• Tidak ada hasil yang ditemukan

ANALISIS DASAR PERTIMBANGAN HAKIM MENJATUHKAN PUTUSAN DIBAWAH ANCAMAN MINIMAL TERHADAP PELAKU ANAK YANG MELAKUKAN PENCABULAN (Studi Putusan Nomor.17/Pid.Sus-Anak/2016/PT.TJK)

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2018

Membagikan "ANALISIS DASAR PERTIMBANGAN HAKIM MENJATUHKAN PUTUSAN DIBAWAH ANCAMAN MINIMAL TERHADAP PELAKU ANAK YANG MELAKUKAN PENCABULAN (Studi Putusan Nomor.17/Pid.Sus-Anak/2016/PT.TJK)"

Copied!
13
0
0

Teks penuh

(1)

ANALISIS DASAR PERTIMBANGAN HAKIM MENJATUHKAN PUTUSAN DIBAWAH ANCAMAN MINIMAL TERHADAP PELAKU

ANAK YANG MELAKUKAN PENCABULAN (Studi Putusan Nomor.17/Pid.Sus-Anak/2016/PT.TJK)

(Jurnal)

Oleh :

MAS ACHMAD HADIANSYAH 1412011246

FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS LAMPUNG

(2)

ABSTRAK

ANALISIS DASAR PERTIMBANGAN HAKIM MENJATUHKAN PUTUSAN DIBAWAH ANCAMAN MINIMAL TERHADAP PELAKU

ANAK YANG MELAKUKAN PENCABULAN (Studi Putusan Nomor.17/Pid.Sus-Anak/2016/PT.TJK)

Oleh

Mas Achmad Hadiansyah, Tri Andrisman, Rini Fathonah E-Mail : hadiansyah1996@gmail.com

Anak sebagai korban tindak pidana pencabulan dilindungi oleh UU N0. 23 Tahun 2002 sebagaimana diubah dengan Undang-Undang No. 35 Tahun 2014 tentang perlindungan anak tetapi pelaku anak tindak pidana pencabulan dijatuhkan pidana dengan ancaman dibawah minimum. Permasalahan dalam penelitian ini adalah apakah dasar pertimbangan hakim menjatuhkan putusan dibawah ancaman minimal terhadap pelaku anak yang melakukan pencabulan dan apakah putusan nomor 17/Pid.Sus-Anak/2016/PT.TJK dapat dibenarkan oleh hukum. Pendekatan masalah dalam penelitian ini adalah menggunakan pendekatan yuridis normatif dan pendekatan yuridis empiris. Data yang digunakan adalah data primer yang diperoleh dengan cara wawancara terhadap beberapa responden penelitian serta data sekunder yang diperoleh melalui studi kepustakaan. Analisis kualitatif pengolahan dan penyusunan data kemudian ditarik kesimpulan. Berdasarkan hasil penelitian bahwa dalam menjatuhkan putusan pidana, Majelis Hakim mempertimbangkan aspek yuridis dan aspek nonyuridis. Aspek yuridis terdiri dari tuntutan Jaksa Penuntun Umum, keterangan saksi, keterangan terdakwa, keterangan ahli dan barang bukti yang dihadirkan dalam pemeriksaan sidang pengadilan, sedangkan aspek nonyuridis terdiri dari hal-hal yang memberatkan dan hal-hal yang meringankan. Apabila dilihat dari pidana penjara yang dijatuhkan oleh Majelis Hakim, maka pidana tersebut dirasa kurang efektif, karena dapat membuat masyarakat terutama anak tidak terlalu merasa takut terhadap tindak pidana pencabulan ini. Saran dalam penelitian ini adalah hakim dalam menangani kasus pencabulan yang saat ini rentan terjadi dikalangan anak dibawah umur harus mendapat perhatian khusus, serta dilakukan upaya pencegahan guna tidak terjadi hal serupa dikemudian hari. Maka dari itu hakim dalam memberikan putusan haruslah mempertimbangkan agar tidak dijatuhkan putusan yang terlalu ringan yang akan berakibat pada tidak jeranya pelaku pencabulan anak tersebut.

(3)

ABSTRACT

ANALYSIS OF THE BASIC CONSEDERATION OF JUDGE IN JUDGEMENT UNDER MINIMAL THREAT TO CHILD PERPETRATOR

COMMITITNG RAPE CRIME

(CASE STUDY OF DECISION NUMBER 17/Pid.Sus-Anak/2016/PT.Tjk)

By:

Mas Achmad Hadiansyah, Tri Andrisman, Rini Fathonah E-Mail : hadiansyah1996@gmail.com

Children based on Law no. 23 of 2002 as has been amended by Law no. 35 Year 2014 on child protection should be protected from crime, especially crimes of immorality. This is because children become victims of criminal acts such as sexual immorality and rape that the perpetrator is a child too. The problem in this study is basic consederation of judge in judgement under minimal threat to child perpetrator commititng rape crime and whether the decision of number 17/Pid.Sus-Anak/2016/PT.TJK can be justified by law. The problem approach in this research is using normative juridical approach and empirical juridical approach. The data used are primary data obtained by interviewing several research respondents and secondary data obtained through literature study. Qualitative analysis of processing and compilation of data then drawn conclusions. The results and discussion of the research showed that, the Panel of Judges consider the juridical and nonyurid aspects. The juridical aspect consists of the General Prosecutor's demands, testimony of witnesses, the statements of the accused, expert information and evidence presented in the court hearing, while the nonyuridical aspect consists of incriminating and mitigating matters. When viewed from the imprisonment imposed by the Panel of Judges, then the criminal is considered less effective, because it can make the community, especially children are not too afraid of this criminal act of abuse. Suggestion in this research is judge in handling obscenity case which is currently vulnerable happened among underage children must get special attention, and also do prevention effort to not happened the same thing in the future. Therefore, the judge in giving the decision must consider not to be overturned too lightly judgment which will result in not the perpetrator of the child's abuse.

(4)

I. PENDAHULUAN

Indonesia merupakan negara yang menjunjung tinggi penegakan hukum dan Hak Asasi Manusia, hal ini dikarenakan hukum dan Hak Asasi Manusia saling berkaitan satu sama lainnya. Hukum merupakan wadah yang mengatur segala hal mengenai perlindungan terhadap Hak Asasi Manusia.1 Sehubungan dengan hal tersebut maka sudah seyogyanya masyarakat Indonesia mendapatkan perlindungan terhadap keselamatan dan keamanan yang secara nyata dalam aspek kehidupan.2

Hal ini ditegaskan dalam Pasal 1 Ayat (3) UUD 1945, namun ini bermakna bahwa didalam Negara Kesatuan Republik Indonesia, hukum merupakan urat nadi seluruh aspek kehidupan. Hukum mempunyai posisi strategis dan dominan dalam kehidupan masyarakat berbangsa dan bernegara.3 Keberadaan aturan baik yang bersifat formal maupun non formal yang berlaku di masyarakat merupakan suatu kebutuhan yang cukup mendasar. Saat ini bangsa Indonesia sedang giat membenahi permasalahan yang sangat penting tentang Hak Asasi Manusia (HAM) pada segala aspek kehidupan, khususnya adalah perlindungan terhadap anak di Indonesia. Masalahnya perlindungan anak baru menjadi perhatian masyarakat Indonesia pada kurun waktu tahun

1Titik Triwulan Tuti, Konstruksi Hukum

Tata Negara Indonesia Pasca-Amandemen UUD 1945, Kencana, Jakarta, 2010, hlm. 28.

2Ibid., hlm. 114.

3Marwan Effendy, Kejaksaan RI Posisi dan

Fungsi dari Persfektif Hukum,

Jakarta:Gramedia Pustaka Utama, 2005, hlm, 1

1990-an, setelah secara intensif berbagai bentuk kekerasan terhadap anak di Indonesia diangkat kepermukaan oleh berbagai kalangan.4

Kedudukan hukum selalu memiliki peran dalam tatanan masyarakat, mulai tingkat yang paling sederhana sampai tingkat yang kompleks, perlunya penegakan hukum ditujukan demi terwujudnya ketertiban yang memiliki hubungan erat dengan keadaan umum masyarakat, dimana ketertiban ini merupakan syarat pokok bagi adanya masyarakat yang teratur dalam kehidupannya. Tindak pidana sodomi merupakan salah satu dari tindak pidana terhadap kesusilaan. Dalam Bab XIV Buku II KUHP memuat kejahatan terhadap kesusilaan, pada Pasal 292 KUHP didalamnya yang dimaksud dengan kesusilaan sebagian besar berkaitan dengan seksualitas.5

Kondisi ketentraman dan rasa aman merupakan suatu kebutuhan mendasar bagi seluruh masyarakat untuk meningkatkan mutu kehidupannya, sebagaimana yang tertuang dalam Pasal 28G Ayat (1) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945

“Setiap orang berhak atas

perlindungan diri pribadi, keluarga, kehormatan, martabat, dan harta benda yang dibawah kekuasaannya, serta berhak atas rasa aman dan perlindungan dari ancaman ketakutan

4Maidin Gultom, Perlindungan Hukum

Terhadap Anak, Bandung: Redika Aditama, 2010.hlm.7.

5Tri Andrisman, Delik Tertentu dalam

(5)

untuk berbuat atau tidak berbuat sesuatu yang merupakan hak asasi”.

Perlindugan terhadap anak merupakan hak asasi manusia yang dijamin oleh pemerintah sebagaimana termuat dalam ketentuan Pasal 28 B Ayat (2) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945

“setiap anak berhak atas

kelangsungan hidup, tumbuh, dan berkembang, serta berhak atas perlindungan dari kekerasan dan

diskriminasi”, disamping itu dalam

ketentuan Pasal 59 Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak menyatakan

bahwa “Pemerintah dan lembaga

negara lainnya berkewajiban dan bertanggung jawab untuk memberikan perlindungan khusus kepada anak dalam situasi darurat, anak yang berhadapan dengan hukum, anak dari kelompok minoritas dan terisolasi, anak tereksploitasi secara ekonomi dan/atau seksual, anak yang diperdagangkan, anak yang menjadi korban penyalahgunaan narkotika, alkohol, psikotropika, dan zat adiktif lainnya (napza), anak korban penculikan, penjualan dan perdagangan, anak korban kekerasan baik fisik dan/atau mental, anak yang menyandang cacat, dan anak korban

perlakuan salah dan penelantaran”.

Hukum tidak lagi dilihat sebagai refleksi kekuasaan semata, tetapi juga harus memancarkan perlindungan terhadap hak-hak warga negara, yang selain mengalami perkembangan secara pesat dalam bidang hukum, juga mengalami perkembangan dalam bidang pendidikan, kebudayaan dan teknologi. Tetapi disadari atau tidak

oleh masyarakat bahwa tidak selamanya perkembangan itu membawa dampak yang positif, melainkan juga dampak negatif. Dampak negatif ini terlihat dengan semakin meningkatnya angka kekerasan yang terjadi dalam masyarakat, yang bahkan mengakibatkan kematian pada korban kekerasan. Tindak pidana kekerasan ironisnya tidak hanya berlangsung di lingkungan luar atau tempat-tempat umum, namun juga dapat terjadi di lingkungan sekitar yang seharusnya menjadi tempat memperoleh perlindungan, misalnya rumah, sekolah dan bahkan lingkungan tempat tinggal.6

Anak bukanlah obyek tindakan kesewenangan dari siapapun atau dari pihak manapun, oleh karena itu komitmen dan perlakuan yang memperhatikan perkembangan dan peranan anak sebagai generasi penerus bangsa merupakan suatu hal yang harus dipegang oleh pemerintah. Terutama yang sering terjadi adalah tindak pidana sodomi pada anak.7

Anak yang melakukan Tindak Pidana harus diperlakukan khusus, karena ada ketentuan yang memberikan perlindungan pada anak termasuk anak yang melakukan Tindak Pidana yaitu Undang-Undang Sistem Peradilan Anak (UU No. 11 Tahun 2012) dan Undang-Undang Perlindungan Anak (UU No. 23 Tahun 2002). Dalam UU Sistem

6Brahmana Pertampilan S,Gagasan

Kebudayaan Nasional Dalam Perkembangan Masyarakat. Universitas Udayana, 1997

7 Gadis Arivia, Potret Buram Eksploitasi

(6)

Peradilan Anak, yang dimaksud kelangsungan sebuah keluarga dan masa depan korban. Jika mempelajari sejarah, sebenarnya jenis perbuatan ini sudah ada sejak dulu, atau dapat dikatakan sebagai suatu bentuk kejahatan klasik yang akan selalu mengikuti perkembangan kebudayaan manusia itu sendiri, ia akan selalu ada dan berkembang setiap saat walaupun mungkin tidak terlalu berbeda jauh dengan sebelumnya.

Perbuatan pencabulan anak dibawah umur ini tidak hanya terjadi di kota-kota besar yang relatif lebih maju kebudayaan dan kesadaran atau pengetahuan hukumnya, tapi juga terjadi di pedesaan yang relatif masih memegang nilai tradisi dan adat istiadat. Dalam Putusan Nomor 20/Pid.Sus/Anak/2016/PN.Sdn telah terjadi kekerasan seksual pencabulan yang dilakukan seorang anak berinisial HAL (17 tahun) terhadap perbuatan yang dilakukan oleh Anak Pelaku terhadap korban YDSW, anak

korban telah melahirkan sorang anak laki-laki dengan berat 2700 gr dan panjang 48 cm pada hari Selasa tanggal 05 Januari 2016 di RS Bersalin Permata Hati Metro sesuai dengan keterangan Kelahiran Nomor :11PP/l/2016 tanggal 5 Januari 2016 dari RSB Permata Hati Metro yang ditandatangani oleh Dr.dr. Anto Sawarno, SpOG. Atas perbuatan tersebut jaksa penuntut umum menyatakan bahwa tersangka terbukti secara sah dan menyakinkan bersalah telah melakukan Tindak Pidana dengan sengaja melakukan tipu muslihat, serangkaian kebohongan, atau membujuk anak melakukan persetubuhan dengannya atau dengan orang lain sebagaimana diatur dan diancam pidana dalam Pasal 81 Ayat (2) UU N0. 35 Tahun 2014 tentang perubahan atas UU No. 23 Tahun 2002 Tentang Perindungan Anak yang diancam dengan pidana 5 (lima) sampai 15 (lima belas) tahun penjara. Jaksa penuntut umun menjatuhkan pidana terhadap anak pelaku berupa pidana selama 3 (tiga) tahun, dengan dikurangi selama anak pelaku berada dalam tahanan dengan perintah tetap ditahan dan di denda sebesar Rp.100.000.000,- (seratus juta rupiah) subsidair 2 (dua) bulan kurungan.

Putusan Nomor. 20/Pid.Sus-Anak/2016/PN.Sdn. pada tanggal 18 Agustus 2016 hakim menyatakan telah terbukti secara sah dan menyakinkan bersalah melakukan tindak pidana dengan serangkaian kebohongan, membujuk anak melakukan persetubuhan dengannya dan menjatuhkan pidana terhadap

anak pelaku berupa “pidana penjara

(7)

apabila tidak dibayar diganti dengan pidana penjara selama 1 (satu)

bulan.”

Pada tanggal 22 Agustus 2016 Jaksa Penuntut Umum mengajukan memori banding kepada Kepaniteraan Pengadilan Negeri Sukadana yang pokoknya

mengemukakan “Bahwa sesuai

dengan fakta hukum yang dijadikan sebagai dasar penjatuhan putusan oleh Hakim Anak sudah tepat dan benar, kecuali mengenai berat ringannya hukuman yang dijatuhkan belum mencerminkan rasa keadilan

yang hidup dalam masyarakat.”

Pengadilan Tinggi sependapat dengan pertimbangan hukum hakim tingkat pertama, yang dalam putusannya menyatakan terbukti melakukan tindak pidana dengan serangkaian kebohongan, membujuk anak melakukan persetubuhan dengannya dan menjatuhkan putusan pidana penjara selama 8 (delapan) bulan dan mengganti pidana denda dengan pelatihan kerja selama 3 (tiga) bulan atas dasar Pasal 71 ayat (3) SPPA tidak mengenal pidana denda.

Apabila dilihat ancaman pidana pada Pasal 81 Ayat (1) UU No. 35 Tahun 2014 ancaman pidananya adalah paling singkat 5 (lima) tahun dan paling lama 15 (lima belas) tahun yang jika pelakunya merupakan anak maka akan dikurangi setengahnya, maka menurut hemat penulis maka penjatuhan putusan minimal 5 X ½ = 2,5 tahun dan maksimal 15 X ½ = 7,5 tahun tetapi dalam putusannya terlampau rendah yang hanya 8 bulan.

Rumusan permasalahan dalam penelitian sebagai berikut:

a. Apakah dasar pertimbangan hakim menjatuhkan putusan dibawah ancaman minimal terhadap pelaku anak yang melakukan pencabulan (studi putusan nomor 17/Pid.Sus-Anak/2016/PT.TJK)?

b. Apakah Putusan Nomor 17/Pid.Sus-Anak/2016/PT.TJK dapat dibenarkan oleh hukum? Metode penelitian yang digunakan adalah pendekatan yuridis normatif dan pendekatan empiris. Adapun sumber dan jenis data dalam penelitian ini adalah data primer yang diperoleh dari studi lapangan dengan melakukan observasi dan wawancara secara langsung pada objek penelitian.

II. PEMBAHASAN

A. Dasar Pertimbangan Hakim Menjatuhkan Putusan Dibawah Ancaman Minimal Terhadap Pelaku Anak Yang Melakukan Pencabulan

Pertimbangan hakim atau pengadilan

adalah “geboden vrijheid”, yaitu kebebasan terikat/terbatas karena diberi batas oleh undang-undang yang berlaku dalam batas tertentu. Hakim memiliki kebebasan dalam menetapkan menentukan jenis pidana (straafsoort), ukuran pidana atau berat ringannya pidana, cara pelaksanaan pidana, dan kebebasan untuk menemukan hukum.8

Kebebasan hakim dalam menjatuhkan putusan dalam proses

8 Nanda Agung Dewantara. Masalah

(8)

peradilan pidana terdapat dalam Pasal 3 Ayat (1), (2), Undang-undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang kekuasaan kehakiman yang menyatakan :

(1). Dalam menjaankan tugas dan fungsinya, hakim dan hakim konstitusi wajib menjaga kemandirian peradilan

(2). Segala campur tangan dalam urusan penradilan oleh pihak lain diluar kekuasaan kehakiman dilarang, kecuali dalam hal-hal sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.

Isi pasal tersebut dipertegas lagi dalam Pasal 5 ayat (1) Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 Tentang Asas penyelenggaraan kekuasaan kehakiman yang

menyatakan “ Hakim dan Hakim

konstitusi wajib mengikuti dan memahami nilai-nilai hukum dan rasa keadilan yang hidup dalam masyarakat.”

Kebebasan hakim mutlak dibutuhkan terutama untuk menjamin keobjektifan hakim dalam mengambil keputusan. Hakim memberikan putusannya mengenai hal-hal sebagai berikut:

1. Keputusan mengenai peristiwanya, ialah apakah terdakwa melakukan perbuatan yang telah dituduhkan kepadannya, dan kemudian

2. Keputusan mengenai hukumannya, ialah apakah perbuatannya yang dilakukan terdakwa itu merupakan suatu tindak pidana dan apakah terdakwa bersalah dan dapat dipidana dan akhirnya,

3. Keputusan mengenai pidananya, apakah terdakwa memang dapat dipidana.9

Berdasarkan hasil wawancara dengan Sahman Girsang, hakim Pengadilan Tinggi Tanjung Karang tersebut, bahwa yang menjadi dasar pertimbangan hakim dalam menjatuhkan perkara pada Putusan

Nomor

17/Pid.Sus-Anak/2016/PT.TJK yaitu, penjatuhan pidana penjara terhadap pelaku anak tindak pidana pencabulan orang berdasarkan pada landasan yurudis dan nonyuridis. Landasan yuridis didasarkan pada ketentuan hukum pidana materiil dan hukum pidana formil. Hukum pidana materiil yang dimaksud adalah adanya unsur-unsur delik atau unsur-unsur tindak pidana yang dilanggar. Unsur-unsur tindak pidana dalam arti luas terdiri dari unsur subjektif (dilakukan dengan sengaja atau kelapaan), unsur objektif (adanya perbuatan, menimbulkan akibat, keadaan-keadaan, sifat dapat dihukum dan sifat melawan hukum) dan adanya kemampuan bertanggungjawab serta tidak adanya alasan penghapus pidana (strafuitsluitingsgrondery). Hukum pidana formil berkaitan dengan acara pemeriksaan perkara pidana dan kekuatan pembuktian atas suatu tindak pidana. Sedangkan landasan nonyuridis berkaitan dengan aspek sosiologis (latar belakang kehidupan, keadaan keluarga, pendidikan, ekonomi, dan lingkungan masyarakat), aspek psikologis (bekaitan dengan kepribadian dan kejiwaan), serta aspek kriminologis (berkaitan

(9)

dengan sebab-sebab kejahatan yang dilakukan.

Hakim juga menggunakan teori restoratif justice yaitu mencari solusi untuk mengembalikan dan menyembuhkan kerusakan atau kerugian yang ada akibat tindak pidana yang dilakukan oleh pelaku. Hal ini termaksud juga upaya penyembuhan dan pemulihan korban atas tindak pidana yang menimpahnya. restoratif justice mengandung partisipasi penuh dan konsensus, dalam hal ini korban dan pelaku harus menemukan penyelesaian secara komperhensif. Selain itu juga membuka kesempatan bagi masyarakat yang selama ini merasa terganggu keamanan dan ketertibannya oleh pelaku untuk ikut duduk bersama memecahkan persoalan ini.10

Peraturan perundang-undangan merupakan dasar bagi seorang hakim untuk menentukan putusan yang dijatuhkannya. Hakim bukanlah hanya sekedar corong pada undang-undang atau penerapan hukum semata (la bouche de la loi), akan tetapi peraturan perundang-undangan merupakan pedoman bagi seorang hakim dalam menjatuhkan suatu putusan. Pada hakekatnya, putusan pemidanaan merupakan putusan hakim yang berisikan suatu perintah kepada terdakwa untuk menjalani hukuman atas perbuatan yang dilakukannya sesuai amar putusan. Apabila hakim menjatuhkan putusan pemidanaan maka hakim telah yakin berdasarkan alat-alat bukti yang sah serta fakta-fakta dipersidangan bahwa terdakwa melakukan

10

Diah Gustiniati. Pemidanaan Dan Sistem Pemasyarakatan Baru. Bandar Lampung: AURA. 2016. Hlm 10

perbuatan sebagaimana dalam surat dakwaan. Lebih tepatnya lagi, hakim tidak melanggar ketentuan Pasal 183 KUHAP.

Hakim di dalam memutuskan suatu perkara anak, hakim dituntut untuk cerdas dalam menyikapinya dan harus berpegang teguh pada Undang-Undang Perlindungan Anak. Apalagi dalam kasus ini yang menjadi korban maupun pelaku adalah seorang anak dibawah umur, maka kedua unsur yang menjadi bagian dari permasalahan ini harus sama-sama dipertimbangkan nasipnya setelah diadili.

Menurut Eddy Rifai, seharusnya suatu putusan hakim harus ditentukan sesuai dengan Undang-Undang sebagaimana yang dicantumkan tetapi hakim tidak memiliki pedoman pemidanaan yang mengharuskan bagaimana pemidanaanya. Maka dikarenakan tidak adanya pedoman pemidanaan maka hakim meraba-raba dan kembali kepada hati nurani hakim yang mempertimbangkan rasa keadilan, maka bisa saja ada putusan hakim yang dibawah minimal.11

Penulis menganalisa bahwa penulis tidak sependapat dengan putusan hakim terhadap Pelaku dengan pidana selama 8 (delapan) Bulan dan pelatihan kerja selama 3 (tiga) Bulan. Sahman Girsang menjelaskan bahwa Majelis Hakim Pengadilan Tinggi Tanjung Karang telah tepat dalam menjatuhkan vonis pidana penjara selama 8 (delapan) Bulan dan pelatihan kerja selama 3 (tiga)

11

(10)

Bulan.12 Penulis berpendapat bahwa putusan yang dijatuhkan majelis Hakim Pengadilan Tinggi Tanjung Karang yang mengadili Pelaku HAL terlalu ringan. Apabila kita melihat isi putusan Pengadilan Tinggi Tanjung Karang dengan Nomor 17/Pid.Sus-Anak/2016/PT.TJK pada kasus yang dialami pelaku dalam permasalahan ini, dimana terdakwa melakukan pencabulan yang dilakukan lebih dari sekali tepatnya 3 kali sampai korban akhirnya hamil.

Penulis menambahkan, bahwa putusan yang dijatuhkan kepada terdakwa terlalu ringan. Apabila hakim telah mempunyai keyakinan yang pasti bahwa perbuatan terdakwa adalah perbuatan yang melanggar ketentuan Pasal 81 ayat (2) Undang-Undang Tahun 2014 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang perlindungan Anak, seharusnya hakim dapat memberi putusan yang lebih tinggi dari putusan yang telah dijatuhkan, minimal tidak terlalu jauh dengan dakwaan Jaksa Penuntut Umum.

Berdasarkan hasil wawancara dengan Sahman Girsang perlindungan hukum terhadap anak adalah segala kegiatan untuk menjamin dan melindungi anak dan hak-haknya agar dapat hidup, tumbuh, berkembang, dan berpartisipasi secara optimal sesuai dengan harkat martabat kemanusiaan, serta mendapat perlindungan dari kekerasan diskriminasi sebagaimana diatur dalam Pasal 1 Ayat (2)

12

Hasil wawancara dengan Sahman Girsang, Hakim Pengadilan Tinggi Tanjung Karang, Jum’at 2 Februari 2018

Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2014 tentang Perlindungan Anak.13

B. Penjatuhan Pada Putusan

Nomor

17/Pid.Sus-Anak/2016/PT.TJK Dapat Diterima Secara Hukum.

Secara yuridis, dalam Pasal 183 KUHAP seorang hakim dalam hal menjatuhkan pidana kepada terdakwa tidak boleh menjatuhkan pidana tersebut kecuali apabila dengan sekurang-kurangnya dua alat bukti yang sah, sehingga hakim memperoleh keyakinan bahwa suatu tindak pidana benar-benar terjadi dan terdakwalah yang bersalah melakukannya. Alat bukti sah yang dimaksud adalah:

a. Keterangan Saksi b. Keterangan Ahli c. Surat

d. Petunjuk

e. Keterangan Terdakwa atau hal yang secara umum sudah diketahui sehingga tidak perlu dibuktikan (Pasal 184).14

Menurut Eddy Rifai, hakim merupakan penegak hukum dan keadilan maka hakim harus mempertimbangkan keadilan terhadap pelaku maupun korban yang sedang berperkara. Dalam hal ini hakim harus mempertimbangkan keadilan bagi anak apakah sudah pantas pemidanaan yang diberikan atau tidak. Hakim merupakan corong

13 Hasil wawancara dengan Sahman Girsang, Hakim Pengadilan Tinggi Tanjung Karang, Jum’at 2 Februari 2018

(11)

keadilan maka setiap putusan hakim haruslah berpedoman atas keadilan.15

Keadilan restoratif atau restorative justice sebagai konsep pemidanaan bermaksud menemukan jalan untuk menegakkan sistem pemidanaan yang lebih adil dan berimbang, misalnya antara kepentingan pelaku dan korban. Akan tetapi, restorative justice tidak hanya merumuskan tujuan pemidanaan, namun yang tidak kalah pentingnya adalah mekanisme mencapai tujuan. Demi tercapainya tujuan pemidanaan sebagaimana diamanatkan oleh Undang-Undang SPPA, berdasarkan Pasal 5 ayat (1) Undang-Undang SPPA menentukan bahwa sistem peradilan pidana anak wajib mengutamakan pendekatan keadilan restorative. Dipergunakannya frasa,

“sistem peradilan pidana anak”

dalam Pasal 5 ayat (1) Undang-Undang SPPA, berarti bahwa mekanisme pencapaian tujuan dalam sistem peradilan pidana anak yang mengutamakan keadilan restoratif tidak hanya ditujukan kepada hakim saja, tetapi juga ditujukan kepada penyidik, penuntut umum dan lembaga pemasyarakatan sebagai suatu sistem. Penanganan perkara anak yang ditujukan kepada salah satu dari alat penegak hukum tersebut, sudah tentu tidak dapat lagi disebut penanganan perkara anak yang mengutamakan sistem peradilan pidana anak.

Pentingnya peran keadilan restoratif dalam penanganan kasus Anak, Pasal 1 angka 6 Undang-Undang SPPA, menjelaskan bahwa keadilan restorative adalah penyelesaian

15

Hasil wawancara dengan Eddy Rifai, Dosen Bagian Hukum Pidana Universitas Lampung, Kamis 5 April 2018

perkara tindak pidana dengan melibatkan pelaku, korban, keluarga pelaku atau korban, dan pihak lain yang terkait untuk bersama-sama mencari penyelesaian yang adil dengan menekankan pemulihan kembali pada keadaan semula dan bukan pembalasan.

Keadilan memiliki sifat tidak berbentuk dan tidak dapat terlihat namun pelaksanaannya dapat kita lihat dalam perspektif pencarian keadilan. Dalam memberikan putusan terhadap suatu perkara pidana, seharusnya putusan hakim tersebut berisi alasan-alasan dan pertimbangan-pertimbangan yang dapat dibaca sebagai acuan dari tujuan putusan dijatuhkan. Berlakunya KUHAP menjadi pegangan hakim dalam menciptakan keputusan-keputusan yang tepat dan harus dapat dipertanggung jawabkan.

Secara sosiologis, struktur pengadilan beserta hakim-hakimnya tidak dapat dilepaskan dari struktur sosial masyarakat. Dengan adanya penilaian dari masyarakat mengenai output pengadilan yaitu berarti telah terjadi persinggungan antara lembaga pengadilan dengan masyarakat dimana lingkungan peradilan itu berada. Pengadilan tidak boleh memalingkan muka dari rasa keadilan dan nilai-nilai hukum yang hidup dan berkembang. Para hakim senantiasa dituntut untuk mengadili dan memahami hukum yang hidup dalam masyarakatnya agar terciptanya keadilan yang dapat dirasakan oleh masyarakat luas.

Berdasarkan uraian di atas, Putusan

Nomor

(12)

dijatuhkan kepada pelaku anak sudah mempertimbangkan rasa keadilan kepada pelaku yang masih dibawah umur dan juga kepada korban. Penulis setuju dengan pendapat Eddy Rifai bahwa hakim itu adalah penegak hukum dan keadilan, maka hakim selain melihat hukum maka harus pula mempertimbangkan keadilan. Tindak pidana pencabulan merupakan kejahatan luar biasa, sudah seharusnya pemidanaan nya juga harus secara luar biasa, sehingga tidak bertentangan dengan hukum dan keadilan yang mengharapkan pemberantasan tindak pidana pencabulan.

III. PENUTUP

A. Simpulan

Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan maka dapat ditarik kesimpulan sebagai berikut:

1. Dasar pertimbangan hakim dalam penjatuhan pidana bagi pelaku tindak pidana pencabulan dalam Putusan Nomor 17/Pid.Sus-Anak/2016/PT.TJK terdiri dari aspek yuridis yaitu dakwaan jaksa penuntut umum, tuntutan pidana, keterangan saksi, keterangan terdakwa, barang-barang bukti yang ditemukan di persidangan, sedangkan aspek nonyuridis terdiri dari hal-hal yang memberatkan dan meringankan. Hakim menggunakan teori ratio decidendi, yaitu teori ini didasarkan pada landasan filsafat yang mendasar, yang mempertimbangkan segala aspek yang berkaitan dengan pokok perkara yang disengketakan, kemudian

mencari peraturan perundang-undangan yang relevan dengan pokok perkara yang disengketakan sebagai dasar hukum dalam penjatuhan putusan, serta pertimbangan hakim harus didasarkan pada motivasi yang jelas untuk menegakkan hukum dan memberikan keadilan bagi para pihak yang berperkara. Majelis Hakim juga menggunakan teori kebijaksanaan dan restoratif justice, karena teori ini menekankan bahwa pemerintah, masyarakat, keluarga dan orang tua ikut bertanggung jawab untuk membimbing, membina, mendidik dan melindungi terdakwa yang terbilang masih muda agar kelak dapat menjadi manusia yang lebih baik dan berguna bagi keluarga dan masyarakat.

(13)

dengan yang telah dilakukan oleh anak nakal tersebut.

B. Saran

Saran dalam penelitian ini adalah sebagai berikut:

1. Hakim dalam menangani kasus pencabulan yang saat ini rentan terjadi dikalangan anak dibawah umur harus mendapat perhatian khusus, serta dilakukan upaya pencegahan guna tidak terjadi hal serupa dikemudian hari. Maka dari itu hakim dalam memberikan putusan mempertimbangkan agar tidak dijatuhkan putusan yang terlalu ringan yang akan berakibat pada tidak jeranya pelaku pencabulan anak tersebut.

2. Hakim hendaknya memberikan rasa keadilan kepada korban anak yang dirasa belum memberikan rasa jera terhadap pelaku anak yang melakukan pencabulan.

DAFTAR PUSTAKA

Arivia, Gadis. 2005. Potret Buram Eksploitasi Kekerasan Seksual pada Anak. Jakarta: Ford Foundation.

Andrisman, Tri.2011. Delik Tertentu dalam KUHP. Bandar Lampung: Universitas Lampung.

Brahmana, Pertampilan S. 1997. Gagasan Kebudayaan Nasional

Dalam Perkembangan

Masyarakat. Denpasar:

Universitas Udayana.

Dewantara. Nanda Agung. 1997. Masalah Kebebasan Hakim

dalam Menangani Suatu Masalah Perkara Pidana. Jakarta : Aksara Persada Indonesia.

Effendy, Marwan. 2005. Kejaksaan RI Posisi dan Fungsi dari Persfektif Hukum. Jakarta: Gramedia

Gultom, Maidin. 2010. Perlindungan Hukum Terhadap Anak. Bandung: Redika Aditama.

Rahardjo, Satjipto. 1998. Bunga Rampai Permasalahan Dalam Sistem Peradilan Pidana, Jakarta: Pusat Pelayanan Keadilan dan Pengabdian Hukum,

Sudarto. 1990. Hukum Pidana I. Semarang : Yayasan Fakultas Hukum UNDIP.

Referensi

Dokumen terkait

Untuk itu perlu dilakukan penelitian mengenai pertimbangan apa saja yang digunakan oleh hakim didalam menjatuhkan suatu putusan terhadap anak sebagai pelaku tindak

80.000.000,- (delapan puluh juta rupiah) Subsidair 3 (tiga) bulan kurangan.Putusan Hakim yang menjatuhkan pidana minimal tersebut tidak sesuai dengan UU No. Putusan Hakim

Dasar Pertimbangan Hukum Putusan Hakim dalam Menjatuhkan Putusan Terhadap Pelaku Pembunuhan Berencana dalam Putusan Pengadilan Negeri Sleman No. Dasar Pertimbangan Hukum

Akibat Tindak Pidana Terorisme dan Pertimbangan Hakim dalam Menjatuhkan Putusan Pidana Mati Pelaku Tindak Pidana Terorisme ………. Akibat yang Ditimbulkan oleh Tindak Pidana

DASAR PERTIMBANGAN HAKIM DALAM MENJATUHKAN PUTUSAN YANG RASIONAL TERHADAP PELAKU TINDAK PIDANA PEMBUNUHAN BERENCANA ... Tinjauan Mengenai Peranan Hakim Dalam Peradilan

Dalam bab ini menguraikan tentang bagaimana pertimbangan hakim dalam menjatuhkan putusan terhadap pelaku tindak pidana kekerasan fisik dalam lingkup rumah tangga yang

Permasalahan yang diangkat dalam penulisan skripsi ini adalah, pertama mengenai pertimbangan hakim dalam putusan MA Nomor 2031K/Pid.Sus/2011 yang menjatuhkan

Dalam penelitian ini, diketahui pada praktiknya hakim masih seringkali menjatuhkan putusan dibawah batas minimal kepada pelaku tindak pidana pencabulan terhadap