• Tidak ada hasil yang ditemukan

Tine Ratnapoerwantika 2 2013 (Pemilu demokratis versus kudeta tentara dalam dinamika politik di thailand))

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2018

Membagikan "Tine Ratnapoerwantika 2 2013 (Pemilu demokratis versus kudeta tentara dalam dinamika politik di thailand))"

Copied!
15
0
0

Teks penuh

(1)

Program Studi Ilmu Hubungan Internasional FISIP-UNPAS Page 308

PEMILU DEMOKRATIS VERSUS KUDETA TENTARA DALAM DINAMIKA POLITIK DI THAILAND

Oleh Tine Ratnapoerwantika

Abstrak

Kudeta dan Tomyam adalah bagian yang tidak pernah terlepaskan dari tradisi politik dan kultur masyarakat Thailand. Tomyam adalah sejenis masakan khas Thailand yang terdiri dari banyak rempah-rempah dan bisa dicampur dengan berbagai macam panganan seperti daging sapi, sea food, daging ayam, begitu banyak jenis rempah-rempah yang harus dijadikan bumbunya membuat makanan ini susah untuk dibuat. Dilemma ini sama seperti apa yang Thailand alami sekarang model politik yang tidak berpola karena banyak “rempah-rempah politik ala tomyam” itu tadi membuat teater drama politik di Negara ini susah juga untuk diprediksi.

Kata Kunci: Pemilu, Dinamika Politik

Pendahuluan

Kita tentunya masih ingat manakala banyak aktivis pro demokrasi yang di-driving oleh para akademisi kampus melakukan unjuk rasa besar-besar beberapa bulan yang lalu yang kemudian membuat politik di Negara gajah putih itu berhenti sejenak. Kemudian Thaksin berhenti sejenak dari tumpuk kekuasaan sebagai Perdana Menteri walaupun partai Thai Rak Thai menang besar dalam pemilu sebelumnya.

Setelah beberapa lama kemudian Thaksin kembali menempati posisinya sebagai Perdana Menteri, tidak jelas apa konsesi yang dibangun oleh Thaksin kepada pihak oposisi pada saat itu sehingga Thaksin dapat duduk kembali sebagai Perdana Menteri. Saya berpandangan bahwa politik suap masih begitu kental di Negara ini, kembalinya Thaksin sebagai PM pada masa itu banyak diwarnai dengan kontroversi terdapat beberapa indikasi bahwa Thaksin bermain mata dengan para oposannya tersebut.

(2)

Program Studi Ilmu Hubungan Internasional FISIP-UNPAS Page 309

lainnya. Terdapat dua hal penting yang membuat Thaksin mudah di kudeta oleh Militer pada tanggal 19 September 2006 yang lalu.

Pertama. Penjualan saham Shrim Corp kepada Temasek Singapura menjadi titik awal dari kemunduran legitimasi politik Thaksin, ada dua hal yang menjadi persoalan pokok kenapa penjulan saham tersebut dipermasalahkan. Pertama, Dalam penjulan tersebut Thaksin tidak membayar Pajak kepada Negara.

Kedua, Ada indikasi kuat bahwa Thaksin memperoleh keuntungan pribadi yang “malampau” terhadap penjulan saham tersebut. Kedua, sebelum aksi-aksi demonstrasi menuntut mundurnya Thaksin dari kursi Perdana Menteri Thailand yang dilakukan pihak oposan beberapa waktu yang lalu. Thaksin baru saja dihadapkan pada isu separatisme (menurut versi Thaksin) di kawasan muslim Thailand Selatan. Oleh karena umat islam di Thailand jumlahnya relatif kecil maka isu-isu separatisme Thai Selatan tidak menjadi isu yang besar dan mendapat respon rakyat di negara gajah tersebut.

Kedua alasan ini yang paling menonjol dan dilihat oleh pihak militer telah memecahkan persatuan nasional. Walaupun hal ini mesti menjadi perdebatan oleh kalangan pengamat karena dari dahulu militer sememangnya mempunyai peranan yang dominant dalam tradisi politik di Thailand, dari beberapa kudeta yang dijalankan penggulingan Perdana Menteri Thailand yang berasal dari sipil yang dilakukan oleh militer Thailand lebih banyak diwarnai kesan faktor like dan dislike personality.

Untuk lebih memahami bagaimana peran Militer dalam Politik Thailand, akan sedikit tergambarkan melalui perjalanan politik negara ini dari masa lampau sampai dengan politik Thailand Kontemporer. Kajian John Fuston (2000) dalam buku

Goverment And Politics In South East Asia yang diterbitkan oleh Institute of South East Asia Studies, Singapura layak dijadikan referensi untuk mendalami Politik Thailand. Dimulai dengan kerajaan Sukhotai yang bermula pada tahun 1250 yang kemudian dilanjutkan oleh kemaharajaan Ayudha pada tahun 1351. Medio 1767 sampai dengan 1855 adalah masa di mana kemaharajaan Thonburi atau Bangkok berkuasa.

(3)

Program Studi Ilmu Hubungan Internasional FISIP-UNPAS Page 310

Momentum demokratisasi politik Thailand dimulai pada tahun 1932 ketika terjadi reformasi politik untuk menggulingkan rezim monarki absolut. Terdapat 2 (dua) tokoh dibalik reformasi politik tersebut yaitu Phibun Songkram dari pihak militer dan Dr. Pridi Phanomyong dari pihak sipil. Momentum itu yang menjadikan Thailand kelak menjadi salah satu negara yang penuh dengan teaterikal politik paling panas di kawasan ini. Hampir tidak ada pergantian kekuasaan di Negara ini berjalan dengan tertib dan lancar, jika tidak kudeta maka penggulingan kekuasaan melalui aksi masa menjadi pilihan yang biasa untuk menjatuhkan pemimpin di negara ini.

Apa yang kita saksikan dan baca di banyak media masa dalam maupun luar negeri misalnya menempatkan berita Thailand ini pada posisi yang penting untuk terus kita cermati. Apakah kemudian Thaksin Sinawarta akan meletakkan jabatannya bagi mengakhiri krisis politik di Thailand? Jawabnya tentu banyak spekulasi yang bisa timbul, akhir-akhir ini saja misalkan pihak oposisi menolak keras rencana reformasi konstitusi serta pemilihan umum ulang. Bagi pihak oposisi, bukanlah pilihan yang cerdas dengan menuruti kemauan Thaksin dengan mengadakan pemilu ulang.

Kemenangan Thaksin dalam pemilu 2 (dua) tahun lalu untuk yang kedua kalinya membuktikan bahwa partai Thai Rak Thai pimpinannya masihlah sangat kuat untuk dapat dikalahkan oleh partai-partai oposisi. Jika pemilu ulang ini terjadi lagi maka banyak pengamat meramalkan Thai Rak Thai akan memenangkan pemilihan umum ulang tersebut.

(4)

Program Studi Ilmu Hubungan Internasional FISIP-UNPAS Page 311

tidak terpisah. Isu korupsi dan penyalahgunaan wewenang digunakan oleh pihak oposisi untuk menurunkan popularitas Thaksin, inilah yang menjadi problem jika seorang pebisnis menjadi pemimpin politik maka apa yang Thaksin alami sekarang merupakan bagian yang lumrah dirasakan oleh siapa saja dari kalangan pebisnis yang kemudian terjun ke dunia politik.

Pada tanggal 19 September 2006, terjadi pengambilalihan kekuasaan di Thailand, dimana militer yang dipimpin oleh Panglima AD Jenderal Sonthi Boonyaratkalin, berhasil menguasai pemerintahan yang sebelumnya di pimpin oleh PM Thaksin Sinawatra. Pengambilalihan kekuasaan oleh militer dari kalangan sipil ini, menguatkan asumsi bahwasanya system demokrasi di Thailand adalah “demokrasi militer”. Demokrasi yang sangat tergantung dari keralaan militer. Demokratis atau tidaknya system politik di Thailand tergantung dari rela atau tidaknya militer terhadap kepemimpinan politik demokratis.

Pada awalnya rumor tentang akan terjadinya kudeta militer di Thailand dianggap sebagai angin lalu, mengingat dalam bulan-bulan terakhir, rumor mengenai akan terjadinya kudeta datang dan pergi. Namun ternyata pada hari Selasa tanggal 19 September 2006, sekira pukul 21.00 WIB, rumor tersebut menjadi kenyataan, dimana puluhan tentara bersenjata lengkap berikut kendaraan tempur mereka terlihat beriringan menuju pusat kota Bangkok. Iring-iringan kendaraan tempur militer itu kemudian memasuki kantor Perdana Menteri dan mendudukinya. Beberapa tank diparkir di depan kantor PM dan di tempat-tempat strategis, termasuk di depan Royal Plaza yang merupakan kompleks istana kediaman Raja Bhumibol Albulyadej. Disamping itu, stasiun televisi chanel 5 milik militer, menghentikan program regulernya dan hanya menyiarkan lagu-lagu patriotic beserta gambar-gambar keluarga kerajaan, puji-pujian terhadap raja, yang mengingatkan orang ke situasi kudeta du masa lalu.

(5)

Program Studi Ilmu Hubungan Internasional FISIP-UNPAS Page 312

Rumor tentang kudeta itu berakhir ketika pukul 23.35 WIB, pelaku kudeta yang menamakan diri Dewan Reformasi Demokrasi dalam pernyataan mereka yang pertama melalui televise menyebutkan, angkatan bersenjata dan polisi secara damai telah menguasai kota Bangkok. Dan beberapa menit kemudian, Panglima Angkatan Darat Jendral Sonthi Boonyaratkalin mengumumkan bahwa militer untuk sementara mengambil alih kekuasaan dan akan menyerahkan kekuasaan itu kepada rakyat secepatnya. Militer juga memberlakukan keadaan daerurat perang di Bangkok, membekukan konstitusi 1997, serta membubarkan cabinet, parlemen dan mahkamah agung.

Thailand hanyalah sebuah contoh dimana militer tergoda untuk menampilkan dirinya sebagai “penyelamat bangsa” dan Negara. Jenderal Sonthi sendiri menyatakan ia bertindak untuk memulihkan harmoni dan mengembalikan ke kondisi normal, dan bermaksud mengembalikan kekuasaan ke tangan rakyat Thailand sesegera mungkin. Itulah kredo yang selalu dikatakan para pemimpin sebuah kudeta militer. Pada tahun 1999, ketika menggulingkan pemerintah sipil Pakistan pimpinan PM Nawaz Sharif, Jenderal Pervez Musharaf juga mengatakan bahwa apa yang ia lakukan itu “atas nama stabilitas”.

Pembahasan

Pembangunan dan pertumbuhan ekonomi Thailand yang sebenarnya telah dimulai sejak tahun 1970-an telah menghasilkan perubahan yang besar dalam masyarakat Thailand. Perubahan ini dimungkinkan pula oleh cepatnya ekspansi sektor industri perkotaan dan sistem pendidikan. Perkembangan yang baik di ketiga sektor ini telah mendorong menguatnya kesadaran politik dalam masyarakat dan pluralisme. Sebagai akibatnya terjadi penyesuaian kembali sistem politik dan hubungan masyarakat-negara.

Namun proses kearah demokrasi ini tidak berjalan mulus, terutama karena adanya tantangan yang kuat dari rezim militer. Keterbukaan politik yang berhasil dicapai pada tahun 1973 kembali redup dengan naiknya kembali militer melalui suatu kudeta pada tahun 1976.

(6)

Program Studi Ilmu Hubungan Internasional FISIP-UNPAS Page 313

Perkembangan kembali dibaca oleh militer yang kembali berkuasa pada tahun 1976. Rezim baru militer mencoba memperkenalkan konstitusi “liberalisasi tanpa demokrasi”. Sistem ini merupakan campuran antara tradisional Thailand dan ide liberal.

Dengan sistem ini, kebebasan diberikan secara terkendali sehingga dalam banyak hal, dominasi negara tetap menguat. Sebagai akibat dari kebijaksanaan ini, realisasi liberalisasi mulai dapat dirasakan sejak tahun 1978.

Liberalisasi yang terkendali menyebabkan pembangunan partai tidak pernah di institusionalisasikan sehingga tampak kurang demokratis. Hanya partai politik besar yang cukup banyak dapat keuntungan dari perkembangan ekonomi dan pluralisme masyarakat ini, dibandingkan partai kecil.

Partai besar lebih mampu mengadakan hubungan dengan kelompok ekstra birokrasi, khususnya masyarakat bisnis dan financial interest baik di tingkat nasional, propinsi dan lokal. Selain itu, mereka juga mampu menarik partisipasi kalangan muda, kelompok berpendidikan dan kalangan administrator, teknokrat dan intelektual.

Pada tahun 1980-an pengaruh partai politik dan kaum politisi dirasakan semakin kuat peran yang dimainkannya, tidak hanya mampu meliputi bidang pembuatan keputusan dan kebijakan, tapi juga mampu memberikan program pembangunan sosio-ekonomi. Sebagai akibat dari pengenalan liberalisasi, peran aktor swasta dan NGO’s (Non-Govermental Organizations) dalam meningkatkan aspirasi dan partisipasi politik rakyat semakin besar.

Liberalisasi ini juga memberikan dampak positif pada pengembangan kebebasan intelektual dan media massa. Tekad untuk memperjuangkan kebebasan pers tercermin dari sikap PM pada saat itu, Chuan Leekpai yang menganggap perlunya peniadaan sensor pers.

Sejalan dengan iklim keterbukaan, kelompok militerpun bisa menerima prinsip dan praktek partisipasi politik rakyat. Hal ini umumnya dirasakan generasi muda AB Thailand. Mereka semakin menyadari bahwa tanpa adanya partisipasi rakyat, dukungan terhadap mereka sulit untuk diperoleh.

(7)

Program Studi Ilmu Hubungan Internasional FISIP-UNPAS Page 314

menengahpun semakin besar dan pada tahun 1987-an mencapai 31 %. Yang dalam pandangan Seymour Martin Lipset merupakan prasyarat demokrasi selain pendidikan dan kesejahteraan.

Kemenangan yang mencolok dari Partai Thai Rak Thai dalam Pemilu 2005, tidak hanya melapangkan jalan bagi Thaksin Shinawatra untuk kembali menjadi PM, tetapi sekaligus memperlihatkan mulai berjalannya proses demokrasi. Terlepas dari kekurangan, tetapi sangatlah jelas sirkulasi kekuasaan dilaksanakan melalui mekanisme pemilu. Perkembangan ini, merupakan langkah maju bagi Thailand yang dikenal sering diguncang kudeta militer dalam sejarahnya. Hampir tidak ada pemerintahan yang bertahan lama karena dijatuhkan ditengah jalan oleh kudeta militer.

Dengan kemenangan ini, Thaksin merupakan PM pertama yang memeperoleh mandat untuk membentuk pemerintahan tunggal lewat kemenangan sapu bersih dalam pemilu. Artinya, tanpa koalisi kubu Thaksin sudah bisa membentuk pemerintahan sendiri, sebab hari pertama penghitungan suara saja Partai Thai Rak Thai telah memperoleh 364 kursi dan partai Demokrat 92 kursi (61 % suara).

Tidaklah mengherankan, periode pertama pemerintahan Thaksin yang berakhir dengan mulus, mendapatkan perhatian dari masyarakat dan akan dilanjutkan dengan dukungan kuat parlemen, merupakan suatu yang sangat fenomenal dalam sejarah politik kontemporer Thailand. Khusus bagi Thaksin, kemenangan ini merupakan pengulangan sukses tahun 2001, yang membawanya ke panggung pemerintahan sebagai Perdana Menteri.

Kemenangan Thaksin, tampaknya dicapai karena popularitasnya di kalangan pedesaan saat tinggi. Thema kampanye Thaksin yang menekankan layanan kesehatan gratis dan pembangunan bidang pertanian sangat menyentuh mayoritas penduduk Thailand yang memang petani. Tema kampanye yang diusung sejak pemilu tahun 2001 itu kembali bergema dalam kampanye tahun 2005.

(8)

Program Studi Ilmu Hubungan Internasional FISIP-UNPAS Page 315

pertanian sangat menguntungkan karena daerah pemilihan terbesar berada di pedesaan, sehingga popularitas Thaksin tidak banyak terpengaruh oleh kecaman dan kritikan dari masyarakat perkotaan.

Namun kemenangan ini dalam pandangan para tokoh oposisi dikarenakan PM Thaksin melakukan praktek politik uang, penipuan, dan aksi kekerasan, sehingga rakyat Thailand yang berjumlah 63 juta jiwa, (44 juta diantaranya yang memiliki hak pilih) berbondong-bondong ke TKP untuk memberikan suaranya kepada Partai Thai Rak Thai. Para petugas Komisi Pemilu Thailand dilaporkan telah menerima lebih dari 90 kasus dugaan penipuan, pembelian suara, dan kecurangan-kecurangan lain. Disamping itu, menurut pihak kepolisian terdapat korban meninggal sebanyak 14 orang dalam berbagai kekerasan pra-pemilu.

Ketua Partai Demokrat, Banyat Banthadthan menyatakan, pembelian suara dalam pemilu 2005 meningkat dua kali lipat dibandingkan dengan pemilu sebelumnya. Pembelian suara terjadi di provinsi-provinsi di Thailand Selatan, daerah basis massa pendukung Partai Demokrat. Kekalahan Partai Demokrat membuat Banyat yang mantan Deputy Perdana Menteri mengundurkan diri dari jabatan Ketua Partai yang ia ketuai sejak bulan April 2003, sebab ia merasa kalah dalam persaingan merebut simpati rakyat pemilih, ia tidak mampu menyaingi Thaksin yang lebih muda dan kharismatis.

Dengan kemenangan telak yang didapatkan oleh Thaksin, ada kekhawatiran PM Thaksin Shinawatra akan semakin berkuasa, kekhawatiran ini terlihat terutama dari kelompok-kelompok pembela hak azasi manusia seperti Human Rights Watch yangh menilai Thailand sebagai salah satu negara dengan pemerintahan otoriter yang kerap mengabaikan masalah HAM. Para pengkritik Thaksin antara lain menyesalkan dilancarkannya operasi militer di Thailand Selatan yang berlangsung selama 13 bulan untuk menumpas pemberontakan separatis, yang mengakibatkan tewasnya lebih dari 580 orang. Pelanggaran HAM juga terjadi dalam berbagai operasi pemberantasan narkotika, psikotropika dan zat adiktif lainnya, dimana tak kurang dari 2.275 tersangka pengedar narkoba ditembak tanpa proses hukum.

(9)

Program Studi Ilmu Hubungan Internasional FISIP-UNPAS Page 316

ekonomi. Kekhawatiran tentang perilaku kekuasaan Thaksin tidak banyak berpengaruh dalam proses pemilihan, mayoritas rakyat, terutama di pedesaan memberikan dukungan yang besar.

Dilihat dari latar belakang sejarah demokrasi di Thailand, kemenangan kelompok pro-demokrasi di Thailand dalam menumbangkan pemerintah junta militer pada tahun 1992 mempunyai implikasi yang luas bagi pembangunan politik Thailand. Tumbangnya junta militer menunjukkan bahwa civil society telah menjadi salah satu driving force bagi proses demokratisasi.

Fenomena ini sebenarnya tidak terlalu unik, sebab juga banyak dialami oleh negara-negara berkembang. Hal ini juga diperkuat oleh pernyataan Huntington yang melihat bahwa dewasa ini negara-negara cenderung menjadi semakin demokratis.

Kebangkitan civil society di Thailand mulai tampak pada tahun 1970-an dan semakin menonjol pada tahun 1990-an. Tuntutan masyarakat terhadap hak-hak mereka dan perlakuan yang adil dari rezim militer pada waktu itu merupakan salah satu perwujudan menguatnya civil society.

Pengalaman Thailand menunjukkan bahwa dengan semakin represifnya rezim militer yang memerintah, tantangan masyarakat semakin besar. Hal ini dengan jelas ditunjukkan dalam peristiwa yang terjadi pada bulan Mei 1992.

Pasca tahun 1992 telah memberikan pondasi yang kuat bagi masyarakat Thailand untuk memperjuangkan hak-hak mereka yang sebelumnya sangat terabaikan. Hal ini dikarenakan pasca tahun 1992, hubungan negara-masyarakat mengalami banyak perubahan dan semakin transparan, misalnya pemerintah telah memberikan peluang besar bagi kelompok pro-demokrasi untuk mengungkapkan aspirasinya dan mempertimbangkan semua aspirasi tersebut sebagai masukan penting dalam pembuatan keputusan.

(10)

Program Studi Ilmu Hubungan Internasional FISIP-UNPAS Page 317

Kondisi ini membuat pemerintahan Thaksin tetap melanjutkan kebijakannya yang dianggap represif terhadap aktivitas warganya di tiga provinsi Thailand, yaitu Pattani, Yala dan Narathiwat yang mayoritas muslim. Oleh karenanya imbauan perdamaian dari Raja Bhumibol untuk mengakhiri tindak kekerasan disambut dingin oleh masyarakat.

Selama tahun 2004 tercatat 570 orang terbunuh di daerah konflik dan belum mampu dinormalkan oleh pemerintah Thaksin. Kebijakan-kebijakan Thaksin dianggap kurang adil terhadap warga dan merembet mempengaruhi kehidupan relasi keagamaan antara penganut Islam dan penganut Buddha yang selama ini cukup baik. Bahkan ketidakmampuan Thaksin menghentikan segera tinadak kekerasan di Thailand Selatan sempat membuat ketegangan politik baru di ASEAN dan menodai kebersamaan ASEAN dalam memerangi terorisme yang segera di protes Malaysia dan Indonesia, ketika Thaksin menuduh para militan Islam di Thailand mendapat latihan dan dikendalikan dari pemimpin yang ada di Malaysia dan Indonesia.

Ancaman dari Front Pembebasan Pattani Bersatu yang bersumpah akan membalas tragedi aksi unjuk rasa di Tak Bai terus menghantui pemerintahan Thaksin, sehingga aktivitas masyarakat di Selatan dikontrol dengan sangat ketat, dengan harapan konflik akan segera berakhir. Konflik vertikal antara pemerintah dengan warga maupun konflik horizontal yang menelan korban begitu banyak belum pernah terjadi sebelumnya, oleh karenanya kejadian di Tak Bai menjadi komoditas politik dari kaum oposan untuk menjatuhkan rezim Thaksin.

Thaksin tidak di sukai di Thailand Selatan karena dinilai terlalu keras menghadapi gerakan separatisme. Ia bahkan terlalu tega dengan kesadisan tentara Thailand yang tahun 2003 telah menewaskan lebih dari 70 warga muslim di Selatan Thailand. Hal ini bisa terlihat dalam hasil pemilu, Thaksin banyak menang di wilayah lain, namun di Thailand Selatan tidak, terutama di Provinsi Yala, Narathaiwat dan Pattani. Partai Demokrat merebut 10 dari 11 kursi parlemen yang mewakili wilayah Selatan, dan satunya lagi jatuh ke Partai Chart Thai, sedangkan Partai Thai Rak Thai tidak mendapatkan kursi.

(11)

Program Studi Ilmu Hubungan Internasional FISIP-UNPAS Page 318

di Selatan tidak mempengaruhi posisi Thaksin, hal ini hanya merupakan pesan bagi Thaksin untuk lebih mengerti dalam menangani wilayah Selatan.

Empat tahun terakhir, Thaksin menjadi musuh dari kalangan media, akademisi, dan sejumlah politikus Thailand, namun Thaksin adalah Perdana Menteri yang dicintai rakyatnya dengan program-progam di pedesaan. Hal ini telah turut mendorong pemulihan perekonomian Thailand dengan bangkitnya konsumsi di pedesaan. Ada kekhawatiran anggaran pemerintah Thailand terancam defisit besar karena program-program Thaksin itu, namun rakyat tidak terpengaruh dan tetap memilih Thaksin.

Dalam pemilihan umum Thailand yang diselenggarakan pada tanggal 6 Februari 2005, Partai Perdana Menteri Thailand, Thaksin Shinawatra, yaitu Partai Thai Rak Thai (Thai Cinta Thai), dipastikan meraih kemenangan mutlak. Hal ini memuluskan jalan bagi Thaksin Shinawatra untuk dipilih kembali menjadi PM untuk masa jabatan kedua. Menurut perhitungan suara yang dilakukan oleh TV, partai tersebut meraih 364 kursi dari 500 kursi yang diperebutkan.

Dengan kemenangan ini memungkinkan Shinawatra untuk membentuk pemerintahan partai tunggal (single-party government), karena kemenangan yang diraih melampaui angka kemenangan yang diperkirakan. Partai-partai laian mendapatkan kursi jauh dibawah partai Thai Rak Thai, seperti partai oposisi terbesar yaitu Partai Demokrat memenangi 92 kursi, lalu Partai Chart Thai mendapat 20 kursi, Partai Mahachon hanya mendapatkan 1 kursi. Walau seluruh partai oposisi bersatu, jumlah kursi mereka belum mencukupi untuk dapat menjatuhkan pemerintahan Thaksin lewat parlemen. Thaksin adalah Perdana Menteri pertama Thailand yang berhasil menuntaskan masa jabatan 4 tahun, sebab pemerintahan-pemerintahan sebelumnya selalu rontok ditengah jalan, baik akibat kudeta ataupun persekongkolan politik.

(12)

Program Studi Ilmu Hubungan Internasional FISIP-UNPAS Page 319

pengamat setempat dan para analis ekonomi internasional relatif berhasil, terutama dalam menghadapi krisis ekonomi yang sempat menghinggapi negara tersebut.

Kemampuannya dalam merancang dan membuat program strategis di sektor ekonomi dan mendorong ekspor, khususnya pengelolaan potensi pertanian melalui kebijakan deregulasi, cukup berhasil. Privatisasi perusahaan negara yang dilakukan juga terkontrol positif. Demikian pula kemerosotan produktivitas sektor industri berhasil dipulihkan segera, Thailand dianggap negara yang tercepat dalam memerdekakan diri dari terpaan krisis.

Pemilu Thailand

Pemerintahan dipimpin oleh Perdana Menteri dengan mengacu pada Sistem Parlementer berdasarkan Konstitusi 2007.Kepala pemerintahan adalah PM. PM haruslah anggota parlemen. Anggota kabinet tidak harus anggota parlemen. Mosi tidak percaya (motion of no confidence) dapat diajukan apabila tercukupi jumlah suaranya.Setelah revolusi 1932 yang menjadikan Thailand sebagai Monarkhi Konstitutional, politik Thai didominasi oleh Militer dan Elit birokratik dengan dukungan dari pengusaha kakap.

Selama ini telah ada 25 Pemilu di Thailand, terakhir tahun 2007. Dalam kurun waktu 2007–2011 terjadi pergantian empat PM di Thailand tanpa melalui mekanisme pemilu. Pemilu diselenggarakan oleh Election Commission of Thailand (KPU).House of Representatives punya 480 kursi 400 dipilih langsung dan 80 dipilih dengan ‘proportional representation’. Tahapannya, pertama memilih calonnya; kedua memilih partainya (mixed member majoritarian system). 80 yang dipilih adalah calon-calon pada daftar calon-calon urutan Partai. Electoral areas (DAPIL) adalah 8 area dari 76 propinsi di Thailand. Pada 11 Feb 2011 anggota House berubah menjadi 500 (375 dipilih langsung dan 125 dari daftar urut Partai).

Anggota senat terdiri dari 150 orang, 76 dipilih langsung dan 74 ditunjuk. Anggota senat harus non partisan dan bukan anggota partai, masa jabatan senat adalah enam tahun.

(13)

Program Studi Ilmu Hubungan Internasional FISIP-UNPAS Page 320

menunjukkan bahwa pendukung Thaksin Shinawatra selalu unggul atas pendukung Partai Demokrat. Ketika masih bernama Thai Rak Thai, partai Thaksin itu memang tiga kali atas Partai Demokrat, yaitu pada pemilu 2001, 2005, dan 2006.Ketika bernama People Power Party (PPP),pendukung Thaksin menang atas Partai Demokrat pada pemilu Desember 2007.

Dengan nama Partai Pheu Thai, pendukung Thaksin, menang mutlak. Hasil pemilu adalah cermin dari suara dan logika rakyat. Dalam sistem politik demokrasi, suara dan logika rakyat adalah sumber dan dasar dari setiap kebijaksanaan nasional. Bahkan ada istilah vox populi vox dei (suara rakyat suara tuhan).Suara dan logika rakyat (hasil pemilu) semestinya digunakan para elite politik untuk mengelola proses pembuatan keputusan publik dan merekrut pemimpinnya.

Memang hasil pemilu bukan satu-satunya faktor dalam dinamika sistem politik.Masih ada kepentingan dan riil-politik yang dilakukan elite politik sebagai aktor dan kekuatan strategis.Kepentingan dan riil-politik elite mesti mengolah suara dan logika rakyat itu sedemikian rupa sehingga bisa lugas (luwes dan tegas) dalam menghadapi dinamika dan tantangan dari dalam maupun luar. Apa pun kebijakan dan rekrutmen pemimpin yang dihasilkan tetap diwarnai suara dan logika rakyat itu.

Tetapi, ketika suara dan logika rakyat itu diabaikan dalam mengelola proses pembuatan keputusan dan merekrut pemimpin, bisa dipastikan sistem politik tidak stabil sehingga muncul pelbagai persoalan. Ketidakstabilan politik di Thailand selama empat setengah tahun terakhir justru disebabkan oleh kepentingan dan riil-politik dari elite (sipil dan militer) Thailand yang mengabaikan suara dan logika rakyat (hasil pemilu).

Demonstran kaos kuning (pendukung Abhisit) dan demonstran kaos merah (pendukung Thaksin) yang silih berganti selama tahun-tahun terakhir ini justru disebabkan adanya pengabaian vox populi vox dei itu. Ketika militer mengudeta Thaksin pada September 2006, kepentingan dan riil-politik para elite Thailand jelas-jelas mengabaikan hasil Pemilu 2005 dan 2006 yang mutlak dimenangkan Thai Rak Thai.

(14)

Program Studi Ilmu Hubungan Internasional FISIP-UNPAS Page 321

Yingluck Shinawatra berhasil mengalahkan Perdana Menteri Thailand,Abhisit Vejjajiva, secara telak pada pemilihan umum di kerajaan itu, 3 Juli 2011. Dengan demikian, Yingluck akan mencetak sejarah sebagai perempuan pertama di Thailand yang menjadi perdana menteri. Kemenangan Yingluck dari Partai Pheu Thai itu dipastikan partai pimpinan Yingluck meraih 261 dari 500 kursi di parlemen.Hasil itu cukup bagi Yingluck untuk membentuk kubu mayoritas di parlemen. Sebaliknya, Partai Demokrat pimpinan Abhisit hanya meraih 162 kursi.

Yingluck merupakan pendatang baru dalam kancah politik Thailand. Sebelumnya, perempuan berusia 44 tahun itu tidak pernah memangku jabatan publik. Namun, menurut kalangan pengamat, keberhasilan Yingluck ini tak lepas dari peran mantan Perdana Menteri yang terguling, Thaksin Shinawatra. Pasalnya, Yingluck merupakan adik kandung Thaksin, yang terguling dari kekuasaan setelah dikudeta militer pada 2006. Dia pun mengungsi ke Dubai, Uni Emirat Arab dan sering berpindah ke sejumlah negara.

Sebagai perempuan pertama sebagai perdana menteri, diharapkan Yingluck bisa memanfaatkan sifat keibuannya untuk merajut kembali perpecahan di tingkat elite. Sebagai adik Thaksin,Yingluck diharapkan mendorong kemajuan negerinya dengan kebijakan-kebijakan populis.

(15)

Program Studi Ilmu Hubungan Internasional FISIP-UNPAS Page 322

demokrasi, harapan rakyat Thailand akan tinggal harapan. (Harian Seputar Indonesia, 5 Juli 2011)

Penutup

Yingluck Shinawatra menjadi perdana menteri perempuan pertama di Thailand, setelah Partai Puea Thai dengan partai-partai koalisi berhasil menguasai tiga perempat majelis rendah. Tantangan pertamanya setelah resmi menjadi perdana menteri adalah menciptakan stabilitas di kerajaan tersebut setelah lima tahun mengalami keguncangan politik sejak saudaranya Thaksin Shinawatra digulingkan dari kantor Perdana Menteri melalui kudeta militer yang didukung segelintir elite Thailand.

Ujian kunci yang sederhana bagi Yingluck adalah apakah dia tetap bertahan dalam kekuasaan di sebuah negara yang perpindahan para pemimpinnya sangat biasa terjadi. Thailand sudah 18 kali mengalami atau upaya kudeta militer sejak kerajaan itu menjadi monarki konstitusional pada 1932. Satu-satunya perdana menteri yang mampu merampungkan masa jabatannya selama empat tahun adalah Thaksin Shinawatra.

. Daftar Bacaan:

1. Rusman Ghazali, “Pemilu Thailand dan Peluang Thaksin Shinawatra”, KOMPAS, 7 Februari 2005.

2. Samuel P. Huntington, 1991, The Third Wave, University of Oklahoma Press, Oklahoma, USA.

3. Journal of Development Studies, 2005. 4. KOMPAS, 7 Februari 2005.

5. KOMPAS, 8 Februari 2005.

6. Harian Seputar Indonesia, 5 Juli 2011.

7.

Referensi

Dokumen terkait