• Tidak ada hasil yang ditemukan

A. Pendahuluan - PDF (Bahasa Indonesia)

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2018

Membagikan "A. Pendahuluan - PDF (Bahasa Indonesia)"

Copied!
21
0
0

Teks penuh

(1)

Konsep Pendidikan YB. Mangunwijaya. Pr.

Aly Masyhar Abdel Hannan*

Abstraction: Education is very important for human. Even, it includes in Human Right Point. But, education in our country has got many critical from education criticists. According to them, the education of our country, especially it’s system, administrative, and curriculum, has been very broken. It couldn’t make it’s students clever and understand with their social and habit conditions. About it, Agus Sunyoto, a historian and education criticist from Malang, said that our education just make it’s students the illusionists, because our education just teachs some lessons that are far from the fact.

Romo Mangun’s education concept covers about education philosophy – epistemology, ontology, and axiology-, and than learning methods, curriculum, and society relation between education and it’s society.

His education concept was influenced by west education criticists, as like Paulo Friere, Ivan Illich, Jurgen Habermas, Foucoult, Jean Pieget and others, but he could sift and couple with values of Indonesian culture. And one thing, that has to been noted, is that all of his concepts always are rested on religious values. So, someone doesn’t get wrong if he called that Mangun’s concept is education concept based on freedom and religious, because in the fact it is right.

Key words : education concept, philosophy, liberty, religious and culture values, YB. Mangunwijaya,Pr.

A. Pendahuluan

Pendidikan di negeri ini masih membutuhkan banyak pembenahan. Mulai

dari sisi birokrasi, manajemen, sistem kontrol, hingga sisi internalnya, yakni

mengenai konsep pendidikan dan aplikasi praksis dalam menciptakan pendidikan

yang sesuai dengan kondisi dan kultur bangsa. Pendidikan di negeri ini tidak

(2)

kepribadian maupun sosialnya.1 Semua disebabkan oleh ketidakjelasan sistem

pendidikan.2

Sudah menjadi rahasia umum bahwa bahwa pendidikan di negeri ini hanya

menekankan atau mengunggulkan salah satu aspek yang dimiliki oleh peserta

didik, yakni aspek kognitifnya saja. Aspek kognitif ini pun hanya menekankan

pada sisi hapalan.Akibatnya, lembaga pendidikan ini hanya melahirkan

manusia-manusia yang tercerabut dari akar sosialnya. Sebab, pendidikan di negeri ini

memisahkan peserta didik dari sosio-kulutur masyarakatnya dengan cara

menggunakan kurikulum “padat isi” dan mental “penyeragaman serta kedisiplinan

ala militer”.

Hal di atas diperparah lagi oleh proses pembelajaran yang menggunakan

banking system, yakni sebuah sistem atau proses transfer of knowledge yang

dilakukan secara copy-paste dari seorang guru kepada muridnya. Dalam proses

pembelajaran ini, murid hanya digurui, diajari dan dijejali dengan mata pelajaran

yang sudah didesain dan ditentukan oleh guru, lembaga atau negara. Sebagian

besar mata pelajaran yang diberikan tidak sesuai dengan kebutuhan anak dan

komunitasnya.3 Akibatnya, peserta didik lebih banyak diam membisu dalam kelas, menanggung rasa tertekan, hilang rasa solidaritas, dan hanya mengejar grade atau

ijazah. Lebih jauh lagi, daya kritis, kreatif dan eksploratif peserta didik menjadi

terkebiri. Dalam istilah YB Mangunwijaya, pendidikan model ini ialah pemburu,

pawang dan pembunuh peserta didik.

Problem yang tak kalah ironis lainnya ialah mahalnya biaya pendidikan

(baca: sekolah) yang mengakibatkan kaum miskin tak mampu mengenyamnya.

Memang, pihak pemerintah telah menggalakkan sekolah gratis 9 tahun dan

memberikan bantuan pendidikan melalui program-program seperti BOSS.

Namun, pada kenyataannya, masih banyak iuran sekolah yang harus ditanggung

* Alumni Fakultas Tarbiyah IAIT Kediri tahun 2008

1

Moh. Makin Baharuddin, Pendidikan Humanistik (Konsep, Teori, dan Aplikasi Praksis dalam Dunia Pendidikan) (Yogyakarta: Ar-Ruzz Media, 2007), h. 5.

2

Dedy Pradipto, Belajar Sejati vs Kurikulum Nasional: Konstelasi Kekuasaan dalam Pendidikan Dasar (Yogyakarta: Penerbit Kanisius, 2007), h. 21.

3

(3)

orangtua murid seperti pembelian seragam, pembelian buku, uang gedung, uang

infak, atau lainnya. Singkatnya, kapitalisme pendidikan dalam dunia pendidikan

masih banyak dipraktikkan.

Dalam kondisi pendidikan demikian itu, konsep pendidikan YB.

Mangunwijaya, Pr. menjadi penting untuk didiskusikan. Romo Mangun, demikian

dia biasa dipanggil, bisa dikatakan sebagai pionir kritikus pendidikan Indonesia.

Konsep pendidikannya berakar kuat dalam tradisi filsafat dan mengembangkan

teori-teori para pakar kritikus pendidikan Barat, semisal Jean Pieget, Ivan Illich,

Jurgen Habermas, dan Paulo Friere.

Dalam artikel ini, penulis akan mengkaji konsep pendidikan YB.

Mangunwijaya. Secara sistematis, pembahasan artikel ini disusun sebagai berikut.

Pertama, akan dibahas tentang sekilas biografi dan latar belakang YB.

Mangunwijaya. Kemudian, yang kedua, akan dibahas tentang dasar-dasar

gagasannya, dan yang terakhir akan dibahas tentang poin-poin pemikiran

pendidikannya yang termanifestasi pada lembaga yang didirikannya, yakni di

Sekolah Dasar Kanisius Eksperimen (SDKEM).

B. Biografi dan Latar Belakang YB. Mangunwijaya

Romo Mangun lahir pada 6 Mei 1929 di Ambarawa, Jawa Tengah dari

pasangan suami-istri Yulianus Sumadi Mangunwijaya dan Serafin Kamdinijah

yang berprofesi sebagai guru Sekolah Rakyat. Ia adalah anak sulung dari sebelas

saudara. Dari keluarga besar ini, hanya Romo Mangun yang menjadi seorang

biarawan.4 Romo Mangun dibesarkan dan dididik dalam keluarga yang taat agama sekaligus pemegang erat nilai-nilai tradisi Jawa. Tidak heran jika kemudian kedua

arus nilai ini sangat berpengaruh pada gagasan cemerlang pendidikannya.

Pada 1936 Romo Mangun masuk sekolah di HIS Fransiscus Xaverius,

Muntilan Magelang dan tamat pada 1943. Dia lalu meneruskan studi ke STM Jetis

Yogyakarta. Sayang, satu tahun kemudian, yakni pada 1944, STM Jetis

dibubarkan karena gedungnya dijadikan markas perjuangan tentara RI. Romo

Mangun lalu mendaftarkan diri menjadi prajurit TKR Batalyon X divisi III dan

4

(4)

bertugas di asrama militer di Benteng Vrederburg, dan kemudian di asrama militer

di Kota Baru Yogyakarta. Dia ikut dalam pertempuran di Ambarawa, Magelang

dan Mranggen. Ketika STM Jetis dibuka kembali pada 1946, ia melanjutkan

sekolahnya hingga lulus pada 1947.

Saat agresi militer Belanda I, Romo Mangun ikut bergabung dalam TP

Brigade XVII sebagai komandan kompi TP Kompi Kedu. Setahun kemudian dia

melanjutkan belajarnya di SMU-B Santo Albertus Malang dan lulus pada 1951.

Ketika di Albertus, tepatnya pada 1950, ia mewakili pemuda Katolik menghadiri

perayaan kemenangan RI di alun-alun kota Malang. Di sinilah dia mendengar

pidato Mayor Isman yang kemudian sangat berpengaruh bagi masa depannya,

yakni keputusan untuk “tobat sejati”, bertekad untuk mengabdikan dirinya pada

masyarakat yg tertindas haknya.5

Pilihan hidup menjadi Pastor membuat Romo Mangun melanjutkan

sekolah di seminari.6 Pertama, dia masuk ke Seminari Menengah di Kotabaru, 1951. Kemudian pada 1952 ia pindah ke Seminari Menengah Petrus Kanisius,

Martoyudan Magelang. Setelah lulus pada 1953, ia melanjutkan studinya ke

Seminari Tinggi di Institut Filsafat dan Teologi Santo Paulus di Kotabaru di mana

salah satu pengajarnya adalah Uskup Soegijapranata, SJ.7

Pada 1959, Romo Mangun melanjutkan pendidikannya di Teknik

Arsitektur ITB. Tepat pada 8 September tahun tersebut, dia ditahbiskan oleh

Uskup Agung Semarang Mgr. Soegijapranata sebagai Imam. Setelah mengenyam

pendidikan di ITB, 1960, dia melanjutkan studi arsitektur di Rheinisch

Westfaelische Technische Hochschule di Aachen Jerman dan lulus pada 1966.

Setelah kembali ke Indonesia, dia menjadi Pastor Paroki di Gereja Santa Theresia,

Desa Salam Magelang, dan menjadi Dosen Luar Biasa jurusan Arsitektur di

UGM. Dia juga mulai aktif menulis baik dalam bentuk buku, cerpen, novel

maupun artikel yang dimuat oleh surat-surat kabar.

5

“Yusuf Bilyarta Mangunwijaya,” http://id.wikipedia.org/wiki/Y.B._Mangunwijaya, diakses pada 20 Maret 2008.

6

Dedy Pradipto, Belajar Sejati vs Kurikulum Nasional, h. 32.

7

(5)

Selama 1980-1986, atas dorongan Dr. Soedjatmoko, Romo Mangun

melakukan pendampingan pada warga Kali Code yang terancam penggusuran.

Dia melakukan protes mogok makan. Berkat pengupayaan dan pembuatan

perumahan untuk warga Kali Code, pada 1992 ia mendapat penghargaan The Aga

Khan Award.8

Pada 1986-1994, dia melakukan pendampingan lagi, yakni untuk warga

Kedung Ombo yang menjadi korban pembuatan waduk. Di samping itu, dia

mendirikan Laboratorium Dinamika Edukasi Dasar (DED) dan menerapkan

eksperimennya di SD Kanisius Mangunan (SDKM) yang bertempat di Dusun

Mangunan, Desa Kalitirto, Kecamatan Berbah, Kabupaten Sleman, sekitar 12

kilometer sebelah timur Yogyakarta.9

Pada 26 Mei 1998, dia menjadi salah satu pembicara utama dalam aksi

demonstrasi peringatan terbunuhnya Moses Gatutkaca di Yogyakarta. Setahun

kemudian, tepat pada 10 Februari 1999, setelah memberikan ceramah dalam

seminar yang bertema “Meningkatkan Peran Buku dalam Upaya Membentuk

Masyarakat Indonesia Baru” di hotel Le Maridian Jakarta, Romo Mangun

meninggal dunia akibat serangan jantung.

C. Konsep Pendidikan YB. Mangunwijaya

1. Filsafat Manusia

Menurut Romo Mangun, manusia adalah makhluk yang berakal budi,

animal rationale. Artinya, manusia mampu berpikir, menentukan pilihan dan

mengambil tindakan berdasarkan pilihannya. Manusia adalah makhluk merdeka.

Dia mempunyai tanggung jawab atas apa yang dipilih dan diperbuatnya. Secara

kodrat, pada diri manusia sudah tertanam bakat-bakat atau potensi-potensi yang

diberikan oleh Tuhan padanya. Di antara potensi-potensi tersebut ialah potensi

ingin selalu tahu, ingin bertanya, ingin mengeksplorasi, ingin maju, ingin mekar

dan ingin mencapai kepenuhan diri. Dalam hal ini, dia mengikuti pemikiran filsuf

8

“Yusuf Bilyarta Mangunwijaya”, http://www.architerian.net, diakses pada 20 Maret 2008.

9

(6)

klasik Yunani Socrates dan juga tokoh psikologi perkembangan anak kenegaraan

Swiss, Jean Piaget.10

Selain itu, Romo Mangun menyatakan bahwa pada dasarnya manusia ialah

makhluk bahasa. Artinya, manusia adalah makhluk yang mempunyai potensi

berkomunikasi yang berguna atau digunakan sebagai alat untuk mengembangkan

potensi-potensi awal yang dipunyainya. Bahasa yang dimaksud Romo Mangun di

sini ialah bukan bahasa yang berarti sempit, yakni bahasa dalam arti simbol verbal

komunikasi lisan. Namun lebih dari itu, bahasa juga menyangkut bentuk

komunikasi lainnya, semisal bahasa tubuh, bahasa gerak, bahasa isyarat dan

bahkan interaksi sosial.11 Meminjam pernyataan Paul Suparno, manusia pada

dasarnya, dengan bahasa yang berarti luas, ialah makhluk sosial. Makhluk yang

tidak bisa hidup dan berkembang menuju kesempurnaan tanpa bantuan atau

bersama orang lain.12

Selain sebagai makhluk yang bebas, manusia juga mempunyai bakat atau

potensi bawaan, dan makhluk berdimensi sosial. Menurut Romo Mangun,

manusia juga makhluk yang bernilai dan ber-Tuhan. Manusia makhluk yang

bernilai karena manusia adalah ciptaan Tuhan yang berharga, yang tidak dapat

direndahkan atau diperkosa haknya. Keyakinan ini terpantul pada kegigihan

Romo Mangun dalam memperjuangkan kesejahteraan masyarakat miskin, baik

kesejahteraan rohani dengan jalan pendidikan maupun dari segi kesejahteraan

jasmani semisal pendampingan warga tepi Kali Code dan warga korban

pembangunan waduk Kedungombo dengan pembuatan perumahan.13

Manusia makhluk ber-Tuhan berarti makhluk yang memiliki dan

membutuhkan Tuhan. Untuk mengembangkan diri menjadi manusia yang penuh

dan utuh, manusia harus menjalin relasi yang baik dengan Tuhan yang

menciptakannya. Dengan kesadaran ini, manusia akan menjalin hubungan yang

10

YB. Mangunwijaya, “Sisi Balik Medali Emas Ibnu Siena”, dalam St. Sularto (ed.), Impian Dari Yogyakarta (Yogyakarta: Kompas, 2005), h. 282-283.

11

YB. Mangunwijaya, “Pendidikan Manusia Merdeka,” dalam St. Sularto (ed.), Impian Dari Yogyakarta, h. 272.

12

Paul Suparno, SJ, dkk., Reformasi Pendidikan: Sebuah Rekomendasi (Yogyakarta: Penerbit Kanisius, 2002), h. 12.

13

(7)

harmonis baik dengan sesama manusia maupun dengan alam semesta sebagai

sama-sama makhluk Tuhan. Pendek kata, kesadaran ketuhanan ini menjadi dasar

nilai untuk bercarapandang, bertindak, bersikap, dan juga dasar nilai atas semua

ilmu pengetahuan.14

Pokok pemikiran filsafat manusia Romo Mangun terkristalisasikan dalam

prinsip yang dia sebut “Tri Bina”, yakni bina manusia, bina usaha dan bina

lingkungan. Prinsip inilah yang memengaruhi konsep pendidikannya.15

2. Filsafat Pengetahuan

Filsafat pengetahuan di sini disebut pula epistemologi.16 Dalam filsafat

klasik, pengetahuan diyakini sudah ada dan sudah jadi. Oleh karenanya, tugas

guru hanyalah mentransfer pengetahuan itu ke dalam otak anak didik, sehingga

anak didik menjadi tahu. Filsafat ini dilandaskan pada filsafat John Locke yang

mengatakan bahwa anak didik adalah bagaikan selembar kertas putih atau tabula

rasa. Lalu tugas guru ialah memberi tulisan-tulisan pada kertas kosong tersebut.17

Romo Mangun termasuk pengikut filsafat konstruktivisme.18 Oleh karena itu, berbeda dari John Locke, dia berpandangan bahwa pengetahuan adalah bentukan

(konstruksi) peserta didik sendiri yang belajar. Jadi, pengetahuan bukanlah hal

yang sudah jadi, melainkan proses menjadi.19 Dia menjelaskan tahap-tahap dari proses mengetahui ini sebagai berikut:

“Sang ibu memberi tahu anaknya bahwa benda yang dilihatnya itu disebut khutuk. Untuk sesaat anak merasa puas dengan pengetahuan itu, kepuasan ini disebut equilibrium (keseimbangan). Kata khutuk akan muncul dalam benak si anak setiap melihat anak ayam yang lain, dan proses ini disebut sebagai asimilasi (pencernaan). Ketika suatu saat si anak melihat seekor anak itik berenang di selokan keseimbangan tentang khutuk terganggu. Ia melihat khutuk yang bentuknya berbeda dan bisa berenang. Ketidakseimbangan ini

14

A. Supratiknya, “Romo Mangun dan Pendidikan”, dalam pengantar, Impian Dari Yogyakarta, h. xxiv.

15

Singgih Nugroho. Pendidikan Pemerdekaan dan Islam (Yogyakarta: Pondok Edukasi, 2003), h. 53.

16

Paul Suparno, SJ, dkk., Reformasi Pendidikan, h.15.

17

Alex Sobur, Psikologi Umum (Bandung: Pustaka Setia, 2003), h. 148.

18

YB. Mangunwijaya, “Sisi Balik Medali Emas Ibnu Siena”, h. 283.

19

(8)

disebut disequilibrium. Ketidakseimbangan ini membuat si anak menafsir ulang konsep pengetahuannya terdahulu, proses ini disebut akomodasi (suatu penyesuaian diri dengan situasi baru). Proses akomodasi ini memunculkan kata baru “khutuk banyu”. Proses mengatasi disequilibrium ini disebut dengan equilibration. Ketika sang ibu memberi tahu kata “meri” untuk sebutan khutuk banyu yang dikenal sebelumnya, si anak tidak merasa kesulitan sebab hanya tinggal soal nama. Pembentukan konsep baru telah terjadi ketika si anak mengkonstruksi binatang kecil yang bisa berenang di selokan sebagai khutuk banyu.20

Dari uraian di atas, Romo Mangun ingin memperlihatkan bahwa proses

bertanya anak sudah dimulai sejak mereka mulai berinteraksi dan belajar

mengenali lingkungan yang ada disekitarnya. Proses ini akan terus berlangsung

dan berkembang seumur hidupnya. Inilah yang kemudian menjadi dasar dari

konsep “Belajar Sejati”, yakni sebuah tahap di mana seseorang punya kesadaran

diri untuk memperhatikan, mempelajari, dan menekuni segala hal yang

dialaminya sehari-hari secara terus-menerus.21 Jadi “Belajar Sejati” merupakan proses belajar yang tidak terikat oleh tempat dan waktu, tidak harus melalui

sekolah formal, namun bisa kapan saja dan di mana saja.

3. Visi Pendidikan

Menurut Romo Mangun, visi pendidikan tidak lain ialah “Belajar Sejati”

itu sendiri. Inti dari “Belajar Sejati” adalah mengantar dan menolong anak didik

untuk mengenal dan mengembangkan potensi dirinya agar menjadi manusia yang

mandiri, dewasa dan utuh. Manusia merdeka sekaligus peduli dan solider terhadap

sesama manusia dalam upaya meraih kemanusiaan, dengan jati diri serta citra diri

yang semakin utuh harmonis dan integral.22

Untuk mewujudkan “Belajar Sejati”, Romo Mangun menunjuk dua

kompetensi dasar yang harus diterapkan dan dikuasai anak didik. Pertama,

kemampuan komunikasi dan penguasaan bahasa yang dilengkapi dengan

20

YB. Mangunwijaya, “ Cah Bodo Sangsoyo Akeh/ Arang”, dalam Impian Dari Yogyakarta, h. 220-221.

21

Dedy Pradipto, Belajar Sejati vs Kurikulum Nasional, h. 68-69.

22

(9)

kepercayaan diri dalam berinteraksi dengan sesama.23 Kedua, pemekaran jiwa

anak yang eksploratif, kreatif dan integral. Kemampuan eksploratif membuat anak

suka mencari, bertanya dan menyelidik. Kemampuan kreatif membuat anak bisa

mencipta hal-hal baru yang lebih baik dan berguna. Kemampuan integral

membuat anak bisa melihat dan menghadapi beragam segi kehidupan dalam

keterpaduan yang utuh.24

4. Konsep Kurikulum

Orientasi

Dalam pandangan Romo Mangun, kurikulum nasional kita hanya

menekankan aspek kognitif saja. Yakni, hanya menekankan sisi materi (padat

materi) dan melupakan sisi keterampilan dan amalnya. Lebih dari itu, kurikulum

ditentukan secara seragam oleh pemerintah pusat, baik beban mata pelajaran, cara

pengajaran, dan sistem evaluasinya (THB, NEM, dan EBTA) yang

mengakibatkan anak didik buta akan lingkungan sekitar serta kehilangan daya

kreativitas dan eksplorasi yang akan menuntun pada belajar sejati.25 Menurutnya, kurikulum harus bersifat kontekstual, dimanis, dan berdasarkan kebutuhan,

kemampuan, potensi dan jenjang umur anak didik.26

Di era globalisasi ini, menurut Romo Mangun, anak didik harus dibekali

kemampuan menghadapinya. Untuk itu, alat yang perlu diberikan pada anak didik

ialah penguasaan teknologi dan bahasa. Bahasa yang tidak berarti sempit, yakni

hanya sebagai alat komunikasi verbal, namun bahasa yang berarti luas yang juga

menyangkut tentang kemahiran interaksi. Anak didik lalu bisa mengakses

informasi dan ilmu pengetahuan bertaraf internasional dengan mudah dan mampu

membandingkannya dengan pengetahuan yang dimiliki orang lain. Romo Mangun

23

YB. Mangunwijaya, “ Pendidikan Manusia Merdeka”, h. 272.

24

Dedy Pradipto, Belajar Sejati vs Kurikulum Nasional, h. 69.

25

Dedy Pradipto, Belajar Sejati vs Kurikulum Nasional, h. 57-59.

26

(10)

mengatakan, “penguasaan bahasa X adalah anak kunci dunia dan harta

perbendaharaan budaya bangsa X itu.”27

Hal yang perlu diperhatikan lagi ialah terkait keberagaman potensi,

bakat-minat, daya tangkap dan kecenderungan yang dimiliki oleh anak didik. Diakui

atau tidak hal ini adalah sunah alam yang harus dihargai dan dikembangkan.

Dalam hal ini, kurikulum tidak bisa dipaksakan pada anak didik. Mereka

seharusnya dibiarkan memilih sendiri sesuai dengan kecenderungannya. Sebab,

kunci yang paling menentukan bagi perkembangan anak didik ialah perhatiannya,

pilihan pribadinya, dan hatinya.28 Oleh karena itu, Romo Mangun menolak sistem yang otoriter, doktriner dan sentralistik.

Dari paparan ini bisa dipahami bahwa orientasi kurikulum yang digagas

oleh Romo Mangun ialah orientasi kemandirian anak didik dengan pola-pola

kurikulum yang kontekstual, dinamis, demokratis, humanis, dan desentralistik.

Dia menolak kurikulum yang berakhir pada pembunuhan karakter anak didik,

ahistores dan padat isi.

Isi/ Materi

Sebagaimana disebutkan di atas, kurikulum harus bersifat kontekstual,

dinamis, bertumpu pada kemampuan dan kebutuhan anak didik. Di sini penulis

akan memaparkan beberapa mata pelajaran yang diterapkan oleh Romo Mangun

di SDKEM dan dasar pemikiran yang melatarinya.

a. Pendidikan Seni

Pendidikan seni di sini tidak bermaksud agar anak didik menonjol dalam

mementaskan seni, namun lebih bertujuan untuk membina cita rasa, kepekaan

kebudiawanan yang mengarah pada kearifan anak didik. Selain itu, pendidikan

2727

YB. Mangunwijaya. “Pendidikan Menjelang Tahun 2000 (II)”, dalam Impian Dari Yogyakarta, h. 185.

28

(11)

seni juga berguna untuk mempertajam pikiran, kreativitas dan menyehatkan

tubuh.29

b. Olah Raga

Tujuan pelajaran ini ialah selain untuk menjadikan tubuh anak didik sehat,

juga bertujuan untuk menumbuhkan jiwa sportif dan fair pada anak didik. Jadi,

olah raga bukan bertujuan untuk menang atau berjaya dalam bermain, namun

lebih menekankan nilai dan manfaat yang terkandung di dalamnya.30

c. Pendidikan Keterampilan

Tujuan pelajaran ini adalah agar anak didik belajar untuk yakin bahwa

semua pekerjaan tangan atau kasar, terutama yang dikerjakan oleh rakyat

kalangan bawah, sungguh-sungguh berguna, berharga dan mengharukan. Tujuan

pelajaran ini ialah untuk menghilangkan rasa minder, pesimis dan canggung anak

didik dalam segala hal.31

d. Pendidikan Bahasa dan Komunikasi

Tujuan pelajaran ini ialah untuk memberi bekal anak didik untuk masa

depannya nanti. Dengan penguasaan bahasa, baik bahasa komunikasi interaksi

maupun bahasa verbal, baik bahasa nasional maupun bahasa internasional, anak

didik mampu hidup di mana pun. Selain itu, dengan bekal ini anak didik juga akan

mudah untuk menyerap informasi dan ilmu pengetahuan secara mandiri sehingga

wawasan yang dimilikinya bisa lebih luas dan bertambah.32

e. Pelajaran IPA dan IPS

Pelajaran ini diberikan sesuai dengan kebutuhan anak didik, yakni dipilah

mana yang perlu diketahui dan mana yang tidak ada salah dan ruginya jika tidak

diketahui. Yang penting diketahui adalah kunci dan anak kunci serta

29

Suparno, Reformasi Pendidikan, h. 32.

30

Suparno, Reformasi Pendidikan, h. 34-35.

31

Nugroho, Pendidikan Pemerdekaan, h. 69.

32

(12)

rahasia di mana ada dan bagaimana cara memperoleh informasi atau pengetahuan.

Semua itu harus sesuai dan relevan dengan kehidupan keseharian anak didik.33

f. Komunikasi Iman

Pelajaran ini berangkat dari pemahaman bahwa sesungguhnya setiap anak

telah berbakat religius. Tapi bakat religius anak itu perlu dibantu. Dalam pelajaran

ini yang diutamakan bukan pengetahuan tentang agama, melainkan mendampingi

anak didik demi pemekaran sikap dasar dari dalam diri berupa hati nurani dan niat

serta tekad untuk berbuat, khususnya berbuat cinta kasih. Jadi, komunikasi iman

tidak lagi berupa pengajaran, penataran, dan hapalan belaka tentang agama.

Sebaliknya, yang terjadi adalah dialog, komunikasi, interaksi dan terutama

perbuatan antariman yang dimiliki oleh anak didik dan sivitas akademik.34

Dari sini bisa dipahami bahwa tujuan mendasar pendidikan komunikasi

iman ini ialah menumbuhkan sikap religius anak, yakni agar anak didik semakin

punya sikap dasar yang betul, hati nurani yang peka terhadap yang baik dan

menolak segala yang buruk. Dengan komunikasi iman, anak didik diharapkan

mampu menghormati perbedaan dan keberagaman.

Terkait religiusitas, Romo Mangun membedakannya dengan agama. Yang

pertama menekankan substansi, sementara yang kedua berhenti pada formalitas.35 Seorang yang beragama secara legal-formal tidaklah secara otomatis menjadi

religius. Terlebih jika seluruh aktivitasnya disandarkan pada pemenuhan

kebutuhan duniawi dan mengabaikan kemanusiaan serta kestabilan alam.

Sebaliknya, seseorang bisa menjadi religius jika seluruh aktivitasnya disandarkan

secara sungguh-sungguh pada pengabdian pada ketuhanan, kemanusiaan dan

keseimbangan alam.36

Bagi Romo Mangun, pengajaran agama tetap perlu dilaksanakan. Namun

tempatnya adalah di dalam keluarga masjid, gereja, dan tempat ibadah lainnya,

33

Nugroho, Pendidikan Pemerdekaan, h. 71.

34

Nugroho, Pendidikan Pemerdekaan, h. 71.

35

YB. Mangunwijaya. Manusia Pascamodern, Semesta, dan Tuhan: Renungan Filsafat Hidup Manusia Modern (Yogyakarta: Kanisius, 1999), h. 165-166.

36

(13)

bukan di sekolah. Sekolah harus bersifat dan bersikap inklusif, terbuka bagi murid

dari berbagai agama.37

g. Matematika

Menurut Romo Mangun, pelajaran matematika adalah pelajaran penting

kedua setelah bahasa karena membantu anak untuk dapat berpikir logis, kritis,

teliti, berabstraksi, bisa mengambil keputusan dan kreatif.38 Dalam hal ini, Romo Mangun sepakat dengan Drost bahwa meski matematika adalah ilmu kuantitas,

namun mengajarkan seseorang bernalar logis.39

h. Kotak Pertanyaan, Baca Buku Bagus, dan Majalah Meja

Ketiga mata pelajaran ini beserta mata pelajaran komunikasi iman dan

pendidikan seni menjadi mata pelajaran khas SDKEM. Biasanya diadakan pada

setiap hari Sabtu. Kelima mata pelajaran khas ini merupakan cara untuk melatih

kepekaan anak didik untuk mencermati lingkungan keseharian.40

Kotak pertanyaan berfungsi untuk menampung pertanyaan-pertanyaan

anak didik tentang sesuatu yang dianggap belum tahu. Pertanyaan-pertanyaan

yang terkumpul kemudian dibahas bersama-sama pada Sabtu siang. Lalu dengan

Baca Buku Bagus, anak didik diajak untuk memperluas cakrawalanya, diajak

keluar dari tempurung tradisionalisme konservatifnya, diajak mengenal

kebudayaan lain, dan diajak mengenal dialektik antara sana dan sini. Hal ini

dilakukan dengan cara guru bercerita kepada murid.41 Kemudian, dengan Majalah Meja, anak didik bisa langsung belajar dengan hanya melihat meja yang

ditempatinya. Tujuannya adalah membuat anak didik dekat dengan bahan atau

sumber pengetahuan. Majalah Meja ini diisi dengan artikel-artikel baik dari koran

maupun majalah yang diganti setiap Minggu oleh staf sekolah.42

37

Nugroho, Pendidikan Pemerdekaan, h. 72.

38

Dedy Pradipto, Belajar Sejati vs Kurikulum Nasional, h. 128.

39

J. Drost, Dari KBK Sampai MBS (Jakarta: Buku Kompas, 2006), h. 80.

40

J. Drost, Dari KBK Sampai MBS, h. 116.

41

YB. Mangunwijaya.”Bila Kuda Andong Mati,” dalam Impian dari Yogyakarta, h. 265-266.

42

(14)

Evaluasi

Terkait evaluasi, Romo Mangun tidak setuju dengan sistem evaluasi

normatif sebagaimana THB, UAN, NEM dan Ebtanas yang semuanya dilakukan

dengan cara top down. Sistem evaluasi ini, menurutnya, hanya akan membunuh

daya kreativitas dan eksplorasi anak didik, membuat belajar hanya untuk mengejar

nilai, menghilangkan rasa solidaritas serta kerja sama, menyuburkan

komersialisasi semisal menjamurnya bimbingan tes, tempat kursus yang

menggunakan sistem drill dan serbamahal43.

Menurut Romo Mangun, evaluasi harus mengikutsertakan orangtua murid.

Keikutsertaan orangtua sangat diharapkan agar bisa mengetahui kegiatan anak

didik ketika berada di rumah. Untuk mencapai pada “Belajar Sejati” anak didik

diharapkan tidak hanya belajar di sekolah saja, namun di mana saja dan kapan

saja, baik di sekolah atau ketika berada di rumah. Oleh karenanya, komunikasi

antara Guru dan wali murid menjadi faktor penting.44

Romo Mangun tidak terlalu menghiraukan soal pentingnya presensi

(daftar hadir). Menurutnya, mau berangkat sekolah atau tidak itu ialah kebebasan

dari anak didik. Dalam praktiknya di SDKEM, jika anak didik tidak berangkat

lebih dari tiga hari, maka guru atau pihak sekolah akan mendatangi rumahnya dan

menanyakan apa masalah atau penyebabnya. Jika karena masalah dana, misalnya,

maka pihak sekolah akan mencarikan solusinya. Oleh karena itu, absensi

(ketakhadiran) tidak memengaruhi naik kelas atau tidaknya anak didik. Jika dia

mampu mengerjakan tes yang diadakan, maka dia bisa naik kelas. Bahkan, Romo

Mangun tidak setuju adanya keputusan tidak naik kelas. Anak yang tinggal di

kelas dikhawatirkan menjadi patah semangat karena malu, kehilangan

teman-temannya dan merasa jadi anak yang paing bodoh.45

5. Konsep Pembelajaran

Guru dan Murid

43

YB. Mangunwijaya, “Cah Bodo Sangsaya Akeh/Arang,” h. 218-219.

44

YB. Mangunwijaya, “Cah Bodo Sangsaya Akeh/Arang,” h. 124.

45

(15)

Menurut Romo Mangun, dalam pembelajaran posisi anak didik dengan

guru Mangun ialah sama, yakni sama-sama menjadi subjek belajar. Jadi hubungan

yang terjadi di antara mereka ialah hubungan dialogis. Keduanya saling belajar

dan saling mengisi, bukannya saling mendominasi.46 Hal inilah yang menurut Friere menjadi pembeda antara pendidikan yang membebaskan dengan

pendidikan konvensional.47 Dalam konsep ini, guru hanya berfungsi sebagai

teman, penolong dan bidan bagi anak didik. Fungsi bidan di sini sangat penting

dan diharapkan aktif, tidak menonton saja, akan tetapi tetap bukan primer yang

mencerdaskan dan memekarkan anak didik.48 Dalam arti guru harus menggunakan nilai Ajrih-Asih secara seimbang.49

Oleh karena itu, untuk mencapai hubungan ideal di atas, menurut Romo

Mangun, seorang guru harus memenuhi beberapa kriteria berikut: profesional,

demokratis, dialogis, intelektual, dan harus menghayati tugas guru sebagai

panggilan hidup.50 Untuk memenuhi kriteria ini, bagi Romo Mangun, pemerintah wajib memperhatikan peningkatan kualitas dan kesejahteraan guru.51

Pendekatan dan Metode Pembelajaran

Untuk mencapai “Belajar Sejati”, Romo Mangun menganjurkan beberapa

pendekatan dalam pembelajaran, yakni pendekatan joyful learning, child-centered

learning, active learning dan kekeluargaan. Pembelajaran harus berpusat pada

anak didik dan juga bagaimana membuat mereka merasa senang dan enjoy dalam

belajar, atau, dalam bahasa Romo Mangun, ialah dalam “Suasana Hati

Merdeka”.52

46 YB. Mangunwijaya. “P dan K Rakyat Semesta”, dalam Impian dari Yogyakarta, h.

145.

47

Ira Shor dan Paulo Friere. Menjadi Guru Merdeka: Petikan Pengalaman, penerj. A. Nasir Budiman (Yogyakarta: LKiS, 2001), h. 50.

48

YB. Mangunwijaya. “Sisi Balik Medali Emas Ibn Siena”, dalam Impian dari Yogyakarta, h. 282.

49

Dedy Pradipto, Belajar Sejati vs Kurikulum Nasional, h. 45.

50

Paul Suparno. “Pendidikan dan Peran Guru”, dalam Tonny d. Widiastono (ed.), Pendidikan Manusia Indonesia (Jakarta: Buku Kompas, 2004), h. 129-131.

51

YB. Mangunwijaya. “ Sisi Balik Medali Emas Ibn Siena”.,280.

52

(16)

Terkait dengan metode pembelajaran, Romo Mangun menggunakan

metode Konstruktif-Progresif, yakni setiap metode pembelajaran yang membantu

peserta didik melakukan kegiatan dan akhirnya dapat mengkonstruksi

pengetahuan yang mereka pelajari dengan baik.53 Dalam hal ini, ada beberapa metode yang diterapkan di SDKEM, antara lain:

a. Metode Penemuan

Anak didik dilatih untuk terbisa melakukan pengamatan, membuat

hipotesis, memunculkan prediksi, menguji hipotesis, memanipulasi objek untuk

melihat perubahannya, memecahkan masalah, mencari jawaban sendiri,

menggambarkan kejadian, meneliti, berdialog, melakukan refleksi,

mengungkapkan pertanyaan, dan mengekspresikan gagasan selama proses

pembentukan konstruksi pengetahuan yang baru.54 Anak didik sering diberi tugas untuk observasi langsung ke lapangan, seperti mengamati batu, bus atau kereta

api.55

b. Metode Dialog dan Diskusi

Metode ini, menurut Romo Mangun, bisa terjadi antara guru dan anak

didik ataupun antara anak didik dan anak didik lainnya. Yang pertama bisa

dilakukan dengan cara guru merangsang anak didik untuk bertanya dan yang

kedua dengan cara membentuk anak didik menjadi kelompok-kelompok yang

masing-masing diberi tema pembahasan. Pada cara yang kedua ini, selain

antaranak didik bisa saling belajar, mereka juga bisa menumbuhkan rasa

solidaritas dan saling menolong.56

c. Metode Cerita

Di SDKEM, metode ini diterapkan pada mata pelajaran Baca Buku Bagus.

Dalam hal ini Romo Mangun meminta bantuan salah seorang temannya, Butet

53

Suparno, Reformasi Pendidikan, h. 47.

54

Suparno, Reformasi Pendidikan, h. 47.

55

Dedy Pradipto, Belajar Sejati vs Kurikulum Nasional, h. 64.

56

(17)

Karta Rajasa, untuk mengisi pelajaran ini.57 Menurutnya, metode ini sangat

efektif, karena anak didik akan merasa enjoy dan lebih mudah memperhatikan isi

buku. Jika anak didik sudah mulai menaruh perhatian, maka ia akan mulai

mengkonstruksi pengetahuannya.58

d. Metode Pluspunt

Metode pluspunt adalah metode berhitung realistik, mempelajari

matematika dari permasalahan keseharian anak. Anak didik belajar berhitung dari

perkara realitas nyata dan mudah dibayangkan. Di SDKEM metode ini diterapkan

pada mata pelajaran matematika.59

Selain pendekatan dan metode di atas, untuk membantu pemahaman anak

didik menurut Romo Mangun, diperlukan pula laboratorium dan alat peraga.

Namun, menurutnya, hal ini tidak harus mahal, tetapi bisa memanfaatkan sesuatu

yang terdapat di lingkungan sekitar sekolah.60

6. Partisipasi Orangtua dan Masyarakat

Bagai ikan dalam air. Begitulah Romo Mangun mengibaratkan sekolah

dengan masyarakat. Maju atau mundurnya suatu sekolah sangat ditentukan oleh

masyarakat yang melingkupinya, termasuk orangtua. Oleh karena itu,

keikutsertaan masyarakat dan orangtua dalam pendidikan sangat dibutuhkan.

Romo Mangun mengutip pernyataan Jean Jacques Rousseu bahwa

“Manusia dilahirkan berkodrat baik, masyarakat yang merusaknya”. Menurutnya,

meskipun orangtua adalah unsur penting dalam memengaruhi perkembangan anak

didik, namun sebenarnya mereka hanya meneruskan pengarahan yang diterima

dari masyarakat. Dengan kata lain, masyarakatlah yang sebenarnya membentuk

anak didik.61

57

Dedy Pradipto, Belajar Sejati vs Kurikulum Nasional, h. 160.

58

Nugroho, Pendidikan Pemerdekaan, h. 65.

59

Dedy Pradipto, Belajar Sejati vs Kurikulum Nasional, h.148.

60

Dedy Pradipto, Belajar Sejati vs Kurikulum Nasional, h. 87.

61

(18)

Romo mangun mengkritik mental dan sistem masyakarat Indonesia,

khususnya Jawa. Menurutnya, mental kita ialah mental orang yang dijajah, yakni

mental inggih ndoro, ndoro-kawulo (primordialisme). Sedangkan sistem

kemasyarakatan kita adalah “fungsionalisme struktural”, yaitu suatu tatanan

masyarakat beranggapan bahwa manusia hidup selalu menempati posisinya

masing-masing yang memang sudah jatahnya.62 Mental dan sistem yang seperti

ini, menurutnya, akan membuat anak didik menjadi bernilai skunder dan orangtua

atau masyarakat seakan berhak untuk memaksakan kehendaknya terhadap mereka.

Proses ini akhirnya akan membuat anak didik menjadi kerdil, terkekang, dan

kehilangan daya kreativitas serta eksplorasinya. Dalam konteks mental dan sistem

yang demikian, Romo Mangun mengajukan perlunya revolusi kebudayaan, yakni

revolusi budaya dari struktur-struktur feudal dan eks-kolonial menuju sistem

kebudayaan yang memerdekakan.63

Mengenai hubungan sekolah dengan masyarakat dalam membentuk dan

mencapai tujuan pendidikan sejati, Romo Mangun menggagas pentingnya

mensinergikan komponen-komponen pendidikan dalam masyarakat, yakni

pendidikan formal, nonformal, dan pendidikan informal. Tidak boleh diunggulkan

salah satunya.64

D. Penutup

Dari uraian di atas, bisa ditarik kesimpulan bahwa konsep pendidikan

Romo Mangun mengerucut pada konsep pendidikan berparadigma pemerdekaan

yang berjiwa religius. Yakni sebuah konsep pendidikan yang bertujuan untuk

mengantarkan peserta didik pada “Belajar Sejati”, yakni kesadaran belajar seumur

hidup. Dalam konsep pendidikan ini, sisi yang ditekankan ialah pengembangan

daya kritis, kreatif dan eksploratif anak didik secara integral dan komprehensif.

Untuk mencapai tujuan tersebut, proses pembelajaran harus bersifat demokratis,

62

George Ritzer dan D.J. Goodman, Teori Sosiologi Modern, penerj. Alimandan (Jakarta: Kencana, 2004), h. 118.

63

YB. Mangunwijaya. “P dan K Rakyat Semesta”, h. 146.

64

(19)

dialogis, dinamis, kontekstual, menekankan proses dan menggunakan pendekatan

joyful learning, active learning, child-centered learning dan sistem kekeluargaan.

Singkatnya, tujuan konsep pendidikan ini ialah agar peserta didik bisa mencapai

“Belajar Sejati” dengan “Suasana Hati Merdeka”. Jadi, peserta didik sudah tidak

lagi disibukkan untuk memikirkan biaya untuk sekolah, perasaan minder, dan

perasaan takut kepada Guru. Sebab, di sini guru diposisikan sebagai teman,

(20)

Daftar Pustaka

Baharuddin, Moh. Makin. Pendidikan Humanistik (Konsep, Teori, dan Aplikasi

Praksis dalam Dunia Pendidikan) (Yogyakarta: Ar-Ruzz Media, 2007).

Bahrudin, Ahmad. Pendidikan Alternatif Qoryah Toyyibah (Yogyakarta: LKiS, 2007).

Laksono. Mayong S. “Romo Mangun: Merakyat Untuk Balas Budi Rakyat”, http://www.indomedia.com. Diakses pada 10 Mei 2008.

Mangunwijaya, YB. “Sisi Balik Medali Emas Ibnu Siena”, dalam St. Sularto (ed.), Impian Dari Yogyakarta (Yogyakarta: Kompas, 2005).

Mangunwijaya, YB. Manusia Pascamodern, Semesta, dan Tuhan: Renungan

Filsafat Hidup Manusia Modern (Yogyakarta: Kanisius, 1999).

Nugroho. Singgih. Pendidikan Pemerdekaan dan Islam (Yogyakarta: Pondok Edukasi, 2003).

Pradipto, Dedy. Belajar Sejati vs Kurikulum Nasional: Konstelasi Kekuasaan

dalam Pendidikan Dasar (Yogyakarta: Penerbit Kanisius, 2007).

“SD Mangunan: Belajar Sambil Bermain di Alam Bebas,” http://www.sinarharapan.co.id, diakses pada 20 Maret 2008.

Shor, Ira dan Paulo Friere. Menjadi Guru Merdeka: Petikan Pengalaman, penerj. A. Nasir Budiman (Yogyakarta: LKiS, 2001).

Sobur, Alex. Psikologi Umum (Bandung: Pustaka Setia, 2003).

Sumartana, Th. Mendidik Manusia Merdeka: Romo Y.B. Mangunwijaya 65 Tahun. (Yogyakarta: Interfidei, 1995).

Suparno. Paul, SJ, dkk., Reformasi Pendidikan: Sebuah Rekomendasi

(Yogyakarta: Penerbit Kanisius, 2002).

Suparno, Paul. “Pendidikan dan Peran Guru”, dalam Tonny d. Widiastono (ed.),

Pendidikan Manusia Indonesia (Jakarta: Buku Kompas, 2004).

(21)

Ritzer, George dan D.J. Goodman, Teori Sosiologi Modern, penerj. Alimandan (Jakarta: Kencana, 2004).

Referensi

Dokumen terkait

Sehingga aturan-aturan dalam turunan satu variabel dapat diterapkan

1 Pengadaan Alat Elektronik Penunjang Pendidikan LELANG UMUM 1 PAKET ATIM 320.000.000 RM JANUARI 2012 2 Pengadaan Alat Mebeler Penunjang Pendidikan LELANG SEDERHANA 1 PAKET

Pada tataran pembuat kebijakan, perlu adanya perubahan mindset yang tidak hanya memandang bahwa sumber-sumber pertumbuhan ketahanan pangan satu-satunya berasal dari

Nugroho Andi, 2005, Pemrograman Berorientasi Objek, Informatika Bandung.. Analisis Perbandingan Algoritma Sorting dan

Buddha menekankan pentingnya pergaulan yang baik, beliau bersabda, “Aku tidak melihat ada satu faktor lain yang sangat menolong seperti bersahabat dengan orang baik (kalyanamitta

Berdasarkan hasil analisis pelaksanaan tindakan tentang “Penerapan Pendekatan Proses untuk Meningkatkan Hasil Belajar Keterampilan Menulis Puisi bagi Siswa Kelas IV SDN

Machado aponta os falsos meios para obter o sucesso na sociedade burguesa; Gonçalves denuncia a missão da história do país em relação à escravidão, que procura camuflar ou

dengan menggunakan teknik triangulasi dalam pengumpulan data,. maka data yang diperoleh akan lebih konsisten, tuntas dan