BAB II
HUBUNGAN HUKUM ANTARA PRODUSEN, PENYALUR DAN KONSUMEN DALAM JUAL BELI ALAT BERAT
A. Jual Beli Alat Berat Sebagai Suatu Bentuk Perjanjian
Perjanjian adalah terjemahan dari kata overeenkomst, yang jika ditinjau dari segi bahasa
dapat pula diterjemahkan dengan persetujuan. Berdasarkan Pasal 1320 KUHPerdata disebutkan
bahwa: “Untuk sahnya persetujuan-persetujuan diperlukan empat syarat:
1. sepakat mereka yang mengikatkan dirinya;
2. kecakapan untuk membuat suatu perikatan;
3. suatu hal tertentu;
4. suatu sebab yang halal.
Berdasarkan rumusan Pasal di atas disebutkan bahwa untuk sahnya perjanjian diperlukan
empat syarat. Kedua syarat pertama dinamakan syarat subyektif, karena kedua syarat tersebut
menyangkut subyek perjanjian, sedangkan kedua syarat terakhir disebut syarat obyektif, karena
menyangkut obyek dari perjanjian. Terdapatnya cacat kehendak (yang disebabkan adanya
kekeliruan, paksaan ataupun penipuan) atau tidak cakap untuk membuat perikatan
mengakibatkan dapat dibatalkannya perjanjian. Jika obyeknya tidak tertentu atau tidak dapat
ditentukan atau kausanya tidak halal maka perjanjian batal demi hukum.
Mengenai pengertian dari kata onvereenkomst ini, Sudikno Mertokusumo mengatakan
dalam kertas kerjanya yang disampaikan pada penataran hukum perikatan II, sebagai berikut :
“perlu kiranya dikemukakan juga tentang perkembangan defenisi atau arti perjanjian
yang berdasarkan kata sepakat bertujuan untuk menimbulkan akibat hukum. Di dalam literatur
Indonesia dan belanda defenisi ini masih tetap dipertahankan, seperti yang diketahui suatu
perjanjian itu terjadi karena adanya kata sepakat atau persesuaian ( pernyataan) kehendak.
Pada hakekatnya yang terjadi adalah persesuain pernyataan kehendak, sebab kehendak
tidak akan sampai kepada pihak lain kalau tidak ada dua perbuatan yang masing-masing bersifat
satu sisi, yaitu adanya penawaran dan penerimaan antara kedua belah pihak, oleh karena itu
perjanjian merupakan hubungan hukum karena dilakukan oleh dua orang yang melakukan
perjanjian serta mengikatkan diri pada hukum perjanjian yang berlaku, dan dilindungi oleh
undang-undang. Undang-undang memberikan kebebasan untuk melakukan perjanjian hanya saja
itu dibuat beberapa syarat sebagai pedoman dan hal itu sangat menentukan bagi keabsahan dari
suatu perjanjian. Perihal perjanjian, diatur dalam Buku III KUHPerdata yang terdiri dari satu
bagian umum dan satu bagian yang khusus Titel I sampai dengan IV memuat peraturan tentang
perjanjian pada umumnya, sedangkan Titel V sampai dengan XIX KUHPerdata menurut
perjanjian yang banyak djumpai dalam masyarakat , misalnya : jual beli, sewa menyewa, dan
lain sebagainya. Ruang lingkup dari perjanjian, meliputi semua persetujuan, dalam hal ini
termasuk pula dalam kategori perjanjian yang dilakukan dalam bentuk kontrak maupun secara
diam-diam.
Dengan demikian telah membawa kewajiban untuk melakukan sesuatu prestasi di satu
pihak dan menerima satu prestasi di pihak lain. Prestasi menurut Pasal 1324 KUHPerdata, dapat
berupa :
1. Memberi sesuatu
2. Berbuat sesuatu
Para pihak yang melakukan suatu perjanjian akan mempunyai hak dan kewajiban untuk
memberi sesuatu, berbuat sesuatu, dan tidak berbuat sesuatu. Perjanjian memiliki pengertian,
suatu hubungan hukum kekayaan/harta benda antara dua orang atau lebih, yang memberi
kekuatan hak pada satu pihak untuk memperoleh prestasi dan sekaligus mewajibkan pada pihak
lain untuk menunaikan prestasi, itulah sebabnya hubungan hukum dalam perjanjian, bukan suatu
hubungan yang bisa timbul dengan sendirinya seperti yang kita jumpai dalam harta benda
kekeluargaan. Tindakan/perbuatan hukum yang dilakukan oleh pihak-pihak yang menimbulkan
hubungan hukum perjanjian, sehingga satu pihak diberi hak oleh pihak yang lain untuk
memperoleh prestasi. Sedangkan pihak lain menyediakan diri dibebani dengan kewajiban untuk
menunaikan prestasi.
Berdasarkan hukum perjanjian di dalam undang-undang mengatur beberapa ketentuan
yang menjadi dasar perjanjian dapat berupa asas- asas perjanjian antara lain sebagai berikut 17 :
1. Asas Terbuka
Dimana asas ini sering disebut sebagai asas kebebasan berkontrak, terdapat dalam
Pasal 1338 KUHPerdata ayat 1 yang berbunyi : “Semua persetujuan yang dibuat secara
sah berlaku sebagai undang-undang bagi mereka yang membuatnya. Namun isi perjanjian
tidak boleh melanggar ketertiban umum dan kesusilaan dan juga undang-undang. Jadi
apabila dirujuk kepada Pasal 1337 KUHPerdata, telah membatasi kebebasan yang
diberikan oleh Pasal 1338 KUHPerdata atau Pasal 1337 KUHPerdata merupakan salah
satu kendali dari terbuktinya Pasal 1338 KUHPerdata, yang memberi kebebasan untuk
melakukan persetujuan.
2. Asas konsensualitas
17 Prof. DR. Badrulzaman, Mariam Darus, Kompilasi Hukum Perikatan, PT. Citra Aditya Bakti, hlm 66,
Dapat disimpulkan dari ketentuan yang diatur dari ketentuan umum maupun dalam
ketentuan khusus mengenai perjanjian-perjanjian tertentu, seperti jual beli, sewa
menyewa, dan perjanjian lainnya.
3. Asas bersifat pelengkap
Hukum perjanjian bersifat pelengkap, berarti ketentuan-ketentuan yang telah diatur
dalam undang-undang dapat disingkirkan apabila para pihak membuat perjanjian yang
mengkhendakinya.
4. Asas pacta sunt sevanda (ingkar janji)
Asas ini terkandung dalam Pasal 1338 KUHPerdata, dimana orang yang ingkar janji
(wanprestasi) dalam pandangan asas ini, diartikan sebagai pengingkaran terhadap
undang-undang, dan pelanggaran yang dilakukan atau adanya ingkar janji maka di
kenakan sanksi ganti rugi berupa denda yang diatur sesuai dengan undang-undang.
5. Asas kepastian hukum
Berdasarkan Pasal 1338 KUHPerdata, sebagaimana yang menekankan kepastian
hukum dalam Pasal ini dijumpai pada kalimat “persetujuan itu tidak dapat ditarik
kembali”, kecuali kedua belah pihak sepakat dan diatur di dalam undang-undang
mengenai pembatalan perjanjian. Untuk melindungi serta memberikan kepastian hukum
kepada kedua belah pihak, yang termasuk dalam hal ganti rugi akibat cacat tersembunyi
pada produk.
6. Asas itikad baik
Jika melihat Pasal-pasal persetujuan, akan terlihat asas ini mendapat penekanan
sebagaimana disebutkan dalam Pasal 1338 KUHPerdata yang menyebutkan persetujuan
7. Asas kepribadian
Sesuai dengan Pasal 1315 KUHPerdata, pada umumnya tidak seorangpun dapat
mengikatkan diri atas nama sendiri atau diminta ditetapkannya suatu janji melainkan
untuk dirinya sendiri, kecuali :
a. Janji untuk pihak ketiga;
b. Perjanjian garansi.
Perjanjian dapat dibedakan menurut berbagai cara, pembedaan tersebut adalah sebagai
berikut 18:
a. Perjanjian timbal balik adalah
Perjanjian yang menimbulkan kewajiban pokok bagi kedua belah pihak. Misalnya
perjanjian jual beli.
b. Perjanjian cuma-cuma (Pasal 1314 KUHPerdata).
Pasal 1314 KUHPerdata yang berbunyi : “Sesuatu persetujuan dibuat dengan
cuma-cuma adalah suatu persetujuan dengan cuma-cuma adalah suatu perjanjian
dengan mana pihak yang satu memberikan suatu keuntungan kepada pihak lain tanpa
menerima suatu manfaat bagi dirinya sendiri. persetujuan atas beban, adalah suatu
persetujuan yang mewajibkan masing-masing pihak memberikan sesuatu, berbuat
sesuatu, atau tidak berbuat sesuatu.”
c. Perjanjian kebendaan
Perjanjian kebendaan adalah perjanjian dengan mana seorang menyerahkan
haknya atas sesuatu benda kepada pihak lain, yang membebankan kewajiban (oblige)
pihak itu untuk menyerahkan benda tersebut kepada pihak lain (levering, transfer).
Penyerahannya itu sendiri merupakan perjanjian kebendaan.
18
d. Perjanjian konsensual
Perjanjian konsensual adalah perjanjian dimana di antara kedua belah pihak telah
tercapai persesuaian kehendak untuk mengadakan perikatan. Menurut KUHPerdata
perjanjian ini sudah mempunyai kekuatan mengikat ( Pasal 1338 KUHPerdata).
Subjek yang dapat menjadi pihak dalam perjanjian disebut sebagai “subjek hukum” dan
subjek hukum ini secara hukum ada dua yaitu19 :
a. Orang pribadi
b. Badan hukum
Pihak- pihak dalam perjanjian diatur secara sporadis di dalam KUHPerdata, yaitu Pasal
1315, 1317, 1318, dan 1340. Mengingat bahwa hukum harus dipelajari sebagai satu sistem.
Berdasarkan Pasal 1457 KUH perdata, jual beli adalah suatu persetujuan, dengan mana
pihak yang satu mengikatkan dirinya untuk menyerahkan suatu kebendaan, dan pihak yang lain
untuk membayar harga yang telah dijanjikan. Kewajiban utama penjual adalah menyerahkan
barangnya dan menanggungnya (Pasal 1474 KUHPerdata). Pengertian jual beli tersebut terlihat
memberikan dua kewajiban yaitu kewajiban bagi pembeli dan kewajiban untuk menyerahkan
barang bagi penjual. Bahwa jual beli adalah hubungan timbal balik antara kedua belah pihak
dimana pihak yang satu berjanji menyerahkan suatu barang yang menjadi objek perjanjian
sedangkan pihak yang lain berjanji membayar harga barang yang telah disepakati.
Unsur pokok dalam perjanjian jual beli adalah barang dan harga, dimana antara penjual
dan pembeli harus ada kata sepakat tentang harga dan benda yang menjadi objek jual beli. Suatu
perjanjian jual beli yang sah lahir apabila kedua belah pihak telah setuju tentang harga dan
barang. Sifat konsensual dari perjanjian jual beli tersebut ditegaskan dalam Pasal 1458 yang
berbunyi “ jual beli dianggap sudah terjadi antara kedua belah pihak seketika setelah mereka
mencapai kata sepakat tentang barang dan harga, meskipun barang ini belum diserahkan maupun
harganya belum dibayar ”.20
Apabila terjadi kesepakatan mengenai harga dan barang namun ada hal lain yang tidak
disepakati yang terkait dengan perjanjian jual beli tersebut, jual beli tetap tidak terjadi karena
tidak terjadi kesepakatan. Akan tetapi, jika para pihak telah menyepakati unsur esensial dari
perjanjian jual beli tersebut, dan para pihak tidak mempersoalkan hal lainnya, klausul-klausul
yang dianggap berlaku dalam perjanjian tersebut merupakan ketentuan-ketentuan tentang jual
beli yang ada dalam perundang-undangan (BW) atau biasa disebut unsur naturalia.21
Walaupun telah terjadi persesuaian antara kehendak dan pernyataan, namun belum tentu
barang itu menjadi milik pembeli, karena harus diikuti proses penyerahan (levering) benda yang
tergantung kepada jenis bendanya yaitu :22
a. Benda Bergerak
Penyerahan benda bergerak dilakukan dengan penyerahan nyata dan kunci atas
benda tersebut.
b. Piutang atas nama dan benda tak bertubuh
Penyerahan akan piutang atas nama dan benda tak bertubuh lainnya dilakukan
dengan sebuah akta otentik atau akta di bawah tangan.
c. Benda tidak bergerak
Untuk benda tidak bergerak, penyerahannya dilakukan dengan pengumuman akan
akta yang bersangkutan, di Kantor Penyimpan Hipotek.
20
Prof.R.Subekti, Aneka Perjanjian, Bandung : Citra Aditya Bakti, 1995, hlm. 2.
21 Dr. Ahmdi Miru, Hukum Kontrak dan Perancangan Kontrak, Jakarta : PT Raja Grafindo Persada, 2007,
hlm. 127.
Objek dalam jual beli adalah semua benda bergerak dan benda tidak bergerak, baik
menurut tumpukan, berat, ukuran, dan timbangannya. Sedangkan yang tidak diperkenankan
untuk diperjualbelikan adalah :23
a. Benda atau barang orang lain.
b. Barang yang tidak diperkenankan oleh undang-undang seperti obat terlarang.
c. Bertentangan dengan ketertiban, dan
d. Kesusilaan yang baik
Berdasarkan Pasal 1457 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata memakai istilah zaak
untuk menentukan apa yang dapat menjadi objek jual beli. Berdasarkan Pasal 499 Kitab
Undang-Undang Hukum Perdata, zaak adalah barang atau hak yang dapat dimiliki. Hal tersebut berarti
bahwa yang dapat dijual dan dibeli tidak hanya barang yang dimiliki, melainkan juga suatu hak
atas suatu barang yang bukan hak milik.
a. Hak dan Kewajiban para pihak dalam perjanjian Jual Beli
Hak dari Penjual menerima harga barang yang telah dijualnya dari pihak pembeli
sesuai dengan kesepakatan harga antara kedua belah pihak. Sedangkan Kewajiban
Penjual adalah sebagai berikut :
b. Menyerahkan hak milik atas barang yang diperjualbelikan
Kitab Undang-Undang Hukum Perdata mengenal tiga jenis benda yaitu benda
bergerak, benda tidak bergerak dan benda tidak bertubuh maka penyerahan hak miliknya
juga ada tiga macam yang berlaku untuk masing-masing barang tersebut yaitu :24
c. Penyerahan Benda Bergerak
23 Ibid. hlm. 50.
Mengenai Penyerahan benda bergerak terdapat dalam Pasal 612 Kitab
Undang-Undang Hukum Perdata yang menyatakan Penyerahan kebendaan bergerak, terkecuali
yang tak bertubuh dilakukan dengan penyerahan yang nyata akan kebendaan itu oleh atau
atas nama pemilik, atau dengan penyerahan kunci-kunci dari bangunan dalam mana
kebendaan itu berada.
d. Penyerahan Benda Tidak Bergerak
Mengenai Penyerahan benda tidak bergerak diatur dalam Pasal 616-620 Kitab
Undang-Undang Hukum Perdata yang menyebutkan bahwa penyerahan barang tidak
bergerak dilakukan dengan balik nama. Untuk tanah dilakukan dengan Akta PPAT
sedangkan yang lain dilakukan dengan akta notaris.
e. Penyerahan Benda Tidak Bertubuh
Diatur dalam Pasal 613 KUHPerdata yang menyebutkan penyerahan akan piutang
atas nama dilakukan dengan akta notaris atau akta dibawah tangan yang harus
diberitahukan kepada dibitur secara tertulis, disetujui dan diakuinya. Penyerahan tiap-tiap
piutang karena surat bawa dilakukan dengan penyerahan surat itu, penyerahan tiap-tiap
piutang karena surat tunjuk dilakukan dengan penyerahan surat disertai dengan
endosemen.
Menanggung kenikmatan tenteram atas barang tersebut dan menanggung terhadap
cacat-cacat tersembunyi.
Berdasarkan Pasal 30 sampai dengan Pasal 52 United Nations Convention on Contract
for the International Sale of Goods mengatur tentang kewajiban pokok dari penjual yaitu sebagai
berikut :25
1. Menyerahkan barang
25
2. Menyerah terimakan dokumen.
3. Memindahkan Hak Milik
Hak dari Pembeli adalah menerima barang yang telah dibelinya, baik secara nyata
maupun secara yuridis. Di dalam Konvensi Perserikatan Bangsa-Bangsa tentang Penjualan
barang-barang Internasional (United Nations Convention on Contract for the International Sale
of Goods) telah diatur tentang kewajiban antara penjual dan pembeli.26 Pasal 53 sampai 60
United Nations Convention on Contract for the International Sale of Goods mengatur tentang
kewajiban pembeli. Ada 3 kewajiban pokok pembeli yaitu:27
a. Memeriksa barang-barang yang dikirim oleh Penjual
b. Membayar harga barang sesuai dengan kontrak
c. Menerima penyerahan barang seperti disebut dalam kontrak
Kewajiban pembeli untuk membayar harga barang termasuk tindakan mengambil
langkah-langkah dan melengkapi dengan formalitas yang mungkin dituntut dalam kontrak atau
oleh hukum dan peraturan untuk memungkinkan pelaksanaan pembayaran. Tempat pembayaran
di tempat yang disepakati kedua belah pihak. Kewajiban Pihak Pembeli adalah :
a. Membayar harga barang yang dibelinya sesuai dengan janji yang telah dibuat
b. Memikul biaya yang ditimbulkan dalam jual beli, misalnya ongkos antar, biaya akta
dan sebagainya kecuali kalau diperjanjikan sebaliknya.
Oleh sebab itu dapat disimpulkan bahwa Kewajiban dari pihak pembeli adalah
merupakan Hak bagi pihak Penjual dan sebaliknya Kewajiban dari Pihak Penjual adalah
merupakan hak bagi pihak Pembeli.
26
Ibid.
27
Di dalam hukum dikenal suatu ajaran yang dinamakan dengan Resicoleer. Resicoleer
adalah suatu ajaran, yaitu seseorang berkewajiban memikul kerugian, jika ada sesuatu kejadian
di luar kesalahan salah satu pihak yang menimpa benda yang menjadi objek perjanjian.28
Sedangkan Risiko dalam Perjanjian jual beli tergantung pada jenis barang yang diperjual belikan,
yaitu 29
1. Barang telah ditentukan
Mengenai risiko dalam jual beli terhadap barang tertentu diatur dalam Pasal 1460
Kitab Undang-Undang Hukum Perdata. Hal pertama yang harus dipahami adalah
pengertian dari barang tertentu tersebut. Yang dimaksudkan dengan barang tertentu
adalah barang yang pada waktu perjanjian dibuat sudah ada dan ditunjuk oleh pembeli.30
Mengenai barang seperti itu Pasal 1460 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata
menetapkan bahwa risiko terhadap barang tersebut ditanggung oleh pihak pembeli
meskipun barangnya belum diserahkan. Dapat dilihat bahwa ketentuan tersebut adalah
tidak adil dimana pembeli belum resmi sebagai pemilik dari barang tersebut akan tetapi
pihak konsumen sudah dibebankan untuk menanggung risiko terhadap barang tersebut.
Pihak konsumen dapat resmi sebagai pemilik apabila telah dilakukan penyerahan
terhadap pihak konsumen. Oleh sebab itu, harus menanggung segala risiko yang dapat
terjadi karena barang tersebut telah diserahkan kepadanya. Ketentuan Pasal 1460 ini
dinyatakan tidak berlaku lagi dengan dikeluarkannya Surat Edaran Mahkamah Agung No
3 Tahun 1963. Menurut Prof. R. Subekti, Surat edaran Mahkamah Agung tersebut
merupakan suatu anjuran kepada semua hakim dan pengadilan untuk membuat
28
Op. Cit. Salim H.S.,hlm. 103.
29
Op. Cit. Dr. Ahmadi Miru, hlm. 103.
30
yurisprudensi yang menyatakan Pasal 1460 tersebut sebagai pasal yang mati dan karena
itu tidak boleh dipakai lagi.
2. Barang tumpukan
Barang yang dijual menurut tumpukan, dapat dikatakan sudah dari semula dipisahkan
dari barang-barang milik penjual lainnya, sehingga sudah dari semula dalam keadaan siap
untuk diserahkan kepada pembeli.31 Oleh sebab itu dalam hal ini, risiko diletakkan
kepada pihak pembeli atau konsumen karena barang-barang tersebut telah terpisah.
3. Barang yang dijual berdasarkan timbangan, ukuran atau jumlah.
Barang yang masih harus ditimbang terlebih dahulu, dihitung atau diukur sebelumnya
dikirim (diserahkan) kepada pembeli (konsumen), boleh dikatakan baru dipisahkan dari
barang-barang milik penjual lainnya setelah dilakukan penimbangan, penghitungan atau
pengukuran. Setelah dilakukannya penimbangan, penghitungan atau pengukuran, maka
segala risiko yang terjadi pada barang tersebut adalah merupakan tanggung jawab dari
pembeli. Sebaliknya apabila barang tersebut belum dilakukan penimbangan,
penghitungan atau pengukuran maka segala risiko yang ada pada barang tersebut
merupakan tanggungjawab dari pihak penjual. Hal ini diatur dalam Pasal 1461 Kitab
Undang-Undang Hukum Perdata.
E. Bentuk perjanjian kerjasama antara konsumen, penyalur dan produsen dalam perjanjian
1. Bentuk perjanjian kerjasama antara konsumen dan penyalur
Pada umumnya perjanjian tidak terikat kepada suatu bentuk tertentu, dapat dibuat secara
lisan dan tulisan yang dapat bersifat sebagai alat bukti apabila terjadi perselisihan. Untuk
beberapa perjanjian tertentu undang-undang menentukan suatu bentuk tertentu, sehingga apabila
31
bentuk itu tidak dituruti maka perjanjian itu tidak sah. Dengan demikian bentuk tertulis tidaklah
hanya semata-mata merupakan alat pembuktian saja, tetapi merupakan syarat untuk adanya
perjanjian tersebut. Misalnya perjanjian mendirikan Perseroan Terbatas harus dengan akta
notaris. Bentuk perjanjian jual beli ada dua yaitu :
a. Lisan, yaitu dilakukan secara lisan dimana kedua belah pihak bersepakat untuk
mengikatkan dirinya melakukan perjanjian jual beli yang dilakukan secara lisan.
b. Tulisan, yaitu Perjanjian Jual beli dilakukan secara tertulis biasanya dilakukan dengan
akta autentik maupun dengan akta di bawah tangan.
Akta Autentik adalah suatu akta yang dibuat di dalam bentuk yang ditentukan oleh
undang-undang, dibuat oleh atau di hadapan pegawai-pegawai umum yang berkuasa untuk itu di
tempat dimana akta dibuatnya.32 Mengenai Akta Autentik diatur dalam Pasal 1868 Kitab
Undang-Undang Hukum Perdata. Berdasarkan inisiatif pembuatnya akta autentik dibagi menjadi
dua, yaitu :
1) Akta Pejabat (acte amtelijke)
Akta Pejabat adalah akta yang dibuat oleh pejabat yang diberi wewenang untuk itu
dengan mana pejabat tersebut menerangkan apa yang dilihat serta apa yang dilakukannya.
Jadi inisiatifnya tidak berasal dari orang yang namanya diterangkan di dalam akta itu.
Contohnya Akta Kelahiran.
2) Akta Para Pihak (acte partij)
Akta Para Pihak adalah akta yang inisiatif pembuatannya dari para pihak di hadapan
pejabat yang berwenang. Contohnya akta sewa menyewa.
32
Akta di bawah tangan adalah akta yang dibuat untuk tujuan pembuktian namun tidak
dibuat di hadapan pejabat yang berwenang.33 Akta di bawah tangan mempunyai kekuatan
pembuktian berdasarkan pengakuan dari para pihak yang membuatnya. Hal ini bermakna
kekuatan pembuktian akta di bawah tangan dapat dipersamakan dengan akta autentik sepanjang
para pembuat akta dibawah tangan mengakui dan membenarkan apa yang telah
ditandatanganinya. Dengan kata lain akta di bawah tangan merupakan akta perjanjian yang baru
memiliki kekuatan hukum pembuktian apabila diakui oleh pihak-pihak yang menandatanganinya
sehingga agar akta perjanjian tersebut tidak mudah dibantah, maka diperlukan pelegalisasian
oleh notaris, agar memiliki kekuatan hukum pembuktian yang kuat seperti akta autentik.
Perbedaan prinsip antara akta di bawah tangan dengan akta otentik adalah karena jika
pihak lawan mengingkari akta tersebut, akta di bawah tangan selalu dianggap palsu sepanjang
tidak dibuktikan keasliannya, sedangkan akta otentik selalu dianggap asli, kecuali terbukti
kepalsuannya.34 Maksudnya adalah bahwa jika suatu akta di bawah tangan disangkal oleh pihak
lain, pemegang akta di bawah tangan harus dapat membuktikan keaslian dari akta di bawah
tangan tersebut, Sedangkan apabila akta otentik disangkal oleh pihak lain, pemegang akta otentik
tidak perlu membuktikan keaslian akta tersebut tetapi pihak yang menyangkali yang harus
membuktikan bahwa akta otentik tersebut adalah palsu. Oleh karena itu, pembuktian akta di
bawah tangan disebut pembuktian keaslian sedangkan pembuktian akta otentik adalah
pembuktian kepalsuan.
2 . Bentuk perjanjian antara konsumen dan penyalur
33
Ibid.
34
Bentuk perjanjian antara produsen dan penyalur dapat berupa perjanjian campuran
(contractus sui generis). Perjanjian campuran adalah perjanjian yang mengandung berbagai
unsur perjanjian, Terhadap perjanjian campuran itu ada berbagai paham yaitu :
1. Paham pertama mengatakan bahwa ketentuan-ketentuan mengenai perjanjian khusus
diterapkan secara analogis sehingga setiap unsur dari perjanjian khusus tetap ada
(contractus sui generis)
2. Paham kedua mengatakan bahwa ketentuan yang dipakai adalah
ketentuan-ketentuan dari perjanjian yang paling menentukan (teori absorpsi)
3. Paham ketiga mengatakan bahwa ketentuan-ketentuan undang-undang yang
diterapkan terhadap perjanjian campuran itu adalah ketentuan undang-undang yang
berlaku untuk itu (teori kombinasi).
Perjanjian obligatoir juga digunakan dalam perjanjian jual beli alat berat, perjanjian
obligatoir adalah perjanjian antara pihak-pihak yang mengikatkan diri untuk melakukan
penyerahan kepada pihak lain (perjanjian yang menimbulkan perikatan). Berdasarkan
KUHPerdata, perjanjian jual beli saja belum mengakibatkan beralihnya hak milik dari penjual
kepada pembeli. Untuk beralihnya hak milik atas bendanya masih diperlukan satu lembaga lain,
yaitu penyerahan. Perjanjian jual belinya itu dinamakan perjanjian obligatoir karena
membebankan kewajiban (obligatoir) kepada para pihak untuk melakukan penyerahan
(levering). Penyerahannya sendiri merupakan perjanjian kebendaan.35 Produsen memiliki
perjanjian dalam jual beli menurut hukum yang berlaku di Indonesia, mengenai barang apabila
terdapat barang yang cacat atau tidak sempurna pada alat berat tersebut maka pihak produsen
akan bertanggung jawab terhadap barang tersebut setelah dilakukan pengecekan terlebih dahulu
35
Mariam Darus Badrulzaman, Aneka Hukum Bisnis, (Bandung :Alumni, 1994), hlm. 20
oleh teknisi dari pihak penyalur, jika cacat atas produk diakibatkan dari saat pembuatan atau
pabrikan maka pihak produsen akan mengirimkan tenaga ahli mereka ke lokasi konsumen dan
memberikan ganti kerugian melalui penyalur, ganti rugi berupa penggantian suku cadang yang
cacat.
3. Bentuk perjanjian kerjasama antara produsen, penyalur dan konsumen
Bentuk perjanjian yang dilakukan produsen, penyalur, dan konsumen berupa kesepakatan
sesuai Pasal 1320 KUHPerdata, dimana para pihak mengikatkan diri dalam perjanjian tertulis,
agar tidak ada pihak yang merasa dirugikan di kemudian hari. Jika terdapat cacat tersembunyi
pada produk alat berat maka pihak konsumen akan mengklaim pihak penyalur sebagai penyedia
barang tersebut, kemudian pihak penyalur mengecek serta melihat tingkat kerusakan pada suku
cadang ataupun alat berat tersebut, jika cacat disebabkan atas kelalaian konsumen dalam
pemakaian alat berat atau kerusakan yang disebabkan oleh konsumen dan apabila pada saat
penyerahan barang terjadi kebakaran dan hal-hal lain yang berada diluar kendali penjual, maka
pihak penjual tidak bertanggung jawab atas hal tersebut.
F. Hubungan hukum antara produsen dan konsumen dalam jual beli alat berat
Umumnya produk yang sampai ke tangan konsumen telah melalui tahap kegiatan
perdagangan yang panjang mulai dari produsen pembuat (pabrik), distributor, hingga ke
konsumen.36 Masing-masing pihak merupakan unit-unit perdagangan dengan peranan tersendiri
pula. Ada dua golongan konsumen jika dibedakan dari segi cara memperoleh produk, yaitu :
1. Konsumen yang memperoleh produk dengan cara membeli dari produsen yang berarti
konsumen yang terikat hubungan kontraktual ( perjanjian, kontrak ) dengan produsen.
36
2. Konsumen yang tidak membeli, tetapi memperolehnya dengan cara lain, yang berarti
konsumen yang sama sekali tidak terikat dalam hubungan kontraktual (perjanjian,
kontrak ) dengan produsen.
Pembedaan ini penting diperhatikan untuk mengetahui hak dan kewajiban hukum para
pihak sekaligus untuk menentukan pertanggungjawaban, sebab dalam hukum
pertanggungjawaban lahir dari hubungan hukum terhadap konsumen yang mempunyai hubungan
kontraktual dengan penyalur (pelaku usaha) dapat dilindungi kepentingannya berdasarkan isi
kontrak/perjanjian, tetapi tidak demikian halnya dengan konsumen yang tidak terikat secara
kontraktual dengan penyalur.
Tahapan- tahapan transaksi antara produsen dan konsumen dapat dibedakan dalam tiga
tahap, yaitu:
a) Tahap pratransaksi
Tahap pratransaksi yaitu tahap sebelum adanya perjanjian/transaksi konsumen, yaitu
keadaan-keadaan atau peristiwa-peristiwa yang terjadi sebelum konsumen memutuskan
untuk membeli dan memakai produk yang diedarkan oleh produsen. Pada tahap ini,
sesuai dengan haknya konsumen mencoba mencari informasi mengenai produk.
Informasi ini dapat langsung diperoleh dari penyalur penjual produk tersebut. Meskipun
belum memasuki tahap transaksi yang sesunguhnya, tahap pratransaksi ini penting sekali
karena dapat mempengaruhi keabsahan dari tahapan transaksi berikutnya, termasuk
keabsahan dari hak dan kewajiban.
b) Tahap transaksi ( yang sesungguhnya )
Setelah calon konsumen (pembeli) memperoleh informasi yang cukup mengenai
konsumen (pembeli) mempergunakan salah satu haknya, yaitu hak untuk memilih
(menentukan pilihan). Apabila konsumen sudah menyatakan persetujuannya, pada saat
itu lahirlah perjanjian.37 Menurut hukum perdata, kesepakatan lahir karena bertemunya
penawaran (offer) dengan penerimaan (acceptance), sebab kedua-duanya adalah
sama-sama pernyataan kehendak.
c) Tahap purnatransaksi
Transaksi (perjanjian/kontrak) yang sudah dibuat antara produsen-penjual dan
konsumen/pembeli tentunya masih harus direalisasikan, di ikuti dengan pemenuhan hak
dan kewajiban di antara mereka sesuai dengan isi perjanjian yang dibuat itu. Artinya,
tahap pengikatan perjanjian sebenarnya hanyalah bagian awal yang masih harus diikuti
dengan perbuatan pelaksanaan. Menurut sifatnya perjanjian jual beli adalah perjanjian
obligatoir. Sehubungan dengan transaksi antara produsen/penjual dan
konsumen/pembeli, beberapa hal yang potensial melahirkan konflik adalah kualitas
dengan kegunaan produk (antara informasi dan faktanya), harga dan hak-hak
konsumen/pembeli setelah perjanjian (yang disebut dengan layanan purajurnal, seperti
garansi dan sebagainya.
Kualitas dan kegunaan produk yang berbeda antara informasi yang diperoleh sebelumnya
dan kenyataannya setelah dipakai dapat berupa:
(1) Produk tidak cocok dengan kegunaan dan manfaat yang diharapkan konsumen dan
pembeli.
(2) Adanya kesalahan informasi yang diberikan oleh pihak produsen, dalam arti produsen
tidak jujur (berbohong) dalam member keterangannya.
37
(3) Kualitas produk tidak sesuai dengan harga yang dibayarkan.
Bahwa antara harga dan kualitas produk tidak ada kesesuaian (tidak sebanding), produk
terlalu mahal. Dalam hal ini terjadi pengalihan barang dari satu pihak ke pihak lain, maka secara
garis besar pihak-pihak yang terlibat dapat dikelompokkan dalam dua kelompok, yaitu:38
Pada kelompok pertama, kelompok penyedia barang atau penyelenggara jasa, pada
umumnya pihak ini berlaku sebagai:
(a) Penyedia dana untuk keperluan para penyedia barang atau jasa (investor);
(b) Penghasil atau pembuat barang/jasa (produsen);
(c) Penyalur barang atau jasa;
Sedangkan dalam kelompok kedua terdapat
(a) Pemakai atau pengguna (konsumen) barang atau jasa dengan tujuan memproduksi
(membuat) barang atau jasa lain; atau mendapatkan barang atau jasa itu untuk dijual
kembali (tujuan komersial); dan
(b) Pemakai atau pengguna (konsumen) barang atau jasa untuk memenuhi kebutuhan diri
sendiri, keluarga atau rumah tangganya (untuk tujuan nonkomersial).
Sesuai literatur ekonomi kelompok pertama disebut pengusaha (dalam hukum
perlindungan konsumen umumnya disebut produsen, penyalur atau pelaku usaha), sedang
kelompok kedua disebut sebagai konsumen
1. Hubungan Langsung
Hubungan langsung yang dimaksudkan pada bagian ini adalah hubungan antara
produsen dengan konsumen yang terikat secara langsung dengan perjanjian. Tanpa
mengabaikan jenis-jenis perjanjian lainnya, pengalihan barang dari produsen kepada
38
konsumen pada umumnya dilakukan dengan perjanjian jual-beli, baik yang dilakukan
secara tertulis maupun secara lisan. Salah satu bentuk perjanjian tertulis yaitu perjanjian
baku dimana perjanjian ini dipergunakan jika salah satu pihak sering berhadapan dengan
pihak lain dalam jumlah yang banyak dan memiliki kepentingan yang sama.
Berdasarkan asas kebebasan berkontrak diatur dalam pasal 1338 ayat (1) B.W., yaitu
bahwa semua perjanjian yang dibuat secara sah, berlaku sebagai undang-undang bagi mereka
yang membuatnya. Sedangkan pengertian sah telah memenuhi syarat sahnya perjanjian
berrdasarkan pasal 1320 B.W., sebagai berikut.
a. Kata sepakat mereka yang mengikatkan diri;
b. Adanya kecakapan untuk mengadakan perikatan;
c. Mengenai suatu objek tertentu; dan
d. Mengenai causa yang dibolehkan.
Ketentuan yang dimaksud yaitu kesempurnaan kata sepakat, karena apabila kata sepakat
diberikan dengan adanya paksaan, kekhilafan atau penipuan, maka perjanjian tersebut tidak
sempurna sehingga masih ada kemungkinan dibatalkan.39
2. Hubungan Tidak Langsung
Hubungan tidak langsung pada bagian ini adalah hubungan antara produsen dengan
konsumen yang tidak secara langsung terikat dengan perjanjian, karena adanya pihak di
antara pihak konsumen dengan produsen. Ketiadaan hubungan langsung dalam bentuk
perjanjian antara pihak produsen dengan konsumen ini tidak berarti bahwa pihak
konsumen yang dirugikan tidak berhak menuntut ganti rugi kerugian kepada produsen
dengan siapa dia tidak memiliki hubungan perjanjian, karena dalam hukum perikatan
tidak hanya perjanjian yang melahirkan perikatan.40
Maka bagi konsumen yang dirugikan karena suatu produk tertentu, tidak perlu harus
terikat perjanjian untuk dapat menuntut ganti kerugian, akan tetapi dapat juga menuntut dengan
alasan bahwa penyalur melakukan perbuatan melanggar hukum, dan dasar tanggung gugat
produsen adalah tanggung gugat yang didasarkan pada adanya kesalahan produsen.
Kecenderungan konsumen untuk mempergunakan suatu produk sangat terkait dengan informasi
yang diperoleh konsumen mengenai suatu produk tertentu melalui iklan yang pada umumnya
dibuat oleh produsen yang tidak terikat perjanjian dengan konsumen.
Walaupun iklan dapat merugikan konsumen, namun banyak produsen di Indonesia, iklan
seolah-olah dianggap sebagai suatu alat promosi yang tidak memiliki akibat hukum. Iklan yang
dapat merugikan konsumen dapat berupa:
1. Bait advertising
Suatu iklan yang menarik, namun penawaran yang disampaikan tidak jujur untuk
menjual produk karena pengiklanan tidak bermaksud menjual barang yang diiklankan.
Tujuannya agar konsumen mengganti membeli barang yang diiklankan dengan barang
lainnya yang lebih menguntungkan pengiklan.41
2. Blind advertising
Suatu iklan yang cenderung membujuk konsumen untuk berhubungan dengan
pengiklan, namun tidak menyatakan tujuan utama iklan tersebut untuk menjual barang
atau jasa, dan tidak menyatakan identitas pengiklan.42
40 Prof. Dr. Ahmadi Miru, S.H., M.H. Prinsip‐Prinsip Perlindungan Hukum Bagi Konsumen di Indonesia 41
Stanley Morganster, Legal Protection for the Consumer Second Edition, (Dobbs Ferry‐New York: Oceana Publications, Inc, 1978), hlm. 22.
42
3. False advertising
Untuk membujuk pembelian barang yang di iklankan, dan bujukan pembelian
tersebut merugikan pembeli, serta dibuat atas dasar tindakan kecurangan atau penipuan.43
Secara umum, informasi yang disampaikan kepada konsumen dilakukan dengan cara
merepsentasikan suatu produk dengan berbagai cara dengan berbagai media, namun dalam
pelaksanaannya kadang terjadi pernyataan tidak benar yang dilakukan oleh suatu pihak untuk
membujuk pihak lain masuk dalam suatu perjanjian.44
G. Hak dan kewajiban produsen, penyalur dan konsumen dalam jual beli alat berat.
Penyalur dan konsumen disebut juga sebagai pelaku usaha memiliki hak dan kewajiban,
berikut hak dan kewajiban pelaku usaha dalam jual beli. Hak pelaku usaha adalah :
1. Hak untuk menerima pembayaran yang sesuai dengan kesepakatan mengenai kondisi
dan nilai tukar barang dan/atau jasa yang diperdagangkan;
2. Hak untuk mendapat perlindungan hukum dari tindakan konsumen yang beritikad
baik;
3. Hak untuk melakukan pembelaan diri sepatutnya di dalam penyelesaian hukum
sengketa konsumen;
4. Hak untuk rehabilitasi nama baik apabila terbukti secara hukum bahwa kerugian
konsumen tidak diakibatkan oleh barang dan/atau jasa yang diperdagangkan;
5. Hak-hak yang diatur dalam ketentuan peraturan perundang-undangan lainnya.
Kewajiban pelaku usaha adalah45 :
1. Beritikad baik dalam melakukan kegiatan usaha;
43
Milton Handler, Bussines Tort, Case and Materials, (New York: Foundation Press, 1972), hlm. 475.
44
G.C. Cheshire and Fifoot, C.H.S. The Law of Contract, Fourth Australian Edition, by Higgins, P.F.P., et al., (Sidney: Butterworths, 1981), hlm. 253.
45
2. Memberikan informasi yang benar, jelas, dan jujur mengenai kondisi dan jaminan
barang dan/atau jasa serta member penjelasan penggunaan, perbaikan, pemeliharaan;
3. Memperlakukan atau melayani konsumen secara benar dan jujur serta tidak
diskriminatif;
4. Menjamin mutu barang dan/atau jasa yang diproduksi dan/atau diperdagangkan
berdasarkan ketentuan standar mutu barang dan/atau jasa yang berlaku;
5. Memberi kesempatan kepada konsumen untuk menguji, dan/atau mencoba barang
dan/atau jasa tertentu serta member jaminan dan/atau garansi atas barang yang dibuat
dan/atau yang diperdagangkan;
6. Memberi kompensasi, ganti rugi dan/atau penggantian atas kerugian akibat
penggunaan, pemakaian, dan pemanfaatan barang dan/atau jasa yang diperdagangkan;
7. Memberi kompensasi, ganti rugi dan/atau penggantian apabila barang dan/atau jasa
yang diterima atau dimanfaatkan tidak sesuai dengan perjanjian.
Hak dan kewajiban konsumen
1. Hak atas kenyamanan, keamanan, dan keselamatan;
2. Hak untuk memilih barang dan/atau jasa serta mendapatkan barang dan/atau jasa
tersebut sesuai dengan nilai tukar dan kondisi jaminan yang dijanjikan;
3. Hak atas informasi yang benar, jelas, jujur mengenai kondisi dan jaminan barang
dan/atau jasa;
4. Hak untuk didengar pendapat dan keluhannya atas barang dan/atau jasa yang
digunakan;
5. Hak untuk mendapatkan advokasi, perlindungan, dan upaya penyelesaian sengketa
6. Hak untuk mendapatkan kompensasi, ganti rugi, dan/atau pengantian, apabila barang
dan/atau jasa yang diterima tidak sesuai dengan perjanjian atau tidak sebagaimana
mestinya;
7. Hak-hak yang diatur dalam ketentuan peraturan perundang-undangan lainnya.
Kewajiban konsumen adalah :
1. Membaca atau mengikuti petunjuk informasi dan prosedur pemakaian atau
pemanfaatan barang dan/atau jasa, demi keamana dan keselamatan;
2. Beritikad baik dalam melakukan transaksi pembelian barang dan/atau jasa;
3. Membayar sesuai dengan nilai tukar yang disepakati;
4. Mengikuti upaya penyelesaian hukum sengketa perlindungan konsumen secara
patut.46