• Tidak ada hasil yang ditemukan

SUFISME DAN SINKRETISME ISLAM DI WILAYAH

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2018

Membagikan "SUFISME DAN SINKRETISME ISLAM DI WILAYAH"

Copied!
26
0
0

Teks penuh

(1)

SUFISME DAN SINKRETISME ISLAM DI WILAYAH MALUKU

Masalah sufisme dan sinkretisme adalah persoalan yang umum dalam penelitian tentang Islam. Namun dalam studi kasus di Maluku, mungkin yang termasuk jarang terangkat. Penelitian ini dengan fokus kajian arkeologi dan antropologi, merupakan penelitian yang bertujuan selain untuk melihat sejarah dan perkembangan konversi Islam pada awal masuknya, juga melihat perkembangan praktek Islam dalam konteks kekinian. Metode penelitian ini menggabungkan metode arkeologi dan antropologi selain survei untuk pengumpulan, pendeskripsian dan analisis data arkeologi terutama data monumental juga melakukan observasi dan wawancara untuk melihat berbagai praktik ritual yang berhubungan dengan Islam masa sekarang. Berbagai data arkeologi baik secara langsung maupun tidak langsung menghasilkan bahan interpretasi tentang praktik sufisme dan sinkretisme Islam. Hal ini semakin dipertegas oleh adanya berbagai ritual yang dilakukan oleh komunitas Islam yang memadukan antara paham Islam dengan adat dan tradisi lokal yang masih bertahan sampai sekarang. Dengan demikian, karakteristik Islam di Maluku menampilkan identitas Islam yang integratif, yakni sangat mengakomodir paham-paham budaya lokal.

Kata Kunci : Sufisme, Sinkretisme, Islam, Maluku

Abstract

Sufism and syncretism problem is that multiple issues in research on Islam. But in a case study in the Moluccas, which may include rarely raised. This study focused study archaeology and anthropology, a study that aims other than to look at the history and dynamic of Islam in the early conversion of the entry, also saw the dynamic of Islam practice in present context. This research method combines the

methods of archeology and anthropology in addition to the survey for the

(2)

and traditions that still survive today. Thus, the characteristics of Islam in the Moluccas show that integrative Islamic identity, which is to accommodate local cultural ideologies.

Key Word : Sufism, syncretism, Islam, Maluku

A.PENDAHULUAN

Berbicara tentang Islam di Wilayah Kepulauan Maluku, tak bisa dilepaskan

dengan wilayah yang mula-mula berkembang Islam yakni wilayah Maluku bagian

utara (sekarang Provinsi Maluku Utara) yang ditandai dengan berdiri dan

berkembangnya kerajaan–kerajaan besar bercorak Islam. Di wilayah ini berkembang

empat kerajaan Islam yang disebut sebagai Moluko Kie Raha, yakni Ternate, Tidore,

Bacan dan Jailolo. Islam di Maluku, tidak bisa dilepaskan dari dinamika Islam

Nusantara. Indonesia atau Nusantara, sebagai salah satu wilayah di kawasan Asia

Tenggara, selama ini menarik banyak peneliti untuk mengkaji tentang sejarah

Islamisasi di wilayah ini. Menurut Barbosa (1921) dan Galvao (1862) sebagaimana

dikutip oleh Lape (2005) mengatakan bahwa pertanyaan penting dan menarik dalam

studi sejarah dan arkeologi Islam di Asia Tenggara adalah berkaitan dengan awal

masuknya Islam ketika pertama kali mencapai wilayah Asia Tenggara, di mana dan

siapa pihak asing yang membawa dan darimana mereka datang (Barbosa 1921;

Galvao 1862 dalam Lape, 2005). Khusus untuk Indonesia sendiri, Ricklefs (2008)

menanyakan, setelah beberapa abad lamanya orang-orang asing singgah atau

menetap, mengapa pengislaman orang-orang Indonesia baru terjadi pada abad XIII

dan terutama abad XIV dan XV? Berasal darimanakah Islam masuk ke Indonesia?

Dan bagaimanakah cara Islam berhasil menjadi agama mayoritas penduduk

Indonesia? (Ricklefs, 2008:38).

Pertanyaan terakhir, tentang bagaimana cara Islam berhasil menjadi agama

mayoritas, tampaknya menjadi kajian yang paling banyak menarik minat peneliti.

Gulliot dan Chambert Loir (2001) misalnya mengatakan, agama Islam tidak mungkin

(3)

mengakar begitu kuat dalam masyarakat. Aliran sufi sebagai usaha yang

sungguh-sungguh untuk mencari kesucian, menyatakan adanya di dunia suatu hierarki

wali-wali tersebut menjadi penuntun bagi anggotanya ke jalan kesucian. Salah satu

keistimewaan penting agama Islam adalah tasawuf, yaitu usaha batin perorangan

yang kelihatannya terbatas pada kalangan elit, justru mampu melahirkan

gerakan-gerakan massa seperti tarekat (Gulliot dan Chambert Loir, 2010:4-5). Khusus wilayah

Nusantara, A.H. Jhons (1995) mengatakan dengan mempertimbangkan kemungkinan

yang sangat kecil, para pedagang memainkan peranan yang paling penting dalam

ekspansi Islam dan dugaan motif yang bersifat ekonomi, politik, bagi bangsa

Melayu-Indonesia. Pada kenyataannya para sufi pengembaralah yang secara luas menjalankan

dakwah Islam. Mereka berhasil mengislamkan banyak penduduk di Melayu dan

Indonesia, paling tidak semenjak abad ke-13. Keberhasilan dalam Islamisasi terutama

disebabkan oleh kemampuan kaum sufi yang menyajikan Islam dalam bentuk yang

menarik. Ricklef (2008) mengatakan, pendekatan Islam dengan jalan sufisme,

tampaknya mendapat tempat dan menarik orang untuk mengadopsi Islam. Konversi

masyarakat ke Islam, salah satu diantaranya disebabkan ketertarikannya terhadap

ajaran sufi (lihat Ricklefs, 2008; Mulyati, 2010).

Selain soal ketertarikan terhadap sufi, banyak pula pendapat yang

mengatakan, begitu cepat dan mudahnya Islam menjadi agama mayoritas di

Nusantara, karena Islam sangat akomodatif terhadap budaya lokal yang hidup jauh

sebelum hadirnya Islam. Gus Dur, mengatakan dalam menerjemahkan

konsep-konsep langitnya ke bumi, Islam mempunyai karakter dinamis, elastis dan akomodatif

dengan budaya lokal, selama tidak bertentangan dengan prinsip-prinsip Islam itu

sendiri. Permasalahannya terletak pada tata cara dan teknis pelaksanaan. Inilah yang diistilahkan Gus Dur dengan ‘pribumisasi Islam’ (Wahid, 1989). Dengan fakta ini, terbukti bahwa Islam tidak anti budaya. Semua unsur budaya dapat disesuaikan dalam

Islam. Pengaruh arsitektur India misalnya, sangat jelas terlihat dalam

bangunan-bangunan mesjidnya, demikian juga pengaruh arsitektur khas mediterania. Budaya

(4)

Tulisan ini, setidaknya akan menyinggung pula tentang bagaimana Islam

dikembangkan di wilayah penelitian, yang sekaligus pula akan membincangkan

bagaimana karakteristik budaya Islam yang berkembang di wilayah tersebut.

Pentingnya mengkaji sufisme dan sinkretisme, karena bagaimanapun di Indonesia

timur, khususnya Maluku, tampaknya daya tarik Islam, juga terletak pada ajaran sufi,

selain terdapat praktek-praktek percampuran antara Islam dan budaya lokal setempat.

Catatan sejarah tentang Islamisasi di Maluku, hampir-hampir tak memuat penjelasan

khusus tentang sufisme dan sinkretisme. Padahal, masyarakat Maluku dikenal sebagai

masyarakat yang sangat kental mewarisi trasisi leluhur, masih mempertahankan dan

sangat menghormati budaya lokal, dan jauh sebelum agama masuk, telah mengenal

tradisi dan ritual penghormatan leluhur serta telah mengenal konsep pemahaman

terhadap ketuhanan. Tentu saja ketika Islam masuk, kemungkinan terdapat

persentuhan Islam dan budaya lokal yang sangat kental.

Untuk perluasan kajian tentang sinkretisme dan sufisme Islam di wilayah

Maluku, penelitian ini dipusatkan di wilayah Pulau Haruku, Kabupaten Maluku

Tengah, Provinsi Maluku. Lokus penelitian di wilayah empat desa yakni Pelauw,

Kailolo, Kabauw dan dan Rohomoni, yang secara administratif maupun geografis

berada di Kecamatan Pulau Haruku, Kabupaten Maluku Tengah, Provinsi Maluku.

Pada masa lampau keempat desa ini merupakan wilayah kekuasaan Islam, memiliki

pemerintahan otonom bergabung dalam satu pemerintahan yakni Kerajaan Uli

Hatuhaha. Sedangkan fokus permasalahan yang akan dibahas dalam penelitian ini

adalah:

1. Bagaimana perkembangan budaya Islam dan integrasinya dengan budaya

lokal pada masa lampau dan masa sekarang?

2. Bagaimana konsepsi sufisme Islam yang dianut masyarakat Pulau Haruku

(5)

Untuk mengantar bahasan ini, perlu kiranya diketengahkan berbagai

pengertian tentang sufi dan sinkretisme. Pengertian pertama memahami sufisme

sebagai suatu cara yang dimaksudkan untuk mengetahui bagaimana menyucikan diri

manusia, menjernihkan tingkah lakunya, dan membangun aspek lahir dan batinnya

agar kemudian berujung pada pencapaian kebahagiaan yang abadi.

(www.wikipediaindonesia.com). Nasution (1995) menjelaskan pengertian sufi yakni

lebih melihat eksistensi sufisme pada tujuannya, yaitu untuk memperoleh hubungan

langsung (direct relation) dan secara sadar dengan Tuhan sehingga dengan demikian

intisarinya adalah kesadaran akan adanya komunikasi dan dialog antara roh manusia

dengan Tuhan dengan cara mengasingkan diri dan berkontemplasi (Nasution,

1995:56-58). Pengertian lain memaknai sufisme sebagai paham mistik dalam Islam

sebagaimana Taoisme yang ada di Tiongkok dan Yoga di India dan yang terakhir,

sufisme dipahami sebagai aliran kerohanian mistik yang ada dalam Islam. Sementara

itu, seperti halnya pengertian sufisme yang mengalami perbedaan, pemahaman

mengenai asal mula penamaan tasawuf yang merupakan nama lain dari sufisme juga

terjadi perbedaan di kalangan para ahli. Menurut GBJ Hilterman dan Van De

Woestijne serta Van Haeringen, sebagaimana dikutip kembali oleh Nasution (1995),

penamaan tasawuf untuk menyebut aspek mistisisme dalam Islam berasal dari kata shūfi yang digunakan pertama kali oleh seorang asketik (zāhid) bernama Abū Hāsyim al-Khūfi di Irak.

Di lain pihak ada yang menyebutkan bahwa penamaan tasawuf tersebut

berkaitan dengan pakaian yang digunakan oleh para pelakunya (zāhid) yang menunjukkan pada kesederhanaan, yaitu berupa wol kasar yang dalam bahasa Arab

disebut dengan shūf. Sedangkan di sisi lain ada yang mengatakan bahwa penamaan aspek mistisisme dalam Islam dengan sufisme karena merujuk pada suatu kelompok

masyarakat miskin yang ada di Madinah di masa Nabi Muhammad. Orang-orang

miskin ini tinggal di emperan Masjid Nabawi yang kemudian oleh para sahabat

(6)

penamaan tasawuf berasal dari kata shaf pertama dalam shalat berjamaah yang

memiliki keistimewaan tersendiri dalam ajaran Islam sebagaimana juga dengan

tasawuf (sufisme) yang bertujuan untuk mendekatkan diri kepada Tuhan. Namun

demikian, jika pendapat-pendapat di atas melihat bahwa penamaan tasawuf

bersumber dari dalam Islam sendiri, maka ada juga pihak lain yang menganggap

bahwa penamaan tersebut berasal dari luar Islam. Kalangan ini beranggapan bahwa

penamaan aspek mistisisme dalam Islam dengan sufisme atau tasawuf merupakan

aktualisasi dari terjadinya persentuhan antara Islam dengan budaya Yunani.

Sebagaimana diketahui bahwa setelah Islam tersebar luas hingga mencapai

kawasan-kawasan luar Arab, terjadi persentuhan dan persinggungan dengan budaya-budaya

atau tradisi-tradisi yang ada dalam masyarakat wilayah tersebut. Salah satu

persentuhan tersebut adalah dengan budaya Yunani yang memang diyakini memiliki

sisi filosofis yang agung dan tinggi. (Nasution, 1995:56-58).

Sementara itu, dalam buku The Encyclopedi of Religion (1987) yang dikutip

oleh Hariani Santiko (1993) dan Redig (1998), sinkretisme diartikan sebagai

percampuran dua unsur kebudayaan sedemikian rupa sehingga muncul suatu unsur

kebudayaan baru yang mengandung dua unsur yang bercampur (Santiko, 1993:29;

Redig, 1998/1999). Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (1990), sinkretisme adalah

nama paham (aliran baru) yang merupakan perpaduan dari beberapa paham (aliran)

yang berbeda untuk mencari keserasian, keseimbangan dan sebagainya. Penjelasan

lain budaya Islam sinkretis merupakan gambaran suatu genre keagamaan yang sudah

jauh sifatnya yang murni. Kelompok ini amat permisif terhadap unsur budaya lokal

(Sutiyono, 2010:5). Sinkretisme oleh beberapa kalangan dipahami pula sebagai

percampuraan unsur-unsur yang berbeda. Adapun pengertiannya adalah suatu

gerakan di bidang filsafat dan teologi untuk menghadirkan sikap kompromi pada

hal-hal yang berbeda dan bertentangan. Agama Hindu, Budha dan kepercayaan asli yang

berdasar animisme dan dinamisme telah berakar di kalangan masyarakat Jawa,

(7)

pergumulan antara Islam, dengan kepercayaan-kepercayaan yang ada sebelumnya.

Akibatnya, muncul dua kelompok dalam menerima Islam. Pertama menerima Islam

secara total dan meninggalkan kepercayaan-kepercayaan lama. Kedua kelompok yang

mencampur antara aspek-aspek dari ajaran Islam dengan unsur-unsur kepercayaan

lama. Toleransi terhadap kepercayaan dan budaya setempat, di satu sisi dianggap

membawa dampak negatif, yaitu sinkretisasi antara Islam dengan

kepercayaan-kepercayaan lama. Sehingga sulit dibedakan mana yang benar-benar ajaran Islam dan

mana pula yang berasal dari tradisi. Positifnya, ajaran-ajaran yang disinkretiskan

tersebut telah menjadi jembatan yang memudahkan masyarakat dalam menerima

Islam sebagai agama mereka yang baru.

Adaptasi sinkretik yang harmonis antara sufisme dengan berbagai anasir

keagamaan seperti animisme dan tradisi seperti tradisi Hindu-Jawa sebagaimana

terdapat di desa-desa di Jawa disebut oleh Clifford Geertz (1989) sebagai bentuk

abangan. Dalam arti yang lebih luas istilah abangan ialah “mereka yang sedikit

pengetahuannya tentang Islam dan sedikit pula keterlibatannya di dalam ajaran-ajaran

Islam”, kendatipun mereka itu mengaku diri sebagai Muslim. Banyak di antara

mereka ini yang oleh orang Indonesia biasanya dinamakan “Islam statistik” atau “Islam nomina”, karena walaupun mereka menganggap dirinya sebagai Muslim namun asing dari pelaksanaan ajaran-ajaran Islam. Kaum Muslim abangan ini dapat

ditemukan dikalangan rakyat jelata, demikian pula di kalangan kaum aristokrat atau

priyayi. Mereka itu ditemukan baik di kota maupun di desa-desa. Sebagian besar di

antara mereka itu sama sekali tidak tahu-menahu tentang masalah-masalah

keagamaan, sementara yang lain terus ikut serta dalam praktik-praktik falsafah

kosmik-monistik dalam tradisi Hindu-Jawa. Sebagai penganut-penganut pandangan

falsafah tersebut kaum muslim abangan memandang berbagai tradisi keagamaan

tersebut sekedar cara yang berbeda di dalam menyembah Tuhan yang sama.

Belakangan konsepsi Geertz, sudah banyak ditentang, pada konteks sekarang, tidak

(8)

perbedaannya, atau bahkan hilang sama sekali.

Dalam perkembangannya kebudayaan suatu daerah mengalami proses-proses

pencampuran yang disebabkan oleh adanya kontak antara masyarakat pendukung

kebudayaan tersebut dengan masyarakat pendukung kebudayaan asing. Proses

pencampuran budaya ini dikenal dengan istilah akulturasi (Koentjaraningrat 1989:

247-248). Proses akulturasi akan terjadi karena adanya hubungan dan pergaulan suatu

masyarakat pendukung kebudayaan tertentu dengan masyarakat lain, di mana

masing-masing masyarakat saling memberikan dan menerima pengaruh (Poespowardojo

1986: 33).Hubungan antara Islam dengan isu-isu lokal adalah kegairahan yang tak

pernah usai. Islam akan senantiasa dihadirkan dan diajak bersentuhan dengan

keanekaragaman konteks. Dan fakta yang tak bisa dipungkiri, kehadiran Islam

tersebut dalam setiap konteks tertentu; tak nihil dari muatan-muatan lokal yang

mendahului kehadiran Islam. Dalam ranah ini, hubungan antara Islam dengan

anasis-anasir lokal mengikuti model keberlangsungan (al-namudzat al-tawashuli), ibarat

manusia yang turun-temurun lintas generasi, demikian juga kawin-mawin antara

Islam dengan muatan-muatan lokal (Fikri, 2009). Di sisi lain, Islam merupakan

agama yang berkarakteristikkan universal, dengan pandangan hidup (weltanchaung)

mengenai persamaan, keadilan, takaful, kebebasan dan kehormatan serta memiliki

konsep teosentrisme yang humanistik sebagai nilai inti (core value) dari seluruh

ajaran Islam, dan karenanya menjadi tema peradaban Islam (Kuntowijoyo, 1991).

Konsep teoritis tentang bagaimana kultur Islam yang berkembang di suatu

wilayah, sebagaimana yang telah diuraikan di atas, menjadi konsep yang akan

ditinjau dalam penelitian tentang kultur Islam di wilayah penelitian yang penulis

ajukan, yakni di wilayah Pulau Haruku, Kabupaten Maluku Tengah. Konsep ini akan

dioperasionalisasikan melalui serangkaian metode penelitian yang menggabungkan

metode penelitian arkeologi dan etnografi sebagaimana yang dilakukan dalam studi

ilmu antropologi. Untuk metode arkeologi mengacu pada metode penelitian arkeologi

(9)

yang digunakan dalam penelitian arkeologi mulai dari observasi atau pengumpulan

data, deskripsi atau pengolahan data dan eksplanasi atau penjelasan data. Penelitian

didahului dengan survei lapangan, yakni kegiatan pengamatan secara langsung di

kawasan situs yang bertujuan mencari dan menemukan data-data di permukaan tanah.

Kegiatan survei dilakukan dengan survei permukaan untuk tujuan pengumpulan data

arkeologi. Kegiatan ini sekaligus melakukan perekaman dan pendeskripsian data.

Kegiatan survei dan pendeskripsian terutama diarahkan pada data arkeolgi yang

bersifat monumental seperti masjid kuno dan bangunan lainnya. Survei juga

dilakukan untuk mengumpulkan data permukaan lainnya antara lain data reliks yang

tersebar di permukaan tanah. Hal ini untuk mengidentifikasi bentuk-bentuk aktifitas

masyarakat pada masa lampau. Sementara pendeskripsian bangunan monumental

dilakukan sedetail mungkin menyangkut deskripsi metrik, desain arsitektur, tipologi

bangunan dan atribut kuat lainnya seperi hiasan dan sebagainya. Diharapkan hasil

pendeskripsian ini dapat memberi gambaran tentang pengaruh teknologi dan aspek

sosial budaya. Kegiatan survei yang penting dalam penelitian ini juga meliputi

kegiatan pengamatan atau observasi lapangan terhadap aktifitas masyarakat

sehari-hari yang berkaitan dengan kegiatan religi dan ritual masyarakat setempat. Hal ini

dilakukan untuk mengamati atau mengidentifikasi bentuk-bentuk transformasi

budaya masyarakat setempat berkaitan dengan dinamika budaya lokal.

Selain itu, juga dilakukan studi pustaka, dalam tahap ini, penggalian informasi

dilakukan dengan mengumpulkan dan mempelajari sumber-sumber tertulis (literatur)

tentang sejarah dan budaya masyarakat di wilayah Maluku, khusunya di Pulau

Haruku. Teks-teks sejarah terutama menyangkut proses Islamisasi dan masa kolonial.

Data kepustakaan yang perlu dipelajari dan dikaji juga menyangkut catatan-catatan

etnografis tentang budaya lokal masyarakat setempat.

Wawancara adalah kegiatan menggali informasi dari masyarakat. Hal ini

penting untuk memperoleh informasi dari masyarakat yang tradisi tuturnya cukup

(10)

mendukung analisis arkeologi. Metode wawancara dilakukan dengan cara wawancara

terbuka, sehingga memungkinkan memperoleh informasi yang lebih luas dari

informan. Dalam konteks penelitian ini, peneliti juga dituntut pula dapat berperan

sebagai etnografer, hal ini karena banyak data-data etnografi harus temukan dan

dikaji oleh peneliti. Mengikuti penjelasan Spradley (1997, 119-120), terdapat 5 (lima)

tugas etnografer yang mesti dilakukan yakni pertama; memilih masalah. Semua

etnografi dimulai dengan permasalahan umum yangs sama, yakni tentang makna

budaya yang digunakan oleh masyarakat untuk mengatur tingkah laku dan

menginterpretasikan pengalaman mereka. Kedua; mengumpulkan data kebudayaan.

Pada tahap ini etnografer mulai mengajukan pertanyaan-pertanyaan deskripstif

dengan melakukan observasi umum dan mencatat semua ini dalam catatan lapangan.

Ketiga, analisis data kebudayaan. Analisis ini meliputi pemeriksaan ulang catatan

lapangan untuk mencari simbol-simbol budaya (yang biasa dinyatakan dalam istilah

asli) serta mencari hubungan antara simbol-simbol itu. Keempat; memformulasikan

hipotesis etnografis. Hipoteisis ini muncul dari budaya yang dipelajari, yakni

hipotesis etnografi yang harus diformulasikan setelah mengumpulkandata awal.

Kelima, menuliskan etnografi. Menulis, dalam satu pengertian merupakan suatu

proses perbaikan analisis. Fokus kajian artikel ini, meskipun masih sangat ringkas,

setidaknya juga akan mendiskusikan tentang perkembangan Islam melalui

pengamatan terhadap aspek sufisme dan sinkretisme melalui perspektif arkeologi dan

antropologi (etnografi).

Perspektif arkeologi, menyandarkan kajiannya pada material budaya sebagai

bahan interpretasi untuk melihat dinamika budaya masa lampau, sedangkan

perspektif antropologi, menyandarkan kajiannya pada aspek tingkah laku masyarakat

masa kini, yang diantaranya merupakan kelanjutan dari budaya masa lampau.

Pendekatan dalam studi tentang Islam di Maluku dalam hal ini berhubungan dengan

arkeologi-antropologi, mengingat data arkeologi dalam berbagai aspek, masih

(11)

sampai kini. Sebaliknya, tradisi dan ritus Islam yang berlangsung saat ini selain

berhubungan dengan data arkeologi Islam yang ada, juga merupakan kelanjutan dari

praktik-praktik Islam masa lampau dari awal penyebarannya dan terus bertahan

hingga kini. Dalam konteks ini, berangkat dari data-data material peninggalan

arkeologi Islam di Maluku, berbagai aspek tentang budaya Islam akan diuraikan.

Selanjutnya melalui data-data arkeologi maupun berbagai bentuk budaya hidup dan

tradisi berlanjut (living culture) yang masih bisa kita saksikan sekarang, dapat

menjadi bahan untuk memaknai berbagai dinamika budaya masyarakat dalam

kehidupan budaya dan Islam.

B. HASIL DAN PEMBAHASAN

1. Sufisme sebagai Model Konversi Islam

Hasil penelitian di kawasan Pulau Haruku meliputi desa Rohomoni, Pelauw,

Kabau dan Kailolo menemukan gejala-gejala tentang model konversi Islam yang

disebabkan ketertarikan terhadap ajaran tasawuf atau mistik dalam Islam. Di wilayah

Maluku, aliran mistik Islam, seperti halnya diwilayah lain, misalnya di Banten, yakni

adanya tradisi debus, yang dipercaya berkembang pada masa awal pengislaman atau

konversi Islam oleh masyarakat. Di beberapa daerah atau negeri-negeri1 muslim di

Kabupaten Maluku Tengah, yakni Negeri Rohohomoni, Pelauw, Kabau dan Kailolo

di Pulau Haruku, ritual debus disebut cakalele. Jadi dalam pengertian ini, cakalele

menurut masyarakat muslim, terutama di Negeri Rohomoni, bukanlah tarian adat,

namun sebuah ritus Islam yang diajarkan oleh para wali atau syekh atau pandita

penganjur Islam di wilayah setempat. Di negeri-negeri Muslim yang pada masa

lampau tergabung dalam satu Kerajaan Hatuhaha, sampai sekarang ritual ini masih

terus dipraktekkan 3 tahun sekali. Ritual debus atau dalam istilah setempat cakalele,

melalui prosesi yang kurang lebih sama atau seragam di semua wilayah. Di

1 Negeri, adalah penyebutan untuk desa adat di wilayah Maluku. Desa adat merupakan wilayah administratif

(12)

Masyarakat Hatuhaha, pantangan terbesar dari proses cakalele ini adalah jika keluar

rumah tidak mendapat ijin dari salah satu anggota keluarganya. Jadi ketika

meninggalkan rumah, harus seijin seluruh anggota keluarga yang tinggal serumah,

jika tidak maka celaka. Pada saat melalukan ritual cakalele, tidak akan sukses, badan

tidak lagi kebal senjata.

Konsep sufisme lainnya dalam perspektif arkeologi, misalnya, dapat ditinjau

dari arsitektur masjid. Hal ini merupakan fakta arkeologis yang secara langsung juga

dapat memberikan interpretasi paham tarekat sufi pada masyarakat, khususnya di

Maluku tengah. Interpretasi arkeologi terhadap data arkeologi berupa puncak atap

masjid, atau yang disebut sebagai mustaka, terdapat ‘Tiang Alif’ sebagai perlambang

atau simbol Ketauhidan (paham ketuhanan yang tunggal). Selain itu atap masjid

bertumpang atau bersusun tiga juga melambangkan konsep akidah Islam, yakni

Syariat, Tarekat, Hakikat dan Ma’rifat dilambangkan dalam ruangan masjid2.

Penjelasan ini bisa pula ditafisirkan sebaliknya, yakni dari bawah, ruang dalam

masjid sebagai sarana atau tempat sembahyang sebagai simbol syariat, terus ke atas

atap susun tiga dari bawah sebagai simbol tarekat, hakikat dan makrifat yang dilambangkan pada atap teratas yang juga terdapat ‘tiang alif’ pada puncaknya. Artinya, dalam Islam tingkatan jika sesorang sudah melalui tahapan dan sudah

melaksanakan syariat, tarekat, hakikat dan makrifat maka akan mencapai

kesempurnaan tertinggi, yakni menuju Ketuhanan yang Tauhid. Pada konteks ini, dari

segi arsitektur masjid di wilayah Hatuhaha pada khususnya, sudah memperlihatkan

adanya konsep sufisme Islam.

Sufisme juga bisa diobservasi melalui serangkaian ritual dalam tradisi

pemakaman di Desa Pelauw, Pulau Haruku, Maluku Tengah, sungguh unik dan

mencengangkan. Seperti tradisi-tradisi Islam sinkretis lainnya yakni bahwa

masyarakat memperingati hari kematian 7, 40, dan 100 dan 1000 hari. Namun di

2

(13)

wilayah ini, terutama di Negeri Pelauw, pada paska hari ke 100, ada tradisi memindahkan mayat yang dilakukan secara ‘gaib’ menurut keyakinan mereka, yakni pada lapisan sosial tertentu dari soa atau marga di Desa Pelauw. Makam-makam yang

sebelumnya berada di kompleks pekuburan umum, pada 100 hari, jasad si mayat

dipercaya berpindah secara gaib di dalam pemukiman penduduk, untuk marga

tertentu yakni lapisan sosial yang tinggi, dimakamkan di areal atau di kompleks

masjid. Makam-makam tersebut pada umumnya, berbentuk makam sederhana, yakni

jirat tanah tanpa ditinggikan tanahnya atau rata serta tidak ditembok, seperti makam

modern pada umumnya. Selain itu nisannya biasanya hanya berupa batu berbentuk

menhir atau batu bulat, terutama untuk nisan kepala. Tradisi ini memperlihatkan

bahwa sufisme dan sinkretisme hampir-hampir tidak bisa dipisahkan. Paham sufisme

terlihat dari proses pemindahan mayat atau kerangka si mati secara gaib. Menurut

keyakinan mereka, setelah 100 hari mayat dipindahkan, maka kuburan semula jika

digali tidak akan ditemukan rangka si mati, karena sudah dipindahkan secara gaib ke

makam yang baru di dekat masjid atau di dalam kampong (pemukiman).

Masih soal perlakuan terhadap orang yang dimakamkan, di wilayah Desa

Pelauw, Rohomoni, Kabauw dan Kailolo, terdapat karakteristik makam yang menarik

dalam konteks simbolisasi budaya. Makam, tampaknya dapat memberi pemaknaan

secara simbolis terhadap status sosial dan tingkat kesucian seseorang yang

dimakamkan. Makam-makam yang bercungkup, merupakan makam bagi sesorang

dengan status sosial yang tinggi, dalam kategori ini, bisa termasuk raja, tokoh agama

bahkan dukun atau syaman. Dari makam yang bercungkup, masih bisa dibedakan

lagi, dengan ukuran jirat, semakin besar jirat makam, menunjukkan semakin tinggi

derajat seseorang. Khusus bagi makam wali atau syekh atau pandita, sebagaimana

yang dapat disaksikan secara langsung di desa Kailolo, makam wali atau syekh

memiliki karakteristik yang paling berbeda, yakni makam dengan jirat berukuran

besar, dibangun di dalam cungkup, berukuran besar layaknya sebuah rumah tinggal.

Selain itu, makam dikelilingi atau diselubungi kain seperti bendera berwarna merah

(14)

makam. Tiang berjumlah empat, seperti soko guru pada bangunan masjid. Keempat

tiang ini didirikan di keempat sudut pada jirat makam, dengan demikian kain merah

putih diikat keliling menutup makam, akibatnya kita tidak bisa melihat

sebenar-benarnya bagaimana bentuk dan tipologi makam, baik jirat maupun nisannya. Secara

simbolik, kain merah putih itu menunjukkan bahwa makam, tersebut merupakan

makam orang suci. Dalam konsep masyarakat, merah putih itu sendiri merupakan

simbol kesucian seorang ibu. Seorang ibu atau wanita tidak dapat dilepaskan dari

konteks simbol warna merah sebagai warna darah dan putih itu sebagai simbol

kesucian itu sendiri.

Perlakuan terhadap orang yang dimakamkan, dengan cara mensucikan atau

mengkeramatkan makam, merupakan bukti berkembangnya sufisme. Henri Chambert

Loir dan Claude Guillot (2010) menjelaskan bahwa sukses yang dialami

tarekat-tarekat sufi, berikutnya munculnya syekh-syekh yang sangat banyak, menyebabkan

pengkeramatan sejumlah besar wali-wali yang sudah meninggal, dan mereka itu

merupakan sebagian besar dari fenomena ziarah. Lebih lanjut mereka katakan, ketika

menghadapi wali-walinya, masyarakat seakan-akan melupakan ibadah-ibadah wajib

di masjid dan menemukan kembali semua bentuk-bentuk lama, termasuk yang paling

aneh, dari pendekatan terhadap kesucian. Hal itu terus saja berlangsung selama tidak

aka kekuatan politik atau religious yang menghalanginya. Makam wali adalah tempat

pengungkapan perasaaan religius yang bebas serta juga tempat memelihara ritus-ritus

kuno. Kalau amal sembahyang di masjid mencerminkan kesatuan dan keseragaman

dunia Islam, maka amal ziarah ke makam wali mencerminkan keanekaragaman

budaya-budaya yang tercakup dalam dunia Islam.

Menyangkut sufisme wali dan pengkeramatan atau penyucian makam,

misalnya dapat dilihat di Desa Kailolo. Di desa ini dipercaya sekali oleh masyarakat

setempat bahwa penyebar Islam di wilayah setempat, salah satunya adalah Maulana

Malik Ibrahim. Nama ini adalah seorang penyebar Islam di wilayah Jawa dan

(15)

Maulana Malik Ibrahim juga menyebarkan Islam di Kailolo. Lebih mencengangkan

lagi adanya makam kuno yang dipercaya sebagai makam Maulana Malik Ibrahim.

Menurut keterangan masayarakat setempat, bahwa wali atau syekh atau pandita,

adalah orang suci yang pada saat bersamaan bisa hadir dimana saja. Mereka adalah

seorang sufi, yang bisa mentransformasikan jasad dan ruhnya secara gaib dan tiba-tiba . “Saat ini di Jawa, tapi pada saat yang sama juga ada di Maluku, itu bisa saja terjadi bagi seorang wali sufi” begitu katanya. Jadi, soal Maulana Malik Ibrahim, yang dalam catatan sejarah yang sahih, merupakan tokoh penyebar Islam di Jawa

(Gresik) dan hingga kini dapat disaksikan makamnya di sana, namun dipercaya juga

menyebarkan Islam di Maluku, khususnya di desa Kailolo, Pulau Haruku, bahkan ada

makamnya pula.

Tampaknya fenomena pengkeramatan makam dan kepercayaan terhadap

sufisme wali dalam lokus penelitian ini yakni di Pulau Haruku, merupakan fenomena

yang sangat kental melingkupi praktik religi Islam. Di Pulau Haruku, pada wilayah

Kerajaan Hatuhaha pada masa lampau, dipercaya oleh masyarakat, bahwa Islam

disebarkan oleh para wali, baik langsung dari Arab, Persia, Gujarat, China, Sumatra

maupun Jawa. Beberapa wali disebut juga dengan istilah Syekh, atau lebih popular

masyarakat setempat menyebut dengan istilah Pandita, yakni guru agama yang

mengajarkan Islam. Pada umumnya, tampak sekali bahwa ajaran yang berlaku atau

dibawa para wali sangat dekat hubungannya dengan ajaran tasawuf. Jelas sekali,

kepercayaan masyarakat itu menjadi bukti kuat bahwa kepercayaan terhadap ajaran

sufi sangat melekat dari awal penyebaran Islam, sampai perkembangannya di masa

sekarang.

2. Sinkretisme Islam dan Budaya Lokal

Islamisasi yang terjadi adalah konversi ke dalam Islam tanpa meninggalkan

kepercayaan dan praktik keagamaan yang lama. Sebagaimana yang diungkapkan

sebagian besar historiografi awal Islam Melayu-Indonesia, pada umumnya

(16)

materi dan alamiah mereka. Di kalangan mayoritas penduduk Islam hanya

memberikan satu bentuk tambahan kepercayaan dan praktik yang dapat berubah

sesuai dengan tujuan-tujuan tertentu. Sebagian besar juru dakwah Islam profesional di

kepulauan Melayu-Indonesia. Seperti Walisongo di Pulau Jawa yang mengenalkan

Islam kepada lokal bukan dalam bentuk kompromi dengan kepercayaan-kepercayaan

lokal.

Di Maluku, yakni khususnya di Pulau Haruku melalui pendekatan arkeologi

ruang dari segi keletakan antara masjid sebagai simbol agama dan baeleo3 sebagai

simbol adat, dapat dimaknai sebagai konsepsi bahwa agama dan budaya merupakan

unsur penting yang tidak bisa dilepaspisahkan dan saling mempengaruhi. Agaknya

apa yang dikatakan Fikri (2009) bahwa ketika ajaran agama masuk dalam sebuah

komunitas yang berbudaya, akan terjadi tarik menarik antara kepentingan agama di

satu sisi dengan kepentingan budaya di sisi lain. Demikian juga halnya dengan agama

Islam yang diturunkan di tengah-tengah masyarakat Arab yang memiliki adat-istiadat

dan tradisi secara turun-temurun. Mau tidak mau dakwah Islam yang dilakukan

Rasulullah harus selalu mempertimbangkan segi-segi budaya masyarakat Arab waktu

itu. Bahkan, sebagian ayat al-Qur’an turun melalui tahapan penyesuaian budaya

setempat (Fikri, 2009). Bisa jadi memang, Islam mencari jalan lapang untuk

memudahkan diterima oleh masyarakat dengan memasuki ruang-ruang budaya,

sehingga Islam dapat dikombinasikan atau dikompromikan dengan adat dan budaya

setempat. Praktik-praktik ritual Islam yang penulis jumpai di beberapa wilayah

penelitian, membuktikan Islam sangat dinamis, dari awal penyebarannya, hingga

perkembangannya dalam kehidupan beragama kekinian.

Tradisi-tradisi Islam yang masih berlangsung saat ini, sesungguhnya juga

telah memberi gambaran bagaimana Islamisasi. Baik data arkeologi, sejarah, maupun

etnografi dalam bahasan ini saling melengkapi, sebagaimana Sharer dan Ashmore

(1980) katakan bahwa, interpretasi arkeologi tidak akan lengkap, jika hanya

3 Baeleo, adalah semacam balai pertemuan yang diperuntukkan sebagai tempat pertemuan adat, yang fungsinya

(17)

bersandar pada data arkeologi semata, oleh karena itu untuk melengkapi diperlukan

analogi, dalam hal ini yang terutama adalah analogi historis dan etnografi (Sharer dan

Ashmore, 1980:445). Demikian pula dalam konteks penelitian ini, analogi yang

digunakan adalah analogi etnografi, salah satu cabang antropologi yang fokusnya

melihat budaya hidup (living culture) yang masih berlangsung dalam konteks

kekinian. Dalam perspektif arkeologis, kajian ini setidaknya menghasilkan gambaran

laku masyarakat Islam yang beberapa diantaranya masih mempertahankan corak

budaya Pra Islam, kelanjutan dari tradisi megalitik (zaman batu besar), sebagai

contoh keberadaan makam kuno Islam, yang menggambarkan bagaimana Islam

sangat fleksibel menyerap unsur lokal atau mempertahankan ciri budaya lokal, yang

disebut Ambary (1998) disebut sebagai permanensi etnologis. Dalam soal ini

sinkretisme dan permanensi etnologis, terlihat dari bentuk makam yang masih

menganut atau mempertahankan tradisi pra-Islam yang cenderung megalithis. Dalam

konsep ini, Islam secara konseptual berpegang pada Alquran dan hadits, namun

secara fisik menunjukkan adanya ciri budaya Pra-Islam, yang hadir pada masa jauh

sebelum Islam atau tradisi yang sesungguhnya berkembang sejak zaman megalitik.

Dengan demikian, penjelasan menyangkut permanensi etnologis, adalah sudut

pandang arkeologis, melihat konteks budaya lokal yang masih bertahan dalam laku

Budaya Islam.

Hadirnya data arkeologis sering tidak bisa dilepaskan dengan konteks budaya

yang berlanjut saat ini. Pada saat tertentu, data arkeologi menggambarkan bagaimana

praktik Islam yang berlaku dalam konteks kekinian. Data arkeologi diantaranya

menjadi sarana dalam praktik ritual Islam yang berkembang saat ini di beberapa

wilayah penelitian. Selain itu di lapangan juga dijumpai berbagai bentuk tradisi

masyarakat yang berhubungan dengan praktik-praktik Islam. Berbagai ritus Islam

sangat dekat bahkan bersentuhan dengan adat. Oleh karenanya penelitian ini

sekaligus juga bertendensi pada kajian etnografis, karena memuat catatan-catatan atas

(18)

Islam, selain pendekatan arkeologi sejarah, dalam studi ini juga berhubungan dengan

studi etnografi dalam disiplin antropologi.

Menurut Deetz (1976) arkeologi merupakan bagian dari disiplin antropologi,

hal ini karena baik arkeologi maupun antropologi, keduanya sama-sama memiliki

sasaran serta fokus kajian yang sama yakni, menyangkut kondisi kehidupan manusia

secara umum, meliputi aspek- aspek fisik, psikologis dan budaya mereka. Bedanya,

bila antropologi berhubungan dengan kekinian, arkeologi sebaliknya berhubungan

dengan masa lampau. Dalam perspektif yang sama, Jajat Burhanuddin dalam pengantar editor buku Hasan Muarif Ambary (1998) “Menemukan Peradaban, Arkeologi dan Islam di Indonesia”, mengatakan perpaduan arkeologi dan antropologi

dalam studi Islam menghasilkan suatu bentuk kajian arkeologi yang khas, sebuah

kajian yang diharapkan bisa mengungkap nilai-nilai Islam dalam wujud peradaban material yang telah dihasilkan. Dengan demikian, ‘arkeologi-Islam’ yang diketengahkan bukan sebuah rumusan konseptual yang berbasis pada Islamisasi ilmu

pengetahuan, melainkan lebih dari itu menjadi orientasi baru dalam kajian arkeologi.

Sistem nilai Islam dilihat sebagai basis pemaknaan oleh Muslim terhadap realitas

kehidupan sebagaimana yang terdapat dalam benda-benda material peninggalan

mereka.

Di wilayah penelitian ini, data arkeologis berupa atap tumpang masjid serta

dukungan data-data etnografis juga menunjukkan adanya praktek sinkretisme Islam.

Dari segi arsitektur, atap tumpang masjid di Nusantara menurut Abdurrahman Wahid

(1989) merupakan upaya rekonsiliasi antara agama dan budaya di Indonesia dan telah

dilakukan sejak lama serta bisa dilacak bukti-buktinya. Masjid Demak adalah contoh

konkrit dari upaya rekonsiliasi atau akomodasi itu. Ranggon atau atap yang berlapis

pada masa tersebut diambil dari konsep ‘Meru’ dari masa pra Islam (Hindu-Budha)

yang terdiri dari sembilan susun. Sunan Kalijaga memotongnya menjadi tiga susun

saja, hal ini melambangkan tiga tahap keberagamaan seorang muslim; iman, Islam

(19)

ketika telah menyadari pentingnya syariat. Barulah ia memasuki tingkat yang lebih

tinggi lagi (ihsan) dengan jalan mendalami tasawuf, hakikat dan makrifat (Wahid,

1989:92). Selanjutnya masih penjelasan Wahid (2001) hubungan antara agama

dengan kebudayaan merupakan sesuatu yang ambivalen. Agama (Islam) dan budaya

mempunyai independensi masing-masing, tetapi keduanya memiliki wilayah yang

tumpang-tindih. Di sisi lain, kenyataan tersebut tidak menghalangi kemungkinan

manifestasi kehidupan beragama dalam bentuk budaya.

Di Rohomoni dan Pelauw terdapat pula adat proses sunatan massal yang unik,

yakni adat mengasingkan si anak yang disunat selama 7 (tujuh) hari tujuh malam

dalam Rumah Soa (marga). Uniknya usai pengasingan, si anak akan disucikan dengan

prosesi pencelupan kaki di pantai sebagai simbol pensucian diri. Meskipun dalam

berbagai hal menyangkut budaya Islam, sangat kental dengan dominasi budaya lokal

yang terkadang menunjukkan laku budaya yang non Islami, namun beberapa hal lain

menunjukkan bahwa di Rohomoni budaya Islam sangat kuat. Ini misalnya

ditunjukkan oleh adanya kegiatan adat yang seluruhnya berpedoman dengan

penanggalan Islam. Berbagai perayaan Umat Islam juga berlangsung seperti perayaan

Maulid Nabi dan hari-hari besar lainnya. Perayaan hari Raya Islam, seperti Maulid

nabi, menunjukkan budaya Islam sinkretis, yakni percampuran antara agama Islam

dan adat setempat. Dengan demikian, khusus di desa Rohomoni, berdasarkan data

arkeologis tampak bahwa corak budaya Islam sangat kuat menjadi simbol eksistensi

masyarakat, sementara di sisi lain laku budaya masyarakat menunjukkan dinamisnya

budaya Islam yang sangat kental berbaur dengan tradisi lokal, yang pada beberapa

sisi menunjukkan gambaran sinkretisme Islam dan budaya lokal yang telah tumbuh

sejak masa pra-Islam.

Masyarakat Pelauw, Kabauw dan Rohomoni masih dalam rangkaian

peringatan Maulid Nabi, juga dilangsungkan ritus sisi dan cuci keramat, yakni sebuah

ritus yang dilakukan dengan melakukan kegiatan upcara membersihkan keramat atau

(20)

memperkenalkan Islam di wilayah tersebut. Wali atau syekh penyebar Islam, oleh

masyarakat disebut juga dengan istilah penganjur Islam. Tradisi cuci keramat,

sesungguhnya merupakan pendalaman tingkatan lebih tinggi lagi dari tradisi ziarah

keramat.

Sikap akomodatif bagi masyarakat muslim Indonesia merupakan keniscayaan

sejarah sebagai akumulasi dari dialog dan sapaan antarbudaya yang dibawa oleh para

pedagang muslim yang memiliki karakteristik hidup yang lebih dinamis

dibandingkan dengan masyarakat agraris atau petani. Dinamika kehidupan para

pedagang dari berbagai daerah (Arab, India, dan Persia) ini membuka keragaman

budaya Islam-Indonesia yang kemudian terbangun kuat lewat interaksi perdagangan,

perkawinan, dan pewarisan kekuasaan politik di Indonesia.

Disini peran akal sangat vital dalam menafsirkan kembali ajaran-ajaran Islam

dalam realitas keberagamaan kita. Karena itu, pemahaman Islam dengan budaya lokal

merupakan keniscayaan dalam rangka memahami realitas agama yang hidup dalam masyarakat. Di samping itu, sebutan “Islam sinkretis” sebenarnya mengandung asumsi tersembunyi, bahwa seolah-olah unsur utama di situ adalah Islam, sementara

kejawaan adalah unsur tambahan yang menyebabkan unsur utama tersebut

mengalami pemenuhan. Dengan demikian, sebutan tersebut juga memandang kejawaan sebagai “yang lain”: unsur eksternal yang kehadirannya harus diwaspadai. Pada sejumlah tulisan yang menggunakan pendekatan “sinkretisme” dalam melihat hubungan antara adat istiadat dan Islam. Perhatian pertama-tama diberikan pada Islam sebagai “tradisi besar” yang mempunyai elemen-elemen yang bersifat “universal”, baru kemudian datang kejawaan sebagai unsur lokal yang mencerminkan “tradisi kecil” yang terbatas jangkauannya. Kalau kita baca sejumlah studi yang sudah klasik selama ini, seperti Clifford Geertz dalam Religion of Java, akan tampak

bahwa kejawaan dilihat semata-mata sebagai unsur eksternal yang membuat Islam

(21)

Di wilayah Rohomoni, Pelauw dan Kabauw, juga ada simbolisasi konteks

ruang yang menunjukkan adanya pembauran antara konsep agama dan adat. Dalam

konteks arkeologi, misalnya dapat ditunjukkan dengan adanya baeleo yang berada

dalam komplek bangunan masjid kuno atau bahkan baeleo, persis berhadapan dengan

masjid. Dalam keterangan tokoh masyarakat setempat, hal ini sebagai lambang atau

simbolisasi bahwa agama tidak bisa dipisahkan dengan adat4. Selain data arkeologi,

yang dipaparkan diatas, hal lain yang menarik dari Kerajaan Hatuhaha ini adalah

budaya dan tradisi dan ritus Islam yang sama sekali berbeda dengan wilayah lainnya

di Maluku atau bahkan di Nusantara. Masyarakat mengenal atau melangsungkan Hari

raya Maulid Nabi selama sebulan penuh. Maulid Nabi yang dalam istilah lokal

disebut Hari Raya Aroha, terdiri serangkaian kegiatan ritus dan upacara yakni antara

lain pemotongan ayam, berkumpulnya keluarga dari masing-masing soa atau marga

di rumah pusaka, kemudian membacakan doa-doa dalam rangkaian ritus tahlilan.

Dengan demikian kita bisa melihat bagaimana sinkretisme Islam merupakan

budaya Islam yang berlaku di wilayah bekas Kerajaan Hatuhaha dan beberapa

wilayah lainnya di Maluku, dan masih berlanjut hingga sekarang atau konteks

kekinian. Meski demikian, masyarakat di wilayah penelitian, terutama di wilayah

Pulau Haruku (Rohomoni, Pelauw, Kabau, Kailolo) enggan dikonfrontasikan dengan

konsep sinkretisme. Mereka pada umumnya menolak, jika dianggap Islam yang

dijalankan tidak murni atau Islam Sinkretis. Mereka mengaku, pembauran antara

Islam dan adat yang mereka lakukan, hanya berlaku ketika mereka masih berada di

dalam kampung atau desa, namun ketika mereka keluar dari kampungnya, maka

menjalankan Islam, sebagaimana masyarakat muslim lainnya.

Sinkretisme Islam dalam konteks masyarakat setempat sifatnya lokalitas,

berlaku hanya ketika masih berada dalam kampungnya sendiri, sementara jika telah

berada di luar, maka praktek Islam, sama seperti masyarakat Islam lainnya, yang

4

(22)

menjalankan syariat Islam sesuai tuntunan Alquran dan Hadits. Masyarakat muslim

di Maluku, pada umumnya sangat kuat mempertahankan adat dan warisan budaya

leluhur yang menjadi ciri atau karakteristik utama mereka. Dominasi atau keutamaan

adat, sangat menonjol terutama di kalangan kumunitas muslim di Pulau Haruku, yang

pada masa lampau merupakan aliansi Kerajaan Islam Hatuhaha (Pelauw, Rohomoni,

Kabauw dan Kailolo). Kuatnya budaya dan adat masyarakat, sehingga antara adat

dan Islam, menjadi bagian integral yang tidak bisa dipisahkan. Bagi mereka antara

adat dan Islam tidak bisa dan tidak akan dilepaspisahkan, mengingat ajaran ini

dipercaya sebagai fatwa wali atau syekh atau pandita, penganjur Islam di wilayah

setempat, yang sekaligus dipercaya sebagai nenek moyang atau leluhur mereka

sebagai manusia suci, yang perkataannya tidak boleh dilanggar. Mereka pada

umumnya sangat meyakini, jika adat dilanggar, maka bencana dan malapetaka akan

mengancam mereka dan sekaligus akan memusnahkan negeri.

C. PENUTUP

Dengan karakteristik budaya Maluku yang juga sangat menghormati tradisi

leluhur, mempercayai roh-roh leluhur yang masih dijumpai melalui dialog batin,

meskipun merupakan budaya dan tradisi pra Islam (animisme dan dinamisme)

tampaknya juga mudah menerima corak sufisme Islam sedemikian rupa sehingga

lebih memudahkan masuk dan menyebarnya Islam di wilayah ini. Mula-mula ia

berkembang di pesisir-pesisir, dan selanjutnya bergerak ke pedalaman, dan masa awal

Islam masuk, mungkin penduduk lebih banyak berdiam di pedalaman, dan lebih

mudah menerima ajaran sufisme hingga kemudian masyarakat bergerak ke pesisir.

Sufisme yang berkembang tersebut kemudian berjalan dengan kepercayaan dan adat

pribumi setempat. Meskipun ajaran sufisme di Maluku tampaknya berawal dari

individu-individu, bahkan mungkin masyarakat golongan biasa, namun tidak

(23)

penguasa waktu itu sebagai suatu pengesahan baru atas kekuasaan kerajaan yang

mengubah raja-raja menjadi sultan-sultan.

Bukti tentang adaptasi sinkretik itu sangat jelas nampak yang pada awalnya di

pedalaman-pedalaman di Maluku, yang dalam beberapa informasi sejarah lisan mereka ‘dipesisirkan’ oleh pihak kolonial. Masyarakat tampaknya tidak mengalami kesulitan menjadi seorang muslim dengan penerimaannya atas

kepercayaan-kepercayaan dan adat-adat lama. Dari fakta-fakta yang ditemukan di lapangan baik

arkeologis maupun antropologis tampaknya memberikan gambaran sesungguhnya

wajah dan identitas Islam di Maluku yang spesifik, beberapa tampak sama dengan

Islam di Nusantara lainnya, namun pada banyak aspek sama sekali berbeda dan

sangat khas Maluku. Penjelasan dalam tulisan ini telah menggambarkan bagaimana

identitas Islam Maluku yang sesungguhnya. Identitas yang tampak misalnya bahwa

Islam di Maluku adalah Islam yang integratif, yakni sangat mengakomodir

paham-paham budaya lokal.

Dari hasil penelitian ini terdapat pelajaran berharga bagaimana pentingnya

membangun sebuah ikatan integrasi sosial. Pelajaran penting diantaranya bahwa sejak

awal bertumbuhnya, Islam membangun dan menjadi media integrasi sosial ditengah

kemajemukan masyarakat yang sarat dengan perbedaan. Nilai-nilai integrasi ini perlu

terus dimaknai agar dapat menjelaskan tentang identitas kultural masyarakat Maluku,

sehingga dapat ditransformasikan menjadi kekuatan perekat dan kekuatan resolusi

konflik dalam masyarakat multikultural. Pekerjaan rumah yang paling penting adalah

bagaimana memformulasikan kebermaknaan tinggalan arkeologi agar mampu

mentransformasikan khasanah akademis menjadi gerakan moral sebagai bagian

dalam upaya membangun harmonisasi sosial. Penelitian arkeologi dan sejarah untuk

mengungkap identitas bangsa, perlu terus dirajut untuk menemukan nilai-nilai budaya

bermakna yang penting dalam membangun peradaban bangsa yang lebih maju, dan

(24)

memori kolektif dan memberikan informasi berharga tentang proses perjalanan

berbangsa dan bernegara.

DAFTAR PUSTAKA

Abdalla, Ulil Abshar, 2000 “Serat Centhini, Sinkretisme Islam Dan Dunia Orang Jawa. Jakarta. Kompas, 4 Agustus 2000, hal.27.

Afdillah, Muhammad, 2010 Akulturasi Agama dan Dialektika Budaya (Pengalaman Indonesia). Simposium Pemikiran Islam Nasional. 1 Maret 2010. Sumenep. Gedung Nasional Indonesia (GNI) Masjid Agung Taman Bunga.

Ambary, Hasan Muarif, 1998 Menemukan Peradaban Arkeologi dan Islam di Indonesia. Jakarta: Pusat Penelitian Arkeologi Nasional. Logos. Wacana Ilmu.Jakarta.

Deetz, James. 1967. Invitation to Archeology. New York : The Natural History Press

Fikri ,S. Ahmad , 2009. Relasi Islam dan Budaya Islam Lokal dalam Tradisi NU http://buntetpesantren.orgindex2.phpoption=com_content&task=emailform& id=1145, diakses tanggal 23 Maret 2011).

Geertz, Clifford, 1989. Abangan, Santri, Priyayi dalam Masyarakat Jawa. Jakarta. Pustaka Jaya.

Guillot, C dan H. Chmabert-Loir, 2007 Ziarah dan Wali di Dunia Islam. Jakarta. Komunitas Bambu

Handinoto, 2010 Arsitektur dan Kota-Kota di Jawa pada Masa Kolonial. Yogyakarta. Graha Ilmu.

Hasan, Ahmad Sanusi, 2010 Islam Came to South East Asia From China:Evidence from Traditional Chinese Roof Design in Kampung Laut's Old Mosque, Malaysia. Canadian Social Science. Vol. 6, No. 5, 2010, pp. 01-15 ISSN 1712-8056 (diakses dari ww.cscanada.net, tanggal 12 Januari 2011).

Johns, A.H. 1995. Sufism in Southeast Asia: Reflections and reconsiderations. Journal of Southeast Asian Studies 26: 169-183

(25)

Lape, P. V. 2005 Archaeological approaches to the study of Islam in Island Southeast Asia. Focus On Islam IV. Antiquity 79 (2005): 829–836

Mahmud, Irfan 2001 Determinasi Budaya Islami di Wilayah Pinggiran Kekuasaan Bugis. WalannaE. Jurnal Arkeologi Sulawesi Selatan dan Tenggara. Vol IV No 6 Juni. Balai Arkeologi Makassar.

______________, 2003 Kota Kuno Palopo: Dimensi Fisik, Sosial dan Kosmologi. Makassar. Masagena Press.

The Encyclopedia of Religion. 1987 ed. Mircea Eliade Vol. 14. New York: Macmillan Publishing Company.

Mulyati, Sri, 2006 The Development of Islamic Spirituality in Indonesia. Paper Presented at Annual Conference of Islamic Studies, Bandung, November 26-30, 2006.

Nasution, Harun 1995, Filsafat dan Mistisisme Dalam Islam, Jakarta: Bulan Bintang

Poespowardojo, Soerjanto 1986 "Pengertian Local Genius dan Relevansinya dalam Modernisasi" dalam Kepribadian Budaya Bangsa (Local Genius), Ayatrohaedi (ed.). Jakarta: Pustaka Jaya

Redig, I Wayan Siva –Lokesvara dan Visnu-Lokeswara (Sinkretisme Siva dan Wisnu dengan Avalokitesvara). Pertemuan Ilmiah Arkeologi VII, Cipanas 12-16 Maret 1996.

Ricklefs, M.C 2008 Sejarah Indonesia Modern 1200-2004. Jakarta. Serambi Ilmu Semesta.

Santiko, Hariani 1993, Penelitian Awal Hindu-Siwa Pada Masa Majapahit. Makalah Simposium Peringatan 700 Tahun Majapahit, tanggal 3-5 Juli 1993 di Mojokerto

Sharer, dan Ashmore. 1980. Fundamentals Of Archaeology. London: The Benjamin Cummings Publishing Company

Sutiyono, 2010 Benturan Budaya Islam: Puritan dan Sinkretis. Jakarta. Penerbit Kompas

(26)

Tjandrasasmitha, Uka 2009 Arkeologi Islam Nusantara. Jakarta. Kepustakaan Populer Gramedia (KPG).

Wahid, Abdurrahman, 1989 Pribumisasi Islam, dalam Muntaha Azhari dan Abdul Mun’im Saleh (ed), Islam Indonesia, Menatap Masa Depan. Cetakan ke-1 Jakarta: P3M.

BIODATA PENULIS

Wuri Handoko, Lahir di Purworejo, 31 Maret 1976. Menyelesaikan Pendidikan S1 pada Jurusan Arkeologi Universitas Hasanuddin, Makassar, Tahun 2002. Saat ini menyandang jabatan fungsional Peneliti Muda Bidang Arkeologi Islam di Balai Arkeologi Ambon, wilayah kerja Provinsi Maluku dan Maluku Utara. Hasil-hasil penelitian yang telah diterbitkan antara lain: Jejak Pengaruh Islam Tionghoa di Maluku (2011), Perebutan Wilayah Pada Masa Transisi Islam-Kolonial di Wilayah Kerajaan Jailolo, Maluku Utara (2011), Konversi Islam dan Determinasi Kekuasaan di Wilayah Teluk Waru, Kabupaten Seram Bagian Timur, Provinsi Maluku (2010), Gerak Niaga Maluku-Papua: Zona Ekonomi dan Kekuasaan Islam (2010), Dinamika Islam di Wilayah Kepulauan Maluku Bagian Selatan (2009), Penelitian Terhadap Keberlanjutan Tradisi Megalitik Atas Budaya Islami, di Wilayah Pulau Saparua (2008). Peran Strategis Wilayah Kepulauan Gorom dalam Kontak Awal Budaya, Perkembangan Perdagangan dan Budaya Islam di Maluku (2007).

Referensi

Dokumen terkait

Berdasarkan hal diatas, dapat disimpulkan bahwa komposisi asam lemak dan kandungan antioksidan pada minyak sawit berperan dalam menentukan terjadinya stres

Berkaitan dengan tingkat kesulitan tugas ketika seseorang merasa mampu untuk melakukannya. Dengan rata-rata skor skor sebelum perlakuan yaitu 26 merupakan skor terendah

Penekanan yang dilakukan oleh peneliti adalah penelitian ini berbeda dengan penelitian sebelumnya dengan melihat objek penelitian yang memfokuskan pada perusahaan

Selain itu, penulis juga ingin berterima kasih pada pihak-pihak yang telah membantu penulis, baik secara moril maupun materiil sehingga Tugas Akhir dapat diselesaikan pada

Gambar III.21 Letak geomorfologis Kota Majapahit di Trowulan 65 Gambar III.22 Mintakat tata hijau 67 Gambar III.23 Wilayah pengembangan di kawasan Trowulan 69 Gambar III.24

Berkaitan dengan ini, Arikunto berpendapat bahwa pengelolan kelas yang baik adalah pengelolaan yang didasarkan atas pengertian yang penuh terhadap siswa mengenai

Pelaksanaan tindakan pada kelompok B pada pertemuan I siklus I diperoleh angka rata ± rata pada indikator I yaitu melafalkan huruf ± huruf hijaiyah

Daata yang diperoleh dianalisis dengan sidik ragam (ANOVA), bila terdapat pengaruh nyata (P<0,05) dilakukan uji lanjut dengan Duncan’s Multiple Range Test (DMRT).Hasil