LOMBOK TIMUR
Determinants Factors of Postpartum Depression in East Lombok
Zulpatin Nasri1, Arief Wibowo2, Endang Warsiki Ghozali3
1 Program Magister Ilmu Kesehatan Masyarakat Fakultas Kesehatan Masyarakat, Universitas Airlangga Surabaya
2 Departemen Biostatistika dan Kependudukan Fakultas Kesehatan Masyarakat, Universitas Airlangga Surabaya
3 RSUD Dr. Soetomo Surabaya Departemen Ilmu Kedokteran Jiwa
Naskah Masuk: 19 Desember 2016, Perbaikan: 18 Februari 2017, Layak Terbit: 15 Maret 2017
http://dx.doi.org/10.22435/hsr.v20i3.6137.89-95
ABSTRAK
Perbaikan kesehatan ibu dan bayi menjadi prioritas pembangunan kesehatan di Indonesia. Perbaikan tersebut diarahkan kepada kesehatan fisik dan psikologis. Masalah psikologis ibu postpartum di antaranya kejadian depresi postpartum. Depresi postpartum merupakan salah satu faktor yang berkontribusi terhadap kesehatan ibu secara tidak langsung. Depresi postpartum atau depresi postnatal adalah gangguan kejiwaan utama yang terjadi pada wanita setelah 4 minggu postpartum. Penelitian ini bertujuan menentukan determinan kejadian depresi postpartum di Lombok Timur, Nusa Tenggara Barat. Jenis penelitian adalah observasional dengan desain potong lintang. Penelitian dilakukan mulai Juni sampai Agustus 2016 menggunakan dua kuesioner yaitu kuesioner Edinburgh Postnatal Depression Scale (EPDS) meliputi 10 pertanyaan dan kuesioner tentang karakteristik responden. Hasil penelitian menunjukkan sebagian besar ibu yang mengalami depresi postpartum berusia 20–35 tahun, berpendidikan dasar, tidak bekerja, multipara, berpenghasilan di bawah UMR dan memiliki pengetahuan kurang tentang depresi tersebut. Dukungan keluarga berpengaruh terhadap kejadian depresi postpartum di Kabupaten Lombok timur (p = 0,000). Hal ini menunjukkan bahwa semakin tinggi dukungan keluarga maka semakin rendah risiko untuk terjadinya depresi postpartum, dan sebaliknya sehingga pelayanan kesehatan perlu deteksi dini atau skrining kepada semua ibu melahirkan.
Kata kunci: Depresi Postpartum; Determinan; EPDS
ABSTRACT
Improved mothers and babies health is a health development priority in Indonesia. The improvement is for the Physical and psychological health. The Psychologic problem of postpartum mother is as postpartum depression is one of factors that contribute to postpartum or postnatal depression is a major psychiatric disorder that occurs in women after 4 weeks postpartum. This study aimed to determine determinant factor of postpartum depression in East Lombok, West Nusa Tenggara. It was an observational study with a cross sectional design. Data collection were done by two questionnaires Edinburgh Postnatal Depression Scale (EPDS), which contains 10 questions and a questionnaire on characteristics of respondents. Results showed the majority of mothers who get depression postpartum are 20–35 years old, elementary school educated, non-employment, multipara, income below Regional Minimum Wages and have low knowledge on the depression. Family support was associated to postpartum depression in East Lombok District (p = 0.000), it shows that the higher support of family, the lower risk of postpartum depression and conversely.
Keywords: Postpartum Depression; Determinant; EPDS
Korespondensi:
Zulpatin Nasri
PENDAHULUAN
Peningkatan kesehatan ibu dan anak merupakan prioritas dari pengembangan kesehatan di beberapa negara berkembang dan belum berkembang, khususnya di Indonesia. Pengembangan tersebut diarahkan kepada peningkatan kesehatan fisik dan
mental ibu. Salah satu masalah ibu postpartum
adalah masalah psikologis yaitu depresi postpartum
yang merupakan salah satu faktor yang berkontribusi terhadap kesehatan ibu secara tidak langsung.
Depresi postpartum merupakan masalah
psikologis yang dialami oleh ibu setelah 4 minggu melahirkan yang ditandai dengan perasaan sedih, menurunnya suasana hati, kehilangan minat dalam kegiatan sehari-hari, peningkatan atau penurunan berat badan secara signifikan, merasa tidak berguna atau bersalah, kelelahan, penurunan konsentrasi bahkan ide bunuh diri. Pada kasus yang berat depresi dapat menjadi psikotik, dengan halusinasi, waham dan pikiran untuk membunuh bayi. Diketahui sekitar 20–40% wanita melaporkan adanya suatu gangguan emosional atau disfungsi kognitif pada masa pascapersalinan.
Berdasarkan Centers for Disease Control and
Prevention (CDC) prevalensi depresi postpartum di Amerika Serikat pada tahun 2004–2005 antara 11,7–20,4%. Jika kondisi ini tidak ditangani dengan baik, maka dapat berkembang menjadi psikosis
postpartum.
Di Indonesia semula diperkirakan bahwa angka kejadiannya rendah atau setidaknya lebih rendah dari negara lain atau masyarakat di tempat lain. Ternyata di Indonesia pada tahun 1998–2001, seperti di DKI Jakarta, DI Yogyakarta dan Surabaya ditemukan angka kejadiannya 11–30%. Namun saat ini, angka
kejadian depresi postpartum di Indonesia belum
diketahui secara pasti mengingat belum ada lembaga terkait yang melakukan penelitian tersebut.
Penelitian di beberapa Rumah Sakit di Indonesia seperti di RSUD Dr. Soetomo, Surabaya tahun 2006,
menunjukkan kejadian depresi postpartum sebesar
22,35%. Penelitian di RSUP Haji Adam Malik, Medan
tahun 2009 bahwa dari 50 ibu postpartum spontan
dirawat inap sebanyak 16% mengalami depresi
postpartum.
Menurut Green (1980), perilaku manusia dipengaruhi oleh dua faktor pokok yaitu faktor perilaku (behavior causes) dan faktor di luar perilaku (non behavior causes). Sedangkan perilaku ditentukan atau terbentuk dari 3 faktor meliputi faktor predisposisi
(predisposition factor), faktor pemungkinan (enabling factor) dan faktor penguat (reinforcing factor). Salah
satu perubahan perilaku pada ibu postpartum adalah
perubahan perilaku dalam menerima peran.
Profil kesehatan Provinsi Nusa Tenggara Barat tahun 2002 menunjukkan angka kelahiran di Kabupaten Lombok Timur mencapai 26.038 kelahiran per tahun. Angka kelahiran yang tinggi tersebut tidak menutup kemungkinan adanya masalah kesehatan yang juga tinggi pada ibu melahirkan, baik fisik maupun psikis, khususnya kejadian depresi
postpartum.
Berdasarkan hal tersebut diperlukan penelitian
tentang faktor determinan kejadian depresi postpartum
di Lombok Timur mengingat konsekuensi dari
terjadinya depresi postpartum sangat berpengaruh
terhadap kesehatan ibu dan bayinya. Sehingga dapat memberikan intervensi yang tepat serta masukan dalam perencanaan penanganan kejadian depresi
postpartum.
METODE
Jenis penelitian adalah observasional dengan desain potong lintang. Penelitian dilakukan dalam bulan Agustus 2016. Populasi penelitian ini adalah semua ibu yang melahirkan pada tanggal 1 Juli sampai 1 Agustus 2016 yaitu sebanyak 43 orang.
Pengambilan sampel secara simple random
sampling dengan besar sampel sebanyak 38 orang.
Pengumpulan data dengan home visit atau
melakukan kunjungan ke rumah responden.
Variabel independen adalah: 1) umur dalam tahun, 2) pendidikan yaitu pendidikan formal maupun informal menurut ijasah, 3) pekerjaan: kegiatan yang memperoleh penghasilan, 4) pengetahuan: segala informasi yang diketahui ibu, 5) penghasilan: uang hasil kerja maupun usaha lainnya dalam satu bulan, 6) paritas: banyaknya kelahiran ibu, 7) dukungan sosial keluarga: segala bentuk kenyamanan, perhatian, penghargaan ataupun bantuan yang didapatkan ibu dari suami atau keluarga. 8) waktu tempuh menuju pelayanan kesehatan; dalam menit.
Sedangkan variabel dependennya adalah
kejadian depresi postpartum. Depresi postpartum
Tabel 1. Karakteristik Ibu menurut Kejadian Depresi Postpartum di Kabupaten Lombok Timur Tahun 2016
Karakteristik
Depresi Postpartum
Ya (%) Tidak (%)
n = 15 n = 23
Umur (tahun)
< 20 2 13,33 6 26,09
20–35 12 80,00 16 69,57
> 35 1 6,67 1 4,35
Pendidikan
tinggi (SMA, PT) 0 0 6 26,09
Menengah (SMA) 2 13,33 9 39,13
Pendidikan Dasar (SD, SMP) 13 86,67 8 34,78
Pekerjaan
Bekerja 3 20,00 11 47,83
Tidak 12 80,00 12 52,17
Paritas
Primipara 4 26,67 12 52,17
Multipara 11 73,33 11 47,83
Penghasilan Keluarga
> Upah Minimum Kabupaten 0 – 11 47,83
< Upah Minimum Kabupaten 15 100 12 52,17
Pengetahuan tentang Depresi Postpartum
Baik 2 13,33 9 39,13
Cukup 3 20,00 6 26,09
Kurang 10 66,67 8 34,78
Dukungan Sosial Keluarga
Baik 0 0 6 26,09
Cukup 8 53,33 17 73,91
Kurang 7 46,67 0 0
Waktu Tempuh Menuju Yankes
5–15 menit 9 60,00 14 60,87
16–25 menit 6 40,00 9 39,13
Total 15 100 23 100
Data responden adalah karakteristik ibu dan skor EPDS untuk skrining kejadian depresi
postpartum, sedangkan data sekunder dari RSUD Dr. R. Soedjono, Selong yaitu alamat responden. Pengumpulan data menggunakan Instrumen EPDS. Sebelumnya Instrumen EPDS telah diuji coba oleh peneliti dengan hasil valid dan realibel. Hasil uji coba tersebut didapat nilai sensitifitas 86% dan spesifitas 78%.
Instrumen EPDS terdiri dari 10 item yang mudah dipahami sehingga klien dapat mengisinya dan tidak mengakibatkan kelelahan. Beberapa pertanyaan dalam instrumen tersebut diklasifikasi dengan tanda (*) dan tanpa tanda (). Pertanyaan tanpa tanda () meliputi pertanyaan 1,2 dan 4 dengan nilai 0-1-2-3 dengan aturan kotak jawaban teratas diberi nilai nol (0) sedangkan kotak jawaban yang terendah diberi
nilai tiga (3). Pertanyaan dengan tanda (*) yakni nomor 3,5,6,7,8,9,10 memiliki nilai kebalikan dari pertanyaan tidak bertanda (*) yaitu kotak jawaban teratas diberi nilai tiga (3) sedangkan kotak jawaban yang paling rendah diberi nilai nol (0). Nilai maksimum
EPDS adalah 30 dengan interval 0–9 normal, ≥ 10
depresi postpartum atau depresi.
HASIL
Karakteristik responden meliputi umur,
pendidikan, pekerjaan, pengetahuan, penghasilan, paritas, dukungan keluarga, waktu tempuh menuju pelayanan kesehatan.
Tabel 1 menunjukkan kejadian depresi postparum sebesar 39,5%, sebagian besar ibu yang mengalami
20–35 (80%) tahun, meskipun pada beberapa kasus
depresi postpartum umumnya terjadi pada ibu yang
melahirkan pada usia muda antara < 20 tahun.
Dari 15 ibu yang mengalami depresi postpartum,
sebagian besar 86,67% berpendidikan dasar, SD dan SMP. Semakin tinggi pendidikan ibu akan semakin
kecil kemungkinan mengalami depresi postpartum.
Menurut pekerjaannya, ibu yang tidak bekerja
(80%) cenderung mengalami depresi postpartum.
Kemungkinan besar pekerjaan mempengaruhi kondisi psikologis ibu dalam menghadapi peran barunya sebagai seorang ibu.
Menurut paritas, sebagian besar ibu yang
mengalami depresi postpartum adalah yang memiliki
anak lebih dari satu atau multipara (73,33). Hal ini berarti semakin tinggi paritas ibu maka semakin tinggi pula risiko terjadinya depresi postpartum.
Berdasarkan pengetahuan ibu tentang depresi
postpartum, sebagian besar ibu yang mengalami
depresi postpartum adalah ibu yang memiliki
pengetahuan kurang tentang konsep depresi
postpartum.
Berdasarkan dukungan sosial keluarga, sebagian
besar ibu yang mengalami depresi postpartum
adalah ibu yang memiliki dukungan cukup (53,33%), bahwa semakin rendah dukungan yang didapatkan ibu semakin besar pula risiko untuk terjadinya depresi
postpartum, dan sebaliknya. Kriteria yang dinilai dari dukungan keluarga adalah sikap suami atau keluarga, bantuan dalam mengasuh anak, serta pendampingan selama dan setelah persalinan.
Waktu tempuh menuju pelayanan kesehatan menunjukkan banyaknya ibu dengan waktu tempuh < 20 menit dan yang > 20 menit relatif sama, artinya lama atau tidaknya waktu tempuh menuju pelayanan
Tabel 2. Uji Regresi Linier Berganda kejadian depresi
postpartum berdasarkan karakteristik ibu
postpartum di Lombok Timur Tahun 2016
Karakteristik R2 p
kesehatan tidak berpengaruh terhadap kejadian
depresi postpartum.
Tabel 2 menyajikan analisis multivariat dengan regresi linier berganda untuk mengetahui faktor
determinan terjadinya depresi postpartum.
Variabel independen secara simultan berpengaruh terhadap variabel dependen, p = 0,001. Besar pengaruh variabel dependen terhadap variabel
independen (R Square) adalah 0,603 atau 60,3%
sedangkan 39,7% dipengaruhi faktor-faktor yang lain.
PEMBAHASAN
Umur tidak berpengaruh secara signifikan
terhadap kejadian depresi postpartum, namun
sebagian besar ibu yang mengalami depresi
postpartum berusia 20–35 tahun, meskipun pada
beberapa kasus depresi postpartum umumnya terjadi
pada ibu melahirkan yang usia muda < 20 tahun. Hal ini kemungkinan karena kurangnya persiapan ibu untuk memiliki anak karena jika ditinjau dari aspek psikis wanita pada usia 20–35 seharusnya memiliki pemikiran yang matang misalnya dalam pengambilan keputusan. Selain itu, usia tersebut merupakan usia yang aman untuk melakukan kehamilan dan
persalinan. Tingginya kejadian depresi postpartum
pada usia tersebut kemungkinan karena faktor lain seperti masalah sosial ekonomi, sebagaimana penghasilan keluarga sebagian besar ibu di bawah Upah Minimum Kabupaten Lombok Timur.
Umur persalinan dan melahirkan sering dikaitkan
dengan masalah depresi postpartum. Usia yang
terlalu muda untuk hamil akan memicu risiko bagi ibu dan anak dari segi fisik dan psikis yaitu selama kehamilan maupun persalinan. Selain itu, pada usia muda biasanya terjadi kekhawatiran berlebihan membayangkan proses persalinan, terutama pada kehamilan pertama. Perempuan yang baru pertama kali melahirkan lebih banyak yang menderita depresi karena rentan adaptasi baik fisik maupun psikisnya. Pendidikan tidak berpengaruh terhadap kejadian
depresi postpartum, namun sebagian besar ibu
yang mengalami depresi postpartum berpendidikan
dasar (SD dan SMP) menunjukkan semakin tinggi pendidikan ibu maka kemungkinan semakin
Paritas Penghasilan
Pengetahuan tentang Depresi Postpartum
0,603 0,001 kecil untuk terjadi depresi postpartum. Ibu yang
berpendidikan tinggi kemungkinan memiliki strategi koping yang baik dalam memilih dan membuat keputusan yang lebih tepat. Selain itu, semakin tinggi
informasi. Dan maka seorang berpendidikan yang tinggi cenderung mendapat informasi baik dari orang lain maupun dari media massa. Semakin banyak informasi yang diterima semakin banyak pengetahuan yang didapat, termasuk pengetahuan tentang kesehatan sehingga risiko terjadinya depresi
postpartum semakin rendah.
Senada Manurung (2011), ibu yang berpendidikan SD/SMP empat kali berpeluang mengalami depresi
postpartum dibandingkan yang berpendidikan SMA/ Diploma I. Selain itu, Soep (2009) menyatakan sebagian
besar ibu yang mengalami depresi postpartum
berpendidikan rendah. Hal ini menunjukkan pendidikan rendah berkontribusi terhadap psikologis ibu dalam menghadapi persalinan dan paska persalinan, diasumsikan berkorelasi dengan pemahaman tentang konsekuensi yang dihadapi jika sedang melahirkan maupun setelah melahirkan.
Ibu yang tidak bekerja cenderung mengalami
depresi postpartum menunjukkan kemungkinan
besar pekerjaan mempengaruhi kondisi psikologis ibu dalam menghadapi peran barunya sebagai seorang ibu. Hal ini kemungkinan terjadi karena sebagian besar ibu yang tidak bekerja tinggal di rumah selama suami pergi bekerja sehingga jenuh dan lelah karena harus melakukan pekerjaan rumah tangga dan merawat bayinya.
Banyaknya pekerjaan rumah tangga yang harus dikerjakan ibu mengakibatkan kesulitan membagi waktu untuk mengurus anak dan pekerjaan rumah. Selain itu, adanya perubahan peran yang drastis terhadap ibu yang awalnya bekerja, kemudian tidak bekerja.
Senada Bobak (1994), dalam Kasdu (2005), bahwa ibu yang meninggalkan pekerjaan karena hamil atau melahirkan lebih rentan terkena depresi
postpartum karena memicu konflik batin pada ibu. Jika ibu meninggalkan pekerjaannya maka pendapatan keluarga menurun sedangkan kebutuhan semakin bertambah dengan kelahiran anak. Selain itu, Ibu yang meninggalkan pekerjaan, mungkin pada awalnya dapat menerima, tetapi seringkali tindakan ini menimbulkan suatu kesenjangan dalam kehidupan seorang yang hamil dan melahirkan. Biasanya ibu akan merasa kehilangan teman-teman sekerja, disiplin secara rutin dalam pekerjaan sehari-hari.
Menurut paritas ibu, sebagian besar ibu yang
mengalami depresi postpartum memiliki anak lebih
dari satu (multipara). Hal ini menunjukkan bahwa semakin banyak ibu memiliki anak, maka semakin
besar risiko terjadinya depresi postpartum.
Berbeda dengan Soep (2009) perempuan yang baru pertama kali melahirkan umumnya menderita depresi karena setelah melahirkan dalam rentang
adaptasi yang baik fisik maupun psikis. Ibu primipara
biasanya masih merasakan kekhawatiran mengenai perubahan bentuk tubuh, kemampuan untuk menjalani peran baru sebagai seorang ibu, serta dukungan sosial terutama dari suami dan keluarga.
Tingginya angka kejadian depresi postpartum
pada ibu multipara dalam penelitian ini kemungkinan masalah ekonomi. Sebagian besar ibu yang
mengalami depresi postpartum memiliki penghasilan
di bawah UMK. Dapat dikatakan bahwa semakin tinggi penghasilan keluarga ibu maka semakin kecil risiko terjadinya depresi postpartum.
Senada Endang (2006) bahwa sebagian besar ibu
yang mengalami depresi postpartum berpenghasilan
rendah. Kemungkinan berhubungan langsung dengan kebutuhan dan perawatan bayi yang membutuhkan banyak biaya. Maka keadaan yang seharusnya mendatangkan kebahagiaan dengan kelahiran bayi, bisa menimbulkan tekanan karena perubahan baru dalam hidup seorang perempuan.
Pengetahuan tentang konsep depresi
postpartum tidak berpengaruh terhadap kejadian
depresi postpartum, tetapi sebagian besar ibu yang
mengalami depresi potpartum memiliki pengetahuan
kurang baik mengenai depresi postpartum. Ibu yang
memiliki kurang pengetahuan mengalami rentan
depresi postpartum.
Kemungkinan karena kemampuan koping yang kurang baik, sebab pengetahuan merupakan hasil tahu dan terjadi setelah melakukan pengindraan terhadap suatu objek. Sehingga pengetahuan merupakan faktor penting untuk terbentuknya perilaku seseorang. Ketika seorang ibu memiliki
pengetahuan yang baik tentang depresi postpartum
kemungkinan ibu akan melakukan persiapan yang baik dalam menghadapi kehamilan dan persalinan
sehingga risiko depresi postpartum berkurang.
Proses kehamilan dan persalinan merupakan suatu proses yang melibatkan banyak orang, tidak hanya pasangan suami istri, tetapi seluruh anggota keluarga baik dari pihak istri maupun suami. Wanita yang merasa dihargai, diperhatikan dan dicintai oleh keluarganya tentu tidak merasa dirinya kurang berharga. Sebaliknya, wanita yang kurang mendapatkan dukungan sosial mudah merasa bahwa dirinya tidak berharga dan kurang diperhatikan oleh keluarganya. Maka apabila dukungan dari suami
mengakibatkan ibu lebih sensitif dan cenderung mengalami depresi (Machmudah, 2010; Urbayatun, 2010).
Sebagian besar ibu yang mengalami depresi
postpartum memiliki dukungan sosial keluarga yang kurang baik.
Dukungan sosial keluarga merupakan aspek yang berpengaruh terhadap kesehatan mental ibu pasca melahirkan, karena dalam proses penyesuaian menjadi ibu, ibu sangat rentan terhadap gangguan emosi. Kurangnya dukungan sosial dari keluarga menyebabkan ibu rentan mengalami gangguan emosional sehingga kurang siap dalam menghadapi peran barunya sebagai seorang ibu dan sebaliknya. Sejalan Cobb (1993) dalam Soep (2009), bahwa individu yang menerima dukungan sosial akan merasa dicintai, diperhatikan, dihargai serta merasa bahwa dirinya merupakan bagian dari suatu jaringan sosial. Rasa aman karena dicintai berpengaruh positif terhadap kesehatan fisik dan kesejahteraan psikologis.
Menurut Alfiben. (2000) dalam proses penyesuaian menjadi ibu, ibu sangat rentan terhadap gangguan emosi terutama selama kehamilan,
persalinan dan postpartum. Sistem dukungan
yang kuat dan konsisten merupakan faktor utama keberhasilan melakukan penyesuaian bagi ibu.
Pada periode postpartum awal, ibu membutuhkan
bantuan dalam menyelesaikan berbagai tugas rumah tangganya seperti menyiapkan makanan, mencuci pakaian dan berbelanja, dan ibu membutuhkan dorongan, penghargaan dan pernyataan bahwa ia adalah ibu yang baik.
Waktu tempuh menuju pelayanan kesehatan tidak
berpengaruh terhadap kejadian depresi postpartum.
Menurut Azwar (1996), jarak tempat tinggal merupakan salah satu faktor yang mempengaruhi perilaku seseorang dalam melakukan suatu kegiatan. Semakin jauh jarak antara tempat tinggal dengan tempat kegiatan akan semakin menurunkan motivasi seseorang dalam melakukan aktivitas. Sebaliknya semakin dekat jarak tempat tinggal dengan tempat kegiatan dapat meningkatkan usaha. Pengaruh jarak tempat tinggal dengan tempat kegiatan tak terlepas dari besarnya biaya yang digunakan dan waktu yang diperlukan. Berkaitan dengan kesadaran masyarakat akan pentingnya kesehatan yang rendah, sehingga jarak antara rumah tinggal dan tempat pelayanan kesehatan mempengaruhi perilaku mereka.
Jika ibu memiliki kesiapan fisik dan mental yang adekuat serta akses ke pelayanan kesehatan yang mudah dan dekat, maka dapat mengurangi stres, rasa cemas dan rasa takut tentang kehamilan dan persalinan serta dapat memudahkan ibu dalam beradaptasi dengan peran barunya. Rasa takut dan cemas tentang persalinan dan penyesuaian sosial yang buruk dapat merupakan faktor penyebab
gangguan psikologis pada ibu postpartum (Bobak,
2005; Varney, 2008).
KESIMPULAN
Sebagian besar ibu yang mengalami depresi
postpartum adalah ibu yang berumur 20 –35 tahun, berpendidikan dasar, tidak bekerja, multipara,
berpenghasilan di bawah UMK, memiliki
pengetahuan kurang, dukungan keluarga yang kurang baik serta ibu dengan waktu tempuh menuju pelayanan kesehatan dengan rentang waktu 5–15 menit. Dukungan keluarga merupakan determinan yang paling mempengaruhi terjadinya depresi
postpartum.
SARAN
Bagi pelayanan kesehatan perlu deteksi dini atau screening terhadap kemungkinan terjadinya depresi
postpartum. Semua ibu melahirkan hendaknya
dilakukan pengkajian postpartum depresi dengan
menggunakan EPDS ataupun instrumen lain yang
direkomendasikan seperti yang di kembangkan oleh
Beck yaitu, Beck Depression Inventory (BDI).
Selain itu, antisipasi terjadinya depresi
postpartum bisa dilakukan sejak awal kehamilan
yaitu pada saat ibu melakukan antenatal care (ANC)
hendaknya ibu dan keluarga diberikan pendidikan kesehatan mengenai perubahan psikologis pada saat kehamilan, melahirkan serta nifas serta kiat-kiat dalam mencegah dan mengatasi gangguan psikologis baik selama kehamilan dan setelah melahirkan.
UCAPAN TERIMA KASIH
DAFTAR PUSTAKA
Alfiben. 2000. Efektivitas Peningkatan Dukungan Suami dalam Menurunkan Terjadinya Depresi Postpartum. Majalah Obstetric Ginekologi Indonesia. 24 (4). American Psychiatric Association. 1994. Diagnostik and
Statistical Manual of Mental Disorders, 4th ed. Washington DC.
Azwar, Azrul. 1996. Menjaga Mutu Pelayanan Kesehatan. Jakarta: Sinar Harapan.
Bobak. 2005. Buku Ajar Keperawatan Maternitas edisi 4. Jakarta: EGC.
Cobb, Robert.2003. The relationship between self regulated learning behaviors and academic perfomance in web-based courses. Disertasi. The Faculty of Virginia Polytechnic Institute and State University.
Elvira, D. 2006. Depresi Pasca persalinan. Jakarta: Fakultas Kedokteran UI.
Endang W.G, Glen, D.E, Naotaka, S, Gittelman, M, Haniman, F, Wibisono, S, Yamamoto,S, Naoko, T, Paula, R. 2006. Postnatal Depression in Surabaya, Indonesia. International Journal of Mental Health, 35 (1), 62–74.
Ibrahim, F, Rahma, Ikhsan, M. 2012. Faktor-Faktor yang Berhubungan dengan Depresi Postpartum di RSIA Pertiwi Makassar Tahun 2012. Tersedia pada: http://repository.unhas.ac.id/bitstream/
handle/123456789/4250/Fatma%20Ibrahim%20 (K11108297).pdf?sequence=1 [diakses 23 maret 2016].
Joy, Saju. 2010.Postpartum Depression. Available from: http://reference.medscape.com/article/271662- overview. [accessed 23 maret 2016].
Kaplan, H.I, Sadock, B.J, Grebb, J.A. 1997. Sinopsis Psikiatri Jilid 1. Tanggerang: Binarupa Aksara. Kasdu, D. 2005. Solusi Problem Persalinan. Jakarta: Puspa
Swara.
Kemenkes R.I. 2013. Profil Dinas Kesehatan Provinsi Nusa Tenggara Barat Tahun 2012. Tersedia pada:http:// www.depkes.go.id/resources/download/profil/ PROFIL_KES_PROVINSI_2012/18_Profil_Kes.Prov. NTB_2012.pdfhttp://www.depkes.go.id/resources/
download/profil/PROFIL_KES_PROVINSI_2012/18_ Profil_Kes.Prov.NTB_2012.pdf [diakses 23 Maret 2016].
Lawrence Green. 1980. Health Education Planning, A Diagnostic Approach. California: Mayfield Publishing.
Machmudah. 2010. Pengaruh Persalinan dengan Komplikasi terhadap Kemungkinan Terjadinya Pospartum Blues di Kota Semarang. Tesis. Jakarta: Keperawatan Universitas Indonesia.
Manurung, S, Lestari, T.R, Suryati, B, Mitadwiyana. B, Karma. A, Paulina. K. 2011. Efektivitas Terapi Musik terhadap Pencegahan Postpartum Blues pada Ibu Primipara di Ruang kebidanan RSUP Cipto Mangunkusumo Jakarta Pusat. Buletin Penelitian Sistem Kesehatan, 4 (1), 17–23.
Rusli, R.A, Meiyuntariningsih, T, Warni, W.E. 2011. Perbedaan Depresi Pasca melahirkan pada Ibu Primipara Ditinjau dari Usia Ibu Hamil. Jurnal INSAN, 13 (01), 21–31.
Saleha, Siti. 2009. Asuhan Kebidanan pada Masa Nifas, Jakarta: Salemba Medika.
Sari, L.S. 2009. Sindroma Depresi Pasca persalinan di Rumah Sakit Umum Pusat Haji Adam Malik Medan, Tesis. Medan, Departemen Psikiatri Universitas Sumatra Utara.
Setyowati, Uke, R. 2006.Studi faktor Kejadian Postpartum Blues pada Ibu Pascasalin: Penelitian Deskriptif di Ruang Bersalin I RSU Dr. Soetomo Surabaya. Tersedia pada: http://adln.lib.Unair.Ac/go/php?id=jiptunair-gdl- s1-006-setyowatiu [diakses 10 Maret 2016].
Soep. 2009. Pengaruh intervensi psikoedukasi dalam mengatasi depresi postpartum di rsu dr. Pirngadi medan. Tersedia pada: usu.ac.id: http://repository. usu.ac.id/bitstream/123456789/6885/1/09E01429. pdf.
Urbayatun, S. 2010. Dukungan Sosial dan Kecenderungan Depresi Postpartum pada Ibu. Jurnal Humanitas, 7 (2).