho Ah Tha Tou SU Peng Ah Se Yin (Para Buddha sayup – sayup merasakannya)

(44)

Na Mo Po Chie Mo Fa The Tou (Sumber berkah semua makhluk di seluruh penjuru alam)

Ta Che Ta Aum, Ah Po Lu Si Lu Cia Ti (Aum beliau yang mendengarkan suara dunia mengatasi segala rintangan karma)

Cia Lo Ti, Yi Si Li Mo He Phu Thi Sa To (Aku akan menjalankan ajaranmu sampai tercapainya pencerahan)

Sa Po Sa PO Mo La Mo La, (Memberi yang baik utk semuanya di dalam berkah dan kebijaksanaan Mu)

Mo Si Mo SI Li Tho Yin Chi Lu Chi Lu (Inti ketenangan tak terhingga laksana Dharma melepaskan kerterbatasan mengembangkan kemajuan pribadi dan menolong smua makhluk)

Chie Meng, Tu Lu Tu Lu Fa Se Ye Ti (Berlatihlah atasi kelahiran dan kematian raih kemenangan agung gemilang)

Mo He Fa Se Ye Ti To La To La Ti Li Ni (Bersatulah tenang jernih tajam berani pancarkan cahaya terang benderang)

Se Fo La Ye Ce La Ce La Mo Mo Fa Mo La (Guncang guncanglah bebaskan aku dari noda bahtin)

Mu Ti Li Yi SI Yi SI Se Na Se Na (Datang Datanglah dengar dengarlah) Ah La Sen Fo La She Li (Raja Dharma memutar ajaran)

Fa Sa Fa Sen Fo La Se Ye Hu Lu Hu Lu Mo La (Kabar gembira senyum suka cita terimalah Dharma menyatu dalam hati)

Hu Lu Hu Lu Si Li Suo La Suo La (Laksanakan Dharma tampa timbul keraguan teguh tak tergoyahkan)

(45)

Pu Thi Ye Pu Thi Ye Pu Tho Ye Pu Tho Ye (Terang teranglah batin sadar sadarlah tercerahkan)

Mi Ti Li Ye Na La Cin CeTi Li Se Ni Na (Beliau yg maha asih yg patut di puja laksana pedang kebenaran yg kuat dan tajam)

Pho Ye Mo Na Sa Po He (kepada yang sempurna Svaha) Si Tho Ye Sa Pho He (kepada yg mulia Svaha)

Mo Ho SI Tho Ye Sa Pho He (kepada yg maha gaib svaha)

Si to Yu Yi Se Po La ye Sa Pho he (Beliau yg memiliki gaib sempurna svaha) Na La Cin Ce Sa Pho He, Mo La Na La (Pelindung yg maha asih svaha)

Sa Pho He, Si La Sen A Mu Cu Ye Sa Pho He (Beliau yg mampu mengatasi smua kesulitan svaha, yg berwajah singa Svaha)

Sa Po Mo He Ah Si Tho Ye Sa Pho He (Beliau yg memiliki kegaiban agung Svaha)

Ce Ci La Ah SI to Ye Sa Pho He (Beliau yg memiliki kegaiban cakra svaha) Pho To Mo Ci Tho Ye Sa Pho He (Yg memegang bunga teratai svaha)

Na La Cin Ce Pho Cia La Ye Sa Pho He (Pelindung yg welas dan patut di puja svaha)

Mo Po Li Sen Ci La Ye Sa Pho He (Resi agung yg menjalani hidup suci Svaha) Na Mo He La Ta Na To La Ye Ye (Dengan penuh sujud aku berlindung kepada Tri Ratna)

Na Mo Ah Li Ye Po Lu Cie Ti (Dengan penuh sujud aku berlindung) Suo Po La Ye Sa Pho He (kepada yg maha Sempurna Svaha)

(46)

Sa Pho He (Svaha)

Lalu setelah membaca doa, diakhiri dengan sembah sujud 3 (tiga) kali.

Gambar 5.2.1 Sembahyang

Sumber : jln. Gatot Subroto, sei kambing no.66, Medan

5.2.2 Sembahyang Saat Menjalankan Tugasdi Luar Kota

(47)

5.2.3 Pemandian Altar dan Rupang (Patung)

(48)
(49)
(50)

Gambar 5.2.3 Pembersihan Altar dan Rupang

5.3 Gagasan

Sumber : Jln. Terong No.48c, Medan

(51)

5.3.1 Aliran Mahayana

Mahayana yang berarti: kendaraan besar. Maksud dari ungkapan ini adalah karena Mahayana dapat menampung sebanyak-banyaknya orang yang ingin masuk nirwana. Mahayana mempunyai pandangan prinsip bahwa setiap manusia yang telah mencapai Bodhi (ilham) dapat menolong orang lain untuk mencapai Bodhi pula. Cara demikian inilah maka makin banyaklah Bodhisatva

yang akan menjadi penghuni nirwana. Penganut faham ini berkeyakinan bahwa

nirwana itu terbuka untuk semua manusia, tidak hanya teruntuk satu golongan. Hanya saja jalan yang ditempuh berbeda, para pendeta mendapat jalan yang lebih jelas dan lebih pendek dari pada yang alami atau yang dilalui oleh orang biasa. (Josoef Soeuyb, 1996).

Ajaran Sang Buddha. Mahayana, yang dilahirkan di India, digunakan atas tiga pengertian utama:

a. Sebagai tradisi yang masih berbeda, Mahayana merupakan kumpulan terbesar dari dua tradisi Agama Buddha yang ada sekarang ini, yang lainnya adalah Theravada pembagian ini sering kali diperdebatkan oleh bebagai kelompok.

(52)

c. Mahayana merujuk kepada satu dari tiga jalan menuju pencerahan, dua lainnya adalah Hinayana dan Vajrayana. Pembagian pengajaran dalam Agama Buddha Vajrayana, dan tidak dikenal dalam ajaran Agama Buddha Mahayana dan Theravada.

aliran

nama Sansekertany

dipercayai telah umat manusia ke jalan kebenaran. Dia diberikan sifat-sifat keibuan seperti penyayang dan lemah lembut. Menurut sejarahnya Avalokitesvara adalah seorang lelaki murid Buddha, akan tetapi setelah pengaruh Buddha masuk ke Tiongkok, profil ini perlahan-lahan berubah menjadi sosok feminin dan dihubungkan dengan legenda yang ada di Tiongkok sebagai seora

Dalam perjalanan sejarahnya, Mahayana menyebar keseluruh Asia Timur. Negara-negara yang menganut ajaran Mahayana sekarang ini adalah Cina, Jepang,Korea dan Vietnam dan penganut Agama Buddha Tibet (etnis Himalaya yang diakibatkan oleh invasi Cina ke Tibet).

5.3.1.1Pokok-pokok Ajaran Mahayana Pokok-pokok ajaran Mahayana adalah sebagai berikut :

(53)

b. Orang tidak sendirian dalam mencapai kelepasan, tetapi dapat ditolong orang lain yang telah menjadi Bodhisatva (orang yang telah mencapai bodhi atau ilham),

c. Kunci keutamaan kasih sayang adalah "Karuna",

d. Agama punya kehidupan di dunia, bagi orang awam di luar golongan pendeta,

e. Tipe ideal manusia ialah Bodhisatva (orang-orang yang telah mencapai ilham sehingga terjamin untuk masuk nirwana),

f. Budha dipandang sebagai juru selamat manusia,

g. Melaksanakan dengan teliti hal-hal yang berhubungan dengan metafisika, h. Mengadakan upacara-upacara keagamaan,

i. Melakukan do'a-do'a permohonan kepada dewa-dewa trimurti Budhisme, j. Memperhatikan yoga-yoga dan mantra-mantra (Tantrisme).

5.3.1.2Konsepsi Ketuhanan Dalam Mahayana

(54)

Mahayana mengenal banyak dewa-dewa, sehingga boleh dikatakan Mahayana adalah berfaham politeisme seperti dalam agama Hindu. Hal ini karena adanya kenyataan sebagai berikut:

(1) Mengenal faham trimurti Budisme yaitu kepercayaan terhadap adanya tokoh-tokoh kedewaan yang terdiri dari Dyani Budha, Manusia Budha dan Dyani Bodisatwa yang kesemuannya bersumber pada Adi Budha (yang bersemayam di Sorga loka).

(2) Mempercayai adanya dewa-dewa lokapala yaitu dewa-dewa yang menjaga dunia diarah penjuru angin.

(3) Mempercayai adanya sakti-sakti (istri dewa).

(4) Mengadakan upacara keagamaan dalam bentuk pemujaan kepada Budha serta memberikan kurban kepadaNYA.

Aliran Mahayana memberi gagasan positif mengenai Tuhan, jiwa, takdir, Mahayana memberikan kepada semua makhluk di seluruh dunia keselamatan melalui iman, cinta serat pengetahuan, para pengikut Mahayana berpendapat bahwa Budha bukan pendeta penebus dosa, dia tidak menutup matanya bagi dunia ketika mencapai nirwana tetapi menawarkan cahaya agar dunia sampai pada tujuannya. "Saya akan menjadi pengawal bagi mereka yang tidak mempunyai perlindungan, pemandu para musafir, sebuah kapal sebuah mata air, sebuah jembatan bagi para pencari penopang, saya akan menjadi lampu manakala dibutuhkan, tempat tidur bagi yang letih manakala ia membutuhkan tempat tidur, pekerja keras manakala pelayanan dibutuhkan.

(55)

menurut Mahayana, Budha Gautama bukanlah suatu fenomena yang berdiri sendiri melainkan sebagai mata rantai deretan para Budha dari unsur kebudhaan yang disebut tathagatagarbha (rahim kebudhaan) atau Budha-bija

(benih Budha). (Daisaku Ikeda, 1997).

Table 5.3.1.1 Agama Buddha Mahayana

Mahayana

Manusia terlibat dengan sesamanya Manusia tidak sendirian

(penyelamatan melalui rahmat) Kebajikan utama, karunia, belas kasih

Agama itu penting bagi hidup di dunia (juga bagi orang awam) Cita-cita : Bodhisatva

Budha seorang penyelamat Mendalami metafisika

Mencakup upacara keagamaan Memasukkan doa permohonan Liberal

Sumber : Huston Smith, Agama…, op.cit., hlm. 163

(56)

BAB VI

KESIMPULAN DAN SARAN 6.1 Kesimpulan

Dari uraian tentang Altar Sembahyang untuk Dewi Kwan Im pada Rumah Masyarakat Tinghoa Buddha di Medan dapat disimpulkan bahwa masyarakat Tionghoa tidak dapat lepas dari 3 (tiga) wujud budayayaitu artefak, kegiatan, dan gagasan tersebut.

Dalam altar Dewi Kwan Im terdapat artefak berupa rupang (patung) Buddha, lampu minyak, lampu lilin, lampu teratai ataupun lilin, minyak, air suci, dupa, music yang berisikan mantra da bei cou, buah-buahan segar yang memiliki aroma wangi seperti apel, jeruk, nanas, lalu diletakkan bunga segar seperti krisan, bunga bakung, anggrek, narsisis, dan lebih baik apabila meletakkan tangkai bambu.

Pada altar Dewi Kwan Im juga dilakukan kegiatan sembahyang, sembahyang ketika pindah rumah, dan pemandian altar dan rupang menggunakan air bunga, biasanya dilakukan setiap tahun sekali ketika menjelang Imlek yaitu setelah tanggal 24 (sampai akhir bulan) bulan 12 imlek.

(57)

dikatakan Mahayana adalah paham politeisme, menyerupai faham kedewataan dalam agama Hindu yang dipengaruhi oleh kepercayaan India lama.

6.2 Saran

Gambar

Tabel 4.1
Gambar 5.1.1 rupang dewi Kwan Im
Gambar 5.1.2 Altar Dewi Kwan Im
Gambar 5.1.3 Minyak
+7

Referensi

Dokumen terkait